• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai-nilai Budaya Islam Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai-nilai Budaya Islam Jawa"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Imam Muhsin

Dosen Sejarah Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstract: This article discussed about Islamic values in the Javanese culture. One of the values found was nyadran. In the Javanese culture, nyadran was not only containing about theology, but also containing about social values and culture such as gotong royong, guyub rukun, and willingness to sacrifice. Nyadran was the expression of social faith in which gotong royong, solidarity and togetherness became the main pattern in this tradition. Economic values also existed in this nyadran tradition, especially before its ritual process to fulfil some oborampe.

Keywords: Nyadran, Culture, Islam.

A. Pendahuluan

Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang unik. Keunikan manusia ini disebabkan oleh potensi akal budi yang dimilikinya, yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan yang lain. Dengan akal budi itu, manusia menjadi satu-satunya makhluk yang berbudaya atau berkebudayaan. Yaitu, makhluk yang memiliki keinginan dan hasrat

(2)

untuk mencapai hidup yang serba senang, baik lahir maupun batin.1

Sebagai makhluk sosial, manusia membentuk kesatuan hidup antara satu dengan yang lainnya, sehingga terbentuklah masyarakat. Kesatuan hidup manusia itu (masyarakat) pada gilirannya akan melahirkan kebudayaan sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dengan yang lain. Keragaman tampilan budaya masyarakat itu ter-jadi karena adanya perbedaan keinginan dan hasrat manusia, serta lingkungan dan tantangan yang dihadapi. Itu sebabnya setiap ma-syarakat memiliki tampilan budaya yang khas dan berbeda dengan masyarakat yang lain.

Salah satu masyarakat yang memiliki kekayaan budaya sangat tinggi adalah masyarakat Jawa yang melahirkan kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa telah ada sejak zaman prasejarah. Kebudayaan Jawa adalah penjelmaan atau pengejawantahan budidaya manusia Jawa yang merangkum dasar pemikirannya, cita-citanya, semangat-nya, fantasisemangat-nya, kemauannya hingga kesanggupannya untuk men-capai keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup lahir dan batin.2 Hakikat kebudayaan Jawa, dalam segala perkembangannya,

paling tidak memuat empat elemen dasar, yaitu: 1. kepercayaan ke-pada Sang Pencipta, Dzat Mahatinggi, Penyebab segala kehidupan, Penyebab adanya dunia dan seluruh alam semesta, Yang Awal dan Yang Akhir; 2. keyakinan bahwa manusia adalah bagian dari kodrat alam yang saling memengaruhi untuk mewujudkan keselamatan dan kesejahteraan hidup lahir dan batin; 3. menjunjung tinggi sikap rukun dan damai yang terangkum dalam semboyan mamayu

hayun-1 Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan Islam, (Yogyakarta: Ikapi DIY, 1995), hlm. 192

2 Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan Islam, (Yogyakarta: Ikapi DIY, 1995), hlm. 193

(3)

ing bawana (memelihara kesejahteraan dunia); dan 4. memelihara keseimbangan hidup lahir dan batin.3

Bagi kebanyakan masyarakat Jawa, kebudayaan Jawa begitu menjiwai kehidupan mereka, dan menjadi bagian dari naluri maupun insting yang berakar kuat dalam jiwanya. Karena itu, tidak heran jika orang Jawa, baik yang awam, cendekia, maupun agamis pada suatu ketika akan menampakkan tingkah laku atau buah pemikirannya yang nJawani (bersifat Jawa).

Dalam hal tradisi, masyarakat Jawa juga memiliki keyakinan dan tradisi yang berakar kuat. Keyakinan dan tradisi lama yang telah mengakar kuat di masyarakat biasanya sangat sulit dihilangkan atau diubah.4 Ketika terjadi kontak budaya, pada umumnya

masyara-kat cenderung mempertahankan keyakinan dan tradisi lamanya itu, meskipun mereka tidak menolak masuknya budaya luar. Sikap demikian inilah yang kemudian melahirkan perpaduan budaya, baik melalui proses assimilasi maupun akulturasi.

Salah satu tradisi yang mengakar kuat di masyarakat Jawa dan masih dipertahankan hingga sekarang adalah nyadran. Tradisi ini dilaksanakan oleh hampir semua lapisan masyarakat yang memiliki latar belakang budaya Jawa. Bahkan tidak hanya di Jawa, tradisi ini juga dilaksanakan oleh masyarakat di Aceh, Sumatera Barat, dan lain-lain.

3 Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan Islam, (Yogyakarta: Ikapi DIY, 1995), hlm. 194

4 Koenjtaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, (Jakarta:

(4)

B. Nyadran dan Berbagai Variannya

Menurut Karkono Kamajaya Partokusumo, nyadran dalam masyarakat Jawa berarti melaksanakan tradisi sadran. Istilah sadran sendiri berasal dari bahasa Sanskrit, yaitu sradda, yang mengalami proses metatetis, yaitu pergantian tempat bunyi (huruf) sebuah kata.5 Pada kasus kata sradda, terjadi pergantian tempat bunyi

(huruf) “r” pada suku kata pertama (srad) ke suku kata kedua (da) sehingga menjadi sad-dra. Untuk memudahkan pengucapan bunyi huruf “d” kemudian dilebur sehingga menjadi sadra. Berdasarkan proses perubahan ini, arti kata nyadran yang tepat barangkali adalah melaksanakan tradisi sadra, bukan sadran. Pergantian huruf “s” pada awal kata menjadi “ny” dan tambahan akhiran huruf “n” di akhir kata dalam bahasa Jawa sering dilakukan untuk memberikan makna perbuatan yang dilakukann secara rutin. Seperti kata seba menjadi nyeban yang berarti melaksanakan kegiatan seba (menghadap raja) secara rutin.

