• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang pernah mempraktikkan dua sistem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang pernah mempraktikkan dua sistem"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang pernah mempraktikkan dua sistem pemerintahan, yaitu sistem parlementer dan sistem presidensial. Pada periode 1945--1950, Indonesia menerapkan sistem pemerintahan parlementer,1 dengan tiga macam konstitusi yang berbeda, yaitu: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) (1945--1949), Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat (1949--1950) dan UU Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (1950--1959). Ketika keluar Dekrit Presiden (5 Juli 1959), Indonesia kembali menggunakan konstitusi UUD NRI 1945. Dari rangkaian penggunaan tiga konstitusi tersebut di atas, Sri Sumantri mengatakan bahwa sistem pemerintahan Indonesia mengandung 1 Douglas V. Verney, 1992, “Parliamentary Government and Presidential Government”, dalam

Parliamentary Versus Presidential Government, Arend Lijphart (ed.) Oxford University Press,

hlm. 31 dan 34 …. Dari semua varian sistem pemerintahan yang dikemukakan tersebut, sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan yang paling luas diterapkan di seluruh dunia. Evolusi menuju sistem pemerintahan parlementer berlangsung melalui tiga tahapan Pertama, pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang bertanggung jawab atas seluruh sistem politik dan sistem kenegaraan. Kedua, muncul sebuah majelis yang menentang hegemoni raja. Ketiga, majelis mengambil alih tanggung jawab atas pemerintahan dengan bertindak sebagai parlemen sehingga raja kehilangan sebagian besar kekuasaan tradisionalnya.

Dalam buku Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi

Parlementer dalam Sistem Presidensial di Indonesia yang mengutip pendapat Hendarmin

Ranadireksa dan Ensiklopedi Wikipedia dijelaskan bahwa dalam melakukan kajian, cara mudah untuk mengenal sistem pemerintahan adalah dengan memperhatikan di mana letak objek utama yang diperebutkan. Dalam sistem pemerintahan parlementer, objek utama yang diperebutkan adalah parlemen. Berkaitan dengan itu, pemilu parlemen menjadi sangat penting karena kekuasaan eksekutif hanya mungkin diperoleh setelah partai kontestan pemilu berhasil meraih kursi mayoritas dalam parlemen.37 Seandainya tidak terdapat partai politik yang memperoleh suara mayoritas, beberapa partai politik bergabung (koalisi) untuk membentuk kabinet.

Dalam Giovanni Sartori, 1997, Comparative Constitutional..., hlm. 101…. Parliamentary

system do not permit a separation of power between parliament and government: theyareall based on legislative-executivepower sharing. Which also, to say that all the system that we call parliamentary require governments to be appointed, supported and, as the case may be, dismissed, by parliamentary vote….

(2)

unsur parlementer yang masih berada dalam sistem presidensial2 berkenaan dengan pelaksanaan fungsi legislasia.3

Sistem ketatanegaraan Indonesia selama Orde Baru dan Orde Lama hanya mendudukkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai parlemen/legislatif, meskipun dalam kenyataannya di Indonesia terdapat dua lembaga perwakilan rakyat, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan DPR. Meskipun secara kelembagaan legislatif terdiri dari dua kelembagaan, dua kelembagaan tersebut berada dalam satu kesatuan yang utuh, ibarat satu lembaga yang mencakup lembaga lain, yaitu MPR mencakup DPR.

Legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat menurut konstitusi 1945 merupakan dua lembaga dalam satu kesatuan lembaga, yang satu berkedudukan lebih tinggi daripada yang lain. Namun demikian, dalam hal keanggotaan, keduanya 2 Dalam buku Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi

Parlementer dalam Sistem Presidensial di Indonesia. Rajawali Press hlm. 38 yang mengutip

pendapat Bali dan Peters dalam bukunya Modern Politics and Government dikemukakan karakter sistem presidensial sebagai berikut.

