Jurnal Ilmu Kehutanan
Journal of Forest Science https://jurnal.ugm.ac.id/jikfkt
Sifat Dasar Kayu Ganitri (
Elaeocarpus sphaericus
(Gaertn.) K. Schum.)
dari Sukabumi dan Potensi Penggunaannya
Basic Properties of Ganitri Wood (Elaeocarpus sphaericus (Gaertn.) K. Schum from Sukabumi
and Its Potential Uses
Esti Prihatini1*, Akhrudin Maddu1, Istie Sekartinging Rahayu2 & Mersi Kurniati1 1Program Studi Biofosika, FMIPA, IPB University, Kampus IPB Dramaga, Bogor, 16680
2Departemen Hasil Hutan, Fahutan, IPB University, Kampus IPB Dramaga, Bogor, 16680
Email: esti_prihatini@apps.ipb.ac.id
HASIL PENELITIAN
Riwayat Naskah :
Naskah masuk (received): 10 Oktober 2019 Diterima (accepted): 12 Februari 2020
KEYWORDS
fast-grown species,anatomical structure, ganitri, basic properties, potential utilization
KATA KUNCI
jenis cepatumbuh, struktur anatomi, ganitri, sifat dasar, potensi penggunaan
ABSTRACT
Ganitri (Elaeocarpus sphaericus (Gaertn.) K. Schum.) is a fast-growing tree that is widely found in Sukabumi, West Java. It grows in all part of Indonesia. A research was carried out to investigate basic properties (anatomical, physical, mechanical, and chemical) of ganitri wood from the community forest of Sukabumi. The purpose of this study was to determine the potential use of ganitri wood based on its basic properties and local utilization. The results showed that the color of ganitri sapwood was white , and it was not clearly demarcated from the yellow, with fewer figure patterns. The texture was fine with straight to interlocked grain. The wood was soft, not lustrous, and no special odor. Based on the fibre dimensions and derivative values, the quality of ganitri wood fell in Class II as a raw material for pulp and paper. Ganitri had high holocellulose and cellulose levels (70.70% and 54.58%), moderate level in lignin (21.60%), and it contained 3.47% extractive soluble in alcohol-benzene, and 0.81% ash. Based on its air dry specific gravity (0,35), ganitri wood could be classified into wood Strength Class IV. The potential uses of ganitri are for lightweight construction material, tools, furniture, plywood, connecting boards, and other panel products.
ABSTRACT
Ganitri (Elaeocarpus sphaericus (Gaertn.) K. Schum.) adalah pohon cepat tumbuh yang banyak ditemukan di Sukabumi. Kayu ini tumbuh di hampir semua wilayah Indonesia. Tulisan ini menyajikan
hasil pengujian sifat dasar (struktur anatomi, kimia, sifat fisis dan
mekanis) kayu ganitri yang diambil dari hutan rakyat di daerah Sukabumi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui potensi penggunan kayu ganitri berdasarkan sifat dasar dan penggunaan kayu oleh masyarakat sekitar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu ganitri memiliki kayu teras berwarna kuning dan kayu gubal berwarna putih. Corak kayu polos dan tekstur halus. Arah serat lurus sampai berpadu, kayu lunak, tidak mengkilap, dan tidak berbau. Berdasarkan nilai dimensi serat dan nilai turunannya, kayu
kadar sedang untuk lignin 21,60%, ekstraktif alkohol-benzena 3,47%, dan kadar abu 0,81%. Dengan berat jenis (BJ) kering udara 0,35 kayu ganitri termasuk ke dalam Kelas Kuat IV. Kayu tersebut disarankan untuk digunakan sebagai bahan bangunan konstruksi ringan, perkakas, furnitur, kayu lapis, papan sambung dan produk panel.
© Jurnal Ilmu Kehutanan -All rights reserved
Pendahuluan
K
ebutuhan kayu di Indonesia untuk berbagai keperluan terus meningkat, namun disisi lain pasokan kayu dari hutan alam cenderung menurun. Saat ini banyak dilakukan upaya untuk meningkatkan pasokan kayu dengan membangun hutan tanaman dan hutan rakyat yang didominasi jenis cepat tumbuh (fast growing species). Pada tahun 2016, hutan rakyat telah mencapai luasan sekitar 56.990 Ha (KLHK 2017). Salah satu keunggulan tanaman cepat tumbuh adalah waktu panen yang lebih singkat dan memiliki diameter kayu yang besar, sehingga dapat menanggulangi keterbatasan bahan baku pada industri kayu.Kayu ganitri (Elaeocarpussphaericus (Gaertn.) K. Schum.) yang merupakan sinonim dari Elaeocarpus angustifolius Bl adalah jenis kayu cepat tumbuh yang mulai banyak ditanam untuk hutan rakyat di Indonesia. Rahman (2012) menyatakan, kayu ganitri termasuk jenis tumbuhan bermanfaat ganda dengan pertumbuhan yang cepat serta teknik budidaya yang tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi. Kayu ganitri berukuran besar, dengan batang tegak, silindris dan kulitnya berwarna abu-abu terang sampai kecoklatan. Biji dan buah pohon ganitri dapat dimanfaatkan untuk perhiasan, kayu dimanfaatkan untuk pertukangan, memiliki fungsi pohon pelindung jalan raya (hutan kota). Pohon ini termasuk salah satu jenis cepat tumbuh yang sifat kayunya agak ringan dan lunak (Siarudin & Widiyanto 2013). Kelemahan yang pada umumnya ditemui pada kayu cepat tumbuh adalah persentase kayu teras yang rendah dan persentase kayu juvenil yang tinggi (Pandit & Kurniawan 2008).
