BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SOCIAL LOAFING 1. Definisi Social Loafing
Social loafing adalah istilah yang dibentuk oleh Latane, Williams, dan Harkins (1979) untuk mendefinisikan penurunan usaha seseorang yang disebabkan oleh kehadiran orang lain (Latane, Williams, & Harkins, 1979). Latane dkk (1979) membentuk istilah social loafing setelah mereplikasi penelitian oleh Ringelmann (1913). Ada dua eksperimen yang dilakukan Latane dkk (1979). Pada eksperimen pertama partisipan disuruh untuk membuat suara dengan cara bertepuk tangan. Peneliti mengukur usaha partisipan saat bertepuk tangan sendirian, dengan pasangan, dan dalam kelompok. Pada eksperimen kedua partisipan disuruh untuk membuat suara dengan cara berteriak, prosedur yang dilakukan sama dengan eksperimen pertama, hanya pada eksperimen kedua partisipan tidak bisa melihat partisipan lain. Hasil dari kedua eksperimen tersebut menunjukkan ada penurunan suara yang dihasilkan oleh partisipan saat berada dalam kelompok dibandingkan saat partisipan melakukannya sendirian, meskipun partisipan tidak bisa melihat partisipan lainnya. Hal ini yang menunjukkan bahwa usaha individu akan menurun seiring dengan bertambahnya anggota kelompok.
Penurunan usaha itu sendiri bisa disebabkan oleh menurunnya motivasi individu (dalam Hogg & Vaughan, 2011). Menurut Karau dan Williams (1993) social loafing merupakan kecenderungan individu untuk mengurangi motivasi dan usahanya saat bekerja dalam kelompok atau secara kolektif dibandingkan saat bekerja sendiri. Mereka menurunkan usaha mereka karena yakin tugas tersebut juga dikerjakan oleh orang lain. (Williams, Karau, & Bourgeois dalam Hogg & Vaughan, 2011). Alnuaimi, Robert, & Maruping (2009) mengidentifikasi social loafing sebagai masalah yang disebabkan oleh kurangnya kontrol dan kordinasi dalam sebuah kelompok. Menurut penelitian Ying, Li, Jiang, Peng, dan Lin (2014), social loafing merupakan kebiasaan seseorang berperilaku untuk melakukan loafing yang rentan terjadi saat bekerja di dalam kelompok. Ying dkk (2014), membuat alat ukur Social Loafing Tendency Questionnaire (SLTQ) yang digunakan untuk menguji kecenderungan seseorang melakukan social loafing pada tugas individual dan pada tugas kelompok. Hasil penelitian Ying menunjukkan bahwa performansi individu dengan kecenderungan social loafing yang tinggi akan lebih buruk dibandingkan individu yang kecenderungan social loafingnya rendah saat mengerjakan tugas kelompok dibandingkan saat bekerja secara individual.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa social loafing adalah kecenderungan seseorang untuk menurunkan usahanya saat mengerjakan tugas di dalam kelompok dibandingkan saat bekerja secara individual.
2. Dampak Social Loafing
a. Social loafing bisa memunculkan iri hati dalam kelompok dan menurunkan potensi dan kohesivitas sebuah kelompok dan berpengaruh pada perfomansi, kehadiran dan kepuasan kelompok (Duffy & Shaw, 2000).
b. Hilangnya motivasi anggota kelompok juga menjadi dampak dari social loafing, adanya individu yang melakukan loafing akan mempengaruhi kinerja anggota kelompok yang lain (Brickner, Harkins, & Ostrom, 1986). c. Social loafing akan menghilangkan kesempatan individu untuk melatih keterampilan dan mengembangkan diri (Schnake, dalam Liden, Wayne, Jaworski & Bennet, 2003).
d. Individu yang melakukan social loafing produktivitasnya akan terhambat karena harus bekerja di dalam sebuah kelompok (Latane, Williams, & Harkins, 1979).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi social loafing
Beberapa faktor yang mempengaruhi social loafing adalah sebagai berikut:
a. Attribution and equity
Proses atribusi yang dapat menyebabkan seseorang melakukan loafing, karena mereka menganggap orang lain tidak kompeten dan tidak ada gunanya mengeluarkan usaha yang lebih keras dari anggota kelompok yang lain (Latane, Williams & Harkins, 1979)
b. Submaximal goal setting
Tujuan kelompok yang tidak dibuat maksimal menyebabkan seseorang melakukan loafing karena menganggap kelompok akan mudah menyelesaikan tugas sehingga usaha dari anggota kelompok yang lain dianggap sudah cukup sehingga individu tidak perlu mengeluarkan usaha yang lebih banyak (Latane, Williams & Harkins, 1979).
