• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. A. Asas-Asas Hukum Perlindungan Konsumen. mengetahui asas-asas perlindungan konsumen, yaitu :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. A. Asas-Asas Hukum Perlindungan Konsumen. mengetahui asas-asas perlindungan konsumen, yaitu :"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KETERKAITAN PENGATURAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) DENGAN PENGATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Asas-Asas Hukum Perlindungan Konsumen

Sebelum membahas mengenai perlindungan konsumen, ada baiknya mengetahui asas-asas perlindungan konsumen, yaitu :

1. Asas manfaat adalah mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;51

2. Asas keadilan adalah partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;52 3. Asas keseimbangan adalah memberikan keseimbangan antara kepentingan

konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual;53

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen adalah memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;54

51

Penjelasan Pasal 2, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

52

Penjelasan Pasal 2, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

53

Penjelasan Pasal 2, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

54

(2)

5. Asas kepastian hukum adalah baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum;55

6. Asas let the buyer beware (caveat emptor)adalah Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya, konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsikannya. Ketidakmampuan itu bisa karena keterbatasan pengetahuan konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual beli keperdataan, yang wajib berhati-hati adalah pembeli. Sekarang mulai diarahkan menuju kepada caveat venditor (pelaku usaha yang perlu berhati-hati);56

7. Asas let the seller beware (caveat venditor) adalah kebalikan dari let the buyer beware yang berarti pihak penjual harus berhati-hati, karena jika terjadi satu dan lain hal yang tidak dikehendaki atas produk tersebut, maka yang akan bertanggung jawab adalah penjual;57

55

Penjelasan Pasal 2, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

56

Dina W. Kariodimedjo, Op.cit., hal. 8.

(3)

8. Asas pembuktian terbalik adalah suatu sistem pembuktian bagi pelaku usaha yang dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen;58

9. Asas legal standing adalah suatu entitle atau dasar hak subjektum hukum untuk mengajukan suatu gugatan perdata, uji materil di Mahkamah Konstitusi maaupun laporan pidana;

10.Asas gugatan kelompok (gugatan perwakilan) adalah gugatan yang dapat diadili oleh pengadilan apabila59

a. “Penggugatnya berjumlah besar, sehingga tidak praktis apabila digunakan secara perkara biasa;

:

b. Seorang atau beberapa orang dari kelompok itu mengajukan gugatannya sebagai perwakilan;

c. Terdapat masalah hukum dan fakta gugatan atau perlawanan bersama; dan

d. Wakil yang bersidah harus mampu mempertahankan kepentingan kelompok”.

Selanjutnya, tujuan dari perlindungan konsumen dapat dilihat pada Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

a. “Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

58

Pasal 19 ayat (1), (2), (5), Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

59

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : Mandar Maju, 1999), hal. 237. Bandingkan dengan pengertian class action yang dikemukakan oleh Erman Rajagukguk adalah suatu cara yang diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok tanpa harus turut serta dari setiap kelompok. Sumber : Erman Rajagukguk, et.al., Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : Mandar Maju, 2000), hal. 71.

(4)

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen”.

Berangkat dari azas keseimbangan di atas yang mengisyaratkan bahwa harus ada keseimbangan antara pelaku usaha dengan konsumen, maka SNI diberlakukan adalah juga untuk mengangkat harkat dan martabat konsumen dan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha untuk mengimplementasikan SNI. Dalam hal, PT. Neo National dalam memberlakukan SNI adalah karena kesadaran dirinya sebagai pelaku usaha yang mempunyai kewajiban untuk memberikan barang yang baik dan sesuai standard.

Tetapi pada saat PT. Neo National sedang mengimplementasikan SNI, Tim TPPBJ yang saat itu dibentuk untuk melakukan pengawasan di Sumatera Utara dalam melakukan inspeksi mendadaknya, mendapati PT. Neo National yang sedang memproduksi Kipas Angin merk “SiJempol” yang tidak sesuai dengan SNI. Oleh karena itu, berangkat dari temuan tersebut, PT. Neo National dipersangkakan melakukan pelanggaran Pasal 62 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (1) huruf a dan j Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun, pada Berita Acara Pemeriksaan sebagai Saksi pada tanggal dijelaskan bahwa PT. Neo National sedang mengimplementasikan SNI sehingga harus memproduksi agar produknya

(5)

berupa Kipas Angin merk “SiJempol” dapat diuji di Lembaga Sertifikasi Produk (LS-Pro) Surabaya.60

B. Pengaturan Standardisasi Nasional di Indonesia Sebagai Salah Satu Upaya Perlindungan Konsumen

Pembahasan mengenai Standar Nasional Indonesia tidak terlepas dari pembahasan mengenai pengaturannya, yaitu : Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Selanjutnya di bawah ini akan dibahas mengenai pengaturan dimaksud dengan cara memisahkannya berdasarkan batang tubuh peraturan tersebut.

1. Ruang Lingkup Standardisasi Nasional

Alasan dikeluarkannya pengaturan standardisasi nasional adalah dapat dilihat dalam Bagian Menimbang Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa :

“Dalam rangka meningkatkan produktivitas, daya guna produksi, mutu barang, jasa, proses, sistem dan atau personel, yang dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing, perlindungan konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat khususnya di bidang keselamatan, keamanan, kesehatan dan lingkungan hidup.

