• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

36 BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Konstruksi Hukum Hak Pemberhentian/Pergantian Antarwaktu oleh Partai Politik dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang

MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik

Recall telah hadir dan dikenal secara formal di Indonesia sejak Orde Baru berkuasa di pemerintahan, yakni tahun 1966 melalui UU No. 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum. UU ini lahir beberapa bulan setelah Orde Baru naik ke pentas politik menggantikan Orde Lama (Ni’matul Huda, 2011: 462).

Pencantuman hak recall dalam UU No. 10 Tahun 1966 dalam rangka pembersihan anggota parlemen (DPR-GR) yang masih loyal pada Orde Lama pimpinan Soekarno. Itulah mengapa hak recall ini diatur dalam suatu UU bukan dalam Peraturan Tata Tertib DPR-GR, didasarkan atas pertimbangan bahwa Peraturan Tata Terib hanya mengikat secara intern sedangkan UU akan megikat juga ekstern Parpol atau Organisasi Politik yang mempunyai kursi di DPR-GR (Ni’matul Huda, 2011: 462).

Keberadaan hak recall di masa Orde Baru diatur dalam Pasal 15 UU No. 10 Tahun 1966 yang menyatakan bahwa anggota MPRS/DPR-GR dapat diganti menurut ketentuan sebagai berikut:

a. Anggota dari Golongan Politik dapat diganti atas permintaan partai yang bersangkutan;

b. Anggota dari Golongan Karya yang organisasinya berafiliasi dengan satu partai politik dapat diganti oleh organisasi karya yang bersangkutan dengan persetujuan induk partainya;

(2)

c. Anggota Golongan Karya yang organisasinya tidak berafiliasi dengan suatu partai politik dapat diganti atas permintaan organisasi atau instansi yang bersangkutan.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 telah mengalami perubahan tiga kali dan yang terakhir dengan UU No. 2 Tahun 1985. Di dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1985 ditentukan, “Hak mengganti wakil organisasi peserta pemilu atau golongan karya ABRI ada pada organisasi peserta pemilu yang bersangkutan atau pada Panglima Angkatan Bersenjata, dan pelaksanaannya terlebih dahulu harus dimusyawarahkan dengan Pimpinan DPR”.

Selanjutnya dalam ayat (6) dinyatakan bahwa tata cara penggantian keanggotaan Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Setelah Orde Baru tumbang digantikan Orde Reformasi, mekanisme recall oleh partai politik yang selama Orde Baru efektif digunakan oleh partai politik untuk menyingkirkan “lawan politik” di tubuh partainya, tidak lagi diatur dalam UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (Ni’matul Huda, 2011: 462). Di dalam Pasal 5 ayat (1) ditegaskan, Anggota MPR berhenti antar waktu sebagai angggota karena:

a. Meninggal dunia;

b. Permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan MPR; c. Bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

d. Berhenti sebagai Anggota DPR;

e. Tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1) berdasarkan keterangan yang berwajib;

(3)

f. Dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai wakil-wakil rakyat dengan keputusan MPR;

g. Terkena larangan perangkapan jabatan sebagaimana yang dimaksud Pasal 41 ayat (1).

Akan tetapi pengaturan recall kembali muncul dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Di dalam Pasal 85 ayat (1) ditegaskan Anggota DPR berhenti antar waktu karena:

a. Meninggal dunia;

b. Mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis; dan

c. Diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.

Adapun alasan anggota DPR yang diberhentikan antar waktu yang diatur dalam ayat (2) karena:

a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR;

b. Tidak lagi memeneuhi syarat-syarat calon Anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Pemilu;

c. Melanggar sumpah/janji, kode etik DPR, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan DPR;

d. Melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara.

(4)

Hak recall kembali diatur dalam ketentuan Pasal 213 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa:

(1) Anggota DPR berhenti antarwaktu karena: a. Meninggal dunia;

b. Mengundurkan diri; atau c. Diberhentikan.

Selanjutnya hal-hal yang menyebabkan anggota DPR diberhentikan diatur dalam ayat selanjutnya yaitu Pasal 213 ayat (2) yang menyatakan Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:

a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;

b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;

c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat

kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan;

f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD;

g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam UU ini;

h. diberhentikan sebagai anggota parpol sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

(5)

i. menjadi anggota parpol lain.

Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menggantikan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, tidak banyak diubah mengenai ketentuan hak recall di dalamnya. Dalam Pasal 239 ayat (1) dinyatakan bahwa:

(1) Anggota DPR berhenti antarwaktu karena: a. Meninggal dunia;

b. Mengundurkan diri; atau c. Diberhentikan.

Sedangkan, hal-hal yang menyebabkan anggota DPR diberhentikan diatur dalam ayat selanjutnya yaitu Pasal 239 ayat (2) yang menyatakan Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:

a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;

b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;

c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD;

f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;

(6)

g. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

h. menjadi anggota partai politik lain.

Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, hak recall oleh partai politik juga kembali diatur dalam Undang-Undang tentang Partai Politik tepatnya pada ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa:

(1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya dari Partai Politik apabila:

a. meninggal dunia;

b. mengundurkan diri secara tertulis; c. menjadi anggota Partai Politik lain; atau d. melanggar AD dan ART.

(2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Partai Politik. (3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah

anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Adapun mengenai mekanisme pelaksanaan permberhentian antarwaktu diatur dalam Pasal 214 Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi:

(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.

(7)

(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.

