• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PERESEPAN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KEBUMEN, JAWA TENGAH PERIODE 2007-2009 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "EVALUASI PERESEPAN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD KEBUMEN, JAWA TENGAH PERIODE 2007-2009 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program S"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PERESEPAN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP

RSUD KEBUMEN, JAWA TENGAH PERIODE 2007-2009

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Anita Ruth Dewiana NIM : 078114015

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

EVALUASI PERESEPAN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP

RSUD KEBUMEN, JAWA TENGAH PERIODE 2007-2009

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Anita Ruth Dewiana NIM : 078114015

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)

iii

Pengesahan Skripsi Berjudul

EVALUASI PERESEPAN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP

RSUD KEBUMEN, JAWA TENGAH PERIODE 2007-2009 Oleh :

Anita Ruth Dewiana NIM : 078114015

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Pada tanggal : ………

Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Dekan

Ipang Djunarko, M.Sc., Apt.

Panitia Penguji :

1. Yunita Linawati, M.Sc., Apt. ...

2. dr. Fenty, M.Kes., SpPK. ...

(5)

iv

Skr i psi i n i kuper sembahkan un t uk :

Tuhan Yesus Kr i st us at as kasi h dan pen y er t aan -Ny a... Ay ah, Ibu dan adi kku at as ci n t a, seman gat dan doa...

(6)
(7)

vi

PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan rahmat-Nya, penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Evaluasi Peresepan Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi

Hipertensi di Instalasi rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode

2007-2009”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

Sarjana Strata Satu Program Studi Farmasi.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mengalami

permasalahan, kesulitan, suka dan duka. Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik karena adanya dukungan, perhatian dan semangat dari berbagai

pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Gubernur DIY Yogyakarta, Gubernur Jawa Tengah, Kepala

POLINMAS Propinsi Jawa Tengah, Kepala Badan Pemerintah Daerah

Provinsi Jawa Tengah, Kepala POLINMAS Kabupaten Kebumen,

Kepala Badan Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen (BAPPEDA)

yang telah berkenan memberikan ijin untuk melakukan penelitian di

RSUD Kebumen, Jawa Tengah.

2. Bapak Tri Tunggal Eko Sapto, MPH. selaku Direktur RSUD

Kebumen, Jawa Tengah yang telah berkenan memberikan ijin untuk

(8)

vii

3. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan ijin bagi peneliti

untuk melakukan penelitian ini.

4. Yunita Linawati, M.Sc., Apt. selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberi dukungan, perhatian, semangat dan bimbingan dalam

mengarahkan penulis dari awal hingga selesai pembuatan skripsi ini.

5. Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan saran dan masukan dalam proses penyusunan skripsi.

6. dr. Fenty, M.Kes., SpPK. selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan saran dan masukan dalam proses penyusunan skripsi.

7. Seluruh dosen pengajar dan staf di Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma yang telah memberikan bantuan dan ilmu pengetahuan

melalui materi kuliah kepada penulis selama mengikuti proses

perkuliahan.

8. Bpk Wisnu Nugroho, Bpk Sabdono, Bpk Lutfi, Bpk Wawan, Bpk

Mariman yang telah memberikan dukungan dan kerja sama selama

penelitian berlangsung.

9. Orang tuaku tercinta Ayah Misran Daniel dan Ibu Rowiyah yang telah

memberikan kasih sayang, cinta, dukungan, perhatian dan doa yang tak

kunjung henti hingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

10. Adikku Emiliana Setyowardhani tercinta yang telah memberikan

(9)

viii

11. dr. Y. S. Rivan Wijaya, yang selalu memberikan kasih sayang,

semangat, inspirasi, dukungan dan selalu menemaniku selama

penelitian dan penulisan skripsi serta menyadarkan penulis untuk

selalu tegar, sabar dan tekun.

12. Teman - teman SMP dan SMA Pius Bakti Utama : Tian, Ellen, Nina,

Bobby, Ian, David, Kaka, Deshie, Philipus, Endah, Rara, kak Berta,

kak Eni yang terus memberikan semangat bagi penulis selama

menyelesaikan skripsi.

13. Bapak dan ibu kost serta teman-teman kosku, Reny, mbak Siska, mbak

Deshie, Defie, Hetty, Diana yang memberikan bantuan, saran,

perhatian dan semangat selama penelitian.

14. Teman – temanku, Mbak Rere, Ayu “Amink”, Ayu “Tegal”, Mega,

Icha, Chandra, Lina, Afni, Mika, Dwi, Yeyen, Eyik, Dhea, Indy, atas

bantuan dan semangat bagi penulis saat penelitian.

15. Teman- teman Co-Fasilitator dan Fasilitator PPKM 2009, atas

inspirasi, pengalaman, pembelajaran, kebersamaaan dan kedewasaan

yang diperoleh penulis selama ini.

16. Teman-teman di kelas FKK A 2007 dan angkatan 2007, yang telah

memberikan saran dan semangat untuk skripsi ini.

17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

membantu, memberikan doa, dukungan dan perhatian bagi penulis

(10)

ix

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini terjadi kesalahan dan

kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis dan

pembaca.

(11)
(12)

xi

INTISARI

Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin maupun resistensi insulin. Hipertensi sering dijumpai pada pasien DM tipe 2 dimana diperkirakan prevalensinya mencapai 50-70%. Pengobatan yang diterima pasien DM tipe 2 dengan hipertensi sangat kompleks, maka diperlukan ketepatan terapi terutama dalam penggunaan obat sehingga dapat mengendalikan risiko penyakit komplikasi lain yang menyertai.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pola peresepan terkait drug theraphy problems (DTPs) pada pasien DM tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah periode 2007-2009. Penelitian ini merupakan rancangan penelitian non eksperimental yaitu deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif, menggunakan rekam medik pasien periode 2007-2009.

Hasil penelitian menunjukkan pasien DM tipe 2 dengan komplikasi hipertensi paling banyak pada kelompok usia 55-64 tahun (27,5%), jenis kelamin wanita (65%). Terdapat 9 kelas terapi, terbanyak adalah penggunaan obat gizi dan darah (97,5%), obat antidiabetika hormonal (90%) yaitu reguler insulin (RI) (47,5%), obat kardiovaskular (87,5%) yaitu ACE inhibitors (52,5%), lalu diikuti ARBs dan Calsium Channel Blokers. Pola peresepan dilihat dari kejadian DTPs dimana terdapat indikasi tanpa obat (30 %), ADR (10%), tidak ditemukan kejadian DTPs terapi obat tanpa indikasi, obat yang tidak efektif, dosis yang terlalu rendah, dosis yang terlalu tinggi.

Kata kunci : DM Tipe 2, hipertensi, pola peresepan, drug therapy problems

(13)

xii

ABSTRACT

Diabetes Mellitus (DM) is a metabolic disease with hyperglycemia characteristic that occurs due to impaired insulin secretion and insulin resistance. Hypertension is common in patients with type 2 diabetes where the prevalence is estimated to reach 50-70%. Received medical therapy of type 2 DM patients with hypertension are complex, the necessary accuracy, especially in the use of drug therapy should be adjusted so as to control the risk of other complications that accompany the disease.

This study aims to evaluate drug problems Therapy (DTPs) in patients with type 2 diabetes mellitus with complications of hypertension at the Installation of Hospital Inpatient Kebumen, Central Java, period 2007-2009. This research is a non-experimental research design with descriptive evaluative design is retrospective, using medical records of patients the period 2007-2009.

The results showed patients with type 2 diabetes mellitus with complications of hypertension at most in the age group 55-64 years (27,5%), female gender (65%). There are 9 classes of therapy, most therapeutic classes of drugs is the use of nutrition and blood (100%), hormonal antidiabetika drugs (97,5%) of regular insulin (RI) (47.5%), cardiovascular drugs (90%), ie ACE inhibitors (52.5%), followed by ARBs and calcium channel Blokers. Prescribing patterns can be seen from the incident DTPs which indicated that without the drug (25%), IUD (10%), no incident found no indication DTPs drug therapy, drugs that are ineffective, the dosage is too low, too high doses .

