• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KITOSAN-UREA DENGAN PENAMBAHAN ASAM KLOROASETAT DAN GLUTARALDEHID SEBAGAI ADSORBEN ION LOGAM Cu 2+ MELALUI TEKNIK ADSORPSI FLUIDISASI SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KITOSAN-UREA DENGAN PENAMBAHAN ASAM KLOROASETAT DAN GLUTARALDEHID SEBAGAI ADSORBEN ION LOGAM Cu 2+ MELALUI TEKNIK ADSORPSI FLUIDISASI SKRIPSI"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KITOSAN-UREA DENGAN PENAMBAHAN ASAM KLOROASETAT DAN

GLUTARALDEHID SEBAGAI ADSORBEN ION LOGAM Cu2+

MELALUI TEKNIK ADSORPSI FLUIDISASI

SKRIPSI

NOURMALASARI AISYAH

PROGRAM STUDI S-1 KIMIA DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KITOSAN-UREA DENGAN PENAMBAHAN ASAM KLOROASETAT DAN

GLUTARALDEHID SEBAGAI ADSORBEN ION LOGAM Cu2+

MELALUI TEKNIK ADSORPSI FLUIDISASI

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SarjanaSains Bidang Kimia Pada Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga

NOURMALASARI AISYAH 080810054

Tanggal Lulus: 17 Juli 2012

Disetujui Oleh :

Pembimbing I

Dr. Ir. Suyanto, M.Si NIP. 19520217 198203 1 001

Pembimbing II

(3)

LEMBAR PENGESAHAN NASKAH SKRIPSI

Judul : Pembuatan dan Karakterisasi Kitosan-Urea dengan Penambahan Asam Kloroasetat dan Glutaraldehid Sebagai Adsorben Ion Logam Cu2+ Melalui Teknik Adsorpsi Fluidisasi

Penyusun : Nourmalasari Aisyah

NIM : 080810054

Tanggal Ujian : 17 Juli 2012

Pembimbing I

Dr. Ir. Suyanto, M.Si NIP. 19520217 198203 1 001

Pembimbing II

Siti Wafiroh, S.Si, M.Si NIP. 19681209 199411 2 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi S-1 Kimia Departemen Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

(4)

PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI

Skripsi ini tidak dipublikasikan, namun tersedia di perpustakaan dalam

lingkungan Universitas Airlangga, diperkenankan untuk dipakai sebagai referensi

kepustakaan, tetapi pengutipan harus seizin penyusun dan harus menyebutkan

sumbernya sesuai kebiasaan ilmiah. Dokumen skripsi ini merupakan hak milik

(5)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pembuatan dan

Karakterisasi Kitosan-Urea dengan Penambahan Asam Kloroasetat dan

Glutaraldehid Sebagai Adsorben Ion Logam Cu2+ Melalui Teknik Adsorpsi

Fluidisasi. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW

karena berkat perjuangan beliau dan para sahabatnya, penyusun bisa menikmati indahnya iman.

Penyusun menyadari bahwa penulisan naskah skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu penyusun menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Suyanto, M.Si selaku pembingbing I dan Ibu Siti Wafiroh, S.Si, M.Si selaku pembingbing II yang telah memberikan ide, saran, koreksi, doa dan bimbingan sampai terselesaikan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Mulyadi Tandjung, M.S selaku penguji I dan Ibu Dr. Muji Harsini, M.Si selaku penguji II yang telah memberikan saran, doa, dan bimbingan hingga terselesaikan skripsi ini.

3. Ibu Dr. Afaf Baktir selaku Dosen Wali yang senantiasa membimbing serta

memberikan banyak masukan selama kegiatan kuliah.

4. Ibu Dr. Alfinda Novi Kristanti, DEA selaku Ketua Departemen Kimia yang senantiasa memberikan dukungan.

5. Seluruh staf pengajar Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, atas ilmu yang telah diberikan.

6. Bapak Nono Mariyono dan Ibu Lusy Sawitri, serta kakak dan adik yang telah memberikan kasih sayang, dukungan moral dan spiritual serta doa yang senantiasa mengalir demi kesuksesan anak-anaknya.

(6)

7. Ardana Yudistira Aulia yang telah banyak memberikan doa dan bantuan selama kegiatan menyelesaikan skripsi.

8. Teman-teman kimia angkatan 2008 khususnya Puji Lestari, Asri Zulchana,

Vridayani Anggi, Ryan Rachmawan, Ayu Eprilita, Yan Polan, Nadya Aisya, Jemmy Mahesa, Reylah Mustika, Della Ratna, Laras Risqoniah, Riza Damayanti, Siti Mariam, Wike Arnovia, Ariesta Faulina, Faiz Tamami, M.Avi, Farradhina Choria, Ratih Kusuma.

9. Teman-teman KKN Somber khususnya Gerry Maulana, Neni Oktavia, Rara Gendis, Darari Rahmantya, Nanda Firmanda, Isnaini Septi, Titis Rieski, dan Wisudawan, yang banyak memberikan dukungan pada penulis selama mengerjakan skripsi.

10.Teman-teman angkatan 2008, 2009, 2010 yang senantiasa menemani dalam menuntut ilmu dalam perkuliahan.

11.Teman-teman yang telah membantu pada proses pembuatan kolom fluidisasi,

terimakasih untuk semangat serta saran yang telah diberikan.

Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan naskah skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini. Penyusun berharap naskah skripsi ini dapat bermanfaat dan

sedikit memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di negeri ini.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Surabaya, Juli 2012 Penyusun,

(7)

Aisyah, N., 2012, Pembuatan dan Karakterisasi Kitosan-Urea dengan Penambahan Asam Kloroasetat dan Glutaraldehid Sebagai Adsorben Ion Logam Cu2+ Melalui Teknik Adsorpsi Fluidisasi. Skripsi ini di bawah bimbingan Dr. Ir. Suyanto, M.Si., dan Siti Wafiroh, S.Si, M.Si., Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK

Kitosan merupakan biopolimer dengan kemampuan adsorpsi terhadap ion logam yang sangat baik. Modifikasi kitosan banyak dilakukan sebagai upaya meningkatkan kemampuan adsorpsi terhadap ion logam. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pembuatan kitosan-urea dengan penambahan asam kloroasetat, glutaraldehid dan urea, serta kemampuan kitosan-urea dalam mengadsorpsi ion logam Cu2+ melalui metode adsorpsi fluidisasi. Pada penelitian ini, senyawa turunan kitosan yaitu kitosan urea disintesis melalui dua tahap, tahap pertama o-carboksimetilasi dan modifikasi dengan penambahan glutaraldehid- urea. Karakterisasi senyawa kitosan dan kitosan-urea dilakukan menggunakan spektroskopi FT-IR dan pengukuran kadar ion logam Cu2+ hasil adsorpsi dianalisis menggunakan AAS pada panjang gelombang maksimal 324.75 nm. Proses transformasi kitosan setelah penambahan asam kloroasetat terlihat pada perubahan struktur pada gugus hidroksil menghasilkan karboksi metil kitosan. Penambahan glutaraldehid-urea pada karboksi metil kitosan mensubstitusi pada gugus amina. Modifikasi kitosan menjadi kitosan-urea digunakan sebagai adsorben ion logam Cu2+. Proses adsorpsi dilakukan menggunakan metode adsorpsi fluidisasi dengan mengontakkan 0.5 gram adsorben kitosan-urea dengan 200 ml larutan yang mengandung ion logam Cu2+ dengan waktu kontak selama 20 hingga 100 menit. Metode adsorpsi fluidisasi lebih efektif, hal ini terlihat dari hasil kapasitas adsorpsi kitosan pada ion logam Cu2+ sebesar 34.51 mg/g dalam waktu adsorpsi 180 menit, dan kapasitas adsorpsi kitosan-urea sebesar 35.76 mg/g dalam waktu adsorpsi 80 menit.

Kata kunci : kitosan, modifikasi kitosan, asam kloroasetat, glutaraldehid,

(8)

Aisyah, N., 2012, Synthesize and Characterisation Chitosan-Urea With Addition of Chloroacetic acid and Glutaraldehyde as Adsorbent Cu 2+ Ion by Fluidization Adsorption Technique. This study is under guidance of Dr. Ir. Suyanto, M.Si., and Siti Wafiroh, S.Si, M.Si., Department of Chemistry, Science and Technology Faculty, Universitas Airlangga.

ABSTRACT chitosan-urea modified chitosan derivatives were synthesizes through two steps, o-carboxymethylated first and then modified by the addition of glutraldehyde-urea Characterization of chitosan and chitosan-urea performed by FT-IR spectroscopy and determination of Cu2+ metal ions adsorption results were analyzed using AAS at wavelength of 324.75 nm. The chitosan transformation process after addition of chloroasetic acid changes in the structure of the hydroxyl group then produce carboxy methyl chitosan. The addition of glutaraldehyde-urea in the carboxy methyl chitosan substituting on the amine group. Modifications chitosan into chitosan-urea is used as adsorbent of metal ions Cu2+. The process adsorption by fluidization adsorption method using 0.5 grams of adsorbent chitosan-urea in 200 ml solution containing metal ions Cu2+ with the contact time for 20 to 100 minutes. Fluidization adsorption method is considered as an effective method. This is evident from the result of the adsorption capacity of chitosan on the metal ions Cu2+ at 34.51 mg/g in the adsortption time of 180 minutes, and the adsorption capacity of chitosan-urea of 35.76 mg/g in the adsorption time of 80 minutes.

