• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUK FERMENTASI DAN KECERNAAN (IN VITRO) KULIT BUAH KAKAO (Theobroma cacao L) YANG TERFERMENTASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUK FERMENTASI DAN KECERNAAN (IN VITRO) KULIT BUAH KAKAO (Theobroma cacao L) YANG TERFERMENTASI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

PRODUK FERMENTASI DAN KECERNAAN

(

IN VITRO

) KULIT BUAH KAKAO

(

Theobroma cacao

L) YANG TERFERMENTASI

N.P. Mariani1 dan T.I. Putri1

1

Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Jalan P.B. Sudirman, Denpasar Bali

Email: mariani.putu10@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produk fermentasi dan kecernaan (in vitro) kulit buah kakao yang terfermentasi. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan dan tiga ulangan. Adapun perlakuannya adalah: K0: kulit buah kakao segar; K1: kulit

buah kakao segar + 2% EM-4 plus; K2: kulit buah kakao segar + 4% EM-4 plus dan K3 : kulit buah kakao

segar + 6% EM-4 plus. Fermentasi dilakukan selama 5 hari. Peubah yang diukur adalah produk fermentasi (pH, N-NH3 dan VFAtotal) dan kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO). Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk fermentasi yaitu pH dan VFA total tidak menunjukkan perbedaan diantara perlakuan. Kadar N-NH3 pada perlakuan K1 dan K2 masing-masing 62,31% dan 50,92%

nyata lebih tinggi (P<0,5) dibandingkan dengan perlakuan K0. Kadar N-NH3 pada K3 22,40% lebih rendah

dibandingkan dengan K0, namun berbeda tidak nyata (P>0,05). KCBK dan KCBO pada perlakuan K0, K1

dan K2 tidak menunjukkan perdedaan yang nyata diantara perlakuan, sedangkan KCBK dan KCBO pada

perlakuan K3 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan K0, K1 dan K2 masing-masing 22,07%:

18,92%; 13,40 dan 25,36%; 20,50% dan 13,03%. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pH dan VFA total tidak menunjukkan perbedaan, sedangkan KCBK dan KCBO tertinggi dihasilkan pada perlakuan K3 atau dengan penambahan 6% EM-4 plus.

Kata kunci: Kulit buah kakao, EM-4 plus, fermentasi, kecernaan in vitro

THE FERMENTATION PRODUCTS AND DIGESTIBILITY

(IN VITRO) OF FERMENTED

CACAO PODS HUSK (

Theobroma cacao

L

.

)

N.P. Mariani1 and T.I. Putri1

1

Department of Animal Nutrititon, Faculty of Ud Animal Science Udayana University. P.B. Sudirman Street, Denpasar - Bali

Email: mariani.putu10@gmail.com

Abstract

The study aimed to determine the fermentation products and digestibility invitro of fermented cocoa pods husk. The research was used completely randomized design . The experiment consisted of one factor, namely the doses of EM-4 plus, comprised of K0: fresh cacao pod husk; K1: fresh cacao pod husk + 2% EM-4 plus;

K2: fresh cacao pod husk + 4% EM-4 plus and K3: fresh cacao pod husk + 6% EM-4 plus. Cacao pod husk

were fermented for 5 days. After that the rumen fermentation product (pH, N-NH3 and VFA total), dry matter digestibility (DMD) and organic matter digestibility (OMD) were measured. The results of this research showed that the fermentation products namely pH and VFA total were not significantly different between the treatments. The level of N-NH3 in K3 was significantly different with K1 and K2, but not

significantly different with K0.The highest DMD and OMD were produced in K3 treatment or by the addition

of 6% EM-4 plus.

Keywords: cocoa pod husk,EM-4 plus, fermentation, in vitro digestibility

I.PENDAHULUAN

Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi keberhasilan suatu usaha peternakan. Ketersediaan bahan pakan ternak akhir-akhir ini terasa semakin terbatas. Hal ini disebabkan antara lain semakin menyusutnya lahan bagi pengembangan produksi hijauan akibat

(2)

2

penggunaan lahan untuk keperluan pangan dan tempat pemukiman. Oleh karena itu, perlu dicari sumber daya baru yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak alternatif yang mampu menggantikan sebagian atau seluruh hijauan.

Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan limbah tanaman pangan atau tanaman perkebunan. Mastika (2006) menyatakan salah satu komoditas perkebunan yang menghasilkan biomasa atau hasil sampingan yang cukup besar adalah tanaman kakao (Theobroma cacao L). Kakao (Theobroma cacao L) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang penanamannya meningkat sangat pesat. Luas areal tanaman kakao di Provinsi Bali tahun 2015 mencapai 14.470 ha dan menghasilkan produksi kakao sebesar 38.013 ton (Statistik Perkebunan Indonesia, 2015).Menurut Suparjo et al. (2011), persentase kulit buah kakao adalah 75% dari buah kakao secara utuh maka dihasilkan limbah kulit buah sebesar 28.509,75 ton dalam satu tahun. Pemanfaatan limbah hasil perkebunan atau kakao sebagai limbah agroindustri mempunyai fungsi yaitu sebagai sumber makanan berserat bagi ternak ruminansia (Mujnisa, 2007; Puastuti dan Susana, 2014).

Nilai gizi limbah perkebunan sangat rendah, terutama dari segi kandungan protein; selain itu limbah perkebunan mengandung serat kasar tinggi, sehingga menyebabkan nilai kecernaan rendah. Suharto (2004) melaporkan kulit buah kakao kandungan protein kasar 9,15%; lemak 1,25%; serat kasar 32,7% dan TDN 50,3%). Faktor pembatas penggunaan kulit buah kakao adalah selain tinggi kandungan serat kasar, juga mengandung tannin dan alkaloid theobromine ( 3,7-dimethylxanthine) sebesar 1,0% (Ginting, 2004). Theobromine dan tannin memiliki afinitas kuat terhadap protein dan karbohidrat (Amirroenes et al., 2005), sehingga menjadi faktor pembatas dari pemanfaatan kulit kakao untuk pakan ternak, karena dapat menghambat pertumbuhan mikroba rumen. Untuk menurunkan serat kasar dan meningkatkan nilai nutrisi pada limbah pertanian dibutuhkan suatu proses yang dapat mencakup proses fisik, kimiawi, maupun biologis antara lain dengan cara teknologi fermentasi (Pasaribu , 2007).

Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia substrat organik yang berlangsung dengan adanya katalisator-katalisator biokimia yaitu enzim yang dihasilkan oleh mikroba tertentu. Fermentasi dilakukan agar bahan pakan yang mengandung ikatan nutrien yang sulit dicerna ternak seperti lignoselulosa dapat disederhanakan (Aji et al., 2013., Darmawan et al,. 2014 dan Hermawan

et al., 2017). Fermentasi kulit buah kakao dapat dilakukan dengan menggunakan mikroorganisme yang bersifat selulolitik antara lain dengan menggunakan EM-4. Proses fermentasi dengan menggunakan mikroba seperti Effektive Mikroorganisme 4 (EM-4) dapat meningkatkan nilai kecernaan dan menambah rasa dan aroma serta meningkatkan vitamin dan mineral. EM-4

merupakan salah satu mikroba yang dapat mendegradasi kandungan serat kasar karena memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim laccase dan peroksidase yang dapat merombak dan melarutkan lignin yang terkandung pada bahan pakan yang berperan sebagai sumber energi bagi ternak, disamping itu juga EM-4 berperan meningkatkan kecernaan, sintesa protein mikroba, mengurangi bau kotoran, dan ramah lingkungan (Mangisah et al., 2009).

Berdasarkan uraian diatas, kiranya perlu dilakukan penelitian secara In Vitro tentang limbah kulit buah kakao yang difermentasi dengan menggunakan EM-4, yang nantinya dapat digunakan sebagai pakan sumber serat untuk ternak ruminansia.

II.METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Limbah kulit buah kakao yang digunakan sebagai perlakuan di dapatkan dari dusun Cau, Desa Tua, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan.

Starter yang digunakan dalam proses fermentasi adalah EM-4 plus yang dibeli di daerah Tabanan. EM-4 plus ini kandungannya EM-4 dan molases.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan (dosis EM-4 plus). Setiap perlakuan di ulang 4 kali sehingga terdapat 16 unit percobaan. Adapun perlakuannya adalah: K0: kulit buah kakao segar ; K1: kulit buah kakao

(3)

3

segar + 2% EM-4 plus; K2: kulit buah kakao segar + 4% EM-4 plus; K3 : kulit buah kakao segar + 6% EM-4 plus. Fermentasi dilakukan selama 5 hari.

Peubah yang Diamati

1. Produk fermentasi rumen 4 jam: pH, kadar N-NH3 dan VFA total cairan rumen

NH3 dalam cairan rumen ditentukan dengan metode Phenolhypochlorite melalui pembacaan spectrofotometer menurut Solarzano (1969).

