• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Masyarakat Madani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengertian Masyarakat Madani"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Pengertian Masyarakat Madani

Assalamu'alaikum Wr wb. selamat pagi semuanya, yah karena tugas dari ibu guru untuk membuat makalah mengenai Masyarakat Madani, sehingga tadi malam saya lembur dan alhamdulillah selesai, apa sih masyarakat madani? apa sih ciri-cirinya? dan lain sebagainya akan saya bahas dalam makalah ini. jadi baca dengan baik ya?

A. Pengertian Masyarakat Madani ( Civic Society )

Civic society diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan masyarakat sipil atau masyarakat madani. Kata madani berasal dari kata Madinah, yaitu sebuah kota tempat hijrah Nabi Muhammad SAW. Madinah berasal dari kata “madaniyah” yang berarti peradaban. Oleh karena itu masyarakat madani berarti masyarakat yang beradap.

Masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat sipil (civil society) yang

mandiri dan demokratis, masyarakat madani lahir dari proses penyemaian demokrasi, hubungan keduanya ibarat ikan dengan air, bab ini membahas tentang masyarakat madani yang umumnya dikenal dengna istilah masyarakat sipil (civil society), pengertiannya, ciri-cirinya, sejaraha pemikiran, karakter dan wacana masyarakat sipil di Barat dan di Indonesia serta unsur-unsur di dalamnya

Di bawah ini adalah beberapa definisi masyarakat madani :

1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat madani adalah masyarakat yang

menjunjung tinggi norma, nilai-nilai, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan teknologi yang beradab, iman dan ilmu.

2. Menurut Syamsudin Haris, masyarakat madani adalah suatu lingkup interaksi sosial yang

berada di luar pengaaruh negara dan model yang tersusun dari lingkungan masyarakat paling akrab seperti keluarga, asosiasi sukarela, gerakan kemasyarakatan dan berbagai bentuk lingkungan komunikasi antar warga masyarakat.

3. Menurut Nurcholis Madjid, masyarakat madani adalah masyarakat yang merujuk pada

masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad SAW di Madinah, sebagai masyarakat kota atau masyarakat berperadaban dengan ciri antara lain : egaliteran(kesederajatan), menghargai prestasi, keterbukaan, toleransi dan musyawarah. 4. Menurut Ernest Gellner, Civil Society (CS) atau Masyarakat Madani (MM)merujuk pada

mayarakat yang terdiri atas berbagai institusi non pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk dapat mengimbangi Negara.

5. Menurut Cohen dan Arato, CS atau MM adalah suatu wilayah interaksi sosial diantara

wilayah ekonomi, politik dan Negara yang didalamnya mencakup semua kelompok-kelompok sosial yang bekerjasama membangun ikatan-ikatan sosial diluar lembaga resmi, menggalang solidaritas kemanusiaan, dan mengejar kebaikan bersama (public good).

6. Menurut Muhammad AS Hikam, CS atau MM adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial

yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), keswadayaan (self-supporing),dan kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma dan nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.

7. Menurut M. Ryaas Rasyid, CS atau MM adalah suatu gagasan masyarakat yang mandiri

yang dikonsepsikan sebagai jaringan-jaringan yang produktif dari kelompok-kelompok sosial yang mandiri, perkumpulan-perkumpulan, serta lembaga-lembaga yang saling berhadapan dengan negara.

(2)

8. Menurut kelompok kami, CS atau MM adalah suatu konsep sosial kemasyarakatan yang

mandiri dan independent dimana elemen-elemen pendukungnya memiliki kemampuan (capability) untuk merumuskan dan berperan aktif dalam menjalankan suatu tujuan bersama diluar konteks pemerintahan dan kenegaraan yang baku.

B. Ciri-Ciri Masyarakat Madani

Ciri-ciri masyarakat madani berdasarkan definisi di atas antara lain :

a. Menjunjung tinggi nilai, norma, dan hukum yang ditopang oleh iman dan teknologi.

b. Mempunyai peradaban yang tinggi ( beradab ).

c. Mengedepankan kesederajatan dan transparasi ( keterbukaan ).

d. Free public sphere (ruang publik yang bebas)

Ruang publik yang diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik.

e. Demokratisasi

Menurut Neera Candoke, masyarakat sosial berkaitan dengan wacana kritik rasional masyarakat yang secara ekspisit mensyaratkan tumbuhnya demokrasi., dalam kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu menjamin masyarakat madani. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi :

1) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

2) Pers yang bebas

3) Supremasi hokum

4) Perguruan Tinggi

5) Partai politik

f. Toleransi

Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat yang lain yang berbeda.

g. Pluralisme

Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan disertai sikap tulus bahwa masyarakat itu majemuk. Kemajemukan itu bernilai positif dan merupakan rahmat tuhan. h. Keadilan Sosial (Social justice)

Keadilan yang dimaksud adalah keseimbangan dan pembagian yang proporsional antara hak dan kewajiban setiap warga dan negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.

i. Partisipasi sosial

Partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik bagi terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi apabila tersedia iklim yang memunkinkan otonomi individu terjaga.

j. Supermasi hukum

Penghargaan terhadap supermasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan, keadilan harus diposisikan secara netral, artinya tidak ada pengecualian untuk memperoleh kebenaran di atas hukum.

Prof. Dr. M. A.S. Hikan menjelaskan ciri-ciri pokok masyarakat madani di Indonesia

(3)

a. Kesukarelaan

b. Keswasembadaan

c. Kemandirian yang tinggi terhadap negara.

d. Keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama.

C.

Contoh Kasus- Kasus yang terdapat pada masyarakat madani :

1. Reformasi , Sebuah Kata Kunci

Pemilihan Umum (pemilu) yang dilangsungkan tanggal 7 Juni 1999 lalu adalah tonggak penting dalam upaya Bangsa Indonesia melepaskan diri dari belenggu otoritarian dan menumbuhkan masyarakat madani yang demokratis. Peristiwa ini merupakan perwujudan dari semangat Reformasi !!! yang dipekikkan mahasiswa Indonesia di awal dan pertengahan tahun 1998.