Keywords : chitosan, modified chitosan, chloroacetic acid, glutaraldehyde,

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

2.3Karakterisasi Kitin dan Kitosan ... 14

2.4Kitosan Termodifikasi ... 18

2.5Urea ... 20

2.6Logam Berat ... 21

2.7Logam Tembaga ... 22

2.8Adsorpsi... 23

2.9Teknik Adsorpsi Fluidisasi ... 24

2.10Spektroskopi FTIR ... 27

2.11AAS ... 28

BAB III METODE PENELTIAN ... 30

3.1Tempat dan Waktu Penelitian ... 30

(10)
(11)

3.2.1Bahan-bahan penelitian ... 30

3.2.2Alat-alat penelitian ... 30

3.3Diagram Kerja ... 31

3.4Pembuatan Reagen ... 32

3.5Prosedur Penelitian ... 34

3.5.1Preparasi serbuk cangkang rajungan ... 34

3.5.2Pembuatan kitosan dari kitin ... 34

3.5.3Karakterisasi kitin dan kitosan ... 36

3.5.4Pembuatan kitosan-urea ... 37

3.5.5Proses adsorpsi ... 38

3.5.6Penentuan kapasitas adsorpsi logam Cu2+ dalam kitosan-urea ... 39

3.5.5 Penentuan ukuran pori adsorben kitosan-urea ... 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

4.1Hasil Preparasi Serbuk Cangkang Rajungan ... 41

4.2Hasil Pembuatan Kitosan dari Kitin ... 41

4.2.1Tahap isolasi kitin dari cangkang rajungan ... 41

4.2.2Hasil transformasi kitin menjadi kitosan ... 44

4.3Hasil Karakterisasi Kitin dan Kitosan ... 46

4.3.1Hasil uji kelarutan kitosan ... 46

4.3.2Hasil penentuan berat molekul rata-rata kitsoan ... 47

4.3.3Hasil penentuan derajat deasetilasi dengan FTIR ... 47

4.4Hasil Pembuatan Kitosan-urea ... 50

4.4.1Hasil pembuatan karboksi metil kitosan ... 50

4.4.2Hasil pembuatan karboksi metil kitosan dan glutaraldehid-urea ... 53

4.5Hasil Proses Adsorpsi ... 60

4.5.1Pembuatan kurva standar Cu ... 62

4.5.2Pengukuran kadar ion logam Cu2+ hasil adsorpsi ... 63

4.5.3Hasil penentuan kapasitas adsorpsi ion logam Cu2+ dalam kitosan-urea ... 66

4.5.4Hasil analisa BET pengukuran pori kitosan-urea ... 68

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

2.1 Komposisi cangkang rajungan ... 9

4.1 Gugus fungsi dan bilangan gelombang kitin dan

kitosan ... 48

4.2 Gugus fungsi dan bilangan gelombang senyawa

organik dan karboksi metil kitosan ... 53

4.3 Gugus fungsi dan bilangan gelombang senyawa

organik dan kitosan-urea ... 60

4.4 Adsorpsi ion logam Cu2+ dari kitosan pada beberapa penelitian menggunakan senyawa turunan kitosan... 67

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman

2.1 Struktur kitin ... 8

2.2 Struktur kitosan ... 10

2.3 Mekanisme transformasi kitin menjadi kitosan ... 11

2.4 Spektrum FTIR senyawa kitosan ... 15

2.5 Mekanisme reaksi karboksi metil kitosan ... 19

2.6 Mekanisme crosslinked karboksi metil kitosan glutaraldehid-urea ... 20

2.7 Kolom fluidisasi ... 27

2.8 Proses atomisasi pada AAS ... 29

3.1 Kolom fluidisasi pada penelitian ... 39

4.1 Serbuk cangkang rajungan ... 41

4.2 Reaksi deproteinasi ... 42

4.3 Reaksi demineralisasi ... 43

4.4 Reaksi deasetilasi ... 45

4.5 Serbuk kitosan ... 46

4.6 Kelarutan kitin (a) dan kitosan (b) ... 47

4.7 Spektrum FT-IR kitin ... 48

4.8 Spektrum FT-IR kitosan... 49

4.9 Karboksi metil kitosan ... 51

4.10 Struktur senyawa karboksi metil kitosan ... 52

4.11 Spektrum FT-IR karboksi metil kitosan... 52

4.12 Struktur glutaraldehid... 54

4.13 Struktur urea ... 54

4.14 Mekanisme reaksi glutaraldehid dan urea ... 55

4.15 Kitosan-urea ... 56

(14)

4.16 Mekanisme reaksi pembentukan kitosan-urea ... 57

4.17 Hipotesis struktur kitosan-urea ... 59

4.18 Spektrum FT-IR kitosan-urea ... 59

4.19 Kolom adsorpsi fluidisasi ... 61

4.20 Kurva standar Cu ... 62

4.21 Grafik adsorpsi ion logam Cu2+ oleh kitosan... 63

4.22 Grafik adsorpsi ion logam Cu2+ oleh kitosan-urea ... 64

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Lampiran

1 Data hasil perubahan massa cangkang rajungan pada proses isolasi

kitin menjadi kitosan

2 Data penentuan berat molekul kitosan rata-rata kitosan

3 Data hasil karakterisasi FTIR kitin dan kitosan organik dan

karboksi metil kitosan

4 Data hasil adsorpsi ion logam Cu2+ oleh kitosan dan kitosan-urea

5 Data hasil penentuan kapasitas adsorpsi ion

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Logam berat di lingkungan perairan sebagian besar menyebabkan

kerusakan parah, yang berakibat pada kehidupan manusia dan lingkungan

perairan. Pencemaran logam berat dianggap sebagai bahan yang tidak dapat

didegradasi. Senyawa organik beracun dan logam berat sebagian besar berasal

dari kegiatan industri, seperti industri elektroplating, dan metalurgi (Vega et al,

2006). Toksisitas dari pencemaran yang terus menerus mencemari lingkungan

akan sangat berbahaya bagi kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya (Jang

et al, 2005). Oleh karena itu, logam berat harus diolah sehingga memenuhi standar

ambang batas sebelum dibuang kewilayah perairan. Tembaga (Cu2+) merupakan

ion logam yang mendapat perhatian utama sebagai bahan pencemar lingkungan,

karena secara luas digunakan dalam pembuatan pupuk, penyulingan minyak bumi,

cat dan pigmen, kertas dan pulp, pengecoran, industri elektroplating. Penyerapan

Cu2+ yang berlebihan didalam tubuh (lebih dari 1.0 mg / L pada air minum) dapat

menyebabkan anemia, hemolitik, kelainan neurologis dan kerusakan kornea

(Massaro, 2003).

Berbagai metode physico-chemical termasuk filtrasi, pertukaran osmosis

(Ning, 2002), electrochemical treatment (Chen et al, 2002), pertukaran ion,

karbon aktif (Hu et al, 2003), adsorpsi, dan teknologi membran (Reddad et al,

2003), koagulasi dan flokulasi yang digunakan untuk mengurangi dan

(17)

sebagai pretreatment, posttreatment atau metode utama dalam penanganan

limbah. Namun, metode ini memiliki banyak kelemahan. Sebagai contoh,

pertukaran ion adalah metode yang efisien, tetapi tidak hanya menghilangkan ion

logam berat tetapi terjadi pertukaran Ca2+ dan Mg2+ (Li et al, 2008). Beberapa

teknologi ini termasuk dalam teknologi dengan biaya yang relatif mahal. Beberapa

metode tersebut tidak efektif terutama pada ion logam berat dengan konsentrasi

yang lebih rendah dai 100 mg/L logam. Upaya pengurangan Cu2+ dari air limbah

telah banyak diselidiki. Pada berbagai penelitian telah banyak diselidiki manfaat

dari polimer sebagai bahan alternatif yang efisien dan ekonomis, serta proses

adsorpsi yang secara khusus digunakan dalam pengolahan air (Copello et al,

2008).

Adsorpsi adalah metode yang sangat efektif untuk menghilangkan limbah

beracun dari limbah yang mengandung logam berat, terutama karena kemudahan

proses dan biaya yang murah sebagai adsorben alami seperti limbah pertanian,

bahan pembuatan tanah liat, biomassa dan pengolahan limbah hasil laut.

Penggunaan biopolimer sebagai adsorben ion logam telah banyak dilakukan.

