KRITIK TERHADAP PEMERINTAH ORDE BARU
DALAM NASKAH DRAMA MENGAPA KAU CULIK ANAK KAMI? KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA*)
(Criticisms of The Government During The New Order Era In Mengapa Kau Culik Anak Kami? Script By Seno Gumira Ajidarma)
Bawon Wiji Dia Prasasti1 dan Purwati Anggraini2 Universitas Muhammadiyah Malang
Jalan Raya Tlogomas 246 Malang, Indonesia Telepon Penulis: +6282229057654 1pos-el: wijidiaprasasti.03@gmail.com
2pos-el: poer1979ang@gmail.com *) Diterima: 8 Januari 2020, Disetujui: 12 April 2020
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kritik tokoh terhadap pemerintah Orde Baru dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami? Penelitian ini memfokuskan pada kritik tokoh terhadap pemerintahOrde Baru. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui pandangan pengarang terhadap masa Orde Baru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Data penelitian berupa cuplikan dialog dan monolog dalam naskah Mengapa Kau Culik Anak Kami? yang memiliki relevansi dengan tujuan penelitian serta informasi-informasi penting yang diperoleh dari penelitian. Sumber data penelitian yaitu naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami? diterbitkan oleh Galang Press tahun 2001. Hasil penelitian ini, yaitu Pertama, kritik terhadap pemerintah dalam bidang ekonomi berupa kemiskinan. Kedua, konflik sosial yang dialami dan diamati pengamatan tokoh utama terhadap pemerintah yaitu dari pengalaman masa lalu hingga sekarang berupa yaitu, kekerasan, pembunuhan, dan penculikan. Ketiga, kritik terhadap pemerintah berupa masalah politik penyalahgunaan kekuasaan.
Kata kunci: kritik, pemerintah, Orde Baru
ABSTRACT
This study aimed at describing the characters’ criticism to the New Order government in Mengapa Kau Culik Anak Kami? drama script. This study focused on the characters’ criticism toward the New Order government to discover the author’s view on the New Order era. The method used was descriptive. The data of study were dialogue and monolog quotes of Mengapa Kau Culik Anak Kami? script, which had relevance to the purpose of study and important information obtained from the study. The data sources were Mengapa Kau Culik Anak Kami script published by Galang Press in 2001. The study results are first, criticism of government in the economic sector involves of poverty. Second, social conflicts experienced and observed by the main character toward the government are past experiences to present i.e. violence, murder, and kidnapping. Third, criticism of the government is in the form of political problems including of abuse of power.
202 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020 PENDAHULUAN
Karya sastra pada dasarnya merupakan hasil refleksi kehidupan sosial manusia, sebagai rekaman fenomena
yang terjadi pada kelompok
masyarakat pada masa tertentu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh (Kurnia, I. N & Anggraeni, 2018:93) bahwa karya sastra merupakan hasil representasi pengalaman manusia dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini, karya sastra dapat dihubungkan dengan kejadian yang terjadi saat menciptakan karya sastra atau kejadian sebelum karya sastra dibuat.
Sastra merupakan cermin dari aspek sosial yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan sosial ( Diana Laurenson dan Alan Swingewood dalam Putra, 2018:13). Hal tersebut membuktikan bahwa karya sastra menjadi suatu media untuk memaparkan peristiwa atau masalah-masalah sosial dalam kehidupan. Adanya masalah sosial memicu munculnya kritik masyarakat. Kritik yang diungkapkan pengarang dalam karya sastra bertujuan untuk mengungkapkan ketimpangan yang telah terjadi pada masa tertentu (Jaiyudin, 2016:02).
Kritik pengarang terhadap pemerintah menjadi ujung tombak terciptanya ide-ide kreatif dalam kehidupan bersosial masyarakat, meski dalam ruang dan rentang waktu yang berbeda yaitu masa lampau dan masa kini. kritik menjadi bentuk penilaian seseorang kritikus sastra yang diekspresikan dengan perkataan, gaya bahasa, dan tingkah laku tertentu
terhadap objek yang dikritisi (Pradopo dalam Biantoro, 2012:1)
Manusia dalam kehidupannya
memiliki cara berbeda dalam
menyampaikan kritik terhadap
masalah sosial yang terjadi dalam lingkungan sekitarnya. Kritik bertujuan menjadi kontrol terhadap segala peristiwa sosial atau proses sosial yang terjadi dalam masyarakat serta menjadi salah satu cara
menyampaikan ketidaksetujuan
terhadap peristiwa yang ada (Akhmad Zaini Aliyah, 2010:20). Kritik dan sindiranmerupakan wujud kritik sosial, misalnya, seorang sastrawan akan
menyampaikan kritik terhadap
kekejaman pemerintah pada masa orde baru atau pasca orde baru melalui penciptaan karya sastra.
Kritik penting dalam sastra
untuk meningkatkan pemahaman
manusia dalam menghargai peristiwa sosial yang terjadi serta sebagai pemelihara wujud sosio-budaya masyarakat. Hardjana mengatakan kritik sastra penting dilakukan sebagai
penyokong pengalaman manusia
menjadi suatu struktur yang bermakna dalam karya sastra (Hardjana, 1985:24).