Kata sradda dalam buku Old Javanese-English Dictionary diarti-kan sebagai a ceremony ini honour and for the benefit of death relatives (suatu tradisi menghormat dan untuk kebaikan keluarga yang su-dah meninggal). Tradisi penghormatan kepada arwah leluhur telah dikenal dan dilaksanakan oleh orang Jawa sejak ribuan tahun yang lampau, bahkan sejak sebelum masuknya pengaruh Hindu ke pulau Jawa. Tradisi sradda sendiri dapat diketahui dari kitab Negaraker-tagama karangan Mpu Prapanca. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa pada 1362 diadakan perayaan sradda untuk memperingati

5 Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan Islam, (Yogyakarta: Ikapi DIY, 1995), hlm. 249

(5)

Tribhuwana, ibu suri (Rajapatni) yang meninggal duabelas tahun sebelumnya.6

Tradisi memperingati roh leluhur yang dilaksanakan oleh masy-arakat Jawa sesungguhnya tidak hanya dalam bentuk nyadran. Sejak awal pasca kematian, masyarakat Jawa telah melaksanakan berbagai tradisi dalam bentuk selamatan (Jawa: slametan), yaitu mulai hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000. Bagi orang Jawa yang me-megang teguh tradisi, seluruh rangkaian tradisi ini dilaksanakan dengan penuh kepatuhan. Namun demikian, banyak orang Jawa yang melaksanakan tradisi tersebut tidak memiliki pemahaman yang lengkap mengenai maksud dan tujuannya, kecuali hanya mengikuti tradisi yang ada di masyarakat atau melanjutkan kebiasaan yang dilaksanakan oleh orang tua mereka.

Selamatan kematian di atas, sebagaimana tersebut dalam Se-rat Kadilangu dan SeSe-rat Wali Sanga, dikaitkan dengan keberadaan manusia yang terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Unsur jasmani (selira) hidup dan bergerak karena adanya atma (semangat, energi), kama (keinginan), dan prana (nafsu). Tetapi lebih dari itu, manusia juga memiliki manas (akal), menasa (kecerdasan), dan jiwa. Se-lamatan hari ke-3 kematian dimaksudkan untuk mengawal atma, kama, prana, manas, dan jiwa yang meninggalkan jasmani. Pada hari ke-7 dilaksanakan selamatan lagi untuk mengawal roh yang masih memiliki keinginan dibimbing oleh malaikat menuju ke kamaloka melewati jembatan siratal mustakim. Roh berada di kamaloka sampai hari ke-40, dan untuk menandainya dilaksanakan selamatan 40 hari. Selamatan kematian berikutnya dilaksanakan pada heri ke-100 se-bagai bentuk peringatan masuknya roh ke dewaka (surga pertama). Pada hari ke-1000, kemudian roh akan masuk ke surga kedua, dan

(6)

untuk memperingatinya dilaksanakan selamatan 1000 hari. Proses demikian berlangsung berulang-ulang sehingga roh masuk ke surga ketujuh (swarga) dan mencapai moksa (kesempurnaan).7

Nyadran merupakan bagian tak terpisahkan dari berbagai tradisi untuk memperingati kematian seseorang. Tradisi ini dilaksanakan setelah seluruh siklus selamatan kematian hingga 1000 hari selesai. Seperti selamatan pasca kematian, tradisi ini dikenal oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Meski secara umum pelaksanaan tradisi nyadran di berbagai daerah memiliki kesamaan, tetapi antara daerah satu dengan lainnya memiliki beberapa perbedaan. Persamaannya berkaitan dengan hakikat nyadran, yaitu sebagai bentuk penghorma-tan dan pengagungan terhadap arwah leluhur. Dinyatakan atau ti-dak, hal tersebut tampaknya tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan tradisi nyadran meskipun telah mengalami proses islamisasi. Hal ini dimungkinkan karena Islam memberikan toleransi, atau minimal tidak ada larangan, tentang penghormatan dan pengagungan arwah leluhur tersebut. Tentu toleransi Islam terhadap penghormatan dan pengagungan arwah leluhur itu diberikan selama hal itu dilakukan dalam batas kewajaran dan tidak sampai melampaui batas-batas yang dilarang, seperti menjurus ke arah kemusyrikan.

Perbedaan dalam pelaksanaan tradisi nyadran terjadi berkaitan dengan maksud dan tujuannya secara khusus serta waktu pelaksanaannya. Munculnya perbedaan itu disebabkan adanya berbagai kepentingan dari para pendukungnya dan masuknya pengaruh budaya asing. Dengan adanya perbedaan maksud dan tujuan nyadran yang dilaksanakan oleh masyarakat tersebut pada gilirannya muncul perbedaan pula mengenai waktu pelaksanaannya.

7 Koenjtaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994),

(7)

Di daerah Ngijo Tasikmadu Karanganyar Jawa Tengah, misalnya, tradisi nyadran dilaksanakan terkait dengan adanya hajat pernikahan yang akan dilangsungkan oleh seorang warga. Tujuannya adalah untuk meminta doa restu kepada leluhur agar prosesi pernikahan yang akan dilaksanakan dapat berjalan lancar. Di samping itu, tradisi nyadran ini juga dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur atas segala nikmat yang telah dilimpahkan oleh Allah Swt, sekaligus sebagai bentuk permohonan ijin kepada makhluk Allah swt yang lain agar tidak mengganggu pelaksanaan hajat pernikahannya.8

Karena tradisi ini dikaitkan dengan adanya hajat pernikahan, maka tentu waktu pelaksanaannya disesuaikan dengan rencana waktu pernikahan sehingga antara satu warga dengan warga lainnya tidak dapat disamakan dan tidak pula dapat ditetapkan pada bulan-bulan tertentu.

