EVALUASI PERESEPAN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP
RSUD KEBUMEN, JAWA TENGAH PERIODE 2007-2009
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Anita Ruth Dewiana NIM : 078114015
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
EVALUASI PERESEPAN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP
RSUD KEBUMEN, JAWA TENGAH PERIODE 2007-2009
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Anita Ruth Dewiana NIM : 078114015
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iii
Pengesahan Skripsi Berjudul
EVALUASI PERESEPAN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP
RSUD KEBUMEN, JAWA TENGAH PERIODE 2007-2009 Oleh :
Anita Ruth Dewiana NIM : 078114015
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Pada tanggal : ………
Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Dekan
Ipang Djunarko, M.Sc., Apt.
Panitia Penguji :
1. Yunita Linawati, M.Sc., Apt. ...
2. dr. Fenty, M.Kes., SpPK. ...
iv
Skr i psi i n i kuper sembahkan un t uk :
Tuhan Yesus Kr i st us at as kasi h dan pen y er t aan -Ny a... Ay ah, Ibu dan adi kku at as ci n t a, seman gat dan doa...
vi
PRAKATA
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Evaluasi Peresepan Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi
Hipertensi di Instalasi rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode
2007-2009”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Strata Satu Program Studi Farmasi.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mengalami
permasalahan, kesulitan, suka dan duka. Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik karena adanya dukungan, perhatian dan semangat dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Gubernur DIY Yogyakarta, Gubernur Jawa Tengah, Kepala
POLINMAS Propinsi Jawa Tengah, Kepala Badan Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Tengah, Kepala POLINMAS Kabupaten Kebumen,
Kepala Badan Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen (BAPPEDA)
yang telah berkenan memberikan ijin untuk melakukan penelitian di
RSUD Kebumen, Jawa Tengah.
2. Bapak Tri Tunggal Eko Sapto, MPH. selaku Direktur RSUD
Kebumen, Jawa Tengah yang telah berkenan memberikan ijin untuk
vii
3. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan ijin bagi peneliti
untuk melakukan penelitian ini.
4. Yunita Linawati, M.Sc., Apt. selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberi dukungan, perhatian, semangat dan bimbingan dalam
mengarahkan penulis dari awal hingga selesai pembuatan skripsi ini.
5. Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan saran dan masukan dalam proses penyusunan skripsi.
6. dr. Fenty, M.Kes., SpPK. selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan saran dan masukan dalam proses penyusunan skripsi.
7. Seluruh dosen pengajar dan staf di Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma yang telah memberikan bantuan dan ilmu pengetahuan
melalui materi kuliah kepada penulis selama mengikuti proses
perkuliahan.
8. Bpk Wisnu Nugroho, Bpk Sabdono, Bpk Lutfi, Bpk Wawan, Bpk
Mariman yang telah memberikan dukungan dan kerja sama selama
penelitian berlangsung.
9. Orang tuaku tercinta Ayah Misran Daniel dan Ibu Rowiyah yang telah
memberikan kasih sayang, cinta, dukungan, perhatian dan doa yang tak
kunjung henti hingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
10. Adikku Emiliana Setyowardhani tercinta yang telah memberikan
viii
11. dr. Y. S. Rivan Wijaya, yang selalu memberikan kasih sayang,
semangat, inspirasi, dukungan dan selalu menemaniku selama
penelitian dan penulisan skripsi serta menyadarkan penulis untuk
selalu tegar, sabar dan tekun.
12. Teman - teman SMP dan SMA Pius Bakti Utama : Tian, Ellen, Nina,
Bobby, Ian, David, Kaka, Deshie, Philipus, Endah, Rara, kak Berta,
kak Eni yang terus memberikan semangat bagi penulis selama
menyelesaikan skripsi.
13. Bapak dan ibu kost serta teman-teman kosku, Reny, mbak Siska, mbak
Deshie, Defie, Hetty, Diana yang memberikan bantuan, saran,
perhatian dan semangat selama penelitian.
14. Teman – temanku, Mbak Rere, Ayu “Amink”, Ayu “Tegal”, Mega,
Icha, Chandra, Lina, Afni, Mika, Dwi, Yeyen, Eyik, Dhea, Indy, atas
bantuan dan semangat bagi penulis saat penelitian.
15. Teman- teman Co-Fasilitator dan Fasilitator PPKM 2009, atas
inspirasi, pengalaman, pembelajaran, kebersamaaan dan kedewasaan
yang diperoleh penulis selama ini.
16. Teman-teman di kelas FKK A 2007 dan angkatan 2007, yang telah
memberikan saran dan semangat untuk skripsi ini.
17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu, memberikan doa, dukungan dan perhatian bagi penulis
ix
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini terjadi kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis dan
pembaca.
xi
INTISARI
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin maupun resistensi insulin. Hipertensi sering dijumpai pada pasien DM tipe 2 dimana diperkirakan prevalensinya mencapai 50-70%. Pengobatan yang diterima pasien DM tipe 2 dengan hipertensi sangat kompleks, maka diperlukan ketepatan terapi terutama dalam penggunaan obat sehingga dapat mengendalikan risiko penyakit komplikasi lain yang menyertai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pola peresepan terkait drug theraphy problems (DTPs) pada pasien DM tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah periode 2007-2009. Penelitian ini merupakan rancangan penelitian non eksperimental yaitu deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif, menggunakan rekam medik pasien periode 2007-2009.
Hasil penelitian menunjukkan pasien DM tipe 2 dengan komplikasi hipertensi paling banyak pada kelompok usia 55-64 tahun (27,5%), jenis kelamin wanita (65%). Terdapat 9 kelas terapi, terbanyak adalah penggunaan obat gizi dan darah (97,5%), obat antidiabetika hormonal (90%) yaitu reguler insulin (RI) (47,5%), obat kardiovaskular (87,5%) yaitu ACE inhibitors (52,5%), lalu diikuti ARBs dan Calsium Channel Blokers. Pola peresepan dilihat dari kejadian DTPs dimana terdapat indikasi tanpa obat (30 %), ADR (10%), tidak ditemukan kejadian DTPs terapi obat tanpa indikasi, obat yang tidak efektif, dosis yang terlalu rendah, dosis yang terlalu tinggi.
Kata kunci : DM Tipe 2, hipertensi, pola peresepan, drug therapy problems
xii
ABSTRACT
Diabetes Mellitus (DM) is a metabolic disease with hyperglycemia characteristic that occurs due to impaired insulin secretion and insulin resistance. Hypertension is common in patients with type 2 diabetes where the prevalence is estimated to reach 50-70%. Received medical therapy of type 2 DM patients with hypertension are complex, the necessary accuracy, especially in the use of drug therapy should be adjusted so as to control the risk of other complications that accompany the disease.
This study aims to evaluate drug problems Therapy (DTPs) in patients with type 2 diabetes mellitus with complications of hypertension at the Installation of Hospital Inpatient Kebumen, Central Java, period 2007-2009. This research is a non-experimental research design with descriptive evaluative design is retrospective, using medical records of patients the period 2007-2009.
The results showed patients with type 2 diabetes mellitus with complications of hypertension at most in the age group 55-64 years (27,5%), female gender (65%). There are 9 classes of therapy, most therapeutic classes of drugs is the use of nutrition and blood (100%), hormonal antidiabetika drugs (97,5%) of regular insulin (RI) (47.5%), cardiovascular drugs (90%), ie ACE inhibitors (52.5%), followed by ARBs and calcium channel Blokers. Prescribing patterns can be seen from the incident DTPs which indicated that without the drug (25%), IUD (10%), no incident found no indication DTPs drug therapy, drugs that are ineffective, the dosage is too low, too high doses .