60

Berita Acara Pemeriksaan Saksi atas nama Sjarifuddin selaku Komisaris PT. Neo National sebagai Saksi pada hari Kamis, tanggal 08 Maret 2012. Pada pertanyaan ke-24 : PPNS : “Apakah produk kipas angin yang Saudara produksi telah didaftarkan dan telah memenuhi dengan standar yang telah ditetapkan pemerintah?”; Sjarifuddin : “Untuk produk kipas angin yang berjumlah 5.507 (lima ribu lima ratus tujuh) adalah hasil dari produksi implementasi/uji coba untuk tujuan penerapan sistem manajemen mutu guna mendapatkan SPPT-SNI dan NRP, dan terhadap hasil produksi tersebut saat ini masih dalam penyegelan dan tidak pernah kami utak atik maupun kami perdagangkan dan masih berada pada lokasi pabrik kami, namun setelah mendapatkan SPPT-SNI No. 64/26.01.02/11/LSPro-Surabaya/IX/2011 dan NRP No. 106-007-111868 tertanggal 10 Oktober kami mulai memproduksinya kembali dan mulai mengedarkan atau memperdagangkannya sesuai dengan standar dan ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah”.

(6)

Indonesia sebagai negara peserta dalam Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO) yang didalamnya juga diatur masalah standardisasi, berlanjut dengan kewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional di bidang industri”.

Oleh karena itu, diundangkanlah Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.Sebelum Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, pengaturan standardisasi diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia. Maka setelah Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional diundangkan, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia menjadi tidak berlaku lagi.

Perbedaan kedua Peraturan Pemerintah tersebut secara garis besarnya terletak pada standardisasinya. Apabila Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1991 lebih banyak memakai standar internasional, berbeda dengan Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 yang sudah dapat mendefinisikan secara detail apa itu SNI. Perbedaan lainnya terletak pada badan yang melakukan standardisasi, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1991 menyebutnya dengan Dewan Standardisasi Nasional sedangkan Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 menyebutkan Badan Standardisasi Nasional (BSN). Artinya BSN bergerak berdasarkan Sistem Standardisasi Nasional (SSN) untuk menetakan Rancangan Standardisasi Nasional (RSN) yang menjadi Pedoman Standardisasi Nasional (PSN). Sementara itu, di dalam Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1991 tidak mengatur detail tentang BSN tersebut.

(7)

2. Tujuan Standardisasi Nasional

Adapun tujuan dari diundangkannya Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional dapat dilihat pada Pasal 3, yang menyatakan bahwa :

“Standardisasi Nasional bertujuan untuk :

1. Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup;

2. Membantu kelancaran perdagangan;

3. Mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan”.

Dengan kata lain, tujuan SNI diterapkan, selain untuk mewujudkan persaingan usaha yang sehat dan demi kelancaran perdagangan juga untuk menghindari konsumen dari produk-produk yang tidak bermutu dan tidak diproses ataupun diproduksi dengan baik sesuai mutu kelayakan suatu produk. Intinya tetap untuk menghindari konsumen dari produk yang tidak baik atau asal jadi.

Dengan terjaminnya suatu standard dan mutu produk atau jasa maka masyarakat akan mempercayai produk atau jasa tersebut. Pada akhirnya kepercayaan yang timbul dari masyarakat sebagai konsumen akan memperlancar perdagangan dan meningkatkan volume penjualan. Meningkatnya volume penjualan akan menguntungkan pelaku usaha itu sendiri.

SNI juga bertujuan untuk mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan artinya produk yang sudah SNI adalah sudah dapat dipastikan bermutu baik. Mutu yang baik akan membuat para pesaing untuk memproduksi barang yang

(8)

baik pula. Dengan begitu akan tercipta persaingan usaha yang sehat seperti yang diamanatkan undang-undang.

3. Kelembagaan Standardisasi Nasional

Penyelenggaraan pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi kepada pelaku usaha dilakukan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Pelaksanaan tugas dan fungsi BSN pada bidang akreditasi dilakukan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). KAN bertugas untuk memberikan pertimbangan dan menetapkan akreditasi kepada BSN dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi. Tugas dan fungsi BSN di bidang standar nasional untuk satuan ukuran dilakukan oleh Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran. Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran mempunyai tugas untuk memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standar nasional untuk satuan ukuran. BSN, KAN, dan Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran dibentuk dengan Keputusan Presiden. Terkait dengan dasar pembentukan tersebut, maka BSN dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen.

Oleh karena itu, BSN adalah sebuah lembaga yang membawahi bidang standardisasi nasional dalam hal akreditasi dan sertifikasi terhadap suatu produk. Dalam sertifikasi SPPT-SNI yang diberikan kepada PT. Neo National adalah dikeluarkan oleh BSN sebagai lembaga penilai apakah Kipas Angin merk

(9)

“SiJempol” memiliki standard nasional atau tidak. Pemberian sertifikasi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional adalah wajib berdasarkan Sistem Standardisasi Nasional dan Pedoman di bidang standardisasi nasional sebagai dasar dan pedoman pelaksanaan yang harus diacu untuk setiap kegiatan standardisasi di Indonesia.