Menurut Ravi dan Muzarelli tahun 2004, kitosan adalah biopolimer yang berasal

dari kitin dan dapat diaplikasikan secara luas dalam pengolahan air limbah,

industri kimia, biomedis dan farmasi. Kitosan diperoleh dari proses deasetilasi

kitin yang memiliki manfaat lebih luas. Kitosan tidak beracun, bersifat

bioadsorben dan memiliki berbagai macam fungsi biologis termasuk

antitrombogenik, meningkatkan imunitas, homeostatik, dan penyembuhan luka

(18)

Kitosan telah digunakan secara luas sebagai adsorben untuk mengurangi

pencemaran air yang terkontaminasi logam berat. Kitosan memiliki kemampuan

mengikat logam beracun lebih dari 1 mmol / gram. Kemampuan pengikatan

kitosan terhadap logam tertentu lebih besar dibandingkan dengan karbon aktif

(Varma et al, 2004). Besarnya adsorpsi kitosan tergantung pada sumber kitosan,

derajat deasetilasi, sifat dari ion logam dan pH larutan (Cestari et al, 2005).

Biopolimer kitosan mudah diperoleh dari deasetilasi kitin, sebuah

mukopolisakarida alami yang banyak ditemukan dalam eksoskeleton serangga,

cangkang crustaceae dan dinding sel jamur (Arica et al, 2004). Rajungan sebagai

salah satu komoditas ekspor sektor perikanan Indonesia yang dijual dalam bentuk

kemasan dalam kaleng. Proses pengemasan ini menghasilkan limbah kulit

(cangkang) dalam jumlah besar, sekitar 40-60% dari total berat rajungan (Rahayu

dan Purnavita, 2004). Semakin banyak limbah rajungan yang belum dimanfaatkan

secara maksimal, perlu adanya solusi. Sehingga dapat mengurangi permasalahan

lingkungan, seperti bau dan estetika yang kurang baik, yang nantinya memberikan

nilai tambah bagi usaha pengolahan rajungan (Rahayu dan Purnavita, 2004).

Limbah cangkang rajungan masih mengandung senyawa kimia cukup

banyak yaitu protein, mineral dan kitin. Kitin adalah polimer alam yang tidak larut

dalam air, sehingga penggunaannya terbatas. Namun dengan modifikasi kimia

dapat diperoleh senyawa turunan kitin yang mempunyai sifat kimia dan efek yang

lebih baik, yaitu kitosan (Ramesh et al, 2008).

Kitosan terdiri dari β-(1,4)-2-acetamido-2-deoxy-β-D-glucose dan unit β-

(19)

reaktif serta dapat menyerap ion logam pada larutan netral. Hal ini secara

signifikan mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi secara fisik maupun kimia.

Yang termasuk dalam modifikasi kimia adalah cross-lingking (meningkatkan

stabilisasi polimer dalam larutan asam) (Piron et al, 1997), dan penambahan

gugus fungsi (memperbanyak bidang adsorpsi) (Martins et al, 2004). Modifikasi

yang banyak dilakukan para peneliti adalah dengan cara crosslinked antar rantai

atau mengubahnya dalam bentuk garam (Purwatiningsih, 2009). Beberapa macam

bahan yang digunakan untuk crosslinking adalah glutaraldehid (Wan Ngah et al,

2006), epiklorohidrin dan etilenglikol diglisidil eter (Ngah et al, 2002). Diantara

senyawa turunan kitosan, percabangan gugus fungsi karboksil mampu

meningkatkan daya adsorpsi dari kitosan. Crosslinked pada kitosan dengan

penambahan glutaraldehid mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi dari adsorben

(Sun dan Wang, 2005). Screenivasan tahun 2009, pada penelitiannya

menggunakan kitosan tercrosslinked glutaraldehid dan epiclorohydrin yang

mampu meningkatkan penyerapan ion logam Cu2+ sebanyak 82%. Kitosan juga

memiliki kemampuan untuk menyerap ion logam Cu2+ dan Cr4+ yang terdapat

pada limbah (Schmuhl et al, 2001).

Proses adsorpsi logam berat secara umum menggunakan metode batch

atau sistem aliran silang. Metode batch memiliki beberapa kelemahan, yaitu

jumlah adsorben yang banyak akibat penampungan larutan dan adsorben dari

batch ke batch berikutnya, pemurnian yang kurang merata terhadap adsorben,

serta efisiensi terhadap waktu penyerapan logam terhadap adsorben (Crittenden,

(20)

proses adsorpsi, diantaranya adalah teknik adsorpsi fluidisasi (fluidized bed

adsorption) yaitu teknik adsorpsi dalam media kolom dengan aliran gas secara

kontinyu melalui bed penahan adsorben. Fluidisasi digambarkan sebagai proses

kontak antara solid dengan fluid. Fluidisasi merupakan proses pengontakan bahan

padat dengan fluida sehingga sifatnya berubah menyerupai sifat fluida. Kelebihan

dari teknik adsorpsi fluidisasi adalah pergerakan adsorben dalam bagian kolom

sebagai akibat adanya proses aliran gas dalam kolom, mampu mengadsorpsi ion

logam dalam larutan secara maksimal, serta efisiensi waktu yang lebih baik

(Crittenden, 1998).

Pada penelitian sebelumnya, kitosan murni digunakan sebagai adsorben

pada ion logam Cu2+ yang menghasilkan kapasitas adsorpsi maksimal sebesar

37,88 mg/gr dan penyerapan pada ion logam Pb2+ menghasilkan kapasitas

adsorpsi maksimal sebesar 13,05 mg/g (Chen et al, 2008). Wang tahun 2010,

dalam penelitiannya menggunakan kitosan termodifikasi glutaraldehid dan tiourea

mampu mengadsorpsi ion logam Hg2+ dengan kapasitas adsorpsi sebesar 6,29

mmol/g. Chen tahun 2009, menggunakan kitosan termodifikasi glutaraldehid dan

crosslinked logam mampu mengadsorpsi ion Cu2+ dengan kapasitas adsorpsi

sebesar 33,00 mg/gr.

Pada penelitian ini akan disintesis kitin dari cangkang rajungan, melalui

tahap deproteinasi, demineralisasi dan depigmentasi. Kemudian melalui proses

deasetilasi kitin ditransformasi menjadi kitosan. Kitosan yang diperoleh

dimodifikasi menjadi kitosan-urea dengan penambahan asam kloroasetat,

(21)

diharapkan mampu meningkatkan kemampuan adsorpsi dari adsorben kitosan-

urea. Kitosan-urea yang telah disintesis digunakan sebagai adsorben ion logam

Cu2+ dengan teknik adsorpsi fluidisasi. Kitin, kitosan, dan kitosan-urea

dikarakterisasi dengan menggunakan FT-IR, larutan logam Cu2+ dianalisis

menggunakan AAS, dan adsorben kitosan-urea dianalisis menggunakan uji BET.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat

dirumuskan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana mensintesis kitosan-urea dengan penambahan asam

kloroasetat dan glutaraldehid sebagai agen crosslinked ?

2. Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi urea pada sintesis kitosan-

urea sebagai adsorben ion logam Cu2+ dari hasil kapasitas adsorpsi dan

variasi waktu kontak dalam menyerap ion logam Cu2+ melalui proses

adsorpsi fluidisasi ?

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mensistesis kitosan-urea dengan penambahan asam kloroasetat dan

glutaraldehid sebagai agen crosslinked

2. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi urea pada sintesis kitosan-

urea sebagai adsorben ion logam Cu2+ dan variasi waktu kontak

(22)

1.4 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan suatu metode yang

efektif untuk mengurangi ion logam Cu2+ di perairan sehingga bermanfaat untuk

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kitin

Kitin disebut sebagai polisakarida linear (1,4)-2-acetamida-2-deoksi- β

-D-glukosa atau poli-(β-1,4-N-asetilglukosamin) yang merupakan polisakarida alami

dengan kelimpahan terbesar kedua setelah selulosa (Khor, 2010). Kitin dengan

rumus molekul (C8H13NO5)n tersusun atas 47% C, 6% H, 7% N dan 40%

O. Struktur kitin menyerupai selulosa dan hanya berbeda pada gugus yang terikat

di posisi atom C2. Gugus C2 pada selulosa adalah gugus hidroksil, sedangkan

pada C2 kitin adalah gugus N-asetil (-NHCOCH3, asetamida) (Kim, 2011).

Gambar 2.1 Struktur kitin

Kitin adalah senyawa yang berwarna putih, elastis, polisakarida nitrogen

dengan biodegradasi, biokompatibilitas, bersifat nontoksik, dan dapat

diaplikasikan sebagai adsorben pada adsorpsi logam (No dan Meyers, 2000).

Sumber kitin yang sangat potensial adalah kerangka luar Crustacea (seperti

udang, rajungan, dan lobster), serangga, dinding yeast dan jamur, serta mollusca

(24)

Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor sektor perikanan

Indonesia yang dijual dalam bentuk rajungan beku atau kemasan daging dalam

kaleng. Pada proses pengambilan dagingnya, dihasilkan limbah kulit (cangkang)

cukup banyak, jumlahnya mencapai sekitar 40-60% dari total berat rajungan

(Rahayu dan Purnavita, 2004). Limbah cangkang rajungan mengandung senyawa

kimia yaitu protein, mineral dan kitin. Komposisi dari cangkang rajungan

ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi cangkang rajungan

Komposisi Jumlah kandungan (%)

Kadar air 5,50

Kadar abu 48,43

Kadar protein 40,53

Kitin 15,04

Kadar Asetil 88,12

Sumber : Hartati (2002)

Berdasarkan sifatnya yang tidak larut dalam air, penggunaan kitin sangat

terbatas. Namun dengan modifikasi struktur kimianya kitin memiliki sifat yang

lebih baik sehingga dapat dimanfaatkan secara luas.