Hal yang hampir sama terjadi di daerah Ngadimulyo Kampak Trenggalek Jawa Timur. Di daerah ini tidak setiap warga masyarakat mengadakan tradisi nyadran. Hal ini bukan berarti masyarakat tidak mendukung tradisi ini, melainkan adanya kaitan antara nyadran dengan hajat seseorang. Menurut keterangan tokoh masyarakat setempat yang juga mantan modin (Kaur Kesra), tradisi nyadran biasanya dilaksanakan oleh warga yang memiliki hajat tertentu. Warga yang punya hajat ini sekaligus sebagai sponsor tunggal yang bertanggungjawab menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan (uborampe) untuk suksesnya tradisi, berupa: sekul anget (nasi gurih) dengan lauk lada / ingkung (ayam kampung panggang yang dimasak utuh) dan tikar pandan. Tradisi nyadran yang dilaksanakan di daerah

8 Nurul Hidayah, “Tradisi Nyadran di Dusun Pokoh Desa Ngijo

Keca-matan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar.” Skripsi. Jurusan Sejarah dan Ke-budayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta, 2009), hlm. 36-37

(8)

Ngadimulyo ini tidak melibatkan seluruh warga masyarakat. Warga yang terlibat dalam tradisi ini hanya keluarga dekat atau kenalan yang punya hajat dan beberapa orang warga yang ditokohkan. Maksud dan tujuannya adalah agar segala harapan dan keinginan yang punya hajat dapat terkabul. Tradisi nyadran juga dilaksanakan oleh warga dengan maksud menunaikan nadzar (istilah masyarakat setempat: ngluwari ujar).9

Tradisi nyadran yang dilaksanakan di dua daerah yang telah dikemukakan di atas sama-sama menjadikan makam sebagai pusat prosesi budaya. Persamaan yang lain menyangkut rangkaian acaranya yang di dalamnya terdapat pembacaan doa dan bagi-bagi makanan di akhir tradisi, baik dimakan langsung di lokasi maupun di bawa pulang. Di sini tampak adanya dua tradisi yang berbeda yang dilaksanakan dalam satu rangkaian tradisi nyadran. Pertama, tradisi nenek moyang menyangkut penghormatan dan pengagungan terhadap arwah leluhur. Tradisi ini tampaknya mengakar kuat di masyarakat Jawa secara turun temurun sehingga sulit ditinggalkan.10

Kedua, tradisi Islam berupa pembacaan doa secara Islam yang dilakukan oleh tokoh agama setempat.

Adanya unsur tradisi lokal dalam tradisi nyadran yang tidak sesuai dengan tradisi Islam makin mempertegas bahwa tradisi ini lahir dari keyakinan lokal Jawa dan sedikit pengaruh dari ajaran Hindu-Budha. Kedatangan Islam ke pulau Jawa tidak menghilangkan pelaksanaan tradisi ini, tetapi melanjutkannya dengan beberapa modifikasi. Karena kearifan para pendakwah Islam, modifikasi atas tradisi ini pun dilakukan secara bertahap. Oleh karena itu

9 Wawancara, Djumair, 25 Desember 2011.

10 Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan Islam, (Yogyakarta: Ikapi DIY, 1995), hlm. 252

(9)

wajar jika hingga saat ini ada beberapa masyarakat di Jawa yang melaksanakan tradisi nyadran masih mengandung unsur keyakinan lokal, sebagaimana dua contoh di atas.

Barangkali terkait dengan upaya modifikasi, atau lebih tepatnya islamisasi budaya lokal, di atas sehingga tradisi nyadran saat ini dilaksanakan sesudah tanggal 15 pada bulan Ruwah (Jawa) atau Sya’ban (H) hingga menjelang dilaksanakannya ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Demikian pula yang dijelaskan oleh sebagian ahli.11 Tradisi nyadran dalam pengertian ini terutama banyak

di-laksanakan oleh masyarakat Jawa di wilayah sekitar Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sedangkan di wilayah Trenggalek Jawa Timur, tradisi serupa diberi nama megengan.

Tradisi nyadran yang dilaksanakan menjelang datangnya bulan Ramadhan ini menjadikannya lebih dapat diterima masyarakat luas daripada sebelumnya. Tradisi nyadran yang asli hanya dilaksanakan oleh orang Jawa yang beragama Islam tetapi masih memegang teguh tradisi Jawa kuno atau Hindu-Budha yang disebut agama Jawi12 (Koenjtaraningrat, 1994: 311) atau abangan (Geertz, 1986: 103). Orang Jawa yang keislamannya kuat yang disebut “kaum santri” tidak melaksanakan tradisi nyadran versi lama ini. Kalaupun mereka ter libat hanya sebatas sebagai undangan, dan biasanya diberi tugas sebagai pembaca doa.13 Kondisi ini berbeda dengan tradisi nyadran

yang dilaksanakan menjelang datangnya bulan Ramadhan. Orang Jawa yang beragama Islam, baik abangan maupun santri (khususnya

11 Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan Islam, (Yogyakarta: Ikapi DIY, 1995), hlm. 246

12 Koenjtaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994),

hlm. 311

(10)

kaum santri tradisional yang berbasis pesantren), banyak yang melaksanakan tradisi ini. Dukungan kaum santri terhadap tradisi nyadran ini dikarenakan adanya perubahan orientasi dan makna dari isi nyadran itu sendiri yang telah mengalami islamisasi.

Pelaksanaan nyadran yang dikaitkan dengan datangnya bulan suci umat Islam ini tentu tidak pernah ada pada masa-masa sebe-lumnya. Memang tidak diketahui dengan pasti sejak kapan tradisi nyadran dikaitkan dengan datangnya bulan penuh berkah tersebut. Warga masyarakat yang mendukung tradisi ini pun tidak mengeta-huinya, kecuali bahwa mereka melaksanakan apa yang dulu dilaks-anakan oleh nenek moyang mereka. Tetapi dapat diduga bahwa pengaitan waktu pelaksanaan tradisi nyadran dengan datangnya bulan Ramadhan tersebut ada hubungannya dengan modifikasi tradisi ini oleh para pendakwah Islam. Jika dirunut dari munculnya kalender Jawa, maka dugaan kuat pengaitan tradisi nyadran dengan datangnya bulan Ramadhan terjadi sejak masa Sultan Agung. Sebab dialah yang menciptakan kalender Jawa hasil perpaduan dengan kalender Islam. Beberapa nama bulan dalam kalender ciptaan Sultan Agung itu diadopsi dari nama-nama bulan dalam kalender Hijriyah atau paling tidak keistimewaan yang ada dalam bulan tersebut. Misalnya, bulan ke-9 dalam kalender Jawa diberi nama Pasa sebagai ganti nama bulan Ramadhan dalam kalender Hijriyah yang pada bulan itu umat Islam diwajibkan melaksanakan puasa (Jawa: pasa). Yang menarik, nama bulan ke-8 dalam kalender Hijriyah, yaitu Sya’ban, diganti dengan nama Ruwah yang menurut sebagian pakar diambil dari kata Arab arwah (bentuk plural dari ruh, Jawa: roh). Jika demikian sangat mungkin pelaksanaan tradisi nyadran yang ha-kikatnya penghormatan terhadap arwah leluhur pada bulan Ruwah terjadi sejak masa Sultan Agung atau masa setelahnya.