Karya sastra menjadi salah satu warisan budaya yang harus dijaga dan tetap dinikmati oleh pembaca yang di dalamnya terdapat sebuah teks yang memiliki makna dan tujuan tertentu
(Anam, 2019:72). Dalam
perkembangannya, salah satu bentuk karya sastra yang masih diminati masyarakat adalah naskah drama. Naskah drama merupakan gambaran kehidupan manusia sehari-hari yang
Kritik Terhadap Pemerintah Orde Baru... (Prasastidan Anggraini) 203
berupa kekerasan, kebutuhan individu yang satu dengan individu yang lain, politik, budaya, dan lain-lain. Cerita dalam naskah drama dapat berupa dialog maupun monolog antartokoh yang dapat dipertunjukkan dalam suatu pementasan maupun berbentuk teks, yaitu naskah drama. Tokoh dalam cerita digunakan sebagai alat menyampaikan suatu informasi, pesan, dan amanat moral untuk pembaca (Naratungga, 2014:111). Naskah drama dinikmati sebagai karya sastra tulis berwujud naskah, mampu membebaskan imajinasi pembaca melalui situsi tokoh, alur, dan lain-lain yang digambarkan dalam bentuk naskah ( Harymawan dalam Rina, 2010:187).
Salah satu naskah drama yang menarik diteliti dari aspek kritik pemerintah dalam kajian sosiologi sastra adalah naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami? karya Seno Gumira Ajidarma yang diterbitkan oleh Galang Press tahun 2001. Naskah ini membuka tabir sepasang orang tua yang telah mengalami berbagai macam konflik sosial kehidupan. Dalam naskah drama ini, kritik terhadap pemerintah dihadirkan melalui latar dan alur dengan gaya
bahasa yang estetik untuk
mengungkapkan keadaan
pemerintahan pada masa orde baru. Pengarang berhasil memberi sugesti atas kritiknya terhadap pemerintahan orde baru yang meliputi masalah ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Keadaan dan peristiwa yang terjadi ditonjolkan dalam suasana dan watak tokoh penimbul konflik. Hal ini
sejalan dengan pendapat Pradopoyang mengemukakan bahwa karya sastra
lahir dari pengarang yang
mengungkapkan hasil refleksinya
terhadap permasalahan sosial
(Pradopo, 2001:61).
Beberapa Penelitian yang dilakukan sebelumnya, antara lain penelitian dari Khusna (2015) yang berjudul ―Kekerasan Politik Masa Orde Baru dalam Naskah Drama Mengapa Kau Culik Anak Kami?
Karya Seno Gumira Ajidarma:
Tinjauan Strukturalisme Genetik‖ skripsi tersebut meneliti pandangan dunia pengarang yang berkaitan dengan kekerasan politik pada masa Orde Baru, serta hubungan antara pandangan dunia pengarang dengan kekerasan politik masa orde Baru dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami? Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Oksinata (2010) berupa skripsi berjudul Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul (Kajian Resepsi Sastra). Skripsi tersebut meneliti unsur batin dan kritik sosial yang terdapat dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul dan resepsi pembaca dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru.
Fokus penelitian ini berupa kritik terhadap pemerintah masa Orde Baru yang diterbitkan pasca Orde Baru. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra dipilih karena sastra tidak dapat lepas dari kehidupan masyarakat yang membentuknya. Pradopo menjelaskan
204 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020
bahwa dasar pendekatan sosiologi erat dengan kritik mimetik, yaitu karya sastra menjadi suatu cerminan atau tiruan masyarakat. Sosiologi sastra dipilih karena suatu karya sastra memiliki hubungan timbal balik antara pengarang, karya sastra, dan lingkungan social (Pradopo, 2002; 23). Kajian sosiologi ini berfokus pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa dulu atau flashback dan masa kini (ruang dan waktu).
Tujuan penelitian ini ntuk mendeskripsikan kritik terhadap pemerintah pada masa Orde Baru. Penelitian ini penting dilakukan guna mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat di masa Orde Baru. Apakah ada perkembangan atau rakyat justru tidak mendapatkan hak-haknya. HASIL DAN PEMBAHASAN Naskah karya Seno Gumira Ajidarma menyajikan cerita unik mengenai kekejaman pemerintahan pada masa Orde Baru. Kekejaman Pemerintah serta kegegeran penduduk pada masa tersebut diungkap oleh tokoh Ibu yang menceritakan kilas balik masa kecilnya. Masa Orde Baru berjalan dengan sistem yang menyulitkan penduduknya, tidak hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga pada bidang politik dan sosial kehidupan masyarakat Indonesia. Pengarang menggambarkannya melalui tokoh Satria yang ruang gerak dan sikap kritisnya sebagai pemuda dibatasi. Kekejaman pemerintah juga dirasakan oleh Ibu dan Bapak ketika harus kehilangan putranya, Satria. Satria
diculik hanya karena faktor kecurigaan
dan dianggap membahayakan
pemerintah.
Naskah drama menekankan pada latar (suasana) yang sedikit menggerakkan penikmat sastranya pada sisi psikologis dan menjadi tambahan wawasan bagi kehidupan. Alur naskah drama adalah kilas balik (flashback). Peristiwa bagian pertama dimulai dengan flashback yang memberikan kesan menarik. Dengan
flashback, bentuk kehidupan
masyarakat secara eksplisit tergambar dari peristiwa-peristiwa tragis masa lalu tokoh Bapak dan Ibu pada pemerintahan Orde Baru.
Ditinjau dari flashback naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami? tergambarkan konteks masalah yang ada, digambarkan masalah itu ada sejak perkenalan (cerita mulai bergerak) hingga muncul konflik yang semakin kompleks. Adapun penelitian ini akan memaparkan kritik-kritik tersebut meliputi: bidang ekonomi, bidang politik, dan bidang sosial.