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... v
PRAKATA... vi
PERNYATAAN KEASLIAN... x
INTISARI... xi
ABSTRACT...xii
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR TABEL... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN... xx
Bab I. PENDAHULUAN... 1
A.Latar Belakang ... 1
1. Perumusan masalah... 3
2. Keaslian penelitian ... 3
3. Manfaat penelitian... 5
a. Manfaat praktis... 5
b. Manfaat teoritis ... 5
xiv
1. Tujuan umum ... 6
2. Tujuan khusus ... 6
Bab II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 7
A. Diabetes Mellitus ... 7
1. Definisi... 7
2. Klasifikasi ... 7
B. Diabetes Mellitus Tipe 2 ... 8
1. Definisi... 8
2. Etiologi... 8
3. Epidemiologi ... 8
4. Patofisiologi ... 9
5. Diagnosis... 11
6. Gejala dan Tanda... 12
C. Hipertensi ... 13
1. Definisi... 13
2. Etiologi... 13
3. Epidemiologi ... 14
4. Klasifikasi ... 15
5. Patofisiologi ... 16
D. Diabetes Mellitus Komplikasi Hipertensi ... 18
1. Hubungan antara DM Tipe 2 dengan Hipertensi ... 18
2. Patofisiologi ... 18
xv
a. Tujuan terapi ... 19
b. Sasaran terapi ... 20
c. Strategi terapi ... 20
d. Informasi kelas obat ... 21
E. Drug Therapy Problems(DTPs)... 32
1. Peresepan yang tidak rasional ... 32
2. Terminologi DTPs... 32
3. Kategori DTPs... 33
F. KETERANGAN EMPIRIS... 34
Bab III. METODE PENELITIAN ... 35
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 35
B. Definisi Operasional... 36
C. Subjek Penelitian... 38
D. Bahan Penelitian... 38
E. Lokasi Penelitian... 39
F. Tata Cara Penelitian ... 39
G. Tata Cara Analisis Hasil... 39
H. Kesulitan Penulis... 45
Bab IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46
A. Karakteristik Pasien DM Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi... 46
1. Berdasarkan kelompok usia ... 46
2. Berdasarkan kelompok jenis kelamin ... 48
xvi
1. Kelas terapi... 49
2. Golongan obat ... 51
C. Kajian DTPs ... 66
D. Rangkuman ... 73
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 76
A. Kesimpulan ... 76
B. Saran... 77
DAFTAR PUSTAKA ... 78
LAMPIRAN... 81
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Klasifikasi Diabates Mellitus ... 7
Tabel II. Kriteria DM Tipe 2... 12
Tabel III. Klasifikasi Hipertensi... 15
Tabel IV. Patogenesis Hipertensi ... 15
Tabel V. KategoriDrug Theraphy Problems...33
Tabel VI. Karakteristik Pasien DM tipe 2 Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen Periode 2007-2009 Berdasarkan Kelompok Usia ... 51
Tabel VII. Karakteristik Pasien DM tipe 2 Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen Periode 2007-2009 Berdasarkan Kelompok Jenis Kelamin... 53
Tabel VIII. Obat Golongan Antidiabetika pada Pasien DM tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007 ... 54
Tabel VII. Obat Golongan Kardiovaskular pada Pasien DM tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 57
xviii
Tabel X. Obat Saluran Cerna pada Pasien DM tipe 2
dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 60
Tabel XI. Obat saluran nafas pada pasien DM tipe 2
dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 61
Tabel XII. Obat Golongan Antibiotika pada Pasien DM tipe 2
dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 62
Tabel XIII. Obat Skelet dan Sendi pada Pasien DM tipe 2
dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 63
Tabel XIV. Obat Ginjal dan Saluran Kemih pada Pasien DM tipe 2
dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 64
Tabel XV. Obat Gizi dan Darah pada Pasien DM tipe 2
dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 67
Tabel XVI Kejadian DTP Ada Indikasi Tanpa Obat pada Pasien DM Tipe 2
dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 71
Tabel XVII Kejadian DTPs ADR dan Interaksi Obat pada Pasien DM Tipe 2
dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Patofisiologi DM tipe 2... 9
Gambar 2. Bagan Tahap Pengambilan Data ... 42
Gambar 4. Diagram Karakteristik Pasien DM tipe 2
dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD
Kebumen Periode 2007-2009 Berdasarkan Kelompok Usia ... 47
Gambar 4. Diagram Karakteristik Pasien DM tipe 2 dengan
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD
Kebumen Periode 2007-2009 Berdasarkan Jenis Kelamin ... 48
Gambar 5. Diagram Persentase Kelas Terapi Pasien DM Tipe 2
dengan Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kajian DRPs Kasus 1 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 82
Lampiran 2. Kajian DRPs Kasus 2 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 83
Lampiran 3. Kajian DRPs Kasus 3 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 84
Lampiran 4. Kajian DRPs Kasus 4 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 85
Lampiran 5. Kajian DRPs Kasus 5 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 86
Lampiran 6. Kajian DRPs Kasus 6 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 87
Lampiran 7. Kajian DRPs Kasus 7 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
xxi
Lampiran 8. Kajian DRPs Kasus 8 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 89
Lampiran 9. Kajian DRPs Kasus 9 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 90
Lampiran 10. Kajian DRPs Kasus 10 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 91
Lampiran 11. Kajian DRPs Kasus 11 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 92
Lampiran 12. Kajian DRPs Kasus 12 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 93
Lampiran 13. Kajian DRPs Kasus 13 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 94
Lampiran 14. Kajian DRPs Kasus 14 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 95
Lampiran 15. Kajian DRPs Kasus 15 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
xxii
Lampiran 16. Kajian DRPs Kasus 16 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 97
Lampiran 17. Kajian DRPs Kasus 17 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 98
Lampiran 18. Kajian DRPs Kasus 18 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 99
Lampiran 19. Kajian DRPs Kasus 19 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 100
Lampiran 20. Kajian DRPs Kasus 20 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 101
Lampiran 21. Kajian DRPs Kasus 21 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 102
Lampiran 22. Kajian DRPs Kasus 22 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 103
Lampiran 23. Kajian DRPs Kasus 23 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
xxiii
Lampiran 24. Kajian DRPs Kasus 24 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 105
Lampiran 25. Kajian DRPs Kasus 25 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 106
Lampiran 26. Kajian DRPs Kasus 26 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 107
Lampiran 27. Kajian DRPs Kasus 27 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 108
Lampiran 28. Kajian DRPs Kasus 28 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 109
Lampiran 29. Kajian DRPs Kasus 29 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 110
Lampiran 30. Kajian DRPs Kasus 30 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 111
Lampiran 31. Kajian DRPs Kasus 31 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
xxiv
Lampiran 32. Kajian DRPs Kasus 32 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 113
Lampiran 33. Kajian DRPs Kasus 33 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 114
Lampiran 34. Kajian DRPs Kasus 34 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 115
Lampiran 35. Kajian DRPs Kasus 35 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 116
Lampiran 36. Kajian DRPs Kasus 36 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 117
Lampiran 37. Kajian DRPs Kasus 37 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 118
Lampiran 38. Kajian DRPs Kasus 38 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 119
Lampiran 39. Kajian DRPs Kasus 39 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
xxv
Lampiran 40. Kajian DRPs Kasus 40 Diabetes Mellitus tipe 2
Komplikasi Hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode 2007-2009 ... 121
Lampiran 41 Surat Ijin Penelitian POLINMAS Kebumen, Jawa Tengah... 122
Lampiran 42 Surat Perijinan Provinsi DIY ... 123
Lampiran 43 Surat Perijinan RSUD Kebumen, Jawa Tengah... 124
Lampiran 44 Surat Perijinan BAPEDA Kebumen, Jawa Tengah ... 125
Lampiran 45 Surat Perijinan Provinsi Jawa Tengah ... 126
Lampiran 46 Surat Perijinan Fakultas Farmasi
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang tidak
ditularkan (Non-Communicable Disease ) namun sering ditemukan dalam
masyarakat di seluruh dunia. Adapun di negara-negara berkembang, penyakit
DM dianggap sebagai penyebab kematian dengan perbandingan 4 sampai 5
kali dibandingkan dengan penyakit lain. Insidensi penyakit DM terus
meningkat secara tajam, berdasarkan penelitian pada tahun 2007 tercatat
sebanyak 177 juta penderita DM di seluruh dunia, dan diperkirakan pada
tahun 2025 jumlah penderita DM sebanyak 300 juta orang (Permana, 2007).