(11)

Maksud dan tujuan serta tempat pelaksanaan tradisi nyadran yang telah bersentuhan dengan Islam berbeda dengan versi sebe-lumnya (aslinya). Unsur penghormatan dan pengagungan terhadap arwah leluhur memang tetap ada, tetapi diberi makna baru sesuai dengan ajaran Islam, yaitu sebagai bentuk birr al-walidain (berbakti kepada orang tua). Tujuannya pun tidak untuk memohon doa ke-pada arwah leluhur agar harapan dan keinginannya tercapai, tetapi justru mendoakan arwah leluhur agar segala dosanya diampuni oleh Allah swt dan ditempatkan di tempat yang layak di sisi-Nya sesuai amal kebaikannya selama hidup di dunia. Kalau pun dilakukan doa permohonan untuk tercapainya harapan dan keinginan, maka doa tersebut dipanjatkan kepada Allah swt, bukan kepada arwah leluhur yang sudah meninggal. Tempat pelaksanaannya juga tidak “harus” di makam, meskipun sebagian masyarakat Jawa di beberapa daerah masih menjadikan makam sebagai tempat favorit. Oleh ka-rena itu, seringkali pelaksanaan tradisi nyadran dapat dijumpai di masjid, mushalla, atau tempat-tempat umum lainnya yang mampu menampung banyak warga.

Bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, tradisi nyadran su-dah sangat populer dan membudaya, terutama di daerah pedesaan. Tradisi ini hampir menjadi milik semua warga pedesaan di bekas wilayah kerajaan Mataram Islam tersebut. Setiap kali memasuki paruh kedua bulan Ruwah (Jawa) atau Sya’ban (H), seluruh warga desa di wilayah ini sibuk dengan kegiatan tahunan ini. Pasar-pasar tradisional pun ikut terpengaruh suasana nyadranan. Di beberapa sudut pasar tampak para pedagang menjajakan dagangan yang khu-sus dijual pada musim nyadranan, yaitu bunga lavenda (?) sebagai pelengkap ziarah kubur dalam tradisi nyadran. Dahulu tradisi nya-dran memang identik dengan ziarah kubur atau datang mengunjungi

(12)

makam. Tetapi sekarang tidak semua masyarakat yang melaksanakan tradisi nyadran dilanjutkan dengan ziarah kubur.

C. Tantangan Kelangsungan Tradisi Nyadran

Keberadaan nyadran sebagai tradisi Jawa kuno tidak diragukan lagi, karena ia diwarisi dari nenek moyang sejak masa lampau. Dan sebagaimana tradisi Jawa yang lain, bahkan tradisi-tradisi manapun, tradisi nyadran tidak terlepas dari adanya tantangan, baik yang bera-sal dari dalam maupun dari luar. Tantangan utama yang berabera-sal dari dalam adalah menyangkut ciri budaya Jawa yang bersifat terbuka dan akomodatif terhadap gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Kesadaran kebudayaan Jawa, kata Franz Magnis-Suseno (2001: 1)14 justru tidak menemukan diri dan berkembang

kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam menerima masukan-masukan dari luar. Ciri khas demikian di satu sisi tentu bernilai po-sitif, terutama bagi pengembangan kebudayaan Jawa sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan jaman. Tetapi di sisi lain, hal itu dapat menjadi masalah jika sifat terbuka dan akomodatif di atas tidak dibarengi dengan sikap kritis dan selektif. Tanpa sikap ini boleh jadi budaya Jawa yang dikenal mengandung nilai-nilai adiluhung akan tergerus oleh pusaran budaya asing yang menjadikannya tidak lagi eksis di tengah-tengah masyarakatnya sendiri. Tantangan dari dalam berikutnya adalah menyangkut dukungan dan apresiasi masyarakat Jawa yang lambat laun semakin berkurang terhadap warisan bu-dayanya sendiri, termasuk nyadran. Kondisi ini tentu tidak berdiri sendiri. Banyak faktor yang dapat memengaruhinya, dan sebagian besar sekaligus merupakan tantangan yang berasal dari luar bagi eksistensi tradisi nyadran itu sendiri.

14 Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebi-jaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001)

(13)

Di antara tantangan yang berasal dari luar adalah masuknya budaya populer melalui media massa dan elektronik. Budaya ini berkembang sangat pesat seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan derasnya arus globalisasi. Bagi masyarakat Jawa, khu-susnya kalangan generasi muda, tampilan budaya populer tentu lebih menarik dan menggiurkan dari pada budaya asli masyarakatnya yang dikemas dalam tradisi, seperti halnya nyadran. Mereka cenderung acuh dan tidak peduli dengan tradisi yang berkembang di masyara-katnya itu. Hal ini paling tidak tampak pada minimnya keterliba-tan generasi muda di setiap acara nyadran yang diselenggarakan di kampung-kampung. Kebanyakan peserta nyadran adalah generasi tua. Karena sifatnya yang instan dan cenderung materialistik-kapita-listik-hedonistik, budaya populer memang menawarkan kesenangan dan kepuasan langsung yang dapat dinikmati bagi pendukungnya. Berbeda dengan tradisi lokal, seperti nyadran, karena wujudnya yang lebih bersifat mistis-teologis kesenangan dan kepuasan baru dapat dirasakan ketika dilakukan penghayatan terhadap makna dari seluruh prosesinya, itupun bersifat ruhaniyah (batin).