Menurut Khor (2010) proses isolasi kitin dan pembuatan kitosan adalah

sebagai berikut :

1. Deproteinasi

Kitin didalam cangkang luar dari crustaceae berikatan dengan kalsium

karbonat (CaCO3) dan protein. Pada cangkang mengandung 30-40% protein dari

komponen organik total. Protein terikat secara fisik dan sebagian lainnya terikat

secara kovalen. Kadar protein dari crustaceae beragam tergantung dari jenisnya.

(25)

umum dilakukan pada suasana basa, dengan reagen seperti NaOH, Na2CO3, KOH,

NaHSO3.

2. Demineralisasi

Kandungan mineral cangkang crustaceae umumnya sebanyak 30-50%

mineral, dengan mineral terbanyak yaitu CaCO3. Mineral lain yaitu Ca3(PO4)2

dengan kadar 8-10% dari total bahan organik. Karena garam-garam anorganik

terikat secara fisik, senyawa CaCO3 lebih mudah dipisahkan dibanding protein.

Demineralisasi secara umum dilakukan dengan larutan HCl atau asam lain seperti

H2SO4.

3. Depigmentasi

Depigmentasi adalah proses pemutihan (bleaching) pada kitin hasil

demineralisasi dan deproteinasi. Penghilangan warna dari kitin adalah dengan

menggunakan aseton.

2.2 Kitosan

Kitosan disebut juga poli(1,4)-2-amina-2-deoksi-β-D-glukosa atau poli-(β-

1,4-N-asetilglukosamine) (Khor, 2010). Kitosan merupakan senyawa kitin yang

dihilangkan gugus asetilnya dan terdeasetilasi sebanyak mungkin, secara teoritis

kandungan gugus asetil pada kitin adalah 21,2% (Sugita, 2006).

(26)

Deasetilasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan basa kuat

NaOH dan KOH. Namun penggunaan KOH dapat memutuskan ikatan hidrogen

yang kuat antar rantai kitin (Khor, 2010).

Gambar 2.3. Mekanisme transformasi kitin menjadi kitosan

Metode penyediaan kitosan pertama kali dibuat oleh Hope Seyler pada

tahun 1894 yaitu dengan merefluks kitin dalam larutan kalium hidroksida pada

temperatur 180oC.

Senyawa kitin dan kitosan dapat dibedakan berdasarkan gugus asetamida

pada karbon kedua (C2) dalam struktur molekulnya. Pada kitosan, sebagian besar

gugus asetil digantikan dengan atom hidrogen melalui reaksi hidrolisis dengan

alkali pekat. Adanya gugus amina menjadikan kitosan bermuatan parsial positif.

Hal ini menyebabkan kitosan dapat larut dalam larutan asam hingga netral. Selain

(27)

bermuatan parsial negatif seperti minyak, lemak, dan protein (Puspawati dan

Simpen, 2010).

2.2.1 Sifat kitosan

Sifat fisiko-kimia kitosan yaitu berwarna putih dan berbentuk serpihan

seperti bubuk. Kitosan larut dengan baik dalam larutan asam asetat 1-2%, selain

itu kitosan larut dalam HCl encer, HNO3 encer, H3PO4 0,5% dan tidak larut dalam

asam pekat dan basa kuat. Pada suasana asam, gugus amino (-NH2) kitosan akan

menangkap H+ dari lingkungannya, sehingga gugus amino terprotonasi menjadi –

NH3+. Gugus -NH3+ inilah yang menyebabkan kitosan bertindak sebagai garam,

sehingga dapat larut dalam air. Sebagai informasi bahwa kelarutan kitosan

bergantung pada berat molekul, derajat deasetilasi, karakteristik rantai samping.

Derajat deasetilasi dan berat molekul berperan penting dalam kelarutan kitosan,

sedangkan derajat deasetilasi menunjukkan kemampuan kitosan untuk dapat

berinteraksi isoelektrik dengan molekul lain (Wibowo, 2006).

Adanya gugus amina pada kitosan menunjukkan kapasitas dan kemampuan

adsorpsi kitosan terhadap ion logam (tembaga) dibandingkan dengan kitin. Hal ini

dikarenakan jumlah gugus amina bebas (sebanding dengan derajat deasetilasi)

kitosan yang ada untuk pengkhelatan lebih banyak dibanding pada kitin, sehingga

kemampuan kitosan dalam menyerap ion logam lebih besar dari pada kitin

(Agusnar, 2006).

2.2.2 Manfaat kitosan

Kitosan memiliki potensi besar untuk dapat diaplikasikan pada berbidang

(28)

pangan, kosmetik, industri tekstil, industri kertas, dan industri elektronika.

Aplikasi khusus dari kitosan antara lain pada pengolahan limbah cair adalah

sebagai bahan bersifat resin penukar ion untuk meminimalisasi logam-logam

berat, mengkoagulasi minyak/lemak, serta pada industri pangan sebagai penstabil

minyak, rasa dan lemak (Ramesh, 2008). Kitosan tidak beracun, dengan

bifungsionalitas yang tinggi pada bidang kesehatan termasuk anti thrombogenic

dan agen penyembuh luka (Tang, et al 2003). Pada bidang kesehatan lainnya,

aplikasi kitosan adalah sebagai agen penurun kolesterol (Ormrod et al, 1998), dan

sebagai pereduksi berat badan (Ernst dan Pitler, 1998).

Kitosan telah banyak digambarkan sebagai polimer alami yang digunakan

sebagai adsorben ion logam (Volda et al, 2003). Banyaknya atom nitrogen dalam

kitosan memungkinkan penyerapan ion logam melalui berbagai mekanisme

seperti khelasi dan pertukaran ion, yang bergantung pada ion logam dan pH

larutan (Guibal, 2004). Kemampuan kitosan untuk mengikat logam dengan cara

pengkhelat adalah dihubungkan dengan kadar nitrogen yang tinggi pada rantai

polimernya. Kitosan mempunyai satu amino linier dalam setiap unit glukosa.

Kumpulan amino ini mempunyai sepasang elektron bebas yang dapat membentuk

ikatan aktif dengan kation-kation logam. Unsur nitrogen dalam pada setiap

monomer kitosan adalah sisi yang aktif dengan kation logam (Hutahahean, 2001).

Salah satu aplikasi kitosan sebagai adsorben adalah pada proses penjernihan air.

Pada proses ini diperlukan mutu kitin dan kitosan yang tinggi, sedangkan

pada bidang kesehatan diperlukan kemurnian yang tinggi. Kitosan sebagai

(29)

hidrogel, dan membran (film). Kitosan sebagai adsorben sering dimanfaatkan

untuk proses adsorpsi ion logam berat dan beracun seperti merkuri, timah,

tembaga, dan sebagai pengikat zat warna tekstil dalam air limbah. Besarnya

afinitas kitosan dalam mengikat ion logam sangat bergantung pada karakteristik

makrostruktur kitosan yang dipengaruhi oleh sumber dan kondisi pada proses

isolasi. Perbedaan bentuk kitosan akan berpengaruh pada luas permukaannya.

Semakin kecil ukuran kitosan, maka luas permukaan kitosan akan semakin besar,

dan proses adsorpsi pun dapat berlangsung lebih baik (Purwatiningsih, 2009).

2.3 Karakterisasi Kitin dan Kitosan

1. Uji Kelarutan

Kelarutan kitin dan kitosan dapat dianalisis dengan cara melarutkan kitin

dan kitosan dalam asam asetat 0,75%. Apabila serbuk tersebut tidak larut maka

serbuk tersebut adalah kitin. Sedangkan kitosan larut dalam asam asetat encer

(Kuntoro, 2004).

2. Derajat Deasetilasi

Melalui tahap deproteinasi dan demineralisasi, kitin yang diperoleh tidak

larut dalam sebagian pereaksi kimia. Untuk memudahkan kelarutannya kitin

dideasetilasi menjadi kitosan. Bertambahnya gugus amino (NH2) pada kitosan

meningkatkan kemampuan absorpsi didalamnya. Peningkatan kelarutan

berbanding lurus dengan peningkatan derajat deasetilasi, karena pada proses

deasetilasi gugus asetil pada kitin dipotong. Ion H pada gugus amina menjadikan

(30)

Pada penentuan derajat deasetilasi digunakan spektroskopi FTIR. Derajat

deasetilasi ditentukan dengan metode baseline, dihitung dari nilai perbandingan

pita serapan antara puncak absorbansi absorbansi gugus amida pada daerah sekitar

1655 cm-1 dan puncak absorbansi gugus hidroksi pada daerah sekitar 3450 cm-1.

Puncak tertinggi diukur dari garis dasar. Perbandingan 2 gugus fungsi tersebut

ditentukan dengan cara membuat garis lurus dari 1800 cm-1 hingga 1600 cm-1

sebagai garis dasar bagi pita gugus amida dan membuat garis lurus dari 4000 cm-1

hingga 2500 cm-1 sebagai garis dasar pita gugus hidroksil (Khopkar, 2007).