Kritik terhadap Pemerintah dalam Bidang Ekonomi
Ekonomi menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manusia dan material menjadi perjuangan dalam memenuhi kebutuhan. Perjuangan itu mengantarkan manusia berhadapan dengan sumber daya alam dan sumber daya sosial sebagai strategi penghidupan yang dilakukan oleh
manusia untuk pemertahanan
kelangsungan hidup (Firdiyanti, 2016:14). Masalah ekonomi dapat
Kritik Terhadap Pemerintah Orde Baru... (Prasastidan Anggraini) 205
terjadi ketika ketidakmampuan manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena sumber daya yang kurang memadai. Masalah ekonomi di masa Orde Baru cenderung bersifat propaganda (Soesastro, 2005: 69). Hal tersebut tidak menutup kemungkinan manusia menjadi rendah moral yang akhirnya menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya. Dalam naskah Mengapa Kau Culik Anak Kami? masalah ekonomi tergambar dalam bentuk kegiatan masyarakat, salah satunya menjarah. Hal tersebut
dibuktikan dengan perilaku
masyarakat pada masa pemerintahan Orde Baru dengan menggaet mayat-mayat yang hanyut di sungai karena mati terbunuh oleh pemerintah. Seperti terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
―Penduduk pinggir kali, kere-kere itu, menunggu mayat-mayat yang lewat. Mereka menggaet mayat-mayat dengan bambu yang diberi pengait di ujungnya. Mereka geret mayat-mayat itu ke tepian, lantas mereka jarah. Penduduk mengambil arloji, ikat pinggang, cincin dan akhirnya menjebol gigi emas dari mayat-mayat itu.‖ (Ajidarma, 2001:96)
Aspek permasalahan dalam bidang ekonomi muncul ketika status ekonomi masyarakat pinggir kali tergolong rendah. Hal tersebut diungkapkan oleh tokoh Ibu dengan
flashback pada masa kecilnya.
Suasana masa lalu tokoh pada masa itu berupa rekaman kehidupan masyarakat yang harus menjarah mayat-mayat yang hanyut disungai, mengambil
harta benda yang tersisa di badan
mayat yang mengambang.
Pemerintah dalam peranannya tidak
mencerminkan memiliki sikap
mengayomi masyarakat. Hal tersebut terlihat dari kerentanan sosial yang dialami keluarga maupun kelompok masyarakat yang secara sadar melanggar norma. Pemerintah sebagai pengatur negara harusnya melayani
masyarakat untuk memperbaiki
perekonomian masyarakat.
Seno Gumira Ajidarma
menggambarkan kehidupan
masyarakat dalam naskah sebagai
golongan miskin, mengalami
penderitaan dalam hal ekonomi. Krisis ekonomi dalam naskah merupakan hasil representasi dari Seno berdasar kondisi masyarakat masa Orde Baru ketika pada tahun 1966 masyarakat Indonesia mengalami kelangkaan, krisis ekonomi terparah (Krissandi,
2014:28). Keadaan tersebut
menyebabkan masyarakat miskin
menggaet mayat-mayat yang
mengapung di sungai untuk dijarah, hal tersebut hasil representasi yang sesuai dengan peristiwa masa Orde Baru. Tidak hanya sebatas itu, konflik ekonomi yang diungkap Seno juga sepadan dengan kasus masa Orde Baru yang diungkap oleh Marzuki , krisis aspek ekonomi pada era Orde Baru menyebabkan terjadinya perburuan harta benda dengan menghalalkan
segala cara untuk memenuhi
kebutuhan, berbeda sekali dengan mereka yang kaya atau sebagai aparat Negara (Marzuki, 2006:323). Hal
tersebut menunjukkan adanya
206 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020
miskin dan orang kaya pada masa itu.
Padahal pemerintah harusnya
memberikan jaminan sosial kepada rakyat agar terpenuhi kebutuhan dasarnya bukan memperburuknya Jika tindakan acuh pemerintah tersebut terus berlangsung maka masyarakat akan terus menghalalkan segala cara agar kebutuhan mereka terpenuhi meskipun dengan menjarah mayat-mayat yang hanyut di sungai.
Kritik terhadap Pemerintah dalam Bidang Politik
Dalam kehidupan manusia, politik menjadi senjata untuk menumpas hal-hal yang menghancurkan rakyat namun juga mampu menghancurkan rakyat itu sendiri. Politik dalam kenyataannya tidak terlepas dari seseorang dalam memperoleh suatu kekuasaan, memakainya, dan cara untuk mempertahankannya (Maliki, 2018:04). Kritik terhadap masalah politik dibuktikan dengan adanya
penyalahgunaan kekuasaan,
ketidakadilan, korupsi, dan hidup
sewenang-wenang tanpa
memperhatikan aturan. Manusia yang tinggi jabatannya dapat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaan yang diemban. Dalam tindakannya tersebut, rakyat menjadi sasaran kekejaman politikus. Fakta itu dapat dicermati melalui data berikut.
―Orang-orang diciduk, orang-orang
disembelih, orang-orang dipenjara
dan dibuang tanpa pengadilan. Aku masih ingat semua kisah sedih yang tidak bisa diucapkan itu. Keluarga yang kehilangan bapaknya, anak
yang kehilangan ibunya, istri yang kehilangan suaminya. Mereka tidak bisa mengucapkan apa-apa. Tertindas. Keplenet. Tidak pernah ngomong karena takut salah. Padahal tentu saja tidak ada yang lebih terluka, tersayat dan teriris selain kehilangan orang-orang yang tercinta dalam pembantaian.‖ (Ajidarma, 2001:110).