Posisi KAN dalam permasalahan hukum yang dihadapi PT. Neo National adalah sebagai lembaga auditor yang melakukan audit kepada BSN. Namun, sampai permasalahan hukum ini selesai pun KAN tidak ada melakukan tindakan apapun terhadap sertifikasi yang telah dikeluarkan oleh BSN kepada PT. Neo National. Selanjutnya mengenai Komite Standar Nasional bertugas hanya memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN tentang standar nasional untuk satuan ukuran. Kepala BSN adalah bertindak juga sebagai Ketua KSN. Oleh karena itu, peran KSN, dalam permasalahan hukum PT. Neo National tidak ada sama sekali. Artinya, Ketua BSN yang bertindak juga sebagai Ketua KSN tidak ada memberikan tanggapan sama sekali.61

4. Perumusan dan Penetapan SNI

Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, SNI disusun melalui proses perumusan Rancangan Standar Nasional Indonesia dengan dilaksanakan oleh Panitia Teknis melalui konsensus dari semua pihak yang terkait dan diatur lebih lanjut oleh Kepala BSN. Pasal 7

61

Wawancara dengan Sjarifuddin selaku Komisaris PT. Neo National, Medan, 12 Januari 2013.

(10)

menyebutkan Rancangan Standar Nasional Indonesia ditetapkan menjadi Standar Nasional Indonesia oleh Kepala BSN dengan diberikan nomor urut, dan kode bidang standar sesuai Pedoman BSN. Apabila terjadi pengkajian ulang dan revisi SNI maka dilaksanakan oleh Panitia Teknis melalui konsensus dari semua pihak yang terkait (Pasal 8). Pada Pasal 9 mengenai Panitia Teknis tersebut, ditetapkan oleh Kepala BSN berdasarkan pedoman yang disepakati oleh BSN bersama instansi teknis. Panitia Teknis dapat berkoordinasi dengan instansi terkait tersebut sesuai dengan kewenangannya. Apabila instansi teknis belum dapat melakukan koordinasi maka BSN dapat berkoordinasi dengan Panitia Teknis dan harus mengacu pada Pedoman Standardisasi Nasional (PSN) (Pasal 9 ayat (3), ayat (4)).

Dalam rangka perumusan Rancangan Standar Nasional Indonesia, kaji ulang Standar Nasional Indonesia, dan revisi Standar Nasional Indonesia, BSN dan instansi teknis dapat melakukan kegiatan Penelitian dan Pengembangan Standardisasi (Pasal 10). Ketentuan lebih lanjut mengenai Perumusan dan Pengembangan Standardisasi Nasional Indonesia diatur dengan Keputusan Kepala BSN (Pasal 11).

5. Penerapan SNI

Dalam Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional mengatur Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia bersifat sukarela agar dapat diterapkan oleh pelaku usaha (Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2)). Dalam hal SNI berkaitan dengan keselamatan, keamanan, dan kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan

(11)

atau pertimbangan ekonomis, instansi teknis dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau keseluruhan spesifikasi teknis dan atau parameter dalam SNI (Pasal 12 ayat (3)). Pengaturan SNI secara wajib berkaitan dengan keselamatan, keamanan, dan kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan atau pertimbangan ekonomis diatur lebih lanjut dengan Keputusan Pimpinan instansi teknis sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing (Pasal 12 ayat (4)).

Penerapan SNI dilakukan melalui kegiatan spesifikasi dan akreditasi (Pasal 13). Terhadap barang dan atau jasa, proses, sistem dan personel yang telah memenuhi ketentuan/spesifikasi teknis SNI dapat diberikan sertifikat dan atau dibubuhi tanda SNI (Pasal 14 ayat (1)). Sertifikasi tersebut dilakukan oleh lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, lembaga pelatihan, atau laboratorium yang diakreditasi, diawasi dan dibina oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) (Pasal 14 ayat (2) Jo. Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2)). Persyaratan dan tata cara pemberian sertifikat dan pembubuhan tanda SNI diatur oleh Ketua Komite Akreditasi Nasional (KAN) (Pasal 14 ayat (4)). Biaya akreditasi dibebankan kepada lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, lembaga pelatihan atau laboratorium yang mengajukan permohonan akreditasi (Pasal 17 ayat (1)). Besarnya biaya akreditasi tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah tersendiri (Pasal 17 ayat (2)).

Pelaku usaha yang menerapkan SNI secara wajib, harus memiliki sertifikat dan atau tanda SNI (Pasal 15). Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau mengedarkan barang dan atau jasa, yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan SNI yang telah diberlakukan secara wajib. Pelaku usaha yang barang dan atau

(12)

jasanya telah memperoleh sertifikat produk dan atau SNI dari lembaga sertifikasi produk, dilarang memproduksi dan mengedarkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi SNI (Pasal 18). SNI yang diberlakukan secara wajib dikenakan sama, baik terhadap barang dan atau jasa produksi dalam negeri maupun terhadap barang dan atau jasa impor yang pemenuhan standarnya ditunjukkan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi atau laboratorium yang telah diakreditasi KAN atau lembaga sertifikasi atau laboratorium negara pengekspor yang diakui oleh KAN berdasarkan perjanjian saling pengakuan baik secara bilateral ataupun multilateral. Apabila barang dan atau jasa impor tidak dilengkapi sertifikat, Pimpinan instansi teknis dapat menunjuk salah satu lembaga sertifikasi atau laboratorium baik di dalam maupun di luar negeri yang telah diakreditasi dan atau diakui oleh KAN untuk melakukan sertifikasi terhadap barang dan atau jasa impor dimaksud (Pasal 19).

