• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengawasan Hakim Mahkamah Konstitusi Oleh Komisi Yudisial Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengawasan Hakim Mahkamah Konstitusi Oleh Komisi Yudisial Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hakim yang dimaksud sebagaimana disebut dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjadi objek kewenangan Komisi Yudisial ? Hakim, dalam bahasa Inggris disebut judge, sementara dalam bahasa belanda disebut rechter, yang berarti petugas pengadilan yang mengadili perkara.1 Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang - undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Ada beberapa istilah kata hakim yang tertulis didalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. a. Istilah Hakim dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan. Dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 menyebutkan “Para Hakim merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dan hanya tunduk pada Undang-Undang”. Bahwa dalam pasal-pasal selanjutnya tidak menyebutkan atau menkhususkan hakim tertentu, yang berarti bahwa prinsip kemerdekan adalah dijalankan oleh semua hakim dalam semua tingkatan yaitu hakim di tingkat pertama, banding dan hakim agung.. b. Istilah Hakim dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.. 1. J.T.Simorangkar dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. hlm. 61.

(2) Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 bahwa dalam Undang-Undang ini istilah hakim baru ada dalam Pasal 8 ayat (1) menyatakan “Semua pengadilan memeriksa dan memutus dengan tiga orang hakim”. Sementara pada Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa “Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung, yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan”.. c. Istilah Hakim dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahu 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999. Dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menyebutkan pada ayat (1) “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Dan tertulis pada ayat (2) “Dalam mempertimbangkan bera ringanya pidana, hakim waji memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh”. Pengertian hakim dalam kedua ayat dalam Pasal di atas tentunya juga mencakup hakim dalam pengertian hakim agung serta hakim-hakim lainnya yang menjalankan fungsi Kekuasaan Kehakiman, selain itu bahwa Pasal tersebut bhawa hakim memiliki kewajiban untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dimasyrakat, atau memperhatikan sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tetududuh dalam perkara pidana. Artinya bahwa hakim yang dimaksud meliputi seluruh hakim yang menjalankan fungsi Kekuasaan Kehakiman mulai dari hakim tingkat pertama hingga hakim agung.. d. Istilah Hakim dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman..

(3) Bahwa perlu diingat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman kali ini adanya satu institusi peradilan baru yaitu Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari pada 9 orang hakim. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman istilah hakim baru terdapat dalam Bab IV mengenai hakim dan kewajibannya. Sehingga selain adanya hakim pada tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi (hakim agung) serta peradilan konstitusi (hakim konstitusi). walaupun hakim terbagi dalam beberapa lingkungan peradilan, mahakamah serta juga berbeda dalam kewenangannya tetapi ditinjau dari sudut fungsi, simbol-simbol, seperti penggunaan toga, palu, posisi ruang sidang dan lain sebagainya pada prinsipnya bahwa hakim memiliki tugas yang sama yaitu memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Pada tahun 2006 ada 31 Hakim Agung telah mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas beberapa pasal pengawasan yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial ke Mahkamah Konstitusi. melalui Putusannya Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal-pasal terkait pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial terkait pengawasan terhadap hakim konstitusi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.2 Termasuk pengertian hakim yang terdapat dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.. e. Istilah Hakim dalam Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.. 2. Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 005/PUU-IV/2006..

(4) Bahwa Putusan Mahkamah Kontitusi yang sifatnya final dan mengikat, sehingga dengan adanya putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 sangat mempengaruhi pengertian hakim. Jika didalam Undang-Undang keksuasaan kehakiman sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tidak tedapat maksud dari pengertian hakim, maka didalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan atau tedapat maksud pengertian hakim. Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 1 ayat (5) menyatakan bahwa, “Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada peradilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.”. Selanjutnya dalam pasal 1 ayat (6), ayat (7), dan ayat (9) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa “pasal 1 ayat (6) “Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung.” Pasal 1 ayat (7) “Hakim Konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi.” Pasal 1 ayat (9) “Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahliaan dan pengalaman dibidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya ddiatur dalam undang-undang.” Sehingga, didalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ini lebih jelas atau secara eksplisit menuliskan maksud pengertian hakim sesuai dengan kewenangan lingkungan peradilannya masing-masing. Artinya bahwa pengertian hakim yang dimaksud tidak lagi hakim yang berada pada seluruh lingkungan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman tetapi ada istilah hakim masing-masing.. f. Pengertian hakim menurut para ahli..

(5) 1.. Menurut Bambang Waluyo bahwa, “Hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa”.3. 2.. Menurut Al Wisnu Broto “hakim adalah konsterasi hukum dan keadilan secara abstrak, bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai wakil tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan”. 4 Bahwa dari beberapa pengertian hakim tersebut dengan adanya Putusan. Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-VI/2006 sangat mempengaruhi. Sehingga pengertian hakim menjadi terbagi menjadi terpecah menjadi 2 (dua) yaitu hakim yang berada pada lingkup lingkungan Mahkamah Agung dan hakim konsitusi yang berada pada Mahkamah Konstitusi. Bukan lagi hakim yang dimaksud secara keseluruhan yang mencakup semua hakim. Sementara itu, dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa,“Hakim Konstitusi adalah pejabat negara”. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 24 ayat (2) yang menyebutkan bahwa, “Kekuasaan kehakiman dilakuakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkingan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”. Sehingga dari beberapa pengertian dan penyebutan atau tertulis dalam pasal-pasal tersebut diatas. Maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, hakim adalah keseluruhan. 3. Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 11 4 Al Wisnu Broto, Hakim Dan Peradilan Di Indonesia (dalam beberapa aspek kajian), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1997, hlm. 2.

(6) pejabat negara yang ditugaskan untuk memimpin suatu persidangan dan memiliki hak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara, selain itu yang menyangkut pengertian hakim, apakah termasuk hakim konstitusi dan hakim agung maka, jelas bahwa pengertian hakim yang dimaksud dalam hal ini yaitu, hakim adalah hakim seluruhnya, termasuk Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.5 Bahwa hakim yang dimaksud dalam Pasal 24B ayat (1) adalah mencakup seluruh hakim yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman hal tersebut dapat diperkuat dalam pembahasan Rancangan Amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengenai Bab IX Kekuasaan Kehakiman ketika itu Panitia Ad Hoc I melaporkan hasil tugas pada Rapat Ke-5 Badan Pekerja MPR, pada selasa, 23 oktober 2001.6 Yaitu : Pasal 24 Ayat (1) Alternatif 1, Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan (negara) yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasrkan Pancasila. Alternatif 2, Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan (negara) yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan. Alternatif 3, Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan (negara) yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Ayat (2), Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal 25 dalam bracket untuk meneggakkan kehormatan dan menjaga keluruhan martabat dan perilaku para hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial. Pasal 25: Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim diatur dalam undang-undang.. Selain itu bahwa, dalam pembahasan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 ketika itu, Agun Gunandjar Sudarsa (Fraksi Partai Golkar) berpendapat: “Dalam sistem demokrasi itu tidak ada lembaga negara yang menjadi konsentrasi kekuasaan, masing-masing lembaga memiliki kewenangan yang dikontrol lembaga lainnya, Setiap cabang kekuasaan negara dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan negara lainnya (cheks and Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII, “Hubungan Pengawasan Komisi Yudisial dan Hakim Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Volume.1, Nomor 1, November 2012. Hlm. 73 6 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan UUD Tahun 1945 Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahakamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010, hlm.199-200. 5.