Hipertensi banyak dijumpai pada pasien DM tipe 2 dimana diperkirakan
prevalensinya mencapai 50-70% (Amiruddin, 2007). Penyakit degeneratif
tersebut timbul karena berbagai faktor risiko seperti pola hidup, kebiasaan
merokok, dislipidemia, obesitas, usia lanjut dan riwayat keluarga (Amiruddin,
2007).
Komplikasi DM dengan hipertensi ini mempunyai faktor risiko yang
tinggi mengingat bahwa hipertensi merupakan awal proses terjadinya penyakit
kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner, stroke dan komplikasi DM
meliputi komplikasi makrovaskuler dan komplikasi mikrovaskuler seperti
nefropati, neuropati dan retinopati. Penyakit kardiovaskular merupakan salah
satu komplikasi yang terjadi pada DM dan penyumbang 86% kematian pada
penderita DM (Pacheco, Parrot and Raskin, 2002). Pada umumnya terapi
pengobatan yang diterima pasien DM tipe 2 dengan hipertensi sangat
kompleks, maka perlu penatalaksanaan terapi yang tepat terutama dalam
penggunaan obat harus disesuaikan sehingga dapat mengendalikan risiko
penyakit komplikasi lain yang menyertai.
Evaluasi penggunaan obat merupakan proses jaminan mutu resmi dan
terstruktur yang dilaksanakan terus-menerus, yang ditujukan untuk menjamin
obat yang tepat, aman, dan efektif (BPOM, 2008). Menurut Cipolle dan Strand
(2004) evaluasi ini meliputi ada indikasi penyakit yang tidak diberikan obat,
ada indikasi tanpa obat, obat yang tidak efektif, dosis yang terlalu rendah,
dosis yang terlalu tinggi, adverse drug reaction. Penggunaan obat dalam
jangka waktu yang lama seperti pada penderita DM tipe 2 dengan hipertensi
dapat meningkatkan reaksi obat yang merugikan. Oleh karena itu penggunaan
obat pada pasien dengan kondisi tersebut baik pasien rawat inap maupun rawat
jalan perlu dipantau dan dievaluasi untuk menjamin penggunaan obat yang
aman, tepat dan rasional sehingga diharapkan dapat mencegah terjadinya
komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler yang terjadi pada gejala
lanjutan DM.
Penelitian mengenai evaluasi peresepan pada pasien DM tipe 2 dengan
komplikasi hipertensi dilakukan pada pasien di Instalasi Rawat Inap RSUD
Kebumen. Penelitian ini dilakukan di RSUD Kebumen karena dalam tahap pra
survai terdapat prevalensi penyakit DM tipe 2 sebanyak 250 kasus per tahun.
RSUD Kebumen merupakan satu-satunya rumah sakit rujukan bagi puskesmas
1. Perumusan masalah
a. bagaimana karakteristik pasien DM tipe 2 dengan komplikasi
hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah pada
periode 2007-2009 meliputi kelompok usia dan kelompok jenis
kelamin?
b. bagaimana pola peresepan pada pasien DM tipe 2 dengan komplikasi
hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah
periode 2007-2009?
c. bagaimana kajianDrug Therapy Problemsyang terjadi pada kasus DM
tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah periode
2007-2009, yang meliputi :
1) apakah ada indikasi penyakit tanpa obat?
2) apakah ada terapi obat tanpa indikasi?
3) adakah pemakaian obat yang tidak efektif?
4) apakah terjadiadverse drug reactiondan interaksi obat?
5) apakah dosis yang diterima pasien terlalu rendah?
6) apakah dosis yang diterima pasien terlalu tinggi?
2. Keaslian penelitian
Penelusuran yang dilakukan penulis terkait penelitian berjudul “ Evaluasi
Peresepan Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Komplikasi
Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah Periode
penelitian mengenai penyakit DM tipe 2 dengan komplikasi hipertensi sudah
pernah dilakukan oleh beberapa peneliti lain dengan judul sebagai berikut :
a. Evaluasi Penatalaksanaan Terapi Pasien Diabetes Melitus Komplikasi
Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
Periode Mei 2008 – Mei 2009 oleh Aprilistyawati tahun 2010.Perbedaan
dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah subjek penelitian,
lokasi dan tahun penelitian, penentuan jumlah sampel, perbedaan drug
related problems(DRPs) yang ditemukan.
b. Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Penderita Hipertensi
Dengan Diabetes Mellitus di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. M. Ashari Pemalang Tahun 2008 oleh Renatasari tahun
2009. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah
subjek penelitian, lokasi dan tahun penelitian.
c. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes
Mellitus tipe 2 Komplikasi Hipertensi di Rumah Sakit Umum Dr.
Sardjito Yogyakarta Periode 2007-2008 oleh Herlinawati tahun 2008.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah subjek
penelitian, lokasi dan tahun penelitian, penentuan jumlah sampel,
perbedaandrug related problems(DRPs) yang ditemukan..
d. Evaluasi Penatalaksanaan Terapi Diabetes Mellitus Komplikasi
Hipertensi Rawat Inap Periode 2005 Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta oleh Meirinawati tahun 2006. Perbedaan dengan
diteliti pada penelitian ini tidak diamati karakteristik penyakit penyerta
dan komplikasi penyerta pasien, subjek penelitian, lokasi dan tahun
penelitian, acuan pustaka yang digunakan penulis menggunakan
MIMS Indonesia edisi 9 tahun 2009/2010, Drug Information
Handbook (DIH) edisi 17, dan Informatorium Obat Nasional Indonesia
(IONI) 2008.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
kerasionalan peresepan melalui evaluasi DTPs yang dilakukan pada
pasien DM tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kebumen, Jawa Tengah pada periode 2007-2009.
b. Manfaat teoritis
Penelitian ini dapat digunakan sebagai evaluasi dan bahan masukan
untuk mengembangkan konsep pelayanan farmasi klinik di RSUD
Kebumen, Jawa Tengah dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan, khususnya terkait dengan kerasionalan peresepan pada
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Untuk mengetahui kerasionalan peresepan pasien DM tipe 2 dengan
komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa
Tengah periode 2007-2009.
2. Tujuan khusus
a. mengetahui karakteristik pasien DM tipe 2 dengan komplikasi
hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah
periode 2007-2009 meliputi usia, jenis kelamin.
b. mengetahui pola peresepan pada pasien DM tipe 2 dengan
komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Kebumen,
Jawa Tengah periode 2007-2009.
c. mengkajiDrug Therapy Problemsyang terjadi pada kasus DM tipe
2 dengan komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD
Kebumen, Jawa Tengah periode 2007-2009, yang meliputi :
1) ada indikasi penyakit tanpa obat.
2) adanya terapi obat tanpa indikasi.
3) pemakaian obat yang tidak efektif.
4) terjadiadverse drug reactiondan interaksi obat.
5) dosis yang diterima pasien terlalu rendah.
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus 1. Definisi
Menurut American Diabetes Association / ADA (cit., DiPiro, 2008), DM
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.
2. Klasifikasi
Tabel I. Klasifikasi Penyakit DM (Triplittet al., 2005).
Jenis DM Etiologi
DM tipe 1 Diakibatkan karena defisiensi insulin secara absolut yang diakibatkan oleh rusaknya sel β pankreas dengan proses yang tidak diketahui yang berakibat sekresi insulin tidak memenuhi atau bahkan tidak sama sekali.
DM tipe 2 Karena adanya resistensi insulin sehingga glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam jaringan akibatnya glukosa menumpuk dalam darah dan terjadi hiperglikemia. Memiliki karakteristik antara lain berkurangnya sekresi insulin, resistensi insulin dalam otot, hati dan adipose.
DM gestasional Karena intoleransi glukosa pada masa kehamilan pada wanita hamil. Beberapa wanita akan kembali normal setelah melahirkan, tetapi 30-50% akan berkembang menjadi DM tipe 2 atau kemudian menjadi intoleransi glukosa.
DM tipe lain Dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu karena konsumsi obat, adanya infeksi bakteri, penyakit eksokrin pankreas dan kelainan genetik yang berkaitan dengan diabetes lainnya.
B. Diabetes Mellitus Tipe 2 1. Definisi
Menurut ADA (cit., DiPiro, 2008), DM tipe 2 adalah DM yang tidak
tergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus), terjadi
akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau
akibat penurunan jumlah produksi insulin.