Derajat deasetilasi kitosan dapat diukur melalui beberapa metode. Metode

yang banyak digunakan adalah metode garis dasar Fourier Transform Infra Red

Spectrometry (FTIR) yang pertama kali diajukan oleh Moore dan Robert pada

tahun 1977. Keuntungan dari teknik ini adalah waktu yang relatif cepat, efisien

karena tidak perlu murni, dan dengan tingkat ketelitian yang tinggi dibandingkan

dengan teknik titrimetri atau metode spektroskopi lainnya (Khopkar, 2007).

(31)

Puncak tertinggi diukur dari garis dasar yang dipilih. Nilai absorbansi

dapat ditentukan dengan persamaan :

Po

dimana :

A = log (

P ) (1)

A = absorbansi cuplikan

Po = % absorbansi pada garis dasar

P = % absorbansi pada puncak minimum

Derajat deasetilasi ditentukan untuk mengetahui seberapa besar kitin yang

sudah berubah menjadi kitosan. Derajat deasetilasi kitosan ditentukan melalui

persamaan berikut :

DD = 100 – [(A1655 / A 3450 ) x 115] (2)

Nilai 115 menunjukkan rumus empiris berdasarkan data-data yang sudah

dicoba yang menyatakan hubungan yang sama untuk deasetilasi menentukan

derajat deasetilasi secara sempurna (Khan, 2002).

Semakin banyak gugus asetil yang dihilangkan, maka semakin tinggi nilai

derajat deasetilasinya. Kitosan dengan derajat deasetilasi 70-90% dinamakan

kitosan pasaran (Puspawati dan Simpen, 2010).

3. Berat Molekul Rata-rata (BM)

Metode viskosimetri adalah metode yang umum digunakan untuk

menentukan berat molekul rata-rata suatu polimer. Pengukuran berat molekul

rata-rata kitosan dilakukan dengan cara pengukuran viskositas larutan dengan

pembanding viskositas dari pelarut murni (Billmeyer, 1994). Alat yang

(32)

waktu yang diperlukan cairan tertentu untuk melalui pipa kapiler dengan gaya

yang disebabkan oleh berat cairan itu sendiri, hal tersebut terjadi akibat adanya

perbedaaan tekanan antara kedua ujung pipa U yang besarnya diasumsikan

sebanding dengan berat jenis cairan (Bird, 1993). Penentuan berat molekul dapat

diketahui melalui persamaan :

η1 − η2 t − to

ηsp =

η2 = to (3)

viskositas spesifik yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan viskositas

intrinsik melalui persamaan Huggins (Billmeyer, 1994) sebagai berikut :

5sp

= [5] + k[5′]2 (4)

C

Keterangan :

ηsp : viskositas spesifik

η1 : viskositas pelarut

η2 : viskositas larutan

t : waktu alir larutan (detik)

to : waktu alir pelarut (detik)

η’ : viskositas intrinsik

C : konsentrasi

k : konstanta

untuk menghitung berat molekul rata-rata maka viskositas intrinsic disubstitusikan

kedalam persamaan Mark-Houwink Sakurada, sebagai berikut :

(33)

Nilai K dan a untuk kitosan adalah 1,40 x 10-4 dan 0,83. Dari persamaan

Mark-Houwink Sakurada dapat diperoleh nilai massa molekul rata-rata kitosan

(Mv) (Hwang et al, 2002).

2.4 Kitosan Termodifikasi

Kitosan larut dalam larutan asam, sehingga aplikasinya terbatas, oleh

karena itu perlu adanya modifikasi dari kitosan agar tidak larut dalam media asam.

Modifikasi kitosan dapat dilakukan secara kimiawi maupun fisik. Modifikasi

dapat dilakukan melalui gabungan antara kitosan dengan beberapa polimer lain.

Polimer yang digunakan baik polimer alam maupun polimer sintetik.

Pada perkembangannya modifikasi kitosan yang telah banyak dilakukan

oleh para peneliti adalah dengan cara crosslinked antar rantai atau mengubah

dalam bentuk garamnya. Crosslinked dilakukan menggunakan senyawa dengan

minimal memiliki 2 gugus fungsi aktif. Berbagai bahan kimia yang telah banyak

digunakan sebagai agen crosslink yaitu glutaraldehid (Ruiz et al, 2000),

epiklorohidrin (Vieira dan Beppu, 2006) dan ethyleneglycol diglisidil eter (Li dan

Bai, 2006). Beberapa turunan kitosan telah diperoleh dengan cara menambahkan

gugus fungsional baru untuk membantu meningkatkan selektivitas penyerapan ion

logam. Gugus fungsional yang baru diperoleh dari poli(ethylenimine) (Chassary

et al, 2005), tiourea (Chassary et al, 2004.), melalui crosslinked kitosan.

Menurut Guibal (2004), penambahan gugus fungsional baru yaitu

meningkatkan densitas dari penyerapan logam, mengatur rentang pH, dan

meningkatkan selektivitas terhadap penyerapan logam. Beberapa tahun terakhir,

(34)

ethylenediaminetetraacetic (Juang dan Ju, 1998), thicarbamonyl (Baba et al,

2002), dan L-lysine (Fujiwara et al, 2007) digunakan pada pembuatan modifikasi

kitosan crosslinked untuk menghilangkan atau mengurangi ion logam pada

larutan. Selain modifikasi kitosan dengan agen crosslinked, juga telah

berkembang modifikasi dari senyawa polimer lainnya. Salah satunya yaitu MIP

(Molecularly Imprinted Polymer). Kitosan sebagai polimer alam digunakan

dengan mensintesis kitosan dengan katalis TiO2 sebagai adsorben yang tidak

hanya mampu mendegradasi senyawa organik, tetapi juga mampu mengadsorpsi

ion logam berat (Li et al, 2008).

Senyawa turunan kitosan dapat dibuat dengan teknik modifikasi kimia,

seperti grafting (mencangkok/menambahkan gugus fungsi baru), sulfonasi,

carboxymethylation. Diantar teknik tersebut, penambahan gugus fungsi

karboksilat, glutaraldehid, dan urea dianggap menarik dan mampu meningkatkan

sifat adsorpsi dari kitosan. Karboksi metil kitosan dibuat dari reaksi antara kitosan

dengan asam kloroasetat dalam pelarut yang sesuai (Chen et al, 2003).

(35)

Glutaraldehid adalah agen crosslinked yang paling banyak digunakan

karena dapat bereaksi dengan kitosan melalui reaksi pembentukan basa Schiff

(imina tersubstitusi, -CH=NR) antara gugus aldehid glutaraldehida dengan gugus

–NH2 kitosan. Kitosan termodifikasi glutaraldehid telah banyak digunakan

sebagai bahan penyerap berbagai logam berat (Cestari et al, 2007).

NH2

Gambar 2.6 Mekanisme crosslinked karboksi metil kitosan-glutaraldehid-urea

2.5 Urea

Urea merupakan padatan butiran atau prill yang diperoleh dari hasil sintesa

reaksi antara ammonia (NH3) dengan karbondioksida (CO2). Urea adalah senyawa

organik dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO. Urea merupakan pupuk nitrogen

yang paling mudah dipakai. Zat ini mengandung nitrogen paling tinggi (46%) di

antara semua pupuk padat. Urea mudah dibuat menjadi butiran dan mudah

diangkut dalam bentuk curah maupun dalam kantong. Zat ini mudah larut didalam

(36)

kadang zat ini juga digunakan untuk pemberian makanan daun. Disamping

penggunaannya sebagai pupuk, urea juga digunakan sebagai tambahan makanan

protein untuk hewan pemamah biak, juga dalam produksi melamin, dalam

pembuatan resin, plastik, adhesif, bahan pelapis, bahan anti kerut, tekstil, dan

resin perpindahan ion. Bahan ini merupakan bahan antara dalam pembuatan

amonium sulfat, asam sulfanat, dan ftalosianina (Austin, 1997).

Urea ditemukan pertama kali oleh Roelle pada tahun 1773 dalam urine.

Pembuatan urea dari amonia dan asam sianida untuk pertama kalinya ditemukan

oleh F.Wohler pada tahun 1828 . Namun pada saat ini pembuatan urea pada

umumnya menggunakan proses dehidrasi yang ditemukan oleh Bassarow pada

tahun 1870. Sifat fisik yang terdapat dalam urea diantaranya adalah berat molekul

sebesar 60,06, dengan berat jenis 1,355 (200C/40C), tidak bermuatan listrik, titik

leleh sebesar 132,7 oC, berbentuk butiran berwarna putih. Urea dapat dibuat dari

amoniak dan karbon dioksida menjadi amonium karbamat, dan dilanjutkan

dengan reaksi lebih lanjut amonium karbamat menjadi urea dan air (Rachman,

2006). Reaksi pembentukan urea sebagai berikut :

2 NH3 + CO2 NH4OCONH2 NH2CONH2 + H2O

(Amonium karbamat) (Urea)

2.6 Logam Berat

Logam adalah unsur alam yang dapat diperoleh dari laut, erosi batuan

tambang, vulkanisme, dan ditemukan dalam bentuk persenyawaan dengan unsur

lain. Pada kondisi suhu ruangan, unsur logam berat tidak selalu berbentuk padat

(37)

perairan, logam pada umumnya berada dalam bentuk ion-ion, baik sebagai

pasangan ion maupun dalam bentuk tunggal, sedangkan pada lapisan atmosfer

logam ditemukan dalam bentuk partikulat (Palar, 2004). Menurut Palar (2004)

logam memiliki kerapatan yang tinggi, memiliki kemampuan sebagai penghantar

listrik dan panas, dapat membentuk alloy dengan logam yang lain serta dapat

ditempa dan dibentuk.