- Konsentrasi VFA total.

Analisa kadar VFA total dilakukan dengan teknik destilasi uap (General Laboratory Procedure, 1966).

VFA total = (b- s ) x N HCl x 1000/5 mM Keterangan:

b = volume HCl yang digunakan (ml); s = volume titran contoh (ml);

N= normalitas larutan HCl

2. Kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO)

Pengamatan fermentasi secara in vitro dilakukan dalam dua waktu pengamatan yang berbeda yaitu 48 jam fermentatif dan 48 jam hidrolitik. Metode yang digunakan adalah menurut Minson dan Mc Leod Method (1972) yang dimodifikasi. Kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO) ransum dihitung dengan rumus:

1.

2.

Keterangan:

KCBK = Kecernaan Bahan Kering KCBO = Kecernaan Bahan Organik BK = Bahan Kering

BO = Bahan Organik

Analisis Data

Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis dengan sidik ragam. Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P<0,05) antar perlakuan, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncans pada taraf 5% menurut Steel dan Torrie (1993).

III.HASIL DAN PEMBAHASAN Produk Fermentasi In Vitro 4 Jam

Hasil kulit buah kakao terfermentesi secara in vitro pada inkubasi 4 jam menunjukkan pH substrat berkisar 7,74 – 8,06 (Tabel 1). Perbedaan penambahan dosis EM-4plus menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap pH rumen. Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan populasi dan aktivitas mikroba rumen. Utomo (2001) menyatakan bahwa derajat keasaman (pH) rumen antara lain dipengaruhi oleh jenis pakan yang dimakan terutama karbohidrat non-struktural, bahan pakan yang banyak mengandung karbohidrat non-struktural akan cepat menurunkan pH cairan rumen.

Konsentrasi N-NH3 substrat pada semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Perlakuan K0 kadar NH3nya tertinggi yaitu 4,91 mMol (Tabel 1), sedangkan kadar

BK sampel (g) – [BK residu (g) – BK residu blangko (g)]

KCBK (%) = --- x 100% BK sampel (g)

BO sampel (g)– [BO residu (g) – BO residu blangko (g)] KCBO (%) = --- x 100%

(4)

4

NH3 pada perlakuan K1 dan K2 masing-masing 62,31% dan 50,92% nyata lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan K0. Kadar NH3 pada K3 22,40% lebih rendah dibandingkan dengan K0, namun menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). Keberadaan N-NH3 di dalam rumen merupakan indikasi terjadinya degradasi protein. Protein yang terdegradasi di dalam rumen merupakan sumber nitrogen untuk mikroba rumen. Rataan konsentrasi N-NH3 pada penelitian ini berkisar 1,85 – 4,91 mMol. Hasil penelitian ini masih lebih rendah dari yang direkomendasikan oleh Sutardi (1979) yaitu 4 - 12 mMol. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kisaran normal konsentrasi N-NH3 untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yaitu sekitar 6-21 mM.

Tabel 1. Produk Fermentasi In Vitro 4 Jam Variabel Perlakuan1) SEM3) K0 K1 K2 K3 pH 7,74a2) 7,82a 8,06a 7,95a 0,07 N-NH3 (mMol) 4,91a 1,85b 2,41b 3,81a 0,38 VFA total (mMol) 80,32a 64,19a 76,71a 77,19a 8,52 Degradasi BK (%) 3,16d 10,14c 16,60b 24,89a 1,86 Degradasi BO (%) 11,62d 17,76c 23,76b 28,26a 0,83 Keterangan:

1). K0: kulit buah kakao segar ; K1: kulit buah kakao segar + 2% EM-4 plus; K2: kulit buah kakao segar + 4%

EM-4 plus; K3 : kulit buah kakao segar + 6% EM-4 plus.

2). Superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05) 3). SEM= “Standard Error of the Treatment Means”

Konsentrasi N-NH3 mencerminkan jumlah protein substrat yang tersedia di dalam rumen dan nilainya sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba rumen dalam mendegradasi protein substrat. Amonia merupakan sumber N yang penting bagi mikroorganisme yang hidup dalam rumen dan digunakan oleh mikroba rumen sebagai sumber N untuk sintesis protein mikroba (Darmawan et al., 2014). Rendahnya konsentrasi N-NH3 pada perlakuan K2 dan K3 kemungkinan telah dimanfaatkan oleh mikroba untuk menunjang pertumbuhannya.