1. The president is both nominal and political head of state.

2. The president is not elected by the legislature, but is directly elected by the total

electorate.

(There is an electoral college in the United States, but it is/political significance only in that each states votes as a unit and hence the system tends to disadvantage small parties).

3. The president is not part of the legislature, and he cannot befrom office by the legislature

except through the legal process ofimpeachment.

4. The president cannot dissolve the legislature and call a general election. Ussualy the

president and the legislature are elected for mixed terrrs.

3 Sri Soemantri, 1976, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, Tarsito, Bandung. hlm. 52--53. Menurut Douglas V. Vemey dalam Parliamentctry Government and Presidential

Government dapat dikatakan sebagai karakter sistem parlementer yang paling elaboratif.

Verney mengemukakan 11 karakter sistem pemerintahan parlementer sebagai berikut. 1. The assembly becomes a parliament.

2. The executive is divided into two parts.

3. The head of state appoints the head of government. 4. The head of government appoints the ministry. 5. The ministry (or government) is a collective body. 6. Ministers are usually members of parliament.

7. The government is politically responsible to the assembly.

8. The head of government may advise the head of state to dissolve parliament.

9. Parliament as a whole is supreme over its constituent parts, government and assembly,

neither or which may dominate the other.

10. The government as a whole is only indirectly responsible to the electorate. 11. Parliament is thefocus of power in the political system.

(3)

merupakan keanggotaan dalam satu kesatuan lembaga secara utuh.4 Hal ini merupakan konsekuensi dari Pasal I ayat (2) UUD NRI 1945 sebelum perubahan, yang menyatakan bahwa MPR adalah lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat secara penuh. Oleh karena itu, kekuasaan lembaga tinggi negara, yaitu DPR, merupakan delegasi wewenang dari MPR. Sepintas terlihat bahwa seolah-olah ada dua lembaga perwakilan rakyat, tetapi sesungguhnya Indonesia tidak menggunakan sistem perwakilan rakyat dua kamar. Hal ini karena dalam sistem perwakilan rakyat dua kamar, representasi daerah diberi wadah institusi sendiri dengan derajat yang sama dengan DPR berikut kekuasaan yang dimilikinya. Selain itu, utusan dari daerah tidak dilihat sebagai orang per orang, tetapi dilihat sebagai institusi.

Selama 32 tahun bangsa Indonesia dikuasai oleh rezim Orde Baru dan selama itu pula bangsa ini selalu terkekang dalam melakukan perubahan. Akan tetapi, sejak berakhirnya rezim Soeharto (rezim Orde Baru) banyak sekali perubahan yang terjadi, terutama dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Tahun 1998 merupakan tahun kemenangan reformasi yang menginginkan perubahan dalam berbagai segi kehidupan bernegara. Salah satu keinginan kaum reformis adalah perubahan UUD NRI 1945. Perubahan UUD NRI 1945 merupakan suatu hal yang mutlak agar bangsa Indonesia maju dan tidak lagi menimbulkan rezim otoriter baru dan diharapkan perubahan UUD NRI 1945 tersebut dapat menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih demokratis. MPR hasil Pemilu 1999 sepakat mempertahankan sistem presidensial. Kemudian dalam kurun waktu 1999--2002 terjadi perubahan UUD NRI 1945 dengan sebuah tujuan dan upaya melakukan purifikasi (pemurnian) terhadap sistem pemerintahan presidensial.5

4 Faried Mi, 1996. Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 162.

5 I Made Leo Wiratama, 2006. “Purifikasi Sistem Presidensiil”, dalam Piiliang, Indra J. & T.A Legowo (ed.), Desain Baru Sistem Politik Indonesia, CSIS Jakarta hlm. 26; dan Andrew Ellis, 2002. “The Indonesian Constitutional Transtition; Conservatism or Fundamental Change”, dalam Singapore Journal of Internasional and Comparative Law No. 116, hlm. 17--18.