Kata Reformasi menjadi kata kunci terhadap proses perubahan yang terjadi pada sebuah kondisi yang stagnan, cenderung negatif dan memiliki pola yang menunjukkan gabungan antara keinginan dan kondisi yang dialami. Reformasi akan menjadi sebuah alternatif yang sangat penting terhadap proses perbaikan melalui sebuah perubahan, yang terjadi secara perlahan-lahan ataupun cepat dan tak terbendung, secara evolusi ataupun revolusi, namun kecenderungan reformasi identik dengan perubahan yang cepat namun tepat dan terukur.

Untuk menentukan sebuah tujuan reformasi tentunya memerlukan sebuah rencana dan langkah-langkah yang strategis dan memiliki dampak terhadap perubahan yang diharapkan, bila reformasi itu dilakukan pada tataran sosial tentunya dampak sosial juga diharapkan akan terjadi dan berkesinambungan dengan dampak terhadap kondisi politik, budaya dan ekonomi secara umum. Reformasi bukan merupakan gerakan chaos yang liar tak terkendali dan tanpa rencana serta tidak memberikan dampak positif terhadap kondisi masa kini, justru sebaliknya merupakan sebuah gerakan yang terencana, sistematis dan terukur serta memiliki parameter yang jelas terhadap perubahan yang akan dilakukan dan ukuran yang jelas terhadap dampak yang ditimbulkannya.

Demikian awal diskusi ini tentang sebuah kata yang banyak disebut orang yaitu REFORMASI.

2. Masyarakat Madani dan Lingkungan Hidup dalam contoh kasus Illegal Logging

Masyarakat Madani merupakan cita-cita bersama Bangsa dan Negara yang sadar akan pentingnya suatu keterikatan antar komponen pendukungnya dalam terciptanya Bangsa dan Negara yang maju dan mandiri. Dalam mewujudkan cita-cita tersebut, masyarakat madani sejatinya sadar dan peduli terhadap lingkungan hidup sebagai tonggak pembangunan yang berkelanjutan (yang berwawasan lingkungan) yang menyejahterakan kehidupan antargenerasi, disamping upaya pengentasan kemiskinan, peningkatan daya saing, dan kesiapan menghadapi kecenderungan globalisasi.

Dalam contoh kasus yang kami angkat adalah mengenai kasus illegal logging di Indonesia yang semakin marak dieksploitasi oleh berbagai kalangan, baik dari kalangan dalam negeri maupun dari luar negeri. Sebenarnya kasus illegal logging bukan kasus baru

(4)

dalam sejarah kelam rusaknya lingkungan di negeri ini. Awal mula terjadinya kasus illegal logging adalah ketika pada masa penjajahan kolonial dimana kayu dijadikan komoditas penting dalam mencukupi segala kebutuhan pihak-pihak tertentu yang terkait pada masa itu untuk menjadikan kayu sebagai salah satu produk pemenuh kebutuhan yang berharga. Melihat kondisi tersebut, beberapa kalangan yang belum mempunyai kesadaran lingkungan yang tinggi kemudian mulai memanfaatkan keadaan atas kebutuhan akan tersedianya kayu untuk kepentingan pribadi maupun kelompok dengan cara-cara melakukan penebangan yang tidak terkendali dan tidak sesuai standar baku, diluar kemampuan sumberdaya hutan tersebut untuk tumbuh dan berkembang kembali. Inilah yang menjadi awal terjadinya kasus illegal logging di Indonesia.

Melihat semakin menipisnya pasokan sumberdaya hutan tersebut, membuat para ahli dan pejabat pemerintahan pada masa itu menetapkan regulasi-regulasi yang mengatur pemafaatan, pengelolaan, distribusi dan pelestarian sumberdaya hutan khususnya kayu di Indonesia demi menjaga agar pasokan kayu tetap terkontrol dan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka akan sumberdaya hutan tersebut. Dengan diterapkanya sistem regulasi yang ketat pada masa tersebut, mengakibatkan jumlah penebangan hutan untuk diambil commodities kayunya semakin terkontrol dan kasus illegal logging cenderung menurun meskipun tetap terjadi kasus penebangan liar skala dalam kecil.

Tetapi selepas masa penjajahan tersebut, pemanfaatan sumberdaya kayu hutan di Indonesia mulai berngsur-angsur naik kembali akibat tidak diterapkannya lagi regulasi-regulasi yang bersifat ketat warisan masa penjajahan tersebut, demi memenuhi kebutuhan dalam dan luar negeri serta permintaan akan kayu hutan dan produk-produk turunan. Hal tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam usahanya menaikan devisa negara yang baru saja merdeka tersebut. Tetapi meskipun demikian, pemerintah pada masa itu (hingga saat ini) masih berupaya membuat dan menerapkan peraturan-peraturan pengganti yang sifatnya dirasakan oleh beberapa kalangan baik masyarakat, akademisi, para ahli dan pengamat kebijakan tidak tegas dan tidak mampu memberi efek jera bagi para pelaku kejahatan lingkungan tersebut. Dan pada akhirnya kasus yang sama kembali menimpa Bangsa ini. Permintaan akan kebutuhan kayu yang besar menimbulkan keinginan beberapa pihak memanfaatkan dan menggunakan cara-cara illegal yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam usaha mendapatkan keuntungan-keuntungan semata dan melupakan dampak ekologis yang terjadi akibat penebangan dan pemanfaatan hasil hutan khususnya kayu yang tidak terkendali dan tidak sesuai aturan yang berlaku.

Dari gambaran dan contoh kasus yang telah dipaparkan, terlihat betapa lemahnya mekanisme peraturan serta kesadaran semua pihak akan isu lingkungan hidup khususnya mengenai illegal logging di Indonesia. Kasus-kasus yang terjadi seringkali bagaikan lingkaran setan yang saling berputar-putar dalam konteks keterkaitan yang saling berhubungan. Di satu sisi pemerintah sebagai pengambil kebijakan menginginkan terciptanya suatu kondisi lingkungan hutan yang lestari (sustainable forest), tetapi di lain sisi pemerintah harus memenuhi permintaan akan ketersediaan kayu dalam usaha menaikan pendapatan negara. Dan hal ini makin menjadi dilema ketika pemerintah kesulitan dalam mengawasi dan menerapkan peraturan dan perundang-undangan yang tegas dalam rangka menciptakan suatu management hutan lestari (sustainable forest management) pada pihak-pihak yang terkait khususnya bagi para pelaku illegal logging. Dan diluar komponen pemerintahan pun kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan pun juga masih rendah, yang memperparah kondisi bangsa ini.

