• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia 1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia - BAB II SKRIPSI DANIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia 1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia - BAB II SKRIPSI DANIA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia 1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia

Newfield, Hinz, Tilley, Sridaromont & Maramba (2007) mendefinisikan

kecemasan menghadapi kematian adalah ketakutan, kekhawatiran yang terkait

dengan kematian atau sekarat. Carpenito (2013) menyatakan kecemasan

menghadapi kematian adalah perasaan tidak enak dan tidak nyaman atau ketakutan

yang ditimbulkan oleh persepsi tentang ancaman nyata atau membayangkan

ancaman keberadaan seseorang. Lehto & Stein, (2009) menjelaskan bahwa

kecemasan menghadapi kematian yaitu dimulai oleh kesadaran meningkat akan arti

kematian yang penting.

Freud (Nevid, Rathus & Greene, 2005) kecemasan dibedakan menjadi tiga

yaitu kecemasan realistik, kecemasan neurotik dan kecemasan moral. Kecemasan

realistik terjadi apabila individu merasakan adanya bahaya yang mengancam dari

luar, misalnya seorang anak yang takut akan kegelapan atau seseorang yang takut

akan serangga. Kecemasan neurotik yaitu kecemasan yang menampakkan

wujudnya sebagai penyakit, objeknya tidak jelas dan berupa benda-benda atau

hal-hal tertentu yang sebenarnya tidak perlu ditakuti, misalnya seseorang yang

beranggapan akan ada sesuatu yang hebat atau yang menakutkan akan terjadi dan

ketakutan yang irrasional (phobia). Kecemasan moral muncul apabila individu

(2)

yang merasa kecantikannya ditandingi oleh orang lain sehingga timbul sikap dengki

dan kebencian.

Abdel (dalam Lehto and Stein, 2009) menjelaskan bahwa Kecemasan

menghadapi kematian adalah sebuah istilah yang digunakan untuk mengkonsepkan

ketakutan yang dihasilkan oleh kesadaran kematian. Firestone & Catlett (2009)

menjelaskan bahwa kecemasan menghadapi kematian adalah sebuah fenomena

kompleks yang mewakili banyak pemikiran dan emosi mengenai ketakutan

kematian, kerusakan fisik dan mental, perasaan kesepian, kesedihan akibat

kehilangan diri sendiri, kemarahan yang ekstrim dan putus asa terhadap situasi yang

tidak bisa dikontrol.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan

menghadapi kematian menurut Newfield, Hinz, Tilley, Sridaromont & Maramba

adalah ketakutan, kekhawatiran yang terkait dengan kematian atau sekarat.

2. Aspek - Aspek Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lansia

Menurut Nevid, Rathus & Greene (2005) ciri-ciri kecemasan

diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :

a. Ciri fisik, seseorang yang mengalami kecemasan, meliputi: jantung

berdebar, kegelisahan, kegugupan, dada sesak, gangguan pencernaan, nafsu

makan berkurang, keringat dingin, pusing, sulit berbicara, merasa sensitif

atau mudah marah.

b. Ciri perilaku, seseorang yang mengalami kecemasan, meliputi: perilaku

(3)

c. Ciri kognitif, seseorang yang mengalami kecemasan, meliputi: khawatir

tentang sesuatu yang sepele, perasaan takut dengan sesuatu yang akan

terjadi di masa yang akan datang, khawatir akan ditinggal sendiri, sulit

berkonsentrasi dan ketidakmampuan menghadapi masalah.

Menurut Stuart (2002) aspek-aspek kecemasan dibedakan menjadi tiga,

yaitu:

a. Aspek perilaku : gelisah, ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara

cepat, kurang koordinasi, menarik diri, melarikan diri dari masalah,

menghindar dan sangat waspada.

b. Aspek kognitif : perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, hambatan

berfikir, bingung, kehilangan objektifitas, takut kehilangan kendali, takut

cedera atau kematian dan mimpi buruk.

