• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Beberapa dekade belakangan ini,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Beberapa dekade belakangan ini,"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang mempunyai karakterisktik meningkatnya nilai glukosa plasma darah. Kondisi hiperglikemia ini diakibatkan oleh adanya gangguan pada sekresi insulin, aksi insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus merupakan penyakit yang menyumbangkan angka kematian yang tinggi dan telah menjadi perhatian yang utama pada para pengambil kebijakan di bidang kesehatan. Beberapa dekade belakangan ini, diabetes melitus telah menjangkiti sekitar 140 juta orang di dunia. Tahun 2010 kemarin diperkirakan telah menjangkiti sekitar 220 juta orang penduduk dunia (Valero dkk., 2007).

Mitchell dkk. (2009), membagi diabetes melitus ke dalam dua tipe yaitu: diabetes melitus tipe 1 (diabetes melitus tergantung insulin) dan diabetes melitus tipe 2 (diabetes melitus tidak tergantung insulin). Diabetes melitus tipe 1 ditandai dengan defisiensi absolut sekresi insulin yang disebabkan oleh destruksi sel-sel β pankreas. Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh gabungan resistensi perifer terhadap kerja insulin dengan respon kompensasi sekresi insulin yang tidak adekuat oleh sel-sel β pankreas (defisiensi relatif insulin). Lebih kurang 80%-90% pasien mengidap diabetes melitus tipe 2.

(2)

Menurut Wild dkk. (2004), pada tahun 2000 diperkirakan 8,4 juta jiwa penduduk Indonesia menderita diabetes melitus dan tahun 2030 diperkirakan akan meningkat menjadi 21,3 juta jiwa. Diperkirakan 40–80 orang dalam 2000 populasi orang dewasa di Nigeria yang mengunjungi praktik dokter gigi adalah penderita diabetes melitus dan sebagian pendertia diabetes melitus itu tidak menyadari akan kondisi tubuhnya. Diperkirakan jumlah ini akan meningkat lebih dari 100 penderita diabetes melitus yang mengunjungi dokter gigi per tahunnya (Azodo, 2009).

Penderita diabetes melitus tidak tertutup kemungkinan terkena jejas pada tulangnya. Jejas tersebut bisa berupa kerusakan tulang seperti fraktur atau defek karena desakan dari pertumbuhan suatu tumor. Usia muda yang menderita diabetes melitus mempunyai risiko untuk terjadinya osteoporosis, terjadi perlambatan penyembuhan luka dan terjadi penurunan pertumbuhan skeletal (Hofbauer dkk., 2007). Penyembuhan tulang pada penderita diabetes yang terkena jejas diharapkan dapat mengembalikan morfologi dan fungsional dari tulang tersebut seperti semula.

Penyembuhan tulang merupakan suatu proses regenerasi jaringan pada sisi jejas dengan jaringan tulang yang baru dan bukan dengan jaringan parut. Penyembuhan tulang yang normal harus melewati proses: penghilangan debris, penstabilan kembali pada sisi yang rusak dengan suplai vaskuler dan restorasi matriks tulang. Sedangkan penyembuhan tulang secara garis besar mempunyai empat tahapan yaitu: inflamasi, soft kalus, hard kalus dan remodeling (Kageldan Einhorn, 1996).

(3)

Kondisi diabetes melitus akan menyebabkan komplikasi hampir pada semua organ tubuh manusia. Kondisi diabetes melitus pada tulang akan menyebabkan retardasi dari perkembangan tulang hingga menyebabkan osteoporosis. Insulin berperan sebagai regulator pada metabolisme tulang, sedangkan pada penderita diabetes melitus ada gangguan pada produksi insulin atau insulin tidak mampu mengimbangi kadar gula darah yang tinggi. Insulin mampu merangsang pembentukan matriks osteoblastik pada tulang dan kartilago (Kagel dan Einhorn, 1996 dan Valero dkk., 2007).