Dalam hal inilah peran Masyarakat Madani sangat dibutuhkan. Kita menyadari bahwa Masyarakat Madani identik dengan masyarakat yang sadar dan peduli akan suatu hal yang berkaitan dengan kepentingan bersama dan dalam cakupan antargenerasi, yang dalam hal ini difokuskan mengenai lingkungan hidup. Maka untuk itu, masyarakat yang mulai sadar akan

(5)

pentingnya arti kelestarian lingkungan diharapkan mampu menjadi salah satu faktor penggerak dan turut berpartisipasi mewujudkan transformasi bangsa menuju masyarakat yang kita dambakan tersebut. Dan kita bisa melihat usaha-usaha menuju ke arah tersebut semakin terbuka lebar. Tapi itu semua harus dilandasi juga dengan kesadaran semua komponen bangsa, beberapa diantaranya adalah komitmen dalam menaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan tanpa pandang bulu, turut berperan aktif dalam mengkritisi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang dirasa perlu untuk dikritisi tanpa ada suatu niatan buruk, serta selalu mendorong berbagai pihak untuk turut berperan serta dalam menjaga dan melestarikan lingkungan demi masa depan kita semua.

Penutup

Sesungguhnya kehadiran Masyarakat Madani sebagai sebuah kenyataan, sebenarnya telah menandai meledaknya semacam “revolusi intelektual” , yaitu meningkatnya kesadaran warga negara dalam menjalankan hak dan kewajiban secara independen. Dan sebenarnya model masyarakat dengan otononi yang relatif kuat itulah yang dapat mejamin berkembangnya demokrasi, walaupun Masyarakat Madani tersebut bukanlah suatu syarat mutlak untuk membangun demokrasi. Dengan kata lain, “ Masyarakat Madani Ada Tanpa Negara,Negara Anarkis Tanpa Masyarakat Madani, Otoriter atau Totaliter…”

Masyarakat Madani di Indonesia : Paradigma dan Praktik

Indonesia memiliki tradisi kuat civil society (masyarakat madani) bahkan jauh sebelum negara bangsa berdiri, masyarakat sipil telah berkembang pesat yang diwakili oleh kiprah beragam organisasi sosial keagamaan dan pergerakan nasional dalam dalam perjuangan merebut kemerdekaan, selain berperan sebagai organisasi perjuangan penegakan HAM dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, organisasi berbasis islam, seperti Serikat Islam (SI), Nadlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, telah menunjukan kiprahnya sebagai komponen civil society yang penting dalam sejarah perkembangan masyarakat sipil di Indonesia.Terdapat beberapa strategi yang ditawarkan kalangan ahli tentang bagaimana seharusnya bangunan masyarakat madani bisa terwujud di Indonesia :

Pertama, pandangan integrasi nasional dan politik. Pandangan ini menyatakan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam kenyataan hidup sehari-hari dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Kedua, pandangan reformasi sistem politk demokrasi, yakni pandangan yang menekankan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah terlalu bergantung pada pembangunan ekonomi, dalam tataran ini, pembangunan institusi politik yang demokratis lebih diutamakan oleh negara dibanding pembangunan ekonomi.

Ketiga, paradigma membangun masyarakat madani sebagai basis utama pembangunan demokrasi, pandangan ini merupakan paradigma alternatif di antara dua pandangan yang pertama yang dianggap gagal dalam pengembangan demokrasi, berbeda

(6)

dengan dua pandangan pertama, pandangan ini lebih menekankan proses pendidikan dan penyadaran politik warga negara, khususnya kalangan kelas menengah.

Bersandar pada tiga paradigma diatas, pengembangan demokrasi dan masyarakat madani selayaknya tidak hanya bergantung pada salah satu pandangan tersebut, sebaliknya untuk mewujudkan masyarakat madani yang seimbang dengan kekuatan negara dibutuhkan gabungan strategi dan paradigma, setidaknya tiga paradigma ini dapat dijadikan acuan dalam pengembangan demokrasi di masa transisi sekarang melalui cara :

1. Memperluas golongan menengah melalui pemberian kesempatan bagi kelas menengah untuk berkembang menjadi kelompok masyarakat madani yang mandiri secara politik dan ekonomi, dengan pandangan ini, negara harus menempatkan diri sebagai regulator dan fasilitator bagi pengembangan ekonomi nasional, tantangan pasar bebas dan demokrasi global mengharuskan negara mengurangi perannya sebagai aktor dominan dalam proses pengembangan masyarakat madani yang tangguh.

2. Mereformasi sistem politik demokratis melalui pemberdayaan lembaga-lembaga demokrasi yang ada berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi, sikap pemerintah untuk tidak mencampuri atau mempengaruhi putusan hukum yang dilakukan oleh lembaga yudikatif merupakan salah satu komponen penting dari pembangunan kemandirian lembaga demokrasi.

3. Penyelenggaraan pendidikan politik (pendidikan demokrasi) bagi warga negara secara keseluruhan. Pendidikan politik yang dimaksud adalah pendidikan demokrasi yang dilakukan secara terus-menerus melalui keterlibatan semua unsur masyarakat melalu prinsip pendidikan demokratis, yakni pendidikan dari, oleh dan untuk warga negara.

E. Gerakan Sosial untuk Memperkuat Masyarakat Madani (Civil Society)

Keberadaan masyarakat madani tidak terlepas dari peran gerakan sosial, gerakan sosial dapat dipadankan dengan perubahan sosial atau masyarakat sipil yang didasari oleh pembagian tiga ranah, yaitu negara (state), perusahaan atau pasar, dan masyarakat sipil. Berdasarkan pembagian ini, maka terdapat gerakan politik yang berada diranah negara dan gerakan ekonomi. Pembagian ini telah dibahas juga oleh Sidney Tarrow yang melihat political parties berkaitan dengan gerakan politik, yakni sebagai upaya perebutan dan penguasaan jabatan politik oleh partai politik melalui pemilu., gerakan ekonomi berkaitan dengan lobby dimana terdapat upaya melakukan perubahan kebijakan publik tanpa harus menduduki jabatan politik tersebut.