(4)

Sebagai upaya untuk menguatkan sistem presidensiil, kekuasaan Presiden tetap dijaga agar berimbang dengan kekuasaan legislatif. Hal tersebut mirip dengan pendapat Shugart dan Carey6 yang menyatakan bahwa hadirnya dua dimensi dasar kekuasaan Presiden adalah kewenangan tentang legislasi dan kewenangan nonlegislasi. Aspek pertama terkait dengan kewenangan legislasi Presiden yang dijamin konstitusi. Aspek tersebut adalah hak veto, hak veto sebagian (partial

veto),7 mengeluarkan dekrit, membuat usulan UU, hak budget, dan membuat

usulan referendum. Aspek lainnya adalah kekuasaan Presiden, tetapi terlepas dari

domain ranah lembaga legislatif, di antaranya adalah pembentukan kabinet dan

pemberhentian anggota kabinet.

Selama ini UUD NRI 1945 terkesan disakralkan dan tidak mencerminkan adanya keseimbangan fungsi dan tanggung jawab lembaga-lembaga negara maka proses amandemen UUD NRI 1945 dapat dibenarkan. Hal ini bertujuan untuk melakukan pembaharuan arah dan substansi yang dikandung dalam UUD NRI 1945 sehingga isinya sesuai dengan cita-cita reformasi. Salah satu perubahan yang ada dalam UUD NRI 1945 ialah adanya upaya rekonstruksi perwakilan di Indonesia.

Dalam UUD NRI 1945 sebelum perubahan Pasal I ayat (2) dinyatakan bahwa, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat.”

Dalam Penjelasan Pasal 3 UUD NRI 1945 juga dikatakan bahwa, “Oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan negara maka kekuasaan-nya tidak terbatas”. Pasal tersebut merumuskan kekuasaan MPR yang demikian 6 Mathew Soberg Shugart and John Carey, 1992. Presidents and Assemblies, Cambtridengane:

Cambrigde University Press, dalam Nurliah Nurdin, 2012. Komparasi Sistem Presidensial

Indonesia & Amerika Serikat Rivalitas Kekuasaan Antara Presiden dan Legislatif, MIPI

Jakarta, hlm. 86--89.

7 Partial Veto memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memveto beberapa elemen dalam legislasi sembari memformulasikan kelanjutan undang- undang. Athew Soberg Shugart and John Carey, 1992. Presidents and Assemblies, Cambtridengane: Cambrigde University Press.

(5)

tegas dan jelas. Akan tetapi, tidak semua aspek mendasar tentang MPR ini diatur dalam UUD NRI 1945. Hal ini bisa dipahami mengingat kondisi objektif pada saat pembuatan konstitusi tersebut. Oleh karena itu, UUD NRI 1945 memberikan delegasi pengaturan lebih lanjut tentang MPR ini kepada UU, yaitu suatu produk legislasi yang dibuat oleh Presiden dengan DPR, yang berdasarkan UUD NRI 1945 secara normatif kekuasaan dan kewenangannya lebih rendah daripada MPR. Pada kelanjutannya, segala kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya itu dalam praktik tidak dapat terselenggara sebagaimana desain awalnya, yakni rakyatlah pemegang kedaulatan sehingga segala keputusan politik tertinggi di negeri ini mencerminkan manifestasi kehendak seluruh rakyat.8

Lahirnya era reformasi pada 1998 ditandai dengan keterbukaan dan demokratisasi yang memberikan angin segar bagi penerapan konsep demokrasi. Pencabutan dwi fungsi ABRI, adanya kebebasan berserikat, dan pemilu secara langsung merupakan bagian dari agenda pokok gerakan reformasi yang dilakukan oleh mahasiswa bersama rakyat. Dalam era itu terbentuk sistem politik baru yang secara struktural berbeda dengan sistem politik otoriter Orde Baru.