(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling alama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, mekanisme pelaksanaan permberhentian antarwaktu diatur dalam Pasal 240 yang berbunyi sama dengan pasal 214 Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009, yakni:

(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf h diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.

(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.

(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling alama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.

Selanjutnya di dalam Pasal 215 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ditegaskan:

(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (2) huruf a, b, c, d, f dan huruf g dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPR atas pengaduan dari Pimpinan DPR, masyarakat dan/atau pemilih.

(8)

(2) Keputusan Badan Kehormatan DPR mengenai pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan kepada rapat paripurna.

(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPR yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPR menyampaikan keputusan badan kehoramtan DPR kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.

(4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPR paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPR.

(5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPR meneruskan keputusan Badan Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (6) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada

ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan badan kehormatan DPR atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR. Sedangkan dalam Pasal 240 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menegaskan:

(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf h diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.

(2) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR wajib

(9)

menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.

(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPRdari pimpinan DPR.

Mekanisme pemberhentian antar waktu (recall) Anggota DPR yang diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 dapat dilakukan melalui dua pintu, yakni diusulkan oleh pimpinan partai politiknya (Pasal 214) atau oleh Badan Kehormatan DPR (Pasal 215). Sedangkan dalam UU No. 17 Tahun 2014, diusulkan oleh pimpinan partai politiknya diatur dalam Pasal 240 dan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan diatur dalam Pasal 147. Dalam UU No 17 Tahun 2014 juga memberikan tambahan dalam Pasal 241, yakni:

(1) Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Dalam hal pemberhentian didasarkan atas aduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (2), Mahkamah Kehormatan Dewan menyampaikan laporan dalam rapat paripurna DPR untuk mendapatkan persetujuan.

(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.

Dari sejarah dan perkembangan mengenai pengaturan hak recall terhadap anggota DPR di Indonesia menunjukkan adanya dinamika dalam menempatkan hak recall kepada partai politik. Memang awal mulanya bertujuan untuk menyingkirkan lawan politik di parlemen, hak recall

(10)

memang pada saat ini dalam pengaturan diharapkan sebagai upaya kontrol dari partai politik kepada anggotanya yang menjabat sebagai anggota DPR. Namun dalam pelaksanaannya hak recall masih menjadi pro dan kontra.

B. Kesesuaian Pelanggaran AD/ART sebagai Dasar dilaksanakannya Pemberhentian Antar Waktu oleh Partai Politik dengan Prinsip Kedaulatan Rakyat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 dijelaskan: “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.

Setelah dilakukan penelitian terhadap hak recall oleh partai politik dari berbagai macam sumber maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Daftar anggota DPR yang pernah direcall ataupun yang pernah diusulkan untuk dilakukan recall oleh partai politik yang bersangkutan dari mulai tahun 1977 s.d. 2016 sebagai berikut:

Tabel 1

Daftar Anggota DPR yang dilakukan recall atau diusulkan recall Tahun 1977 s.d. 2016

No

Nama Anggota

DPR

Partai Politik Periode

Jabatan Keterangan 1 Syarifudin Harahap Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

1982-1987 Usulan recalling untuk mereka yang diusulkan sejak Desember 1984 hingga Maret 1985

(11)

2 Tamim Achda Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

1982-1987 ditanggapi dingin oleh Pimpinan DPR waktu itu, Amir Machmud dan ternyata usul recall itu tidak diteruskan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden. 3 Murtadho Makmur Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 1982-1987

4 Rusli Halil Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 1982-1987 5 Chalid Mawardi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 1982-1987

6 MA. Ganni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 1982-1987 7 Darussamin AS Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 1982-1987 8 Ruhani Abdul Hakim Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 1982-1987 9 Sri Bintang Pamungkas Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 1992-1998 Usulan FPP disetujui oleh Ketua DPR Wahono dan diajukan kepada Presiden pemecatannya. 10 Usep Ranawidjaja Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1977-1982 Dipandang melakukan dosa politik (melanggar tata tertib partai)

11 Abdul Madjid Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1977-1982 12 Ny. D. Walandouw Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1977-1982

(12)

13 Soelomo Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1977-1982 14 Santoso Donoseputro Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1977-1982 15 TAM. Simatupang Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1977-1982 16 Abdullah Eteng Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1977-1982 17 Marsoesi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1982-1987 Dipandang melakukan dosa politik (melanggar tata tertib partai)

18 Dudi Singadila Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1982-1987 19 Nurhasan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1982-1987 20 Polensuka Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1982-1987 21 Kemas Fachrudin Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1982-1987

22 Edi Junaedi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1982-1987 23 Suparman Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1982-1987

(13)

24 Jaffar Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

1982-1987

25 Thalib Ali Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 1982-1987 26 Rahmat Tolleng

Golkar 1972-1998 Dianggap terlibat kasus

Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 15 Januari 1974

27 Bambang Warih

Golkar 1992-1998 Dipandang melakukan

dosa politik (melanggar tata tertib partai)

28 Brigjen. Rukmini

ABRI Direcall karena

mengkritisi pembelian kapal perang bekas milik pemerintah Jerman 29 Brigjen Samsudin ABRI 30 Brigjen. J. Sembiring ABRI 31 Azzidin Partai Demokrat (PD) Direcall lewat pemecatan Badan Kehormatan. Kasus katering haji 32 Marissa haque Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)

Maju sebagai calon

Wakil Gubernur dalam Pilkada Propinsi Banten

33 Djoko Edi Sutjipto Abdurrahman Partai Amanat Nasional (PAN)

Ikut studi banding RUU

Perjudian ke Mesir 34 Zaenal Ma'arif Partai Bintang Reformasi (PBR) 2004-2009 Poligami. Masih menjadi perdebatan.