Berdasarkan pemetaan diatas, secara empiris ketigaya dapat saling bersinergi, pada ranah negara dapat menjadi beberapa gerakan politik yang dilakukan oleh parpol dalam pemilu yang mengusung masalah yang juga didukung oleh gerakan sosial. Sebagai contoh gerakan sosial oleh masyarakat sipil seperti mereka yang pro atau anti Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) mempunyai kaitan dengan kelompok atau parpol di ranah politik maupun kelompok bisnis pada sisi yang lain.

F. Organisasi Non Pemerintah dalam Ranah Masyarakat Madani (Civil Society)

Istilah Organisasi Non Pemerintah adalah terjemahan NGO (Non-Governmental Organization). Yang telah lama dikenal dalam pergaulan internasional, istilah ini merujuk pada organisasi non negera yang mempunyai kaitan dengan organisasi non pemerintah, istilah ini perlahan-lahan menyebar dan dipakai oleh komunitas internasional.

Dalam arti umum, pengertian organisasi non pemerintah mencakup semua organisasi masyarakat yang berada diluar struktur dan jalur formal pemerintah, dan tidak dibentuk oleh atau merupakan bagian dari birokrasi pemerintah, karena cakupan pengertiannya yang luas, penggunaan istilah organisasi non pemerintah sering membingungkan dan juga bisa mengaburkan pengertian organisasi atau kelompok masyarakat yang semata-mata bergerak dalam rangka pembangunan sosial-ekonomi masyarakat tingkat bawah, istilah organisasi non pemerintah bagi mereka yang tidak setuju memakai istilah ini berpotensi memunculkan pengertian tidak menguntungkan. Pemerintah khususnya menolak menggunakan istilah itu

(7)

dengan alasan makna organisasi non pemerintah terkesan “ memperhadapkan “ serta seolah-olah “ oposan pemerintah, pengertian organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya yang bersifat non pemerintah, di dalamnya bisa termasuk serikat kerja, kaum buruh, himpunan para petani atau nelayan, rumah tangga, rukun warga, yayasan sosial, lembaga keagamaan, klub olahraga, perkumpulan mahasiswa, organisasi profesi, partai politik, atau pun asosiasi bisnis swasta.

PENUTUP A. KESIMPULAN

1) Masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip-prinsip moral

yang menjamin kesimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat, inisiatif dari individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.

2) Perwujudan masyarakat madani ditandai dengan karakteristik masyarakat madani,

diantaranya wilayah publik yang bebas, demokrasi, toleransi, kemajemukan dan keadilan sosial.

3) Strategi membangun masyarakat madani di indonesia dapat dilakukan dengan integrasi

nasional dan politik, reformasi sistem politik demokrasi, pendidikan dan penyadaran politik. 4) Masyarakat sipil mengejewantah dalam berbagai wadah sosial politik di masyarakat, seperti

organisasi keagamaan, organisasi profesi, organisasi komunitas, media dan lembaga pendidikan.

B. SARAN

Demikianlah pembahasan tentang masyarakat madani yang dapat kami paparkan, masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan di dalamnya, semoga para pembaca, pendengar dan guru pembimbing dapat memberikan kritik dan sarannya yang bersifat membangun, demi kesempurnaan penyusunan makalah berikutnya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ubaedillah, Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, ICCE UIN, Syarif Hidayatullah, Jakarta : 2008

Retno Lisyarti, Setiadi, Pendidikan Kewarganegaraan, Erlangga : PT. Gelora Aksara

Pratama. 2008

Yah, itu tadi maklah yag dapat saya buat mengenai masyarakat madani, emang banyak

kekurangan sih, jadi kalau ada yang mau memberikan saran silakan comment ya? sayangnya

ga' ada like disini terimakasih.

Wassalamu'alaikum Wr Wb.

PEMBAHASAN

MASYARAKAT MADANI

Masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat sipil (civil society) yang mandiri

dan demokratis, masyarakat madani lahir dari proses penyemaian demokrasi, hubungan keduanya ibarat ikan dengan air, bab ini membahas tentang masyarakat madani yang umumnya dikenal dengna istilah masyarakat sipil (civil society), pengertiannya, ciri-cirinya,

(8)

sejarah pemikiran, karakter dan wacana masyarakat sipil di Barat dan di Indonesia serta unsur-unsur di dalamnya.

Diakhir pembahasan ini, diharapkan kita semua dapat memahami dan menyimpulkan konsep masyarakat madani, nilai-nilainya, perkembangannya dan semangat dan nilai masyarakat madani dalam kehidupan sehari-hari.

A. Pengertian Masyarakat Madani

Istilah madani secara umum dapat diartikan sebagai “ adab atau beradab “ Masyarakat madani dapat didefinisikan sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya, untuk dapat tata masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya, untuk dapat mencapai masyarakat seperti itu, persyaratan yang harus dipenuhi antara lain adalah keterlibatan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama, kontrol masyarakat dalam jalannya proses pemerintahan, serta keterlibatan dan kemerdekaan masyarakat dalam memilih pimpinannya.

Menurut Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat, inisiatif dari individu dan masyarakat berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginann individu.

Ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli tentang pengertian masyarakat madani yaitu :

a. Zbigniew Rau

Menurutnya, masyarakat madani adalah sebuah ruang dalam masyarakat yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara, yang diekspresikan dalam gambaran ciri-cirinya, yakni individualis, pasa, dan pluralisme.

b. Han Sung-Jo

Menurutnya, masyarakat madani adalah sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan independen yang bersama-sama mengakui norma-norma budaya yang menjadi identitas solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya terdapat kelompok inti dalam masyarakat madani.

c. Anwar Ibrahim

Menurutnya, masyarakat adalah sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin kesimbangan antara kebebasan perorangan dan kestabilan masyarakat.

B. Ciri-Ciri Masyarakat Madani

Masyarakat madani memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Free public sphere (ruang publik yang bebas)

Ruang publik yang diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta memublikasikan pendapat, berserikat, berkumpul serta memublikasikan informasi kepada public.

b. Demokratisasi

Menurut Neera Candoke, masyarakat sosial berkaitan dengan wacana kritik rasional masyarakat yang secara ekspisit mensyaratkan tumbuhnya demokrasi., dalam kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu menjamin masyarakat madani.