2. Etiologi
DM tipe 2 berhubungan dengan insulin, yaitu pada resistensi insulin
dan gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya
kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan
perifer dan dapat menghambat produksi glukosa oleh hati. Normalnya
insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.
Ketidakmampuan reseptor dalam mengikat insulin, maka terjadi resistensi
pada sel pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intra sel.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan (DiPiro, 2008).
Faktor genetik juga sangat berperan dalam DM tipe 2. Adanya
ketidaknormalanpostreseptordapat mengganggu kerja insulin, yang dapat
menyebabkan resistensi pada insulin pada selβ-pankreas (DiPiro, 2008).
3. Epidemiologi
Dari keseluruhan jumlah kasus DM terdapat 90% kasus DM tipe 2.
sebesar 70%. Prevalensi penyakit DM tipe 2 semakin meningkat seiring
bertambahnya usia. Pada umumnya, penyakit DM tipe 2 akan meningkat
pada usia remaja disebabkan karena kesalahan gaya hidup. Penyakit yang
bersifat menahun (kronis) dapat menyerang pria maupun wanita, namun
kasus tersebut meningkat pada wanita (PERKENI, 2008).
4. Patofisiologi
Gambar 1. Patofisiologi DM tipe 2 (Patrick, 2010)
Pada kondisi insulin normal dalam keadaan puasa, 75% dari total
pembuangan glukosa tubuh terjadi di jaringan yang tidak tergantung
insulin, sisanya 25% berlangsung di otot yang bergantung pada insulin.
Dalam keadaan puasa, glukagon dihasilkan oleh sel pankreas untuk
melawan insulin yang merangsang produksi glukosa hepatik. Glukagon
yang tercerna dapat meningkatkan konsentrasi glukosa plasma yang
merangsang pelepasan insulin dari sel β pankreas. Proses ini dapat mengakibatkan hiperinsulinemia melalui:
1) Menekan produksi glukosa hepatik,
2) Menstimulasi pengambilan glukosa oleh mayoritas jaringan perifer
(80% -85%) dari glukosa yang diambil oleh jaringan perifer dari
dalam otot, dengan sejumlah kecil (4% -5%) terjadi metabolisme
oleh sel adiposa. Jadi dalam keadaan makan, glukagon ditekan.
Sel β pankreas yang berfungsi normal dapat menyesuaikan sekresi insulin untuk menjaga toleransi glukosa normal. Pada orang non-diabetik,
insulin meningkat sebanding dengan tingkat keparahan resistensi insulin,
dan toleransi glukosa tetap normal (DiPiro, 2008).
Pada pasien DM tipe 2, penurunan sekresi insulin postprandial
disebabkan oleh gangguan fungsi sel β pankreas dan rangsangan untuk menurunkan sekresi insulin dari hormon usus. Pasien DM tipe 2 juga
mengalami hiperglikemia puasa (140-200 mg / dl, 7,8-11,1 mmol / L),
karena produksi glukosa hepatik meningkat sebesar 0,5 mg / kg per menit.
Akibatnya, orang DM berbobot 80 kg selama tidur malam terjadi
penambahan 35 g glukosa ke sirkulasi sistemik. Peningkatan produksi
glukosa hepatik puasa menyebabkan hiperglikemia puasa (DiPiro, 2008).
Setelah proses menelan glukosa, insulin yang disekresi ke vena porta
dibawa ke hati, dimana ia menekan sekresi glukagon dan mengurangi
glukagon sebagai respons terhadap makanan bahkan memiliki
kecenderungan peningkatan kenaikan glukagon. Sehingga resistensi
insulin hepatik mengakibatkan hiperglukagonemia. Oleh karena itu, pasien
DM tipe 2 memiliki dua sumber postprandial glukosa, satu dari makanan
dan satu dari produksi glukosa dari hati (DiPiro, 2008).
DM tipe 2 dicirikan dengan defisiensi sekresi insulin dan resistensi
insulin pada otot, hati dan jaringan adipose. Resistensi insulin ini
disebabkan oleh obesitas, sindrom metabolik, dan juga terjadi pada pasien
DM tipe 2 yang berbadan kurus. Pada jaringan lemak di rongga
abdominal, terjadi peningkatan lipolisis, yang berakibat pada peningkatan
produksi asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini akan dilepaskan ke
dalam sirkulasi portal menuju hepar, di mana hal ini akan menstimulasi
produksi VLDL dan menurunkan sensitifitas insulin pada jaringan perifer.
Selain itu, jaringan lemak dirongga abdominal ini juga akan memproduksi
sitokin yang akan menyebabkan resisensi insulin. Sitokin ini akan
dilepaskan ke dalam sirkulasi portal dan mengurangi sensitifas insulin
pada jaringan perifer. Sel lemak juga memiliki kemampuan untuk
memproduksi salah satu hormon yang dapat meningkatkan sensitifitas
insulin. Hormon ini akan mengalami penurunan produksi seiring dengan
pertambahan berat badan (DiPiro, 2008).
5. Diagnosis
Penyakit DM tipe 2 dapat didiagnosis dengan mengetahui kadar gula
setelah makan atau glukosa darah sewaktu (postprandial plasma glucose).
Selain itu HbA1C (Hemoglobin A1C) digunakan untuk mengetahui kadar
glukosa darah, dimana dalam keadaan hipoglikemia dapat menyebabkan
menurunnya kadar HbA1C (DiPiro, 2008). Hemoglobin A1C adalah suatu
produk non enzim yang dapat menggambarkan level glukosa dalam darah
(Genauth, 2003).
ADA dan American College of Endocrinologist (ACE) serta
American Association of Clinical Endochrinologist (AACE) memiliki
kriteria mengenai kadar gula darah puasa (preprandial plasma glucose)
dan kadar gula darah 2 jam setelah makan atau glukosa darah sewaktu
(postprandial plasma glucose) serta HbA1C (Hemoglobin A1C) untuk
mendiagnosis penyakit DM tipe 2 (DiPiro, 2008).
Tabel II. Kriteria Diabetes Mellitus Tipe 2(DepKes, 2008)
Bukan DM Belum Pasti DM DM
Kadar glukosa darah Sewaktu
- Plasma vena < 110 110 – 199 > 200 - Darah kapiler < 90 90 – 199 > 200 Kadar glukosa darah
Puasa
- Plasma vena < 110 110 – 125 > 126 - Darah kapiler < 90 90 --109 > 110
6. Gejala dan Tanda
Manifestasi klinik diabetes dikaitkan dengan konsekuensi metabolik
defiensi insulin. Pada pasien penderita DM tipe 1 sering memperlihatkan
timbulnya gejala-gejala yang eksplosif disertai polidipsia, poliuria,
berlangsung selama beberapa hari atau minggu. Untuk DM tipe 2 terdapat
keluhan khas diabetes (poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya) disertai dengan satu nilai
pemeriksaan glukosa darah tidak normal (glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl dan/atau glukosa darah puasa≥126 mg/dl yang diperiksa pada hari yang sama atau pada hari yang berbeda). Sebagian besar diantara
pasien-pasien ini gemuk, diduga bahwa pemasukkan karbohidrat yang tinggi,
sel-sel adipose yang besar dan gangguan metabolisme glukosa intrasel-sel
merupakan penyebab penurunan kepekaan terhadap insulin (Soegondo,
2005).
C. Hipertensi 1. Definisi
Hipertensi adalah penyakit meningkatnya tekanan darah arteri yang
dapat membahayakan sistem organ dan mempunyai faktor risiko terhadap
penyakit kardiovaskuler. Hipertensi tidak dapat disembuhkan tetapi dapat
dikontrol dan dikendalikan (Saseen dan Carter, 2005). Tekanan darah
sendiri didefinisikan sebagai kekuatan yang diberikan darah pada dinding
dalam pembuluh arteri pada saat terjadi kontraksi dan relaksasi otot
jantung (Stringer, 2001).