(7) balances)”. Dan untuk dapat terselenggaranya prinsip cheks and balances dalam negara demokrasi yang berdasar atas hukum, tentang mensyaratkan adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri terlepas dari pengaruh cabang kekuasaan negara lainnya, Karena di sinilah letaknya kebebasan, kemerdekaan individu, dan hak-hak asasi manusia dijamin dan dipertahankan” 7 “Namun demikian, untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan dari lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri itu, perlu pula dipikirkan oleh kita untuk dirumuskan tentang mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban lembaga pemegang kekuasaan kehakiman tersebut, karena di sinilah pentingnya recruitment dan penilaian kinerja yang melibatkan lembaga lain dan masyarakat terhadap lembaga pemegang kekuasaan kehakiman dalam menjalankan prinsip-prinsip akuntabilitas publik. Jadi, artinya bahwa bagaimana menciptakan agar sebuah pemegang kekuasaan itu tidak sewenang-wenang maka diperlukan mekanisme pengawasan dan pertanggungjawabannya”.8. Sementara Patrialis Akbar (Fraksi Partai Reformasi) berpendapat: “Menginginkan adanya satu kondisi kemandirian. Mandiri ini maksudnya bukanlah berarti hakim dan lembaga-lembaga peradilan mempunyai satu kewenangan yang luar biasa tanpa batas, tetapi masih dibatasi oleh aturan-aturan hukum. Lalu yang dimaksudkan dengan kemandirian adalah bahwa memang di dalam melaksanakan tugasnya hakim itu memang harus terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Jadi, titik tekan dari kalimat kemandirian kami tunjukan kepada dua aspek tadi” 9. Hamdan Zoelva (Fraksi PBB) mengusulkan: “Penambahan satu ayat, yaitu pada ayat (4) untuk mengawasi tugas-tugas yudisial daripada hakim dibentuk sebuah dewan pengawas yudisial yang independen dan diangkat dari para ahli hukum yang memiliki moral integritas yang tidak diragukan. Disini perlu kami perjelas bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dan independen, bebas dari pengaruh lembaga-lembaga yang lain tidak sepenuhnya bebas akan tetapi dia hanya dibatasi oleh dua hal yaitu oleh aturan hukum itu sendiri dan juga dapat diawasi oleh dewan pengawas yudisial yang mengawasi tingkah laku dalam bidang yudisial yang dilakukan di seluruh tingkatan pengadilan”. 10. Agun Gunandjar berpendapat: “Dengan adanya jaminan kehadiran Komisi Yudisial inilah yang juga sekaligus Komisi Yudisial ini memilki kewenangan untuk melakukan juga menegakkan kode etik, artinya dia memiliki fungsi kontrol. Bukan hanya proses pengangkatannya, tapi pemberhentian dan kontrol pun dilakukan oleh sebuah Komisi Yudisial yang di dalamnya adalah melibatkan unsur masyarakat. Sehingga kami yakin hakim-hakim ke depan akan lebih representatif”. 11. 7. Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tahun Sidang 2000 Buku Kelima, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jakarta, 2010, hlm.168 8 Ibid. hlm. 169 9 Ibid. hlm. 174 10 Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tahun Sidang 2000 Buku Kedua Jilid 3 C. Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaran Rakyat. Jakarta. 2010, hlm. 442 11 Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tahun Sidang 2001 Buku Keempat, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jakarta, 2010, hlm.168.

(8) Pendapat lain, Nadjih Ahjad mengatakan: “Bahwa pada Pasal 24C kata-kata di belakang yang berbunyi, “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung serta hakim lain, dengan memperhatikan masukan dari masyarakat”, serta “Anggota Komisi Yudisial harus berpengalaman dalam profesi hukum, memiliki integritas, dan kepribadian yang tidak tercela”. Ayat (3), susunan kedudukan dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Pasal 25A, kata “untuk” di muka dibuang, sehingga berbunyi; “menegakkan kehormatan dan mejaga keluhuran martabat dan perilaku para hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial”. 12. Komisi Yudisial dapat disebut juga sebagai pengadilan etik bagi para hakim, bukan sebagai suatu pengadilan norma. Selain itu, objek lingkupnya pun terbatas hanya mencakup para hakim saja, tidak bagi penegak hukum lainnya seperti jaksa, polisi dan advokat. Maka dari itu Komisi Yudisial meskipun bukan pemegang Kekuasaan Kehakiman, tetapi masuk dalam Bab Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berfungsi sebagai pengawal dari pada pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari para hakim. Selain mengenai pembahasan Pasal 24B dan Pasal 24C, ketika itu dalam PAH juga dibahas mengenai Pasal 25. Agun Gunandjar Sudarsa berpendapat: “Di pasal 24C Ayat (5), Pengangkatan dan pembehentian hakim konstitusi, hukum acara, serta ketentuan lain tantang Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang-Undang Hakim Konstitusi. Tapi yang dimaksud dengan Pasal 25 di sini adalah syarat-syarat untuk diangkat dan diberhentikan sebagai hakim diatur dengan undang-undang. Hakim itu bukan hanya Hakim Agung. Ada hakim di tingkat pengadilan tinggi, tingkat banding, ada di tingkat pertama, yang semuanya itu harus tidak bisa Mahkamah Agung nanti atau Mahkamah Konstitusi membuat kebijakan sendiri tentang itu semua, katakanlah ada permak segala macam, jadi ini penegasan harus dengan. Jadi saya tidak menafikan bahwa itu sudah cukup diatur, menurut saya baru sebagian. Akan lebih kuat kalau Pasal 25 ini tetap kita pakai sebagai payung betapa posisi hakim itu sangat strategis, bukan hanya hakim agung. Selain itu, alasan saya untuk tetap ditempatkan. Kalaupun dihapus apa yang dirugikan, kalau tetap dipasang apakah menimbulkan kerancuan? Bahkan menurut saya melengkapi kekurangankekurangan dari celah Pasal 24C dan sebagainya. 13. Mengenai pendapat tersebut bahwa Agun Gunandjar menginginkan agar Pasal 25 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi “syarat-syarat untuk menjadi dan. 12. Ibid hlm. 169 Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tahun Sidang 2002 Buku Keempat, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jakarta, 2010, hlm. 309 13.

(9) untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang” untuk tidak dihapus atau tidak dihilangkan. Maksud pendapat tersebut agar setiap lembaga yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman dapat mempunyai payung hukum sendiri dalam hal ini adalah Undang-Undang yang mengatur lembaganya masing-masing. Selain itu, Perubahan yang lebih mendasar dilakukan melalui amandemen atas Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mencakup perubahan tentang konsepsi negara hukum sehingga menjadi lebih terbuka daripada sekedar konsepsi rechtsstaat, menjadi negara hukum tanpa penyebutan istilah asing seperti rechtsstaat atau the rule of law pasal 1 ayat (3), perubahan lembaga kekuasaan kehakiman yang membentuk dua kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ditambah satu lembaga negara yang tugasnya bukan di bidang Kekuasan Kehakiman, tetapi berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, yakni Komisi Yudisial.14 Komisi Yudisial bukan lembaga yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman, tetapi lembaga negara yang tugasnya berkaitan dengan pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman yang “berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.” Dengan demikian, Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk melalui konstitusi untuk mengususlkan pengangkatan hakim agung dan lembaga yang melakukan pengawasan secara eksternal terhadap hakim. Komisi Yudisial terbentuk sebagai konsekuensi politik hukum (legal policy) yang ditujukan untuk membangun sistem checks and balances di dalam struktur kekuasaan kehakiman.15 Dalam hal ini Komisi Yudisial merupakan lembaga yang dibangun untuk. 14. Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 268 Cetak Biru Pembaharuan Komisi Yudisial 2010-2025, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, hlm. 36 15.