c. Aspek afektif : mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup,

ketakutan, waspada, kekhawatiran, kecemasan, mati rasa, rasa bersalah dan

timbul perasaan malu.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan ada

beberapa ciri atau aspek. Ciri kecemasan menurut Nevid, dkk yaitu : ciri fisik, ciri

perilaku dan ciri kognitif. Sedangkan menurut Stuart, yaitu : Aspek perilaku, aspek

kognitif dan aspek afektif. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan ciri

kecemasan menurut Nevid, Rathus & Greene yang akan digunakan untuk

menjelaskan kecemasan menghadapi kematian pada lansia, karena ciri-ciri tersebut

lebih rinci untuk mengukur perilaku kecemasan khususnya kecemasan menghadapi

(4)

3. Faktor– Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Menghadapi Kematian Menurut Prabowo (2014) ada dua faktor besar yang mempengaruhi

kecemasan, yaitu :

a. Faktor Predisposisi

1. Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani stress

akan mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konflik yang

dialami karena pola mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam

keluarga. Menurut Stuart (2002) individu dapat mengatasi kecemasan

dengan menggerakkan sumber koping di lingkungan. Sumber koping

tersebut yang berupa dukungan sosial, modal ekonomi, kemampuan

penyelesaian masalah dan keyakinan budaya. Sarafino & Smith (2011)

dukungan sosial bisa datang dari banyak sumber, yaitu : keluarga,

pasangan, teman atau organisasi komunitas.

2. Peristiwa traumatik, yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan

dengan krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau

situasional.

3. Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu

berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan.

4. Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil

keputusan yang berdampak terhadap ego.

5. Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan

ancaman terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri

(5)

6. Konflik emosional, yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan

baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan

dapat menimbulkan kecemasan pada individu.

7. Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respon

individu dalam berespon terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya.

8. Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan

yang mengandung benzodizepin, karena benzodiazepin dapat menekan

neurotransmiter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol

aktivitas neuron di otak ang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.

b. Faktor presipitasi

1. Ancaman terhadap integritas fisik, ketegangan yang mengancam integritas

fisik yang meliputi :

a) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis sistem

imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal.

b) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan

bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi dan

tidak adanya tempat tinggal.

2. Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal.

a) Sumber internal: kesulitan dalam berhubungan interpersonal di

rumah dan tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai

ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam harga diri.

b) Sumber eksternal: kehilangan orang yang dicintai, perceraian,

(6)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang

mempengaruhi tingkat kecemasan adalah faktor predisposisi yang meliputi: pola

mekanisme koping keluarga, peristiwa traumatik, konsep diri, frustasi, gangguan

fisik, konflik emosional, riwayat gangguan kecemasan , medikasi yang dapat

memicu terjadinya kecemasan dan faktor presipitasi yang meliputi ancaman

terhadap integritas fisik dan ancaman terhadap harga diri. Dalam penelitian ini

peneliti memilih variabel bebas dari faktor pola mekanisme koping keluarga, seperti

yang dijelaskan Stuart (2002) individu dapat mengatasi kecemasan dengan

menggerakkan sumber koping di lingkungan. Sumber koping tersebut yang berupa

dukungan sosial, menurut Sarafino & Smith (2011) dukungan sosial bisa datang

dari banyak sumber, yaitu keluarga, pasangan, teman atau organisasi komunitas.

Dukungan sosial yang berasal dari keluarga yang dipilih sebagai variabel bebas

karena menurut Rodin & Salovey (dalam Smet, 1994) menyatakan dukungan dari

keluarga merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting. Selain itu

diperkuat dengan hasil penelitian dari Pamungkas, Wiyanti & Agustin (2013)

menunjukkan bahwa dukungan sosial keluarga yang diterima lansia mampu

membantu lansia mereduksi kecemasan menghadapi tutup usia. Dukungan sosial

dimungkinkan mampu meningkatkan kesehatan mental individu, dalam hal ini

diduga mampu menghindari kecemasan lanjut usia dalam menghadapi kematian.