2. Etiologi
Menurut etiologinya, hipertensi digolongkan menjadi dua macam,
a) Hipertensi primer (essential/primary hypertension)
Merupakan jenis hipertensi yang tidak diketahui sebabnya dengan
pasti. Diduga ada banyak faktor yang dapat menjadi penyebab kenaikkan
tekanan darah pada hipertensi primer sehingga sulit diketahui sebab
pastinya, seperti faktor genetik, gaya hidup, mutasi, maupun abnormalitas
fisiologis, dan sebagainya. Sebanyak 90% dari seluruh kasus hipertensi
yang terjadi merupakan hipertensi primer (DiPiro, 2008).
b) Hipertensi sekunder (secondary hypertension)
Hipertensi sekunder merupakan jenis hipertensi yang dapat diketahui
secara pasti penyebabnya. Hipertensi jenis ini terjadi kurang dari 10% dari
jumlah seluruh kasus kenaikkan tekanan darah yang persisten. Penyebab
yang paling umum adalah terjadinya disfungsi ginjal akibat penyakit ginjal
kronis. Selain itu, beberapa jenis obat-obatan dan substansi makanan juga
dapat menjadi penyebab terjadinya hipertensi sekunder ini, seperti beberapa
jenis steroid, NSAID (inhibitor COX-2), fenilpropanolamin dan analognya,
dan sebagainya (DiPiro, 2008).
3. Epidemiologi
Di Indonesia, pada tahun 2007, diperkirakan 15 juta penduduk
mengalami hipertensi. 4% di antaranya merupakan hipertensi terkontrol.
Jumlah tersebut tersebar di seluruh wilayah, baik di wilayah perkotaan
maupun di pedesaan dan meningkat dari tahun ke tahun, diperkirakan
komplikasi hipertensi secara keseluruhan pada orang asia sebesar 35%
(Permana, 2007).
4. Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 dengan batasan usia diatas 18
adalah sebagai berikut :
Tabel III. Klasifikasi Hipertensi menurut JNC 7 (Saseen dan Carter, 2005). Klasifikasi Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80 Prehipertensi 120-139 80-89 Hipertensi stage I 140-159 90-99 Hipertensi stage II ≥160 ≥100
Hipertensi dibagi menjadi hipertensi primer dan hipertensi sekunder.
Hipertensi primer terjadi pada lebih dari 95% dari kasus hipertensi,
hipertensi ini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Hipertensi ini
terjadi oleh akibat multifaktor yang meliputi ketidaknormalan proses
biokimia, genetik yang mengarah pada riwayat penyakit kardiovaskuler
dalam keluarga, dan faktor lingkungan. Hipertensi sekunder disebabkan
abnormalitas sistem organ tubuh, diantaranya yang sering terjadi akibat
penyakit pada parenkim ginjal, penyakit endokrin, obat-obatan, dan
kontrasepsi oral (Oparil dan Calhourn, 2003).
Krisis hipertensi terjadi saat tekanan darah lebih dari 180/120 mmHg,
dibedakan menjadi hypertension emergencies yang mengarah akut dan
mengarah pada keduanya. Namun kedua kondisi ini membutuhkan obat
antihipertensi oral (Saseen dan Carter, 2005).
5. Patofisiologi
Patogenesis hipertensi meliputi faktor yang terkait variabel dengan
persamaan:
BP (tekanan darah) = CO (curah jantung) x TPR (tahanan perifer)
Tabel IV . Patogenesis Mekanisme Potensial (Saseen dan Carter, 2005).
Preload meningkat :
Volume cairan meningkat karena asupan Na+ bertambah atau retensi renal karena
Σnefron menurun atau GFR menurun.
Cardiac outputmeningkat
Konstriksi Vena :
a. Stimulasi RAAS berlebihan b. Sistem saraf simpatis terlalu aktif Konstriksi vaskular :
a. Stimulasi RAAS berlebihan b. Sistem saraf simpatis terlalu aktif c. Perubahan genetik membran sel d. Faktor endotel
Resistensi perifer meningkat
Hipertropi vaskular :
a. Stimulasi RAAS berlebihan b. Sistem saraf simpatis terlalu aktif c. Perubahan genetik membran sel d. Faktor endotel
e. Hiperinsulinemia karena obesitas atau metabolik sindrom
Dalam kondisi normal, tekanan darah dalam tubuh diatur oleh banyak
faktor, oleh karena itu, banyak kemungkinan gangguan yang mungkin
menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah. Faktor-faktor pengatur
(RAA), hormon-hormon pengatur keseimbangan natrium, kalium, dan
kalsium, serta mekanisme neurologis.
Sistem RAA merupakan sistem endogen pengatur keseimbangan cairan,
natrium, dan kalium, yang termasuk dalam komponen regulasi tekanan darah
di dalam tubuh. Sistem ini sendiri dikendalikan oleh ginjal. Pada bagian
arteriola ginjal terdapat sel glomerular. Di dalamnya terdapat renin, suatu
enzim yang akan disekresikan jika sel juxtaglomerular menangkap sinyal
berupa terjadinya penurunan tekanan darah dalam tubuh. Setelah
disekresikan, renin akan mengkatalisasi konversi angintensinogen menjadi
angiotensin I yang kemudian dikonversi lagi menjadi angiotensin II oleh
enzim angintensin-converting-enzyme (ACE). Enzim ini memiliki beberapa
reseptor di dalam tubuh yang dapat mempengaruhi tekanan darah, antara lain
di otak, ginjal, myocardium, pembuluh perifer, dan di kelenjar adrenal.
Dihasilkannya angiotensin II dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah
melalui beberapa mekanisme, antara lain terjadinya vasokonstriksi,
peningkatan aktivitas saraf simpatik, pelepasan katekolamin, serta pelepasan
aldosterone, suatu hormon yang mengatur keseimbangan cairan, natrium, dan
kalium (DiPiro, 2008).
Tekanan darah juga dipengaruhi oleh diameter dalam pembuluh arteri
yang akan mempengaruhi nilai tahanan perifer pembuluh (tekanan darah =
cardiac output x tahanan perifer). Oleh karena itu, penyempitan pembuluh
darah karena terbentuknya plak (endapan lipid, kalsium, sel darah) juga akan
D. Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Hipertensi 1. Hubungan antara DM Tipe 2 dengan Hipertensi
Hubungan antara hipertensi dengan DM sangat kuat karena beberapa
kriteria yang sering ada pada pasien hipertensi yaitu peningkatan tekanan
darah, obesitas, dislipidemia dan peningkatan glukosa darah (Saseen and
Carter, 2005). Hipertensi adalah suatu faktor risiko yang utama untuk penyakit
kardiovaskular dan komplikasi mikrovaskular seperti nefropati dan retinopati
(Pacheco, 2002). Pada DM, selain keadaan hiperglikemia/ gangguan toleransi
glukosa sebagai faktor risiko, juga dapat ditemukan faktor risiko
kardiovaskuler lain, seperti resistensi insulin, hiperinsulinemia, dislipidemia,
hipertensi, hiperkoagulasi, obesitasvisceral, mikroalbuminuria. Keadaan yang
sangat multifaktorial ini menyebabkan insidensi penyakit kadiovaskuler pada
diabetes tinggi dan terus meningkat apabila pengelolaannya tidak
komprehensif. Dasar patofisologi dari kelainan tersebut adalah adanya
gangguan pada metabolisme (Abnormality Metabolism) yang disebut sindroma
metabolik (ADA, 2005).
2. Patofisiologi
Proses terjadinya DM dengan komplikasi hipertensi adalah saat kadar
glukosa darah yang terlalu banyak akan menyebabkan cairan ekstraseluler
menjadi lebih pekat karena itu glukosa darah tidak dapat masuk ke dalam sel
sehingga glukosa masuk ke dalam tubulus ginjal. Bila kadar glukosa bernilai
dikeluarkan melalui ginjal. Akibatnya terjadi dehidrasi seluler, hal tersebut
karena glukosa tidak dapat dengan mudah berdifusi melalui pori-pori
membran sel dan naiknya tekanan osmotik dalam cairan ekstraseluler sehingga
menarik cairan dari dalam sel (sel mengalami dehidrasi). Kehilangan cairan
yang besar dalam urin sehingga menyebabkan dehidrasi cairan ekstraseluler
dan berlanjut dehidrasi intraseluler yang menyebabkan volume cairan
ekstraseluler menjadi bertambah. Kenaikan volume ini akan meningkatkan
cardiac output sehingga pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah
pasien (Guytonet al., 1996).