Dalam hal pemberlakuan SNI secara wajib dikarenakan keselamatan, kesehatan, dan keamanan masyarakat dinotifikasikan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) kepada Organisasi Perdagangan Dunia setelah memperoleh masukan dari instansi teknis yang berwenang dan dilaksanakan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum SNI yang diberlakukan secara wajib berlaku efektif. BSN menjawab pertanyaan yang datang dari luar negeri yang berkaitan dengan Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia setelah memperoleh masukan dari instansi teknis yang berwenang (Pasal 20). Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemberlakuan SNI diatur dengan Keputusan Pimpinan instansi teknis yang berwenang (Pasal 21).

(13)

6. Pembinaan dan Pengawasan

Dalam pembinaan dan pengawasan pemberlakuan SNI kepada pelaku usaha dilakukan oleh Pimpinan instansi teknis dan atau Pemerintah Daerah meliputi konsultasi, pendidikan, pelatihan, dan pemasyarakatan standardisasi (Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) Jo. Pasal 23 ayat (1)). Pengawasan terhadap unjuk kerja pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat produk dan atau tanda SNI dilakukan oleh Pimpinan instansi teknis sesuai kewenangannya dan atau Pemerintah Daerah. Dalam tingkat provinsi dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi. Dalam tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten/Kota. Pengawasan terhadap unjuk kerja pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat produk dan atau tanda SNI dilakukan oleh lembaga sertifiikasi produk yang menerbitkan sertifikat dimaksud. Masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat melakukan pengawasan terhadap barang yang beredar di pasaran (Pasal 23).

7. Hubungan Hukum Konsumen dan Produsen

Hubungan antara produsen dengan konsumen dilaksanakan dalam rangka jual beli. Jual beli diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata, yaitu : “Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Hubungan dalam lingkup perlindungan konsumen yaitu hubungan hukum kontraktual antara penjual dan pembeli. Oleh karena itu, unsur-unsur dari Pasal 1457 KUHPerdata, antara lain :

(14)

Perjanjian; Penjual dan Pembeli; Harga; dan Barang. Terdapat hubungan kontraktual (perjanjian) antara produsen dan konsumen. Jika produk menimbulkan kerugian pada konsumen, maka konsumen dapat meminta ganti rugi kepada produsen atas dasar tanggung jawab kontraktual (contractual liability).62Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelaku usaha (barang atau jasa) dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada contractual liability

(pertanggung-jawaban kontraktual), yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha, atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkannya.63

Perjanjian/kontrak dari pelaku usaha kepada konsumen terjadi karena adanya transaksi jual beli. Dengan transaksi konsumen dimaksudkan “Proses terjadinya peralihan kepemilikan barang dan/atau jasa pemanfaatan jasa dari pelaku usaha kepada konsumen”. Tahap transaksi konsumen terdiri dari 3 (tiga) tahap dikaitkan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu64

a. Tahap pra-transaksi konsumen; :

“Pada tahap ini, transaksi atau penjualan/pembelian barang dan/atau jasa belum terjadi. Konsumen bijak yang akan mengadakan transaksi barang dan/atau jasa tertentu harus mempertimbangkan pembeliannya dengan mengaitkan pada dana/uang yang dimilikinya. Oleh karena itu, dalam tahap ini yang paling vital bagi konsumen adalah informasi atau

62

Lihat juga : Fauzul A., “Product Liability”, Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur, Kamis, 30 Juni 2011, hal. 2.

63

Harjono, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Yang Menderita Kerugian Dalam Transaksi Properti Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Pengembang Perumahan PT. Fajar Bangun Raharja Surakarta)”, Majalah Yustisia, Edisi No. 68, Mei-Agustus 2006, hal. 4-5.

(15)

keterangan yang benar, jelas dan jujur serta akses untuk mendapatkannya dari pelaku usaha yang beritikad baik dan bertanggung-jawab (Pasal 3 huruf d, Pasal 4 huruf c, Pasal 7 huruf a, dan b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)”.

b. Tahap transaksi konsumen; dan

“Tahap terjadinya proses peralihan kepemilikan barang dan/atau pemanfaatan jasa tertentu dari pelaku usaha kepada konsumen. Pada saat ini, telah terdapat kecocokan pilihan barang dan/atau jasa dengan persyaratan pembelian serta harga yang harus dibayarnya. Syarat-syarat perjanjian peralihan kepemilikan barang dan/atau pemanfaatan jasa harus diperhatikan dan merupakan hal yang menentukan”.

c. Tahap purna transaksi konsumen.

“Tahapan pemakaian, penggunaan dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang telah beralih kepemilikannya atau pemanfaatannya dari pelaku usaha kepada konsumen. Pada tahap ini, apabila informasi (lisan atau tertulis) dari barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelakuu usaha sudah sesuai dengan pengalaman konsumen dalam pemakaian, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen tersebut, maka konsumen akan terpuaskan. Bahkan bukan tidak mungkin konsumen tersebut akan menjadi pelanggan tetap pelaku usaha tertentu itu”.