(9)

c. Toleransi

Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat yang lain yang berbeda.

d. Pluralisme

Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan disertai sikap tulus bahwa masyarakat itu majemuk. Kemajemukan itu bernilai positif dan merupakan rahmat tuhan.

e. Keadilan Sosial (Social justice)

Keadilan yang dimaksud adalah keseimbangan dan pembagian yang proporsional antara hak dan kewajiban setiap warga dan negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.

f. Partisipasi sosial

Partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik bagi terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi apabila tersedia iklim yang memunkinkan otonomi individu terjaga.

g. Supermasi hukum

Penghargaan terhadap supermasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan, keadilan harus diposisikan secara netral, artinya tidak ada pengecualian untuk memperoleh kebenaran di atas hukum.

Pengertian Masyarakat Madani

Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi

nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan

teknologi.

Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya

dalam Q.S. Saba’ ayat 15:

Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat

kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.

(kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan)

Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang

baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.

Masyarakat Madani Dalam Sejarah

Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai

masyarakat madani, yaitu:

(10)

2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara

Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang

beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj.

Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling

menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan

Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin

dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan

kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai

dengan ajaran agama yang dianutnya.

Karakteristik Masyarakat Madani

Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:

1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam

masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.

2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi

dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.

3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara

dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.

4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena

keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan

masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.

5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim

totaliter.

6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga

individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan

diri sendiri.

7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial

dengan berbagai ragam perspektif.

(11)

8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama,

yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai

landasan yang mengatur kehidupan sosial.

9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun

secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.

10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat

mengurangi kebebasannya.

11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah

diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu

oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.

12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.

13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan

terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan

untuk umat manusia.

14. Berakhlak mulia.

Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat

madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya

menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan

mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya

memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk

mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian,

masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara,

taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk

dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita

kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai

masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk

menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance

(pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan

(12)

democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil

security; civil responsibility dan civil resilience).

Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat

madani sbb:

1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam

masyarakat.

2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail

capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan

tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.

3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata

lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.

4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan

lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu

kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.

5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap

saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.

6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga

ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.

7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan

kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi

antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.

Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti

pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme”

yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi

dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa

rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat

madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).

Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat

menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:

(13)

1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti

prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang

terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang

mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip

nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.

2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara

berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas

terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka

mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan.

Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya

berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari

penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah

kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap

potensi manusia.”

Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu

kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi

legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan

budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga

tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu,

diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat

organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan

perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural,

diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan

pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.

3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan

terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise.

Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian

dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau

(14)

sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam

masyarakat.

Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas

usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural.

Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang

sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik

dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan

seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai

saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh

beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara

historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat

Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun

masyarakat bangsa.

Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang

mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam

Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat

sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani.

Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar

masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah

kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara

bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik

(dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil,

memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan

bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih.

Gellner:1996).

Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam

masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja

jauh lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan

kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak

(15)

mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi

antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang),

padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat

sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang

menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan

seperti ini telah terjadi dan mungkin.

Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal,

dimana perbandingan di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata

politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak

ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling

memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada

masyarakat komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila

masyarakat perang digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara

menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson

menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan

spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang

merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu

Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan

negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya,

masyarakat sipil.

Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan

masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis

kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu

Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan

moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada

kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani.

Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur

oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di

luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al

(16)

Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa

faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah

Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya

didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah

menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara

historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan

sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad

SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah.

Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan

syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.

Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan

dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup

dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan

motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.

Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat

yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai

prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang

baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat

meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan

konsep masyarakat madani di Madinah.

Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi

Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut

terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah

dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang

madaniyyah (beradab).

Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah

mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup

plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di

antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan

(17)

mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara

berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan

lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.

Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam

masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya,

pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan

sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam

pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah

SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49)

ayat 13.

Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam

kehidupan. Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang

bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia

(pluralitas) juga merupakan sumber dan motivator terwujudnya vividitas

kreativitas (penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak

terdapat perbedaan (Muhammad Imarah:1999).

Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban

yang kosmopolit akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan

mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan

sekitar. Namun, dengan catatan identitas sejati atas parameter-parameter

autentik agama tetap terjaga.

Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara

sesama Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana

toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai

pendapat dan pendirian orang lain.

Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan

Islam tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah

agama. Namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak

hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati satu sama lain.

(18)

Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah.

Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman

Allah yang termaktub dalam surat Al-An’am ayat 108.

Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih

dikenal dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai

perbedaan konsep demokrasi dengan musyawarah, saya memandang dalam arti

membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di

dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat

Al-Mujadilah:11).

Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang

menginginkan terwujudnya sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam

konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut menjadi modal dasar untuk

mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.

Masyarakat Madani Menurut Islam

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semua orang mendambakan kehidupan yang aman, damai dan sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan masyarakat Indonesia, yaitu adil dan makmur bagi seluruh lapisan

masyarakat. Untuk mencapainya berbagai sistem kenegaraan muncul, seperti demokrasi. Cita-cita suatu masyarakat tidak mungkin dicapai tanpa mengoptimalkan kualitas

(19)

sumber daya manusia. Hal ini terlaksana apabila semua bidang pembangunan bergerak secara terpadu yang menjadikan manusia sebagai subjek. Pengembangan masyarakat sebagai sebuah kajian keilmuan dapat menyentuh keberadaan manusia yang berperadaban. Pengembangan masyarakat merupakan sebuah proses yang dapat merubah watak, sikap dan prilaku masyarakat ke arah pembangunan yang dicita-citakan.

Indikator dalam menentukan kemakmuran suatu bangsa sangat tergantung pada situasi dan kondisi serta kebutuhan masyarakatnya. Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia mencuatkan suatu kemakmuran yang didambakan yaitu terwujudnya masyarakat madani. Munculnya istilah masyarakat madani pada era reformasi ini, tidak terlepas dari kondisi politik negara yang berlangsung selama ini. Sejak Indonesia merdeka, masyarakat belum merasakan makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Pemerintah atau penguasa belum banyak member kesempatan bagi semua lapisan masyarakat mengembangkan potensinya secara maksimal. Bangsa Indonesia belum terlambat mewujudkan masyarakat madani, asalkan semua potensi sumber daya manusia

mendapat kesempatan berkembang dan dikembangkan. Mewujudkan masyarakat madani banyak tantangan yang harus dilalui. Untuk itu perlu adanya strategi peningkatan peran dan fungsi masyarakat dalam mengangkat martabat manusia menuju masyarakat madani itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian masyarakat madani?