Dalam perairan, logam berat dapat ditemukan dalam bentuk terlarut dan

tidak terlarut. Logam berat terlarut adalah logam berat yang membentuk komplek

dengan senyawa organik dan anorganik, sedangkan logam berat tidak terlarut

merupakan partikel-partikel koloid yang tersuspensi. Menurut Darmono (2001),

permasalahan yang timbul akibat pencemaran logam berat diantaranya adalah

ancaman kehidupan bagi makhluk hidup, kerusakan ekosistem dan keterkaitan

terhadap estetika (perubahan bau, warna dan rasa air). Akan tetapi bila jumlah dari

logam berat masuk ke dalam tubuh dengan jumlah berlebih, maka akan berubah

fungsi menjadi racun bagi tubuh (Palar, 2004).

2.7 Logam Tembaga (Cu)

Tembaga dengan nomor atom 29 dalam sistem periodik unsur adalah

elemen pertama yang mengandung perak dan emas, sehingga dianggap sebagai

logam semimulia. Unsur Cu berasal dari hasil pelapukan/pelarutan mineral yang

terkandung dalam bebatuan. Kandungan Cu dalam tanahh dan perairan diperoleh

dari industry-industri tembaga, pembakaran batu bara, pembakaran kayu, minyak

(38)

Tembaga (Cu2+) termasuk kedalam logam berat yang sulit untuk

didegradasi. Limbah tembaga (Cu2+) di lingkungan perairan berasal dari industri

elektroplating, industri cat dan kertas, dan industri baja. Meningkatnya kandungan

logam tembaga (Cu2+) (diatas 1.0 mg/L dalam air minum) dapat menimbulkan

gangguan kesehatan, diantaranya anemia, penyumbatan pembuluh darah, dan

kerusakan kornea (Screenivasan dan Rijith, 2009).

2.8 Adsorpsi

Adsorpsi merupakan peristiwa fisik dari permukaan suatu bahan yang

tergantung dari daya gabung antara adsorben dengan zat yang diadsorbsi.

Adsorpsi adalah peristiwa penyerapan pada permukaan suatu adsorben, zat yang

teradsorpsi disebut sebagai adsorbat dan zat pengadsorpsi disebut sebagai

adsorben (House, 2007).

Menurut Adamson (1990), Peristiwa adsorpsi pada umumnya

menggunakan adsorben berupa zat padat. Adsorpsi oleh zat padat dibedakan atas

adsorpsi fisik dan adsorpsi kimia. Adsorpsi fisik terjadi akibat oleh adanya gaya

van der Waals. Pada adsorpsi kimia, molekul-molekul yang teradsorpsi pada

permukaan bereaksi secara kimia, sehingga terjadi pemutusan dan pembentukan

ikatan. Ikatan yang terjadi antara adsorben dan adsorbat cukup kuat, karena

prosesnya bersifat irreversible dan diperlukan energi yang besar untuk melepas

ikatan tersebut. Pada peristiwa adsorpsi secara kimia, umumnya kapasitas adsorpsi

akan meningkat dengan meningkatnya temperatur. Kenaikan temperatur yang

(39)

Macam-macam isoterem adsorpsi antara lain adalah isoterem Langmuir,

isoterm BET, dan isoterem Freundlich. Isoterem Langmuir lebih tepat dijelaskan

sebagai adsorpsi kimiawi, dimana sebuah ikatan kimia ionik atau kovalen

terbentuk antara adsorben dan adsorbat. Isotherm Langmuir merupakan isoterem

paling sederhana yang didasarkan pada asumsi bahwa setiap bagian tempat

adsorpsi adalah ekivalen. Pada isotherm BET, volume total yang teradsorpsi

sebanding dengan jumlah partikel yang teradsorpsi. Sedangkan pada isoterem

Freunlich menghubungkan antara jumlah bahan yang teradsorpsi dengan

konsentrasi bahan dalam larutan (House, 2007).

Faktor yang dapat mempengaruhi proses adsorpsi adalah jenis adsorben,

macam zat yang diadsorpsi, konsentrasi zat, luas permukaan adsorben, dan

temperatur saat proses berlangsung. Zat yang bersifat asam akan mudah di

adsorbs dengan adsorben basa, demikian pula sebaliknya, karena asam dan basa

akan saling tarik-menarik. Begitu juga pada konsentrasi zat, semakin tinggi

konsentrasi, makin besar adsorbat yang dapat teradsorbsi. Pada luas permukaan

adsorben yang besar maka semakin banyak adsorbat yang dapat diserap. Jenis

adsorben yang akan digunakan harus memenuhi beberapa persyaratan seperti,

berupa zat padat dengan daya serap dan luas permukaan yang besar, dan paling

utama adalah tidak larut dalam zat yang akan diadsorpsi (Crittenden, 1998).

2.9 Teknik Adsorpsi Fluidisasi

Pada perkembangan proses adsorpsi telah dikenal berbagai cara pada

proses adsorpsi. Menurut John dan Crittenden (1998) dalam bukunya menjelaskan

(40)

bed. Proses batch adalah proses yang banyak digunakan sebagai teknik adsorpsi.

Pada proses batch, cairan dan adsorben diletakkan dalam sebuah wadah (batch)

dengan memberikan pengadukan selama waktu tertentu pada saat proses

berlangsung. Adsorben dipisahkan dari cairan dengan cara sedimentasi atau

filtrasi. Proses batch dapat digambarkan sebagai proses sedimentasi bertingkat,

dimana pada filtrat yang telah dikontakkan dengan adsorben, dipindahkan ke

wadah (batch) lain dengan adsorben baru, sehingga adsorben dapat

menghilangkan pengotor / zat yang sengaja ingin dihilangkan dari filtrat. Proses

ini diulang beberapa kali. Teknik adsorpsi dengan metode batch memiliki

keunggulan yaitu proses pemisahannya yang sangat baik, namun proses batch

yang dilakukan memerlukan jumlah adsorben yang sangat banyak dan tidak dapat

digunakan untuk mengadsorpsi larutan dengan konsentrasi yang besar. Efisiensi

waktu dari proses sedimentasi bertingkat ini juga menjadi salah satu kekurangan

dari proses batch. Sehingga efisiensi waktu dan biaya menjadi bagian yang sangat

dipertimbangkan untuk teknik adsorpsi dengan proses batch. Teknik yang lain

yaitu fixed bed dan moving bed. Kedua teknik ini adalah dengan memberikan

bagian (bed) tetap dan berpindah dari kolom yang digunakan sebagai tempat

kontak antara adsorben dan filtrat. Secara sederhana teknik ini digambarkan

dengan adanya bagian tetap atau bergerak dari kolom yang mampu memberikan

gerakan dari adsorben dalam larutan sehingga proses adsorpsi dapat berjalan.

Kelebihan dari teknik ini sederhana dan relatif murah untuk proses pembuatannya,

karena bagian (bed) yang akan digunakan dapat diatur. Selain itu jumlah adsorben

(41)

dari proses fixed bed (bagian yang tetap) adalah adsorpsi yang kurang merata dari

filtrat pada seluruh bagian kolom (adsorpsi hanya terjadi pada bagian tertentu

yang dikenal sebagai zona transfer massa), sedangkan pada moving bed (bagian

yang bergerak) memerlukan desain alat yang rumit oleh karena itu diperlukan

biaya yang mahal. Teknik adsorpsi yang belum banyak dikembangkan namun

memiliki kelebihan pada prosesnya yaitu teknik adsorpsi fluidisasi (fluidized bed).

Pada proses ini adsorben dapat bergerak didalam larutan dengan adanya aliran gas

dalam kolom. Laju aliran gas yang diberikan dalam kolom untuk membantu

pergerakan adsorben dapat diatur, sehingga adsorben bergerak keseluruh bagian

kolom (Crittenden, 1998).