c. Lessened contingency between input and output outcome
Individu melakukan loafing karena menganggap usaha yang
dikeluarkannya dengan hasil yang didapatkan nanti tidak sesuai karena berada di dalam kelompok (Latane, Williams & Harkins, 1979).
d. Group evaluation
Seseorang cenderung akan melakukan loafing bila dirinya sendiri atau orang lain tidak ada yang mengevaluasi pekerjaannya (Harkins & Szymanski, 1989).
e. Group cohesion
Individu yang berada dalam kelompok yang tidak kohesif akan cenderung melakukan loafing karena sesama anggota kelompok tidak begitu mengenal satu sama lain (Hoigaard, Tofteland, & Ommundsen, 2006). f. Distributive justice
Persepsi individu bahwa hasil kerja setiap anggota kelompok tidak akan mendapat reward yang sama akan menyebabkan individu mengurangi usahanya dalam kelompok (Piezon & Ferree, 2008).
Individu yang berasal dari budaya individualis cenderung akan melakukan social loafing dibandingkan individu yang berasal dari budaya kolektivis. Hal ini disebabkan individu dengan budaya kolektivis akan lebih berorientasi pada kelompok dan menempatkan tujuan kelompok sebagai hal yang penting (Earley, 1989).
h. Expected coworker performance
Individu akan melakukan loafing bila merasa usaha anggota kelompok yang lain akan tinggi sehingga dia tidak perlu mengeluarkan usaha yang lebih keras (Hart, Karau, Stasson, & Kerr, 2004).
i. Achievement motivation
Individu dengan motivasi berprestasi yang rendah akan cenderung melakukan loafing karena motivasi individu untuk beprestasi rendah sehingga tidak ada motivasi yang bisa mengeliminasi kecenderungan individu untuk melakukan loafing (Hart, Karau, Stasson, & Kerr, 2004). j. Group size
Semakin besar anggota kelompok akan meningkatkan kecenderungan seseorang untuk melakukan social loafing. Individu akan merasa kontribusinya terbagi dengan anggota kelompok yang lain (Latane, Williams, & Harkins, 1979).
4. Aspek Social Loafing
Menurut teori social impact oleh Latane (1981, dalam Chidambaram & Lai, 2005), social loafing memiliki 2 aspek yaitu:
a. Dillution effect
Individu akan mengurangi usahanya dalam kelompok karena merasa kontribusinya kecil dalam kelompok atau karena mereka merasa penghargaan untuk kelompok bukan hasil dari pekerjaan mereka.
b. Immediacy gap
Individu akan melakukan loafing jika merasa dirinya terasing dari kelompok. Immediacy gap berarti semakin jauh jarak individu dengan pekerjaannya maka di sisi lain jarak individu dengan anggota kelompok yang lain juga semakin jauh.
5. Social loafing pada mahasiswa dengan tugas berbasis kelompok
Social loafing merupakan salah satu kerugian yang terjadi pada mahasiswa saat mengerjakan tugas berbasis kelompok. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Clark dan Baker (2011) ada beberapa alasan yang menyebabkan mahasiswa melakukan social loafing pada tugas berbasis kelompok. Penyebab mahasiswa melakukan loafing adalah sebagai berikut: a. Mahasiswa tidak memiliki komitmen yang kuat untuk mengerjakan
bagiannya pada tugas kelompok.
b. Mahasiswa tidak memiliki ekspektansi yang tinggi pada tugas kelompok sehingga mereka tidak maksimal saat mengerjakan tugas tersebut.
c. Tugas kelompok dianggap sebagai waktu luang saat belajar sehingga tidak perlu mengeluarkan usaha yang maksimal saat mengerjakan tugas kelompok.
d. Pemberian nilai yang sama pada setiap anggota kelompok terlepas dari besar atau kecilnya usaha yang diberikan oleh masing-masing anggota kelompok.
e. Mahasiswa tidak merasa ada tekanan bila mendapatkan nilai yang jelek pada tugas kelompok.
f. Mahasiswa merasa tidak memiliki kemampuan yang baik dibandingkan dengan anggota kelompok yang lain untuk mengerjakan tugas kelompok.