(14)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... v

PRAKATA... vi

PERNYATAAN KEASLIAN... x

INTISARI... xi

ABSTRACT...xii

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN... xx

Bab I. PENDAHULUAN... 1

A.Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah... 3

2. Keaslian penelitian ... 3

3. Manfaat penelitian... 5

a. Manfaat praktis... 5

b. Manfaat teoritis ... 5

(15)

xiv

1. Tujuan umum ... 6

2. Tujuan khusus ... 6

Bab II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 7

A. Diabetes Mellitus ... 7

1. Definisi... 7

2. Klasifikasi ... 7

B. Diabetes Mellitus Tipe 2 ... 8

1. Definisi... 8

2. Etiologi... 8

3. Epidemiologi ... 8

4. Patofisiologi ... 9

5. Diagnosis... 11

6. Gejala dan Tanda... 12

C. Hipertensi ... 13

1. Definisi... 13

2. Etiologi... 13

3. Epidemiologi ... 14

4. Klasifikasi ... 15

5. Patofisiologi ... 16

D. Diabetes Mellitus Komplikasi Hipertensi ... 18

1. Hubungan antara DM Tipe 2 dengan Hipertensi ... 18

2. Patofisiologi ... 18

(16)

xv

a. Tujuan terapi ... 19

b. Sasaran terapi ... 20

c. Strategi terapi ... 20

d. Informasi kelas obat ... 21

E. Drug Therapy Problems(DTPs)... 32

1. Peresepan yang tidak rasional ... 32

2. Terminologi DTPs... 32

3. Kategori DTPs... 33

F. KETERANGAN EMPIRIS... 34

Bab III. METODE PENELITIAN ... 35

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 35

B. Definisi Operasional... 36

C. Subjek Penelitian... 38

D. Bahan Penelitian... 38

E. Lokasi Penelitian... 39

F. Tata Cara Penelitian ... 39

G. Tata Cara Analisis Hasil... 39

H. Kesulitan Penulis... 45

Bab IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

A. Karakteristik Pasien DM Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi... 46

1. Berdasarkan kelompok usia ... 46

2. Berdasarkan kelompok jenis kelamin ... 48

(17)

xvi

1. Kelas terapi... 49

2. Golongan obat ... 51

C. Kajian DTPs ... 66

D. Rangkuman ... 73

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78

LAMPIRAN... 81

(18)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Klasifikasi Diabates Mellitus ... 7

Tabel II. Kriteria DM Tipe 2... 12

Tabel III. Klasifikasi Hipertensi... 15

Tabel IV. Patogenesis Hipertensi ... 15

Tabel V. KategoriDrug Theraphy Problems...33

Tabel VI. Karakteristik Pasien DM tipe 2 Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen Periode 2007-2009 Berdasarkan Kelompok Usia ... 51

Tabel VII. Karakteristik Pasien DM tipe 2 Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen Periode 2007-2009 Berdasarkan Kelompok Jenis Kelamin... 53

Tabel VIII. Obat Golongan Antidiabetika pada Pasien DM tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007 ... 54

Tabel VII. Obat Golongan Kardiovaskular pada Pasien DM tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 57

(19)

xviii

Tabel X. Obat Saluran Cerna pada Pasien DM tipe 2

dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 60

Tabel XI. Obat saluran nafas pada pasien DM tipe 2

dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 61

Tabel XII. Obat Golongan Antibiotika pada Pasien DM tipe 2

dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 62

Tabel XIII. Obat Skelet dan Sendi pada Pasien DM tipe 2

dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 63

Tabel XIV. Obat Ginjal dan Saluran Kemih pada Pasien DM tipe 2

dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 64

Tabel XV. Obat Gizi dan Darah pada Pasien DM tipe 2

dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 67

Tabel XVI Kejadian DTP Ada Indikasi Tanpa Obat pada Pasien DM Tipe 2

dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 71

Tabel XVII Kejadian DTPs ADR dan Interaksi Obat pada Pasien DM Tipe 2

dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

(20)

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patofisiologi DM tipe 2... 9

Gambar 2. Bagan Tahap Pengambilan Data ... 42

Gambar 4. Diagram Karakteristik Pasien DM tipe 2

dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD

Kebumen Periode 2007-2009 Berdasarkan Kelompok Usia ... 47

Gambar 4. Diagram Karakteristik Pasien DM tipe 2 dengan

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD

Kebumen Periode 2007-2009 Berdasarkan Jenis Kelamin ... 48

Gambar 5. Diagram Persentase Kelas Terapi Pasien DM Tipe 2

dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

(21)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kajian DRPs Kasus 1 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 82

Lampiran 2. Kajian DRPs Kasus 2 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 83

Lampiran 3. Kajian DRPs Kasus 3 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 84

Lampiran 4. Kajian DRPs Kasus 4 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 85

Lampiran 5. Kajian DRPs Kasus 5 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 86

Lampiran 6. Kajian DRPs Kasus 6 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 87

Lampiran 7. Kajian DRPs Kasus 7 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

(22)

xxi

Lampiran 8. Kajian DRPs Kasus 8 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 89

Lampiran 9. Kajian DRPs Kasus 9 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 90

Lampiran 10. Kajian DRPs Kasus 10 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 91

Lampiran 11. Kajian DRPs Kasus 11 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 92

Lampiran 12. Kajian DRPs Kasus 12 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 93

Lampiran 13. Kajian DRPs Kasus 13 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 94

Lampiran 14. Kajian DRPs Kasus 14 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 95

Lampiran 15. Kajian DRPs Kasus 15 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

(23)

xxii

Lampiran 16. Kajian DRPs Kasus 16 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 97

Lampiran 17. Kajian DRPs Kasus 17 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 98

Lampiran 18. Kajian DRPs Kasus 18 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 99

Lampiran 19. Kajian DRPs Kasus 19 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 100

Lampiran 20. Kajian DRPs Kasus 20 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 101

Lampiran 21. Kajian DRPs Kasus 21 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 102

Lampiran 22. Kajian DRPs Kasus 22 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 103

Lampiran 23. Kajian DRPs Kasus 23 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

(24)

xxiii

Lampiran 24. Kajian DRPs Kasus 24 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 105

Lampiran 25. Kajian DRPs Kasus 25 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 106

Lampiran 26. Kajian DRPs Kasus 26 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 107

Lampiran 27. Kajian DRPs Kasus 27 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 108

Lampiran 28. Kajian DRPs Kasus 28 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 109

Lampiran 29. Kajian DRPs Kasus 29 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 110

Lampiran 30. Kajian DRPs Kasus 30 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 111

Lampiran 31. Kajian DRPs Kasus 31 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

(25)

xxiv

Lampiran 32. Kajian DRPs Kasus 32 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 113

Lampiran 33. Kajian DRPs Kasus 33 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 114

Lampiran 34. Kajian DRPs Kasus 34 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 115

Lampiran 35. Kajian DRPs Kasus 35 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 116

Lampiran 36. Kajian DRPs Kasus 36 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 117

Lampiran 37. Kajian DRPs Kasus 37 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 118

Lampiran 38. Kajian DRPs Kasus 38 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 119

Lampiran 39. Kajian DRPs Kasus 39 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

(26)

xxv

Lampiran 40. Kajian DRPs Kasus 40 Diabetes Mellitus tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 121

Lampiran 41 Surat Ijin Penelitian POLINMAS Kebumen, Jawa Tengah... 122

Lampiran 42 Surat Perijinan Provinsi DIY ... 123

Lampiran 43 Surat Perijinan RSUD Kebumen, Jawa Tengah... 124

Lampiran 44 Surat Perijinan BAPEDA Kebumen, Jawa Tengah ... 125

Lampiran 45 Surat Perijinan Provinsi Jawa Tengah ... 126

Lampiran 46 Surat Perijinan Fakultas Farmasi

(27)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang tidak

ditularkan (Non-Communicable Disease ) namun sering ditemukan dalam

masyarakat di seluruh dunia. Adapun di negara-negara berkembang, penyakit

DM dianggap sebagai penyebab kematian dengan perbandingan 4 sampai 5

kali dibandingkan dengan penyakit lain. Insidensi penyakit DM terus

meningkat secara tajam, berdasarkan penelitian pada tahun 2007 tercatat

sebanyak 177 juta penderita DM di seluruh dunia, dan diperkirakan pada

tahun 2025 jumlah penderita DM sebanyak 300 juta orang (Permana, 2007).

Hipertensi banyak dijumpai pada pasien DM tipe 2 dimana diperkirakan

prevalensinya mencapai 50-70% (Amiruddin, 2007). Penyakit degeneratif

tersebut timbul karena berbagai faktor risiko seperti pola hidup, kebiasaan

merokok, dislipidemia, obesitas, usia lanjut dan riwayat keluarga (Amiruddin,

2007).