Pengalaman peneliti barangkali dapat menjadi contoh konkrit mengenai tantangan budaya populer bagi kelangsungan tradisi lokal ini. Pada saat kampung tempat tinggal peneliti mengadakan kegiatan nyadranan, pada jam yang sama di layar kaca (televisi) sedang berlangsung pertandingan sepakbola antara klub-klub ternama dunia yang banyak difavoritkan oleh para penggemar bola. Sebelumnya beberapa warga sudah menduga bahwa masyarakat yang hadir dalam kegiatan nyadranan bakal berkurang. Peneliti tadinya tidak percaya dengan dugaan beberapa warga itu. Tetapi setelah acara nyadranan dimulai dan ternyata masyarakat yang hadir berkurang dari biasanya, terutama dari kalangan generasi muda, peneliti baru menyadari bahwa apa yang disampaikan oleh sebagian warga tersebut benar

(14)

adanya. Budaya populer telah menyihir sebagian masyarakat sehingga larut dan hanyut dalam iramanya.

Tantangan lain yang tidak kalah besarnya terhadap kelangsungan tradisi nyadran adalah paham tentang kemodernan (modernisme). Modernisme yang lahir sebagai anak kandung rasionalisme seringkali dibenturkan dengan tradisionalisme. Padahal sejatinya antara modernisme dan tradisionalisme tidak mesti harus berbenturan, justru keduanya dapat saling mengisi dan melengkapi. Sebab, tidak jarang di dalam tradisi terdapat sisi-sisi kemodernannya, dan sebaliknya di dalam modernisme terdapat pula sisi-sisi tradisionalnya. Tantangan modernisme bagi kelangsungan tradisi muncul akibat kurangnya pemahaman tentang makna modernitas. Seringkali kemodernan dipahami sebagai rasionalitas sempit. Segala sesuatu yang berasal dari tradisi dan tidak dapat dijelaskan secara rasional dianggap bertentangan dengan modernitas, dan oleh karena itu harus dimusnahkan dari muka bumi. Padahal, di samping terdapat sisi modernitasnya, dalam tradisonalisme juga terdapat sisi-sisi rasionalitasnya tersendiri, paling tidak menurut masyarakat pendukungnya.

Sebagai salah satu tradisi, nyadran tidak luput dari pandangan miring karena dianggap tidak sejalan dengan modernisme. Hal ini karena dalam pelaksanaan tradisi nyadran dianggap berbau mistis (ti-dak rasional), pemborosan ekonomi, dan buang-buang waktu. Dari sudut pandang materialisme-historis, anggapan tersebut barangkali dapat dibenarkan. Tetapi jika dilihat dari sudut pandang yang lain, misalnya spiritualisme-relegius, anggapan di atas tentu jauh dari kebenaran. Sebab dalam masalah seperti ini kebenaran memang tidak bersifat tunggal, melainkan beragam tergantung pada siapa dan dari sisi mana melihatnya.

(15)

Dalam pelaksanaan tradisi nyadran, terutama di masyarakat yang proses islamisasinya belum sempurna, memang masih dapat dijumpai hal-hal yang berbau mistis. Biasanya hal tersebut berkaitan dengan kelengkapan prosesi tradisi yang mengharuskan adanya sesaji dan aneka makanan berupa ketan, kolak, dan apem. Ketiga jenis makanan ini hampir dapat dipastikan selalu ada dalam kegiatan nyadran, bahkan dalam berbagai selamatan lainnya. Dengan adanya berbagai uborampe ini, khususnya sesaji yang kadang-kadang dilengkapi dengan kembang setaman dan pembakaran kemenyan, menjadikan tradisi nyadran memiliki nuansa mistis atau keramat.15

Sesuatu yang dianggap mistis sesungguhnya tidak selalu ber tentangan dengan rasio atau akal sehat. Ketidakrasionalan sesuatu yang dianggap mistis kadang-kadang lebih disebabkan oleh ketidakmampuan akal untuk menjangkau makna batin yang di-kandungnya. Apalagi jika dipahami bahwa masyarakat Jawa suka membungkus sisi “rasionalitas” suatu tindakan di balik simbol-simbol. Demikian juga dengan sesaji dalam tradisi nyadran, sesungguhnya merupakan simbol yang menyimpan sisi rasionalitas pemikiran orang Jawa tentang harmoni dan keselarasan. Bagi orang Jawa, harmoni dan keselarasan harus diwujudkan bukan hanya dalam hubungan antar manusia, tetapi juga dengan alam semesta bahkan roh-roh gaib. Sesaji dalam tradisi nyadran dimaksudkan untuk menciptakan keselarasan dengan seluruh alam itu, bukan untuk “menyembahnya.” Sisi rasionalitas yang sama juga dapat ditemukan dalam simbol-simbol yang lain, seperti ketan, kolak, dan apem.

Hampir sama dengan modernisme, fundamentalisme Islam juga menjadi tantangan cukup besar bagi kelangsungan tradisi Islam

15 Koenjtaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994),

(16)

Jawa, khususnya nyadran. Jika modernisme berpijak pada nilai-nilai rasionalitas modern, maka fundamentalisme berpijak pada nilai-nilai dasar sebuah ajaran (baca: Islam). Ancamannya secara umum juga hampir sama, yaitu penafian eksistensi tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran dasar keyakinan agamanya. Dalam melihat sesuatu yang bertentangan atau menyimpang dari apa yang diyakini sebagai yang mendasar dari ajaran agama, kaum fundamentalis tidak memberikan ruang bagi pertimbangan nalar dan hati nurani.16

Singkat kata, segala sesuatu yang tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam berarti hal tersebut bukan Islam, dan oleh karena itu harus ditinggalkan bahkan dimusnahkan.

Pemikiran picik dan sempit seperti ini sungguh menjadi tan-tangan besar bagi keberadaan tradisi Islam Jawa yang banyak meng-adopsi unsur-unsur budaya lokal. Nyadran yang secara formal me-rupakan kelanjutan tradisi Jawa yang telah ada sejak masa lampau tentu menjadi salah satu sasaran perlawanan kaum fundamentalis. Melaksanakan nyadran dapat dianggap sebagai sebuah “penodaan” ajaran agama. Identifikasi keislaman cenderung dipahami secara sangat simbolis. Saking simbolisnya seringkali mereka lupa atau mungkin tidak mau tahu untuk membedakan antara mana yang termasuk ajaran agama murni (baca: Islam) dan mana yang merupakan tradisi atau budaya. Dalam konteks keislaman, tidak jarang ajaran Islam disamakan begitu saja dengan budaya Arab, dan sebaliknya. Misalnya, dalam hal berpakaian dengan model baju gamis dan calana congklang (celana panjang di atas tumit). Menurut kaum fundamentalis model berpakaian demikianlah yang islami, sedangkan yang lain tidak. Padahal model berpakaian pada dasarnya adalah masalah budaya sebagai hasil kreasi manusia yang dipengaruhi

16 Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis. peny. Abdul Wahid Hasan,

(17)

lingkungan alam dan lingkungan sosial yang mengitarinya. Nilai keislaman dalam berpakaian bukan terletak pada tampilan luarnya semata, melainkan yang lebih hakiki nilai kesopanan sesuai ajaran Islam yang melekat di dalamnya.

