• Tidak ada hasil yang ditemukan

Naskah diterima tanggal 25 Mei Naskah direvisi tanggal 12 Agustus Naskah disetujui tanggal 16 September 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Naskah diterima tanggal 25 Mei Naskah direvisi tanggal 12 Agustus Naskah disetujui tanggal 16 September 2016"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEWENANGAN ATRIBUSI, DELEGASI, MANDAT DAN

DISKRESI DALAM MENINGKATKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TH. 2014

TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Analysis Attribution Authority, Delegation, Mandate, and Discretion Increase

in Good Governance Under Law No. 30 Th. About 2014 Government Administration

Muskamal

Pusat Kajian dan Pendidikan Aparatur II Lembaga Administrasi Negara Jl. Raya Baruga Antang No. 48 Makassar

Email : Muzkamal426@gmail.com

Naskah diterima tanggal 25 Mei 2016. Naskah direvisi tanggal 12 Agustus 2016. Naskah disetujui tanggal 16 September 2016

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang kewenangan yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui kewenangan atribusi, delegasi, mandat dan diskresi. Tujuannya adalah untuk menganalisis secara normatif dan teoritis ketiga kewenangan tersebut serta persoalan konkret yang dihadapi dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik. sehingga dihasilkan pola tindak administrasi yang demokratis, objektif, dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum sangat dibutuhkan. demikian juga dengan diskresi tidak selamanya digunakan dalam melayani kepentingan umum, terutama jika telah ada pedoman peraturan yang jelas terhadap urusan tertentu yang dilaksanakan oleh administrasi negara, sehingga diskresi dimaksud adalah bukan tanpa wewenang atau sewenang wenang, juga bukan melampaui batas kewenangan maupun mencampuradukkan kewenangan oleh badan atau pejabat administrasi, melainkan kewenangan yang melekat dalam lingkup jabatan administrasi yang tertentu dan digunakan untuk melaksanakan fungsi khusus tertentu dalam penyelenggaraan administrasi negara.

Kata Kunci : Kewenangan Atribut, delegatif, Mandat, diskresi, Administrasi Pemerintahan Abstract

This paper discusses the authority possessed by the Agency and / or government officials, or other state officials to make decisions and / or actions in governance through the attribution of authority, delegation, mandate and discretion. The goal is to analyze the normative and theoretical authority of the third and concrete problems encountered in efforts to improve good governance. so that the resulting pattern of administrative acts of a democratic, objective and professional in order to create justice and legal cer-tainty is needed. as well as the discretion is not always used in serving the public interest, especially if it has no regulatory guidelines clear to the affairs of particular carried out by the administration of the state, so the discretion in question is not without authority or arbitrary, nor is overreaching and mix up authority by agency or administration officials, but the authority inherent in the scope of certain administrative positions and used to perform certain special functions in the Government Administration.

Key Words: Attribute Authority, Discretionary, Mandates, Discretion, Government Administration

PENDAHULUAN

S

esuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat

ter-wujudnya kesejahteraan masyarakat melalui pening-katan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2)

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang ber-tujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Namun demikian, dengan adanya Otonomi Daerah dan pemberian kewenangan pemerintah pusat ke daerah tidaklah selalu berjalan mulus disana sini banyak masalah diantaranya adalah, adanya kesem-patan bagi oknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme, terkadang ada kebijakan-kebijakan  daerah  yang  tidak  sesuai dengan konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetang-ganya, atau bahkan daerah dengan Negara, rendahnya kemampuan daerah dalam menyusun regulasi dalam rangka mengatur dan mengurus rumah tangga daerah-nya masing-masing. Orientasi daerah yang meng-inginkan adanya peningkatan Pendapatan Asli Daerah melalui peraturan daerah untuk menambah anggaran pembangunan di daerah ternyata berpotensi men- jadi boomerang yang justru mengurangi tingkat per-tumbuhan ekonomi di suatu daerah, Penyusunan regulasi yang tidak sesuai dengan teknik legal drafting juga pada akhirnya berpotensi membuat peraturan daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme serta memungkinkan terjadinya kontrol yang kuat dari para elit politik di tingkat lokal (daerah), dampak otonomi daerah yang negatif karena tidak diimbangi dengan kesiapan seluruh pihak yang akan berperan dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, serta tidak didahului dengan penyiapan infrastruktur yang memadai, baik itu berupa sarana dan prasarana fisik maupun regulasi atau peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif, Eksploitasi Pendapatan Daerah (Bambang, 2011)