Penyebab utama kematian pada DM adalah karena komplikasi penyakit
kardiovaskuler, dan manajemen hipertensi merupakan strategi yang sangat
penting untuk mengurangi risiko. Nilai tekanan darah yang direkomendasikan
oleh JNC 7 untuk pasien hipertensi dengan penyakit DM adalah < 130/80
mmHg (Saseen dan Carter, 2005).
3. Penatalaksanaan Terapi Pasien DM Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi
a. Tujuan terapi :
1). Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda DM komplikasi
hipertensi, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target
pengendalian glukosa darah.
2). Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
3). Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM (PERKENI, 2008).
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian
glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalui
pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan
mandiri dan perubahan perilaku. (Triplittet al., 2005).
b. Sasaran terapi :
1. Kadar glukosa darah setelah makan < 180 mg/dL
2. Kadar glukosa darah sewaktu 90-180 mg/dL
3. Nilai HbA1C < 7%
4. Nilai tekanan darah 130/80 mmHg (Saseen dan Carter, 2005).
c. Strategi terapi
Strategi terapi yang dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu terapi non
farmakologi dan terapi farmakologi.
1. Terapi non farmakologi
Terapi yang dapat dilakukan dengan mengubah gaya hidup, antara
lain:
Pengurangan berat badan
Mengurangi asupan garam (natrium)
Melakukan olahraga secara teratur
2. Terapi farmakologi
Semua pasien DM tipe 2 dengan komplikasi hipertensi dapat
diterapi dengan regimen antihipertensi meliputi ACEI atau ARB,
selain itu data menunjukkan bahwa ACEI dapat menurunkan risiko
kardiovaskuler pada pasien dengan penyakit jantung. Penelitian
menunjukkan adanya penggunaan ACEI terdapat pengurangan risiko
kardiovaskuler, sedangkan pada penggunaan ARB terdapat risiko dari
disfungsi ginjal pada pasien dengan DM tipe 2 (Saseen dan Carter,
2005).
d. Informasi Kelas Obat 4.1. Terapi untuk DM
4.1.1 Insulin
Insulin dapat pula digunakan pada DM tipe 2 dengan ketentuan
sebagai berikut :
Saat terapi untuk DM tipe 2 gagal atau terjadi kontraindikasi
karena masa kehamilan atau hipersensitif.
Penggunaan saat kadar glukosa naik akibat stress ataupun infeksi,
serta akibat pembedahan (Triplitet al., 2005).
Mekanisme kerja insulin adalah mengubah glukosa menjadi
glikogen, meningkatkan sintesis protein dan lemak, memperlambat
pemecahan glikogen, protein dan lemak, menyeimbangkan cairan dan
Dosis insulin yang digunakan disesuaikan untuk setiap individu.
Ada 3 macam sediaan insulin, yaitu :
1. insulin kerja singkat (short acting), yaitu insulin yang bekerja
relatif cepat, contohnya insulin lispro, insulin aspart, dan insulin
soluble. Insulin ini memiliki kerja cepat (30-60 menit), kerja
puncak antara 2 dan 4 jam dan lama kerja hingga 8 jam.
2. insulin kerja sedang (intermediate acting) contohnya insulin
isophane dan suspensi insulin seng.
3. insulin kerja panjang dengan mula kerja lebih lambat, contohnya
suspensi insulin seng. Memiliki masa kerja 1-2 jam, efek maksimal
4-12 jam, dan lama kerja 16-35 jam (BPOM, 2008).
4.1.2 Sulfonilurea
Mekanisme aksi utama dari sulfonilurea adalah meningkatkan
sekresi insulin. Sulfonilurea berikatan dengan reseptor sulfo yang spesifik
pada sel beta di pankreas. Peningkatan Ca2+ dalam sel menyebabkan
sekresi insulin ke permukaan sel dan mengakibatkan insulin keluar dari sel
beta. Kenaikan sekresi insulin dari pankreas yang berasal dari pembuluh
vena dapat menekan produksi glukosa hati. Sulfonilurea memacu sekresi
insulin dan potensi kerja pankreas antara lain meningkatkan afinitas
reseptor - insulin di jaringan perifer (DiPiro, 2008).
Obat golongan sulfonilurea yang digunakan antara lain : tolbutamid
diabetes berusia lanjut karena mempunyai masa kerja yang relatif singkat
yaitu 6-12 jam dengan waktu paruh eliminasinya sebesar 4-5 jam;
klorpropamid merupakan golongan sulfonilurea yang cepat diserap diusus,
dimetabolisme dalam hati dan metabolitnya cepat dieksresikan lewat ginjal
dan memiliki masa paruh sekitar 36 jam. Tolazamid dengan efektivitas
yang sama dengan klorpropamid namun masa kerjanya lebih pendek
daripada klorpropamid (Karam dan Martha, 2007). Gliburid yang
merupakan sulfonilurea yang dimetabolisme di hati menjadi produk
dengan aktivitas hipoglikemik yang sangat rendah dan dikontraindikasikan
terhadap pasien dengan kerusakan hati dan insufisiensi ginjal; glipizid
yang dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan hati atau ginjal;
glimepirid yang dapat mencapai penurunan glukosa dengan dosis paling
rendah dari semua senyawa sulfonilurea dan dosis yang diberikan satu kali
sehari karena glimepirid memiliki masa kerja yang panjang (Karam dan
Martha, 2007).
4.1.3 Short –Acting Insulin Secret Agogues
Tempat pengikatan obat golongan ini berdekatan dengan tempat
pengikatan obat golongan sulfonilurea, contohnya yaitu nateglinide dan
repaglinide juga merangsang seksresi insulin dari sel pankreas, mirip
dengan sulfonilurea. Repaglinide merupakan derivat asam benzoat, dan
nateglinide merupakan derivat asam amino fenilalanin, yang keduanya
hipoglikemia (DiPiro, 2008). Pemakaian dosis awal nateglinide adalah 60
mg diberikan tiga kali sehari diberikan 30 menit sebelum makan, dosis
maksimal pemakaian 180 mg tiga kali sehari, anak dan remaja di bawah 18
tahun tidak dianjurkan. Sedangkan dosis awal pemberian repaglinid 500
mg diberikan 30 menit sebelum makan (1 mg jika mendapat obat
hipoglikemik oral lain) disesuaikan dengan respon pada interval 1-2
minggu, sampai 4 mg diberikan dosis tunggal, dosis maksimal 16 mg
sehari, anak remaja dibawah 18 tahun dan lanjut usia diatas 75 mg tidak
dianjurkan (BPOM, 2008).
4.1.4 Biguanide
Salah satu golongan biguanide adalah metformin yang mekanisme
kerjanya meningkatkan sensitivitas insulin dari jaringan hati dan perifer.
Metformin meningkatkan sensitivitas insulin agar glukosa dapat masuk
dalam jaringan. Metformin tidak dimetabolisme dan tidak berikatan
dengan protein plasma, dieliminasi melalui sekresi tubuler ginjal dan
filtrasi glomenural. Mekanisme kerjanya adalah merangsang langsung
glikolisis pada jaringan perifer, dengan peningkatan pengeluaran glukosa
dari darah, mengurangi glukoneogenesis hati, memperlambat absorpsi
glukosa dari saluran pencernaan, menghambat kadar glukagon plasma,
meningkatkan pengikatan insulin ke reseptor insulin (DiPiro, 2008). Dosis
metformin ditentukan secara individu berdasarkan manfaat dan
dosis awal 500 mg setelah sarapan dan makan malam untuk
sekurang-kurangnya 1 minggu, kemudian 500 mg setelah sarapan, setelah makan
siang dan setelah makan malam. Dosis maksimum per hari 2 mg dalam
dosis terbagi. Kontraindikasi gangguan fungsi ginjal dan ketoasidosis
(BPOM, 2008).