Komplikasi DM dengan hipertensi ini mempunyai faktor risiko yang

tinggi mengingat bahwa hipertensi merupakan awal proses terjadinya penyakit

kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner, stroke dan komplikasi DM

meliputi komplikasi makrovaskuler dan komplikasi mikrovaskuler seperti

nefropati, neuropati dan retinopati. Penyakit kardiovaskular merupakan salah

satu komplikasi yang terjadi pada DM dan penyumbang 86% kematian pada

(28)

penderita DM (Pacheco, Parrot and Raskin, 2002). Pada umumnya terapi

pengobatan yang diterima pasien DM tipe 2 dengan hipertensi sangat

kompleks, maka perlu penatalaksanaan terapi yang tepat terutama dalam

penggunaan obat harus disesuaikan sehingga dapat mengendalikan risiko

penyakit komplikasi lain yang menyertai.

Evaluasi penggunaan obat merupakan proses jaminan mutu resmi dan

terstruktur yang dilaksanakan terus-menerus, yang ditujukan untuk menjamin

obat yang tepat, aman, dan efektif (BPOM, 2008). Menurut Cipolle dan Strand

(2004) evaluasi ini meliputi ada indikasi penyakit yang tidak diberikan obat,

ada indikasi tanpa obat, obat yang tidak efektif, dosis yang terlalu rendah,

dosis yang terlalu tinggi, adverse drug reaction. Penggunaan obat dalam

jangka waktu yang lama seperti pada penderita DM tipe 2 dengan hipertensi

dapat meningkatkan reaksi obat yang merugikan. Oleh karena itu penggunaan

obat pada pasien dengan kondisi tersebut baik pasien rawat inap maupun rawat

jalan perlu dipantau dan dievaluasi untuk menjamin penggunaan obat yang

aman, tepat dan rasional sehingga diharapkan dapat mencegah terjadinya

komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler yang terjadi pada gejala

lanjutan DM.

Penelitian mengenai evaluasi peresepan pada pasien DM tipe 2 dengan

komplikasi hipertensi dilakukan pada pasien di Instalasi Rawat Inap RSUD

Kebumen. Penelitian ini dilakukan di RSUD Kebumen karena dalam tahap pra

survai terdapat prevalensi penyakit DM tipe 2 sebanyak 250 kasus per tahun.

RSUD Kebumen merupakan satu-satunya rumah sakit rujukan bagi puskesmas

(29)

1. Perumusan masalah

a. bagaimana karakteristik pasien DM tipe 2 dengan komplikasi

hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah pada

periode 2007-2009 meliputi kelompok usia dan kelompok jenis

kelamin?

b. bagaimana pola peresepan pada pasien DM tipe 2 dengan komplikasi

hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah

periode 2007-2009?

c. bagaimana kajianDrug Therapy Problemsyang terjadi pada kasus DM

tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah periode

2007-2009, yang meliputi :

1) apakah ada indikasi penyakit tanpa obat?

2) apakah ada terapi obat tanpa indikasi?

3) adakah pemakaian obat yang tidak efektif?

4) apakah terjadiadverse drug reactiondan interaksi obat?

5) apakah dosis yang diterima pasien terlalu rendah?

6) apakah dosis yang diterima pasien terlalu tinggi?

2. Keaslian penelitian

Penelusuran yang dilakukan penulis terkait penelitian berjudul “ Evaluasi

Peresepan Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Komplikasi

Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode

(30)

penelitian mengenai penyakit DM tipe 2 dengan komplikasi hipertensi sudah

pernah dilakukan oleh beberapa peneliti lain dengan judul sebagai berikut :

a. Evaluasi Penatalaksanaan Terapi Pasien Diabetes Melitus Komplikasi

Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Periode Mei 2008 – Mei 2009 oleh Aprilistyawati tahun 2010.Perbedaan

dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah subjek penelitian,

lokasi dan tahun penelitian, penentuan jumlah sampel, perbedaan drug

related problems(DRPs) yang ditemukan.

b. Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Penderita Hipertensi

Dengan Diabetes Mellitus di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum

Daerah Dr. M. Ashari Pemalang Tahun 2008 oleh Renatasari tahun

2009. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah

subjek penelitian, lokasi dan tahun penelitian.

c. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes

Mellitus tipe 2 Komplikasi Hipertensi di Rumah Sakit Umum Dr.

Sardjito Yogyakarta Periode 2007-2008 oleh Herlinawati tahun 2008.

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah subjek

penelitian, lokasi dan tahun penelitian, penentuan jumlah sampel,

perbedaandrug related problems(DRPs) yang ditemukan..

d. Evaluasi Penatalaksanaan Terapi Diabetes Mellitus Komplikasi

Hipertensi Rawat Inap Periode 2005 Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta oleh Meirinawati tahun 2006. Perbedaan dengan

(31)

diteliti pada penelitian ini tidak diamati karakteristik penyakit penyerta

dan komplikasi penyerta pasien, subjek penelitian, lokasi dan tahun

penelitian, acuan pustaka yang digunakan penulis menggunakan

MIMS Indonesia edisi 9 tahun 2009/2010, Drug Information

Handbook (DIH) edisi 17, dan Informatorium Obat Nasional Indonesia

(IONI) 2008.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

kerasionalan peresepan melalui evaluasi DTPs yang dilakukan pada

pasien DM tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap

RSUD Kebumen, Jawa Tengah pada periode 2007-2009.

b. Manfaat teoritis

Penelitian ini dapat digunakan sebagai evaluasi dan bahan masukan

untuk mengembangkan konsep pelayanan farmasi klinik di RSUD

Kebumen, Jawa Tengah dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan

kesehatan, khususnya terkait dengan kerasionalan peresepan pada

(32)

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Untuk mengetahui kerasionalan peresepan pasien DM tipe 2 dengan

komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa

Tengah periode 2007-2009.

2. Tujuan khusus

a. mengetahui karakteristik pasien DM tipe 2 dengan komplikasi

hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah

periode 2007-2009 meliputi usia, jenis kelamin.

b. mengetahui pola peresepan pada pasien DM tipe 2 dengan

komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Kebumen,

Jawa Tengah periode 2007-2009.

c. mengkajiDrug Therapy Problemsyang terjadi pada kasus DM tipe

2 dengan komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD

Kebumen, Jawa Tengah periode 2007-2009, yang meliputi :

1) ada indikasi penyakit tanpa obat.

2) adanya terapi obat tanpa indikasi.

3) pemakaian obat yang tidak efektif.

4) terjadiadverse drug reactiondan interaksi obat.

5) dosis yang diterima pasien terlalu rendah.

(33)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus 1. Definisi

Menurut American Diabetes Association / ADA (cit., DiPiro, 2008), DM

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

kedua-duanya.

2. Klasifikasi

Tabel I. Klasifikasi Penyakit DM (Triplittet al., 2005).

Jenis DM Etiologi

DM tipe 1 Diakibatkan karena defisiensi insulin secara absolut yang diakibatkan oleh rusaknya sel β pankreas dengan proses yang tidak diketahui yang berakibat sekresi insulin tidak memenuhi atau bahkan tidak sama sekali.

DM tipe 2 Karena adanya resistensi insulin sehingga glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam jaringan akibatnya glukosa menumpuk dalam darah dan terjadi hiperglikemia. Memiliki karakteristik antara lain berkurangnya sekresi insulin, resistensi insulin dalam otot, hati dan adipose.

DM gestasional Karena intoleransi glukosa pada masa kehamilan pada wanita hamil. Beberapa wanita akan kembali normal setelah melahirkan, tetapi 30-50% akan berkembang menjadi DM tipe 2 atau kemudian menjadi intoleransi glukosa.

DM tipe lain Dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu karena konsumsi obat, adanya infeksi bakteri, penyakit eksokrin pankreas dan kelainan genetik yang berkaitan dengan diabetes lainnya.

(34)

B. Diabetes Mellitus Tipe 2 1. Definisi

Menurut ADA (cit., DiPiro, 2008), DM tipe 2 adalah DM yang tidak

tergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus), terjadi

akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau

akibat penurunan jumlah produksi insulin.

2. Etiologi

DM tipe 2 berhubungan dengan insulin, yaitu pada resistensi insulin

dan gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya

kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan

perifer dan dapat menghambat produksi glukosa oleh hati. Normalnya

insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.

Ketidakmampuan reseptor dalam mengikat insulin, maka terjadi resistensi

pada sel pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intra sel.

Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi

pengambilan glukosa oleh jaringan (DiPiro, 2008).

Faktor genetik juga sangat berperan dalam DM tipe 2. Adanya

ketidaknormalanpostreseptordapat mengganggu kerja insulin, yang dapat

menyebabkan resistensi pada insulin pada selβ-pankreas (DiPiro, 2008).

3. Epidemiologi

Dari keseluruhan jumlah kasus DM terdapat 90% kasus DM tipe 2.

(35)

sebesar 70%. Prevalensi penyakit DM tipe 2 semakin meningkat seiring

bertambahnya usia. Pada umumnya, penyakit DM tipe 2 akan meningkat

pada usia remaja disebabkan karena kesalahan gaya hidup. Penyakit yang

bersifat menahun (kronis) dapat menyerang pria maupun wanita, namun

kasus tersebut meningkat pada wanita (PERKENI, 2008).

4. Patofisiologi

Gambar 1. Patofisiologi DM tipe 2 (Patrick, 2010)

Pada kondisi insulin normal dalam keadaan puasa, 75% dari total

pembuangan glukosa tubuh terjadi di jaringan yang tidak tergantung

insulin, sisanya 25% berlangsung di otot yang bergantung pada insulin.

Dalam keadaan puasa, glukagon dihasilkan oleh sel pankreas untuk

melawan insulin yang merangsang produksi glukosa hepatik. Glukagon

(36)

yang tercerna dapat meningkatkan konsentrasi glukosa plasma yang

merangsang pelepasan insulin dari sel β pankreas. Proses ini dapat mengakibatkan hiperinsulinemia melalui:

1) Menekan produksi glukosa hepatik,

2) Menstimulasi pengambilan glukosa oleh mayoritas jaringan perifer

(80% -85%) dari glukosa yang diambil oleh jaringan perifer dari

dalam otot, dengan sejumlah kecil (4% -5%) terjadi metabolisme

oleh sel adiposa. Jadi dalam keadaan makan, glukagon ditekan.

Sel β pankreas yang berfungsi normal dapat menyesuaikan sekresi insulin untuk menjaga toleransi glukosa normal. Pada orang non-diabetik,

insulin meningkat sebanding dengan tingkat keparahan resistensi insulin,

dan toleransi glukosa tetap normal (DiPiro, 2008).

Pada pasien DM tipe 2, penurunan sekresi insulin postprandial

disebabkan oleh gangguan fungsi sel β pankreas dan rangsangan untuk menurunkan sekresi insulin dari hormon usus. Pasien DM tipe 2 juga

mengalami hiperglikemia puasa (140-200 mg / dl, 7,8-11,1 mmol / L),

karena produksi glukosa hepatik meningkat sebesar 0,5 mg / kg per menit.

Akibatnya, orang DM berbobot 80 kg selama tidur malam terjadi

penambahan 35 g glukosa ke sirkulasi sistemik. Peningkatan produksi

glukosa hepatik puasa menyebabkan hiperglikemia puasa (DiPiro, 2008).

Setelah proses menelan glukosa, insulin yang disekresi ke vena porta

dibawa ke hati, dimana ia menekan sekresi glukagon dan mengurangi

(37)

glukagon sebagai respons terhadap makanan bahkan memiliki

kecenderungan peningkatan kenaikan glukagon. Sehingga resistensi

insulin hepatik mengakibatkan hiperglukagonemia. Oleh karena itu, pasien

DM tipe 2 memiliki dua sumber postprandial glukosa, satu dari makanan

dan satu dari produksi glukosa dari hati (DiPiro, 2008).

DM tipe 2 dicirikan dengan defisiensi sekresi insulin dan resistensi

insulin pada otot, hati dan jaringan adipose. Resistensi insulin ini

disebabkan oleh obesitas, sindrom metabolik, dan juga terjadi pada pasien

DM tipe 2 yang berbadan kurus. Pada jaringan lemak di rongga

abdominal, terjadi peningkatan lipolisis, yang berakibat pada peningkatan

produksi asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini akan dilepaskan ke

dalam sirkulasi portal menuju hepar, di mana hal ini akan menstimulasi

produksi VLDL dan menurunkan sensitifitas insulin pada jaringan perifer.

Selain itu, jaringan lemak dirongga abdominal ini juga akan memproduksi

sitokin yang akan menyebabkan resisensi insulin. Sitokin ini akan

dilepaskan ke dalam sirkulasi portal dan mengurangi sensitifas insulin

pada jaringan perifer. Sel lemak juga memiliki kemampuan untuk

memproduksi salah satu hormon yang dapat meningkatkan sensitifitas

insulin. Hormon ini akan mengalami penurunan produksi seiring dengan

pertambahan berat badan (DiPiro, 2008).

5. Diagnosis

Penyakit DM tipe 2 dapat didiagnosis dengan mengetahui kadar gula

(38)

setelah makan atau glukosa darah sewaktu (postprandial plasma glucose).

Selain itu HbA1C (Hemoglobin A1C) digunakan untuk mengetahui kadar

glukosa darah, dimana dalam keadaan hipoglikemia dapat menyebabkan

menurunnya kadar HbA1C (DiPiro, 2008). Hemoglobin A1C adalah suatu

produk non enzim yang dapat menggambarkan level glukosa dalam darah

(Genauth, 2003).

ADA dan American College of Endocrinologist (ACE) serta

American Association of Clinical Endochrinologist (AACE) memiliki

kriteria mengenai kadar gula darah puasa (preprandial plasma glucose)

dan kadar gula darah 2 jam setelah makan atau glukosa darah sewaktu

(postprandial plasma glucose) serta HbA1C (Hemoglobin A1C) untuk

mendiagnosis penyakit DM tipe 2 (DiPiro, 2008).

Tabel II. Kriteria Diabetes Mellitus Tipe 2(DepKes, 2008)

Bukan DM Belum Pasti DM DM

Kadar glukosa darah Sewaktu

- Plasma vena < 110 110 – 199 > 200 - Darah kapiler < 90 90 – 199 > 200 Kadar glukosa darah

Puasa

- Plasma vena < 110 110 – 125 > 126 - Darah kapiler < 90 90 --109 > 110

6. Gejala dan Tanda

Manifestasi klinik diabetes dikaitkan dengan konsekuensi metabolik

defiensi insulin. Pada pasien penderita DM tipe 1 sering memperlihatkan

timbulnya gejala-gejala yang eksplosif disertai polidipsia, poliuria,

(39)

berlangsung selama beberapa hari atau minggu. Untuk DM tipe 2 terdapat

keluhan khas diabetes (poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya) disertai dengan satu nilai

pemeriksaan glukosa darah tidak normal (glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl dan/atau glukosa darah puasa≥126 mg/dl yang diperiksa pada hari yang sama atau pada hari yang berbeda). Sebagian besar diantara

pasien-pasien ini gemuk, diduga bahwa pemasukkan karbohidrat yang tinggi,

sel-sel adipose yang besar dan gangguan metabolisme glukosa intrasel-sel

merupakan penyebab penurunan kepekaan terhadap insulin (Soegondo,

2005).

C. Hipertensi 1. Definisi

Hipertensi adalah penyakit meningkatnya tekanan darah arteri yang

dapat membahayakan sistem organ dan mempunyai faktor risiko terhadap

penyakit kardiovaskuler. Hipertensi tidak dapat disembuhkan tetapi dapat

dikontrol dan dikendalikan (Saseen dan Carter, 2005). Tekanan darah

sendiri didefinisikan sebagai kekuatan yang diberikan darah pada dinding

dalam pembuluh arteri pada saat terjadi kontraksi dan relaksasi otot

jantung (Stringer, 2001).

2. Etiologi

Menurut etiologinya, hipertensi digolongkan menjadi dua macam,

(40)

a) Hipertensi primer (essential/primary hypertension)

Merupakan jenis hipertensi yang tidak diketahui sebabnya dengan

pasti. Diduga ada banyak faktor yang dapat menjadi penyebab kenaikkan

tekanan darah pada hipertensi primer sehingga sulit diketahui sebab

pastinya, seperti faktor genetik, gaya hidup, mutasi, maupun abnormalitas

fisiologis, dan sebagainya. Sebanyak 90% dari seluruh kasus hipertensi

yang terjadi merupakan hipertensi primer (DiPiro, 2008).

b) Hipertensi sekunder (secondary hypertension)

Hipertensi sekunder merupakan jenis hipertensi yang dapat diketahui

secara pasti penyebabnya. Hipertensi jenis ini terjadi kurang dari 10% dari

jumlah seluruh kasus kenaikkan tekanan darah yang persisten. Penyebab

yang paling umum adalah terjadinya disfungsi ginjal akibat penyakit ginjal

kronis. Selain itu, beberapa jenis obat-obatan dan substansi makanan juga

dapat menjadi penyebab terjadinya hipertensi sekunder ini, seperti beberapa

jenis steroid, NSAID (inhibitor COX-2), fenilpropanolamin dan analognya,

dan sebagainya (DiPiro, 2008).