Oleh karna itu, agar menjamin pelindungan kepada warga Masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara, maka diaturlah dalam sebuah Undang-Undang yang disebut Undang-Undang Admi-nistrasi Pemerintahan. Undang-Undang AdmiAdmi-nistrasi Pemerintahan ini menjamin hak-hak dasar dan mem-berikan pelindungan kepada warga Masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara seba-gaimana dituntut oleh suatu negara hukum sesuai

dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, Warga Masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengaktualisasikan secara khusus norma konstitusi hubungan antara negara dan Warga Masyarakat. Pengaturan Administrasi Peme-rintahan dalam Undang-Undang ini merupakan instrumen penting dari negara hukum yang demokratis, dimana Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya yang meliputi lembaga-lembaga di luar eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang menyelenggarakan fungsi peme-rintahan yang memungkinkan untuk diuji melalui Pengadilan.

Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini menjamin bahwa Keputusan dan/ atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan terhadap Warga Masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-mena. Dengan Undang-Undang ini, Warga Masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan negara. Undang-Undang ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, Undang-Undang ini harus mampu mencip-takan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien.

Pengaturan terhadap Administrasi Pemerintahan pada dasarnya adalah upaya untuk membangun prinsip-prinsip pokok, pola pikir, sikap, perilaku, budaya dan pola tindak administrasi yang demokratis, objektif, dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Undang-Undang ini merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur kembali Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Peme-rintahan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

Undang-Undang ini dimaksudkan tidak hanya sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan peme-rintahan, tetapi juga sebagai instrumen untuk mening-katkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan Undang-Undang ini benar-benar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah. Oleh karenanya, berdasarkan

(3)

Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 kewenangan untuk mengeluarkan Keputusan Administrasi Peme-rintahan ada tiga sumber wewenang, yaitu (1) Atribusi), (2) Delegasi. (3) Mandat, yang perlu dikaji lebih dalam lagi secara teoritis dan aksiologi sifat dan bentuknya. Demikian halnya dengan diskresi untuk mema-hami dan mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan badan atau pejabat pemerintah perlu extra hati hati dalam peng-ambilan keputusan sehingga diskresi dimaksud adalah bukan tanpa wewenang atau sewenang wenang, juga bukan melampaui batas kewenangan maupun men-campuradukkan kewenangan melainkan kewenangan yang melekat dalam lingkup jabatan administrasi yang tertentu dan digunakan untuk melaksanakan fungsi khusus tertentu dalam penyelenggaraan administrasi negara. Berdasarkan hal tersebut, dalam tulisan ilmiah ini, penulis akan membahas kewenangan atribusi, dele-gasi, mandat Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah ber-dasarkan Undang-undang No.30 tahun 2014 serta analisis diskresi Undang-undang No.2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 14 ayat 1 berdasarkan Undang-undang No.30 tahun 2014?

TINJAUAN PUSTAKA

Kewenangan Atribusi, Delegasi, Mandat

Atribusi adalah pemberian kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.  (Pasal  1  Butir  22  )  Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. (Pasal 1 Butir 23). Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat. (Pasal 1 Butir 24) diperoleh melalui atribusi, delegasi, dan/atau mandat. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh wewenang melalui atribusi apabila: a. Diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang;

b. Merupakan wewenang baru atau sebelumnya tidak ada

c. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau pejabat Pemerintahan.

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mem-peroleh wewenang melalui atribusi, tanggung jawab kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan. Kewenangan atri-busi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh wewenang melalui delegasi apabila: diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau Pejabat Peme-rintahan lainnya, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah, merupakan wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada.

Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak dapat dide-legasikan lebih lanjut, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan lain . Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mem-peroleh wewenang melalui delegasi dapat mensub-delegasikan tindakan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain dengan ketentuan: dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum wewenang dilaksanakan, dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri, paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya.

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan delegasi dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah diberikan melalui delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pelaksanaan wewenang berdasarkan delegasi menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mem-berikan pendelegasian kewenangan dapat menarik kembali wewenang yang telah didelegasikan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui delegasi, tanggung jawab kewe-nangan berada pada penerima delegasi. Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan memperoleh mandat apabila: ditugaskan oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan di atasnya dan merupakan pelaksanaan tugas rutin.