Sistem politik baru yang lebih terbuka dan demokratis di Indonesia pada era reformasi dewasa ini memiliki ciri-ciri yang berlawanan dengan ciri-ciri sistem otoriter Orde Baru. Pertama, ada pembatasan kekuasaan dan masa jabatan Presiden selama maksimal dua periode masa jabatan atau dua kali lima tahun. Kedua, ada jaminan konstitusi dan perundang-undangan bagi hak-hak politik, kebebasan sipil, dan hak asasi manusia yang melekat pada warga negara. Ketiga, ada jaminan bagi kemerdekaan dan kebebasan pers. Keempat, berlangsungnya pemilu yang bebas,

fair, dan demokratis yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilu yang independen. Kelima, pengisian anggota lembaga perwakilan rakyat dilakukan melalui pemilu,

tidak ada lagi wakil rakyat yang diangkat. Keenam, adanya kebebasan berserikat 8 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2000, Semua Harus Terwakili: Studi mengenai

(6)

memungkinkan setiap warga negara membentuk partai politik untuk ikut serta dalam pemilu sehingga terbentuk lebih dari 100 parpol menjelang Pemilu 1992. Ketujuh, militer mundur dari politik sehingga semua jabatan politik formal di legislatif dan eksekutif kini hanya bisa diisi oleh politikus sipil.

Hak politik adalah hak seseorang untuk dapat ikut serta dalam pemerintahan, seperti hak memilih dan dipilih, kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat di depan umum. Hak ini dipayungi Pasal 28 dan Pasal 28 D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945)

Pasal 28 UUD NRI 1945, “Kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU.”

Pasal 28 D ayat (3), “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Hak politik yang dimaksud ialah mengatur keikutsertaan warga negara dalam pemilu, baik sebagai calon yang akan dipilih maupun sebagai pemilih. Hak memilih dan dipilih seharusnya dilaksanakan sesuai dengan keinginan warga negara, tidak boleh ada ancaman, paksaan, dan larangan untuk menentukan pilihan. Syarat warga negara untuk memperoleh hak ini adalah sudah berusia 17 tahun dan/atau sudah menikah.

Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.9 Peserta pemilu adalah partai politik untuk anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan perorangan untuk pemilu anggota DPD. Partai politik peserta pemilu adalah partai politik yang telah memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu.

9 Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kotamadya, dan DPD. Lembaran Negara Tahun 51 Nomor 2008.

(7)

Indonesia sebagai negara hukum yang memilih sistem demokrasi, peraturan perudang-undangan pemilu di Indonesia harus dibuat atau dibentuk sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum dan ditujukan untuk menciptakan keseimbangan antara pendalaman demokrasi (deepening democracy) dan pengembangan kepemimpinan yang efektif (effective governance). Salah satu cara yang dapat dilakukan agar tercipta keseimbangan pendalaman demokrasi dengan pengembangan kepemimpinan yang efektif ialah harus dilakukan langkah-langkah regulasi yang salah satunya adalah melakukan penyederhanaan jumlah peserta pemilu. Penyederhanaannya diwujudkan dalam penentuan batasan (threshold) bagi partai politik untuk ikut serta dalam pemilu yang dikenal dengan istilah electoral threshold (selanjutnya disingkat

ET), dan penelitian batasan (threshold) bagi partai politik untuk bisa menempatkan

wakilnya di parlemen dikenal dengan istilah parliamentary threshold (selanjutnya disingkat PT).

Ketentuan ET sudah dikenal sejak Pemilu 1999, yang tercantum dalam UU No. 3 Tahun 1999 dengan ambang batas 2%, kemudian Pemilu 2004 yang diatur dalam Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2003 dengan ketentuan ambang batas 3%, sedangkan Pemilu 2009 yang diatur dalam Pasal 315 UU No. 10 Tahun 2008 menentukan ambang batas ET 3%.