3. Epidemiologi

Di Indonesia, pada tahun 2007, diperkirakan 15 juta penduduk

mengalami hipertensi. 4% di antaranya merupakan hipertensi terkontrol.

Jumlah tersebut tersebar di seluruh wilayah, baik di wilayah perkotaan

maupun di pedesaan dan meningkat dari tahun ke tahun, diperkirakan

(41)

komplikasi hipertensi secara keseluruhan pada orang asia sebesar 35%

(Permana, 2007).

4. Klasifikasi

Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 dengan batasan usia diatas 18

adalah sebagai berikut :

Tabel III. Klasifikasi Hipertensi menurut JNC 7 (Saseen dan Carter, 2005). Klasifikasi Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80 Prehipertensi 120-139 80-89 Hipertensi stage I 140-159 90-99 Hipertensi stage II ≥160 ≥100

Hipertensi dibagi menjadi hipertensi primer dan hipertensi sekunder.

Hipertensi primer terjadi pada lebih dari 95% dari kasus hipertensi,

hipertensi ini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Hipertensi ini

terjadi oleh akibat multifaktor yang meliputi ketidaknormalan proses

biokimia, genetik yang mengarah pada riwayat penyakit kardiovaskuler

dalam keluarga, dan faktor lingkungan. Hipertensi sekunder disebabkan

abnormalitas sistem organ tubuh, diantaranya yang sering terjadi akibat

penyakit pada parenkim ginjal, penyakit endokrin, obat-obatan, dan

kontrasepsi oral (Oparil dan Calhourn, 2003).

Krisis hipertensi terjadi saat tekanan darah lebih dari 180/120 mmHg,

dibedakan menjadi hypertension emergencies yang mengarah akut dan

(42)

mengarah pada keduanya. Namun kedua kondisi ini membutuhkan obat

antihipertensi oral (Saseen dan Carter, 2005).

5. Patofisiologi

Patogenesis hipertensi meliputi faktor yang terkait variabel dengan

persamaan:

BP (tekanan darah) = CO (curah jantung) x TPR (tahanan perifer)

Tabel IV . Patogenesis Mekanisme Potensial (Saseen dan Carter, 2005).

Preload meningkat :

Volume cairan meningkat karena asupan Na+ bertambah atau retensi renal karena

Σnefron menurun atau GFR menurun.

Cardiac outputmeningkat

Konstriksi Vena :

a. Stimulasi RAAS berlebihan b. Sistem saraf simpatis terlalu aktif Konstriksi vaskular :

a. Stimulasi RAAS berlebihan b. Sistem saraf simpatis terlalu aktif c. Perubahan genetik membran sel d. Faktor endotel

Resistensi perifer meningkat

Hipertropi vaskular :

a. Stimulasi RAAS berlebihan b. Sistem saraf simpatis terlalu aktif c. Perubahan genetik membran sel d. Faktor endotel

e. Hiperinsulinemia karena obesitas atau metabolik sindrom

Dalam kondisi normal, tekanan darah dalam tubuh diatur oleh banyak

faktor, oleh karena itu, banyak kemungkinan gangguan yang mungkin

menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah. Faktor-faktor pengatur

(43)

(RAA), hormon-hormon pengatur keseimbangan natrium, kalium, dan

kalsium, serta mekanisme neurologis.

Sistem RAA merupakan sistem endogen pengatur keseimbangan cairan,

natrium, dan kalium, yang termasuk dalam komponen regulasi tekanan darah

di dalam tubuh. Sistem ini sendiri dikendalikan oleh ginjal. Pada bagian

arteriola ginjal terdapat sel glomerular. Di dalamnya terdapat renin, suatu

enzim yang akan disekresikan jika sel juxtaglomerular menangkap sinyal

berupa terjadinya penurunan tekanan darah dalam tubuh. Setelah

disekresikan, renin akan mengkatalisasi konversi angintensinogen menjadi

angiotensin I yang kemudian dikonversi lagi menjadi angiotensin II oleh

enzim angintensin-converting-enzyme (ACE). Enzim ini memiliki beberapa

reseptor di dalam tubuh yang dapat mempengaruhi tekanan darah, antara lain

di otak, ginjal, myocardium, pembuluh perifer, dan di kelenjar adrenal.

Dihasilkannya angiotensin II dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah

melalui beberapa mekanisme, antara lain terjadinya vasokonstriksi,

peningkatan aktivitas saraf simpatik, pelepasan katekolamin, serta pelepasan

aldosterone, suatu hormon yang mengatur keseimbangan cairan, natrium, dan

kalium (DiPiro, 2008).

Tekanan darah juga dipengaruhi oleh diameter dalam pembuluh arteri

yang akan mempengaruhi nilai tahanan perifer pembuluh (tekanan darah =

cardiac output x tahanan perifer). Oleh karena itu, penyempitan pembuluh

darah karena terbentuknya plak (endapan lipid, kalsium, sel darah) juga akan

(44)

D. Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Hipertensi 1. Hubungan antara DM Tipe 2 dengan Hipertensi

Hubungan antara hipertensi dengan DM sangat kuat karena beberapa

kriteria yang sering ada pada pasien hipertensi yaitu peningkatan tekanan

darah, obesitas, dislipidemia dan peningkatan glukosa darah (Saseen and

Carter, 2005). Hipertensi adalah suatu faktor risiko yang utama untuk penyakit

kardiovaskular dan komplikasi mikrovaskular seperti nefropati dan retinopati

(Pacheco, 2002). Pada DM, selain keadaan hiperglikemia/ gangguan toleransi

glukosa sebagai faktor risiko, juga dapat ditemukan faktor risiko

kardiovaskuler lain, seperti resistensi insulin, hiperinsulinemia, dislipidemia,

hipertensi, hiperkoagulasi, obesitasvisceral, mikroalbuminuria. Keadaan yang

sangat multifaktorial ini menyebabkan insidensi penyakit kadiovaskuler pada

diabetes tinggi dan terus meningkat apabila pengelolaannya tidak

komprehensif. Dasar patofisologi dari kelainan tersebut adalah adanya

gangguan pada metabolisme (Abnormality Metabolism) yang disebut sindroma

metabolik (ADA, 2005).

2. Patofisiologi

Proses terjadinya DM dengan komplikasi hipertensi adalah saat kadar

glukosa darah yang terlalu banyak akan menyebabkan cairan ekstraseluler

menjadi lebih pekat karena itu glukosa darah tidak dapat masuk ke dalam sel

sehingga glukosa masuk ke dalam tubulus ginjal. Bila kadar glukosa bernilai

(45)

dikeluarkan melalui ginjal. Akibatnya terjadi dehidrasi seluler, hal tersebut

karena glukosa tidak dapat dengan mudah berdifusi melalui pori-pori

membran sel dan naiknya tekanan osmotik dalam cairan ekstraseluler sehingga

menarik cairan dari dalam sel (sel mengalami dehidrasi). Kehilangan cairan

yang besar dalam urin sehingga menyebabkan dehidrasi cairan ekstraseluler

dan berlanjut dehidrasi intraseluler yang menyebabkan volume cairan

ekstraseluler menjadi bertambah. Kenaikan volume ini akan meningkatkan

cardiac output sehingga pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah

pasien (Guytonet al., 1996).

Penyebab utama kematian pada DM adalah karena komplikasi penyakit

kardiovaskuler, dan manajemen hipertensi merupakan strategi yang sangat

penting untuk mengurangi risiko. Nilai tekanan darah yang direkomendasikan

oleh JNC 7 untuk pasien hipertensi dengan penyakit DM adalah < 130/80

mmHg (Saseen dan Carter, 2005).

3. Penatalaksanaan Terapi Pasien DM Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi

a. Tujuan terapi :

1). Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda DM komplikasi

hipertensi, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target

pengendalian glukosa darah.

2). Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas

(46)

3). Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas

DM (PERKENI, 2008).