(14)

35 Lily Chadijah Wahid

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

2009-2014 Sikapnya yang memilih berbeda dengan

kebijakan fraksinya (PKB) yang mendukung pemerintah, yakni menerima hasil kerja Pansus terakit kasus Bank Century untuk diteruskan kepada lembaga penegak hukum. Lily merupakan satu-satunya anggota DPR fraksi PKB yang pada saat itu memiliki opsi C yang menyatakan ada permsalahan hukum dalam bail-out Century. 36 Effendy

Choiri

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

2009-2014 Effendi Choirie dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang direcall karena terkait dengan sikapnya yang mendukung hak angket mafia pajak, padahal fraksi PKB saat itu justru menolak usul hak angket tersebut. Terakhir dalam perkembangan recall. 37 I Gede Pasek Suardika Partai Demokrat (PD) 2009-2014 38 Arifinto Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

2009-2014 Sering bolos, terlibat Skandal,dan mengantuk saat paripurna

(15)

39 Fahri Hamzah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 2014-2019 Dianggap melakukan dosa politik, bersebrangan pendapat dengan pimpinan partai, dan dinilai membela mati-matian Setya Novanto dalam kasus "Papa Minta Saham", sehingga menimbulkan kericuhan dalam tubuh partai. Yang akhirnya di pecat dari semua jenjang jabatan Partai Keadilan Sejahtera, dan masih dalam proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 40 Gamari Sutrisno Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 2014-2019 Melakukan pelanggaran syariah sehingga diberhentikan dari semua jenjang jabatan di Partai Keadilan

Sejahtera. Sumber: diolah dari berbagai sumber

2. Dissenting Opinion Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 008/PUU-IV/2006 terkait Hak Recall oleh partai politik. Empat orang hakim konsitiusi (Prof, Jimly Asshiddiqie, Maruarar Siahaan, Laica Marzuki, Prof. Abdul Mukhtie Fajar) berpendapat dalam dissenting opinion-nya: Bahwa recall menyebabkan seseorang anggota dewan tidak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta perlakuan yang adil dalam menjalankan tugas konstitusionalnya selaku anggota DPR, sebagaimana dijamin konstitusi berdasarkan Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945. Pasal 12 huruf b UU Parpol, “diberhentikan dari keanggotaan partai politik karena melanggar anggaran dasar dan rumah tangga”, yang dikukuhkan dalam Pasal 85 ayat(1) huruf c UU Susduk, yang menyatakan “anggota berhenti antarwaktu

karena diusulkan partai politik yang

bersangkutan”,sesungguhnya telah membiarkan hukum yang bersifat privat (privaatrechtelijk) mengesampingkan hukum publik dalam masalah konstitusional hubungan antara wakil rakyat, rakyat pemilih, dan dengan lembaga negara yang

(16)

memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Meskipun tidaklah menjadi maksud untuk meniadakan peran partai politik dalam hubungannya dengan anggota DPR dalam menjalankan tugas konstitusional baik fungsi legislasi, pengawasan, anggaran dan menyampaikan aspirasi rakyat pemilihnya, akan tetapi dalam menjalankan perantersebut tidaklah boleh dibiarkan berlangsung tanpa batasan. Batasan yang diindentifikasi dengan menempatkan peran hukum konstitusi sebagai hukum publik yang turut mengaturnya harus membuka kemungkinan seluas-luasnya bagi wakil rakyat tersebut memenuhi sumpah jabatannya untuk menjalankan kewajibannya seadil-adilnya, dengan memegang teguh Pancasila dan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk menegakkan demokrasi demi tujuan nasional dan kepentingan bangsa serta NKRI. Peran partai politik sebagai peserta pemilu anggota DPR dan anggota DPRD sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, memang membenarkan dan sah secara konstitusional jika seorang anggota partai politik tertentu yang menjadi anggota DPR menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik tertentu yang mengusungnya, untuk juga diusulkan pemberhentiannya dari DPR. Akan tetapi jika alasan yang diajukan partai politik untuk mengusulkan penarikan anggotanya dari DPR berupa pelanggaran AD/ART Partai Politik, tidak dapat dibenarkan sertamerta tanpa melalui satu due process of law dalam mekanisme hukum yang dapat memeriksa kelayakan alasan tersebut (Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 008/PUU-IV/2006).

3. Daftar rekam jejak 5 (lima) partai politik besar di Indonesia yang melakukan perubahan AD/ART maupun struktur kepengurusan dan telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia:

Tabel 2

Daftar Rekam Jejak Perubahan AD/ART dan Struktur Kepengurusan 5 Partai Politik Besar di Indonesia No Partai Politik Kali diubah

AD/ART Terbit dalam SK Menkumham 1 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)

3 kali berganti SK Menkumkam Nomor: M-01. UM.06.08 Tahun 2003

SK Menkumkam Nomor: M.HH-05.AH.11.01 Tahun 2015

(17)