Ketentuan tentang PT sudah mulai dikenal pada Pemilu 2009 dengan ketentuan 2.5% dan pada Pemilu 2014 dengan ketentuan ambang batas 3,5%. Perhitungannya dilakukan setelah hasil jumlah suara tiap-tiap partai politik diketahui seluruhnya, kemudian dibagi dengan jumlah suara secara nasional. Ketentuan dalam Pemilu 2009 dengan perumusan secara implisit dalam Pasal 202 UU No. 10 Tahun 2008 hanya berlaku di tingkat pusat. Jadi, hanya anggota DPR yang dikenai aturan PT dengan ambang batas 2,5%. Pengaturan PT tidak diberlakukan bagi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan PT dalam UU No. 8 Tahun 2012 dengan ketentuan ambang batas 3.5% berlaku secara nasional, baik bagi DPR, DPRD Provinsi, maupun DPRD Kabupaten/ Kota.

(8)

Ketentuan tentang PT atau ambang batas bagi partai politik untuk dapat mendudukkan anggotanya di parlemen menuai sikap pro dan kontra. Pada umumnya, baik DPR maupun pengamat berpandangan bahwa PT secara teoretis baik. Namun demikian, dari dinamika yang berkembang terkait dengan tingkat kesadaran budaya politik masyarakat, tampaknya gagasan ini akan terkendala.

Penerapan PT dinilai oleh beberapa pihak bisa memasung proses demokrasi yang baru berlangsung sejak reformasi 1998. Penerapan PT juga dinilai tidak mengakomodasi kepentingan seluruh komponen potensi politik bangsa.

Penerapan PT di tingkat bawah dinilai berpotensi menimbulkan konflik horizontal karena ketika ada calon yang terpilih, tetapi karena tidak memenuhi PT, akhirnya calon terpilih itu tidak bisa duduk di parlemen. Selain itu, kesulitan lain untuk menerapkan PT adalah pengaturan kursi di parlemen.

Pembentuk UU dinilai tidak konsisten dengan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pemilu, terkesan selalu bereksperimen, dan belum mempunyai desain yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan sistem kepartaian sederhana yang hendak diciptakannya. Dengan demikian, setiap menjelang pemilu selalu diikuti dengan pembentukan UU baru di bidang politik, yaitu UU mengenai Partai Politik, UU mengenai Pemilu, dan UU mengenai Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Wacana PT secara teoretis itu baik karena bertujuan untuk memastikan suara yang diperoleh partai politik hasil pemilu. Namun demikian, kondisi masyarakat Indonesia yang pluralistik dan tingkat kesadaran politik masyarakat yang sedang berkembang perlu diperhatikan.

Sebanyak sebelas partai politik peserta Pemilu 2009 mengajukan judicial

review kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Partai politik ini menilai ketentuan PT berpotensi membatasi hak politik warga negara. Namun demikian, Mahkamah

(9)

legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi partai politik, baik yang berbentuk ET maupun PT. Dalam pertimbangan putusan tersebut diuraikan bahwa “Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya UU tentang Sistem Kepartaian atau UU Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi”.10

Besarnya angka ambang batas, menurut Mahkamah Kontitusi, menjadi kewenangan pembentuk UU untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh MK selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.11 Dalam putusan tersebut diuraikan pula dissenting opinion dari Hakim Konstitusi lain yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai penetapan besaran angka

ET dan PT.

Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan, berpendapat bahwa Pasal 203, Pasal 205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209 UU No. 10 Tahun 2008 tersebut dalam kenyataannya tidak memperhitungkan dan tidak mempertimbangkan secara cermat norma-norma, jiwa, dan semangat konstitusi dalam UUD NRI 1945, yang justru harus menjadi sumber legitimasi dari seluruh produk perundang-undangan yang dibentuk. Kebijakan yang dianut juga jelas bersifat coba-coba, yang merupakan perubahan atas UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menggunakan electoral threshold sebagai mekanisme penyederhanaan partai, yang belum sempat diterapkan sebelum kemudian beralih kepada PT dan sejumlah threshold lainnya. Oleh karenanya, tidak dapat juga dielakkan timbulnya kesan yang kuat bahwa kepentingan-kepentingan sesaat sangat berpengaruh pada kebijakan yang dilahirkan. Tidak diuji secara keras kepada prinsip-prinsip konstitusi, yang seharusnya wajib dipatuhi dan dilindungi serta diwujudkan oleh pembentuk UU (Obligation to protect, to guarantee and to fulfill).