B. Dukungan Sosial Keluarga 1. Pengertian Dukungan Sosial Keluarga

Sarafino& Smith (2011) mengemukakan dukungan sosial mengarah sebagai

(7)

dari orang lain ataupun kelompok. Cobb (dalam Sarason & sarason, 1985)

mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi yang mengarahkan seseorang

untuk percaya bahwa dia peduli dan dicintai, dihargai dan terhormat dan memiliki

jaringan komunikasi dan kewajiban bersama. Goldsmith (2004) mendefinisikan

dukungan sosial merupakan harapan hubungan yang pribadi dan memprediksi

kompetensi interpersonal yang dirasakan dan melaporkan kepuasan dengan teman,

keluarga dan pasangan yang romantis. Menurut Lin, Dean & Ensel (1986)

mendefinisikan dukungan sosial adalah persepsi atau bantuan nyata atau ketentuan

ekspresif yang diberikan oleh komunitas, jaringan sosial dan mitra kepercayaan.

Cohen, Underwood & Gottlieb (2000) menyatakan dukungan sosial sering

digunakan dalam arti luas, mengacu pada proses dimana hubungan sosial dapat

meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan.

Sarafino & Smith (2011) menjelaskan bahwa dukungan sosial bisa datang

dari banyak sumber, yaitu: keluarga, pasangan, teman atau organisasi komunitas.

Suprajitno (2003) mendefinisikan keluarga merupakan bagian dari manusia yang

setiap hari selalu berhubungan dengan kita, keadaan ini perlu kita sadari

sepenuhnya bahwa setiap individu merupakan bagiannya dan dikeluarga juga

semua dapat diekspresikan tanpa hambatan yang berarti. Friedman (dalam

Suprajitno, 2003) mendefinisikan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau

lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu

mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial menurut

(8)

kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari

orang lain ataupun kelompok dan Suprajitno (2003) mendefinisikan keluarga

merupakan bagian dari manusia yang setiap hari selalu berhubungan dengan kita,

keadaan ini perlu kita sadari sepenuhnya bahwa setiap individu merupakan

bagiannya dan dikeluarga juga semua dapat diekspresikan tanpa hambatan yang

berarti. Jadi peneliti menyimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah suatu

kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari

keluarga yang setiap hari selalu berhubungan dengan lansia dan dikeluarga juga

semua dapat diekspresikan tanpa hambatan yang berarti.

2. Aspek-Aspek Dukungan Sosial Keluarga

Menurut Sarafino & Smith (2011) aspek-aspek dalam dukungan sosial,

yaitu:

a. Dukungan emosional

Aspek ini meliputi penyampaian empati, perhatian, kepedulian dan

dorongan kepada orang tersebut.

b. Dukungan nyata atau instrumental

Aspek ini melibatkan bantuan langsung, seperti saat

memberikan/meminjamkan uang kepada seseorang atau membantu

pekerjaan seseorang saat berada didalam tekanan.

c. Dukungan informasi

Aspek ini meliputi memberikan nasihat, pengarahan, saran, atau umpan

(9)

sedang sakit mungkin mendapat informasi dari keluarganya atau dokter

bagaimana mengobati penyakitnya.

d. Dukungan persahabatan

Aspek ini mengarah kepada kesediaan orang lain untuk menghabiskan

waktu bersama sehingga menjadikan individu memiliki perasaan bahwa

dirinya merupakan bagian dari kelompok dan kegiatan sosial.

Menurut Cutrona & Russel (1987), terdapat enam komponen dukungan

sosial di dalamnya, yaitu :

a. Kelekatan merupakan perasaan akan kedekatan emosional dan rasa aman.

b. Integritas sosial merupakan perasaan menjadi bagian dari keluarga, tempat

keluarga berada dan tempat saling berbagi minat dan aktivitas.

c. Penghargaan/pengakuan meliputi pengakuan akan kompetensi dan

kemampuan.

d. Ikatan/hubungan yang dapat diandalkan meliputi kepastian atau jaminan

bahwa keluarga dapat diharapkan untuk membantu dalam semua keadaan.

e. Bimbingan merupakan nasehat dan pemberian informasi oleh keluarga.

f. Kesempatan untuk mengasuh merupakan perasaan akan tanggung jawab

terhadap kesejahteraan keluarga.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek dukungan sosial

menurut Sarafino& Smith, yaitu : dukungan emosional, dukungan nyata atau

instrumental, dukungan informasi, dukungan persahabatan.komponen dukungan

sosial menurut Cutrona & Russel, yaitu: kelekatan, integritas sosial,

(10)

kesempatan untuk mengasuh. Peneliti menggunakan komponen dukungan sosial

yang di ajukan olehSarafino & Smith karena aspek-aspek tersebut lebih rinci dan

lebih jelas untuk mengukur dukungan sosial keluarga dalam penelitian ini.

C. Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lansia

Berdasarkan pengertian dari Sarafino& Smith (2011) tentang dukungan

sosial dan Suprajitno (2003) tentang keluarga maka dapat disimpulkan bahwa

dukungan sosial keluarga adalah suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan

ataupun bantuan yang diterima individu dari keluarga yang setiap hari selalu

berhubungan dengan lansia dan di keluarga juga semua dapat diekspresikan tanpa

hambatan yang berarti. Lansia sangat membutuhkan dukungan sosial keluarga

seperti halnya menemaninya, mendengarkan ceritanya menjadi salah satu hal yang

membantu mengurangi kecemasan menghadapi kematian. Sebagian besar lanjut

usia mengalami ketakutan dan kecemasan akan datangnya kematian (Pamungkas,

Wiyanti & Agustin, 2013).

Sarafino & Smith (2011) menyebutkan aspek-aspek dukungan sosial yaitu:

dukungan emosional atau harga diri, dukungan nyata atau instrumental, dukungan

informasi dan dukungan persahabatan. Aspek dukungan sosial yang meliputi

dukungan emosionalaspek ini meliputi penyampaian empati, perhatian, kepedulian

dan dorongan kepada orang tersebut.Lansia yang merasakan kecemasan

menghadapi kematian mengalami ciri fisik seperti jantung berdebar, kegelisahan,

(11)

dingin, pusing, sulit berbicara, merasa sensitif atau mudah marah. Dimana ketika

lansia memunculkan perilaku tersebut maka dukungan sosial keluarga yaitu

dukungan emosional seperti halnya keluarga memperhatikan perkembangan

kesehatan lansia, keluarga selalu mendengarkan curahan hati lansia dan jika lansia

merasa penat dengan rutinitas dipanti, keluarga selalu menghiburnya dengan

senang hati seperti memberikan semangat untuk lansia agar tidak memikirkan

sesuatu hal yang menyebabkan lansia sakitdan pengertian dari lingkungan sosial

akan mengurangi kecemasannya dalam menghadapi kematian. Kondisi ini akan

membantu lansia untuk dapat mengembangkan pandangan positif terhadap apa

yang telah mereka capai, jika demikian ia akan merasa lebih utuh dan puas sehingga

ia akan lebih menerima dirinya dengan positif. Lansia yang memandang dirinya

secara positif akan merasa nyaman, damai dan bahagia (Kaloeti & Hartati, 2017).

Dukungan sosial yang meliputi dukungan nyata atau instrumentalaspek ini

melibatkan bantuan langsung, seperti saat memberikan/ meminjamkan uang kepada

seseorang atau membantu pekerjaan seseorang saat berada didalam tekanan dan

dukungan informasi aspek ini meliputi memberikan nasihat, pengarahan, saran,

atau umpan balik mengenai bagaimana perilaku seseorang. Dimana lansia yang

mengalami kecemasan menghadapi kematian memiliki ciri perilaku seperti perilaku

menghindar, perilaku melekat & dependen. Ketika lansia memunculkan perilaku

tersebut maka dukungan sosial keluarga seperti dukungan nyata dan dukungan

informasi dari keluarga sangat dibutuhkan. Menurut Erikson (dalam Ermawati &

Sudarji, 2013) bahwa terdapat beberapa tekanan yang membuat lansia menarik diri

(12)

mental. Seperti hal nya kondisi kesehatan, pada kondisi sehat lansia cenderung

untuk melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri sedangkan pada kondisi sakit

menyebabkan lansia cenderung dibantu atau tergantung kepada orang lain dalam

melaksanakan aktivitas sehari-hari (Bustan dalam Ermawati & Sudarji, 2013).