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian

glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalui

pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan

mandiri dan perubahan perilaku. (Triplittet al., 2005).

b. Sasaran terapi :

1. Kadar glukosa darah setelah makan < 180 mg/dL

2. Kadar glukosa darah sewaktu 90-180 mg/dL

3. Nilai HbA1C < 7%

4. Nilai tekanan darah 130/80 mmHg (Saseen dan Carter, 2005).

c. Strategi terapi

Strategi terapi yang dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu terapi non

farmakologi dan terapi farmakologi.

1. Terapi non farmakologi

Terapi yang dapat dilakukan dengan mengubah gaya hidup, antara

lain:

 Pengurangan berat badan

 Mengurangi asupan garam (natrium)

 Melakukan olahraga secara teratur

(47)

2. Terapi farmakologi

Semua pasien DM tipe 2 dengan komplikasi hipertensi dapat

diterapi dengan regimen antihipertensi meliputi ACEI atau ARB,

selain itu data menunjukkan bahwa ACEI dapat menurunkan risiko

kardiovaskuler pada pasien dengan penyakit jantung. Penelitian

menunjukkan adanya penggunaan ACEI terdapat pengurangan risiko

kardiovaskuler, sedangkan pada penggunaan ARB terdapat risiko dari

disfungsi ginjal pada pasien dengan DM tipe 2 (Saseen dan Carter,

2005).

d. Informasi Kelas Obat 4.1. Terapi untuk DM

4.1.1 Insulin

Insulin dapat pula digunakan pada DM tipe 2 dengan ketentuan

sebagai berikut :

 Saat terapi untuk DM tipe 2 gagal atau terjadi kontraindikasi

karena masa kehamilan atau hipersensitif.

 Penggunaan saat kadar glukosa naik akibat stress ataupun infeksi,

serta akibat pembedahan (Triplitet al., 2005).

Mekanisme kerja insulin adalah mengubah glukosa menjadi

glikogen, meningkatkan sintesis protein dan lemak, memperlambat

pemecahan glikogen, protein dan lemak, menyeimbangkan cairan dan

(48)

Dosis insulin yang digunakan disesuaikan untuk setiap individu.

Ada 3 macam sediaan insulin, yaitu :

1. insulin kerja singkat (short acting), yaitu insulin yang bekerja

relatif cepat, contohnya insulin lispro, insulin aspart, dan insulin

soluble. Insulin ini memiliki kerja cepat (30-60 menit), kerja

puncak antara 2 dan 4 jam dan lama kerja hingga 8 jam.

2. insulin kerja sedang (intermediate acting) contohnya insulin

isophane dan suspensi insulin seng.

3. insulin kerja panjang dengan mula kerja lebih lambat, contohnya

suspensi insulin seng. Memiliki masa kerja 1-2 jam, efek maksimal

4-12 jam, dan lama kerja 16-35 jam (BPOM, 2008).

4.1.2 Sulfonilurea

Mekanisme aksi utama dari sulfonilurea adalah meningkatkan

sekresi insulin. Sulfonilurea berikatan dengan reseptor sulfo yang spesifik

pada sel beta di pankreas. Peningkatan Ca2+ dalam sel menyebabkan

sekresi insulin ke permukaan sel dan mengakibatkan insulin keluar dari sel

beta. Kenaikan sekresi insulin dari pankreas yang berasal dari pembuluh

vena dapat menekan produksi glukosa hati. Sulfonilurea memacu sekresi

insulin dan potensi kerja pankreas antara lain meningkatkan afinitas

reseptor - insulin di jaringan perifer (DiPiro, 2008).

Obat golongan sulfonilurea yang digunakan antara lain : tolbutamid

(49)

diabetes berusia lanjut karena mempunyai masa kerja yang relatif singkat

yaitu 6-12 jam dengan waktu paruh eliminasinya sebesar 4-5 jam;

klorpropamid merupakan golongan sulfonilurea yang cepat diserap diusus,

dimetabolisme dalam hati dan metabolitnya cepat dieksresikan lewat ginjal

dan memiliki masa paruh sekitar 36 jam. Tolazamid dengan efektivitas

yang sama dengan klorpropamid namun masa kerjanya lebih pendek

daripada klorpropamid (Karam dan Martha, 2007). Gliburid yang

merupakan sulfonilurea yang dimetabolisme di hati menjadi produk

dengan aktivitas hipoglikemik yang sangat rendah dan dikontraindikasikan

terhadap pasien dengan kerusakan hati dan insufisiensi ginjal; glipizid

yang dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan hati atau ginjal;

glimepirid yang dapat mencapai penurunan glukosa dengan dosis paling

rendah dari semua senyawa sulfonilurea dan dosis yang diberikan satu kali

sehari karena glimepirid memiliki masa kerja yang panjang (Karam dan

Martha, 2007).

4.1.3 Short –Acting Insulin Secret Agogues

Tempat pengikatan obat golongan ini berdekatan dengan tempat

pengikatan obat golongan sulfonilurea, contohnya yaitu nateglinide dan

repaglinide juga merangsang seksresi insulin dari sel  pankreas, mirip

dengan sulfonilurea. Repaglinide merupakan derivat asam benzoat, dan

nateglinide merupakan derivat asam amino fenilalanin, yang keduanya

(50)

hipoglikemia (DiPiro, 2008). Pemakaian dosis awal nateglinide adalah 60

mg diberikan tiga kali sehari diberikan 30 menit sebelum makan, dosis

maksimal pemakaian 180 mg tiga kali sehari, anak dan remaja di bawah 18

tahun tidak dianjurkan. Sedangkan dosis awal pemberian repaglinid 500

mg diberikan 30 menit sebelum makan (1 mg jika mendapat obat

hipoglikemik oral lain) disesuaikan dengan respon pada interval 1-2

minggu, sampai 4 mg diberikan dosis tunggal, dosis maksimal 16 mg

sehari, anak remaja dibawah 18 tahun dan lanjut usia diatas 75 mg tidak

dianjurkan (BPOM, 2008).

4.1.4 Biguanide

Salah satu golongan biguanide adalah metformin yang mekanisme

kerjanya meningkatkan sensitivitas insulin dari jaringan hati dan perifer.

Metformin meningkatkan sensitivitas insulin agar glukosa dapat masuk

dalam jaringan. Metformin tidak dimetabolisme dan tidak berikatan

dengan protein plasma, dieliminasi melalui sekresi tubuler ginjal dan

filtrasi glomenural. Mekanisme kerjanya adalah merangsang langsung

glikolisis pada jaringan perifer, dengan peningkatan pengeluaran glukosa

dari darah, mengurangi glukoneogenesis hati, memperlambat absorpsi

glukosa dari saluran pencernaan, menghambat kadar glukagon plasma,

meningkatkan pengikatan insulin ke reseptor insulin (DiPiro, 2008). Dosis

metformin ditentukan secara individu berdasarkan manfaat dan

(51)

dosis awal 500 mg setelah sarapan dan makan malam untuk

sekurang-kurangnya 1 minggu, kemudian 500 mg setelah sarapan, setelah makan

siang dan setelah makan malam. Dosis maksimum per hari 2 mg dalam

dosis terbagi. Kontraindikasi gangguan fungsi ginjal dan ketoasidosis

(BPOM, 2008).

4.1.5 Thiazolidinedione (TZDs)

TZDs bekerja dengan berikatan pada reseptor γ

-peroksisom-proliferator-aktivasi (PPAR- γ), dimana terletak pada sel lemak dan sel

vaskular. Konsentrasi dari reseptor PPAR-γ dalam otot sangat rendah, hal inilah yang menyebabkan otot tidak dijadikan reseptor utama dari aksi

obat TZDs. TZDs dapat mempertinggi sensitivitas insulin dalm otot, hati,

dan jaringan lemak secara tidak langsung (DiPiro, 2008). Golongan

tiazolidindion terdiri dari tiga macam, yaitutriglitazone, rosiglitazine, dan

pioglitazone (Neal, 2002). Penggunaan pioglitazon dengan dosis awal

15-30 mg sekali sehari ditingkatkan menjadi 45 mg sekali sehari disesuaikan

dengan respon. Sedangkan penggunaan rosiglitazon dosis awal 4 mg

sehari, jika digunakan tunggal atau kombinasi dengan metformin dapat

ditingkatkan menjadi 8 mg sehari (dalam 1 atau 2 dosis terbagi) setelah 8

minggu disesuaikan dengan respon, anak dibawah 18 tahun tidak

dianjurkan. Kontraindikasi pioglitazon dan rosiglitazon adalah gangguan

hati, riwayat gagal jantung, kombinasi dengan insulin (risiko gagal

(52)

4.1.6- Glucosidase Inhibitors

Obat golongan ini secara kompetitif menghambat enzim (maltase,

isomaltase, sukrase, dan glukoamilase) di usus kecil, sehingga menunda

pemecahan sukrosa dan karbohidrat menjadi glukosa tetapi tidak

menyebabkan malabsorpsi gizi sehingga mengurangi peningkatan glukosa

darah, contoh obat golongan ini yaitu acarbose dan miglitole (DiPiro,

2008). Dosis pemberianacarbosetergantung respon individu, biasanya 50

mg dapat ditingkatkan sampai dengan 100-200 mg tiga kali sehari. Dosis

dapat ditingkatkan dengan interval 4-8 minggu atau lebih. Diberikan

bersama suapan pertama saat makan. Untuk anak dibawah 18 tahun tidak

dianjurkan (BPOM, 2008).