10 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 tanggal 13 Februari 2009 atas Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

11 Risalah Sidang MK Perkara No 3/PUU-VII/2009 Perihal UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945.

(10)

Ketentuan PT sebesar 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikut-kan dalam penentuan perolehan kursi DPR sungguh-sungguh mengesampingdiikut-kan prinsip kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh rakyat pemilih untuk memilih wakilnya di DPR. Hal itu tidak dijadikan tolok ukur untuk DPRD. Hal demikian dilakukan dengan dalih untuk melakukan penyederhanaan partai politik yang berada di DPR sebagai salah satu strategi penguatan sistem presidensiil.

Dissenting opinion yang lain muncul dari Hakim Konstitusi, M. Akil Mochtar.

Dinyatakan bahwa UUD NRI 1945 telah meletakkan “prinsip kedaulatan rakyat” menjadi “prinsip utama konstitusi” dan sekaligus menjadi “moralitas konstitusi” yang tidak hanya memberikan semangat, warna, dan pengaruh dalam menentukan berbagai bentuk perundang-undangan di bidang politik, tetapi juga memberikan sifat dan warna tersendiri kepada bentuk pemerintahan. Pemilu sebagai sarana demokrasi dalam rangka mewujudkan “prinsip kedaulatan rakyat” haruslah diletakkan kepada besarnya suara pilihan rakyat terhadap wakil yang dipilihnya. Adapun besarnya mandat rakyat yang diberikan kepada calon yang dipilih menunjukkan tingginya legitimasi politik yang kuat kepada calon yang bersangkutan. Diperolehnya legitimasi yang kuat dari rakyat tersebut dengan sendirinya memperkuat akuntabilitas yang akan lebih mudah mengagregasi kehendak rakyat yang diwakilinya. Alasan penyederhanaan partai agar memperkuat sistem presidensill ini, menurut Akil, bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan seharusnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Alasan tersebut di atas berakibat terjadinya perlakuan yang tidak sama serta menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Oleh karena itu, prinsip yang terkandung di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 agar pelaksanaan pemilu berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil harus menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan pemilu.

(11)

Memang sulit untuk tidak mengatakan bahwa pengajuan uji materi itu terkait erat dengan kepentingan jangka pendek kesebelas partai politik tersebut. Semestinya proses pengembangan demokrasi harus diletakkan dalam kerangka kepentingan bangsa yang lebih besar, yaitu memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Menurut beberapa pihak, sistem pemerintahan presidensial hanya akan dapat berjalan efektif jika didukung oleh sistem multipartai sederhana.

Empat perkara pengajuan uji materi UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD NRI 1945 oleh empat kelompok pemohon juga menunjukkan adanya anggapan munculnya kerugian konstitusional yang mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat dan keterwakilan politik dalam pemilu. Keempat pemohon itu adalah sebagai berikut.

Pemohon pertama adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Yayasan Soegeng Sarjadi dan Yuda Kusumaningsing dalam Nomor Perkara 51/PUU-X/2012. Pemohon kedua adalah Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Damai Sejahtera dengan Nomor Perkara 52/PUU-X/2012. Pemohon ketiga adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Noviantika Nasution, Max Lau Siso, Badikenita Sitepu, dan Lasmidara dengan Nomor Perkara 54/PUU-X/2012. Pemohon keempat adalah Partai Nasional Demokrat dengan Nomor Perkara 55/PUU-X/2012.