Badan dan/atau Pejabat pemerintahan dapat memberikan mandat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang menjadi bawahannya, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menerima Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mem-berikan mandat.

(4)

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mem-berikan mandat dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah diberikan melalui mandat, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pelaksanaan wewenang berdasarkan man-dat menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memberikan mandat dapat menarik kembali wewenang yang telah dimandatkan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang ber-dampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tanggung jawab kewe-nangan tetap pada pemberi mandat.

Oleh karnanya, berdasarkan 3 kewenangan diatas badan/pejabat publik perlu berhati hati dalam meng-gunakan kewenangan atribut dan non atribut tersebut, sebagaimana telah dituangkan dalam pasal 17 Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang Larangan Penyalah-gunaan Wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerin-tahan meliputi:

a. Larangan melampaui Wewenang;

b. Larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau

c. Larangan bertindak sewenang-wenang. Diskresi

Dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2014 dijelaskan bahawa Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan peme-rintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Adapaun diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang. Setiap penggunaan diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk: melan-carkan penyelenggaraan pemerintahan,mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Adapun ruang lingkup Diskresi Pejabat Pemerintahan meliputi:

a. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan ber-dasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Kepu-tusan dan/atau Tindakan;

b. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur;

c. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan

d. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

Adapun Pejabat Pemerintahan yang meng-gunakan diskresi harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);

b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

c. Sesuai dengan AUPB

d. Berdasarkan alasan-alasan yang objektif; e. Tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan f. Dilakukan dengan iktikad baik.

Dalam hal penggunaan diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam, Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada Atasan Pejabat sebelum penggunaan Diskresi dan melaporkan kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi. Pemberi-tahuan sebelum penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang berpotensi menimbulkan keresahan masya-rakat. Pelaporan setelah penggunaan Diskresi sebagai-mana dimaksud dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang terjadi dalam keadaan darurat, keadaan mendesak, dan/ atau terjadi bencana alam.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka (Library research) yaitu metode penelitian yang didasarkan pada data tertulis, baik yang berasal dari regulasi, jurnal, buku maupun sumber-sumber tertulis lainnya yang berguna dan mendukung penelitian (Sutrisno, 2004). Dilihat dari sifatnya penelitian termasuk dalam penelitian deskriptif-analitis, maksudnya mengembangkan data-data yang ada dengan menggambarkan secara komprehensif sesuai dengan pokok bahasan yang dilakukan secara mendetail dan kritis terhadap data-data tersebut.

(5)

PEMBAHASAN

Sifat dan Sumber Kewenangan

Kewenangan memiliki 2 sifat (dua) macam, yakni kewenangan yang bersifat atributif dan kewenangan yang bersifat non atributif.

1. Kewenangan yang bersifat atributif adalah kewenangan yang melekat yang langsung diberikan oleh undang-undang. Hal ini juga dikemukan oleh Philipus M.Hadjon (1994; 20), kewenangan yang dimilki oleh lembaga pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata untuk meng-adakan pengaturan atau mengeluarkan kepu-tusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, dele-gasi atau mandat.

Polanya mengandung beberapa alternatif, yakni materi yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam peraturan perundang-undangan yang telah mendelegasikan tetapi materi itu harus diatur hanya di dalam peraturan per-undang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke peraturan per-undang-undangan yang lebih rendah atau sub-delegasi.

2. Kewenangan non-atributif adalah kewenangan yang diberikan oleh atasan kepada bawahannya dan hanya bersifat sementara. Kewenangan non-atributif terbagi menjadi 2 jenis berdasarkan pertanggungjawaban yakni mandat dan delegatif. - Mandat adalah wewenang yang diberikan oleh atasan kepada bawahan dimana letak pertanggungjawabannya tetap melekat kepada si pemberi mandat. Hal tersebut dimaksudkan agar bawahan dapat membuat keputusan atas nama pejabat yang memberi mandat. Dalam pemberian mandat, pemberi mandat dapat menggunakan kewenangan yang telah diberikannya itu setiap saat. Penerima mandat atau mandataris tidak dapat memberikan mandat kepada orang lain. - Delegasi, Menurut Maria Farida (2000 :

55-56), “delegasi kewenangan dalam pemben-tukan peraturan perundang-undangan adalah pelimpahan kewenangan mem-bentuk peraturan yang lebih tinggi ke-pada peraturan yang lebih rendah, baik dinyatakan dengan tegas mamupun tidak dinyatakan dengan tegas”. Pada kewe-nangan delegasi tidak diberikan, melainkan bersifat sementara, kewenangan dapat

diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada. Delegasi adalah penye-rahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain. Hal tersebut berarti ada perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi kepada yang mene-rima delegasi. Ketika penyerahan delegasi dilakukan maka aparat penerima delegasi tersebut berwenang menciptakan suatu produk hukum, contohnya: adalah ketika Pemerintah Pusat mendelegasikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk membuat Peraturan Daerah di daerah masing-masing sehingga Pemerintah Daerah bertanggung jawab penuh atas kewenangan delegasi yang diterimanya.