Ganitri yang termasuk anggota famili
Elaeocarpaceae ini merupakan salah satu tanaman
kehutanan yang habitat aslinya berasal dari negara subtropis dengan penyebaran yang cukup luas sampai di Asia Tenggara. Penyebaran di Indonesia meliputi Pulau Jawa, Sumatera Barat, Sumatera Selatan (Palembang), Aceh, Timor, Lombok sampai Sumbawa (Heyne 1987). Di pulau Jawa terutama di daerah Jawa Barat, ganitri banyak terdapat di Cicalengka, Bandung, Tasikmalaya, Sukabumi, Pangandaran dan Cimerak. Di Jawa Tengah terdapat di daerah Wonosobo, Cilacap dan Kebumen, sedangkan di Jawa Timur banyak terdapat di daerah Terenggalek (Rahman 2012).
Dalam dunia perdagangan kayu, ganitri belum termasuk dalam kelompok kayu komersial meskipun sudah diketahui kegunannya. Hal ini sesuai dengan SK Menteri Kehutanan nomer 163 tahun 2003 tentang pengelompokan jenis kayu, ganitri belum termasuk kedalam kayu komersial (Kemenhut 2003). Kayu ganitri agak ringan hingga sedang, agak lunak, dan permukaan cukup halus. Kayu ini dapat digunakan untuk bahan bangunan dengan keawetan tergolong kelas awet IV (Heyne 1987). Menurut Sani (2015), jenis Eleocarpus sphaericus (Gaert.) K. Schum. yang berasal dari Sukabumi ini memiliki kelas awet V. Kayu ini mudah terserang rayap dan bubuk kayu kering.
Saat ini informasi sifat dasar kayu ganitri sebagai dasar pemanfaatannya secara optimal belum lengkap. Dengan pemahaman yang baik mengenai sifat kayunya, pemanfaatan kayu ganitri dapat lebih optimal untuk menghasilkan produk kayu yang lebih berkualitas sehingga diperoleh nilai tambah (added value) yang tinggi. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui potensi dasar penggunaan kayu ganitri berdasarkan sifat dasar yaitu sifat anatomi, fisis, mekanis dan kimianya.
Bahan dan Metode
Bahan dan alat
Bahan utama yang digunakan adalah satu batamg yang diambil dari Cikidang Sukabumi, berumur 6 tahun dengan tinggi pohon 15 m. Spesimen daun (herbarium) diambil untuk keperluan identifikasi jenis di Herbarium Puslitbanghut Bogor. Pohon dipotong berbentuk log (Gambar 1) sepanjang 2 m dan diambil bagian pangkal batangnya. Bahan lainnya antara lain potassium klorat (KClO3), asam nitrat (HNO3) 50%, safranin 2%, etanol, benzena, natrium hidroksida (NaOH), asam asetat glasial (CH3COOH), natrium klorit (NaClO2), asam sulfat (H2SO4), gliserin, akuadestilata, alumunium foil, kertas saring, dan kertas lakmus.
Alat yang digunakan adalah kaliper, timbangan elektrik, oven, desikator, tabung erlenmeyer, tabung reaksi, waterbath, gelas piala, gelas ukur, botol film,
pipet tetes, kaca preparat, cutter, cover glass, Sliding Microtome American Optical, mikroskop, kuas, laptop dan kamera mikrofoto, Universal Testing Machine (UTM) merek Instron, alat ekstraksi sokhlet, dan alat gelas.