2. Bagaimana karekteristik masyarakat madani?

3. Bagaimana masyarakat madani dalam pandangan islam?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian masyarakat madani

(20)

3. Untuk mengetahui masyarakat madani dalam pandangan islam

I. PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI

Masyarakat madani atau civil society secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi sosial yang memiliki ciri-ciri antara lain : kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika yang disepakati secara bersama-sama (Din Syamsudin, 1998 : 12). Sebenarnya masyarakat madani secara substansial sudah ada sejak zaman Aristoteles, yakni suatu masyarakat yang dipimpin dan tunduk pada hukum. Penguasa, rakyat dan siapapun harus taat dan patuh pada hukum yang telah dibuat secara bersama-sama. Bagi Aristoteles, siapapun bisa memimpin negara secara

(21)

bergiliran dengan syarat ia bisa berbuat adil. Dan keadilan baru bisa ditegakkan apabila setiap tindakan didasarkan pada hukum. Jadi hukum merupakan ikatan moral yang bisa

membimbing manusia agar senantiasa berbuat adil.

Dalam mendefinisikan masyarakat madani ini sangat tergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan

bangunan yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat. Sebagai titik tolak, disini akan dikemukakan beberapa definisi masyarakat dari berbagai pakar di berbagai negara yang menganalisa dan mengkaji fenomena masyarakat madani ini

1. Menurut Zbigniew Rau, masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini.

Ruang ini timbul di antara hubungan-hubungan yang merupakan hasil komitmen keluarga dan hubungan-hubungan yang menyangkut kewajiban mereka terhadap negara. Lebih tegasnya terdapat ruang hidup dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan integritas sistem nilai yang harus ada dalam masyarakat madani, yakni individualisme, pasar dan pluralisme.

2. Menurut Han Sung-joo, masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang pablik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya

akan terdapat kelompok inti dalamnya.

3. Menurut Kim Sunhyuk, masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari

kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari reproduksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam ruang publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.

Dari berbagai batasan di atas, jelas merupakan suatu analisa dari kajian kontekstual terhadap performa yang diinginkan dalam mewujudkan masyarakat madani. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan penekanan dalam mensyaratkan idealisme masyarakat madani. Akan tetapi secara global dari ketiga batasan di atas dapat ditarik benang emas, bahwa yang

(22)

dimaksud dengan masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan negara, memiliki ruang publik dalam

mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.

Menurut Rahardjo (1996) masyarakat madani identik dengan cita-cita Islam membangun ummah. Masyarakat madani adalah suatu ruang (realm) partisipasi masyarakat melalui perkumpulan-perkumpulan sukarela (voluntary association) melalui organisai-organisasi massa.

Masyarakat madani dan negara bergantung mana yang dianggap primer dan mana yang sekunder. Sepertinya menurut pendapat tersebut, hak berserikat merupakan prinsip dalam kehidupan bermasyarakat.

Kelompok-kelompok masyarakat tercipta tiada lain untuk terjadi integrasi dalam membangun manyarakat yang berperadaban. Sementara itu secara filosofis Yusuf (1998) memandang masyarakat madani membangun kehidupan masyarakat beradab yang ditegakkan di

atas akhlakul karimah, masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis dengan landasan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Kualitas manusia bertaqwa secara essensial adalah manusia yang memelihara hubungan dengan Allah SWT (habl min Allah) dan

hubungannya dengan sesama manusia (habl min al-nas). Akhlakul karimah dapat terwujud manakala masing-masing individu dan kelompok masyarakat terjadi saling membelajarkan atau berperan sebagai pembawa kearah kebenaran yang digariskan oleh Allah. Karena Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum manakala mereka tidak berbuat ke arah perbaikan yang dikehendakinya.

Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan sosial yang mengedepankan semangat demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam masyarakat madani, warga negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-govermental untuk mencapai kebaikan bersama. Karena itu, tekanan sentral masyarakat madani adalah terletak pada independensinya terhadap negara. Masyarakat madani berkeinginan membangun hubungan yang konsultatif bukan konfrontatif antara warga negara dan negara. Masyarakat madani juga tidak hanya bersikap dan berperilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus menghormati equal right, memperlakukan semua warga negara sebagai pemegang hak kebebasan yang sama.

(23)

Disinilah kemudian, masyarakat madani menjadi alternative pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang pada akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat sipil yang mampu merealisasikan dan mampu menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.Masyarakat madani dipercaya sebagai alternatif paling tepat bagi

demokratisasi, terutama di negara yang demokrasinya mengalami ganjalan akibat kuatnya hegemoni negara. Tidak hanya itu, masyarakat madani kemudian juga dipakai sebagai cara pandang untuk memahami universalitas fenomena demokrasi di berbagai negara.

II. KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI

Karakteristik ini yang merupakan prasyarat untuk merealisasikan wacana masyarakat madani tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang terintegral dan menjadi dasar serta nilai bagi masyarakat. Adapun karakteristiknya, menurut Arendt dan Habermas, antara lain :

1. Free Public Sphere, adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukan

pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free publik sphere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya

pembungkaman kebebasan warga Negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan

umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.

2. Demokratis, merupakan suatu entitas yang menjadi penegak yang menjadi penegak wacana

masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

3. Toleran, merupakan sikap yang dikembangankan dalam masyarakat madani untuk

menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.

4. Pluralisme, adalah pertalian sejati kebhenikaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan

pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan,

(24)

5. Keadilan Sosial, dimaksudkan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional

terhadap hak dan kewajiban setiap warga Negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.

III. MASYARAKAT MADANI DALAM PANDANGAN ISLAM

Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan terma

al-tamaddun atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al-madinah yang arti

harfiahnya adalah kota. Dengan demikian, masyarakat madani mengandung tiga hal, yakni: agama, peradaban, dan perkotaan. Dari konsep ini tercermin bahwa agama merupakan sumbernya, peradaban sebagai prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya.