Komplikasi diabetes melitus terhadap tulang adalah osteopenia yaitu berkurangnya kepadatan mineral tulang. Kerusakan matriks tulang dapat disebabkan karena adanya ekspresi sitokin dan kemokin yang berkepanjangan. Gangguan reparatif tulang terjadi karena berkurangnya produksi growth factor, faktor angiogenik, berkurangnya kemampuan proliferatif sel-sel tulang dan meningkatnya apoptosis (Graves dkk., 2011).

Diabetes melitus juga mempengaruhi pembentukan dan fungsi dari osteoblas. Koloni osteoblas yang berasal dari sel-sel mesenkimal ditemukan dalam keadaan kurang baik dalam jumlah maupun ukurannya pada kondisi diabetes melitus. Sel-sel osteoblas mampu mengeluarkan osteokalsin yang merupakan bone matrix protein sebagai protein spesifik pada formasi pembentukan tulang. Diabetes melitus menyebabkan berkurangnya osteoblas sehingga akan berdampak pada osteokalsin yang juga ditemukan dalam jumlah kecil (Ivaska, 2005 dan Graves dkk., 2011).

(4)

Metabolisme proses penyembuhan tulang dapat dimonitor dengan bone marker formation. Salah satu marker tulang yang dapat digunakan untuk menilai proses metabolisme tulang adalah osteokalsin. Osteokalsin merupakan protein spesifik tulang yang merupakan salah satu produk utama dari osteoblas selama proses pembentukkan tulang. Mayoritas osteokalsin disekresikan oleh osteoblas di matriks ekstraseluler tulang. Osteoblas merupakan sel yang berasal dari mesenkim, dimana osteoblas ini adalah produsen utama protein yang ada pada matriks ekstraseluler tulang. Osteoblas ini mengkontrol proses mineralisasi dari matriks ekstraseluler tersebut (Ivaska, 2005 dan Tanaka dkk., 2007).

Osteokalsin merupakan 2% dari protein matrik tulang total. Memiliki tiga residu asam karbaoksiglutamat-γ per-molekul dan ditemukan dalam matriks ekstrasel yang terikat pada hidroksiapatit. Osteokalsin ini merupakan produk hormonal dari osteoblas yang sintesisnya dirangsang oleh dihidroksikolekalsiferol-1,25, yaitu metabolit aktif dari vitamin D (Fawcett, 2002).

Banyak peneliti berusaha menambahkan zat guna mempercepat proses penyembuhan pada tulang, salah satunya adalah simvastatin. Statin merupakan inhibitor coenzim A 3-hidroxy-3-methylglutaril reductase. Simvastatin termasuk ke dalam golongan lovastatin yang dimodifikasi secara kimia menjadi simvastatin dan ravastatin. Statin digunakan secara luas sebagai obat antihiperkolesterolimia. Simvastatin mempunyai efek terhadap osteoblastik pembentukan tulang, hal ini ditunjukkan pada penelitian terjadi peningkatan penyembuhan pada femur setelah pemberian obat tersebut tetapi tidak mempengaruhi secara sistemik. Simvastatin

(5)

mampu meningkatkan osteoblas dan ekspresi marker tulang, seperti bone morphogenetic protein (BMP), osteokalsin, osteopontin dan alkalin fosfatase (ALP). Simvastatin mampu meningkatkan jumlah sel-sel osteoblas dan sel-sel bone marrow. Simvastatin juga mampu meningkatkan volume tulang. Simvastatin mempunyai efek untuk menekan inflamasi dengan cara mengurangi produksi IL-6 dan IL-8. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) juga mampu distimuli oleh simvastatin (Park, 2009).

Simvastatin jika diberikan peroral tidak akan diabsorbsi sempurna. Simvastatin akan diserap di gastrointestinal dan disimpan di hati. Simvastatin yang mencapai sirkulasi sistemik hanya 5% jika diberikan peroral. Jika simvastatin diaplikasikan secara topikal pada daerah tulang yang mengalami defek maka konsentrasi simvastatin akan meningkat pada lokal area tersebut, hal ini berbeda jika simvastatin diberikan peroral dimana kadar simvastatinnya ditemukan lebih rendah (Park, 2009 dan Wang, 2007).