SK Menkumkam Nomor: M.HH-06.AH.11.01 Tahun 2015

2 Partai Golkar 1 kali berganti SK Menkumkam Nomor:

MH-01. AH.11.03 Tahun 2014

3 Partai Gerindra 3 kali berganti SK Menkumkam Nomor: M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2009 SK Menkumkam Nomor: M.HH-13.AH.11.01 Tahun 2012 SK Menkumkam Nomor: M.HH-13.AH.11.01 Tahun 2014

4 Partai Demokrat 4 kali berganti SK Menkumkam Nomor: M-54. UM.06.08 Tahun 2003 SK Menkumkam Nomor: M.HH-09a.AH.11.01 Tahun 2010 SK Menkumkam Nomor: M.HH-06.AH.11.01 Tahun 2013 SK Menkumkam Nomor: M.HH-12.AH.11.01 Tahun 2015 5 Partai Keadilan Sejahtera

3 kali berganti SK Menkumkam Nomor: M-05. UM.06.08 Tahun 2007 SK Menkumkam Nomor: M.HH-13.AH.11.01 Tahun 2011 SK Menkumkam Nomor: M.HH-18.AH.11.01 Tahun 2015

Sumber : Dirjen. AHU Kemenkumham RI 2016

4. Prinsip-prinsip Kedaulatan Rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Prinsip-prinsip pemerintahan demokratis harus dijalankan oleh setiap pemerintah yang berkuasa (Stevanus Evan Setio, 2013: 103). Begitu juga halnya pemerintah Indonesia, karena UUD 1945

(18)

juga menganut paham atau ajaran demokrasi. Hal ini dapat dilihat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu pada kalimat “...negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...”. Selanjutnya pada sila keempat dari Pancasila yang juga terdapat pada Pembukaan UUD 1945 berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.

Dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang memuat ketentuan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara Demokrasi. Namun hal ini, bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Demokrasi, telah terkandung dalam ketentuan bahwa Negara Republik Indonesia menganut faham kedaulatan rakyat (Soehino, 2010: 95).

Setelah adanya perubahan UUD 1945 konsep kedaulatan rakyat telah mengalami perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Artinya secara konstitusional, jelas sekali disebutkan bahwa Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (democratie). Pemilik kekuasaan tertinggi yang sesungghnya adalah rakyat, dimana dalam pelaksanaannya disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy) (Stevanus Evan Setio, 2013: 107).

Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Hatta dalam pendapatnya yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip kedaulatan rakyat yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang mesti dijadikan pegangan menegakkan demokrasi adalah sebagai berikut:

a. Politik; kekuasaan negara ada pada rakyat dengan melalui pemilihan umum;

b. Ekonomi; gotong royong membangun masyarakat adil makmur di mana alat-alat produksi vital dikuasai oleh negara;

(19)

c. Sosial; sama rasa sama rata, di mana tidak berlaku penindasan dan penghisapan “atas sesama manusia”. d. Kebudayaan: kebebasan menganut agama, kebebasan

menyatakan pendapat, serta kebebasan menuntut ilmu; e. Perikemanusiaan; hubungan persaudaraan antara

bangsa-bangsa di seluruh dunia atas dasar persamaan status, serta menentang penjajahan dalam bentuk apa pun atas sesuatu bangsa oleh bangsa lain (Khairul Fahmi, 2011: 140).

Dalam mewujudkan demokrasi juga dibutuhkan instrumen yang dinamai partai politik, jika dilihat dari fungsinya partai politik menurut Yves Meny dan Andrew Knapp (dalam Jimly Asshiddiqie, 2005: 59), fungsi partai politik itu mencakup fungsi: a. mobilisasi dan integrasi, b. sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns), c. sarana rekruitmen politik, dan d. sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.

Berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, partai politik berfungsi sebagai sarana:

a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;

c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;

(20)

e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sebagai berikut:

a. Prinsip Kebebasan

Prinsip Kebebasan dalam kerangka batasan-batasan konstitusional dan hukum dapat ditemukan dalam ketentuan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain:

1) Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”;

2) Pasal 28E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa:

(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat;

(21)

3) Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”; 4) Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”.

b. Prinsip Persamaan atau Kesetaraan

Prinsip persamaan juga telah diatur dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain:

1) Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;

2) Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”;

3) Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak

(22)

mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”.

c. Prinsip Suara Mayoritas

Prinsip Suara Mayoritas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dapat ditunjukkan dalam ketentuan Pasal-pasal sebagai berikut:

1) Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak”

2) Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa:

(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum yang dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

3) Pasal 7B ayat (3) dan ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa:

(23)

(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3⁄4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaiakan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

4) Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

d. Prinsip Pertanggungjawaban

Prinsip pertannggungjawaban telah diatur dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain:

1) Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa:

(24)

“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majleis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan rakyat, baik apabila terbukti telah

melakukan pelanggaran hukum berupa

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Persiden dan/atau wakil Presiden”.

2) Pasal 22B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Anggota Dewan Perwakilan rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-sayat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”.