Prosedur penelitian
Anatomi kayu
Log ganitri bagian pangkal dipotong melintang membentuk lempengan dengan tebal 10 cm. Permukaan lempengan diampelas halus untuk mempermudah pengamatan ciri umum. Lempengan kemudian dijadikan strip selebar ± 3 cm dengan cara dipotong memanjang dari kulit ke kulit melewati empulur. Pengamatan warna kayu dilakukan secara
Gambar 1. Log kayu ganitri umur 6 tahun asal Sukabumi (a). penampang melintang batang (b)
visual. Struktur anatomi yang diamati meliputi ciri makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan ciri umum dan makroskopis kayu menggunakan standar
SNI 8491:2018 (BSN 2018) tentang identifikasi jenis
kayu secara makroskopis. Pengamatan ciri umum meliputi warna kayu, corak, arah serat, tekstur kayu, kilap kayu, kesan raba, bau, berat, kekerasan. Ciri struktur anatomi makroskopis yang diamati yaitu keberadaan lingkar tumbuh, susunan dan sebaran sel pembuluh/pori-pori, parenkim, dan susunan jari-jari yang diamati secara langsung menggunakan lup micro capture. Pengamatan ciri mikroskopis
mengikuti ciri kayu intuk identifikasi kayu daun
lebar berdasarkan International Assosiation of Wood Anatomist (IAWA) dalam Wheeler et al. (2008) Pengamatan dilakukan terhadap sediaan mikrotom yang mewakili bagian gubal, peralihan, dan teras masing-masing 25 pori. Dimensi serat diukur melalui sediaan maserasi dari contoh uji yang mewakili bagian teras, peralihan, dan gubal yang dibuat dengan menggunakan metode Schultze yang
dimodifikasi (Prihatini 2016) dan diukur
masing-masing bagian 200 serat.
Sifat fisis kayu
Pengujian sifat fisis kayu meliputi pengujian kadar air, kerapatan, dan berat jenis (BJ) kondisi basah dan kering udara, serta stabilitas dimensi (T/R-rasio). Contoh uji pada bagian pangkal batang diambil secara acak mewakili bagian gubal, peralihan, dan teras. Contoh uji kerapatan, BJ, dan kadar air berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm sesuai British Standard BS 373-1957, sedangkan pengujian stabilitas dimensi menggunakan contoh uji berukuran 2.5 cm x 2.5 cm x 10 cm sesuai standar ASTM D143 (2002).
Sifat mekanis kayu
Log dari bagian pangkal batang digergaji menjadi balok ukuran 6 cm x 6 cm x 200 cm. Pengujian sifat mekanis terdiri dari uji modulus of elasticity (MOE),
modulus of rupture (MOR), dan uji kekerasan dengan menggunakan standar ASTM D143 (ASTM 2002). Pengujian MOE dan MOR dilakukan pada contoh uji berukuran 2.5 cm x 2.5 cm x 41 cm dengan jarak bentang 36 cm yang diambil pada bagian dekat kulit. Pengujian dilakukan dengan Universal Testing Machine (UTM) merk Instron 3369 dalam keadaan kering udara. Uji kekerasan menggunakan standar BS-373 tahun 1957 dengan sampel berukuran 2 cm x 2 cm x 6 cm dalam kondisi kering udara. Pengujian dilakukan dengan cara menekan setengah bola baja yang berdiameter 0.444 inchi dengan luas penampang tekan 1 cm2 pada arah radial maupun
tangensial kayu.
Komponen kimia kayu
Sampel kayu untuk pengujian komponen kimia diambil dari gubal, peralihan, dan teras dibuat serbuk berukuran 40-60 mesh dengan alat willey mill.
Penyiapan serbuk untuk analisis kimia ini mengacu pada standar TAPPI T 246 om 88 (TAPPI 1996) tentang penyiapan sampel uji kayu untuk analisis kimia. Komponen kimia yang dianalisis meliputi
kadar holoselulosa, α-selulosa, lignin, ekstraktif, dan abu. Penetapan holoselulosa dan α-selulosa mengacu
kepada Browning (1967). Penentuan kadar lignin dilakukan dengan mengacu pada standar TAPPI 222 om 88 (TAPPI 1996) dengan modifikasi (Dence 1992). Pengukuran kadar zat ekstraktif terlarut air dingin mengacu pada standar TAPPI T 207 om 88 (TAPPI 1996), dan kadar zat ekstraktif terlarut air panas mengacu pada standar TAPPI T 207 om 88 (TAPPI 1996). Pengukuran kadar zat ekstraktif terlarut dalam NaOH 1% mengacu pada standar TAPPI T 212 om 88 (TAPPI 1996), dan kadar zat ekstraktif (etanol-benzen 1:2) mengacu pada standar TAPPI T 204 om 88 (TAPPI 1996). Pengujian kadar abu mengacu pada standar ASTM D-1102 (ASTM 2007).
Hasil dan Pembahasan
Sifat anatomi
Hasil identifikasi jenis pada spesimen daun
dan bunga menunjukkan bahwa kayu yang diamati
adalah Elaeocarpus spaericus (Gaertn.) K.Schum yang merupakan sinonim dari Elaeocarpus angustifolius Bl. Dari famili Eleocarpaceae. Hasil pengamatan ciri umum menunjukkan kayu ganitri memiliki kayu teras berwarna kuning, tidak terlalu jelas bedanya dengan gubal yang berwarna putih (Gambar 1). Corak kayu polos dan tekstur halus. Arah serat lurus sampai berpadu, kayu lunak, tidak mengkilap, dan tidak berbau.