Konsumen dan produsen merupakan para pihak yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan bisnis. Adapun ketergantungan di antara para pihak tersebut yang menunjang terciptanya suatu kehidupan perekonomian. Hubungan hukum antara produsen dan konsumen atas suatu produk merupakan hubungan hukum yang selalu berkesinambungan. Hal ini dapat ditinjau dari aktivitas dari kedua belah pihak dalam kegiatan perekonomian. Produsen membutuhkan dan bergantung kepada kepercayaan konsumen sebagai pelanggan atas produk yang diproduksinya. Adanya kepercayaan konsumen membuat bisnis usaha produsen akan selalu terjamin. Selain itu, konsumen dalam pemenuhan kebutuhannya tergantung kepada hasil produksi

(16)

dari produsen. apabila ditinjau dari perspektif ekonomi, maka anggota masyarakat dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu65

a. Produsen adalah pihak yang menghasilkan komoditi (barang atau jasa dalam pengertian luas);

:

b. Konsumen adalah orang yang berusaha untuk menggunakan komoditi yang ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Perkembangan perekonomian yang pesat menghasilkan berbagai jenis barang dan/atau jasa yang disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan konsumen. Hal ini tentunya bermanfaat bagi konsumen, karena kebutuhan akan barang atau jasa yang diinginkan konsumen dapat terpenuhi dan kebebasan dalam memilih produk yang bervariatif tersebut. Adanya variasi terhadap produk barang dan jasa yang ada, maka produsen termotivasi terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas produk yang diproduksinya untuk tetap mempertahankan keberadaan barang dan jasa tersebut di pasaran.66

Konsumen seringkali menjadi korban kenakalan dari produsen. Kenakalan dari Produsen terhadap barang atau jasanya adalah produsen akan menghasilkan barang atau jasa yang tidak memperhatikan kualitas barang atau jasa tersebut. Pengurangan kualitas dilakukan oleh produsen sesuai dengan penghematan biaya

65

Zakyah Eryunica, “Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Produsen Atas Pernyataan Kadaluarsa Pada Pokok Makanan dan Minuman Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”, (Jakarta : Tesis, Magister Hukum Universitas Indonesia, 2006), hal. 17-18.

66

Dauri Lukman, “Analisa Yuridis Terhadap Peranan Pers Sebagai Sarana Perlindungan Konsumen Melalui Surat Pembaca (Studi Kasus : Sengketa Antara PT. Duta Pertiwi, Tbk. vs. Pemilik

(17)

produksi yang dikeluarkan, sehingga produsen dapat memperoleh keuntungan finansial sebanyak-banyaknya. Konsumen terkadang tidak mampu untuk menghentikan tindakan kenakalan dari produsen, karena kebutuhan dari konsumen tergantung dari produsen, tidak memadai sarana pengaduan bagi konsumen, dan keadaan keuangan konsumen yang tidak mendukung untuk mendapatkan keadilan. Tindakan kenakalan produsen ini akan terus menerus dilakukan sepanjang tidak ada keluhan secara besar-besaran dari masyarakat.67

Kesadaran untuk memberikan kedudukan yang seimbang antara konsumen dengan produsen melahirkan suatu konsep perlindungan konsumen. Adapun perlindungan konsumen ini diterapkan dalam hukum yang khusus melakukan perlindungan konsumen, sehingga memberikan kepastian hukum terhadap konsumen dan mencegah tindakan sewenang-wenang dari produsen tersebut. Sehingga, konsumen dapat memanfaatkan barang atau jasa dengan aman dan mendapatkan keuntungan secara maksimal.68

Selanjutnya akan dibahas mengenai hubungan hukum antara konsumen dan produsen. Dalam hal ini, pertama kali dilihat adalah mengenai hak-hak konsumen dalam pengaturan perlindungan konsumen barulah kewajiban-kewajiban produsen. Untuk selanjutnya barulah ditinjau dari perspektif produsen, hak-hak dan kewajiban produsen harus juga diketahui agar dapat menghasilkan analisis hukum yang adil bagi produsen dan konsumen.

67

Ibid., hal. 62.

68

(18)

Hak-hak konsumen berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah :

a. “Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

d. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

e. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

f. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

g. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

h. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”.

Kewajiban konsumen adalah yang terdapat di dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

a. “Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut”.

Sebaliknya hak dan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hak pelaku usaha adalah :

a. “Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

(19)

b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”.

Kewajiban pelaku usaha adalah :

a. “Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jeas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”.