Dari keempat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai apakah hak recall terhadap anggota DPR oleh partai politik masih sesuai ataukah tidak. Berikut pembahasan mengenai hak recall oleh partai politik terhadap anggota DPR berkenaan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

a. Prinsip Kebebasan

Prinsip kebebasan dalam UUD 1945 telah tercermin dalam ketentuan Pasal 28, Pasal 28E, Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2). Pasal 28 UUD 1945 menyatakan bahwan ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Jika dilihat dari tugas dan kewajiban dari anggota DPR sebagai wakil rakyat yang duduk di parlemen termasuk sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang, maka dengan adanya hak recall oleh partai

(25)

politik dapat membatasi apa yang ingin diwujudkan dari ketentuan Pasal 28 yang memberikan hak masing-masing individu untuk mengeluarkan pikiran baik secara tertulis maupun secara lisan. Jika dilihat dari kedudukannya, anggota partai politik yang sudah terpilih dan kemudian dilantik sebagai anggota DPR maka kedudukan anggota partai politik tersebut bukan lagi sebagai petugas partai namun sudah berubah menjadi pejabat publik. Sehingga konsekuensinya, anggota DPR harus tunduk pada hukum publik yang mengatur mengenai hak, dan kewajiban serta tugas dari anggota DPR, termasuk melaksanakan kode etik dari anggota DPR itu sendiri. Dalam kedudukannya sebagai pejabat publik dalam hal ini sebagai wakil rakyat, tentu tugas utama dari wakil rakyat yaitu sebagai penyambung lidah rakyat dan memperjuangkan apa yang menjadi dari aspirasi dan hak-hak masyarakat. Jika dilihat dari hak anggota DPR sebagaimana yang telah diatur dalam hak anggota DPR dalam ketentuan Pasal 80 Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa:

Anggota DPR berhak:

a. mengajukan usul rancangan undang-undang; b. mengajukan pertanyaan;

c. menyampaikan usul dan pendapat; d. memilih dan dipilih;

e. membela diri; f. imunitas; g. protokoler;

h. keuangan dan administratif; i. pengawasan;

j. mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan; dan

(26)

k. melakukan sosialiasi undang-undang

Dalam pelaksanaan penyampaian aspirasi, sebagai anggota DPR pasti mengeluarkan pikiran maupun pendapat baik dalam bentuk secara lisan maupun tulisan. Maka dengan dengan adanya hak recall bisa menjadi pedang damocles bagi anggota DPR seperti apa yang telah diungkapkan oleh Mh. Isnaeni (1982: 57-58) Sehingga Anggota DPR dalam menyampaikan pendapat hanya menunggu petunjuk atau arahan dari pimpinan partai politik.

Selanjutnya pada pasal 28E ayat (2) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Jika melihat dari redaksi pasal tersebut, maka telah jelas konstitusi memberikan hak kepada individu untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Dalam hal menjalankan tugas dan kewajibannya, tentu anggota DPR juga akan ditagih janji-janji yang telah disuarakan pada waktu masa kampanye dahulu kepada konstituen. Janji tersebutlah yang harus ditepati oleh anggota DPR terpilih. Namun, dalam proses perjalanan melaksanakan tugas sebagai anggota DPR pasti akan ada banyak tekanan dari berbagai pihak termasuk dari partai politik yang mengusungnya. Maka dengan adanya hak recall, bisa dimungkinkan hati nurani dari anggota DPR yang menjabat akan dipertaruhkan. Apakah anggota DPR akan tetap yakin pada hati nuraninya atau percaya pada beberapa golongan atau kepentingan kapitalis. Hak recall menjadi jalan terjal bagi anggota DPR. Kemudian jika dilihat kembali pada ketentuan pasal 28E ayat (3) UUD 1945 jelas kembali ditegaskan oleh konstitusi, bahwa individu dalam hal ini warga negara Indonesia diberikan hak penuh untuk menyatakan

(27)

pendapat. Maka apabila dikaitkan dengan adanya hak recall maka bisa dikatakan hak recall kembali menjadi tantangan bagi anggota DPR dalam menjalankan tugasnya.

Selanjutnya jika dinilai dari Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”. Maka dapat dikatakan bahwa bilamana hak recall ini dilaksanakan terhadap anggota DPR dengan alasan-alasan adanya pelanggaran AD/ART atau memang hanya karena kepentingan politis semata maka dapat dikatakan bahwa hak recall dapat merendahkan martabat dari anggota DPR yang direcall, hal ini disebabkan karena anggota DPR yang memang sudah dipilih secara langsung oleh konstituen berdasarkan suara terbanyak dan belum lagi biaya yang dikeluarkan dalam masa kampanye maka akan terlihat merendahkan martabat anggota DPR yang bersangkutan apabila dilakukan recall pada masa jabatannya. Namun, recall dapat dimaklumi apabila alasan pertimbangan recall disebabkan oleh pelanggaran hukum maupun pelanggaran kode etik oleh anggota DPR yang bersangkutan.

Selanjutnya jika dilihat dari ketentuan pasal 28G ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martbat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.” Maka hak recall juga dapat menyebabkan adanya perlakun merendahkan derajat martabat manusia dalam hal ini yaitu anggota DPR. Anggota DPR yang diberhentikan tentu akan mempunyai nama yang kurang baik di mata masyarakat.

(28)

b. Prinsip Persamaan atau Kesetaraan

Prinsip Persamaan atau Kesetaraan telah tercermin dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) telah menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlidnungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dalam hal ini, anggota DPR yang di-recall memang harus berdasarkan alasan-alasan yang jelas atau yang sudah diatur berdasarkan ketentuan dalam undang-undang sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 213 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa Anggota DPR diberhentikan antar waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:

a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; b. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR; c. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

d. Tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat

kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan

kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;

e. Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

f. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD;

(29)

g. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam UU ini;

h. Diberhentikan sebagai anggota parpol sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

i. Menjadi anggota parpol lain.