Kayu memiliki lingkar tumbuh yang tidak jelas (Gambar 2). Pembuluh termasuk ke dalam penyebaran pori tata baur yang didominasi oleh sel yang bergabung radial 2-3 sel (Gambar 3), ada pula yang soliter, dan memiliki tilosis. Berdasar pedoman dari IAWA (Wheeler et al. 2008), ciri mikroskopis kayu ganitri yaitu, pori memiliki bidang perforasi sederhana(ciri 13), ceruk/noktah antar pembuluh selang seling(ciri 22), ceruk/noktah berumbai(ciri 29), ceruk/noktah antar pembuluh-jejari bundar atau bersudut(ciri 31), diameter pembuluh 101±16.94µm(ciri 42) termasuk agak kecil (Martawijaya et al. 2005) dengan frekuensi agak jarang 6±1 per mm2(ciri 47). Ganitri memiliki dinding
serat yang sangat tipis(ciri 68) dengan diameter
serat 25.13±2.83 μm, diameter lumen 19.57±2.11 μm, dan tebal dinding serat 2.78±0.46 μm. Panjang
serat ganitri umur enam tahun ini tergolong sedang
(1036.73±143.56μm) (ciri 72) dan lebih panjang jika
dibandingkan dengan ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb,) umur tiga tahun yaitu 1040 μm (Kusumastuti
2018), ini menunjukkan kayu tegakan muda memiliki serat yang lebih pendek (Pansin &d e Zeeuw 1980). Jika dibandingkan dengan serat kayu jabon putih dan sengon umur enam tahun (1245 µm dan 1170 µm) hasil penelitian Rahayu (2014), maka kayu ganitri memiliki serat yang lebih pendek. Parenkim ganitri termasuk dalam jenis apotrakea diffuse (ciri 76), jari-jari uniseriet, biseriet, dan sebagian besar multiseriet (4-6 sel), dan berdasarkan IAWA termasuk dalam kategori jari besar (ciri 98). Komposisi jari-jari terdiri dari sel baring dengan sel tegak 4-6 sel
marjinal(ciri 108), tinggi 779±174.43 μm, lebar 66.93±12.59 μm, dan jumlah 7±1 sel per mm(ciri 115).
Kualitas serat
Peranan dimensi serat seperti panjang, diameter, serta tebal dinding sel mempunyai hubungan satu sama lain yang kompleks dan berpengaruh terhadap
sifat fisik pulp dan kertas serta produk serat lainnya
(Lempang et al. 2012). Hasil pengukuran dimensi serat ganitri umur enam tahun diketahui panjang
Gambar 2. Struktur makro kayu ganitri umur 6 tahun asal Sukabumi : penampang tangensial (a) dan penampang lintang(b), dan tilosis (c)
Figure 2. Macro structure of 6-year old ganitri wood from Sukabumi: tangential surface (a) and cross section(b), and tylosis (c)
Gambar 3. Struktur mikroskopis kayu ganitri umur 6 tahun asal Sukabumi: penampang melintang(a); radial(b); tan-gensial(c);ceruk/noktah antar pembuluh(d); ceruk/noktah berumbai(e)
Figure 3. Microscopic structure of 6-year old ganitri wood from Sukabumi: cross(a); radial (b) and tangential sction (c); intervessel pits(d); vestured pits(e)
serat kayu 1036.73 ± 143.56 μm, diameter serat 25.13 ± 2.83 μm, 19.57 ± 2.11 μm, dan tebal dinding serat adalah 2.78 ± 0.46 μm. Berdasarkan turunan dimensi seratnya dilakukan klasifikasi kualitas
serat kayu ganitri untuk pembuatan pulp dan kertas berdasarkan Rahman dan Siagian (1976), dan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi kualitas serat kayu ganitri umur 6 tahun asal Sukabumi untuk bahan pembuatan pulp kertas
Table 1. Quality classification on wood fibers of 6-year old ganitri from Sukabumi for pulp and paper manufacturing
Penilaian dan Klasifikasi
Turunan dimensi serat Panjang
serat Bilangan Runkel Daya Tenun Bilangan Fleksibilitas Bilangan Muhlsteph Koefisien Kekakuan Total
Rata-rata 1036.73 0.29 41.40 0.11 39.37 0.78
Nilai 50 50 25 25 50 25 225
Kelas Mutu II II III III II II II
Hasil pengukuran dimensi serat dan nilai turunannya dibandingkan dengan standar kriteria untuk analisis kualitas serat kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas menunjukkan bahwa nilai dimensi dan nilai turunan serat kayu ganitri umur enam tahun asal Sukabumi ini memenuhi kriteria karakteristik serat untuk pulp/kertas dengan kelas mutu II. Nilai ini jika dibandingkan dengan kayu jabon putih umur tujuh tahun dengan panjang serat 1283 um, dan nilai turunan serat untuk bilangan Rungkel 0,445, daya tenun 43,818, bilangan fleksibilitas 0,55, bilangan Muhlsteph 69,135, dan koefisien kekakuan 0,414, memiliki kualitas kelas mutu yang sama yaitu kelas mutu II (Emil 2014).