Nyadran adalah kreasi budaya manusia (Jawa), sama dengan pakaian gamis dan celana congklang. Karena itu, dalam melihat nyadran mestinya tidak terbatas pada tampilan luarnya semata, tetapi harus memahami isi di balik tampilan luarnya itu. Dengan demikian, tentu tidak cukup menilai sesuatu sebagai yang islami dan tidak islami berdasarkan apa yang tampak.

D. Kontribusi Tradisi Nyadran

Nyadran merupakan tradisi lama yang banyak mendapat du-kungan dari berbagai lapisan masyarakat Jawa, baik di desa maupun di kota. Bentuk pelaksanaannya antara satu daerah dengan daerah lain kadang-kadang ada perbedaan, meskipun hakikatnya sama. Bagi masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama nyadran meru-pakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan yang sulit ditinggalkan. Pelaksanaan nyadran biasanya dirangkai dengan kegiatan zia-rah ke makam leluhur, meskipun di beberapa daezia-rah tidak mesti demikian. Nyadran dan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kul-tural keagamaan yang memiliki kesamaan objek, yakni arwah para leluhur. Perbedaannya terletak pada pelaksanaannya, kalau nyadran biasanya waktu dan tempat ditentukan oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah dan dilakukan secara kolektif, sedangkan ziarah kubur dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda-beda serta bersifat individual.

Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan antara budaya lokal dan

(18)

nilai-nilai Islam, namun warna lokalnya lebih menonjol dari pada warna Islamnya. Bagi masyarakat Jawa nyadran menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Karena itu, nilai-nilai luhur yang ada dalam tradisi itu sangat dijunjung tinggi. Bahkan bagi se-bagian masyarakat Jawa nyadran dipandang lebih penting dari pada tradisi-tradisi yang lain, seperti mudik pada hari lebaran. Manghadiri tradisi nyadran merupakan “kewajiban” yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu, seseorang yang tidak dapat menghadiri tradisi ini akan merasakan adanya sesuatu yang hilang dalam hidupnya.

Paling tidak ada tiga nilai manfaat yang dapat digali dari palaksanakan tradisi nyadran, yaitu: 1. membentuk kesalehan indi-vidual, 2. membentuk kesalehan sosial, dan 3. membentuk karaker bangsa.

1. Nyadran Membentuk Kesalehan Individual.

Sebagaimana telah disinggung di muka, pelaksanaan tradisi nyadran sejak awal munculnya hingga bersentuhan dengan Islam tidak dapat dilepaskan dari adanya unsur penghormatan dan pengagungan terhadap arwah leluhur oleh generasi yang masih hidup, namun tentu dengan makna yang berbeda. Dalam pelaksanaan tradisi ini, pelaku budaya (warga masyarakat) menempatkan diri sebagai makhluk Tuhan sekaligus sebagai makhluk sosial. Melalui tradisi ini pada gilirannya akan menghasilkan sebuah tata hubungan vertikal-horizontal yang lebih intim.

Dalam konteks hubungan vertikal, warga masyarakat yang mengikuti tradisi nyadran akan dapat meningkatkan intensitas kesadaran tertingginya tentang hakikat hidup dan kewajibannya kepada Tuhan. Nyadran yang merupakan salah satu bentuk peringatan kematian, dapat mengingatkan seseorang terhadap adanya kematian yang pasti dialami oleh semua orang. Tidak hanya

(19)

itu, nyadran juga dapat mendorong seseorang mengarahkan orientasi hidupnya di dunia ini menuju hidup hakiki setelah mati.

Pembacaan dzikir dan doa yang dilaksanakan selama prosesi tradisi nyadran menjadi faktor lain yang dapat membentuk kesalehan individual. Dengan membaca dzikir dan doa, mata batin seseorang akan terasah menjadi lebih cerdas ketika hal itu dibarengi dengan sikap pasrah dan tunduk secara total di hadapan Allah swt. Dalam sebuah hadis, Nabi saw pernah bersabda: al-kayyisu man dâna nafsahu wa ‘amila limâ ba’da al-maut, yang artinya “orang yang cerdas adalah orang yang dapat menundukkan hawa nafsunya dan berbuat untuk kehidupan setelah mati”.17

Nyadran juga dapat menjadi sarana efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Apalagi di era modern seperti sekarang ketika kehidupan masyarakat telah terpengaruh budaya materialistik yang cenderung mengesampingkan aspek-aspek religius. Bagi warga masyarakat yang tingkat kesibukannya tinggi, membaca dzkir dan doa barangkali merupakan sesuatu yang jarang dilakukan meskipun ia seorang muslim taat (santri). Hal ini karena membaca dzkir dan doa dalam ajaran Islam status hukumnya bukan sebuah keharusan (wâjib), melainkan sebatas anjuran saja (sunnah). Orang Islam diberi kebebasan untuk membacanya atau tidak membacanya, tergantung kepentingan pribadi masing-masing. Dalam tradisi nyadran setiap warga yang hadir “terpaksa” membaca dzikir dan doa, karena dua bacaan itu merupakan bagian penting dari prosesi nyadran itu sendiri. Apalagi tradisi nyadran dalam pengkategorian

17 Al-Ghazali, Ayyuhal Walad: fi Nashîhah al-Muta’allimin wa Maw’idhatihim liya’lamû wa yumayyizu ‘Ilman Nâfi’an min Ghairih, (Kediri:

(20)

Koentjaraningrat18 (1994: 348) dapat dikelompokkan ke dalam jenis

tradisi keramat (tetapi untuk saat ini barangkali lebih tepat disebut tradisi keagamaan). Tradisi semacam ini dapat menimbulkan getaran emosi keagamaan pada orang-orang yang hadir, terutama pada saat pembacaan dzikir dan doa. Pada saat demikianlah seseorang akan merasakan ketenangan dan kedamaian hati, sehingga pada gilirannya dapat menjadi pribadi yang lebih baik.