B. LOCUS OF CONTROL 1. Definisi locus of control
Locus of control menurut Rotter (dalam Schultz & Schultz, 2009) adalah keyakinan individu tentang sumber penguatan (reinforcers) seseorang yang berasal dari tindakan mereka sendiri atau bergantung pada tindakan orang lain dan pengaruh lain di luar kendali diri mereka. Locus of control adalah salah satu trait kepribadian yang menggambarkan sejauh mana keyakinan individu bahwa mereka mempunyai kendali atas kehidupan mereka (Lefcourt, 1976, dalam April, Dharani, & Peters, 2012). Rotter menyatakan bahwa kepercayaan seseorang dalam melihat kendali dirinya dalam sebuah situasi atau sebuah kejadian akan mempengaruhi harapan dan perilaku individu tersebut (Halpert, 2011). Rotter mengembangkan skala Internal-External Locus Of Control Scale yang berisi 23 item untuk menilai apakah seseorang mempunyai kecenderungan untuk menilai apakah mereka bisa mengendalikan kehidupan mereka atau mereka percaya bahwa
kehidupan mereka berada di luar kendali individu dan dipengaruhi oleh faktor eksternal. Skala ini telah dipakai di berbagai penelitian untuk melihat locus of control dalam berbagai situasi (Halpert, 2011).
Grimes, Millea, dan Woodruff (2004) mengemukakan bahwa locus of control adalah konstruk psikologis yang mengidentifikasi kepercayaan individu tentang kendali pribadinya dalam mengendalikan lingkungannya. Sedangkan Manichander (2014) mendefinisikan locus of control sebagai pandangan individu dalam melihat kehidupan sebagai sesuatu yang bisa kita kendalikan atau kehidupan yang mengendalikan kita.
Menurut Ghonsooly dan Rezvani (2011), locus of control adalah faktor psikologis yang sangat mempengaruhi motivasi seseorang. Sedangkan menurut Karimi dan Alipour (2011), locus of control adalah tingkat kepercayaan yang individu yakini bahwa keberhasilan atau kegagalan berasal dari sumber internal ataupun eksternal, baik dari kendali diri mereka atau karena keberuntungan, kesempatan, atau nasib.
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa locus of control adalah keyakinan individu dalam mengendalikan dan mengatribusikan penyebab keberhasilan dan kegagalan dari kejadian dalam hidup mereka.
2. Aspek locus of control a. Internal locus of control
Individu dengan locus of control internal meyakini bahwa suatu kejadian merupakan hasil dari tindakan dan perilakunya sendiri (Rotter, 1966) atau
kemampuan mereka (Carrim, Basson, & Coetzee, 2006). Individu dengan locus of control internal percaya bahwa kerja keras dan kemampuan pribadi mereka akan menghasilkan hal yang positif (Carrim, Basson, & Coetzee, 2006). Mereka mengatribusikan kejadian dalam hidup mereka merupakan hasil dari kendali diri mereka sendiri (Schultz, & Schultz, 2009). Penelitian mengungkapkan bahwa individu dengan locus of control internal cenderung tidak suka melakukan perilaku yang tidak etis dan tidak adil (Suryaningrum, Hastuti, & Suhartini, 2012), tidak melakukan moral disengagement (Cory dkk, 2015), lebih cepat menyesuaikan diri dalam situasi baru (Leontopoulou, 2006; Bacanli, 2006, dalam Schultz & Schultz, 2009).
b. External locus of control
Rotter (1966) menyebutkan bahwa individu dengan locus of control eksternal meyakini suatu kejadian yang terjadi pada dirinya bukan karena tindakannya melainkan karena hal lain seperti keberuntungan, kesempatan, nasib, dan pengaruh luar lainnya yang berada di sekelilingnya. Mereka percaya bahwa mereka tidak mampu mengubah nasib mereka (Schultz & Schultz, 2009). Penelitian menunjukkan individu dengan kecenderungan locus of control eksternal memiliki motivasi berprestasi yang rendah (Howerton, Enger, & Cobbs, 1992), lebih susah untuk beradaptasi dan lebih mungkin melakukan bunuh diri (Schultz & Schultz, 2009).