Peristiwa-peristiwa kekerasan fisik yang dilakukan pemerintah yaitu dengan cara menciduk atau membantai
rakyatnya. Akibatnya, banyak
keluarga yang tidak bersalah kehilangan salah satu anggota
keluarganya. Penyalahgunaan
kekuasan menjadi faktor kekejaman yang dilakukan pemerintah ketika
diamanahkan menjadi seorang
pemimpin. Dampaknya, masyarakat
yang seharusnya mendapatkan
perlindungan dan rasa aman justru
menderita karena pemimpinnya
sendiri.
Masyarakat dilukiskan dengan
berbagai macam
penderitaan-penderitaan seperti penculikan, pembunuhan, penjara, dan lain-lain. Kondisi masyarakat tersebut adalah gambaran penindasan yang dialami masyarakat pada masa Orde Baru di era kepemimpinan Soeharto. Sebuah kritik dari Seno Gumira Ajidarma
terhadap peristiwa kekerasan
pemerintah masa Orde Baru tahun 1977, dalam peristiwa tersebut warga
suku Amungme ditangkap dan
diinterogasi dalam penjara oleh pihak militer karena protes kehadiran freeport di Indonesia. Peristiwa tersebut banyak memakan korban
Kritik Terhadap Pemerintah Orde Baru... (Prasastidan Anggraini) 207
warga suku Amungme, banyak terjadi penyiksaan yang dilakukan oleh tentara dan polisi kepada masyarakat lemah yang menolak adanya Freeport (Nugroho, 2007:109). Pemerintah sejatinya memiliki tugas utama yaitu
memelihara keamanan dan
menciptakan kesejahteraan
penduduknya. Tindakan kekerasan yang dilakukan pemerintah jika tidak dihentikan akan berdampak pada kesejahteraan anggota masyarakat dan mempengaruhi psikis masyarakat tersebut.
Kekuasaan sejatinya digunakan untuk membela masyarakat lemah bukan sebagai alat penindas kaum lemah. Demi sebuah politik, manusia dapat kehilangan akal sehatnya terhadap lingkungan sekitar hingga rela saling menjatuhkan, menyakiti, bahkan menindas perempuan yang seharusnya dihormati. Fathorrahman mengatakan bahwa manusia pada dasarnya tidak mungkin lepas dari permasalahan politik yang ada, hal tersebut dapat dilihat dari sikap
pemerintah kepada masyarakat
(Fathorrohman, 2017:26). Bentuk-bentuk kekerasan tersebut terdapat dalam kutipan kalimat sebagai berikut.
Orang-orang diperkosa demi politik, orang-orang dibakar, harta bendanya dijarah, bagaimana orang bisa hidup dengan tenang? Hanya politik yang bisa membuat orang membunuh atas nama agama. Mana ada agama membenarkan pembunuhan. Apakah ini tidak terlalu berbahaya? Politik hanya peduli dengan manusia. Apalagi hati manusia. Apakah kamu bisa
membayangkan Pak, luka di setiap keluarga itu?‖ (Ajidarma, 2001: 111).
Protes tokoh diwujudkan dengan pengungkapan moral yang harus
dimiliki manusia. Tokoh Ibu
menyampaikan protesnya terhadap keresahan masyarakat dengan kasus
pemerkosaan, pembunuhan,
pembakaran, dan penjarahan. Kasus dalam naskah tersebut menjadi kasus nyata yang diungkap Seno Gumira Ajidarma pada rezim Orde Baru terhadap kejadian pada bulan Mei 1998 tentang kerusuhan anti-Tionghoa. Dalam peristiwa tersebut, etnis Tionghoa diserang, harta benda mereka dijarah, dan banyak pemerkosaan yang dialami oleh
perempuan-perempuan Tionghoa
untuk meneror dan menghukum Tionghoa (Fittrya, 2013:164). Hal tersebut menggambarkan politik pada rezim Orde Baru sangat rendah dalam etika dan mengerti akan sesama makhluk sosial. Pemimpin dalam
suatu kelompok seharusnya
membangun kesatuan dan persatuan
rakyatnya bukan menciptakan
kerusakan antarsosial. Kesalahan yang dilakukan pemerintah tersebut jika terjadi terus-menerus maka akan berdampak negatif tidak hanya bagi individu itu sendiri, melainkan kesatuan negara.
Persepsi negatif orang tua hadir setelah orang tua menghadapi banyak peristiwa masa lalu yang suram.
Hingga gambaran, bagaimana
pemerintah sangat dikritisi oleh seorang Ibu dan Bapak yang kehilangan putranya. Penculikan
208 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020
Satria pertama kali disebabkan atas dasar kecurigaan pemerintah terhadap Satria yang dianggap memberi pengaruh besar pemberontakan terhadap pemerintahan Orde Baru. Pemerintah mampu melakukan segala cara untuk kekuasaan dan keinginan pribadinya. Fakta tersebut dapat dicermati melalui data sebaga berikut.
―Untuk apa Satria dibunuh, untuk apa? Dia tidak melakukan kejahatan apa-apa. Dia tidak bisa memimpin pemberontakan. Anak sekurus itu.‖ (Ajidarma, 2001: 109).