(10) meningkatkan akuntabilitas kekuasaan kehakiman yang independen. Komisi Yudisial dapat melakukan peran penting dalam konteks demokrasi dan negara hukum (democracy and rule of law) dengan modal dasar sebagai lembaga konstitusi (constitutional body).16 Implementasi ketentuan konstitusional Pasal 24B Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Ketentuan undang-undang tersebut dibuat agar operasionalisasi lembaga Komisi Yudisial dapat terlaksana dan terdapat kepastian hukum dalam mewujudkan fungsi, tugas dan wewenangnya.17 Dengan adanya amanat dalam konstitusi yaitu pada Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 mengenai Komisi Yudisial yang termasuk dalam BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman, maka untuk menjalankan amanat tersebut Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Pemerintah selaku lembaga negara yang berwenang dalam membuat Undang-Undang merumuskan suatu rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, sehingga sebagai dasar hukum selain terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka Komisi Yudisial juga memiliki dasar atau payung hukum yang tertulis dalam Undang-Undang. Ketika dalam proses pembahasan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial Masa persidangan ke IV tanggal 21 juni 2004, ketika itu pembahasan mengenai yang dimaksud Hakim yang menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial yang disampaikan oleh Ketua Rapat bahwa Hakim adalah Hakim Agung pada Mahkamah Agung dan Hakim pada. Mohammad Fajrul Falaakh, “Beberapa Pemikiran Untuk Revisi UU Komisi Yudisial” dalam buku Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2006, hlm. 216- 217. 17 Cetak biru Pembaharuan Komisi Yudisial.., Loc.Cit. 16.

(11) semua badan peradilan.18 Maksud badan peradilan adalah peradilan yang berada pada lingkup peradilan dibawah Mahkamah Agung. Tetapi ketika itu pihak Pemerintah mengajukan beberapa pertanyaan balik kepada anggota DPR diantaranya adalah: “Jadi kalau begitu Hakim Mahkamah Konstitusi tidak masuk? Kalau tidak masuk yang ingin saya tanyakan adalah rasionya apa? Kenapa Hakim Mahkamah Konstitusi membentuk Dewan Kehormatan Sendiri? Sebab ada suara juga di Mahkamah Agung, apa bedanya kalau dia boleh mengadili dirinya sendiri sedangkan Mahkamah Agung tidak boleh?”19. Ketika itu Pihak Pemerintah juga menyatakan bahwa: “Kita harus melihat dulu keinginan ini apakah konsisten dengan Undang-Undang Dasar. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24B ayat (1) itu disebut “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim”. Kemudian Pada Pasal 24C Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengenai Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C ayat (3) “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden”. 20 “Sementara kewenanagan Komisi Yudisial ini secara eksplisit disebut untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Jadi dia (KY) mengajukan calon Hakim Agung. Nah, kalau diberi definisi termasuk Hakim Mahkamah Konstitusi berarti ada penegasan di dalam pasal mengenai pemisahan maksud Pasal 24C ayat (3) dengan pengertian Pasal 24B ayat (1). Perlu ditegaskan perbedaannya di mana, sehingga di dalam penjelasan pasal yang dimuat di dalam Undang-Undang Komisi Yudisial itu bisa diketahui perbedaan secara tegas maksud Pasal 24B ayat (1) dengan Pasal 24 C ayat (3). Di sini perlu ada penjelasan barangkali dari anggota Panitia Ad Hoc I MPR untuk menjelaskan tentang ini sehingga bisa kita sepakati memperluas makna Hakim itu termasuk Hakim Konstitusi. Sebab spesifikasinya itu berbeda.21. Ada tanggapan dari beberapa anggota Fraksi Partai atas pernyataan pemerintah pada saat itu diantaranya: F.PDIP (PROF. DR. J. E. SAHETAPY, S.H): “Saya setuju untuk juga dimasukkan Hakim Konstitusi. Sebab mereka kan tidak mempunyai kedudukan yang istimewa untuk tidak diawasi. Kalau mereka ditaruh di luar pengawasan lalu siapa yang mengawasi mereka? Dan kalau saya tidak salah dalam percakapan pada waktu dengan LEIP saya kira Pak Hakim Agung juga hadir, pada waktu itu kalau saya tidak salah disepakati juga supaya Hakim Konstitusi itu ikut dimasukan.22. 18. Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 211 19 Ibid. 20 Ibid. hlm. 212 21 Ibid. hlm. 213 22 Ibid. hlm. 211.

(12) F.PG (ANDI MATTALATA, S.H, M. Hum) : Ketika itu Andi Mattalata ikut dalam Perubahaan Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 termasuk BAB IX mengenai Kekuasaan Kehakiman yang melahirkan dua lembaga negara baru yaitu Komisi Yudisial (Pasal 24B) dan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 C) melengkapi Mahkamah Agung (Pasal 24 A). “Pasal 24B ini memang dua pesan : satu, mengenai pengangkatan Hakim Agung, bukan pengangkatan Hakim Konstitusi, bukan juga pengangkatan Hakim yang lain-lain. Nah, ini direfer ke pasal 24 A. Jadi keterlibatan Komisi Yudisial dalam rangka pengangkatan Hakim memang hanya untuk Hakim Agung di Mahkamah Agung. Kita jelas dapat membaca di Pasal 24 A. Kemudian fungsi yang keduaadalah mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan Hakim, seluruh Hakim. Jadi khusus untuk pengangkatan terbatas kepada Hakim Agung. Jelas elaborasinya di dalam Pasal 24 A ada di dalam pikiran kita saat itu Hakim yang dimaksud di situ adalah Hakim yang berada dalam lingkungan Kekuasaan Kehakiman, Selain itu beliau juga berpendapat Kalau Hakim yang dimaksud di sana masuk dalam kerangka Kekuasaan Kehakiman berarti dia juga masuk dalam rangka kontrol Komisi Yudisial.23. Adapun tanggapan dari fraksi lain yaitu: F.TNI/POLRI (DRS. DJASRI MARIN,S.H) berpendapat : “Pada saat yang lalu sewaktu kita mungkin Undang-Undang kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung, kita setuju bahwa seluruh pokok dari peradilan itu empat. Seluruh peradilan-peradilan baru yang timbul nanti harus menginduk kepada yang empat ini. Maka dari itu saya setuju dengan yang disampaikan oleh Pak Prof. Sahetapy, Pak Andi. Jadi semua Hakim yang Bapak sampaikan terakhir itu Hakim apa saja itu termasuk, pengawasannya Pak. Kalau usul calon, pemilihannya hanya Hakim Agung saja. Tapi pengawasannya seluruh Hakim.24. Sementara itu Ketua Rapat ketika itu (H. ZAIN BADJEBER, S.H) menyatakan pendapatnya : “Jadi artinya dalam rangka kewenangan, ada dua kewenangan yang kemudian nanti dijabarkan pada Tugas, kewenangan pertama yaitu pencalonan hakim Agung dan kewenangan kedua adalah menjaga kehormatan. Nah, itu menjaga kehormatannya itu meliputi semua Hakim-Hakim tadi. Tanggapan pemerintah adalah yang menjadi pertanyaan Pemerintah tadi ketika kita pertemukan Pasal 24 B ayat (1) mengenai perilaku Hakim dengan Pasal 24 C tadi. Soal Hakim Konstitusi 23 24. Ibid. hlm. 214 Ibid. hlm. 216.