Konsentrasi VFA total kulit buah kakao terfermentasi in vitro 4 jam pada semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). Karbohidrat pakan, di dalam rumen akan difermentasi oleh mikroba menjadi energi, yang terdiri dari asetat, propionat dan butirat serta sebagian kecil asam valerat. VFA merupakan sumber energi utama untuk ternak ruminansia (Preston dan Leng, 1987). Menurut Sutardi (1979) kisaran kadar VFA yang mencukupi pertumbuhan mikroba rumen adalah 80 – 160 mMol. Rataan VFA total pada hasil penelitian ini masih berada dibawah kisaran yang direkomendasikan oleh sutardi (1979) yaitu 64,19 – 80,32 mMol (Tabel 1) dan juga lebih rendah dari hasil penelitian Aji el al. (2013) kulit buah kakao yang difermentasi dengan aspergillus niger, VFA totalnya berkisar 83,6 – 87,2 mM

Degradasi bahan kering (BK) dan degradasi bahan organik (BO) kulit buah kakao terfermentasi pada fermentasi in vitro 4 jam menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) pada semua perlakuan. Degradasi BK tertinggi dihasilkan pada perlakuan K3 sebesar 24,89% dan terendah pada perlakuan K0 yaitu 3,16% (Tabel 1). Demikian pula terjadi pada pada degradasi BO tertinggi dihasilkan pada perlakuan K3 sebesar 28,26% dan terendah pada perlakuan K0 yaitu sebesar 11,62% (Tabel 1). Menurut Putra (1999), kecernaan bahan kering dan bahan organik dipengaruhi oleh faktor pakan dan jenis mikroba. Degradasi bahan kering dan bahan organik nyata meningkat dengan meningkatnya penambahan EM-4 plus yaitu berkisar 3,16-24,89% dan 11,62-28,26%. Hal ini menunjukkan bahwa fermentasi selama 4 jam enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen telah mampu mendegradasi limbah kulit buah kakao terfementasi untuk menghasilkan VFA sebagai sumber energi dan NH3 sebagai sember N yang nantinya digunakan untuk pertumbuhan dan sintesa protein mikroba.

Kecernaan In Vitro

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) kulit buah kakao terfermentasi meningkat secara nyata pada semua perlakuan (Tabel 2).

(5)

5 Tabel 2. Kecernaan In Vitro

Variabel Perlakuan1) SEM3) K0 K1 K2 K3 KCBK (%) 39,70b2) 40,75b 42,89b 48,46a 1,64 KCBO (%) 43,66b 45,42b 48,42b 54,73a 1,61 Keterangan:

1). K0: kulit buah kakao segar ; K1: kulit buah kakao segar + 2% EM-4 plus; K2: kulit buah kakao segar +

4% EM-4 plus; K3 : kulit buah kakao segar + 6% EM-4 plus.

2). Superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05) 3). SEM= “Standard Error of the Treatment Means”

KCBK tertinggi dihasilkan oleh K3 yaitu sebesar 48,46% (Tabel 2), sedangkan terendah KCBK pada perlakuan K0 adalah 39,70%. Pada perlakuan K1, K2 KCBK masing-masing 2,64% dan 8,04% lebih tinggi dibandingkan dengan K0, namun berbeda tidak nyata (P>0,05). Perlakuan K3 KCBKnya 13,40%; 18.92% dan 22,07% nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan K2, K1 dan K0.

Hasil KCBO pada perlakuan K0 adalah 43,66% , sedangkan KCBO pada perlakuan K1 dan K2 masing-masing 4,03% dan 10,90% lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan K0, namun berbeda tidak nyata (P>0,05). Untuk KCBO pada perlakuan K3 nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan K0, K1 dan K2 sebesar 25,36%; 20,50% dan 13,03%.

Hal ini terlihat bahwa semakin lama waktu fermentasi maka KCBK dan KCBO in vitro lebih tinggi dibandingkan dengan degradasi BK maupun BO pada fermentasi 4 jam (Tabel 1). Sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Suryani et al. (2013) dan Mariani dan Suryani (2016), bahwa semakin lama proses pencernaan maka kecernaan BK dan BO semakin meningkat. Kenyataan ini didukung oleh Putra (2006), bahwa pencernaan pakan secara fermentatif, baik bahan kering maupun bahan organik terdegradai semakin tinggi sejalan dengan lamanya proses fermentasi berlangsung.