Pokok permohonan mereka adalah UU No. 8 Tahun 2012 dianggap telah merugikan hak kontitusional pemohon karena mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat dan keterwakilan politik dalam pemilu. UU itu juga dianggap telah merusak kemajemukan atau kebhinekatunggalikaan dan persatuan, serta mengakibatkan entitas dan komunitas lokal tidak terwadahi dan tidak terwakili dalam DPR dan DPRD. UU tersebut dianggap telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil (fair legal uncertanty), menimbulkan kekacauan masyarakat, dan menyimpang dari

(12)

tujuan untuk membentuk UU yang lebih baik karena partai politik pemohon tidak mendapat jaminan dalam kepesertaan Pemilu 2014.

Argumentasi lain dari pemerintah mengatakan bahwa persoalan pembatasan hak politik, yaitu ketentuan PT dan ET merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Warga negara harus tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh UU untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil. Dengan demikian, menurut pemerintah, ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 2012 tersebut boleh diberlakukan dan bukan merupakan bentuk diskriminatif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana ketentuan PT dan ET dikaitkan dengan pembatasan hak politik

dalam sistem demokrasi di Indonesia?

2. Faktor-faktor apa yang memengaruhi pembatasan hak politik dalam PT dan ET pada sistem demokrasi di Indonesia?

3. Bagaimana ketentuan pembatasan hak politik melalui PT dan ET agar sesuai dengan sistem demokrasi di Indonesia?

Berdasarkan masalah penelitian tersebut, PT dan ET itu merupakan pembatasan hak politik warga negara yang mempunyai legitimasi konstitusional dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia untuk memperkuat sistem presidensiil. Sekalipun memiliki legitimasi konstitusional, apakah sudah mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi?

(13)

UUD NRI 1945 menyatakan, bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, yang kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UU Dasar.12 Undang-undang ini menegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan sebuah negara yang menganut paham demokrasi konstitusional. Paham demokrasi konstitusional mengandung arti bahwa kebebasan, perwakilan, dan pembatasan kekuasaan pemerintah bersandar pada dua dasar, yaitu demokrasi dan konstitusi.13 Oleh karena itu, prinsip dasar dalam suatu demokrasi adalah aturan mayoritas, sedangkan konstitusi diperlukan untuk mencegah potensi pelanggaran dari mayoritas.

Secara umum demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Salah satu prinsip demokrasi yang penting adalah adanya pemilu yang bebas sebagai perwujudan nyata kedaulatan rakyat atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan menunjukkan bahwa merealisasikan ide yang mulia tersebut tidaklah semudah mengucapkannya. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang demokratis dan konstitusional, bukan sekadar prosesi ritual. Prasyarat tersebut, antara lain, adalah tersedianya aturan main yang jelas dan adil bagi semua peserta, adanya penyelenggara yang independen dan tidak diskriminatif, adanya pelaksanaan aturan yang konsisten, dan adanya sanksi yang adil kepada semua pihak.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut.

1. Untuk menjelaskan dan menganalisis gagasan PT dan ET sebagai pembatasan hak politik dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia.

12 Pasal 1 ayat 2 Bab I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

13 Skidmore, Max J & Marshall Carter Tripp. “American Government A Brief Introduction”, 1998 dalam Marthen Napang Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2008, hlm. 35 Yusticia Press.

(14)

2. Untuk menjelaskan dan menganalisis pelaksanaan tentang PT dan ET sebagai pembatasan hak politik dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia. 3. Untuk menjelaskan dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi

penetapan PT dan ET sebagai pembatasan hak politik dalam sistem demokrasi di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoretis dan praktis berikut ini.

1. Manfaat Teoretis

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan pembatasan hak politik PT dan ET, sistem pemilu dan demokrasi di Indonesia, dan penerapannya dalam pemilu.

b. Memperkaya referensi dan merupakan pengayaan terhadap pengajaran hukum tata negara terkait dengan kajian pembatasan hak politik, PT dan ET, pelaksanaan pemilu, dan sistem demokrasi di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan kepada lembaga-lembaga negara yang berkewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam menata ulang pembatasan hak politik melalui PT dan ET yang sesuai dengan sistem demokrasi di Indonesia.

b. Memberikan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan bangsa Indonesia yang terkait dengan pembatasan hak politik.

