• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

35 PANCASILA SEBAGAI LANDASAN ETIKA BIROKRASI

Zuhrizal Fadhly1 Universitas Teuku Umar email : zuhrizalfadhly@gmail.com

Abstract

Pancasila as a system of philosophy is essentially a value so that it is the source of the elaboration of legal norms, moral norms and other state norms. In the philosophy of Pancasila contained in it a critical, fundamental, rational, systematic and comprehensive (whole) thought and this system of thought is a value, therefore a philosophical thought does not directly present the norms which are the guidelines in an action but a Value that is fundamental. As a belief system, Pancasila can only be meaningful if its values are reflected in the behavior of state servants and citizens as a whole.

Ideally, Pancasila is present in the practice of state power, animating every government policy, becoming the foundation in various political interactions, and encouraging the economic, social and cultural relations of the Indonesian nation. In bureaucratic practice, the practice of Pancasila values should be the ethical foundation. Pancasila should be present as a system that represents the personality of the nation. Governments based on Pancasila Democracy should be a clear reference for all Indonesian citizens at various levels of life. Looking at all these possibilities, it is only natural that at the level of further analysis of Pancasila as bureaucratic ethics should be emphasized as a benchmark to assess the success of the nation to build a system of government in favor of the interests of the people.

Kata Kunci : Pancasila Landasan Etika, Birokrasi Pancasilais

Pendahuluan

Perilaku individu dalam setiap segi kehidupan memberikan pengaruh bagi keadaan di sekitarnya. Dalam berorganisasi khususnya organisasi pemerintah, hal ini menjadi hal yang sangat penting karena ini merupakan bekal dasar yang harus dimiliki oleh seorang individu saat berada di dalam suatu lingkungan, selain itu hal ini pun menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. Saya memutuskan untuk membahas mengenai Pancasila Sebagai Landasan Etika Birokrasi karena ini merupakan cikal bakal terciptanya suatu sistem pemerintahan yang sukses dan tidak melenceng dari jalur norma-norma yang ada. Alasan lain saya memilih

1

(2)

36

bahasan ini adalah menguatnya fenomena korupsi, kolusi, nepotisme dan segala bentuk penyelewengan lainnya yang telah menggerogoti institusi pemerintahan, baik level pusat maupun level daerah. Masih banyaknya birokrasi sebagai penyelenggara pemerintahan yang melakukan pelanggaran etika dan moral dalam melaksanakan tugasnya.

Birokrasi sebagai penyelenggara kekuasaan di pemerintahan dalam bertindak dan bertugas tidak boleh melanggar dan menyimpang keluar dari etika dan moral. Kalau birokrasi dalam melaksanakan tugasnya berperilaku dan bertindak tidak berlandaskan etika, dan moral yang ditetapkan maka bangsa, dan negara ini tinggal menunggu kehancurannya. Masalah etika yang terjadi saat ini merupakan masalah yang semakin mendapat perhatian di dunia, bahwa cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia baru haruslah dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan kehidupan yang dibangun oleh orde baru. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari adanya KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Dalam membahas

Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Kalau berbicara tentang etika birokrasi berarti kita berbicara tentang bagaimana aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan yang seharusnya dan semestinya, yang pantas untuk dilakukan dan yang sewajarnya dimana telah ditentukan atau diatur untuk ditaati dan dilaksanakan.

Pembahasan

Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan. Dalam pengertian kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan sebetulnya tercakup juga adanya kesediaan karena kesusilaan dalam dirinya minta ditaati pula oleh

(3)

37

orang lain. Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu etika meliputi kesediaan dan kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin dikenal dengan kata Mores yang berarti kesusilaan, tingkat salah satu perbuatan (lahir, tingkah laku), kemudian perkataan Mores tumbuh dan berkembang menjadi moralitas yang mengandung arti kesediaan jiwa akan kesusilaan.2 Dengan demikian maka moralitas mempunyai pengertian yang sama dengan etika atau sebaliknya, dimana kita berbicara tentang etika birokrasi tidak terlepas dari moralitas aparat birokrasi penyelenggara pemerintahan itu sendiri.

Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari pada ilmu pengetahuan (kognitif) bukan pada afektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan semangat kelompok masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak ada masyarakat dan seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral (Widjaja,

AW. Masyarakat dan Permasayarakatan Ideologi Pancasila, Bandung, Cv. Armico, 1985) dan berkaitan dengan kesadaran kolektif dalam masyarakat. Immanuel Kant, teori

moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut masalah yang ada dalam kontak sosial dengan masyarakat, ini berarti etika tidak hanya sebatas moralitas individu tersebut dalam artian aparat birokrasi tetapi lebih dari itu menyangkut perilaku di tengah-tengah masyarakat dalam melayani masyarakat apakah sudah sesuai dengan aturan main atau tidak, apakah etis atau tidak.

Etika merupakan instrumen dalam masyarakat untuk menuntun tindakan (perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral. Ini berarti etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perilaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakannya bermoral.( Drs. Haryanto, MA, Kuliah

Birokrasi Indonesia, Politik Lokal Otonomi Daerah Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta,2002). Dari beberapa pendapat yang menegaskan tentang pengertian etika

di atas jelaslah bagi kita bahwa etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung dari penilaian masyarakat setempat, jadi dapat dikatakan bahwa moral merupakan landasan normatif yang didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri dan landasan

2

(4)

38

normatif tersebut dapat pula dinyatakan sebagai etika yang dalam organisasi birokrasi disebut sebagai etika birokrasi

Etika Birokrasi

Etika birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan itu sendiri yang mencerminkan fungsi pokok pemerintahan, yaitu fungsi pelayanan, fungsi peraturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Etika dalam birokrasi adalah masalah yang menjadi kepedulian dan keprihatinan para pakar dibidang ini. Ia menjadi masalah di negara yang paling maju sekalipun, yakni di negara seperti Amerika Serikat yang telah berdiri selama dua seperempat abad, yang konstitusi dan gagasan-gagasan idealnya menjadi contoh bagi konstitusi dan gagasan-gagasan dasar banyak negara lain, dan yang administrasinya juga menjadi rujukan administrasi di banyak negara lain. Negara-negara lain yang telah lanjut usianya, seperti Inggris, Prancis, dan Jepang, juga mengalami masalah yang sama, yaitu persoalan dalam etika birokrasinya. Di negara- negara itu birokrasi diandalkan untuk menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, yang bersifat jujur dan adil, dan keseluruhan sistemnya diarahkan untuk menjamin adanya hal itu. Pandangan itu didukung oleh observasi yang umum dalam kondisi administrasi di negara-negara berkembang seperti antara lain sebagai berikut :

Pertama, belum tercipta tradisi administrasi yang baik, yang menjaga timbulnya

masalah etika seminimal mungkin. Negara berkembang sedang mengembangkan administrasinya, yang sesuai dengan kebudayaannya, tetapi mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku umum. Negara- negara itu tidak mempunyai banyak rujukan, karena tidak dapat melanjutkan administrasi yang berasal dari masa kolonial, yang tujuan keberadaannya berbeda dengan administrasi dalam negara yang merdeka.

Kedua, adanya keterbatasan dalam sumber daya, yang menyebabkan pengembangan administrasi yang baik tidak bisa cepat berjalan. Keterbatasan itu adalah baik dalam hal sumber dana maupun sumber daya manusia (SDM). SDM administrasi sangat terbatas kualitas, kompetensi, dan profesionalismenya, dan keadaan itu diperberat oleh imbalan yang rendah karena keterbatasan dana pemerintah.

Ketiga, administrasi hidup dalam suatu sistem politik, dan di banyak negara

(5)

39

acapkali tidak diimbangi dengan pertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat seperti layaknya dalam sebuah sistem demokrasi. Dengan demikian, masalah etika dalam administrasi negara yang sedang membangun jauh lebih rumit dibandingkan dengan masalah etika di negara yang sudah maju. Dengan kata lain, variabelnya lebih luas dan ketidakpastiannya lebih besar. Oleh karena itu, akan sangat keliru apabila orang berpendapat bahwa memperbaiki birokrasi di negara berkembang adalah pekerjaan mudah. Upaya memperbaiki birokrasi termasuk didalamnya upaya menanamkan etika sebagai nilai utama dalam administrasi, yang tercermin baik dalam etika perorangan maupun etika organisasi adalah pekerjaan yang memerlukan kesabaran, dan hasilnya pun tidak dapat diharapkan akan spektakuler, tetapi akan lebih banyak bersifat inkremental.