Berdasarkan pendapat tersebut, pada dasarnya terdapat perbedaan antara delegasi dan mandate, hal ini kemudian dijelaskan sebagai berikut dalam hal delegasi, mengenai prosedur pelimpahannya berasal dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerin-tahan lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan tanggung jawab gugat beralih kepada delega-tataris/penerima delegasi. Pemberi delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali se-telah ada pencabutan dengan berpegang asas contarius actus, artinya setiap perubahan, pen-cabutan suatu peraturan perundang-undangan dila-kukan oleh pejabat yang menetapkan peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan yang setingkat atau yang lebih tinggi.

Dalam hal mandat, prosedur pelimpahan dalam rangka hubungan atasan bawahan yang bersifat rutin. Adapun tanggun jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat. Setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu. Syarat-syarat delegasi antara lain:

a) Delegasi harus definitif, artinya pemberi delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.

b) Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;

c) Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diper-kenankan adanya delegasi;

d) Kewajiban memberi keterangan/penjelasan, artinya pemberi delegasi/delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;

(6)

e) Peraturan kebijakan artinya pemberi delegasi memberikan instruksi/petunjuk tentang peng-gunaan wewenang tersebut.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dalam pasal 5 dinyatakan:

(1) Kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan ke-uangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipi-sahkan.

(2) Dalam pelaksanaan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sekretaris daerah ber-tindak selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.

(3) Pelimpahan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan keputusan kepala daerah berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) PP Nomor 58 tahun 2005 dinyatakan: “kewenangan yang didele-gasikan minimal adalah kewenangan yang berkaitan dengan tugas sebagai bendahara umum daerah”. dilihat dari tugas dan kewajiban dari sekretaris daerah yang tercantum dalam pasal 213 ayat (2) UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan : mempunyai tugas membantu kepala daerah dalam penyusunan kebijakan dan pengoordinasian adminis-tratif terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta pelayanan administratif.

Berdasarkan Undang- Undang No 30 tahun 2014, delegasi yang dilakukan oleh kepala daerah kepada sekretaris daerah atau perangkat pengelola keuangan negara tidak dapat diklasifikasikan sebagai delegasi karena sekretaris daerah dan perangkat pengelola keuangan daerah adalah bawahan/pembantu kepala daerah. pada delegasi semu menimbulkan permas-alahan dari segi hukum administrasi berkaitan dengan KTUN ( Keputusan tata usaha Negara ) kepada siapa tuntutan diajukan, karena di dalam hukum administrasi kepala daerah sebagai pejabat yang mewakili pemerintah daerah baik eksternal maupun internal bukan sekretaris daerah.

Hal tersebut berbeda dari aspek pidana, dalam hal terjadi mandat menurut hukum pidana yang bertanggung jawab adalah mandatoris atau delegatoris, karena dalam hukum pidana pertanggungjawaban pidana dikenal dengan pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility). misalnya dalam penge-lolaan keuangan daerah, kepala Daerah melakukan

penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi tindak pidana korupsi maka kepala daerah tersebut yang harus bertanggung jawab secara pribadi, meskipun dilihat dari segi konsep delegasi wewenang hal tersebut keliru.

Seharusnya dalam pengelolaan keuangan daerah (PP Nomor 58 Tahun 2005), Kepala Daerah sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah mendelegasikan sebagian atau seluruhnya kepada Sekretaris Daerah dan atau perangkat pengelola keuangan daerah. Penetapan pendelegasian wewe-nang kepada perangkat pengelola keuangan daerah tersebut dengan Surat Keputusan Kepala Daerah. Penetapan tersebut merupakan salah satu syarat pelak-sanaan anggaran.