4.1.7 DPP – IV Inhibitors

Hormon incretin glucagon-like peptide-1 (GLP-1) memiliki suatu

spektrum efek fisiologis yang menarik untuk pengobatan DM tipe 2. Oleh

karena itu, salah satu cara memanfaatkan efek GLP-1 adalah dengan

menghambat dipeptidyl-peptidase-IV (DPP-IV) untuk meningkatkan

pelepasan hormon secara endogen. Selain menurunkan glukosa darah

puasa danpostprandial, inhibitor DPP-IV juga tampak mengurangi HbA1c

secara signifikan. Sebuah studi menunjukkan efek tersebut terus-menerus

selama lebih dari setahun dan untuk penurunan HbA1c-nya sebanding

dengan pemberian terapi metformin. Pengurangan kadar glukosa darah

(53)

penghambatan sekresi glukagon dari sel alfa (DiPiro, 2008). Vildagliptin

dan sitagliptin merupakan contoh dari penghambat DPP-IV. Obat ini

memblokir hampir 100% dari aktivitas enzim DPP-IV kira-kira dalam

waktu 12 jam (Triplitt et al., 2008). Sitagliptin digunakan sebagai terapi

kombinasi dengan metformin. Dosis pemberian 100 mg sekali sehari.

Insufisiensi ginjal derajat sedang (bersihan kreatinin >30- <50 ml/menit)

50 mg sekali sehari. Insufiensi ginjal berat (bersihan kreatinin <30

ml/menit) 25 mg sekali sehari. Perhatian untuk penderita DM tipe 1 atau

ketoasidosis diabetikum dan infusiensi ginjal (UBM Medica, 2010).

4.2 Terapi untuk Hipertensi 4.2.1 First Line Therapy

Obat yang digunakan sebagai First Line Therapy dalam DM

komplikasi hipertensi menurut standar yang dikeluarkan ADA meliputi

golongan di bawah ini :

a. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

Mekanisme kerja penghambat ACEI sebagai terapi utama DM

komplikasi hipertensi, menghambat perubahan angiotensin I menjadi

angiotensin II sehingga mengakibatkan dilatasi perifer dan mengurangi

resistensi perifer yang efeknya dapat menurunkan tekanan darah.

Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang kuat mampu

(54)

kecil mengakibatkan juga adanya retensi air dan sodium, hingga

menurunkan tekanan darah (Rudnick, 2001).

Golongan obat ACEI yang sering digunakan adalah captopril.

Dosis awal pada hipertensi adalah 12,5 mg dua kali sehari, jika digunakan

dengan obat diuretika atau pasien lanjut usia dosis awal 6,25 mg dua kali

sehari (dosis pertama sebelum tidur), dosis penunjang lazim 25 mg dua

kali sehari, dosis maksimal 50 mg dua kali sehari (jarang tiga kali sehari

pada hipertensi berat) (BPOM, 2008).

b. Angiotensin Reseprtor Blockers (ARBs)

Angiotensin dihasilkan oleh 2 jalur enzimatis yaitu melalui sistem

angiotensin-aldosteron atau yang dikenal dengan Renin Angiotensin

Aldosteron System (RAAS) yang dihambat oleh ACEI dan suatu enzim

yaitu angiotensin I convertase (human chymase). Angiotensin reseptor

blockers berperan dalam menghambat jalur yang kedua. Angiotensin

reseptor blockers (misalnya losartan) menurunkan tekanan darah dengan

memblok reseptor angiotensin (AT1) yang terletak di otak, ginjal,

myocardium, dan kelenjar adrenal. Obat ini mempunyai sifat yang sama

dengan ACEI tetapi tidak menyebabkan batuk karena obat ini tidak

mencegah degradasi bradikinin (Neal, 2005). Losartan, irbesartan,

valsartan adalah antagonis reseptor angiotensin II. Penggunaan obat ini

harus hati-hati pada stenorsis arteri ginjal, sangat dianjurkan untuk

pemantauan kadar kalium plasma terutama pada pasien lansia dan pasien

(55)

sehari (usia lanjut di atas 75 tahun, gangguan fungsi ginjal sedang sampai

berat, deplesi cairan, dimulai dengan 25 mg sekali sehari), bila perlu

tingkatkan dosis setelah berminggu-minggu menjadi 100 mg sekali sehari

(BPOM, 2008).

4.2.2 Second Line Therapy

a. Diuretik

Mekanisme kerja diuretik dalam menurunkan tekanan darah

dengan mengekskresi cairan dan elektrolit melalui ginjal sehingga

menyebabkan penurunan volume darah yang berefek pada penurunan

cardiac output. Penurunancardiac output akan menyebabkan penurunan

tekanan darah. Penggunaan bersama dengan NSAID (Non Steroid Anti

Inflamasi Drug)dapat menurunkan efek dari diuretik (Rudnick, 2001).

Obat diuretik digolongkan menjadi tiga, yaitu diuretik thiazide

(hidroclorthiazide/HCT), diuretik kuat (furosemide), dan diuretik hemat

kalium (spironolakton). Diuretik thiazid, misalnya bendrofluazid banyak

digunakan untuk pasien gagal jantung ringan atau sedang dan digunakan

untuk hipertensi dalam bentuk tunggal untuk pengobatan hipertensi ringan

atau dikombinasi dengan obat lain untuk pengobatan hipertensi berat.

Diberikan dengan dosis 2,5 mg pada pagi hari (BPOM, 2008).

Diuretika kuat digunakan dalam pengobatan gagal jantung kronik,

menurunkan tekanan darah terutama pada hipertensi yang resisten

(56)

furosemid dan bumetanid, keduanya bekerja dalam waktu 1 jam setelah

pemberian oral dan efek berakhir setelah 6 jam sehingga perlu diberikan

dua kali sehari. Pada furosemid dosis awal diberikan 40 mg pada pagi

hari, penunjang 20-40 mg sehari ditingkatkan sampai 80 mg sehari pada

edema yang resistensi (BPOM, 2008).

Diuretika hemat kalium menyebabkan retensi kalium dan

digunakan sebagai alternatif yang lebih efektif sebagai suplementasi

kalium pada penggunaan tiazid atau diuretika kuat. Contohnya amilorid

dan triamteren. Dosis awal pemberian amilorid hidroklorida 10 mg sehari

atau 5 mg dua kali sehari, maksimal 20 mg sehari. Dengan diuretika lain,

gagal jantung kongestif dan hipertensi dosis awal 5-10 mg sehari.

Sedangkan triamteren diberikan dosis awal 150-250 mg sehari, dosis

dikurangi menjadi setiap dua hari setelah satu minggu, diberikan dalam

dosis terbagi setelah sarapan dan makan siang, dosis awal diberikan lebih

rendah apabila dikombinasikan bersama diuretika lain (BPOM, 2008).

b. βBlockers

Beta blocker dapat menurunkan tekanan darah melalui penurunan

cardiac output. Beta blocker cenderung meningkatkan trigliserid serum

dan menurunkan kadar kolesterol HDL. Penggunaan bersamaan dengan

digoksin dapat menyebabkan bertambahnya efek heart rate. Penggunaan

bersama sulfonilurea dapat menyebabkan penurunan efek dari sulfonilurea

(57)

Obat yang sering digunakan dalam pengobatan hipertensi adalah

atenolol, propanolol. Dosis propanolol hidroklorida pada hipertensi adalah

80 mg dua kali sehari, hipertensi portal dosis awal adalah 40 mg dua kali

sehari, tingkatkan 80 mg dua kali sehari sesuai frekuensi jantung, dosis

maksimal 160 mg dua kali sehari. Pada atenolol dosis diberikan 50 mg

sehari (BPOM, 2008).

c. Calcium Channel Blocker (CCB)

Mekanisme kerja obat golongan CCB yaitu menghambat masuknya

ion Ca2+ sehingga menyebabkan relaksasi otot polos arteriol. Hal ini

menyebabkan turunnya resistensi perifer dan menyebabkan turunnya

tekanan darah. Efek dari CCB akan menurun jika diberikan secara

bersamaan dengan suplemen kalsium (Rudnick, 2001).