3. Karakteristik locus of control
Menurut Bernardi (2001), Schultz & Schultz (2009), dan Stewart (2012), individu dengan locus of control internal dan eksternal memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Internal locus of control
1) Mudah beradaptasi pada situasi baru atau perubahan 2) Jarang memiliki masalah emosional
3) Lebih baik dalam mengatasi stress
4) Jarang mengalami kecemasan dan depresi 5) Memiliki kontrol diri yang baik
6) Memiliki aspirasi yang tinggi dan inisiatif yang tinggi dalam mencapai tujuan
7) Bertanggung jawab pada perbuatan mereka dan tidak tergantung pada orang lain
8) Aktif dalam mencari informasi
9) Enggan melakukan perilaku yang tidak etis
b. External locus of control
1) Lebih susah beradaptasi pada situasi baru atau perubahan 2) Sering merasa cemas
3) Memilik self-esteem yang rendah 4) Lebih sering mengalami stress 5) Mudah mengalami depresi
6) Kurang aktif dalam mencari informasi 7) Sering merasa bimbang
8) Menyalahkan orang lain bila mengalami kegagalan 9) Cenderung melakukan perilaku yang tidak etis
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi locus of control a. Usia
Penelitian menunjukkan usia berpengaruh pada locus of control seseorang. Kebanyakan mahasiswa cenderung lebih internal. Seseorang cenderung lebih internal seiring dengan bertambahnya usia dan puncaknya pada usia dewasa madya (Schultz & Schultz, 2009).
b. Ras dan kondisi ekonomi
Orang Afrika cenderung memiliki locus of control eksternal yang lebih tinggi dibandingkan orang Afrika yang lahir di Amerika. Orang Asia cenderung lebih eksternal dibandingkan orang Amerika, hal ini mungkin disebabkan budaya Amerika yang menekankan individualisme dan budaya Asia lebih menekankan komunitas dan saling bergantung satu sama lain. Penelitian juga menunjukkan remaja dari kalangan ekonomi yang tinggi cenderung lebih internal dibandingkan remaja dari kalangan ekonomi yang rendah (Schultz & Schultz, 2009)
c. Keluarga
Penelitian menunjukkan bahwa locus of control dipelajari dari masa kanak-kanak dan berhubungan dengan perilaku orang tua. Anak lebih
cenderung menjadi eksternal bila tidak dibesarkan tanpa sosok pria dewasa atau banyaknya saudara. Orang tua dengan locus of control internal ditemukan lebih suportif, mau memberi pujian jika anak berprestasi, konsisten, dan tidak otoriter (Schultz & Schultz, 2009).
C. MAHASISWA DAN TUGAS BERBASIS KELOMPOK
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Mahasiswa adalah individu yang sedang menuntut ilmu di tingkat perguruan tinggi baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setara dengan perguruan tinggi (Siswoyo, 2007). Mahasiswa berada di tahap remaja akhir dengan rentang usia 18 tahun sampai 25 tahun (Winkel, 1997). Salah satu tugas mahasiswa adalah mengerjakan tugas. Tugas dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang diberikan oleh dosen dan harus dilakukan oleh mahasiswa untuk mencapai tujuan pengajaran. Menurut Sudjana (2001), tugas dapat berupa tugas individual atau tugas kelompok. Tugas kelompok digunakan dalam perkuliahan untuk membantu mahasiswa dalam mengerjakan tugas yang memerlukan banyak tenaga dan ide.