Sifat fisis kayu
Sifat fisis kayu yang dianggap mendasar yaitu
kadar air, kerapatan, BJ, dan penyusutan. Kadar air kayu sangat bergantung pada volume rongga selnya serta berat jenis kayu tersebut. Kerapatan
kayu didefinisikan sebagai jumlah bahan penyusun
dinding sel maupun zat-zat yang lain yang akan memberikan sifat kekuatan pada kayu tersebut
(Bowyer et al. 2003). Menurut Tsoumis (1991), BJ dipengaruhi oleh kadar air, struktur kayu, zat
ekstraktif dan komponen kimia. Pengujian sifat fisis
kayu ganitri dilakukan pada kondisi basah, kering
udara, dan kering tanur. Hasil pengujian sifat fisik
kayu ganitri disajikan pada Tabel 2.
Hasil pengujian menunjukkan rata-rata nilai BJ dan kerapatan kayu ganitri umur enam tahun dari Sukabumi pada kondisi kering udara berturut-turut adalah 0,35 dan 0,40 g/cm3. BJ ganitri umur enam
tahun ini lebih rendah dibanding BJ kayu jabon putih yaitu 0,37 (Widiyanto & Siarudin 2016). Kerapatan ganitri umur enam tahun asal Sukabumi ini hampir sama dengan penelitian kayu ganitri sebelumnya yaitu 0.40-0.45 g/cm3 (Gustina 2016). Berdasarkan
nilai BJ kayu, maka kayu ini termasuk dalam kayu dengan Kelas Kuat IV (Martawijaya et al.2005).
Rata-rata nilai penyusutan kayu dimensi tangensial dan radial dari keadaan basah ke kering udara masing-masing adalah 1,98% dan 0,68%. Dengan demikian maka rasio penyusutan dimensi tangensial terhadap dimensi radialnya (T/R-rasio) sebesar 2.9. Hal ini menunjukkan bahwa kayu ganitri
Tabel 2. Sifat fisis kayu ganitri umur 6 tahun asal Sukabumi
Table 2. Physical properties of 6-year old ganitri wood from Sukabumi
Sifat Fisik Rata-rata
Kadar air basah (%) 65,55 ±7,00
Kadar air kering udara (%) 14,71±0,39
Berat jenis basah 0,45±0,03
Berat jenis kering udara 0,35±0,03
Kerapatan basah (g/cm3) 0,74±0,04
Kerapatan kering udara (g/cm3) 0,40±0,03
Penyusutan dari basah ke kering udara (%):
- Radial 0,68±0,13
- Tangensial 1,98±0,6
Penyusutan dari basah ke kering tanur (%):
- Radial 2,4±0,05
memiliki stabilitas dimensi yang kurang baik. Berat jenis, struktur anatomi, dan T/R-rasio mempengaruhi sifat pengeringan kayu. Kayu dengan T/R-rasio di atas dua memiliki cacat pengeringan (terutama cacat bentuk) yang lebih banyak dibandingkan kayu dengan T/R-rasio yang seimbang atau kurang dari 2 (Basri et al. 2009).
Sifat mekanis kayu
Sifat mekanis kayu merupakan sifat-sifat yang dihubungkan dengan kemampuan kayu untuk menahan beban atau muatan yang bekerja pada kayu tersebut. Dalam berbagai penggunaan, kekuatan kayu sangat penting untuk diketahui terutama jenis-jenis kayu yang diperjual-belikan dan kegunaannya untuk konstruksi (Kasmudjo 2010). Dalam penggunan struktural, sifat mekanis merupakan kriteria pertama untuk pemilihan bahan yang akan digunakan (Haygreen et al. 1989). Sifat mekanis yang diuji adalah Modulus of Elasticity (MOE), Modulus of Rupture (MOR), dan kekerasan. MOE merupakan kekuatan kayu yang berhubungan langsung dengan kekakuan kayu, sedangkan MOR merupakan kekuatan kayu yang menentukan besarnya beban yang dapat ditanggung oleh kayu tersebut (Shmulsky & Jones 2011). Pengujian sifat mekanis kayu ganitri dilakukan pada kondisi kering udara (14,71%). Hasil pengujian sifat mekanis kayu ganitri disajikan pada Tabel 3.
Berdasarkan dari data pengukuran MOR, kayu ganitri umur enam tahun dari Sukabumi termasuk kelas kuat IV, hal ini sesuai dengan Martawijaya (2005). Nilai MOE dan MOR kayu ganitri umur enam tahun jika dibandingkan dengan kayu jabon (61900 kg/cm2 dan 587 kg/cm2) lebih kecil), tetapi
berdasarkan nilai berat jenisnya termasuk ke dalam kelas kuat IV sama dengan jabon (Leliana 2011) .