Obat jenis ini yang sering digunakan adalah verapamil, nifedipin

dan amlodipin. Dosis awal amlodipin untuk hipertensi atau angina 5 mg

sehari, dosis maksimal 10 mg sekali sehari. Sedangkan nifedipin dosis

awal yang diberikan 10 mg (usia lanjut dan gangguan hati 5 mg) tiga kali

sehari dengan atau setelah makan. Hipertensi ringan sampai sedang

bahkan profilaksis angina, dapat diberikan sediaan lepas lambat 30 mg

sekali sehari (tingkatkan bila perlu, maksimal 90 mg sekali sehari) atau 20

mg dua kali sehari dengan atau setelah makan (awalnya 10 mg dua kali

(58)

E. Drug Therapy Problems(DTPs) 1. Peresepan yang Tidak Rasional

Penggunaan obat yang tidak tepat jika risiko yang mungkin terjadi

tidak seimbang dengan manfaat dari pemberian suatu obat. Pengobatan

dapat dinilai tidak rasional apabila indikasi penggunaan obat tidak jelas

atau keliru; pemilihan obat yang tidak sesuai artinya obat yang dipilih

bukan obat yang bermanfaat, aman dan ekonomis; cara penggunaan obat

yang tidak tepat meliputi besarnya takaran dosis, cara pemberian,

frekuensi dan lama pemberian; kondisi dan riwayat pasien yang tidak

didiagnosis dengan tepat artinya apakah ada keadaan pasien yang

memungkinkan penyesuaian dosis maupun penggunaan suatu obat;

pemberian obat tidak disertai dengan penjelasan yang sesuai, mengenai

efek dan penggunaan obat kepada pasien maupun keluarganya. (BPOM,

2008)).

2. TerminologiDrug Therapy Problems

Drug Therapy Problems (DTPs) adalah suatu permasalahan atau

kejadian yang tidak diharapkan pada pasien selama proses terapi obat,

sehingga menganggu tujuan terapi. Drug Therapy Problems(DTPs) dapat

muncul pada setiap tahap proses pengobatan. Setiap praktisi tenaga

kesehatan bertanggungjawab untuk membantu pasien dalam hal

(59)

pasien. DTPs merupakan tanggung jawab utama dari seorang farmasis

sebagai praktisi tenaga kesehatan (Cipolle dan Strand, 2004).

3. Kategori DTPs

Pentingnya identifikasi dan kategori tidak hanya masalah DTPs

namun juga penyebab-penyebab terjadinya DTPs. DTPs tidak dapat

dipecahkan ataupun dicegah tanpa memahami penyebab-penyebabnya

(Cipolle dan Strand, 2004).

Tabel V. Kategori DTPs (Cipolle dan Strand, 2004). Drug Therapy Problems Penyebab umum dariDrug Therapy Problems

Terapi obat tanpa indikasi Tidak adanya indikasi medis yang valid untuk terapi obat yang digunakan pada saat itu, banyaknya pemakaian banyak obat (multiple drug) untuk kondisi tertentu padahal hanya memerlukan terapi obat tunggal, kondisi medis lebih sesuai diobati tanpa terapi obat, terapi obat digunakan untuk menghilangkan adverse reaction yang berhubungan dengan pengobatan lain, penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol, atau merokok yang menyebabkan masalah.

Perlu tambahan terapi obat Suatu kondisi dimana penderita memerlukan terapi inisiasi obat, pencegahan terapi obat diperlukan untuk mengurangi risiko berkembangnya penyakit baru, kondisi medis yang memerlukan farmakoterapi tambahan untuk mencapai sinergisme atau efek adiktif

Obat yang tidak efektif Obat yang digunakan bukan obat yang paling efektif terhadap masalah medis yang dialami, kondisi medis terbiaskan dengan adanya obat, bentuk sediaan obat yang tidak sesuai, obat tidak efektif terhadap indikasi yang dialami.

(60)

Adverse Drug Reaction Obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak ada hubungannya dengan besarnya dosis, obat yang lebih aman diperlukan terhadap faktor risiko, interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak ada hubungannya dengan besarnya dosis, adanya regimen dosis atau berubah sangat cepat, obat menyebabkan alergi, obat kontraindikasi terhadap faktor risiko.

Dosis terlalu tinggi Dosis terlalu tinggi, frekuensi pemakaian obat terlalu singkat, durasi obat terlalu panjang, interaksi obat terjadi karena hasil reaksi toksik dari obat, dosis obat diberikan terlalu cepat.

Kepatuhan pasien Pasien tidak mengerti instruksi pemakaian, pasien memilih untuk tidak memakai obat, pasien lupa untuk memakai obat, harga obat yang terlalu mahal bagi pasien, pasien tidak dapat menelan atau memakai obat sendiri secara tepat, obat tidak tersedia bagi pasien.

F. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan evaluasi mengenai pola

peresepan pada pasien DM tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat

Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah periode 2007-2009 yang terkait denganDrug

Therapy Problem yaitu merupakan masalah yang dapat timbul selama pasien

diberi terapi, yaitu adanya indikasi penyakit komplikasi tanpa obat, adanya terapi

obat tanpa indikasi, pemakaian obat yang tidak efektif, terjadinya adverse drug

(61)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai evaluasi peresepan pada pasien DM tipe 2 dengan

komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah

periode 2007-2009 merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan

rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Penelitian non

eksperimental merupakan penelitian yang observasinya dilakukan terhadap

sejumlah ciri (variabel) subjek menurut keadaan apa adanya (in nature), tanpa

adanya manipulasi atau intervensi peneliti (Pratiknya, 2001).

Rancangan penelitian deskriptif evaluatif karena hanya bertujuan

melakukan eksplorasi deskriptif terhadap fenomena kesehatan yang terjadi

kemudian mengevaluasi data dari rekam medik (Notoatmodjo, 2005).

Penelitian ini merupakan rancangan deskriptif evaluatif dikarenakan data yang

diperoleh dari lembar rekam medis kemudian dievaluasi berdasarkan studi

pustaka, dan dideskripsikan dengan memaparkan fenomena yang terjadi, yang

kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel. Penelitian ini bersifat retrospektif

karena data yang digunakan diambil dengan melakukan penelusuran terhadap

dokumen terdahulu yaitu berupa rekam medis pasien DM tipe 2 dengan

komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah

periode 2007-2009.

Gambar

Tabel XII.Obat Golongan Antibiotika pada Pasien DM tipe 2
Gambar 1.Patofisiologi DM tipe 2..............................................................
Tabel I. Klasifikasi Penyakit DM (Triplitt et al., 2005).
Gambar 1. Patofisiologi DM tipe 2 (Patrick, 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perbandingan perilaku sosial siswa yang mengikuti ekstrakurikuler bola voli dengan siswa yang mengikuti ekstrakurikuler pramuka pada siswa SMA Negeri Se-Kota Sukabumi

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa semakin baik tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi anjuran maka semakin berminat melakukan imunisasi anjuran pada

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, Puji syukur kehadirat Illahi Rabbi yang telah melimpahkan rahmat dan karunia–Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan

sebagai Pembimbing yang telah memberikan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini,. anggota Combinatorial Research Group yang saling memberikan kritik, saran,

Salah satu fokus yang telah diberi perhatian oleh KPPM adalah semua JPN, PPD dan sekolah perlu memastikan guru berada dalam bilik darjah (guru mata pelajaran atau guru

Penelitian terdiri atas tiga kegiatan utama, yaitu (1) survei kejadian penyakit yang dilakukan di areal pertanaman tomat di beberapa ketinggian tempat di Jawa Barat mulai dari

[r]

163 tahun 2007 akan direvisi dengan menyertakan nama program studi dalam Bahasa lndonesia yang benar, nama program studi dalam Bahasa Inggris, kode program studi