Hubungan hukum antara hak dan kewajiban konsumen dengan produsen lahirlah pertanggung-jawaban hukum. Secara umum hubungan hukum antara produsen dengan konsumen dari suatu produk merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena adanya saling keterkaitan kebutuhan antara produsen dengan konsumen. Menurut Sudaryatmo, hubungan hukum antara produsen dengan konsumen karena keduanya menghendaki

(20)

dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara satu dengan yang lain.69 Produsen membutuhkan dan bergantung kepada dukungan konsumen sebagai pelanggan, dimana tanpa adanya dukungan konsumen maka tidak mungkin produsen dapat menjamin kelangsungan usahanya, sebaliknya konsumen membutuhkan barang dari hasil produksi produsen. saling ketergantungan kebutuhan tersebut dapat menciptakan suatu hubungan yang terus dan berkesinambungan sepanjang masa. Hubungan hukum antara produsen dengan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi, pemasaran, dan penawaran.70

Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran dalam hal memproduksi dan atau mengedarkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan SNI yang telah diberlakukan secara wajib ataupun pelaku usaha yang barang dan atau jasanya telah memperoleh sertifikat produk dan atau tanda SNI dari lembaga sertifikasi produk tetapi masih tetap mengedarkannya maka dapat dikenakan sanksi administrasi dan atau sanksi pidana (Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional).

Sanksi administratif pelanggaran SNI diatur pada Pasal 24 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 yaitu dapat berupa pencabutan sertifikat produk dan atau pencabutan hak penggunaan tanda SNI, pencabutan izin usaha, dan atau penarikan barang dari peredaran. Sanksi pencabutan sertifikat produk dan atau hak penggunaan tanda SNI dilakukan oleh Lembaga

69

Sudaryatmo dalam Abdillah Sinaga, “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Berbahaya pada Produk Makanan di Indonesia”, (Medan : Tesis, Program Studi Ilmu

(21)

Sertifikasi Produk. Sanksi pencabutan izin usaha dan atau penarikan barang dari peredaran ditetapkan oleh instansi teknis yang berwenang dan atau Pemerintah Daerah. Sedangkan sanksi pidana adalah berdasarkan Pasal 24 ayat (5) yang diterapkan adalah berupa sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional maka setiap pelaku usaha yang memproduksi barang dan jasa terkait dengan kesehatan, keselamatan dan keamanan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan pertimbangan ekonomis wajib untuk memiliki sertifikat SNI. Oleh karena itu, pengaturan SNI tersebut berlaku pada saat implementasi SNI bukan pada saat barang dan jasa dilepas di pasaran. Untuk barang dan jasa yang sudah dilepas di pasaran maka berlakulah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena barang dan jasa yang sudah dilepas di pasaran bersentuhan dengan masyarakat sebagai konsumen. Oleh karena itu, pastilah ada yang dirugikan apabila produk atau jasa tersebut tidak sesuai dengan SNI.

Perusahaan yang pernah dikenakan sanksi terhadap penerapan Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, antara lain :

1. PT. Tjipto Langgeng Abadi, sebagai produsen lampu swaballast; 2. PT. Panca Aditya Sejahtera, sebagai produsen lampu swaballast;

(22)

Dalam contoh kasus PT. Neo National dalam penelitian ini, apabila ditinjau melalui prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) di atas, maka PT. Neo National tidak dapat dipersalahkan karena PT. Neo National sedang mengimplementasikan SNI di dalam pabriknya. Produk Kipas Angin merk “SiJempol” yang diduga beredar di pasaran haruslah dapat dibuktikan bahwa produk-produk tersebut tidak pernah keluar dari pabrik. Tidak ada hubungan konsumen dengan PT. Neo National dikarenakan produk-produk tersebut tidak pernah keluar dari lokasi produksi.

Konsep hukum perlindungan konsumen dapat diketahui maknanya lebih dalam dari pengertian yang dikemukakan oleh AZ. Nasution, yang menyatakan bahwa71

“Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunaannya, dalam kehidupan bermasyarakat”.

:

Apabila ditinjau dari perspektif pendapat di atas, maka konsep perlindungna konsumen tersebut dititikberatkan terhadap arus lalu lintas barang/jasa yang dihasilkan produsen, terutama terhadap masalah penyediaan dan penggunaan barnag atau jasa tersebut. Konsep hukum perlindungan konsumen juga dapat ditinjau dari Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, walaupun tidak dijelaskan hanya pengertian perlindungan konsumen tersebut. Pengertian perlindungan konsumen berdasarkan ketentuan tersebut adalah “Segala

(23)

usaha yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen”. Berdasarkan pengertian dari AZ. Nasution dan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka dapat dinyatakan bahwa hukum perlindungan konsumen adalah asas-asas, kaidah-kaidah hukum, dan segala peraturan perundang-undangan yang memberikan kepastian hukum untuk melindungi konsumen.

Apabila dilihat pada contoh dalam penelitian ini, maka apa yang dimaksud dengan AZ. Nasution dan pengertian perlindungan konsumen tersebut di atas dapat diartikan dengan layanan purna servis. Layanan purna servis yang didirikan oleh PT. Neo National sudah ada sejak Pabrik PT. Neo National didirikan. Setiap konsumen yang datang ke Pabrik dan mengeluh mengenai barang-barang yang sudah dibelinya selalu dilayani dengan baik dan diberikan kepastian waktu kapan barang tersebut selesai diperbaiki. Layanan ini adalah tidak lain untuk memuaskan pelanggan PT. Neo National.72

C. Keterkaitan Pengaturan Standar Nasional Indonesia dengan Pengaturan Perlindungan Konsumen

Kaitan SNI dengan hak-hak konsumen adalah bahwa SNI mampu melindungi hak-hak konsumen. SNI menjamin konsumen untuk mendapatkan barang-barang yang bagus di pasaran sesuai dengan standardnya. Artinya SNI juga berpihak kepada konsumen. Dengan kata lain SNI adalah kepastian hukum kepada konsumen. Kepastian hukum untuk mendapatkan barang yang SNI bagi konsumen dijamin Pasal

72

Wawancara dengan Sjarifuddin selaku Komisaris PT. Neo National, Medan, 12 Januari 2013.