Kekerasan kayu dipengaruhi oleh kerapatan kayu, ukuran serat dan daya ikat antar serat (Dumanauw 2011). Kekerasan berhubungan dengan kekuatan kayu dalam menahan pengikisan goresan dengan bahan lain, juga dengan mudah tidaknya pengerjaan kayu. Produk furniture membutuhkan sifat ini agar mampu menahan kikisan pada permukaannya (Tsoumis 1991; Darmawan et al. 2011). Kekerasan kayu ganitri masih di bawah kekerasan kayu jabon 257 kg/cm2 (Leliana 2011) namun tidak jauh berbeda
dengan kayu sengon 170.50 kg/cm2 (Martawijaya et
al. 2005).
Sifat kimia kayu
Komponen kimia kayu dibedakan atas komponen yang terikat di dinding sel dan yang mengisi rongga sel. Komponen yang terikat di dinding sel terdiri dari holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) serta lignin, sedangkan yang terdapat di dalam rongga sel adalah zat ekstraktif. Hasil analisis kadar komponen kimia kayu ganitri disajikan dalam Tabel 4.
Pada umumnya, jumlah holoselulosa pada kayu adalah 65–70% berdasarkan berat kering kayu (Rowell 2005). Kadar holoselulosa sering dikaitkan dengan potensi rendemen produk pulp (Syafii & Siregar 2006). Kayu ganitri umur enam tahun dari Sukabumi memiliki kadar holoselulosa 70,70%, ini mengindikasikan bahwa kayu tersebut sangat baik digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp menggunakan proses kimia (FAO 1980). Kadar holoselulosa ini lebih kecil dibanding kayu jabon sebesar 74,85% (Emil 2014). Rata-rata kadar selulosa
hasil pengukuran yang dinyatakan sebagai α-selulosa
adalah 54,58%, dimana nilainya lebih tinggi dari kayu jabon yaitu 42,26 (Emil 2014). Nilai tersebut tergolong tinggi (> 45%) berdasarkan klasifikasi komponen kimia kayu daun lebar Indonesia (Departemen Pertanian 1976).
Tabel 3. Sifat mekanis kayu ganitri umur 6 tahun asal Sukabumi Table 3. Mechanical properties of 6-year old ganitri wood from Sukabumi
Sifat Mekanik Rata-rata
Modulus elastisitas/MOE (kg/cm2) 56080,5±2392,83
Keteguhan lentur pada batas patah /MOR (kg/cm2) 399,19±85,00
Kekerasan radial (kg/cm2) 149,01±28.12
Tabel 4. Komponen kimia kayu ganitri umur 6 tahun asal Sukabumi Table 4. Chemical properties of 6-year old ganitri wood from Sukabumi
Komponen Kimia Rata-rata
Holoselulosa 70,70±3,67
α-selulosa. 54,58±4,98
Lignin 21,60±3,13
Zat ekstraktif:
Kelarutan air dingin 1,55±0,59
Kelarutan air panas 3,03±0,39
Kelarutan etanol-benzen (1:2) 3,47±0,26 Kelarutan dalam NaOH 1% 14,34±2,14
Kadar abu 0,81±0,07
Lignin merupakan penyusun utama dinding sel kayu kedua terbesar setelah selulosa. Kadar lignin berpengaruh pada banyaknya pemakaian bahan kimia (Kasmudjo 2010). Kandungan lignin (Klason) kayu ganitri umur enam tahun asal Sukabumi adalah 21,60%, nilai ini lebih rendah dibandingkan kayu jabon umur tujuh tahun sebesar 27,62% (Emil 2014). Nilai ini apabila dihubungkan dengan klasifikasi komponen kimia kayu daun lebar Indonesia tergolong pada kategori sedang (18-32%), maka lebih baik menggunakan proses semi kimia atau kimia dalam pembuatan pilp kertas (FAO 1980)..
Kadar zat ekstraktif kayu yang berasal dari daerah temperate berkisar antara 4-10% dan di daerah tropis dapat mencapai 20% (Telmo & Lousada 2011). Komponen yang terlarut dalam air dingin adalah tanin, gum, karbohidrat, dan pigmen (zat warna kayu), sedangkan yang terlarut dalam air panas adalah sama dengan yang terlarut dalam air dingin tetapi dengan kadar zat yang terlarut lebih besar. Kelarutan ekstraktif kayu ganitri umur enam tahun dalam air dingin adalah 1,55% dan dalam air panas 3,03%, kelarutan ini lebih kecil dibandingkan kelarutan air dingin dan air panas kayu jabon umur 7 tahun sebesar 6,9% dan 7,3% (Emil 2014). Kelarutan dalam alkohol-benzena 1:2 untuk kayu ganitri sebesar 3.47% yang termasuk dalam nilai kadar ekstraktif sedang (2-4%). Penggunaan kayu untuk tujuan pertukangan disarankan mempunyai kandungan ekstraktif lebih dari 3%, tetapi untuk
tujuan pulp bisa ≤3% (Kasmudjo 2010).