Di samping itu, sebagaimana telah disinggung, tradisi nyadran dapat dijadikan sebagai sarana berbakti kepada orang tua (birr al-walidain) yang sudah meninggal. Lebih dari itu, tradisi nyadran sekaligus dapat dipandang sebagai simbolisasi dan pembuktian dari sikap berbakti seseorang kepada orang tuanya. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya pembacaan dzikir dan doa yang berisi permohonan ampun dan kenikmatan surgawi atas arwah para leluhur. Secara normatif, hal ini memiliki landasan dalam hadis Nabi saw yang menjelaskan bahwa jika seseorang telah meninggal dunia semua amalnya akan terputus kecuali tiga hal, salah satunya adalah anak sholeh yang mau mendoakan orang tuanya.19 Berdasarkan

hadis ini tidak salah jika muncul pemahaman yang bersifat tekstual simbolis bahwa nyadran merupakan salah satu bentuk aktualisasi “anak sholeh” sebagaimana maksud bunyi hadis di atas.

Tentu sikap berbakti yang sejati tidak cukup hanya dilakukan melalui keikutsertaan seseorang dalam tradisi nyadran. Ada banyak cara yang dapat dilakukan seseorang untuk menunjukkan baktinya kepada orang tua. Simbolisasi ketaatan dan bakti seseorang kepada orang tua (leluhur) yang diwujudkan melalui keikutsertaannya

18 Koenjtaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994),

hlm. 348

19 Al-Suyuti, Jâmi’ al-Shaghîr fî Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr. Juz 2. Beirut:

(21)

dalam tradisi nyadran merupakan bentuk pemahaman kultural dan keberagamaan orang Jawa dalam konteks keislaman.

2. Nyadran Membentuk Kesalehan Sosial.

Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi sarana transformasi sosial, budaya, dan keagamaan.

Di beberapa daerah prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Ketiga jenis makanan tersebut dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang bagian kanan dan kiri ditusuk dengan lidi (Jawa: biting). Kue-kue tersebut selain dipakai untuk munjung atau ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal tersebut dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama.

Kenduri menjadi rangkaian terakhir dari prosesi tradisi nyadran. Jika dalam tradisi itu dilaksanakan pembersihan makam, maka kenduri digelar setelah itu. Tempat pelaksanaan kenduri tidak sama antara satu daerah dengan yang lain, tergantung kesepakatan warga dengan tokoh masyarakat setempat. Pada saat acara kenduri seluruh warga yang hadir berkumpul, biasanya dengan posisi duduk bersila, membuat lingkaran dalam suasana kekeluargaan dan keakraban.

Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya dan beragam jenis. Setelah seluruh warga siap di tempat duduknya masing-masing, kemudian orang yang ditokohkan (biasanya mbah modin atau mbah kaum) membuka acara, isinya bermaksud untuk

(22)

mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan doa yang isinya memohon maaf dan ampunan kepada Allah swt atas dosa para leluhur dan semua kaum muslimin khususnya semua warga yang hadir. Ketika doa dibacakan, yang menggunakan tata cara agama Islam, semua warga yang hadir mengamini. Suasana akrab dan semangat kekeluargaan tergambar dalam melafalkan amin yang diucapkan secara bersamaan dan dengan nada tinggi. Selesai berdoa, semua yang hadir kemudian makan bersama.

Pada saat makan bersama ada yang saling menukar makanan atau lauk-pauknya, tetapi ada juga yang hanya berbincang-bincang dengan orang di sebelahnya. Hal ini dapat dimakumi karena pada saat tradisi nyadran dilaksanakan banyak warga di perantauan menyempatkan diri pulang kampung sehingga banyak di antara mereka yang jarang bertemu. Oleh karena itu, tradisi nyadran juga dapat menjadi sarana silaturrahim dan melepas kangen antara warga atau saudara yang lama berpisah.

Setelah acara makan bersama selesai, biasanya Mbah Kaum diberi uang amplop berisi uang tip yang tidak terlalu besar, bahkan cenderung sekedarnya, dan makanan secukupnya. Sedangkan warga yang tidak hadir hadir diberi gandhulan atau berkatan, yaitu makanan (nasi atau kue) yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang bersangkutan oleh warga yang berdekatan. Kebiasaan ini menunjukkan adanya penghargaan dan penghormatan kepada orang yang dituakan serta rasa kekeluargaan dan persaudaraan yang tinggi antar warga. Ketidakhadiran wujud fisik seseorang di tempat tradisi bukan berarti ketidakhadiran wujud non-fisik dalam kesadaran komunal masyarakat. Dengan kata lain, meskipun seseorang tidak dapat hadir secara fisik dalam tradisi, tetapi ia hadir dalam alam

(23)

bawah sadar seluruh warga. Keberadaannya sebagai bagian dari pendukung tradisi dan anggota masyarakat tidak hilang dan lenyap karena ketidakhadirannya itu. Ini merupakan salah satu bentuk aktualisasi ajaran tentang persaudaraan Islam yang dipahami dan dilaksanakan oleh orang Jawa sehingga membentuk Islam Jawa.

Dengan demikian, sebagaimana telah disinggung di muka, jelas dalam tradisi nyadran tidak hanya bermuatan teologis semata, tetapi juga mengandung nilai-nilai sosial dan budaya, seperti gotong-royong, guyub-rukun, dan kerelaan berkorban. Nyadran merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat di mana rasa gotong-royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari tradisi ini. Nilai ekonomi juga tampak dalam tradisi nyadran, terutama menjelang pelaksanaannya untuk memenuhi berbagai uborampe. Biasanya pada masa-masa pelaksanaan nyadran pasar-pasar tradisional menjadi tambah ramai dengan munculnya barang dagangan khusus untuk kebutuhan nyadran serta bertambahnya penjual dan pembeli.