Dukungan sosial yang meliputi dukungan persahabatanaspek ini mengarah

kepada kesediaan orang lain untuk menghabiskan waktu bersama sehingga

menjadikan individu memiliki perasaan bahwa dirinya merupakan bagian dari

kelompok dan kegiatan sosial. Lansia yang mengalami kecemasan menghadapi

kematian memiliki ciri kognitif dimana lansia menjadi merasa khawatir tentang

sesuatu yang sepele, khawatir akan ditinggal sendiri dan perasaan takut dengan

sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang. Ketika lansia memunculkan

perilaku tersebut maka dukungan sosial seperti menghabiskan waktu bersama-sama

sangat dibutuhkan oleh lansia. Menurut Andrew (dalam Larasati & Saifudin, 2014)

dengan adanya keluarga menghibur seperti mengajak lansia jalan-jalandengan cara

kumpul bersama-sama keluarga. Hal ini agar dapat memperkuat mental, psikis dan

ketenangan bagi lansia.

Dukungan sosial keluarga dianggapmampu mereduksi kecemasan lanjut

usia dalammenghadapi kematian. Setelah seseorangmemasuki masa lanjut usia

maka dukungansosial dari orang lain menjadi sangat berhargadan akan menambah

ketentraman hidupnya.Terlebih ketika pada lanjut usia ada peristiwabesar dan

dianggap menakutkan bagi sebagianbesar lanjut usia yaitu tutup usia atau

kematian.Lanjut usia menganggap bahwa kematianmerupakan pintu bagi dirinya

(13)

Menurut Pamungkas, Wiyanti & Agustin (2013)keberadaandukungan sosial

keluarga dimungkinkan mampumeningkatkan kesehatan mental individu,dalam hal

ini diduga mampu menghindari kecemasan lanjut usia dalam

menghadapikematian.Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian dari Pamungkas,

Wiyanti & Agustin (2013) menunjukkan bahwa dukungan sosial yang diterima

lansia mampu membantu lansia mereduksi kecemasan menghadapi tutup usia.

Dukungan sosial dimungkinkan mampu meningkatkan kesehatan mental individu,

dalam hal ini diduga mampu menghindari kecemasan lanjut usia dalam menghadapi

kematian.

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang

negatif antara dukungan sosial keluarga dengan kecemasan menghadapi kematian

pada lansia. Semakin tinggi dukungan sosial keluarga maka semakin rendah tingkat

kecemasan menghadapi kematian pada lansia, sebaliknya semakin rendah

dukungan sosial keluarga maka semakin tinggi tingkat kecemasan menghadapi

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisa data diperoleh hasil kecemasan menghadapi kematian antara tipe kepribadian ekstrovert dan introvert dengan nilai p = 0.372 dengan p >0.05, artinya

Kecemasan menghadapi kematian pada lansia adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan di mana individu merasa tidak nyaman, tegang, gelisah, was-was dan bingung

Fasilitas tidak tersedia 2.Partisipasi lansia itu sendiri 3.Tempat tinggal yang jauh dengan posyandu lansia 4.Tidak ada dukungan dari anggota keluarga.

Tujuan: Penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara spiritualitas dan dukungan keluarga dengan kesiapan menghadapi kematian pada lansia di Desa Darma

Kesimpulan penelitian adalah bahwa persepsi terhadap kematian merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan tingkat kecemasan menghadapi kematian pada subjek,

Tugas akhir peneliti yang berjudul “PERAN KIAI DALAM MENGURANGI KECEMASAN LANSIA MENGHADAPI KEMATIAN DITINJAU MELALUI ASPEK SPIRITUALITAS PADA JAMAAH SELAPANAN DESA

Hasil analisa data diperoleh hasil kecemasan menghadapi kematian antara tipe kepribadian ekstrovert dan introvert dengan nilai p = 0.372 dengan p >0.05,

Sejalan dengan itu Uchino (2004, dalam Sarafino & Smith, 2012) menyatakan bahwa social support atau dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, kepedulian, atau bantuan yang