(13) seandainya Hakim Konstitusi termasuk di sini maka pengertian Hakim tadi harus ditambah pada DIM (Daftar Infentaris Masalah) Nomor 17 itu. Jadi “Hakim adalah Hakim pada Mahkamah Agung.25. Menanggapi hal tersebut, pihak Pemerintah mengemukakan pendapatnya kembali yaitu : “Bahwa, yang terpenting bagi kita adalah apa yang kita masukkan itu tidak sejalan dengan konstitusi. Sebab nantibahwa di dalam Penjelasan Umum saya kira diuraikan cakupan ini. Tadi saya sudah kemukakan kalau kita lihat dari konstruksi kekuasaan kehakiman dari mulai pasal 24 sampai 25, dan kalau tidak salah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi me-refer juga Pasal 25. Jadi, artinya Pasal 25 syarat-syarat untuk diangkat dan diberhentikan sebagai Hakim diatur dengan Undang-Undang. Berarti Mahkamah Konstitusi juga dengan pengadilan lain merujuk kepada Pasal 25 itu yang menutup pasal-pasal kekuasaan kehakiman, sehingga pengertian Hakim di sini dapat dipertanggungjawabkan masuk juga Hakim Konstitusi.26. Artinya bahwa ketika persidangan pembahasan rumusan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial ketika itu, ada pembahasan mengenai apakah hakim konstitusi juga menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Hasilnya adalah dari beberapa pendapat anggota DPR yang memwakili Fraksi partainya masing-masing adalah mereka sepakat bahwa objek kewenangan Komisi Yudisial mencakup kepada seluruh hakim termasuk hakim konstitusi. Dan hasilnya adalah hal tersebut tertuang dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial bahwa “Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sert hakim Mahkamah Konstitusi sebagimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Bahwa dalam pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hakim yang dimaksud adalah mencakup seluruh hakim yang sebetulnya sudah tidak perlu diperdebatkan mulai dari tingkat pertama, tingkat tinggi (banding) dan tingkat kasasi (hakim agung) hingga hakim konstitusi yang menjadi pengawasan hakim atau menjaga. 25 26. Ibid. hlm. 217 Ibid. hlm. 218.

(14) kehormatan perilaku hakim oleh Komisi Yudisial sebab, mereka adalah semua hakim yang berada dalam lingkup kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.27 Sebab hakim adalah seseorang yang berdasarkan Undang-Undang menjalankan proses-proses peradilan yang terbagi ada tingkatan ada tingkat pertama, banding dan kasasi serta peradilan pengujian konstitusi yang itu semua ditangani oleh hakim.28 Bahwa pengertian hakim yang terdapat pada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyebutkan “Hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945”. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, karena “berdasarkan kaedah bahasa Indonesia penggunaa huruf h kecil atau H besar mempunyai makna yang berbeda, dalam penulisan kata hakim jika kata hakim ditulis dengan huruf H besar mengandung arti tertentu yang lebih sempit dan jika kata hakim ditulis dengan huruf h kecil maka mempunyai makna dalam arti yang luas, pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 24B ayat 1 menuliskan yaitu kata hakim agung ditulis huruf kecil oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945”. Berdasarkan hal tersebut maka hakim agung dan hakim konstitusi termasuk di dalam pengertian hakim yang tercantum dalam UndangUndang Dasar Tahun Pasal 24B ayat (1).29 Dalam persidangan perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-VI/2006 saksi yang diajukan oleh pihak termohon yaitu Patrialis Akbar beliau berpendapat:. 27. Wawancara penulis dengan Agun Gunandjar Anggota Panitia Ad Hoc amandemen UUD 1945 pada 13 Februari 2015 28 Wawancara penulis dengan Agun Gunandjar Anggota Panitia Ad Hoc I Amandemen UUD 1945 pada 13 Februari 20015 29 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hlm. 36.

(15) “Khusus berkenaan dengan kalimat perilaku hakim dalam kalimat terakhir yaitu Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut adalah dimaksudkan untuk semua perilaku hakim secara menyeluruh serta tidak terbatas kepada hakim tertentu saja akan tetapi untuk seluruh hakim.30. Sementara itu, Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa dipisahkan dari Kekuasaan Kehakiman dan dari ketentuan ini bahwa jabatan hakim merupakan jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga, dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri.31 Menurut Taufiqurrohman Syahuri bahwa : “Yudisial bisa berarti peradilan tidak mesti selalu hukum proses-proses peradilan yang cirinya adalah memeriksa, mengadili dan memutus yang obyeknya adalah bisa saja non hukum yang berarti norma etik, kesalahan-kesalahan etik yang berwenang mengadili adalah Komisi Yudisial sebagai peradilan etik sebagai pelaksa dari kata menjaga dan menegakkan kerhormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. 32. Sehingga, Komisi Yudisial sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman dibidang non hukum (cuort of ethic). Menurut Amran Halim bahwa: “Dari sudut bahasa Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 bagian pertama hanya mengenai hakim agung “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung” sedangkan bagian keduanya mencakup semua hakim “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga…”. Bahwa dalam kalimat yang pertama yang menjadi tujuan atau sasarannya adalah pengangkatan Hakim Agung, sedangkan kalimat yang kedua yang menjadi tujuan atau sasarannya pengawasan hakim. Dari sudut bahasa kata hakim dimaksud adalah seluruh hakim”.33. Sebenarnya garis politik hukum tentang pembentukan Komisi Yudisial menginginkan pengawasan atas perilaku hakim oleh Komisi Yudisial mencakup semua hakim yang mempunyai fungsi kehakiman, termasuk semua hakim konstitusi. Selain itu juga bahwa, Keberadaan lembaga Komisi Yudisial ini dibentuk tersendiri di luar. 30. Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hlm. 53 A.M Fatwa, Potret Konstitsusi .., Op.Cit. hlm.17-18 32 Wawancara Penulis dengan Taufiqurrohman Syahuri Ketua Rekruitmen Hakim Komisi Yudisial pada 30 Januari 2015 33 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 hlm. 109 31.