4.1.5 Thiazolidinedione (TZDs)
TZDs bekerja dengan berikatan pada reseptor γ
-peroksisom-proliferator-aktivasi (PPAR- γ), dimana terletak pada sel lemak dan sel
vaskular. Konsentrasi dari reseptor PPAR-γ dalam otot sangat rendah, hal inilah yang menyebabkan otot tidak dijadikan reseptor utama dari aksi
obat TZDs. TZDs dapat mempertinggi sensitivitas insulin dalm otot, hati,
dan jaringan lemak secara tidak langsung (DiPiro, 2008). Golongan
tiazolidindion terdiri dari tiga macam, yaitutriglitazone, rosiglitazine, dan
pioglitazone (Neal, 2002). Penggunaan pioglitazon dengan dosis awal
15-30 mg sekali sehari ditingkatkan menjadi 45 mg sekali sehari disesuaikan
dengan respon. Sedangkan penggunaan rosiglitazon dosis awal 4 mg
sehari, jika digunakan tunggal atau kombinasi dengan metformin dapat
ditingkatkan menjadi 8 mg sehari (dalam 1 atau 2 dosis terbagi) setelah 8
minggu disesuaikan dengan respon, anak dibawah 18 tahun tidak
dianjurkan. Kontraindikasi pioglitazon dan rosiglitazon adalah gangguan
hati, riwayat gagal jantung, kombinasi dengan insulin (risiko gagal
4.1.6 - Glucosidase Inhibitors
Obat golongan ini secara kompetitif menghambat enzim (maltase,
isomaltase, sukrase, dan glukoamilase) di usus kecil, sehingga menunda
pemecahan sukrosa dan karbohidrat menjadi glukosa tetapi tidak
menyebabkan malabsorpsi gizi sehingga mengurangi peningkatan glukosa
darah, contoh obat golongan ini yaitu acarbose dan miglitole (DiPiro,
2008). Dosis pemberianacarbosetergantung respon individu, biasanya 50
mg dapat ditingkatkan sampai dengan 100-200 mg tiga kali sehari. Dosis
dapat ditingkatkan dengan interval 4-8 minggu atau lebih. Diberikan
bersama suapan pertama saat makan. Untuk anak dibawah 18 tahun tidak
dianjurkan (BPOM, 2008).
4.1.7 DPP – IV Inhibitors
Hormon incretin glucagon-like peptide-1 (GLP-1) memiliki suatu
spektrum efek fisiologis yang menarik untuk pengobatan DM tipe 2. Oleh
karena itu, salah satu cara memanfaatkan efek GLP-1 adalah dengan
menghambat dipeptidyl-peptidase-IV (DPP-IV) untuk meningkatkan
pelepasan hormon secara endogen. Selain menurunkan glukosa darah
puasa danpostprandial, inhibitor DPP-IV juga tampak mengurangi HbA1c
secara signifikan. Sebuah studi menunjukkan efek tersebut terus-menerus
selama lebih dari setahun dan untuk penurunan HbA1c-nya sebanding
dengan pemberian terapi metformin. Pengurangan kadar glukosa darah
penghambatan sekresi glukagon dari sel alfa (DiPiro, 2008). Vildagliptin
dan sitagliptin merupakan contoh dari penghambat DPP-IV. Obat ini
memblokir hampir 100% dari aktivitas enzim DPP-IV kira-kira dalam
waktu 12 jam (Triplitt et al., 2008). Sitagliptin digunakan sebagai terapi
kombinasi dengan metformin. Dosis pemberian 100 mg sekali sehari.
Insufisiensi ginjal derajat sedang (bersihan kreatinin >30- <50 ml/menit)
50 mg sekali sehari. Insufiensi ginjal berat (bersihan kreatinin <30
ml/menit) 25 mg sekali sehari. Perhatian untuk penderita DM tipe 1 atau
ketoasidosis diabetikum dan infusiensi ginjal (UBM Medica, 2010).
4.2 Terapi untuk Hipertensi 4.2.1 First Line Therapy
Obat yang digunakan sebagai First Line Therapy dalam DM
komplikasi hipertensi menurut standar yang dikeluarkan ADA meliputi
golongan di bawah ini :
a. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Mekanisme kerja penghambat ACEI sebagai terapi utama DM
komplikasi hipertensi, menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II sehingga mengakibatkan dilatasi perifer dan mengurangi
resistensi perifer yang efeknya dapat menurunkan tekanan darah.
Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang kuat mampu
kecil mengakibatkan juga adanya retensi air dan sodium, hingga
menurunkan tekanan darah (Rudnick, 2001).
Golongan obat ACEI yang sering digunakan adalah captopril.
Dosis awal pada hipertensi adalah 12,5 mg dua kali sehari, jika digunakan
dengan obat diuretika atau pasien lanjut usia dosis awal 6,25 mg dua kali
sehari (dosis pertama sebelum tidur), dosis penunjang lazim 25 mg dua
kali sehari, dosis maksimal 50 mg dua kali sehari (jarang tiga kali sehari
pada hipertensi berat) (BPOM, 2008).
b. Angiotensin Reseprtor Blockers (ARBs)
Angiotensin dihasilkan oleh 2 jalur enzimatis yaitu melalui sistem
angiotensin-aldosteron atau yang dikenal dengan Renin Angiotensin
Aldosteron System (RAAS) yang dihambat oleh ACEI dan suatu enzim
yaitu angiotensin I convertase (human chymase). Angiotensin reseptor
blockers berperan dalam menghambat jalur yang kedua. Angiotensin
reseptor blockers (misalnya losartan) menurunkan tekanan darah dengan
memblok reseptor angiotensin (AT1) yang terletak di otak, ginjal,
myocardium, dan kelenjar adrenal. Obat ini mempunyai sifat yang sama
dengan ACEI tetapi tidak menyebabkan batuk karena obat ini tidak
mencegah degradasi bradikinin (Neal, 2005). Losartan, irbesartan,
valsartan adalah antagonis reseptor angiotensin II. Penggunaan obat ini
harus hati-hati pada stenorsis arteri ginjal, sangat dianjurkan untuk
pemantauan kadar kalium plasma terutama pada pasien lansia dan pasien
sehari (usia lanjut di atas 75 tahun, gangguan fungsi ginjal sedang sampai
berat, deplesi cairan, dimulai dengan 25 mg sekali sehari), bila perlu
tingkatkan dosis setelah berminggu-minggu menjadi 100 mg sekali sehari
(BPOM, 2008).
4.2.2 Second Line Therapy
a. Diuretik
Mekanisme kerja diuretik dalam menurunkan tekanan darah
dengan mengekskresi cairan dan elektrolit melalui ginjal sehingga
menyebabkan penurunan volume darah yang berefek pada penurunan
cardiac output. Penurunancardiac output akan menyebabkan penurunan
tekanan darah. Penggunaan bersama dengan NSAID (Non Steroid Anti
Inflamasi Drug)dapat menurunkan efek dari diuretik (Rudnick, 2001).
Obat diuretik digolongkan menjadi tiga, yaitu diuretik thiazide
(hidroclorthiazide/HCT), diuretik kuat (furosemide), dan diuretik hemat
kalium (spironolakton). Diuretik thiazid, misalnya bendrofluazid banyak
digunakan untuk pasien gagal jantung ringan atau sedang dan digunakan
untuk hipertensi dalam bentuk tunggal untuk pengobatan hipertensi ringan
atau dikombinasi dengan obat lain untuk pengobatan hipertensi berat.
Diberikan dengan dosis 2,5 mg pada pagi hari (BPOM, 2008).
Diuretika kuat digunakan dalam pengobatan gagal jantung kronik,
menurunkan tekanan darah terutama pada hipertensi yang resisten
furosemid dan bumetanid, keduanya bekerja dalam waktu 1 jam setelah
pemberian oral dan efek berakhir setelah 6 jam sehingga perlu diberikan
dua kali sehari. Pada furosemid dosis awal diberikan 40 mg pada pagi
hari, penunjang 20-40 mg sehari ditingkatkan sampai 80 mg sehari pada
edema yang resistensi (BPOM, 2008).
Diuretika hemat kalium menyebabkan retensi kalium dan
digunakan sebagai alternatif yang lebih efektif sebagai suplementasi
kalium pada penggunaan tiazid atau diuretika kuat. Contohnya amilorid
dan triamteren. Dosis awal pemberian amilorid hidroklorida 10 mg sehari
atau 5 mg dua kali sehari, maksimal 20 mg sehari. Dengan diuretika lain,
gagal jantung kongestif dan hipertensi dosis awal 5-10 mg sehari.