Pancasila Sebagai Landasan Etika

Pancasila berisi lima nilai dasar, yaitu (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, (5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Perumusan kelima sila itu terkesan sederhana dan mudah dicerna. Akan tetapi dalam kenyataan praktik, sering ternyata bahwa masyarakat birokrasi kita dan demikian pula masyarakat yang dilayani oleh birokrasi, tidak cukup memahami atau dapat pula terjadi bahwa mereka memiliki persepsi-persepsi yang berbeda dengan pengertian sila demi sila itu. Sebagian besar orang hanya memahami Pancasila dalam rangka sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia. Padahal keempat sila lainnya sungguh sangat penting untuk juga diwujudkan dalam praktik. Pengertian Pancasila tidak boleh direduksi hanya dalam konteks satu sila saja, tetapi harus menyeluruh dan simultan. Setiap aparat birokrasi kita haruslah berketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan beradab, bersatu, bersifat kerakyatan, dan berorientasi keadilan sosial.3

Pemahaman Pancasila sendiri selain sebagai ideologi, pandangan hidup, kepribadian, kebudayaan negara dan bangsa adalah kristalisasi nilai, standar etika, serta manifestasi norma, dalam aspek moralitas, pikiran, tindakan dan ucapan. Dengan demikian, seluruh ruang kehidupan bermasyarakat bernegara berada dalam koridor

3

Latif, Y, (2011), Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

(6)

40

landasan ideologis Pancasila. Perwujudan ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak lepas pula dari kesatuan sistematika etika yang dipraktekkan. Pancasila sendiri mendasarkan tata etika pada lima prinsip negara Indonesia yang dipaparkan dalam pidato lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman dalam penggalian kembali etik yang sesuai dengan kepribadian bangsa.

Keteladanan Pemimpin

Dalam sistem ketatanegaraan yang belum tertib dan fungsional seperti sekarang ini, peran kepemimpinan menjadi sangat sentral untuk menjamin terjadinya perbaikan untuk kepentingan rakyat. Setiap pejabat atau pemegang jabatan (ambtsdraggers,

officials, officers, fungsionaris), mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling

rendah perlu menyadari kekuatan pengaruh kepemimpinannya dan memanfaatkannya dengan tulus, ikhlas, dan jujur, semata-mata untuk kepentingan rakyat. Setiap pemimpin, dalam lingkungan tanggungjawabnya masing-masing harus mendisiplinkan diri dan para anggotanya untuk secara bersama-sama bekerja untuk mencapai tujuan organisasi. Setiap pemimpin harus sanggup menjadi contoh, dan mampu menggerakkan roda organisasi guna mencapai tujuan bersama. Jika, misalnya, kita menginginkan bersihnya sistem birokrasi dalam lingkup tanggungjawab kita masing-masing, maka setiap penanggungjawab harus sanggup menjadikan dirinya contoh dalam menerapkan kehidupan yang bersih, dan mampu membersihkan lingkungan tanggjungjawabnya dengan otoritas atau kewenangan yang dipercayakan kepadanya.

Jika setiap jajaran kepemimpinan dapat bekerja dengan maksimal, niscaya semua agenda perbaikan dan penataan kembali kehidupan ketatanegaraan kita ke arah yang lerbih baik akan dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya. Tetapi selama 14 tahun terakhir, termasuk dalam upaya bangsa kita melancarkan gerakan pemberantasan korupsi, tindakan pemberantasan itu seakan-akan hanya menjadi tugas dan tanggungjawab Komisi Pemberantasan Korupsi, bukan tugas dan tanggungjawab semua aparat pemimpin dalam seluruh lapisan dan di semua lini serta jajaran birokrasi kenegaraan dan pemerintahan kita di seluruh tanah air. Lihat bagaimana perilaku polisi dan petugas DLLAJR di jalanan, perilaku petugas pajak, petugas imigrasi, petugas Lembaga Pemasyarakatan, petugas pelabuhan, petugas urusan KTP, petugas dan pegawai bank, petugas asuransi, petugas pos, petugas pembuangan sampah, petugas listrik, buruh bangunan, dan lain-lain sebagainya. Semuanya apabila kita tes sekarang

(7)

41

dengan menggunakan ukuran dan kriteria modern tentang korupsi dan suap, serta prinsip-prinsip “Good Governance”, niscaya semuanya tidak menggambarkan bahwa kita telah sekian lama melancarkan gerakan nasional anti korupsi.4