Kelarutan dalam NaOH 1% sering digunakan untuk menilai kerusakan kayu diakibatkan oleh serangan jamur pelapuk kayu, terdegradasi oleh
cahaya, panas, dan oksidasi (Pari et al. 2006). Semakin tinggi kelarutan dalam NaOH, tingkat kerusakan kayu juga meningkat dan dapat menurunkan rendemen pulp. Kelarutan dalam NaOH 1% untuk kayu ganitri umur enam tahun dari Sukabumi adalah sebesar 14,34%. Kelarutan NaOH 1% ganitri lebih rendah dari kayu jabon 17,25% (Emil 2014), berarti lebih kecil kerusakannya karena serangan mikroorganisme disbanding jabon.
Kadar abu menjadi salah satu parameter penting dalam penilaian biomassa sebagai bahan baku energi. Tsoumis (1991) menyebutkan besarnya kadar abu pada kayu umumnya sebesar 0.1-5% dan semakin rendah kadar abu maka nilai kalor yang dihasilkan akan semakin besar. Hasil pengukuran kadar abu kayu ganitri umur enam tahun dari Sukabumi sebesar 0.81% tergolong sedang dengan nilai kisaran diantara 0.2-6% (Departemen Pertanian 1976).
Kesimpulan
Kayu ganitri berumur enam tahun asal Sukabumi memiliki kayu teras berwarna kuning, tidak terlalu jelas bedanya dengan gubal yang berwarna putih. Corak kayu kurang jelas,teksturnya agak halus, arah serat lurus hingga berpadu, tekstur agak halus, permukaan kayu kusam, kesan raba kurang licin,tidak berbau khas, agak ringan, dan lunak. Kayu memiliki lingkar tumbuh yang tidak jelas. Diameter pori termasuk agak kecil dengan sebaran tata baur dan tersusun soliter hingga bergabung radial 2-4 sel, terdapat tilosis, dan memiliki bidang perforasi sederhana. Ganitri memiliki dinding serat yang sangat tipis dan panjang serat tergolong sedang. Parenkim kayu ganitri apotrakea diffuse, jari-jari
uniseriet, biseriet, dan sebagian besar multiseriet termasuk dalam kategori jari-jari besar, terdiri dari sel baring dengan sel tegak 4-6sel marjinal dengan jumlah yang agak banyak. Berdasarkan panjang serat dan nilai turunan dimensi seratnya, maka kayu ganitri termasuk ke dalam Kelas Mutu II. Proses
pulping disarankan menggunakan proses kimia karena kadar holoselulosa tergolong sangat tinggi (70.70%). Selanjutnya, dengan berat jenis kering udara sebesar 0.35 maka kayu ganitri umur enam tahun asal Sukabumi termasuk ke dalam kelas kuat IV. Kayu ini disarankan sebagai bahan bangunan konstruksi ringan dan produk panel. Kadar selulosa termasuk kategori tinggi, sedangkan lignin, ekstraktif dalam alkohol-benzena (1:2), dan kadar abu semuanya termasuk kategori sedang.
Daftar Pustaka
American Society for Testing and Materials. 2007. ASTM D-1102. Test method for ash in wood. ASTM International, West Conshohocken.
American Society for Testing and Materials. 2002. Annual book of ASTM standards (Volume 04.10 Wood D143. American Society for Testing and Materials.ASTM International.
Basri E, Saefuddin S, Rulliaty, Yuniarti K. 2009. Drying conditions for 11 potential Ramin subtitutes. Journal of Tropical Forest Science 21(4). 328-335.
Badan Standardisasi Nasional. 2018. Identifikasi jenis kayu
secara makroskopis. BSN. Jakarta.
Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Forest products and wood science: An introduction. Fourth Edition. IOWA State University Press, Ames. Iowa.
Browning BL. 1967. Methods of wood chemistry. Interscience Publ, New York.
British Standard. 1957. Methods of testing small clear spesimens of timber. BS 373.
Darmawan W, Rahayu IS, Padlinurjaji IM, Pandit KN. 2011. Pengerjaan kayu ilmu-ilmu penunjang dan teknologi proses. Bogor: IPB Press.
Dence CW. 1992. The determination of lignin. In: Lin SY. Dence CW (Eds). Method in lignin chemistry. Berlin (DE): Springer-Verlag. pp.33-64. Browning BL. 1967. Methods of wood chemistry. Interscience Publ, New York.