Sedangkan triamteren diberikan dosis awal 150-250 mg sehari, dosis
dikurangi menjadi setiap dua hari setelah satu minggu, diberikan dalam
dosis terbagi setelah sarapan dan makan siang, dosis awal diberikan lebih
rendah apabila dikombinasikan bersama diuretika lain (BPOM, 2008).
b. βBlockers
Beta blocker dapat menurunkan tekanan darah melalui penurunan
cardiac output. Beta blocker cenderung meningkatkan trigliserid serum
dan menurunkan kadar kolesterol HDL. Penggunaan bersamaan dengan
digoksin dapat menyebabkan bertambahnya efek heart rate. Penggunaan
bersama sulfonilurea dapat menyebabkan penurunan efek dari sulfonilurea
Obat yang sering digunakan dalam pengobatan hipertensi adalah
atenolol, propanolol. Dosis propanolol hidroklorida pada hipertensi adalah
80 mg dua kali sehari, hipertensi portal dosis awal adalah 40 mg dua kali
sehari, tingkatkan 80 mg dua kali sehari sesuai frekuensi jantung, dosis
maksimal 160 mg dua kali sehari. Pada atenolol dosis diberikan 50 mg
sehari (BPOM, 2008).
c. Calcium Channel Blocker (CCB)
Mekanisme kerja obat golongan CCB yaitu menghambat masuknya
ion Ca2+ sehingga menyebabkan relaksasi otot polos arteriol. Hal ini
menyebabkan turunnya resistensi perifer dan menyebabkan turunnya
tekanan darah. Efek dari CCB akan menurun jika diberikan secara
bersamaan dengan suplemen kalsium (Rudnick, 2001).
Obat jenis ini yang sering digunakan adalah verapamil, nifedipin
dan amlodipin. Dosis awal amlodipin untuk hipertensi atau angina 5 mg
sehari, dosis maksimal 10 mg sekali sehari. Sedangkan nifedipin dosis
awal yang diberikan 10 mg (usia lanjut dan gangguan hati 5 mg) tiga kali
sehari dengan atau setelah makan. Hipertensi ringan sampai sedang
bahkan profilaksis angina, dapat diberikan sediaan lepas lambat 30 mg
sekali sehari (tingkatkan bila perlu, maksimal 90 mg sekali sehari) atau 20
mg dua kali sehari dengan atau setelah makan (awalnya 10 mg dua kali
E. Drug Therapy Problems(DTPs) 1. Peresepan yang Tidak Rasional
Penggunaan obat yang tidak tepat jika risiko yang mungkin terjadi
tidak seimbang dengan manfaat dari pemberian suatu obat. Pengobatan
dapat dinilai tidak rasional apabila indikasi penggunaan obat tidak jelas
atau keliru; pemilihan obat yang tidak sesuai artinya obat yang dipilih
bukan obat yang bermanfaat, aman dan ekonomis; cara penggunaan obat
yang tidak tepat meliputi besarnya takaran dosis, cara pemberian,
frekuensi dan lama pemberian; kondisi dan riwayat pasien yang tidak
didiagnosis dengan tepat artinya apakah ada keadaan pasien yang
memungkinkan penyesuaian dosis maupun penggunaan suatu obat;
pemberian obat tidak disertai dengan penjelasan yang sesuai, mengenai
efek dan penggunaan obat kepada pasien maupun keluarganya. (BPOM,
2008)).
2. TerminologiDrug Therapy Problems
Drug Therapy Problems (DTPs) adalah suatu permasalahan atau
kejadian yang tidak diharapkan pada pasien selama proses terapi obat,
sehingga menganggu tujuan terapi. Drug Therapy Problems(DTPs) dapat
muncul pada setiap tahap proses pengobatan. Setiap praktisi tenaga
kesehatan bertanggungjawab untuk membantu pasien dalam hal
pasien. DTPs merupakan tanggung jawab utama dari seorang farmasis
sebagai praktisi tenaga kesehatan (Cipolle dan Strand, 2004).
3. Kategori DTPs
Pentingnya identifikasi dan kategori tidak hanya masalah DTPs
namun juga penyebab-penyebab terjadinya DTPs. DTPs tidak dapat
dipecahkan ataupun dicegah tanpa memahami penyebab-penyebabnya
(Cipolle dan Strand, 2004).
Tabel V. Kategori DTPs (Cipolle dan Strand, 2004). Drug Therapy Problems Penyebab umum dariDrug Therapy Problems
Terapi obat tanpa indikasi Tidak adanya indikasi medis yang valid untuk terapi obat yang digunakan pada saat itu, banyaknya pemakaian banyak obat (multiple drug) untuk kondisi tertentu padahal hanya memerlukan terapi obat tunggal, kondisi medis lebih sesuai diobati tanpa terapi obat, terapi obat digunakan untuk menghilangkan adverse reaction yang berhubungan dengan pengobatan lain, penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol, atau merokok yang menyebabkan masalah.
Perlu tambahan terapi obat Suatu kondisi dimana penderita memerlukan terapi inisiasi obat, pencegahan terapi obat diperlukan untuk mengurangi risiko berkembangnya penyakit baru, kondisi medis yang memerlukan farmakoterapi tambahan untuk mencapai sinergisme atau efek adiktif
Obat yang tidak efektif Obat yang digunakan bukan obat yang paling efektif terhadap masalah medis yang dialami, kondisi medis terbiaskan dengan adanya obat, bentuk sediaan obat yang tidak sesuai, obat tidak efektif terhadap indikasi yang dialami.
Adverse Drug Reaction Obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak ada hubungannya dengan besarnya dosis, obat yang lebih aman diperlukan terhadap faktor risiko, interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak ada hubungannya dengan besarnya dosis, adanya regimen dosis atau berubah sangat cepat, obat menyebabkan alergi, obat kontraindikasi terhadap faktor risiko.
Dosis terlalu tinggi Dosis terlalu tinggi, frekuensi pemakaian obat terlalu singkat, durasi obat terlalu panjang, interaksi obat terjadi karena hasil reaksi toksik dari obat, dosis obat diberikan terlalu cepat.
Kepatuhan pasien Pasien tidak mengerti instruksi pemakaian, pasien memilih untuk tidak memakai obat, pasien lupa untuk memakai obat, harga obat yang terlalu mahal bagi pasien, pasien tidak dapat menelan atau memakai obat sendiri secara tepat, obat tidak tersedia bagi pasien.
F. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan evaluasi mengenai pola
peresepan pada pasien DM tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat
Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah periode 2007-2009 yang terkait denganDrug
Therapy Problem yaitu merupakan masalah yang dapat timbul selama pasien
diberi terapi, yaitu adanya indikasi penyakit komplikasi tanpa obat, adanya terapi
obat tanpa indikasi, pemakaian obat yang tidak efektif, terjadinya adverse drug
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian mengenai evaluasi peresepan pada pasien DM tipe 2 dengan
komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah
periode 2007-2009 merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan
rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Penelitian non
eksperimental merupakan penelitian yang observasinya dilakukan terhadap
sejumlah ciri (variabel) subjek menurut keadaan apa adanya (in nature), tanpa
adanya manipulasi atau intervensi peneliti (Pratiknya, 2001).
Rancangan penelitian deskriptif evaluatif karena hanya bertujuan
melakukan eksplorasi deskriptif terhadap fenomena kesehatan yang terjadi
kemudian mengevaluasi data dari rekam medik (Notoatmodjo, 2005).
Penelitian ini merupakan rancangan deskriptif evaluatif dikarenakan data yang
diperoleh dari lembar rekam medis kemudian dievaluasi berdasarkan studi
pustaka, dan dideskripsikan dengan memaparkan fenomena yang terjadi, yang
kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel. Penelitian ini bersifat retrospektif
karena data yang digunakan diambil dengan melakukan penelusuran terhadap
dokumen terdahulu yaitu berupa rekam medis pasien DM tipe 2 dengan
komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Kebumen, Jawa Tengah
periode 2007-2009.