Karena itu, diperlukan gerakan kedisiplinan pemimpin yang dimulai dari atas. Pemimpin tertinggi harus dapat dijadikan teladan, baik dalam hidup bersih maupun dalam kemampuannya menggerakkan roda organisasi, pembenahan sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi. Tanpa hal itu, ide untuk merealisasikan nilai-nilai Pancasila dalam perilaku birokrasi negara kita menjadi non-sense dan tidak akan berhasil dengan efektif. Buktinya, kita sudah melancarkan gerakan anti korupsi, dimulai dengan Ketetapan MPR, pembentukan KPKPN, dan sekarang pimpinan KPK sudah bekerja dalam 4 periode, tetapi korupsi tetap saja terjadi dimana-mana, bahkan di depan mata kita sendiri. Ini jelas menggambarkan kepada kita bahwa pendekatan represif dengan hanya mengandalkan peran KPK seperti yang sudah berlangsung sampai sekarang ini, adalah tindakan dan pendekatan yang relatif tidak dapat diandalkan. Kita memerlukan pendekatan lain dengan menggerakkan peranan kepemimpinan, dengan memberikan contoh atau keteladanan untuk hidup bersih tanpa korupsi, kemampuan untuk membersihkan lingkungan tanggungjawabnya, baik melalui upaya pencegahan maupun penindakan, dan melakukan upaya-upaya pembenahan sistemik dan penataan kembali sistem administrasi, termasuk dengan melakukan upaya modernisasi sistem administrasi, sehingga perilaku koruptif tidak akan atau setidaknya sulit untuk terjadi lagi.

Pancasila Sebagai Ideologi Perlawanan Terhadap Kecurangan (Fraud)

Pancasila memiliki pandangan moral luar biasa yang terkandung dalam sila-silanya. Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan keselamatan bangsa. Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat dimana dalam setiap sila memiliki justifikasi historis, rasional dan aktual yang dipahami, dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten sehingga dapat menopang pencapaian-pencapaian agung peradaban bangsa ini.5

4

Pratikno, (2005), Good governance dan governability, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Vol. 8, No. 3, 231‐248.

5

Latif, Y, (2011), Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

(8)

42

Jika kesadaran terdalam kita sampai pada ujung pemaknaan bahwa kecurangan (termasuk korupsi dan suap) akan menghancurkan suatu peradaban bangsa dan menistakan kemanusiaan, maka seharusnya kita menggelorakan “perang kemerdekaan” jilid II. Sebagaimana yang dilakukan para pejuang pendahulu dalam melawan belenggu penjajahan dan kebiadaban, semangat terbebas dari belenggu kecurangan harus digaungkan saat ini. Perlawanan ini antara lain dilakukan dengan menghidupkan dan memperkuat kembali (revitalisasi) nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nyata, bukan sekedar diwacanakan.

Birokrasi Pancasilais

Selain beretika dan berorientasi kepada upaya pembersihan dan pembenahan sistemik, birokrasi yang Pancasilais harus benar-benar terkait dengan kelima sila Pancasila. Pertama, perlu dipahami bahwa setiap warga masyarakat kita dimana saja, boleh bebas dan merdeka untuk beragama atau tidak beragama, untuk percaya kepada Tuhan atau ateis sama sekali. Begitulah pengertian ideal yang seharusnya kita pahami dari jaminan konstitusional Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 tentang kemerdekaaan beragama (freedom of belief or freedom of religion). Tidak boleh ada orang yang dipaksa memeluk sesuatu agama atau aliran keagamaan yang ia tidak percayai. Akan tetapi, birokrasi dan para birokrat yang bekerja di dalamnya tidak boleh ateis. Semua pejabat dan pegawai harus percaya kepada adanya Tuhan YME, apapun agama yang dianut dan dipercayainya. Karena itu, semua pejabat dan pegawai negara dan negeri selalu dipersyaratkan oleh undang-undang agar beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Nilai-nilai ketuhanan merupakan sumber moralitas dan spiritualitas (yang bersifat vertikal-transendental) bagi bangsa Indonesia. Ini sudah merupakan kenyataan hakiki dimana Tuhan telah “hadir” dalam relung jiwa manusia Indonesia sejak lampau, meski usaha-usaha untuk mencerabutnya terus menerus dilakukan oleh para kolonialis. Hal demikian menunjukkan bahwa sejarah panjang perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, banyak dilandasi oleh semangat keberagamaan. Etos perjuangan para pendahulu bangsa yang sangat kuat dilandasi oleh semangat ketuhanan ini, antara lain dapat diperhatikan dalam pernyataan Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga yang berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa …”, dan pekik gemuruh “Allahu Akbar” yang disuarakan oleh Bung Tomo saat

(9)