Hal ini juga telah ditegaskan dan disebutkan dalam pasal 13 Butir 4 dalam Undang-Undang No.30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan: Bahwa Badan atau pejabat pemerintahan dapat menerima pendele-gasaian dengan ketentuan ada peraturan yang telah dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum wewenang dilaksanakan baru bisa dilaksanakan dilingkungan sekretariat daerah, namun bila selama tidak ada surat keputusan Kepala daerah maka hal ini tidak termasuk dalam pendelegasian, bahkan bila tetap dilanjutkan tanpa ada surat keputusan kepala daerah maka di-anggap melampaui wewenang dan dikenai sanksi ad-ministratif ringan ataukah sedang.

Jadi jelas Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah, jelas bukan delegasi karena dalam konsep pelimpahan wewenang dengan cara delegasi tidak diperuntukkan pelimpahan wewe-nang dari atas ke bawahan, meskipun dalam pasal 13 butir 4 c Undang-Undang No.30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan disebutkan bahwa wewe-nang paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya. Tetapi perlu juga diketahui bahwa kepala daerah adalah jabatan politis dan Sekretaris daerah adalah jabatan karir, jadi sangatlah berbeda dari segi hirarki kebijakan.

Sekretaris Daerah dan Perangkat Pengelola Keuangan Daerah secara hirarkhi sebagai bawahan dari Kepala Daerah. Oleh karnanya, dalam hal per-tanggungjawaban terhadap si pelaku perlu dibedakan pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan) dengan prinsip pertanggungjawaban perorangan atau individu (personal responsibility) sebagaimana ber-laku sebagai prinsip dalam hukum pidana.

Analisa berikutnya adalah apakah Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Sekretaris

(7)

Daerah atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah, termasuk mandat? Berdasarkan Pasal 16 butir 7 Undang-undang Nomor 30 tahun 2014 tentang adminis-trasi pemerintahan: berbunyi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/ atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran. Maka sudah jelas bahwa tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian kewenangan, pejabat yang diberi mandat (mandataris) bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans). di dalam pemberian mandat, pejabat yang memberi mandat (mandans) menunjuk pejabat lain (mandataris) untuk bertindak atas nama mandans (pemberi manda) apalagi terkait keuangan daerah.

Dalam kaitan dengan konsep atribusi berdasarkan UU No 30 tahun 2014 itu bahwa “atribusi”, kewe-nangan diberikan kepada suatu badan administrasi oleh suatu badan legilatif yang independen. kewenangan ini asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan putusan kewenangan sebelumnya dan memberikannya kepada yang berkompeten. Dalam kasus diatas, kewenangan pengelolaan keuangan daerah sepenuhnya adalah kewenangan atribut dari Kepala daerah. Bukan kewenagan atribut dari Sekretaris Daerah.

Delegasi ditransfer dari kewenangan atribusi dari suatu badan administrasi yang satu kepada lainnya, sehingga delegator/delegans (badan yang telah mem-berikan kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya. pada mandat tidak terdapat suatu transfer kewenangan, tetapi pemberi mandat (mandans) memberikan kewenangan pada badan yang lain (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Jadi, ada perbedaan yang mendasar dengan yang lain antara kewenangan atribusi dan delegasi. pada atribusi, kewe-nangan yang siap ditransfer, tidak demikian dengan delegasi. dalam kaitan dengan asas legalitas kewe-nangan tidak dengan didelegasikan secara besar-besaran, akan tetapi hanya mungkin di bawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi.

Diskresi

Setelah disahkan dan telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan ternyata terrdapat permasalahan yang urgen yang akan dikritis yaitu

mengenai hak diskresi pejabat pemerintahan dalam mengambil suatu tindakan atau keputusan. Pengertian diskresi berdasarkan Pasal 1 Butir 9 menyebutkan bahwa diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundangundangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Kemudian dasar hak untuk menggunakan diskresi tertuang jelas dalam Pasal 6 ayat (2) huruf e yang menyebutkan bahwa menggunakan diskresi sesuai dengan tujuannya. Pada Pasal 7 ayat (2) huruf d disebutkan pula kewajiban pejabat pemerintahan adalah untuk mematuhi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dalam menggunakan diskresinya.

Diskresi menurut Nana Saputra (1988 : 15) yakni “ Suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu suatu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi negara mengutamaan keefektifan tercapainya suatu tujuan daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum, atau kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas menyelenggarakan kepentingan umum”.