(16) Mahkamah Agung sehingga subjek yang diawasinya dapat diperluas ke semua hakim termasuk hakim konstitusi dan hakim di seluruh Indonesia.34 Sehingga, bahwa hakim dalam Pasal 24B ayat (1) yang menjadi obyek pengawasan eksternal yang dilakukan Komisi Yudisial mencakup semua hakim, sebab ketika itu dalam perumusan perubahan Undnag-Undang Dasar Tahun 1945 oleh PAH I MPR tidak ada satupun pendapat yang menyatakan hakim yang dimaksud hanya hakim yang berada dalam lingkup peradilan Mahkamah Agung saja. Sedangkan hakim konstitusi memang tidak secara jelas dibahas dalam PAH I Amanden Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ketika sedang membahas masalah Komisi Yudisialah pada waktu itu, tetapi bukan berarti bahwa hakim konstitusi tidak termasuk kata hakim sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sebab, tidak dibahasnya hakim konstitusi pada waktu itu lebih pada persoalan sistematika pembahasan amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang tidak berurutan serta tidak terperinci. Maksudnya didalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Bab Kekuasaan Kehakiman Mahkamah Agung pada Pasal 24A, Komisi Yudisial pada Pasal 24B, baru kemudian Mahkamah Konstitusi pada Pasal 24C. Selain itu, bahwa kedudukan Komisi Yudisial juga sejajar dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Konstitusi pada Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman meskipun tugas-tugasnya adalah untuk membantu kekuasaan kedua lembaga tersebut, tetapi hal tersebut yaitu berkaitan dengan fungsi, tugas dan kewenangannya tidak dapat dipisahkan dalam pelaksanaaan Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial yang berbunyi, “Komisi Yudisial adalah lembaga Negara sebagaimana. 34. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan.., Op.Cit, Sinar Garfika, Jakarta 2010. hlm. 18.

(17) dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” dan pada pasal 2 yang berbunyi, “Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaann wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya”. Artinya bahwa Komisi Yudisial sebagai lembaga Negara yang mandiri atau independen dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya serta tidak dapat diintervensi oleh kekuasaan lain seperti eksekutif dan legislatif..

(18) B. Analisa terhadap Hakim Konstitusi dalam lingkup kewenangan Komisi Yudisial menurut Pasal 24B (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan yang merupakan pemegang atau puncak dari kekuasaan kehakiman bersama dengan Mahkamah Agung. Berdirinya Mahkamah Konstitusi berawal dengan adanya Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Dengan disahkannya Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat suatu Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan, akhirnya DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden. Kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden mengambil sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Dan sampai saat ini UndangUndang Mahkamah Konstitusi telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi. Menurut Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kewajiban dan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah pada ayat (1) :.

(19) “Mahkamah Konstitusi Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”.. Sedangkan pada ayat (2) “Mahkamah Konstitusi Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945”. Dalam pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa : “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masaing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden ”.. Selain itu pada ayat (5) syarat untuk menjadi hakim konstitusi “Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”. Ketika dalam perumusan perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ada bebebrapa anggota PAH yang menyampaikan kriteria hakim konstitusi, adapun yang menjadi anggota hakim Mahkamah Konstitusi adalah negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, tidak merangkap sebagai pejabat negara, serta memenuhi persyaratan lain yang diatur dengan undang-undang.35 Sedangakan pada saat itu dalam rapat pembahasan mengenai Mahkamah Konstitusi di Majelis Permusyawaran Rakyat, Hamdan Zoelva dari Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB) mengemukakan bahwa: “Anggota Mahakamh Konstitusi adalah warga negara yang mengusai konstitusi dan ketatanegaraan dan Indonesia, dan mereka harus memiliki pandangan jauh ke depan tentang negara, berintegritas tinggi dan tidak diragukan komitmennya dan pengabdiannya terhadap bangsa dan negara .36. Sementara, Harjono dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) mengemukakan bahwa:. 35. Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku VI Kekuasaan Kehakiman, 2010, Jakarta, hlm 533. 36 Ibid, hlm 534..

(20) “Katakanlah dia ahli politik, katakanlah dia ahli kenegaraan. Di Perancis itu secara otomatis mantan presiden masuk sebagai anggota Mahkamah Konstitusi. Jadi, kearifannya, pengalamannya dalam kenegaraan diperlukan didalam Mahkamah Konstitusi itu. Oleh karena itu persyaratannya memang beda dengan persyaratan hakim dan recruitment untuk Mahkamah Konstitusi”.37. Sehingga, selain tertulis dalam Pasal 24C ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, syarat-syarat menjadi hakim konstitusi juga diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu: (1) Hakim Konstitusi harus memenuhi syarat sebagi berikut: b. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; c. Adil; dan d. Negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. (2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitsui harus memenuhi syarat: e. Warga negara Indonesia; f. Berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum; g. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia; h. Berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan; i. Mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban; j. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan l. Mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara. (3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) calon hakim konstitusi juga harus memenuhi kelengkapan administrasi dengan menyerahkan: a. Surat pernyataan kesediaan untuk menjadi hakim konstitusi; b. Daftar riwayat hidup; c. Menyerahkan fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi dengan menunjukan ijazah asli; d. Laporan daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon yang disertai dengan dokumen pendukung yang sah dan telah mendapat pengesahan dari lembaga yang berwenang; dan e. Nomor pokok wajib pajak (NPWP).. Bahwa dari persyaratan-persyaratan tersebut ada satu syarat bahwa hakim konstitusi yaitu harus seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, bahkan untuk menjadi seorang Presiden dan Wakil Presiden tidak ada kata harus seorang negarawan, artinya bahwa hakim konstitusi memang harus benar-benar seorang hakim. 37. Ibid, hlm 538.

(21) yang mempunyai kualitas yang luar biasa baik secara pengetahuan dibidang konstitusi dan ketatanegaraan maupun pribadi atau perilaku yang benar-benar terbaik. Terkait hal diatas meskipun hakim konstitusi haruslah benar-benar seorang hakim yang terbaik, tetapi perlu diperhatikan bahwa hakim konstitusi adalah seorang manusia yang pasti ada suatu kekurangannya. Maka daripada itu untuk menjaga integritas, perilaku dan kenegarawan, hakim konstitusi memiliki dua pengawasan yaitu pengawasan yang dilakukan secara internal dan eksternal. Jika pengawasan internal dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 27A UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi serta Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelsis Kehormatan Hakim Konstitusi sedangkan pengawasan integritas, perilaku hakim konstitusi secara eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Tetapi setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 bahwa pengawasan secara eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap hakim konstitusi dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maknanya bahwa hakim konstitusi tidaklah termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial. Sehingga pengawasan terhadap perilaku kode etik hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan yang tersendiri sesuai dengan ketentuan Pasal 23 (sebelum dilakukan perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003) sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945.38 Bahkan dengan adanya Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 tersebut maka pasalpasal di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang mengatur fungsi pengawasan Komisi Yudisial dinyatakan tidak memiliki kekuatan. 38. Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 hlm. 199..