Fluidisasi digunakan untuk menggambarkan proses kontak antara solid

dengan fluid. Fluidisasi merupakan operasi pengontakan unggun padatan dengan

fluida sehingga sifatnya berubah menyerupai sifat fluida. Mekanisme adsorpsi

fluidisasi dilakukan dengan mengontakkan larutan limbah dengan adsorben dalam

sebuah kolom, aliran gas diberikan melalui bed distributor udara. Gas yang

dialirkan bertujuan agar butiran adsorben dapat bergerak ke atas dalam kolom

fluidisasi, sehingga logam yang terdapat dalam larutan dapat terserap. Keuntungan

dari proses fluidisasi yaitu aliran dan pertikel dapat terkontrol secara otomatis,

tercampur secara isothermal, sirkulasi padatannya besar, cocok untuk skala besar,

serta panas dan kecepatan transfer masa antar gas dan partikel sangat tinggi

(42)

Gambar 2.7 Kolom fluidisasi

2.10 Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared)

Spektrofotometer infra merah adalah suatu metode analisis untuk

mengidentifikasi suatu senyawa berdasarkan absorpsi terhadap infra merah. Pada

prinsipnya spektroskopi Fourier Transform Infrared sama dengan spektroskopi

Infra Red, hanya saja pada pada spektroskopi FTIR ditambahkan alat optic

(Fourier transform) untuk menghasilkan spektra yang lebih baik, sehingga

spektroskopi FTIR dapat menghasilkan spektra yang lebih baik dan menghasilkan

puncak yang diinginkan, dimana pada spektroskopi infra merah puncak tersebut

tidak muncul (Khan, et al, 2002).

Instrumen FTIR dapat digunakan untuk menentukan derajat deasetilasi

(DD) kitosan yang teramati pada spectrum infra merah. Derajat deasetilasi

merupakan salah satu parameter untuk mengetahui kualitas dari kitosan yang

menyatakan besarnya jumlah gugus asetil yang lepas dari kitin pada proses

deasetilasi. Spektrofotometer FTIR memiliki kelebihan dibandingkan

(43)

meningkatkan sensitifitas pengukuran menjadi lebih tinggi dan waktu analisis

sampel menjadi lebih singkat.

2.11 AAS (Atomic Adsorption Spectrofotometer)

Metode AAS digunakan pada penentuan unsur-unsur logam yang

didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral dalam keadaan

gas. Pada tahun 1955, seorang ilmuwan Australia, Walsh melaporkan hasil

penelitiannya tentang penggunaan lampu katoda sebagai sumber radiasi yang

menghasilkan radiasi dengan panjang gelombang karakteristik yang sesuai dengan

SSA (Ismail, 2003).

Metode spektrometri atom yang paling banyak digunakan adalah

spektrometri serapan atom, merupakan suatu metode pengukuran unsur-unsur

logam dengan identifikasi secara kuantitatif dan kualitatif logam dalam berbagai

sampel, yang didasarkan pada jumlah radiasi yang diserap oleh atom-atom bebas

dalam keadaan gas (Mendham et al, 2000). Spektrometri serapan atom,

spektometri emisi atom dan spektrometri fluorosensi atom merupakan jenis dari

SSA. Spektrometri serapan atom terdiri dari spektrometri serapan atom nyala dan

non nyala. Karena sensitivitas yang tinggi, alat ini sering digunakan sebagai

pilihan utama dalam menganalisis unsur logam yang konsentrasinya sangat kecil.

Penggukuran AAS didasarkan pada besarnya energi radiasi yang diserap

pada panjang gelombang yang sesuai sehingga elektron terluar mengalami eksitasi

dari keadaan dasar ke keadaan tereksitasi. Pembentukan atom-atom pada keadaan

dasar atau proses atomisasi pada umumnya dilakukan dalam nyala, dimana

(44)

hokum Lambert-Beer yang menyatakan bahwa jumlah energi yang diserap

(absorbansi) adalah sebanding dengan konsentrasi (C) (Khopkar, 2007).

M+ + A- (larutan) M A (padat)

Mo (gas) M A (cair)

Gambar 2.8 Proses atomisasi pada AAS M+ + A- (aerosol)

Mo + Ao (gas) M A (gas)

larutan garam M+ dan A- akan melalui serangkaian proses dalam nyala, sebelum

akhirnya menjadi atom logam dalam keadaan dasar (Mo). Atom-atom dalam

keadaaan dasar akan menyerap energi, sumber energi berasal dari lampu katoda

berongga dimana jumlah energi yang diserap adalah sebanding dengan

konsentrasi atom-atom dalam sampel. Penentuan konsentrasi unsur logam dalam

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Fisik, Departemen

Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga pada bulan Januari

2012 sampai dengan Juli 2012.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

3.2.1 Bahan-bahan penelitian

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah cangkang rajungan.

Bahan lain yang digunakan berupa natrium hidroksida (NaOH) teknis (98%),

asam klorida (HCl) teknis, asam kloroasetat p.a, asam asetat teknis, aseton teknis,

glutaraldehid p.a, urea p.a, tembaga(II)sulfat (CuSO4.5H2O), etanol teknis, asam

nitrat p.a, 2-propanol p.a.

3.2.2 Alat-alat penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah gelas beaker, labu

ukur, gelas ukur, corong Buchner, pengayak mesh, krus porselen, neraca analitik,

hotplate stirrer, kolom fluidisasi (fluidized bed), spektofotometer FT-IR, Atomic

(46)

Uji kelarutan

1. Deproteinasi dengan larutan NaOH 3,5% pada

65oC selama 2 jam

2. Demineralisasi dengan larutan HCl 2N selama 30 menit

3. Depigmentasi dengan aseton

Deasetilasi dengan larutan NaOH 50% pada suhu > 95oC selama 2 jam

1. 10,0 gr Kitosan dilarutkan dalam 100 ml asam asetat 2% dan 13,5 gr NaOH direaksikan pada suhu 50oC selama 1 jam

2. Kitosan ditambahkan 15,0 gr asam kloroasetat dalam 20 ml isopropanol,dan direaksikan pada suhu 50oC selama 4 jam, kemudian bilas

3,0 gr urea dalam 60 ml akuades dan dilarutkan

dalam 17,1 ml glutaraldehid. Larutan

direaksikan pada 50oC selama 3 jam

2. 1,36 gr CMC dalam 30 ml akuades direaksikan

dengan larutan glutaraldehid-urea pada suhu 80oC selama 8 jam

0,5 gram kitosan-urea dalam kolom fluidisasi dengan ditambahkan 200 ml Larutan CuSO4.5H2O 100 ppm

Hasil adsorpsi Filtrat dianalisis dengan

(47)

3.4 Pembuatan Reagen

1. Pembuatan larutan NaOH 3.5 % (w/v) untuk proses deproteinasi

Sebanyak 43,75 gram NaOH 80% ditimbang, dan dilarutkan dengan

akuades dalam gelas beker 1000 ml. Kemudian diaduk dan ditambahkan

akuades hingga volume larutan 1000 ml.

2. Pembuatan larutan HCl 2N (v/v) untuk proses demineralisasi

Pada pembuatan larutan HCl 2N dipipet sebanyak 191,75 ml larutan HCl

32% menggunakan pipet ukur. Kemudian dilarutkan dalam gelas beker

1000 ml menggunakan akuades hingga volume larutan menjadi 1000 ml.

3. Pembuatan larutan NaOH 50 % untuk proses deasetilasi

Sebanyak 625 gram NaOH 80% ditimbang, dan dilarutkan dengan akuades

dalam gelas beker 1000 ml. Kemudian larutan dipindahkan kedalam labu

ukur 1000 ml dan diencerkan dengan menambahkan akuades sampai tanda

batas. Kocok larutan dalam labu ukur hingga larutan menjadi larutan yang

homogen.

4. Pembuatan larutan asam asetat 2 %

Sebanyak 2,02 ml larutan asam asetat 98% diambil dengan menggunakan

pipet ukur, kemudian dipindahkan kedalam labu ukur 100 ml dan

diencerkan dengan menambahkan akuades hingga tanda batas.

5. Pembuatan larutan induk Cu2+ 1000 ppm

Larutan induk 1000 ppm dibuat dengan cara menimbang sebanyak 3,9291

(48)

10,0 ml dalam gelas beker 100 ml. Kemudian dipindahkan dalam labu

ukur 1000 ml dan diencerkan dengan akuadem hingga tanda batas.

6. Pembuatan larutan induk Cu2+ 100 ppm

Diambil 10,0 ml larutan induk Cu2+ 1000 ppm menggunakan pipet

volume. Kemudian dipindahkan secara kuantitatif kedalam labu ukur 100

ml dan diencerkan dengan akuadem hingga tanda batas.

7. Pembuatan larutan kerja Cu2+ 10 ppm

Diambil 2,5 ml larutan induk Cu2+ 100 ppm menggunakan pipet volume.

Kemudian dipindahkan secara kuantitatif kedalam labu ukur 25 ml dan

diencerkan dengan akuadem hingga tanda batas.

8. Pembuatan larutan standar Cu2+ 2 ppm

Diambil 0,5 ml larutan kerja Cu2+ 100 ppm menggunakan pipet volume.

Kemudian dipindahkan secara kuantitatif kedalam labu ukur 25 ml dan

diencerkan dengan akuadem hingga tanda batas.

9. Pembuatan larutan standar Cu2+ 4 ppm

Diambil 1,0 ml larutan kerja Cu2+ 100 ppm menggunakan pipet volume.

Kemudian dipindahkan secara kuantitatif kedalam labu ukur 25 ml dan

diencerkan dengan akuadem hingga tanda batas.

10.Pembuatan larutan standar Cu2+ 6 ppm

Diambil 1,5 ml larutan kerja Cu2+ 100 ppm menggunakan pipet volume.