Kecurigaan yang dialami tokoh Ibu disebabkan oleh tindakan pemerintah yang menggunakan kekerasan. Akibat
peristiwa tersebut terjadi
ketidakseimbangan dan konflik. Jika hal tersebut terus terjadi maka akan
menumbuhkan kebencian dan
kesengsaraan setiap keluarga anggota. Pemerintah melakukan hal tersebut
untuk menjamin kelanggengan
kekuasaannya.
Dalam naskah, Ibu
digambarkan sebagai tokoh yang merasa resah karena tidak mendapat alasan mengapa Satria dibunuh. Hal tersebut diungkapkan Seno berdasar representasi dari kasus nyata masa Orde Baru tahun 1980-an di mana pada saat itu orang-orang banyak menjadi korban pembunuhan tanpa diketahui alasan yang jelas, tidak
diketahui pula siapa pelaku
pembunuhan tersebut, yang dikenal
dengan sebutan petrus atau
pembunuhan misterius (Putra,
2012:10). Kasus tersebut sama dengan tokoh Ibu yang digambarkan dalam
naskah sebagai sosok ibu yang tidak mengetahui alasan Satria dibunuh.
Tindakan kekerasan merupakan suatu tindakan yang secara sadar maupun tidak sadar dilakukan oleh manusia kepada binatang bahkan sesama manusia. Kekerasan dilakukan karena beberapa faktor seperti amarah, pemikiran yang menimbulkan emosi, bahkan untuk memperoleh suatu informasi. Hal tersebut diungkapkan oleh Ibu, terhadap pemerintah yang pada saat itu menculik Satria.
―Mereka bertanya sambil mengemplang. Bertanya sambil menyetrum. Mereka menginginkan jawaban seperti yang mereka kehendaki. Interogasi kok seperti itu. Maksa! Dan Satria itu orangnya ngeyelan. Mana mau dia ngaku meski disakiti.‖ (Ajidarma, 2001:110).
Dalam cuplikan di atas, tokoh ibu
menceritakan penyiksaan yang
dilakukan olehpemerintah .
Penyiksaan dilakukan pemerintah untuk memperoleh informasi, bahkan untuk mengintimidasi seorang anak bernama Satria. Kritik terhadap pemerintah diungkapkan dengan pemikiran negatif tokoh Ibu kepada pemerintah, yaitu ringan tangan terhadap rakyat kecil. Mereka diadili tanpa dasar yang kuat. Apa yang dilakukan pemerintah dalam kutipan kalimat tersebut membuat anggota keluarga merasa kehilangan yang teramat dalam terutama seorang tokoh Ibu. Pemerintah yang seharusnya melindungi penerus bangsa justru menyakiti secara fisik.
Kritik Terhadap Pemerintah Orde Baru... (Prasastidan Anggraini) 209
Seno Gumira Ajidarma dalam naskah drama Mengapa Kau Culik
Anak Kami? ingin melukiskan
kejadian nyata pemerintahan Indonesia pada masa Orde Baru. Selain itu, melalui naskah drama ini Seno ingin mengungkap kasus pelanggaran HAM di Indonesia era Orde Baru yang dibiarkan menguap begitu saja. Dalam
naskah drama, tokoh Satria
digambarkan sebagai tokoh tahanan yang tidak berdaya karena kekejaman masa Orde Baru. Satria adalah representasi dari seorang tahanan bernama Effendi. Melalui tokoh
Satria, Seno menggambarkan
penderitaan akibat penculikan dan penyiksaan pada era Orde Baru.
Seno Gumira Ajidarma
melukiskan peristiwa penculikan dan penganiayaan 30 September 1965 dalam naskah dramanya (Margiyono, 2007:15). Kekejaman pemerintah digambarkan melalui kehidupan Satria dan kedua orang tuanya. Satria merupakan representasi kekerasan yang dilakukan pemerintah melalui penahanan, penyiksaan dengan cara diestrum, dipukul, ditempeleng atas dasar kecurigaan dan demi tercapainya
tujuan pemerintah memperoleh
informasi. Kondisi penantian tokoh Satria adalah gambaran atas ketakutan dan ketidakberdayaan keluarga yang disebabkan oleh ketidakharmonisan pemerintahan Orde Baru sehingga orang tua Satria merasa tidak tenang dengan kondisi yang terjadi. Hal serupa juga terjadi pada masa Orde Baru, jika dikaitkan dengan kritis. Banyak kesadisan kepada Efendi pada masa itu. Salah satunya disiksa,
dipukul, disetrum, dan disabet oleh tentara Indonesia. Padahal negara Indonesia merupakan negara yang berlandaskan kemanusiaan dalam Pancasila. Pancasila menjadi dasar dan mengatur masyarakat Indonesia namun tragedi September 1965 tidak menunjukkan nilai yang ada dalam sila kedua dari Pancasila. Aparat negara yang harusnya melindungi rakyat justru menindas rakyat karena alasan kecurigaan terhadap Efendi yang masuk dalam golongan PKI. Padahal, sifat kemanusiaan harusnya dimiliki
antarsesama untuk menjalin
keharmonisan satu sama lain.
Kritik terhadap Pemerintah dalam Bidang Sosial
Pada dasarnya manusia merupakan mahkluk sosial, rasa untuk saling
membutuhkan satu sama lain.
Makhluk sosial merupakan suatu sikap sosial yang menciptakan suatu interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari (Musfhi, 2017:212). Rendahnya rasa empati pada diri manusia memberi pengaruh negatif terhadap kehidupan sosial seseorang dalam lingkungannya. Rendahnya rasa empati dari pihak keluarga yang
dialami Ibu, menjadi bentuk
bagaimana ketakutan orang lain terhadap pemerintah yang mampu melancarkan strategi penculikan secara halus.