Hewan coba pada penelitian ini menggunakan tikus yang dikondisikan diabetes melitus dengan cara menginduksinya dengan Streptozotosin (STZ). STZ merupakan agen antineoplastik sintetik yang diklasifikasi sebagai antibiotik anti-tumor dan secara kimiawi berhubungan dengan nitrourea yang digunakan pada kemoterapi kanker. Tiga hari setelah induksi STZ, pankreas menjadi bengkak dan selanjutnya sel β Langerhans mengalami degenerasi sehingga produksi insulin terganggu (Akbarzadeh dkk., 2007).

Penelitian Wei dkk. (2003) dan Akbarzadeh dkk. (2007), melaporkan bahwa terjadi peningkatan konsumsi pola makan dan minum serta volume urin

(6)

pada tikus model diabetes melitus. Tikus model diabetes melitus menunjukkan penurunan berat badan (Nakhaee dkk., 2009 dan Kiran dkk., 2012). Peningkatan kadar gula darah pada tikus model diabetes melitus sangat berarti yaitu rata-rata 200–500 mg/dL, dimana kadar gula darah normal pada tikus antara 80–135 mg/dL (Nakhaee dkk., 2009 dan Kiran dkk., 2012).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: apakah persentase ekspresi osteokalsin lebih meningkat jumlahnya pada proses penyembuhan tulang tikus model diabetes melitus dengan pemberian topikal simvastatin jika dibandingkan dengan tanpa pemberian topikal simvastatin.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian aplikasi topikal simvastatin terhadap ekspresi osteokalsin pada proses penyembuhan tulang tikus model diabetes melitus.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap para ahli bedah mulut untuk mempertimbangkan penggunaan simvastatin secara topikal pada pasien yang mengalami defek tulang khususnya pada pasien diabetes melitus

(7)

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang pengetahuan penulis dan berdasarkan kepustakaan di lingkungan Universitas Gadjah Mada hingga saat ini belum pernah ada penelitian mengenai pengaruh pemberian aplikasi topikal simvastatin terhadap ekspresi osteokalsin pada proses penyembuhan tulang tikus model diabetes melitus. Penelitian terkait mengenai efek aplikasi topikal simvastatin terhadap osteokalsin adalah penelitian yang dilakukan oleh Ohnaka dkk. (2001), membahas pitavastatin memicu ekspresi BMP-2 dan osteokalsin dengan menghambat Rho-associated kinase pada osteoblas manusia. Ezirganli dkk. (2013), meneliti efek aplikasi lokal simvastatin pada critical size deffect tikus diabetes. Rosselli dkk. (2014), meneliti efek simvastatin pada regenerasi kavitas tulang femur kelinci pasca pengeburan tulang.

Referensi

Dokumen terkait

Perencanan yang baik hanya dapat dilakukan oleh manajemen yang mampu melihat kemungkinan dan kesempatan di masa yang akan datang, dan merencanakan berbagai cara yang harus

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi implemintasi program keluarga harapan dalam mensejahterakan masyarakat miskin yang ada di Kecamatan

Penilaian perawat untuk kepala ruang terdapat 60 perawat (60%) menilai kepala ruang dengan kepemimpinan efektif tinggi memiliki penerapan budaya keselamatan tinggi, jika

Saya memilih obat maag sesuai dengan obat yang diiklankan Saya memilih obat sesuai dengan saran dari apoteker Ketika saya ingin tau informasi obat maka saya membaca di kemasan

Ukuran untuk melakukan penilaian kesehatan bank telah ditentukan oleh Bank Indonesia dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia No. 13/1/PBI/2011 yang mengatur tentang

Orientasi teori normatif adalah membuat komitmen strategis untuk bertindak sesuai dengan prinsi-prinsip moral untuk memperoleh reputasi yang baik, yang pada gilirannya,

Either of these make it something no user-defined library type could be. Note that, in the case of surfacing CLI properties in the language, at least one of these must be true even

Renja SKPD merupakan salah satu instrument untuk evaluasi pelaksanaan program / kegiatan Instansi untuk mengetahui sejauh mana Capaian Kinerja yang tercantum