Dan diatur kembali dalam Pasal 239 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, yakni:

a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; b. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR; c. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

d. Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD;

f. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;

g. Diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau h. Menjadi anggota partai politik lain.

Jika alasan recalling disebabkan oleh alasan yang tercantum dalam huruf e, h, dan i dalam Pasal 213 ayat (2) UU Nomor 27 Tahun 2009 atau yang tercantum dalam huruf d, g,

(30)

dan h dalam Pasal 239 ayat (2) UU Nomor 17 tahun 2014, maka akan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Mengapa dapat disebut demikian? Dalam hal ini, anggota DPR sudah memiliki kedudukan sebagai pejabat negara bukan sebagai petugas parpol lagi, maka dengan adanya alasan tersebut maka hak recall tidak sesuai dengan harapan yang ingin diwujudkan dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Selanjutnya apabila dilihat dari ketentuan pasal 28H ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dalam hal menjalankan tugas dan kewajibannya anggota DPR sudah selayaknya mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam hal ini partai politik sudah tidak lagi memberikan tekanan kepada anggotanya yang berada di parlemen untuk menyesuaikan atau melaksanakan apa yang telah menjadi garis kebijakan partai.

Dari pasal-pasal yang mencerminkan prinsip kebebasan dalam UUD 1945, maka hak recall oleh partai politik sudah tidak sesuai dengan prinsip kebebasan dalam UUD 1945.

c. Prinsip Suara Mayoritas

Prinsip-prinsip suara mayoritas dapat ditunjukkan dalam ketentuan pasal 2 ayat (3), Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4), Pasal 7B ayat (3) dan ayat (7), dan Pasal 37 ayat (4) UUD 1945. Ketentuan tersebut telah menunjukkan bahwa hasil yang ingin diwujudkan dalam pasal tersebut yakni adanya penerapan suara terbanyak dalam pengambilan keputusan. Putusan MPR yang ditetapkan berdasarkan suara yang terbanyak. Kemudian, dalam hal penentuan presiden dan/atau wakil presiden juga

(31)

berdasarkan suara lebih dari 50%. Dalam hal lain, mengenai keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden juga mensyaratkan adanya suara mayoritas dalam hal ini mensyaratkan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan harus diahadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir.

Maka dalam hal usulan recall oleh partai politik tidak sesuai dengan prinsip tersebut, dikarenakan sistem pemilihan umum yang digunakan saat ini adalah sistem pemilu proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak. Konstituenlah yang menentukan terpilihnya anggota DPR, bukan lagi partai politik. Dalam hal tata cara pemberhentian anggota parpol, sebagai contoh di Partai Demokrat, tata cara pemberhentian anggota telah diatur dalam Pasal 5 Anggaran Rumah Tangga yang menyatakan bahwa:

(1) Anggota dapat diberhentikan dan atau diberhentikan sementara karena tidak melaksanakan kewajibannya sebagai anggota atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan asas, tujuan, Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan peraturan partai.

(2) Keputusan pemberhentian dilakukan oleh Dewan Pimpinan Pusat, sedangkan keputusan pemberhentian sementara dapat dilakukan oleh setiap dewan pimpinan partai setingkat di atas dewan pimpinan partai yang bersangkutan.

(3) Keputusan pemberhentian sementara anggota diputuskan melalui rapat pleno dewan pimpinan partai. (4) Keputusan pemberhentian diatur pada ayat (2) dan ayat

(32)

tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam rentang waktu minimal 21 (dua puluh satu) hari.

(5) Anggota yang diberhentikan atau diberhentikan sementara, dapat mengajukan pembelaan dirinya di forum partai setingkat lebih tinggi sampai dengan tingkat kongres.

Mekanisme penyelesaian perselisihan partai politik diatur di dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik sebagai berikut:

(1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.

(2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik.

(3) Susunan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian.

(4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari.

(5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebuatan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Rumusan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik diperjelas dengan Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik sebagai berikut:

(33)

Yang dimaksud dengan “perselisihan Partai Politik” meliputi antara lain:

(1) Perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (2) Pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; (3) Pemecatan tanpa alasan yang jelas;

(4) Penyalahgunaan kewenangan;

(5) Pertanggungjawaban keuangan; dan/atau (6) Keberatan terhadap keputusan Partai Politik.

Selanjutnya pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menentukan:

(1) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. (2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat

pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.

(3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat 91 diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung. Jika dilihat dari ketentuan dalam pasal tersebut, belum ada substansi yang mengatur tentang keterlibatan konstituen dalam hal usul pemberhentian anggota DPR. Kemudian dalam hal penentuan recall dalam hal ini berdasarkan alasan usulan dari partai politik juga belum adanya putusan pengadilan yang menjadi kepastian hukum dari pengajuan hak recall oleh partai politik. Jika dikorelasikan dengan ketentuan pasal 7B ayat (3),

(34)

pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden mensyaratkan adanya putusan dari Mahkamah Kontitusi terlebih dahulu. Namun, dalam recall anggota DPR belum adanya putusan pengadilan sebagai pertimbangan partai politik untuk usulan yang akan diajukan kepada pimpinan DPR.