Muhtarudin dan Liman (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi KCBK, semakin meningkat KCBO dan semakin tinggi peluang nutrisi yang dapat dimanfaatkan ternak untuk produksi dan begitu juga sebaliknya, jika semakin rendah KCBK, semakin rendah KCBO serta semakin rendah peluang nutrisi yang dapat dimanfaatkan ternak. Kulit buah kakao yang difermentasi dengan EM-4 plus menghasilkan nilai KCBK dan KCBO yang tinggi, hal tersebut berarti nilai nutrien dari kulit buah kakao dapat diserap dan dimanfaatkan oleh ternak. Kegunaan penentuan kecernaan adalah untuk mendapatkan nilai kualitas bahan pakan , sebab hanya bahan pakan yang dapat dicerna yang dapat diserap oleh tubuh. Tinggi rendahnya nilai manfaat dari bahan pakan menjadi tolak ukur kecernaan suatu bahan pakan dan merupakan pencerminan dari bahan pakan tersebut. Apabila kecernaannya rendah, maka nilai manfaatnya rendah pula. Sebaliknya, apabila kecernaannya tinggi, maka nilai manfaatnya tinggi pula

IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulakan bahwa produk fermentasi selama 4 jam, pH dan VFA total tidak menunjukkan perbedaan, sedangkan N-NH3 meningkat dengan meningkatnya dosis EM-4 plus dan Kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) tertinggi pada perlakuan K3 (6% EM-4 plus).

4.2. Saran

Disarankan perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang waktu fermentasi perlu

tingkatkan, untuk memperoleh hasil atau produk fermentasi yang optimal.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat serta Dekan Fakultas Peternakan, atas dana yang diberikan dalam Hibah Unggulan Program Studi (HUPS) Tahun Anggaran. 2017, sehingga penelitian dapat berjalan sebagaimana mestinya

(6)

6

V. DAFTAR PUSTAKA

Aji, D.M, S. Utami dan Suparwi. 2013. Fermentasi kulit buah kakao (Theobroma cocoa L.) menggunakan aspergillus niger pengaruhnya terhadap kadar VFA dan N-NH3 secara in-vitro. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 774-780.

Amirroenas D.E. 1990. Mutu Ransum Berbentuk Pellet dengan Bahan Serat Biomasa Pod Coklat (Theobroma cacao L.) untuk Pertumbuhan Sapi Perah Jantan.Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Darmawan. R., Suparwi dan T.R. Sutardi. 2014. Fermentasi kulit buah kakao (Theobroma cacao L.) dengan “probiotik x”ditinjau dari kadar total volatile fatty acid dan N-NH3 secara in-vitro. Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 197-203.

General Laboratory Procedures. 1966. Department of Dairy Science. University of Wisconsin. Madison.

Ginting. 2004. Tantangan dan Peluang Pemanfaatan Pakan Lokal untuk Pengembangan Peternakan Kambing di Indonesia. Sumber http://Peternakan litbang deptan.go.id.

Hermawan, I., A. R. Tarmidi dan T. Dhalika. 2017. Fermentabilitas ransum sapi perah berbasis jerami padi yang mengandung konsentrat yang difermentasi saccharomuces cereviseae dan EM-4. Malajah Ilmiah Peternakan, Vol 20 (2):45-47.

Mariani, N. P., dan N. N. Suryani. 2016. Kecernaan dan produk fermentasi rumen ( in vitro) ransum sapi bali induk dengan level energi berbeda. Majalah Ilmiah Peternakan, Vol. 19 (3):93-96.

Mastika, I.M. 2006. Pengolahan Limbah Kakao sebagai Pakan Alternatif untuk Pakan Sapi Bali. Laporan Akhir Demplot Pengendalian Hama PBK pada Buah Kakao dalam Pola Integrasi. Dinas Perkebunan Propinsi Bali dan HPT Faperta, Unud.

McDonald, P., R. A. Edward, J. F. D. Greenhalgh, and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed.Prentice all. London.

Minson, D.J. and M. M. McLeod. 1972. The In Vitro Technic: its Modification for Estimate Digestibility of Large Numbers of Tropical Pature Technique, Australia.

Mujnisa, A. 2007.Kecernaan Bahan Kering In Vitro, Proporsi Molar Asam Lemak Terbang dan Produksi Gas Pada Kulit Kakao, Biji Kapuk, Kulit Markisa dan Biji Markisa. Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak, Vol 6 (2).

Muhtarudin dan Liman. 2006. Penentuan Penggunaan mineral Organik untuk Memperbaiki Bioproses Rumen pada kambing secara In vitro. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 8:132- 140. .