Pasal 386 Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah dengan tegas menya-takan, dalam rangka peningkatan kinerja penyeleng-garaan pemerintahan daerah, pemerintah daerah dapat melakukan inovasi. Inovasi merupakan semua bentuk pembaruan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang harus berpedoman pada sejumlah prinsip penting, seperti peningkatan efisiensi, perbaikan efektivitas, perbaikan kualitas pelayanan, dan sejenisnya.

Bahkan, Pasal 389 Undang-Undang Pemerin-tahaan Daerah menegaskan, dalam hal : pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan pemda dan inovasi tersebut tak mencapai sasaran yang telah ditetapkan, aparatur sipil negara tak dapat dipidana. Namun, pelaksanaan inovasi itu mengharuskan dipenuhinya persyaratan prosedur dan substansi yang cukup ketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan inovasi daerah.

Undang-Undang No 30 tahun 2014 Administrasi pemerintahan juga mengatur bahwa pejabat peme-rintah diberi kewenangan menggunakan diskresi dalam pelaksanaan kebijakan. Namun, penggunaan wewe-nang diskresi tersebut harus didasarkan atas tujuan yang bersifat limitatif, sebagaimana diatur pada Pasal

(8)

22 Ayat (2) Undang-Undang No. 30 tahun 2014 ten-tang Administrasi pemerintahan, antara lain, melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan.

Berikut ini kasus dari diskresi dan analisisnya : seorang polisi lalu lintas sedang bertugas di traffic light/ lampu merah, tepat di depannya ada pengendara yang menerobos lampu merah, tapi si petugas masa bodoh, pura pura tidak tahu, tanpa himbauan dan tanpa tindakan apapun dari polisi tersebut. Pertanyaannya: 1. Adakah suatu hukum ataupun pelanggaran disiplin yang bisa dikenakan kepada polisi tersebut yang jelas-jelas membiarkan pelanggaran? Mengingat salah satu tugas pokok polisi adalah melindungi masyarakat, dalam hal ini melindungi si pengemudi supaya tidak terjadi kecelakaan. 2. Apa dasar hukumnya?

Pada dasarnya, Kepolisian Negara Republik In-donesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam Pasal  4 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Pasal 5 ayat [1] Undang-undang No.2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia). Sehubungan dengan lalu lintas jalan, dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b Undang-undang No.2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ditegaskan bahwa Polri bertugas menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.

Terus bagaimana mengenai aturan kedisiplinan Polri, aturan ini terdapat dalam peraturan pelaksana Undang-undang No.2/2002 yaitu Peraturan Peme-rintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Menurut Pasal 4 huruf f PP 2/2003, anggota Polri wajib menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. yang berarti bahwa Polri dalam menjalankan tugasnya harus menaati peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah Undang-undang No.2/2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, bahkan Berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, anggota Polri yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin.Tindakan disiplin berupa teguran lisan dan/ atau tindakan fisik (Pasal 8 ayat [1] Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indo-nesia). Tindakan disiplin tersebut tidak menghapus kewenangan Atasan yang berhak menghukum untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin (Pasal 8 ayat [2] Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Mengenai hal ini, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indo-nesia juga mengatur hal serupa sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 huruf b Perkapolri No.14/2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indo-nesia. Dikatakan bahwa setiap anggota Polri wajib menjaga keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Berdasarkan Pasal  20  Perkapolri  No.14/2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jika ada anggota Polri yang diduga melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan/atau larangan dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 16 Perkapolri 14/2011, maka orang tersebut akan dinyatakan sebagai Terduga Pelanggar. Terduga Pelanggar akan dinyatakan sebagai Pelanggar setelah dilakukan pemeriksaan dan mendapatkan putusan melalui sidang Komisi Kode Etik Polri. Terhadap anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar, dapat dikenakan sanksi berupa (Pasal 21 Perkapolri No.14/2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia):

a.   Perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;

b.   Kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;

(9)

mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan;

d. Dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang ber-sifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; e.   Dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat

Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; f.    Dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang

ber-sifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau

g.  PTDH sebagai anggota Polri.

Berdasarkan Undang-Undang No.2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam pasal 18 ayat 1 disebutkan bahwa: “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.” Dengan syarat yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu bahwa hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memper-hatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bertindak dengan penilaian sendiri ini disebut sebagai diskresi.