Dalam penentuan anggota DPR yang diberhentikan karena usulan dari partai politik maupun hasil keputusan dari Dewan Kehormatan DPR, dalam pengaturannya sampai saat ini tidak ada ketentuan yang mensyaratkan adanya persetujuan oleh mayoritas anggota DPR yang lain dalam sidang paripurna. Padahal jika dilihat dari ketentuan mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 7B ayat (3) dan ayat (7) UUD 1945. Hal ini menjadi kesenjangan antara mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dengan pemberhentian anggota DPR. Sehingga dari korelasi ketentuan tersebut dalam lingkup prinsip suara mayoritas, hak recall tidak sesuai dengan prinsip suara mayoritas.

Dalam hal melibatkan konstituen mengenai usulan hak recall oleh partai politik juga belum diakomodir dalam UU No. 27 Tahun 2009, UU No. 17 Tahun 2014 maupun undang-undang tentang partai politik. Padahal sistem pemilu yang digunakan dalam memilih anggota legislatif dalam hal ini anggota DPR salah satunya, yaitu menggunakan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak. Sehingga konstituen juga berhak mendapatkan kesempatan untuk mengusulkan adanya recall terhadap anggota DPR yang menurutnya bermasalah berdasarkan alasan yang telah diatur dalam ketentuan yang ada dalam undang-undang mengenai pemberhentian anggota DPR.

(35)

d. Prinsip Pertanggungjawaban

Prinsip pertanggungjawaban dapat ditunjukkan dalam ketentuan Pasal 7A dan 22B UUD 1945. Pasal 7A UUD 1945 menyatakan bahwa:

“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.

Kemudian ketentuan pasal 22B UUD 1945 menyatakan bahwa, “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-sayat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”. Dalam rangka mempertanggungjawabkan atas kedudukannya sebagai pejabat negara. Alasan atas pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden memang sudah jelas karena pelanggaran hukum.

Namun, alasan pemberhentian anggota DPR tidak hanya karena pelanggaran hukum namun juga alasan kinerja yang tidak sesuai dengan arah kebijakan partai atau kinerja buruk dapat diusulkan recall oleh partai politik. Hal ini dapat dikatakan bahwa mekanisme hak recall tidak sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban. Padahal tugas sebagai pejabat publik dalam hal ini sebagai anggota DPR yaitu bertanggungjawab atas tugas dan kewajibannya kepada rakyat. Maka bukan pertanggungjawaban kepada partai politik lagi, tetapi pertanggungjawaban kepada rakyat. Padahal berdasarkan dengan teori kedaulatan rakyat bahwa kedaulatan rakyat dalam suatu sistem demokrasi tercermin juga dari ungkapan bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh

(36)

rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people, for the people) (Stevanus Evan Setio, 2013: 16). Maka anggota DPR yang terpilih saat ini merupakan hasil dari legitimasi rakyat melalui pemilihan umum, maka pertanggungjawabannya pun secara otomatis kepada masyarakat yang telah memberikan legitimasi.

Hak recall oleh partai politik merupakan sarana yang disediakan oleh undang-undang untuk mengganti antar waktu anggota partai politik yang duduk sebagai anggota parlemen. Padahal sudah menjadi tugas dari parlemen untuk menyuarakan aspirasi rakyat sebagaimana asal mula kata parlemen, yakni le parle yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berarti to speak, atau bersuara (Nike K Rumokoy, 2012: 5).

Dilihat dari segi dampaknya, hak recall oleh partai politik memberikan dampak negatif bagi kehidupan politik Negara ini. Nilai-nilai negatif yang dapat timbul antara lain:

Pertama,dapat mengekang dan mengikat nalar dari anggota DPR yang kritis dan ingin menyuarakan suara konstituennya. Kedua, membentuk mentalitas anggota DPR untuk takut kepada organisasi induknya (Partai Politik),

yang dapat menyebabkan anggota DPR lebih

mengutamakan dan mementingkan kepentingan parpolnya, bukan lagi menyuarakan aspirasi konstituennya (Nike K. Rumokoy, 2012: 5).

Berdasarkan beberapa alasan lain, jelas maka recall partai politik akan menggeser kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai politik. Padahal kedaulatan rakyat dalam suatu sistem demokrasi merupakan sistem pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Selain bertentangan dengan

(37)

prinsip-prinsip kedaulatan rakyat yang diatur dalam UUD 1945, hak recall terhadap anggota DPR oleh partai politik tidak sesuai dengan salah satu prinsip kedaulatan rakyat yang telah dikemukakan oleh Hatta yaitu prinsip keempat yaitu “kebudayaan”, di mana terkandung nilai-nilai kebebasan menganut agama, kebebasan menyatakan pendapat, serta kebebasan menuntut ilmu. Dalam hal ini mengenai kebebasan menyatakan pendapat. Hak recall dapat dikatakan menjadi penghalang bagi anggota DPR untuk dapat memperjuangkan apa saja yang menjadi kepentingan rakyat di parlemen. Hak recall menjadi momok bagi menakutkan bagi anggota DPR.

Oleh karena itu, setiap warga negara setiap warga negara haruslah diberikan kebebasan politik karena kebebasan merupakan ketenangan jiwa yang timbul dari prinsip bahwa masing-masing orang dijamin keamanannya. Dengan kebebasan, manusia dapat menyelamatkan diri dari segala macam bentuk tekanan, paksaaan, otoriterian, kediktatoran, penjajahan, dan semacamnya (Nike K. Rumokoy, 2012: 5) Franz Magnis Suseno mengatakan kebebasan adalah mahkota martabat kita sebagai manusia.