(22) hukum mengikat. Sehingga, dampaknya sangat berpengaruh terhadap upaya untuk menegakkan independensi kekuasaan kehakiman dan kinerja Komisi Yudisial itu sendiri. Bahwa, perilaku hakim konstitusi sesungguhnya pernah menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial, namun sejak terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, kewenangan Komisi Yudisial mengawasi hakim konstitusi diputuskan sebagai inkonstitusional. Selain putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final and binding, putusan tersebut dari perspektif ketatanegaraan memang sudah tepat. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undnag-Undang Dasar Tahun 1945. Jika Komisi Yudisial berwenang mengawasi hakim Mahkamah Konstitusi, lalu pada suatu waktu Mahkamah Konstitusi dihadapkan pada sengketa kewenangan antar lembaga negara yang melibat Komisi Yudisial, bagaimana Mahkamah Konstitusi dapat menjamin obyektifitas putusannya.39 Putusan ini mengakibatkan ketidak-konsistenan sekaligus ketidaksamaan perlakuan dalam sistem pengawasan hakim di Indonesia. terjadi dualisme sistem pengawasan hakim di mana untuk hakim agung di Mahakamah Agung dan hakim di badan-badan peradilan lain dibawah Mahkamah Agung diawasi oleh Komisi Yudisial, adapun hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi yang nota bene adalah hakim dan Mahakamh Konstitusi merupakan lembaga peradilan tidak diawasi oleh Komisi Yudisial.40 Sebenarnya didalam buku Cetak Biru Mahkamah Konstitusi Komisi bahwa Yudisial secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim di lingkungan. 39. Malik, Perppu Pengawasan Hakim MK Versus Putusan Final MK, Jurnal Konstitusi, Volume 10 Nomor 4, Desember 2013, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahakamah Konstitusi Republik Indonesia, 2013, hlm. 600. 40 Patrialais Akbar, Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. hlm.207.

(23) peradilan umum maupun Mahkamah Konstitusi, hal tersebut untuk mengimbangi dan menjaga. agar. Mahkamah. Konstitusi. tetap. menjalankan. fungsinya. secara. bertanggunggung jawab, maka untuk memberikan pengawasan terhadap integritas dan perilaku hakim kepada pihak eksternal yang memiliki kewenangan untuk itu.41 Artinya ketika itu Mahkamah Konstitusi juga menginginkan adanya pengawasan secara eksternal yang dilakukan oleh lembaga negara lain dan buku cetak biru tersebut dibuat pada Desember 2004 yang berarti pada tahun yang sama dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Komisi Yudisial yang pertama (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial). Sehingga berdasarkan pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, begitu besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa, kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih besar jika dibandingkan dengan Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan yang berwenang menguji paraturan di bawah undangundang. Sedangkan Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.42 Sehingga, kewenangan-kewenangan tersebut sebenarnya merupakan masalah-masalah fundamental karena terkait dengan masalah UndangUndang Dasar dan berada pada ranah politik yang terkait dengan masalah kedaulatan rakyat.43 Artinya bahwa terkait para hakim, hakim-hakim konstitusi hahruslah memiliki spesifikasi atau syarat-syarat tertentu yang membedakannya dengan hakim-hakim lainnya. Asalan Mahkamah Konstitusi memangkas berbagai kewenangan Komisi Yudisial antara lain, belum adanya suatu kriteria yang jelas tentang apa itu perilaku hakim. 41. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Buku Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2004, hlm.121. 42 Dimyati Hartono, Problematik Dan Solusi Amandemen UUD 1945, 2009, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 68. 43 Ibid.67.

(24) sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum karena saling tumpang tindih dengan pengawasan teknis yustisial yang dilakukan secara melekat oleh pimpinan Mahkamah Agung sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman.44 Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap hakim adalah pengawasan terhadap individi-individu hakim dan bukan pengawasan terhadap instansi Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman sebab dengan kedudukannya sebagai lembaga negara yang bebas dan merdeka Mahkamah Agung tidak dapat diawasi oleh lembaga negara lain. Oleh karena pengawasan Komisi Yudisial lebih bersifat pengawasan terhadap individu para hakim maka arenanya bukan berada pada ranah teknis yustisial tetapi berada pada lingkup etika yang harus dirumuskan dulu secara jelas apa kriterianya.45 Selain itu, bahwa perilaku hakim konstitusi tidak termasuk yang diawasi oleh Komisi Yudisial disebabkan Mahkamah Konstitusi mempunyai kode etik dan perilaku hakim konstitusi tersendiri yang terutama didasarkan pada The Bengalore Principles of Judicial Conduct 2002 dan ditambah dengan nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia yang selanjutnya kode etik dan perilaku hakim konstitusi tersebut telah dideklarasikan dengan nama Sapta Karsa Hutama pada tamggal 17 Oktober 2005 yang kemudian dituangkan kedalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 07/PMK/2005, yang merupakan penyempurnaan dari kode etik hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PMK/2003.46 Adanya beberapa vonis Mahkamah Konstitusi yang dinilai melampui batas kewenangan dan masuk ke ranah legislatif, padahal putusannya bersifat final dan mengikat.47 Terkait hal tersebut adalah yakni adanya putusan Mahkamah Konstitusi. 44. Lihat Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hlm. 187 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hlm. 188 46 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 hlm. 196 47 Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum.., Op.Cit, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 277 45.

(25) Nomor 005/PUU-IV/2006 yang mengeluarkan hakim-hakim Mahkamah Konstitusi dari objek pengawasan Komisi Yudisial. Didalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa “Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden”. Hal tersebut juga tertulis didalam UndangUndang Dasar Tahun 1945 Pasal 24C ayat 3. Pada akhir tahun 2013 ketika Ketua Mahkamah Konstitusi yang saat itu dijabat oleh M. Akil Mochtar tertangkap tangan oleh penyidik KPK karena menerima suap terkait penanganan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi. M. Akil Mochtar terbukti menerima suap terkait empat penanganan sengketa pilkada dan tindak pidana pencucian uang dan hasilnya pada 30 Juni 2014 yang bersangkutan mendapat vonis seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. 48 Dengan adanya peristiwa tersebut maka ketika itu Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 20013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 yang kemudian dijadikan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 bahwa didalam Undang-Undang tersebut terkait adanya Panel Ahli pada Pasal 18A ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 “Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) sebelum ditetapkan Presiden, terlebih dahulu harus melalui suatu uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli”. Dan dalam Pasal 18B menyatakan bahwa “Panel Ahli menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu paling lama yaitu 3 (tiga) bulan setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial”.. 48. Lihat Putusan Nomor 10.Pid.Sus-TPK/2014/PN.JKT.PST.

(26) Sehingga dalam pasal tersebut mengamanatkan Komisi Yudisial sebagai pembentuk Tim Panel Ahli untuk melakukan fit and proper test terhadap calon hakim konstitusi yang diajukan masing-masing tiga orang calon hakim konstitusi oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Setelah Panel Ahli melaksanakan tugas atau kerja tersebut maka hasilnya akan dikembalikan kepada Lembaga masing-masing pengusul dalam hal ini Mahkamah Agung, DPR dan Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi. hal tersebut tertulis dalam Pasal 18A ayat (3) bahwa : “Panel Ahli menyampaikan calon hakim konstitusi yang dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan jumlah hakim konstitusi yang dibutuhkan ditambah 1 (satu) orang kepada Mahkamah Agung, DPR dan/atau Presiden”.. Bahwa dengan adanya ketentuan dalam Pasal 18 dalam Undang-Undang tersebut mengenai keterlibatan Panel Ahli dalam pencalonan hakim konstitusi dapat diharapkan bahwa dalam pelaksanaan proses pencalonan dan pemilihan calon hakim konstitusi benar-benar dapat dilaksanakan secara transparan dan pertisifatif, sebab hingga saat ini hanya lembaga DPR yang melakukan proses yang pencalonan dan pemilihan hakim konstitusi yang transparan. Selain itu, terkait pengawasan hakim konstitusi bahwa dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2013 dibentuklah Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi serta Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang tertulis dalam Pasal 27A dalam ayat (1) bahwa : “Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan menetapkan suatu Kode Etik dan pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga kehormatan hakim dan perilaku hakim konstitusi”..