―Aku cuma ingat bagaimana orang-orang menjauh ketika semua itu menimpa kita. Orang yang malang malah dijauhi. Ada yang bilang. ―Sorry aku baru menelpon
210 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020 sekarang, ini pun dari telepon
umum, karena aku takut teleponku disadap, aku harap semuanya baik-baik saja. Sorry, aku takut, aku punya anak kecil soalnya‖ hmmmh. Saudara-saudara menjauhi semuanya. Takut, seperti kita ini punya penyakit sampar.‖ (Ajidarma, 2001:93).
Teror atau penyadapan yang dilakukan
pemerintah mampu mengurangi
kepedulian individu yang satu dengan individu yang lain. Tindakan tersebut dilakukan pemerintah terhadap tokoh Satria guna melancarkan rencana dan menjatuhkan mereka yang berbeda
ideologi politiknya. Melalui
penyadapan tersebut menimbulkan kekhawatiran tokoh Ibu dan Bapak, melainkan juga dialami lingkungan sekitar. Kekhawatiran lingkungan terjadi karena takut diketahui memiliki hubungan keluarga dengan kedua orang tua korban. Wujud ketakutan dan kekhawatiran tersebut adalah gambaran kehidupan nyata era Orde Baru tahun 1965. Pada masa itu ribuan bahkan jutaan orang disangka sebagai komunis sehingga banyak korban jiwa berjatuhan, akibatnya kebebasan masyarakat satu sama lain sangat dibatasi dan menimbulkan ketakutan dalam kehidupan sehari-hari (Manik,
2003:8). Pemerintah dalam
kenyataannya memiliki tugas
memasyarakatkan dan anti
diskriminasi bukan merusak
kehidupan keharmonisan sosial yang berakibat terputusnya memutuskan tali rasa saling peduli antarsesama.
Konflik sosial masyarakat pada masa pemerintahan Orde Baru tidak
berhenti begitu saja. Tidak hanya individu yang dibantai hingga mati
seperti binatang, melainkan
sekolompok kesenian yang berkiprah dalam dunia ludrukpun di bunuh dan mayatnya dibuang ke sungai oleh pemimpin negara. Bentuk konflik tersebut dapat ditelisik melalui data sebagai berikut.
―Ketika semua pemain ludruk dibantai, tinggal dia sendirian yang tersisa. Di kali itulah, yang suatu ketika bisa betul-betul merah karena darah, mayat-mayat mengalir seperti sampah. Di kali itulah mayat teman-temannya pemain ludruk mengapung.‖ (Ajidarma, 2001:95).
Pembantaian yang dilakukan
pemerintah Orde Baru dirasakan tokoh Ibu, pada masa kecilnya, disebabkan perbedaan pendapat antara masyarakat dengan pemerintah. Pemerintah khawatir jika pertunjukkan kesenian seperti ludruk mampu memperburuk posisi pemerintah pada masa itu sehingga pemerintah melakukan pembantaian anggota kesenian yang menelan korban jiwa. Kesenian ludruk merupakan budaya yang harus dijaga bukan dibantai. Kesenian tersebut harusnya diapresiasi oleh pemerintah untuk menjaga kearifan lokal daerah Jawa Timur karena kesenian daerah merupakan aset budaya nasional. Jika hal tersebut terus berlanjut tidak hanya kesenian khas daerah yang terkena
dampaknya, perekonomian para
anggota kesenian ludrukpun menurun. Bila dikaitkan dengan masa Orde Baru, Seno Gumira Ajidarma
Kritik Terhadap Pemerintah Orde Baru... (Prasastidan Anggraini) 211
ingin menggambarkan peristiwa tragis pada tahun 1965, pemain ludruk dibunuh karena dicurigai sebagai PKI. Kesenian ludruk dianggap berikatan dengan PKI karena berada di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pemain ludruk pada masa itu berperan sebagai kesenian yang mengkritik sosial dan politik, pemain ludruk juga sering membawakan kidung-kidung yang mengkritik pemerintah (Safi’i, 2018: 12—13).
Manusia dalam hidup seharusnya memiliki kepedulian sosial yang tinggi untuk keseimbangan hidupnya. Kehidupan masa Orde Baru dalam
naskah menunjukkan rendahnya
kepedulian pemerintah terhadap masyarakat. Penyiksaan kepada orang yang dianggap berpengaruh seakan menjadi hal yang biasa dilakukan.
―Jadi mereka dengan sadar melakukan pemaksaan. Menculik. Menanyai sambil menempeleng dan menyetrum. Atau menyuruhnya tidur di atas balok es. Orang-orang yang dilepaskan bercerita seperti itu kan?‖ (Ajidarma, 2001: 111).
Bagi mereka yang tidak sepemikiran dan memberi pengaruh bagi anggota masyarakat yang lain, maka kekerasan dijadikan alat oleh pemerintah agar mereka mengakui apa yang sudah direncanakan. Perlakuan tersebut
dilakukan karena pemerintah
mementingkan kekuasaannya, tidak mau menerima aspirasi masyarakat, sedangkan perilaku yang mendasari jiwa seorang pemimpin adalah terbuka, demokratis, dan berkedaulatan rakyat. Bentuk kekerasan fisik berupa
penculikan, menempeleng,
menyetrum, dan tidur di atas balok es adalah gambaran kehidupan nyata yang dilakukan pemerintah rezim Orde
Baru. Dalam naskah Seno
mengungkap kasus penyiksaan fisik berdasar peristiwa Tri Sakti tahun 1998, kekerasan tersebut berupa penghilangan paksa, penyetruman,
penyiksaan, pembunuhan, dan
kekejaman-kekejaman lainnya yang dilakukan rezim Orde Baru (Fatimah, 2007: 7—8). Konflik dan peperangan
dalam negara akan terjadi jika pemerintah terus melakukan hal tersebut.