Departemen Pertanian. 1976. Vademecum kehutanan Indonesia. Direktorat Jendral Kehutanan. Jakarta. Dumanauw JF. 2001. Mengenal kayu. Semarang: Pendidikan
Industri Kayu Atas.
Emil N 2014. Analis komponen kimia dan dimensi serat kayu jabon. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
FAO. 1980. Guideline for utilization and marketing of tropical wood species. Food and Agricultural Organization of the United Nation, Rome.
Gustina A. 2016. Sifat fisis, sifat mekanis dan keawetan
kayu ganitri (elaeocarpus sphaericus Schum) setelah perlakuan pemanasan. Skripsi. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Haygreen JG, Bowyer JL. 1989. Hasil hutan dan ilmu kayu. Suatu pengantar. Hadikusumo SA, penerjemah; Prawirohatmodjo, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Forest Product and Wood Science, an Introduction.
Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia II. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Kasmudjo, 2010. Teknologi hasil hutan. Cakrawala Media, Yogyakarta.
Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. 2003. Keputusan Mentri Kehutanan nomor 163/Kpts-II/2003 tentang pengelompokan jenis kayu sebagai dasar pengenaan iuran kehutanan. Kementrian Kehutanan. Jakarta.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2017. Hutan rakyat Indonesia. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
Kusumastuti W. 2018. Struktur anatomi dan dimensi serat pada arah aksial dan radial pada kayu ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb.) dari Kabupaten Wonosobo. Skripsi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
Leliana R. 2011. Pengujian sifat fisis dan mekanis kayu
jabon (Anthocepalus cadamba (Roxb.) Miq.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Lempang M, Asdar M, Rulliaty S. 2012. Struktur anatomi,
sifat fisis dan mekanis kayu kambelu (Buxus rolfie
Vidal.) dan kanduruan (Phoebe cuneata Blume) asal hutan alam di Sulawesi Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 31(1): 27-35.
Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang Y I, Prawira S A, Kadir K. 2005. Atlas kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutana, Bogor. Pandit I, Kurniawan D. 2008. Anatomi kayu: Struktur kayu,
kayu sebagai bahan baku dan ciri diagnostik kayu perdagangan Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Panshin AJ. de Zeeuw C. 1980. Text book of wood technology. McGraw-Hill Book Co.Iowa. pp. 209-272.
Pari G, Roliadi H, Setiawan D, Saepuloh. 2006. Komponen kimia sepuluh jenis kayu tanaman dari Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24(2): 89-101.
Prihatini E. 2016. Modifikasi metode maserasi kayu. Makalah
Karya Ilmiah Tendik Berprestasi Kemristekdikti. Rachman AN, Siagian RM. 1976. Dimensi serat jenis kayu
Indonesia. (Laporan No.75). Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor.
Rahayu IS, Darmawan D, Nugroho N, Nandika D, Marchal R. 2014. Demarcation Point Between Juvenile and
Mature Wood in Sengon (Falcataria moluccana) and Jabon (Anthocephalus cadamba). Journal of Tropical Science 26(3):331-339
Rahman E. 2012. Kajian potensi pemanfaatan jenis ganitri (Elaeocarpus spp.). Jurnal Mitra Hutan Tanaman 7
(2):39 – 50.
Rowell R M. 2005. Wood Chemistry and Wood Composites. CRC Press, United States.
Sani A. 2015. Sifat Keawetan, Keterawetan dan Pengeringan Kayu Ganitri (Elaeocarpus sphaericus Schum) Asal Sukabumi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siarudin M, Widiyanto A. 2013. Karakteristik penggergajian
kayu ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb.) dari hutan rakyat dengan pola agroforestri. Jurnal Hutan Tropis. 1(2)
Siarudin M, Widiyanto A. 2016. Karakteristik sifat fisik
kayu jabon (Anthocepalus cadamba Miq.) pada arah longitudinal dan radial. Jurnal Hutan Tropis. 4(2)
Shmulsky R, Jones. 2011. Forest product and wood science: An introduction 6th Edition. Wiley-Blacwell
Syafii W, Siregar IZ. 2006. Sifat kimia dan dimensi serat
kayu mangium (Acacia mangium Willd.). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 4(1). 28-32.
Technical Association of the Pulp and Paper Industy. 1996. TAPPI test methods. TAPPI Press, Atlanta.
Telmo C, Lousada J. 2011. The explained variation by lignin and extractive content on higher heating value of wood. Biomass Bioenergy 35:1663- 1667.
Tsoumis G. 1991. Science of technology of wood (structure, properties, utilization). Van Nostrand Reinhold, New York.
Wheeler EA, Baas P, Gasson E. 2008. IAWA (Komite Perhimpunan Anatomiwan Kayu International).
Identifikasi kayu: ciri mikroskopik kayu untuk identifikasi kayu daun lebar. (terjemahan)
Sulistyobudi A, Mandang YI, Damayanti R, Rulliaty S, penerjemah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Badan Litbang Kehutanan Bogor.