Kemudian dipindahkan secara kuantitatif kedalam labu ukur 25 ml dan

diencerkan dengan akuadem hingga tanda batas.

(49)

Diambil 2,0 ml larutan kerja Cu2+ 100 ppm menggunakan pipet volume.

Kemudian dipindahkan secara kuantitatif kedalam labu ukur 25 ml dan

diencerkan dengan akuadem hingga tanda batas.

12.Pembuatan larutan standar Cu2+ 10 ppm

Diambil 2,5 ml larutan kerja Cu2+ 100 ppm menggunakan pipet volume.

Kemudian dipindahkan secara kuantitatif kedalam labu ukur 25 ml.

3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1 Preparasi serbuk cangkang rajungan

Cangkang rajungan dicuci hingga bersih dari kotoran yang menempel,

kemudian dijemur dengan tidak terkena sinar matahari langsung, yaitu dengan

cara dianginkan. Setelah kering, cangkang kepiting digiling dengan menggunakan

blender, kemudian diayak menggunakan pengayak mesh hingga diperoleh serbuk

halus.

3.5.2 Pembuatan kitosan dari kitin

Tahapan yang dilakukan pada proses isolasi kitin yaitu melalui tahap

deproteinasi, demineralisasi, depigmentasi, dan tahap transformasi kitin menjadi

kitosan melalui tahap deasetilasi.

Deproteinasi adalah tahap pemisahan protein yang terdapat pada cangkang

rajungan. Serbuk cangkang rajungan yang telah kering, diayak dengan pengayak

100 mesh, dan dimasukkan dalam gelas beaker. Kemudian ditambahkan NaOH

3,5% (b/v) dengan perbandingan 1:10 antara serbuk cangkang rajungan dengan

larutan NaOH. Kemudian diaduk mengguankan stirrer magnetic, dengan

(50)

Buchner dan kertas saring sehingga diperoleh residunya. Kemudian cuci residu

dengan akuades hingga pH netral, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu

50oC selama 24 jam. Tahapan kedua yaitu demineralisasi, tujuan demineralisasi

adalah untuk menghilangkan mineral dari sampel. Sampel hasil deproteinasi

dimasukkan dalam gelas beaker dan ditambahkan larutan HCl 2N dengan

perbandingan 1:15 antara sampel dengan HCl. Pada proses ini dilakukan pada

suhu ruangan selama 30 menit sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer.

Kemudian larutan disaring dan residunya dicuci dengan akuades hingga pH netral.

Residu yang diperoleh dkeringkan dalam oven pada suhu 50oC selama 24 jam.

Tahap selanjutnya pada proses pembuatan kitin adalah depigmentasi,

depigmentasi aadalah tahap penghilangan warna. Hasil sampel yang diperoleh

dari tahap demineralisasi, di rendam dalam larutan aseton dengan perbandingan

1:10 antara sampel dengan larutan aseton. Kemudian disaring dan endapan yang

diperoleh dicuci dengan akuades hingga pH netral. Sampel disaring dan

dikeringkan dalam oven pada suhu 65oC selama 24 jam. Hasil yang diperoleh

setelah melalui tiga tahapan ini adalah kitin.

Pada tahap deasetilasi, kitin yang diperoleh dimasukkan dalam gelas

beaker dan ditambahkan larutan NaOH 50% dengan perbandingan 1:10 antara

kitin dan larutan NaOH. Larutan dipanaskan pada suhu diatas 95oC selama 2 jam.

Larutan disaring dan residu yang diperoleh dicuci dengan akuades hingga pH

netral. Hasil yang diperoleh setelah tahap ini adalah kitosan.

Penentuan derajat deasetilasi (DD) kitosan dianalisis dengan menggunakan

(51)

3.5.3 Karakterisasi kitin dan kitosan

Penentuan derajat deasetilasi kitin dengan menggunakan FT-IR dan uji

kelarutan dengan cara menambahkan kitin dengan asam asetat 2%.

1. Uji kelarutan kitosan

Kelarutan kitosan dapat dianalisis dengan cara melarutkan kitosan dalam

asam asetat 2%. Apabila serbuk tersebut tidak larut maka serbuk tersebut

adalah kitin. Sedangkan kitosan larut dalam asam asetat encer (Kuntoro,

2004).

2. Penentuan berat molekul rata-rata

Metode viskosimetri adalah metode yang umum digunakan untuk

menentukan berat molekul rata-rata suatu polimer. Alat yang digunakan

adalah viskometer Ostwald yaitu dengan cara menghitung lamanya waktu

yang diperlukan cairan tertentu untuk melalui pipa kapiler. Penentuan

berat molekul rata-rata kitosan dilakukan berdasarkan metode viskosimetri

dengan menentukan waktu alir pelarut asam asetat (to) dan waktu alir

larutan kitosan (t) sehingga nilai viskositas spesifik (ηsp). Larutan kitosan

dibuat dengan cara melarutkan 0,15 gram kitosan kedalam 100 ml asam

asetat 0,75% (w/v) dan dimasukkan dalam labu ukur 100 ml, kamudian

diencerkan dengan variasi konsentrasi 0,1 ; 0,2 ; 0,3 ; 0,4 A . Kemudian

masing-masing larutan dimasukkan kedalam viskometer Ostwald

sebanyak 5,0 ml dan diukur waktu alirnya (t1). Begitu pula pada larutan

asam asetat (to). Untuk menentukan berat molekul rata-rata kitosan ( Mv )

(52)

dengan nilai K dan a untuk kitosan adalah 1,40 x 10-4 dan 0,83 (Hwang et

al, 2002). Dari persamaan Mark-Houwink Sakurada dapat diperoleh nilai

massa molekul rata-rata kitosan (Mv).

3. Penentuan derajat deasetilasi kitosan

Pada penentuan derajat deasetilasi digunakan spektroskopi FT-IR. Derajat

deasetilasi ditentukan dengan metode baseline, dihitung dari nilai

perbandingan pita serapan antara puncak absorbansi gugus hidroksil

disekitar 3450 cm-1 dan puncak absorbansi gugus amida pada 1655 cm-1.

Kemudian buat garis lurus dari 4000 cm-1 hingga 2500 cm-1 sebagai garis

dasar bagi gugus hidroksil dan 1800 cm-1 sampai 1600 cm-1 sebagai garis

dasar bagi gugus amida. Derajat deasetilasi ditentukan untuk mengetahui

seberapa besar kitin yang sudah berubah menjadi kitosan. Derajat

deasetilasi kitosan ditentukan melalui persamaan 2. Pada penelitian ini

derajat deasetilasi kitin dan kitosan dihitung menggunakan software DDK

project (Iflakhah, 2011).

3.5.4 Pembuatan kitosan-urea

1. Pembuatan karboksi metil kitosan

Sebanyak 10,00 gr kitosan dilarutkan dengan 100 ml asam asetat 2%, dan

ditambahkan 13,5 gram NaOH dalam gelas beaker 500 ml, kemudian

direaksikan diatas penangas air dengan suhu 50oC selama 1 jam. Setelah 1

jam, ditambahkan 15,0 gr asam kloroasetat yang telah dilarutkan dalam 20

ml isopropanol. Kemudian dicampurkan tetes demi tetes kedalam gelas

Gambar

Grafik adsorpsi ion logam Cu2+ oleh kitosan........................... 63
Gambar 2.1 Struktur kitin
Gambar 2.3. Mekanisme transformasi kitin menjadi kitosan
Gambar 2.4 Spektrum FTIR senyawa kitosan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penurunan Persamaan Garis Regresi Untuk Penentuan Konsentrasi 29 Ion Tembaga (Cu 2+ ) berdasarkan Pengukuran Absorbansi Larutan Standar Ion Tembaga (Cu 2+ ) dan ikat

mempengaruhi proses adsorpsi ion-ion logam divalen dengan biomassa alga Dunaliella sp sebagai adsorben yang digunakan untuk menentukan uji adsorpsi.. ion Ca 2+ , Cu 2+ , dan

Kemampuan adsorpsi ini menunjukkan bahwa batang jagung memiliki potensi sebagai adsorben dalam menyerap ion logam dalam larutan.. Kata kunci : adsorpsi, batang jagung,

Tujuan dari penelitian ini adalah mencari kondisi optimum adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III), kemudian dilanjutkan mempelajari pengaruh ion logam Cu(II)

Tahapan yang akan dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas isolasi kitosan , pembuatan kitosan bentuk butiran, pembuatan larutan tunggal ion logam Cu(II) dan Cr(VI),

Kemampuan adsorpsi ini menunjukkan bahwa batang jagung memiliki potensi sebagai adsorben dalam menyerap ion logam dalam larutan.. Kata kunci: adsorpsi, batang

Telah dilakukan penelitian tentang adsorpsi logam Pb dan Cu dari pelumas bekas menggunakan blending selulosa asetat-kitosan yang bertujuan untuk mengetahui rasio

Penelitian pembuatan kitosan yang dimodifikasi dengan larutan AgNO 3 menjadi kitosan perak sebagai adsorben untuk menurunkan kadar logam besi (Fe) dan zink (Zn) pada