(24)

8 ayat (1) huruf a. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Karena standar yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan adalah SNI yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.

Berbeda dengan apa yang dialami oleh PT. Neo National dalam kaitan pengaturan SNI dengan pengaturan perlindungan konsumen adalah pada saat produknya dijadikan barang bukti. Berdasarkan pengaturan SNI dalam Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, mengandung banyak frase “di dalam lokasi produksi dan di luar lokasi produksi”. Artinya di dalam lokasi produksi adalah di dalam pabrik tempat produksi barang tersebut, sedangkan di luar lokasi produksi adalah di luar pabrik tempat barang tersebut diproduksi tetapi ditekankan disini bahwa pengaturan SNI tidak melihat barang tersebut di pasaran melainkan hanya di lingkungan lokasi pabrik.

Apabila dilihat melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka barang tersebut sudah jelas haruslah berada di pasaran. Hal ini dikarenakan sudah adanya konsumen yang dirugikan terhadap suatu produk tersebut. Frase “memproduksi dan/atau memperdagangkan” disini haruslah berorientasi tujuan komersil, barulah sanksi pidana dapat diterapkan. Jadi, kaitan pengaturan SNI dengan pengaturan perlindungan konsumen adalah jelas sangat terkait karena guna melihat suatu produk tersebut apakah ada di lokasi pabrik ataukah di pasaran.

(25)

Permasalahan pelaku usaha yang sedang mengimplementasikan SNI tetapi diberikan sanksi pidana ini bisa saja diasumsikan dikarenakan oleh pemisahan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia.

1. Pemisahan Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI Menjadi Kementerian Perindustrian RI dan Kementerian Perdagangan RI

Pemisahan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia menjadi Kementerian Perindustrian Republik Indonesia dan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia adalah berdasarkan Peraturan Presiden No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. Pembentukan kementerian-kementerian ini adalah hak prerogatif Pemerintah dalam hal ini adalah Presiden.

Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan yang dulunya digabung, pada tahun 2009 dipisah. Kementerian Perindustrian mengurusi industri-industri yang ada di Indonesia, sedangkan Kementerian Perdagangan mengurusi setiap perdagangan barang dan jasa. Dalam hal SNI, Kementerian Perindustrian berwenang untuk mengurusi barang dan jasa yang masih berada di lokasi produksi maupun di luar lokasi produksi tetapi belum berada di pasaran. Sedangkan, Kementerian Perdagangan berwenang untuk mengawasi seluruh barang dan jasa sesudah sampai di pasaran. Hal ini dibuat untuk membagi kewenangan yang tadinya digabung.

Apabila dilihat contoh penelitian ini yang mengangkat permasalahan hukum PT. Neo National (produk masih berada di pabrik) seharusnya yang menjadi

(26)

kewenangan untuk menegakkan hukum adalah Kementerian Perindustrian. Hal ini dikarenakan produk tersebut belum beredar di pasaran. Sedangkan apabila Kipas Angin merk “SiJempol” tersebut yang diproduksi oleh PT. Neo National sudah diedarkan di pasaran maka sudah dapat dipastikan yang mengurusi hal tersebut adalah Kementerian Perdagangan. Fakta hukum yang terjadi adalah Kipas Angin merk “SiJempol” yang masih berada di lokasi pabrik-lah yang dijadikan barang bukti bukan yang berada di pasaran. Kementerian Perindustrian juga seakan-akan memberikan jalan kepada Kementerian Perdagangan yang mengambil kewenangannya.

2. Hubungan Kementerian Perindustrian RI dan Kementerian Perdagangan RI Dalam Pengaturan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Pengaturan Perlindungan Konsumen

Hubungan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan dalam pengaturan SNI dan pengaturan perlindungan konsumen adalah seharusnya kedua kementerian tersebut bekerja sama guna menegakkan hukum. Kementerian Perindustrian menegakkan Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, sedangkan Kementerian Perdagangan menegakkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Adapun fungsi Kementerian Perdagangan adalah menyelenggarakan73 a. “Perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perdagangan;

:

b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan;

73

(27)

c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Perdagangan; d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan

Kementerian Perdagangan di daerah; dan

e. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional”.

Pengawasan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berada di bawah kewenangan Kementerian Perdagangan khususnya Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen. Adapun fungsi Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen, yaitu74

a. “Perumusan kebijakan di bidang standardisasi dan perlindungan konsumen; :

b. Pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi dan perlindungan konsumen; c. Penyusunan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang

standardisasi dan perlindungan konsumen;

d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang standardisasi dan perlindungan konsumen;

e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen”.