(27) Dan didalam ayat (4) tertulis “Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap”.. Dalam menjalankan tugasnya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi tersebut berkedudukan di Komisi Yudisial. Hal ini tertulis dalam Pasal 27A ayat (14) bahwa “untuk mendukung pelaksanaan tugas Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dibentuk sekretariat yang berkedudukan di Komisi Yudisial dan dipimpin oleh Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial”. Dalam kedududukan Sekretariat Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi berkedudukan di pimpin oleh Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial hal ini bahwa sebagai pengawas secara eksternal yang bersifat mandiri atau independen dari Mahkamah Konstitusi, sehingga secara Struktur, Fungsional dan Keuangan terpisah dengan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang penetapan Perppu tersebut diajukan judicial review kepada Mahakamah Konstitusi dengan Nomor Perkara 1,2/PUU-XII/2014. Bahwa hasilnya adalah dinyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (inkonstitusional) dan tidak mempunyai kekuatan hUkum mengikat49, artinya Mahkamah Konstitusi membatalkan semua isi Undang-Undang tersebut. Seharusnya pengawasan terhadap hakim konstitusi merupakan hal yang sangat dibutuhkan, baik itu pengawasan yang berasal dari pihak internal maupun eksternal dari luar lembaga Mahkamah Konstitusi dalam hal ini adalah dari lembaga Negara lain. Sebab 49. Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1,2/PUU-XII/2014 Acara Pengucapan Putusan hlm. 34.

(28) hakim konstitusi merupakan pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan penafsir konstitusi (the interpretation of constitution) yang menjadi benteng terakhir bagi para pencari keadilan. Perlu diingat bahwa siafat putusan Mahkamah Konstitusi adalah terakhir dan mengikat (final ang binding) artinya bahwa tidak ada upaya hukum lain atau lagi setelah putusan tersebut. Menurut Denny Indrayana menyebutkan: “hakim konstitusi terjebak dalam conflict of interest, Bahwa, “mereka tidak mau dimasukkan sebagai objek pengawasan Komisi Yudisial. Salah satu alasannya adalah karena Mahkamah Konstitusi berwenang memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara dimana Komisi Yudisial mungkin menjadi salah satu pihaknya. Dengan demikian, jikalau hakim konstitusi diawasi Komisi Yudisial, independensi mereka dalam memutus perkara sengkata kewenangan menjadi terganggu, argumentasi ini menunjukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai standar ganda dalam memaknai independensi hakim”.50. Dalam masalah ini (Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006) menurut Taufiqurohman Syahuri51yang merupakan staf ahli Mahakamah Konstitusi ketika itu, bahwa Legal Standing dari para pemohon adalah tidak jelas sebab mereka mengatasnamakan kedudukannya sebagai para hakim agung, bukan sebagai warga negara. Sebab menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 3 PMK No. 06/PMK/2005, ditentukan: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu : a. Perorangan warga negara Indonesia; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undangundang; c. Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga negara”.. 50. Dimyati Hartono, Problematik Dan.., Op.Cit., hlm. 79-80 Wawancara Penulis dengan Taufiqurohman Syahuri Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial pada 30 januari 2015 51.

(29) Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita yang mengarah pada intervensi ke ranah dalam bidang legislasi, ada juga putusan yang dinilai melanggar asas nemo judex in causa sua, serta putusan yang cenderung mengatur didasarkan pada pertentangan antara satu undang-undang dengan undang-undang lain padahal prinsip judicial reveiw untuk uji materi yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitsui adalah bersifat vertikal yakni konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, bukan masalah benturan antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya. Karena itu Mahkamah Konstitusi sering dinilai menjadikan dirinya sebagai lembaga yang super body sebab dengan selalu berlindung di dalam ketentuan UndangUndang Dasar bahwa putusannya bersifat final dan mengikat, lembaga ini adakalanya membuat putusan-putusan yang justru dapat dinilai melampaui kewenangan konstitusionalnya.52 Menurut Eman Suparman bahwa: “Saat ini kewenangan Mahkamah Konstitusi sangat luas terkait pengaturan pengujian UndangUndang yang menyangkut lembaga tersebut. Sehingga dapat saja membatalkan pengujian undangundang jika hal tersebut terkait mengatur pengawasan atau supervisi, sehingga peraturan apapun yang dianggap menghambat kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat dibatalkan dan dianggap bertentangan dengan konstitusi dalam hal ini tidak ada lembaga negara lain yang dapat membina Mahkamah Konstitusi”. 53. Hal tersebut terkait Pengujiaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial pada tahun 2006 yang diajukan oleh 31 hakim agung terkait pengawasan hakim agung oleh Komisi Yudisial, ketika itu Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon tetapi mengabulkan dengan amar bahwa Komisi Yudisial tidak dapat mengawasi hakim konstitusi, padahal hal tersebut tidak dimintakan oleh hakim. 52. Ibid. hlm. 278 Wawancara penulis dengan Eman Suparman Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial pada 2 februari 2015 53.

(30) agung (pemohon). Selain itu ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 pada akhir 2013 yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,yang pada intinya bahwa mengamanatkan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang membentuk tim pengawas hakim konstitusi, juga dibatalkan atau dianggap bertentangan dengan konstitusi. Sehingga saat ini bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki pengawasan secara eksternal, melainkan dilakukan secara internal. Hal tersebut yaitu dengan adanya Dewan Etik Hakim Konstitusi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2013 serta Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014. Pengawasan terhadap hakim konstitusi dilakukan oleh majelis kehormatan yang dibentuk dan bersifat ad hoc apabila muncul dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan pidana oleh hakim konstitusi. Mekanisme pengawasan oleh majelis kehormatan di Mahkamah Konstitusi sesungguhnya juga telah terdapat di Mahkamah Agung dan badanbadan peradilan lain di bawah Mahakamah Agung.54 Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi, Dewan Etik adalah “Perangkat yang dibentuk Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku Hakim Konstitusi, serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama)”. Sedangkan yang dimaksud Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dalam“Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis Kehormatan Konstitusi adalah :. 54. Patrialis Akbar, Lembaga-Lembaga.., Loc.Cit..