(15)

E. Keaslian dan Kedalaman Penelitian

Sebagai hasil studi yang mengkaji “Pembatasan Hak Politik dalam Sistem Demokrasi di Indonesia: Studi tentang Formulasi Parliamentary Threshold dan

Electoral Threshold”, penelitian ini bukanlah merupakan studi yang baru sama

sekali, paling tidak ditemukan lima disertasi yang terkait dengan topik disertasi ini.

Pertama, disertasi Marzuki di Universitas Sumatra Utara pada tahun 2007

yang berjudul “Pengaruh Pemilu terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatra Utara”. Fokus penelitiannya adalah paradigma politik sistem pemilu proporsional stelsel daftar tertutup dan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka yang disertai dengan penetapan bilangan pembagi pemilih setelah era reformasi.

Kedua, disertasi Fauzan Ali Rasyid di Universitas Indonesia pada tahun 2007

yang berjudul “Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2004”. Fokus penelitiannya adalah faktor-faktor penyebab kemenangan yang diraih oleh keempat anggota Dewan Perwakilan Daerah Jawa Barat pada Pemilu 2004.

Ketiga, disertasi Marzuki Alie di Universitas Utara Malaysia pada tahun

2010 yang berjudul “Marketing Politik”. Fokus penelitiannya adalah fenomena kemunculan dan hilangnya partai politik serta pasang surutnya dukungan masyarakat pada partai politik dalam Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.

Keempat, disertasi Nunuk Nuswardani di Universitas Airlangga pada tahun

2009 yang berjudul “Wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai Judex Factie dalam Memutuskan Sengketa Hasil Pemilu”.

Kelima, disertasi Harsono Suwardi di Universitas Indonesia yang berjudul

“Pers dan Pemilu di Indonesia: Suatu Studi Komunikasi Politik terhadap Liputan Berita-Berita Kampanye Pemilu 1987 pada 10 Surat Kabar di Indonesia”.

(16)

Dengan merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu, disertasi ini dimaksudkan untuk meneliti topik yang belum diteliti oleh peneliti lain. Disertasi ini mengambil objek ketentuan PT dan ET dalam pelaksanaan pemilu legislatif di Indonesia yang berdasarkan pada asas-asas demokrasi Indonesia. Penelitian ini dipandang penting mengingat alasan berikut ini. Pertama, setiap akan dilaksanakan pemilu selalu terjadi perubahan peraturan perudang-undangannya, termasuk di dalamnya perubahan tentang ketentuan PT dan ET, yang berujung pada banyaknya permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan ketentuan tersebut.

Kedua, penelitian ini penting karena PT dan ET harus dibuat berdasarkan

prinsip yang terkandung di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 agar pelaksanaan pemilu berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang harus menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan pemilu.

Referensi

Dokumen terkait

Hak asasi Manusia sebenarnya sudah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa negara Indonesia sejak masa berdirinya, tidak bisa

Pengertian pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Momerandum DPR-GR 9 juni 1966 yang

Dengan adanya hukum yang di junjung tinggi itu, di harapkan dapat tercapai cita-cita bangsa yang termuat dalam pembukaan UUD 1945 alenia (4), yaitu ; melindungi segenap

Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali

Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara (konstitusi) yaitu UUD 1945 dan prinsipkedaulatan rakyat

Pasal inilah yang kemudian mengilhami konstitusi-konstitusi negara lain dalam pengaturan impeachment termasuk Pasal 7A Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa

Pemberian suara dalam pemilihan umum merupakan partisipasi politik aktif yang paling banyak dilakukan warga negara Dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi, rakyat

Metode kooperatif tipeexample non example adalah kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menemukan konsep pelajarannya sendiri melalui kegiatan mendeskripsikan