Secara etimologis, madinah adalah derivasi dari kosakata Arab yang mempunyai dua pengertian. Pertama, madinah berarti kota atau disebut dengan "masyarakat kota”. Kedua, “masyarakat berperadaban” karena madinah adalah juga derivasi dari kata tamaddun atau

madaniyah yang berarti “peradaban”, yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai civility dan civilization. Kata sifat dari kata madinah adalah madani (Sanaky, 2002:30).

Adapun secara terminologis, masyarakat madani adalah komunitas Muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasul Allah SAW dan diikuti oleh keempat

al-Khulafa al-Rasyidun. Masyarakat madani yang dibangun pada zaman Nabi Muhammad SAW

tersebut identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau civility. Model masyarakat ini sering dijadikan model masyarakat modern, sebagaimana yang diakui oleh seorang sosiolog Barat, Robert N. Bellah, dalam bukunya The

Beyond of Belief (1976). Bellah, dalam laporan penelitiannya terhadap agama-agama besar di

dunia, mengakui bahwa masyarakat yang dipimpin Rasul Allah SAW itu merupakan masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya, karena masyarakat Islam kala itu telah melakukan lompatan jauh ke depan dengan kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya (Hatta, 2001:1).

Nabi Muhammad SAW melakukan penataan negara tersebut, dengan cara: pertama, membangun infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat utamanya.

Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antara dua komunitas yang

berbeda, yaitu Quraisy dan Yatsrib, serta komunitas Muhajirin dan Anshar dalam bingkai solidaritas keagamaan. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup berdampingan dengan komunitas lain, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama,

(25)

melalui Piagam Madinah. Keempat, merancang sistem negara melalui konsep jihad fi

sabilillah (berjuang di jalan Allah).

Dengan dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW merupakan negara dan masyarakat yang kuat dan solid. Peristiwa hijrah telah menciptakan keberagaman penduduk Madinah. Penduduk Madinah tidak terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan Yahudi saja, tetapi juga Muhajirin Quraisy dan suku-suku Arab lain. Nabi SAW menghadapi realitas pluralitas, karena dalam struktur masyarakat Madinah yang baru dibangun terdapat beragam agama, yaitu: Islam, Yahudi, Kristen, Sabi’in, dan Majusi— ditambah ada pula yang tidak beragama (atheis) dan bertuhan banyak (polytheis). Struktur masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi SAW di atas pondasi ikatan iman dan akidah yang nilainya lebih tinggi dari solidaritas kesukuan (ashabiyah) dan afiliasi-afiliasi lainnya.

Selain itu, masyarakat pada saat itu terbagi ke dalam beberapa kelompok yang didasarkan atas ikatan keimanan, yaitu: mu'minun, munafiqun, kuffar, musyrikun, dan Yahudi. Dengan kata lain, masyarakat Madinah pada saat itu merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang majemuk atau plural. Kemajemukan masyarakat Madinah diawali dengan membanjirnya kaum Muhajirin dari Makkah, hingga kemudian mengakibatkan munculnya persoalan-persoalan ekonomi dan kemasyarakatan yang harus diantisipasi dengan baik. Dalam konteks itu, sosialisasi sistem persaudaraan menjadi kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Nabi Muhammad SAW bersama semua unsur penduduk madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat Madinah yang mengatur kehidupan dan hubungan antarkomunitas, yang merupakan komponen masyarakat majemuk di Madinah. Kesepakatan hidup bersama yang dituangkan dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai “Piagam Madinah” (Mitsaq al-Madinah) dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan konstitusional dan hukum di dunia.

Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan secara bersama. Dalam piagam tersebut juga ditempatkan hak-hak individu, yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan, persaudaraan (al-ukhuwwah) antaragama, perdamaian, toleransi, keadilan (al-'adalah), tidak membeda-bedakan (anti diskriminasi), dan menghargai kemajemukan.

(26)

Dengan kemajemukan tersebut, Nabi Muhammad SAW mampu mempersatukan mereka. Fakta ini didasarkan pada: pertama, mereka hidup dalam wilayah Madinah sebagai tempat untuk hidup dan bekerja bersama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam satu umat untuk mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan secara bersama-sama. Ketiga, mereka menerima Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas politik yang legal dalam kehidupan. Otoritas tersebut juga dilengkapi dengan institusi peraturan yang disebut Piagam Madinah yang berlaku atas seluruh individu dan setiap kelompok.

Dalam konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat berada dalam satu ikatan yang disebut ummah. Yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok sosial yang disatukan dengan ikatan sosial dan kemanusiaan yang membuat mereka bersatu menjadi

ummah wahidah. Oleh karena itu, perbedaan agama bukan merupakan penghambat dalam

mencipatakan suasana persaudaraan dan damai dalam masyarakat plural.

Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor ikatan sosial dalam suatu umat, melainkan ada faktor universal yang dapat mendukung terwujudnya suatu umat, yaitu unsur kemanusiaan. Karenanya unsur kemanusiaan sangat dominan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk politik. Demikian juga Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum

al-Ummah fi Hadharat al-Islam, menyatakan bahwa umat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad

SAW di Madinah merupakan umat yang sekaligus bersifat agama dan politik (Bahri, 2001). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat yang dibentuk Nabi Muhammad SAW di kota Madinah bersifat terbuka, karena Nabi mampu menghimpun semua komunitas atau golongan penduduk Madinah, baik golongan yang menerima risalah tauhid beliau maupun yang menolak.

Perbedaan akidah atau agama di antara mereka tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu-padu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, gagasan dan praktik membentuk satu umat dari berbagai golongan dan unsur sosial pada masa itu merupakan sesuatu yang baru, yang belum pernah dilakukan oleh kelompok masyarakat manapun sehingga seorang penulis Barat, Thomas W Arnold menganggapnya sebagai awal dari kehidupan berbangsa dalam Islam, atau merupakan kesatuan politik dalam bentuk baru yang disatukan oleh Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).

Konstitusi Piagam Madinah, yang berjumIah 47 pasal itu (Sukardja, 1995:47-57), secara formal mengatur hubungan sosial antarkomponen dalam masyarakat. Pertama, antar sesama Muslim. Bahwa sesama Muslim itu satu umat walaupun mereka berbeda suku.