3. Nyadran Membentuk Karakter Bangsa

Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme. Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran semua warga akan berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan golongan ataupun partai bahkan perbedaan agama dan keyakinan.

Hal ini sebagaimana tampak dalam tradisi nyadran di masjid Agung Demak. Dalam pelaksanaan tradisi tersebut menunjukkan adanya kerukunan dan akulturasi budaya antara Islam, Hindu, dan Tiong Hoa. Keberadaan orang-orang Tiong Hoa ini karena

(24)

Raja Demak pertama, Raden Fattah, dipercaya masyarakat sebagai keturunan China. Dengan mengenakan pakaian adat Jawa lengkap, ratusan warga yang dipimpin bupati atau kepala daerah berjalan beriringan menuju lokasi upacara. Rute yang dilalui dimulai dari Pendopo Kabupaten menuju Masjid Agung yang menjadi kompleks pemakaman raja-raja Demak. Selain diiringi musik rebana dan bacaan sholawat, selama dalam perjalanan mereka juga diiringi pertunjukan Leong Sai yang merupakan kebudayaan yang berasal Tiong Hoa.

Di samping itu, dalam tradisi nyadran juga mencerminkan ada nya hubungan kekerabatan, kebersamaan, serta kasih sayang di antara warga atau anggota trah. Melalui tradisi nya dran juga terjadi trans formasi nilai, baik sosial, budaya, mau pun agama, dari yang orang tua kepada generasi muda. Nya dran menjadi ajang berbaurnya masyarakat dari segala lapisan. Mereka di satukan dalam sebuah tradisi sehingga mereka dapat saling meng asihi dan saling menyayangi satu sama lain. Nuansa keda mai an, hu manitas dan familiar sangat kental terasa pelaksanaan tradisi nyadran. Pada tataran inilah nyadran dapat menjadi sarana mening kat kan kualitas jalinan sosial antar warga sehingga dapat tercipta ke hidupan guyup-rukun, ayom-ayem, tenteram, dan damai.

Nyadran dalam konteks ke-Indonesia-an telah menjelma sebagai refleksi sosial, budaya, dan agama. Bagi kelompok masya-rakat tertentu, nyadran dapat menjadi wahana wisata rohani untuk menghilangkan kepenatan dari rutinitas hidup sehari-hari. Ketika masyarakat disibukkan dengan aktivitas kerja yang banyak menyedot tenaga dan pikiran, terkadang sampai mengabaikan sisi-sisi religiusitas. Melalui nyadran, mereka dapat mengembalikan kesadaran hati nuraninya tentang nilai-nilai religius dan kultural yang ada gilirannya dapat menjadi manusia Indonesia yang berkarakter. []

(25)

Daftar Pustaka

Al-Ghazali. Ayyuhal Walad: fi Nashîhah al-Muta’allimin wa Maw’idhatihim liya’lamû wa yumayyizu ‘Ilman Nâfi’an min Ghairih. Kediri: Muhammad ‘Utsman, tt.

al-Hasanî, Muhammad bin `Alawî al-Mâlikî. Al-Bayân wa-l-Ta`rîf fî Dzikrâ al-Maulid al-Nabawiyy al-Syarîf. Ttp.: tp., 1995. Al-Suyuti. Jâmi’ al-Shaghîr fî Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr. juz 2.

Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

Brockelmann, Carl. Geschichte der Arabischen Litteratur. Leiden: E. J. Brill, 1938-42.

Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Band-ung: Mizan, cet. III, 1999.

Hidayah, Nurul. “Tradisi Nyadran di Dusun Pokoh Desa Ngijo Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar.” Skripsi. Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.

Hodgson, Marshall G. S. The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization. Chicago & London: The University of Chicago Press, 1974.

Kaptein, Nico. Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad Saw.: Asal-Usul dan Penyebaran Awalnya; Sejarah di Magrib dan Spanyol Muslim sampai Abad Ke-10/Ke-16, ter. Lillian D. Tedjasud-hana. Jakarta: INIS, 1994.

Koenjtaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.

(26)

Machasin. Islam Dinamis Islam Harmonis. peny. Abdul Wahid Hasan. Yogyakarta: LKiS, 2011.

Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Majmû`ah al-Mawalid wa Ad`iyah. Pekalongan: Raja Murah, tth. “Mausû`ah al-Hadîts al-Syarîf.” CD ROM Shakhr. Edisi 1,2, 1995. Partokusumo, Karkono Kamajaya. Kebudayaan Jawa Perpaduannya

Referensi

Dokumen terkait

Dibalik semua proses perubahan fisik yang terjadi sejak awal terbentuknya kampung hingga kini, masyarakat kampung Gedong tetap kukuh pada tradisi mereka dan kehidupan religi

(2) Akulturasi nilai-nilai Islam dalam Tradisi Rokat Praoh Kesellem dapat dilihat dari bacaan-bacaan dan atribut yang digunakan, begitu juga dengan budaya lokalnya

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa latar belakang munculnya tradisi Bergendang di Kampung Rantau Panjang adalah terkait dengan tidak adanya hiburan pada

Karena itulah, tradisi dan budaya Jawa seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam dan perlu diluruskan atau sekalian

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, rimpu merupakan pakaian adat muslim Bima yang mulai popular sejak berdirinya kerajaan Islam di Bima pada 15 Rabiul Awal 1050

kebudayaan dalam ungkapan lingual tradisi suroan adat Jawa di Dusun Namu Uncim B.. Hubungan bahasa dengan kebudayaan dikaitkanlebih erat lagi bahwa

Sehingga, relevansi tradisi Nyeliwer Wengi dengan ajaran Islam mengandung sebuah makna akulturasi budaya Jawa ( Lokal ) dan ajaran Islam yaitu nilai-nilai Islam telah

Unsur-Unsur Budaya Islam yang terdapat dalam Tradisi Naung ri Ere Unsur kebudayaan yang di anggap sebagai cultural universal adalah bahasa, dari bahasa manusia menunjukkan bahwa