(31) “Perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait dengan laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang disampaikan oleh Dewan Etik”.. Dalam peraturan yang sama Pasal 1 angka 3 yang dimaksud Dewan Etik adalah : “Perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait dengan laporan dan informasi mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang disampaikan oleh masyarakat”.. Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi menyebutkan Tugas dan Wewenang dalam Pasal 3 yaitu : Dewan Etik mempunyai tugas: a. Menjaga dan meneggakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku Hakim, serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, supaya Hakim tidak melakukan pelanggran; b. Pelanggran sebagaimna dimaksud pada huruf a adalah: m. Melakukan perbuatan tercela, ii. tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajiban selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, iii. melanggar sumpah atau janji jabatan, iv. dengan sengaja menghambat Mahkamah memberi putusan dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sebagaimna dimaksud dalam Pasal 7B ayat 4 UUD 1945, v. melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, vi. melanggar larangan sebagi hakim untuk: 1. Merangkap jabatan sebagi pejabat negara lainnya, anggota partai politik, pengusaha, advokat, atau pegawai negeri, 2. Menrima suatu pemberian atau janji dari pihak yang berpekara, baik langsung maupun tidak langsung; dan/atau 3. Mengeluarkan pendapat atau peryataan di luar persidangan atau suatu perkara yang sedang ditangganya mendahului putusan, vii. tidak melaksanakan kewajiban sebagai Hakim untuk: 1. 2.. c. d. e.. f.. Menjalankan hukum acara sebagaimna mestinya; Memperlakukan para pihak yang berpekara dengan adil, tidak diskriminasi, dan tidak memihak; dan 3. Menjatuhkan putusan secara objektif didasarkan pada fakta dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan pengumpulan, pengolahan dan penelaahan laporan dan informasi tentang perilaku Hakim; Memrikasa Hakim Terlapor atau Hakim yang Diduga melakukan pelanggran sebagimana dimaksud pada huruf a; Menyampaikan laporan dan informasi yang telah dikumpulkan, diolah, dan ditelaah tentang perilaku Hakim Terlapor atau Hakim yang diduga melakukan pelanggran sebagimna dimaksud pada huruf a dalam sidang Majelis Kehormatan; Menyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara tertulis setiap bulan kepada Mahkamah.. Sementara didalam Pasal 4 menyebutkan wewenang Dewan Etik adalah :.

(32) a. b. c.. d.. Memberikan pendapat secara tertulis atas pertanyaan hakim mengenai suatu perbuatan yang mengandung keraguan sebagai pelanggran sebagimna dimaksud dalam pasal 3 huruf a; Memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim yang Didug melakukan pelanggran, pelapor, serta pihak lain yang berkaitan; Memberikan teguran lisan atau tertulis kepad Hakim Terlapor atau Hakim yang Diduga telah melakukan pelanggaran ringan terhaap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a; Mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim yang Diduga telah melakukan pelanggran berat terhadap ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, serta dalam hal Hakim Terlapor atau Hakim yang diduga melakukan pelanggar telah mendapatkan teguran lisan dan/ atau tertulis sebanyak 3 (tiga) kali.. Sementara yang menjadi Tugas dan Wewenang Majelis Kehormatan tertulis dalam Pasal 12 dan 13 peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Pasal 12 yaitu: Majelis kehormatan mempunyai tugas: a.. b. c.. Melakukan pengolahan dan penelaaahan terhadap laporan yang diajukan oleh Dewan Etik mengenai dugaan pelanggran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, serta mengenai Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah mendapatkan terguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali; Memyampaikan keputusan Majelis Kehormatan kepada Mahkamah Konstitusi.. Sedangkan dalam Pasal 13 menyebutkan wewenang Majelis Kehormatan: a. Memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau hakim terduga yang diajukan oleh Dewan Etik sebagimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk memberikan penjelasan dan pembelaan, termasuk untuk dimintai dokumen atau alat bukti lain; b. Memanggil dan meminta keterangan pelaopr, saksi dan/atau pihak lain yang terkait dengan dugaan pelanggran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga sebagaimna dimaksud dalam pasal 12 untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen dan alat bukti lain; dan c. Menjatuhkan keputusan berupa sanksi atau rehabilitasi.. Sehingga, dari hal tersebut dapat dipahami bahwa apabila Dewan Etik menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan bahwa hakim konstitusi telah melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, maka Dewan Etik akan memproses peloran tersebut sesuai dengan kewenangannya, apabila terbukti bahwa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga melakukan pelanggaran maka Dewan Etik akan memberikan sanksi teguran atau tertulis bila menyangkut pelanggaran ringan.Tetapi,apabila menyangkut pelanggaran berat maka Dewan Etik akan.

(33) mengusulkan pembentukan suatu Majelis Kehormatan, maka Majelis Kehormatanlah yang akan memproses dan memberikan sanksi bila benar-benar terbukti bahwa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga melakukan pelanggaran berat. Bahwa pada saat ini tidak badan lembaga formal kenegaraan yang diberikan wewenang untuk mengawasi hakim konstitusi. Akibatnya terjadi perbedaan perlakuan negara terhadap hakim Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan lain dibawah Mahkamah Agung dengan hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi di mana untuk pihak pertama dilakukan pengawasan oleh Komisi Yudisial adapun pihak kedua tidak ada pengawasan oleh Komisi Yudisial padahal kedua pihak sama-sama hakim.55 Hal itulah yang menimbulkan adanya Pro dan Kontra sebab Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pemegang puncak Kekuasaan Kehakiman bersama dengan Mahkamah Agung. Seharusnya sama halnya dengan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya yang mendapat pengawasan secara eksternal oleh lembaga Negara lain yaitu Komisi Yudisial, hal yang sama juga seharusnya berlaku bagi Mahkamah Konstitusi. Selain itu, bahwa saat ini Mahkamah Konstitusi masih menjadi lembaga Negara yang kebal terhadap pengawasan secara eksternal di bidang etik oleh lembaga negara lain. Sebab, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal-pasal dalam UndangUndang yang memberi kewenangan Komisi Yudisial menjadi pengawas Mahkamah Konstitusi. Artinya, Mahkamah Konstitusi lebih memilih membentuk lembaga pengawas secara internal. Oleh sebab itu, menjadi wajar jika ada gagasan agar dilakukan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ke 5 (lima) serta melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi agar dapat membatasi kewenangan dan dapat mengontrol Mahkamah Konstitsusi. Arahnya adalah. 55. Ibid. hlm. 208.

(34) larangan bagi Mahkamah Konstitusi agar tidak membuat putusan yang melampaui wewenangnya dan termasuk ke ranah lain seperti ranah legislatif dan yudikatif.56 Selain itu juga penegasan didalam konstitusi dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi bahwa Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berwenang mengawasi hakim Mahkamah Konstitusi. Sebab jika tidak demikian dalam hal ini siapakah yang dapat mengawasi para hakim konstitusi yang dianggap dapat melampaui batas kewenangannya... 56. Dimyati Hartono, Loc.Cit. hlm. 278.

(35)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk Menghasilkan produk asap cair dari limbah kebun kelapa sawit berupa pelepah dan tandan kosong sawit serta untuk mengetahui kandungan

[r]

Peserta adalah siswa/i SMP/MTs/sederajat dan SMA/MA/sederajat dengan status pelajar pada sekolah yang sama.. Peserta lomba

Analisis regresi ganda ialah suatu alat analisis peramalan nilai pengaruh dua variabel bebas atau lebih terhadap variabel terikat untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan

Dengan mengucapkan puji dan syukur selalu dipanjatkan atas kehadirat Allah Swt dan tidak lupa junjungan kepada Nabi Besar Muhammad Saw beserta keluarga dan pengikutnya

Dalam rangka persiapan penyelenggaraan Ujian sekolah Berstandar Nasional (USBN) dan Ujian Nasional (UN) SMP{MTs Tahun Pelajaran 20 16{20 17, maka Dinas Pendidikan dan

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hidayat tentang identifikasi residu pestisida klorpirifos dan profenofos pada bawang merah (allium

Seberapa jauh citra satelit ALOS/AVNIR-2 dan SPOT-4 dapat digunakan untuk mengidentifikasi perubahan tutupan lahan, perubahan garis pantai, serta perubahan tingkat