(27)

bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan menghormati kebebasan beragama. Dari Piagam Madinah ini, setidaknya ada dua nilai dasar yang tertuang sebagai dasar atau fundamental dalam mendirikan dan membangun negara Madinah. Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (al-musawah wa al-’adalah). Kedua, inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip ini, ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai humanis universal lainnya, seperti konsistensi (iltizam), seimbang (tawazun), moderat (tawassut), dan toleransi (tasamuh). Kesemuanya menjadi landasan ideal sekaligus operasional dalam menjalin hubungan sosial-kemasyarakatan yang mencakup semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi maupun hukum.

Pada masa awal Nabi SAW membangun Madinah, peran kelompok-kelompok masyarakat cukup besar dalam pengambilan keputusan, sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah. Tetapi seiring dengan semakin banyaknya wahyu yang turun, sistem negara Madinah masa Nabi kemudian berkembang menjadi “sistem teokrasi”. Negara, dalam hal ini dimanifestasikan dalam figur Nabi SAW yang memiliki kekuasaan amat besar, baik kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Segala sesuatu pada dasarnya dikembalikan kepada Nabi SAW, dan ketaatan umat kepada Nabi SAW pun semakin mutlak sehingga tidak ada kemandirian lembaga masyarakat berhadapan dengan negara.

Meskipun demikian, berbeda dengan umumnya penguasa dengan kekuasaan besar yang cenderung despotik (sewenang-wenang), Nabi SAW justru meletakkan nilai-nilai dan norma-norma keadilan, persamaan, persaudaraan, dan kemajemukan yang menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, di samping mendukung keterlibatan masyarakat (sahabat) dalam pengambilan keputusan secara musyawarah.

Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, sistem negara tidak lagi berbentuk teokrasi melainkan “nomokrasi”, yaitu prinsip ketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk supremasi syariat. Namun peran masyarakat menjadi lebih besar, di mana hal itu mengindikasikan mulai terbangunnya masyarakat madani. Mereka melakukan kontrol terhadap pemerintah, dan rekrutmen kepemimpinan pun yang didasarkan pada kapasitas individual. Tetapi, setelah masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, situasi mulai berubah, peran masyarakat mengalami penyusutan, rekrutmen pimpinan tidak lagi berdasarkan pilihan rakyat (umat), melainkan atas dasar keturunan. Lembaga keulamaan merupakan satu-satunya lembaga masyarakat madani yang masih relatif independen. Pada masa kekhilafahan, yakni dari masa Khulafa’

al-Rasyidun sampai menjelang runtuhnya Dinasti Ustmani akhir abad ke-19, umat Islam telah

(28)

legislatif dipegang oleh ulama. Mereka memiliki kemandirian dalam berijtihad dan menetapkan hukum.

Dari pandangan ini, tercermin bahwa sebenarnya masyarakat madani yang bernilai peradaban itu dibangun setelah Nabi Muhammad SAW melakukan reformasi dan transformasi pada individu yang berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak. Dalam praktiknya, iman dan moralitaslah yang menjadi landasan dasar bagi Piagam Madinah. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, dan hukum pada masa Nabi SAW.

Posisi Piagam Madinah adalah sebagai kontrak sosial antara Nabi Muhammad SAW dengan penduduk Madinah yang terdiri dari pendatang Quraisy, kaum lokal Yastrib, dan orang-orang yang menyatakan siap berjuang bersama mereka. Posisi Rasul SAW adalah sebagai pimpinan yang mereka akui bersama, dan telah meletakkan Islam sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara. Itulah sebabnya penjanjian tersebut, dalam konteks teori politik, disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Di dalamnya, terdapat pasal-pasal yang menjadi hukum dasar sebuah negara kota yang kemudian disebut Madinah (al-Madinah al-Munawarah atau Madinah al-Nabi). Nilai-nilai yang tercermin dalam masyarakat Madinah saat itu pastilah nilai-nilai Islami yang tertuang di dalam Piagam Madinah.

Kontrak sosial yang dilakukan Nabi SAW itu dinilai identik dengan teori Social

Contract dari Thomas Hobbes, berupa perjanjian masyarakat yang menyatakan sumber

kekuasaan pemerintah adalah perjanjian masyarakat. Pemerintah memiliki kekuasaan, karena adanya perjanjian masyarakat untuk mengurus mereka. Teori Social Contract J.J. Rousseau bahwa otoritas rakyat dan perjanjian politik harus dilaksanakan untuk menentukan masa depan rakyat serta menghancurkan monopoli yang dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa atas nama kepentingan rakyat, juga identik dengan teori Nabi Muhammad SAW ketika membangun ekonomi dengan membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum kapitalis.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat Madinah yang dibangun Nabi SAW itu sebenarnya identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau peradaban. Nabi SAW menjadikan masyarakat Madinah pada saat itu sebagai classless society (masyarakat tanpa kelas), yakni tidak membedakan antara si kaya dan si miskin, pimpinan dan bawahan—di mana seluruhnya sama dan sejajar di hadapan hukum.

Dari uraian di atas, secara terminologis masyarakat madani yang berkembang dalam konteks Indonesia setidaknya berada dalam dua pandangan, yakni: masyarakat Madinah dan

Referensi

Dokumen terkait

2.1.4.5 Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Tipe Make A Match Model Make A Match atau mencari pasangan dapat digunakan untuk membangkitkan aktivitas peserta

Teman Teman pada kesempatan yang baik ini saya akan memberikan informasi terkait kerusakan yang terjadi pada mesin cuci front loading yaitu Cara memperbaiki mesin cuci front loading

Penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu, mengguna- kan serum HIF-1  dan ekspresi NFκB/p65 yang diukur dengan RT-PCR pada pasien karsinoma hepatoseluler,

Propinsi NTT dengan kondisi geografis yang terdiri dari banyak pulau kecil dan besar, cukup baik untuk diterapkan sistem pembelajaran Blended Learning, karena selain hal

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sleman Yogyakarta penelitian ini mempunyai kontribusi atau implikasi tentang persepsi

Berawal dari sumber informasi dari beberapa pengalaman masyarakat pembuat telur asin secara konvensional yang dilakukan dengan menggunakan bahan baku bata merah,

Periode ketiga penerjemahan Alkitab berlangsung dalam gerakan penginjilan dari Eropa ke Asia dan 

|jejakseribupena.com, Soal dan Solusi Simak UI Matematika Dasar, 2010