Davies (2009) memaparkan bahwa tugas kelompok yang efektif akan memberikan keuntungan sebagai berikut:
a. Tugas kelompok memperdalam cara belajar mahasiswa. b. Mahasiswa didorong untuk menjadi pelajar yang aktif. c. Mahasiswa belajar untuk lebih kooperatif dan kolaboratif.
d. Tugas kelompok bisa mendorong mahasiswa dalam problem-based-learning.
e. Menjadi pengalaman mahasiswa saat bekerja dan berkarir.
f. Menjadi alternatif dalam mengatasi jumlah siswa yang banyak dan menghemat waktu di kelas.
g. Memberikan kemampuan yang berguna di pekerjaan seperti kerja sama, kepemimpinan, project management skills, dan komunikasi.
h. Mencegah mahasiswa merasa terasing dalam lingkungan belajar yang ramai.
i. Membantu siswa satu sama lain untuk bertukar pendapat dan menghasilkan ide-ide baru.
D. Hubungan antara locus of control dengan social loafing mahasiswa pada tugas berbasis kelompok.
Salah satu faktor yang mempengaruhi social loafing adalah achievement motivation. Menurut Hart, Karau, Stasson & Kerr (2004), siswa yang memiliki achievement motivation yang rendah cenderung melakukan social loafing disaat mereka yakin kelompok akan tetap bisa menyelesaikan tugas meskipun dia tidak memberikan usaha yang terbaik. Siswa dengan low achievement motivation melakukan loafing bila melihat performa rekan kelompoknya tinggi. Berlawanan dengan siswa dengan achievement motivation yang rendah, siswa yang memiliki achievement motivation yang tinggi tidak akan melakukan social loafing. Mereka bisa menahan
kecenderungan untuk loafing dan tetap bekerja dengan baik dalam tugas yang kolektif meskipun rekan sekelompoknya juga memiliki performa yang tinggi.
Penelitian oleh Fini dan Yousefzadeh (2011) menemukan bahwa siswa dengan achievement motivation yang rendah cenderung memiliki locus of control eksternal. Hal ini dikarenakan siswa dengan locus of control eksternal menganggap nasib ataupun keberuntungan yang bertanggung jawab atas perilaku mereka. Mereka percaya bahwa keberhasilan atau kesukesan mereka berada di luar kendali diri mereka. Menurut Ghonsooly & Rezvani (2011), locus of control adalah faktor psikologis yang sangat mempengaruhi motivasi seseorang.
Rotter mendefinisikan locus of control sebagai keyakinan individu tentang sumber penguatan (reinforcers) seseorang yang berasal dari tindakan mereka sendiri atau bergantung pada tindakan orang lain dan pengaruh lain di luar kendali diri mereka (Schultz & Schultz, 2009). Rotter membagi keyakinan individu tersebut kedalam dua kelompok, yaitu individu yang percaya bahwa kejadian dalam hidupnya merupakan hasil dari perilakunya, dinamakan dengan locus of control internal, dan individu yang percaya bahwa kejadian di dalam hidupnya terjadi di luar kendali dirinya melainkan karena faktor-faktor lain seperti nasib dan keberuntung, dinamakan dengan locus of control eksternal.
Individu dengan kecenderungan locus of control internal meyakini bahwa suatu kejadian merupakan hasil dari perilakunya sendiri (Rotter, 1966). Mereka cenderung mudah beradaptasi, memiliki kontrol diri yang
baik, inisiatif yang tinggi dalam mencapai tujuan, dan bertanggung jawab pada perbuatan mereka. Siswa dengan locus of control eksternal memiliki prestasi akademis yang lebih baik (Kader, 2014; Mathur, 2014) dan enggan melakukan moral disengagement (Cory, Reeves, & Martinez, 2015). Karakteristik ini tentu diperlukan untuk menghindari terjadinya social loafing.
Sedangkan individu dengan kecenderungan locus of control eksternal percaya bahwa semua kejadian yang terjadi pada dirinya bukan karena perilaku mereka sendiri melainkan nasib, keberuntungan, kesempatan, dan pengaruh lain di luar kendali mereka (Rotter, 1966; Schults & Schultz, 2009). Mereka juga lebih cenderung melakukan moral disengagement dibandingkan individu dengan locus of control internal (Cory, Reeves, & Martinez, 2015). Berdasarkan uraian tersebut, diasumsikan individu dengan locus of control eksternal yang akan lebih cenderung melakukan social loafing.
E. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka peneliti memiliki hipotesa bahwa terdapat hubungan positif antara locus of control dengan social loafing mahasiswa pada tugas berbasis kelompok.