Pendidikan pada hakikatnya
untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran dan untuk kemajuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan membentuk tenaga kerja yang terlatih (Suti, 2011: 2). Pendidikan sebagai solusi dari setiap segi permasalahan yang harus dipecahkan dengan teori atau pengetahuan (Nofrion, 2016: 44). Dalam naskah drama Mengapa Kau
Culik Anak Kami? pendidikan
dijadikan sebagai objek tindak kejahatan. Anak yang harusnya nyaman dalam dunia pendidikan menjadi terganggu proses belajarnya dan orang berpendidikan yang seharusnya memiliki moral yang baik malah sebaliknya menjadi orang yang bermental jahat (menindas, korup, dan sebagainya). Kritik pemerintah terlihat dalam masalah pendidikan yang timpang pada fungsi pendidikan itu sendiri. Fakta dapat dicermati dalam kutipan sebagai berikut.
212 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020 ―Justru pendidikan itu digunakan
untuk mengibuli orang. Pendidikan terror saja ada. Bukan untuk meneror sorang saja, tapi juga untuk masyarakat. Itu juga hasil pendidikan lho. Pendidikan luar negeri malah. Dan tidak sembarang orang bisa mengendalikan masyarakat sesuai dengan tujuan terornya. Jadi pendidikan bukan jaminan, pak.‖ (Ajidarma, 2001:117).
Pendidikan pada masa itu hanya untuk mengibuli dan memberikan terror, bukan saja untuk individu melainkan untuk masyarakat luas. Terlebih bagi mereka yang lulus pendidikan luar negeri, yang notabenenya memiliki kualitas lebih tinggi dari negara sendiri. Kutipan data tersebut menjadi bukti bahwa pendidikan pada masa itu tidak lagi digunakan sebagaimana semestinya.
Kasus pendidikan ini adalah gambaran kehidupan nyata yang diceritakan Seno Gumira Ajidarma melalui naskahnya. Peristiwa tentang seseorang yang memiliki pendidikan pada masa Orde Baru, tidak untuk menuntaskan permasalahan yang ada di masa Orde Baru. Dari kutipan di
atas, Seno mengungkapkan
keresahannya terhadap pendidikan yang disalahgunakan, terlebih pendidikan luar negeri. Hal itu sepadan dengan kasus pendidikan pada masa Orde aru. Menurut Geertz tentang superkultural metropolitan Indonesia, mengenai pendidikan orang barat yang memiliki kemampuan berbahasa asing, akan tetapi kehadiran intelektual itu justru menjadi
bumerang untuk negara (Geertz dalam Husain, 2007: 69).
SIMPULAN
Berdasar hasil analisis mengenai krtitik terhadap pemerintah pada naskah Mengapa Kau Culik Anak Kami? dapat disimpulkan sebagai berikut.
Kritik pengarang diungkapkan dalam bentuk sastra tulis berupa naskah drama ketika pasca Orde Baru. Melalui cerminan peristiwa kehidupan masyarakat di masa tersebut, berupa kritik terhadap pemerintah dalam bidang ekonomi merupakan suatu
gambaran yang diungkapkan
pengarang pada masa Orde Baru
dengan menghadirkan berbagai
konflik masyarakat seperti rendahnya
moral masyarakat dengan
menghalalkan berbagai macam cara untuk keberlangsungan hidup pada keadaan tertentu di masa Orde Baru tersebut. Konflik sosial diungkapkan pengarang melalui tokoh Ibu dengan peristiwa masa lalu (flashback) seperti; pembantaian, pembunuhan terhadap masyarakat, dan penculikan terhadap Satria yang didasarkan atas kecurigaan pemerintah. . Tidak hanya kritik terhadap masalah bidang ekonomi dan sosial masyarakat saja yang diungkapkan oleh pengarang, kritik dalam bidang politikpun diungkapkan pengarang melalui karakter-karakter pemimpin pada masa Orde Baru dengan penyalahgunaan kekuasaan yang dikemas dengan konflik dalam alur sampai pada klimaks cerita.
Kritik Terhadap Pemerintah Orde Baru... (Prasastidan Anggraini) 213
Masalah dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik tersebut merupakan
gambaran penyiksaan terhadap
masyarakat di masa Orde Baru. Penyiksaan yang terjadi dalam naskah drama tersebut karena faktor kecurigaan pemerintah, kecurigaan tersebut dapat merusak tatanan kehidupan tokoh. Melalui cara
tersebut, pengarang juga
memperlihatkan tujuan utama
pemerintah mengintimidasi yaitu untuk memperoleh informasi.
Pengungkapan rekaman
permasalahan masa Orde Baru dalam naskah membuat pembaca mengetahui cerminan peristiwa pada masa tersebut yang dikemas oleh pengarang melalui watak tokoh dan alur dalam cerita. Selain itu, pembaca juga dapat mengetahui bagaimana konflik-konflik di masa Orde Baru, yang dibuat lebih hidup dalam bentuk naskah drama oleh pengarang.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, S. G. (2001). Mengapa Kau
Culik Anak Kami. In
Alayasastra. Galang Press.