Pasaribu, T. 2007. Produk fermentasi limbah pertanian sebagai bahan pakan unggas di Indonesia. Wartazoa, Vol 17(3):109-116.

Puastuti, W., dan I. W. R. Susana. 2014. Potensi dan pemanfaatan kulit buah kakao sebagai pakan alternatif ternak ruminansia. Wartazoa, Vol 24 (3):151-159.

Putra, S. 1999. “Peningkatan Performan Sapi Bali Melalui Perbaikan Mutu Pakan dan Suplementasi Seng Asetat” (Disertasi) Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Putra, S. 2006. Pengaruh suplementasi agensia defaunasi segar dan waktu inkubasi terhadap

degradasi bahan kering, bahan organic dan produk fermentasi secara in vitro. J. Protein Vol 13.(2):113-123.

Preston, T. R. and R. A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production Systems With Available Resources in The Tropics and Sub-tropics. Penambul Books Armidale.

Solarzano, L. 1969. Determination of ammonia in natural waters bay the phenol hypochlorite method. Limnology and Oceanography. Vol.14 (5)799-801. American Society of Limnology and Oceanography.

Statistik Perkebunan Indonesia. 2015. Kakao 2014-2016. Direktorat Jendral Perkebunan. Jakarta, Desember 2015.

Steel, R.G.D, dan J.H Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi II.Terjemahan: B Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta,Jakarta.

Suharto, M. 2004. Dukungan Teknologi Pakan dalam Usaha Sapi Potong Berbasis Sumberdaya Lokal. Lokakarya Nasional Sapi Potong.

(7)

7

Suparjo, K.G. Wiryawan, E.B. Laconi dan D. Mangunwidjaja. 2011. Performa kambing yang diberikan kulit buah kakao terfermentasi. Media Peternakan, hlm, 35-41.

Suryani, N.N, I. K. M. Budiasa dan I. P. A. Astawa. 2013. Suplementasi gamal sebagai rumen degradable protein (RDP) untuk meningkatkan kecernaan (in vitro) ransum ternak ruminansia yang mengandung jerami padi. Majalah Ilmiah Peternakan, Vol 16 (1): 1-5. Sutardi, T. 1979. Ketahanan Protein Bahan Makanan terhadap Degradasi oleh Mikroba Rumen dan

Manfaatnya Bagi Peningkatan Produktivitas Ternak. Proc. Seminar penelitian dan penunjang peternakan. LPP. Bogor.

Utomo, R. 2001. Penggunaan jerami padi sebagai pakan basal: suplementasi sumber energi dan protein terhadap transit partikel pakan, sintesis protein mikrobia, kecernaan, dan kinerja sapi potong. Disertasi Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

(8)
(9)
(10)

Gambar

Tabel 1. Produk Fermentasi In Vitro 4  Jam  Variabel  Perlakuan 1) SEM 3)K 0 K 1 K 2 K 3 pH  7,74 a2) 7,82 a 8,06 a 7,95 a 0,07  N-NH3 (mMol)  4,91 a 1,85 b 2,41 b 3,81 a 0,38  VFA total (mMol)  80,32 a 64,19 a 76,71 a 77,19 a 8,52  Degradasi BK (%)  3,16

Referensi

Dokumen terkait

(dalam Crow &amp; Crow, 1983) iaitu guru yang efektif ialah guru-guru yang mempunyai sifat-sifat seperti pengetahuan yang mendalam dalam mata pelajaran yang diajarnya,

Menurut hasil analisis deskriptif indikator “memiliki sikap yang baik” menjadi indikator yang dianggap responden paling tinggi sebagai penilaian mereka terhadap kinerja

Menerusi plot penceritaan yang digambarkan baik dalam novel (mulai halaman 343) mahupun filem (mulai minit 1.02), Tombiruo: Penunggu Rimba , kisah awal ataupun sejarah siapa dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian jenis tepung terhadap pertumbuhan populasi yaitu tepung gandum &gt; tepung jagung &gt; dedak &gt; tepung kacang

Skripsi ini merupakan penelitian tentang penggunaan dan kepuasan pengiklan khususnya anggota Arcade Agency Indonesia dalam menggunakan situs berita periklanan

Dari uraian diatas, maka peneliti sangat tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang, “ Pengaruh Kepemimpinan Kepala Madrasah dan Penerapan Strategi

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir berjudul ” Peran Public Relations PT Dirgantara Indonesia Bandung dalam Meningkatkan Citra Positif di Mata Masyarakat ”

Dari keenam definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenal emosi yang sedang terjadi kemudian mengelola emosi tersebut