Dalam hal pengawasan barang beredar dan jasa berada di bawah Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen yaitu Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa. Adapun fungsi Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, yaitu75

a. “Penyiapan perumusan kebijakan di bidang pengawasan produk pertambangan dan aneka industri, pengawasan produk pertanian, kimia dan kehutanan, pengawasan jasa, bimbingan dan operasional Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan kerja sama pengawasan barang beredar dan jasa;

:

b. Penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan produk pertambangan dan aneka industri, pengawasan produk pertanian, kimia dan kehutanan, pengawasan jasa, bimbingan dan operasional penyidik pegawai negeri sipil, dan kerja sama pengawasan barang beredar dan jasa;

c. penyiapan penyusunan pedoman, standar, norma, prosedur, dan kriteria di bidang pengawasan produk pertambangan dan aneka industri, pengawasan

74

Ibid.

75

(28)

produk pertanian, kimia dan kehutanan, pengawasan jasa, bimbingan dan operasional penyidik pegawai negeri sipil, dan kerja sama pengawasan barang beredar dan jasa;

d. penyiapan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan produk pertambangan dan aneka industri, pengawasan produk pertanian, kimia dan kehutanan, pengawasan jasa, bimbingan dan operasional penyidik pegawai negeri sipil, dan kerja sama pengawasan barang beredar dan jasa; dan

e. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat”.

Sedangkan tugas pokok Kementerian Perindustrian adalah menyelenggarakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang perindustrian. Adapun tugas pokok Menteri Perindustrian, antara lain76

a. “Perumusan kebijakan nasional, keijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang perindustrian;

:

b. Pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya;

c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Perindustrian;

d. Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya;

e. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden”.

Jika suatu produk cacat didapat di pasaran,maka konsumen akan melaporkan kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan di Kabupaten/Kota untuk selanjutnya diteruskan dalam tingkat penyidikan. Atau konsumen dapat mengadukan hal tersebut kepada Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Bilamana pun konsumen dirugikan maka dapat produsen tersebut dapat digugat di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian berwenang untuk mengatur dan mengawasi setiap barang dan jasa yang masih berada

(29)

di pabrik dan Kementerian Perdagangan mengatur dan mengawasi setiap barang yang sudah beredar di pasaran.

Kaitan Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasinal dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen apabila ditinjau dari sisi produknya adalah pada saat barang dan jasa tersebut masih berada di lokasi produksi maka yang berwenang adalah Kementerian Perindustrian, sedangkan apabila barang dan jasa tersebut sudah sampai di pasaran maka yang berlaku adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di bawah wewenang Kementerian Perdagangan.

3. Pengaturan SNI dan Pengaturan Perlindungan Konsumen Terkait Sepanjang Barang Sudah Didistribusikan Kepada Konsumen

Berbicara mengenai barang yang sudah didistribusikan kepada konsumen adalah berbeda dengan apabila barang masih berada di lingkungan pabrik. Barang yang masih di lingkungan pabrik, yang berwenang melakukan pengawasan adalah Petugas Pengawas Standar Barang dan Jasa di Pabrik (PPSP) dari Kementerian Perindustrian RI. Sedangkan apabila barang sudah keluar dari pabrik tempat diproduksinya barang tersebut, dengan kata lain, barang tersebut ada di tangan konsumen barulah yang berwenang melakukan pengawasan adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil – Perlindungan Konsumen (PPNS-PK). Begitu juga apabila barang sudah berada di tangan distributor. Intinya barang tersebut sudah keluar dari lingkungan pabrik tempat diproduksinya barang tersebut, maka yang berwenang adalah PPNS-PK.

(30)

Konsumen juga dapat melakukan pengawasan dengan memeriksa barang-barang yang diproduksi dengan sembarang-barangan. Apabila ditemukan dapat diadukan di BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) sebagai badan yang mengawasi peredaran barang dan jasa. Namun, apabila ada konsumen yang dirugikan, maka dapat melakukan gugatan ke BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), atau melaporkannya kepada pihak yang berwenang untuk itu. Barulah dapat diterapkan sanksi pidana yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.

Referensi

Dokumen terkait

(4) Kewadjiban-kewadjiban jang lain dari pada jang tersebut dalam ajat (1) di atas, jang dikerdjakan oleh Kabupaten-kabupaten tersebut dalam pasal 1, sebelum dibentuk

Berangkat dari PPM Hilink yang telah diikuti sebagai pijakan dasar rancangan penelitian berjudul” Pengembangan Desain furnitur dan Accessories interior LIMBUK-YU(Limbah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh karakteristik kewirausahaan, motivasi berprestasi dan self efficacy

maka perlu dilakukan metode yang baik dan tepat dalam proses belajar mengajar dengan menerapkan metode belajar yang lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan hasil

AMAN BENCANA STRATEGI PELAKSANAAN Pemerintah PEMPUS PEMDA Lembaga Internasional CSO INGO AKADEMISI ORMAS Asosiasi Profesi FORUM PRB Lembaga Keagamaan LEMBAGA USAHA LU Pusat LU

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pimpinan puskesmas dan Pemerintah Daerah Kota Denpasar untuk memperhatikan juga kepuasan pegawai puskesmas

Populasi sampel adalah seluruh penderita diabetes mellitus tipe 2 baik dengan atau tanpa penyakit penyerta yang tercatat sebagai pasien yang menjalani

Manfaat yang didapat masyarakat dari upaya untuk memperkenalkan jamu tradisional kepada anak melalui game adalah memperoleh pengetahuan tentang jenis-jenis jamu dan