Hal ini juga telah sejalan dengan bunyi pasal Pasal 22 ayat (2) Undang-undang No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bahwa Pejabat Peme-rintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:

a. Sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam;

b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. Sesuai dengan AUPB;

d. Berdasarkan alasan-alasan yang objektif; e. Tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan f. Dilakukan dengan iktikad baik.

Berdasarkan pasal 22 diatas, Polisi tersebut melaksanakan diskresi karna didorong oleh itikad baik untuk ingin menjaga kelancaran lalu lintas dan agar semua pengendara kendaraan roda empat dan dua dan pejalan kaki merasa nyaman, dengan tetap memper-hatikan keamanan mereka selama proses diskresi itu. Sehingga tidak terjadi konflik kepentingan antara pengguna jalan.

Beda halnya bila mana yang terjadi adalah Apabila seorang polisi menyuruh pengendara untuk tetap berjalan walau sudah lampu merah, atau menutup sebagian ruas jalan dan mengalihkannya ke jalan lainnya hanya karena faktor kemalasan untuk beraktivitas, maka akibat dari diskresi yang dilakukan justru akan terjadi macet di wilayah lainnya. Dalam kondisi yang demikian, maka diskresi yang dilakukan oleh kepolisian tadi sangatlah tidak tepat, karena yang terjadi hanyalah pemindahan persoalan semata, memindahkan kemacetan dari yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, dipindahkan ke tempat lain dengan harapan agar si pelaku diskresi bisa terbebas dari masalah kemacetan. Maka dapat dikenai berdasarkan Pasal 21 Perkapolri 14/2011) tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selain itu juga, bahkan bisa mendapatkan sanksi berdasarkan Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan Pasal 80 tentang sanksi administratif yang berupa sanksi ringan, sedang dan berat. Karena tidak menggunakan meng-gunakan kewenangan dengan tepat, dan juga ber-tentangan dengan ketentuan Pasal 22 Ayat (2) Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang adminis-trasi pemerintahan: tujuan penggunaan disekresi adalah sebagai berikut:

1. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; 2. Mengisi kekosongan hukum;

3. Memberikan kepastian hukum; dan

4. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

Oleh sebab itu, maka batasan terhadap diskresi menjadi sangat urgen dan mendesak. Batasan toleransi dari diskresi ini dapat disimpulkan dari pemahaman yang diberikan yaitu adanya kebebasan atau kele-luasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; untuk menyelesaikan persoalan-per-soalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral. Oleh karnanya Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 24 dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, tentang Administrasi Pemerintahan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Adapun kesimpulan dari pembahasan di atas adalah sebagai berikut:

(10)

1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah bukan kategori delegasi karena sekretaris daerah dan perangkat pengelola keuangan daerah adalah bawahan/pembantu kepala daerah. kemudian dalam hal terjadi mandat, jika kepala Daerah melakukan penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi tindak pidana korupsi maka kepala daerah tersebut yang harus bertanggung jawab secara pribadi, meskipun dilihat dari segi konsep delegasi wewenang hal tersebut keliru. kewenangan pengelolaan keuangan daerah sepenuhnya adalah kewenangan atribut dari Kepala daerah. Bukan kewenangan atribut dari Sekretaris Daerah.

2. Berdasarkan Undang-undang No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bahwa Pejabat polisi yang bertugas menjaga ketertiban lalu lintas berdasarkan Undang-undang No.2/ 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indo-nesia pasal 14 ayat 1 tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karna telah berdasarkan alasan-alasan yang objektif tidak menimbulkan konflik kepentingan dan dilakukan dengan iktikad baik. Sehingga semua pengendara kendaraan roda empat dan dua dan pejalan kaki merasa nyaman, dan tidak terjadi kemacetan meskipun dengan cara tetap membiarkan pengendara tetap berjalan disaat lampu jalan menandakan merah namun tetap memperhatikan keselamatan dan keamanan pengguna jalan.

SARAN

Perlunya pengembangan konsep dan batasan diskresi dalam Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terutama yang bersumber dari pemahaman yang diberikan yaitu adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral.

DAFTAR PUSTAKA

Hadjon M Philipus., Tentang Wewenang, Makalah,

(1994) Universitas airlangga, Surabaya

Istianto HP Bambang., “ Manajemen pemerintahan

dalam perspektif pelayanan Publik “ (2011).