43

menggelorakan semangat juang rakyat pada perang kemerdekaan 10 Nopember 1945 di Surabaya.6

Dalam konteks pola keberagamaan Islam, jika syahadat itu merupakan pernyataan keyakinan substansif kita akan keesaan Tuhan, maka seharusnya kita juga tidak mengeramatkan atau memesonakan selain-Nya (misalnya jabatan/kekayaan/prestise) karena itu adalah syirik. Dengan pemahaman demikian maka ketika kita menjadikan jabatan/kekayaan/prestise sebagai orientasi utama hidup kita, maka kita sudah terjebak pada kemusyrikan. Hidup dalam kemusyrikan sudah tentu tidak berkah, dan karenanya menjadikan jabatan/kekayaan/prestise sebagai orientasi utama dalam kehidupan kita pasti akan berakibat ketidakberkahan. Sedemikian terpesonanya kita pada jabatan/kekayaan/prestise itu sehingga semangat dan cara mencapainya pun sarat dengan kecurangan.

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal) (QS. Albaqarah, ayat: 165).”

Jika dengan syahadat itu kita juga meyakini bahwa Muhammad SAW itu adalah Rasul Allah SWT. Dalam hal ini satu contoh akhlaq yang luar biasa baiknya diajarkan Rasulullah SAW untuk kita aplikasikan dalam menghindari kecurangan adalah selalu berniat baik dalam menjalani berbagai aktivitas. Jika kita melakukan aktivitas dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT maka itu akan mendapatkan pahala yang besar, dan sebaliknya jika meniatkan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT maka yang kita dapatkan hanya kenikmatan dunia, baik berupa kedudukan, pujian, melimpahnya harta atau yang lainnya. Terbukti bahwa kebanyakan kenikmatan-kenikmatan dunia ini akan menghanyutkan dan kemudian menenggalamkan manusia pada kesesatan.

“Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu” (H.R. Muslim).

6

Jimly Asshiddiqie, (2011), Membudayakan Nilai-nilai Pancasila dan Kaedah-kaedah Undang-Undang

(10)

44

Komitmen ketuhanan ini dijadikan sebagai sumber motivasi dan inspirasi dalam menjalani kehidupan. Ihsan sepenuhnya dapat menjadikan seseorang sebagai pribadi yang selalu berbuat baik. Dengan demikian ihsan juga bermakna suatu keadaan di mana seorang manusia mencurahkan kebaikan dan menahan diri untuk tidak mengganggu orang lain. Perbuatan baik ini antara lain diwujudkan dengan sifat-sifat kejujuran, kerendah hati dan ketulusan dalam menjalani aktivitas kehidupannya. Ini kemudian akan berlanjut pada penciptaan suasana kehidupan yang dipenuhi cinta kasih pada sesama.

Birokrasi kita haruslah berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Ada kaitan antara sikap berketuhanan, dengan berperikemanusiaan. Dengan percaya kepada Tuhan sebagai satu-satunya yang mutlak, semua orang sebagai makhluk Tuhan haruslah dipandang menurut prinsip persamaan kemanusiaan dan egalitarianisme. Karena itu, sering dikatakan bahwa ketaqwaan itu dekat dengan keadilan, dan keadilan juga dekat dengan ciri taqwa, sehingga melahirkan sikap egaliter, saling hormat menghormati perbedaan satu dengan yang lain, dan merekat persatuan bangsa di tengah kemajemukan. Karena itu, dalam birokrasi kita harus tumbuh budaya egaliter, mengikis feodalisme, tidak memandang satu sama lain dengan kacamata atasan bawahan.

Kultur birokrasi kita harus berkembang menurut prinsip “meritokrasi”, bukan KKN berdasarkan hubungan darah, atau sistem koneksi yang bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance). Dalam proses pengambilan keputusan, birokrasi yang Pancasilais harus bersifat kerakyatan, partisipatoris, menerapkan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat berdasarkan aturan hukum dan etika (the rule of law and the rule of ethics) yang diakui dan/atau disepakati bersama. Karena itu, birokrasi kita tidak perlu terlalu hirarkis, apalagi dengan hirarki yang sangat berjarak antara struktur teratas dengan struktur terbawah. Di samping itu, birokrasi kita juga tidak boleh berjarak dengan rakyat yang harus dilayani, karena tujuan dibentuknya birokrasi pemerintahan tidak lain ialah untuk melayani kepentingan rakyat. Karena itu, sistem pengambilan keputusan dalam birokrasi Pancasilais haruslah berorientasi kepada upaya untuk dari waktu ke waktu memperdekat jarak antara struktur atau strata jabatan tertinggi dengan terendah, baik jarak eksternal antara birokrasi dengan rakyat maupun jarak internal antara pegawai dan pejabat di lingkungan birokrasi. Ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh

(11)

45

rakyat Indonesia sebagai sila kelima Pancasila. Dengan demikian, struktur jabatan dan struktur pendapatan dalam sistem administrasi pemerintahan kita yang berlaku sekarang harus diperbaiki, sehingga lebih berorientasi kepada prinsip keadilan sosial atau (social

justice based administration). Kesimpulan

Birokrasi Pancasilais Republik Indonesia di masa depan haruslah dikembangkan menjadi birokrasi yang benar-benar (1) berketuhanan, (2) berperikemanusiaan yang adil dan beradab, (3) bersatu, (4) merakyat dalam dirinya sendiri, dan merakyat pula sikapnya dalam melayani kepentingan umum, serta (5) terus menerus berorientasi keadilan sosial dengan cara dari waktu ke waktu memperdekat jarak kesejahteraan antara pegawai terendah dengan pejabat tertinggi, serta menjalankan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat yang juga mendorong berkembangnya struktur sosial yang berkeadilan.

Untuk mengembangkan tata nilai kehidupan Pancasila, yang secara mendasar adalah harus adanya unsur keyakinan bahwa Pancasila merupakan ideologi yang tepat untuk bangsa Indonesia. Pancasila memuat konsep-konsep dasar yang menunjukkan adanya seperangkat keyakinan untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan, yaitu kemajuan bangsa Indonesia. Berdasarkan pandangan yang demikian maka Pancasila dapat dibawa ke dalam ranah berbagai media kehidupan kebangsaan, termasuk ranah profesi. Asshiddiqie (2011) menyatakan bahwa upaya pembudayaan Pancasila dapat diwujudkan secara konkrit dalam praktik kehidupan masyarakat, antara lain melalui perumusan kode etik dan kode perilaku beserta pelembagaan institusi penegaknya di lingkungan jabatan kenegaraan, pemerintahan, ormas, LSM dan Badan Usaha.

Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah peran lembaga pendidikan. Secara institusional benteng moral kehidupan bangsa Indonesia saat ini adalah pendidikan. Pendidikan adalah media penyebaran ideologi yang paling efektif untuk generasi mendatang. Kurikulum harus adaftif terhadap penyebaran cara pandang Pancasila ini sehingga efektif membentuk karakter manusia Indonesia seutuhnya. Bukan dengan cara doktriner Pancasila ditanamkan, namun dengan pola yang lebih mengedepankan asah kritis peserta didik sehingga memahami Pancasila dengan segala potensi kecerdasannya, menyerap nilai-nilainya dengan ketulusan, mengimplementasikannya dengan keikhlasan, dan menyebarkannya dengan keyakinan.

(12)

46 Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J, (2011), Membudayakan Nilai-nilai Pancasila dan Kaedah-kaedah

Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945, Surabaya: Makalah dalam

Kongres Pancasila III 31 Mei-1 Juni.

Latif, Y, (2011), Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas

Pancasila, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Pratikno, (2005), Good governance dan governability, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Vol. 8, No. 3, 231‐248.

Referensi

Dokumen terkait

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Nikmat, Karunia serta Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun Skripsi dengan

dilakukannya suatu studi kelayakan investasi alat angkut Perum BULOG melalui optimasi rute dan jumlah kendaraan dalam penyaluran raskin divre DKI Jakarta dengan menggunakan

Saat ini sudah di era digital, perkembangan teknologi yang sudah semakin modern, maka untuk memudahkan dalam proses wawancara atau calon mahasiswa dalam memilih

Saat ini pemerintah akan menggunakan lima opsi dalam strategi pembiayaan APBN 2020 yaitu: (1) optimalisasi sumber internal pemerintah atau non-utang, (2) penarikan

Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip yang pertama, dimana setiap individu dalam kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai tugas yang diberikan. Untuk

Hampir semua penelitian yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kualitas yang baik dengan level of evidence yang tinggi, oleh karena itu hasil penelitian

f. Sebagaimana ketentuan Pasal 344 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah,

Hal ini dapat ditafsirkan bahwa kecepatan sedimentasi pada proses pengendapan batuan di daerah penelitian berubah semakin cepat ke arah interval atas dengan suplai sedimen