Sehingga anggota DPR yang telah diberi mandat oleh rakyat melalui pemilihan umum seharusnya mempunyai ruang kebebasan untuk membawa amanah yang telah diembannya

(38)

dalam rangka memperjuangkan kepentingan dari konstituennya. Memang anggota DPR dapat terpilih menjadi anggota parlemen menggunakan kendaraan politik yaitu partai politik. Jadi tanggung jawab kepada rakyat menjadi lebih penting dibandingkan dengan tanggung jawab kepada partai politik.

Hak recall mestinya ditiadakan karena anggota tidak bisa objektif kepada rakyat karena takut kepada fraksi (Stevanus Evan Setio, 2013: 173). Adanya sistem recall menyebabkan banyak wakil rakyat menjadi tidak kritis, bahkan takut untuk menyuarakan aspirasi rakyat (Moch. Mahfud MD, 2010: 167). Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menentukan:

Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Keterikatan seperti ini pada dasarnya menegaskan bahwa anggota DPR adalah utusan partai politik yang memenangkan kursi DPR dalam proses pemilu.

Sebagai utusan partai politik, anggota DPR tidak dapat menyatakan pikiran atau pendapat, dan atau tindakan yang berbeda atau menyimpang dari pendirian atau kebijakan yang telah ditetapkan oleh partai politik, bahkan jika pikiran, pendapat atau tindakan anggota DPR sesuai atau mencerminkan aspirasi dan atau kepentingan masyarakat dari daerah pemilihan anggota DPR yang bersangkutan (Stevanus Evan Setio, 2013: 173-174).

(39)

Manakala partai politik menilai anggoata DPR-nya telah berbeda atau menyimpang dari garis kebijakan partai, partai dapat sewaktu-waktu menggantinya dengan “utusan” yang lain (Stevanus Evan Setio, 2013: 174). Penyelenggaraan kekuasaan negara ditentukan oleh partai politik baik secara langsung maupun tidak langsung. Moh. Hatta juga pernah mengatakan:

Hak recall bertentangan dengan demokrasi apalagi demokrasi Pancasila. Pimpinan partai tidak berhak membatalkan anggotanya sebagai hasil dari pemilu. Rupanya dalam kenyataannya pimpinan partai merasa lebih berkuasa dari rakyat pemilihnya. Kalau demikian adanya ia menganjurkan agar pemilu ditiadakan saja. Pada dasarnya hak recall ini hanya ada pada negara komunis dan fasis yang bersifat totaliter.

Ini berarti sepanjang mayoritas masih belum memutuskan, maka pembahasan suatu masalah tetap berlangsung terus. Akan tetapi, apabila telah disepakati dan keputusannya diumumkan maka setiap orang diam, dan para pendukung maupun lawan-lawan tindakan tersebut bersatu dalam menyetujui ketepatan keputusan mayoritas tersebut (Ni’matul Huda, 2011: 462).

Jimly Asshiddiqie berpendapat mengenai hak recall yang menyatakan bahwa:

Dalam sistem demokrasi yang sejati, sistem “party recall” sudah seharusnya ditiadakan dan diganti dengan sistem “constituent recall”. Seorang anggota DPR tidak boleh diberhentikan dari kedudukannya sebagai wakil rakyat, kecuali apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran hukum, pelanggaran kode etika, mengundurkan diri, atau meninggal dunia dalam masa jabatannya. Seorang anggota DPR tidak boleh diberhentikan dari jabatannya dengan cara ditarik atau direcall oleh pimpinan partai politiknya karena alasan berbeda pendapat dengan pimpinan partainya atau karena alasan-alasan lain yang bertentangan

(40)

dengan prinsip kedaulatan rakyat yang telah memilihnya. Apalagi, sejak putusan MK, pengangkatan seorang anggota DPR dilakukan dengan prinsip suara yang terbanyak. Karena itu, aspirasi rakyat tidak boleh diberangus hanya karena wakil rakyat itu mempunyai pendapat berbeda dari orang per orang pimpinan partainya (Jimly Asshiddiqie, 2012: 17).

Berdasarkan hal-hal di atas, dapat dikatakan bahwa hak recall partai politik yang didasarkan pada pelanggaran AD/ART terhadap keanggotaan DPR tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasar- kan hasil rangkuman sidik ragam pada Tabel 1, perlakuan rasio tanaman induk jantan dan betina (r), serta interaksi antara rasio tanaman dengan pupuk boron

(3) Penyusunan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyusun suplemen kurikulum yang memiliki muatan kearifan lokal dan budaya daerah serta

Deskripsi Unit : Unit ini meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang diperlukan untuk menyusun dan memilih huruf menjadi susunan tulisan/ naskah (type

Dengan tanggung jawab juga orang akan lebih memiliki simpati yang besar untuk kita, dengan sendirinya derajat dan kualitas kita dimata orang lain akan tinggi karena memiliki

Implementasi yang dilakukan pada responden 1 adalah dengan masalah kekurangan volume cairan pada tanggal 10-12 juni 2017 adalah melakukan manajemen nutrisi,

Berdasarkan data hasil pengkajian pada Ny “J” mengalami hiperemesis gravidarum dengan diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh,

Menguraikan /menjelaskan /menyusun/ mengkalkulas i dengan benar hanya 1 dari 7 indikator penilaian pertemuan

Saran yang dapat disampaikan berdasarkan kesimpulan adalah a) Bagi mahasiswa, Mahasiswa dalam memanfaatkan internet untuk kegiatan akademik sudah cukup baik, mereka