Mitra wacana Media, Jakarta

Johanes Usfunan, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat

Di Gugat, (2002), Penerbit Djambatan,

Jakarta

Kaho, Josep Riwo M., Analisa Hubungan Pemerintah

Pusat dan Daerah di Indoensia, (2006),

Jakarta: Bina Aksara,

Lubis, M. Solly., Politik dan Hukum Di Era

Reformasi, Bandung: (2000 ) CV. Mandar

Maju,.

Nugroho D. Riant., Otonomi Daerah, Desentralisasi

Tanpa Revolusi Kajian dan Kritik Atas

Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, (2002)

Jakarta: PT. Alex Media Komputindo,.

Manan, Bagir., Menyongsong Fajar Otonomi

Daerah, (2002) Yogyakarta: Pustaka Pelajar,.

Muchsan, Beberapa  Catatan  Tentang  Hukum

Administrasi Negara Dan Peradilan

Administrasi Negara DiIndonesia, (1981)

Lib-erty, Yogyakarta

Muslimin, Amrah., Aspek-Aspek Hukum Otonomi

Daerah, (2002) Bandung: Alumni,.

Pasolang Harbani, “Kepemimpinan Birokrasi”

(2010) Alfhabeta, Jakarta

Ridwan HR. HukumAdministrasi Negara. (2008 )

Jakarta: Raja Grafindo Persada,

Saputra Nana, Hukum Administrasi Negara,

(1988) Rajawali, Jakarta,.

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukkan Peraturan

Perundang-Undangan Yang Baik, (2010)PT

Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Peraturan

Undang-Undang No. 30 tahun 2014 Tentang

Administrasi Pemerintahan

Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah

(11)

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Ttentang

pembentukan peraturan perundang-undangan

Undang-undang Nomor . 25 tahun 2009 tentang

pelayanan publik

Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Undang-undang No.2/2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang

pengelolaan keuangan daerah

Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang

Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara

Republik Indonesia

Perkapolri 14/2011 tentang Kode Etik Profesi

Kepolisian Negara Republik Indonesia

Literatur

Analisis Subtansi UU Nomor 30 tahun 2014 ( Studi

Semiotika Hukum) Oleh Turiman

Fachtu-rahman Nur.

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,

Menguatkan atau melemahkan Upaya

Pemberantasan Korupsi”. Oleh Prof Guntur

Hamzah dalam Seminar Nasional merayakan

HUT IKAHI ke-62 itu kemudian berkembang

di kampus-kampus oleh akademisi,

didis-kusikan di tingkat pemerintah kota/kabupaten

dan pemerintah provinsi hingga pada tahun

2003-2008 sebuh kajian yang lebih dalam

mengenai pengembangan infrastruktur dan

wilayah kota yang kemudian disebut

Mammi-nasata dilakukan oleh Japan International

Co-operation Agency (JICA). Hasilnya berupa

rekomendasi pembangunan empat

.

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan alat penangkapan Trammel Net secara umumnya dapat disimpulkan bahwa kurang ramah lingkungan dibandingkan dengan hasil kajian penggunaan alat penangkapan

Rata-rata jumlah telur cacing antara kelompok yang divaksin dan tanpa divaksin tidak berbeda nyata (P>O,O5), tetapi berbeda nyata (P<O,O5) dengan kelompok yang

Judul Skripsi : Pengaruh Penggunaan Ampas Kecap dalam Ransum sebagai Substitusi Bungkil Kedelai terhadap Konsumsi Pakan, Pertambahan Bobot Badan dan Konversi Pakan

Solusi yang diberikan sistem ini adalah mengurangi kecurangan dalam melakukan presensi yang biasanya banyak dilakukan oleh mahasiswa, meningkatkan keaktifan mahasiswa dan

PT Aneka Tambang (persero) Tbk (ANTM) membukukan laba bersih di semester-I 2011 meningkat sebesar 32 persen yaitu sebesar Rp997 miliar dari periode yang sama di tahun lalu yang

Perencanaan SIKLUS I Pengamatan Perencanaan SIKLUS II Pengamatan Pelaksanaan Refleksi Refleksi Pelaksanaan ?.. Tahap perencanaan yang dilakukan dapat berupa

Rumusan masalah yang akan dipecahkan pada penelitian ini adalah: Bagaimana Kemampuan Berpikir Secara Eksperimen dalam Memecahkan Masalah Fisika Mahasiswa Pendidikan

Karena Saung Si Kucrit memiliki kesan Sunda, maka dengan trennya kalimat yang mengandung bahasa Sunda, akan membuat kalimat “aku mah apa atuh” cocok digunakan