Aliyah, L. N. (2010). Kritik Sosial
dalam Kumpulan Sajak
Terkenang Topeng Cirebon
Karya Ajib Rosidi: Tinjauan
Sosiologi Sastra. Skripsi
diterbitkan. FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta. Anam, C. (2018). Citra Perempuan
dalam Novel Cerita Tentang Rani Karya Herry Santoso; Tinjauan Kritik Sastra Feminis. Tesis
diterbitkan. FIB Universitas
Diponegoro Semarang.
Biantoro, B. A. (2012). Kritik Sosial dalam Novel Kalatidha Karya Seno Gumira Ajidarma: Tinjauan
Sosiologi Sastra. FKIP
Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Fathorrohman. (2017). Tipologi Politik Pencitraan dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye. Lingua Franca, 5 (2), 25—35.
Fatimah, S. (2007). Perempuan dan Kekerasan Pada Masa Orde Baru. Demokrasi, vi (2), 1—12.
Firdiyanti, B. (2016). Strategi
Bertahan Hidup Pengrajin
Gerabah sebagai Upaya
Pemenuhan Kebutuhan di Desa
Kademangan Kecamatan
Mojoagung Kabupaten Jombang. Swara Bhumi, 1 (2), 13–19. Fittrya, L. (2013). Tionghoa dalam
Diskriminasi Orde Baru Tahun 1967—2000. AVATARA, 1 (2), 159—166.
Hardjana, A. (1985). Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Gramedia. Husain, S. B. (2007). Referensi Buku
Keroncong Cinta: Antara Cara Pemahaman, Cara Perhubungan dan Cara Penciptaan. MOZAIK, 1 (1), 67—74.
Jaiyudin, L. O. M. (2016). Kritik Sosial dalam Novel Merajut Harkat Karya Putu Oka Sukanta. Basastra (Bahasa Dam Sastra), 2 (1), 1—17.
Khusna, M. (2015). Kekerasan Politik Masa Orde Baru dalam Naskah Drama Mengapa Kau Culik Anak Kami Karya Seno Gumira
214 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020
Ajidarma: Tinjauan
Strukturalisme Genetik.
Universitas Negeri Yogyakarta. Krissandi, A. D. S. (2014).
Cerpen-Cerpen Kompas 1970—1980 dalam Hegemoni Negara Negara Orde Baru (Analisis Wacana Kritis). Poetika, II (1), 21—30. Kurnia, I. N & Anggraeni, N. (2018).
Nilai-Nilai Sosial yang
Terefleksikan Melalui Tokoh-Tokoh Perempuan dalam Drama Trifles Karya Susan Glaspell: Tinjauan Sosiologi Sastra. Diksi, 26 (2). 93—103.
Maliki, Z. (2018). Sosiologi Politik:
Makna Kekuasan dan
Tranformasi Politik. Gadjah
Mada University Press.
Manik, V. (2003). Reproduksi Kekerasan Tanpa Akhir: Sebuah
Pandangan terhadap
Ketidakmampuan Negara
Mengelola Kekerasan.
Kriminologi Indonesia, 3 (1), 1— 12.
Margiyono, Y. (2007). Neraka Rezim
Orde Baru Tempat-Tempat
penyiksaan Orde Baru. Medio. Marzuki, S. (2006). Kekerasan dan
Ketakutan pada Kekerasan. UNISIA, XX (III), 317—330. Musfhi, M. (2017). Model Interaksi
Sosial dalam Mengelaborasi
Keterampilan Sosial.
PEDAGOGIK, 4 (2), 212.
Naratungga, I. (2014). Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Nyanyian Batanghari Karya Harry B. Kori’un. Ilmiah Kebahasaan Dan Kesastraan, ii (2), 111—120.
Nofrion. (2016). Komunikasi
Pendidikan. Prenadamedia
Group.
Nugroho. (2007). Kekuatan Modal dan Perilaku Kekerasan Negara pada Masa Orde Baru: Studi Kasus Freeport. UKSW.
Oksinata, H. (2010). Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul (kajian resepsi sastra). Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret.
Pradopo, R. D. (2001). Kritik sastra Modern. Gama Media.
Pradopo, R. D. (2002). Kritik Sastra Indonesia Modern. Gama Media. Putra, C. R. w. (2018). Cerminan
Zaman dalam Puisi (Tanpa Judul) Karya Wiji Thukul: Kajian Sosiologi Sastra. KEMBARA, 4 (1), 12–20.
Putra, E. (2012). Kekerasan Negara
dalam Kumpulan Cerpen
Penembak Misterius Karya Seno Gumira Ajidarma. Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Jatinangor.
Rina M.F. Harun Joko Prayitno, dkk. (2010). Nafron Hasyim, dan Harun Joko Prayitno. 2010.
Pembinaan dan Pementasan
Teater Sekolah serta Fungsinya dalam Pembelajaran Apresiasi Drama di Kelas XI SMA
Pangudiluhur Surakarta.
Humaniora, 11 (2), 187.
Safi’i, I. & T. (2018). Sejarah
Menjamurnya Masjid dan
Langgar Pasca-65 di Kecamatan
Tanggung Gunung, Tulung
Kritik Terhadap Pemerintah Orde Baru... (Prasastidan Anggraini) 215
291—308.
Soesastro, H. (2005). Pemikiran dan
Permasalahan Ekonomi di
Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir. Kanisiu.
Suti, M. (2011). Strategi Peningkatan Mutu di Era Otonomi Pendidikan. MEDTEK, 3 (2), 1—6.