• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara dimensi kepribadian big five dengan tingkat burnout pada perawat IGD rumah sakit di Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan antara dimensi kepribadian big five dengan tingkat burnout pada perawat IGD rumah sakit di Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE DENGAN TINGKAT BURNOUT PADA PERAWAT IGD RUMAH SAKIT DI

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Martha Herati 089114019

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

HUBUNGAN ANTARA DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE DENGAN TINGKAT BURNOUT PADA PERAWAT IGD RUMAH SAKIT DI

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Martha Herati 089114019

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)

ii

(4)
(5)

iv

Motto:

“Looking your dream, it’s like looking place far away. The important thing is don’t ever think about giving up, STAND UP again towards the dream you’ll meet someday”

“Orang yang pesimistik selalu menemukan kesulitan dalam setiap

kesempatan. Orang yang optimistik justru menemukan peluang

disetiap kesempatan” –Lawrence P.J.-

“Every successful person has a painful story. Every painful

story has a successful ending. Accept the pain and get

ready for success”

(6)

v

Penulisan ini ku persembahkan kepada :

Ayah dan Bunda tercinta …

Mas Wawan, Mas Wanto, Mba Wati,

(7)
(8)

vii

HUBUNGAN ANTARA DIMENSI KEPRIBADIAN BIG FIVE DENGAN TINGKAT BURNOUT PADA PERAWAT IGD RUMAH SAKIT DI YOGYAKARTA

Martha Herati

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara dimensi kepribadian Big Five dengan tingkat burnout pada perawat IGD rumah sakit di Yogyakarta. Dimensi kepribadian big five terdiri dari extraversion, agreeableness, conscientiousness, emotional stability, dan openness to experience. Subyek penelitian berjumlah 38 perawat IGD dari Rumah Sakit Panti Nugroho dan Rumah Sakit Panti Rapih. Pemilihan subyek menggunakan teknik purposive sampling dan dua skala pengukuran model Likert, yaitu skala burnout dan skala big five. Reliabilitas pada skala burnout adalah 0,953. Sedangkan reliabilitas pada masing-masing skala big five adalah dimensi extraversion sebesar 0,867, agreeableness sebesar 0,808, conscientiousness sebesar 0,920, emotional stability sebesar 0,923 dan openness to experience sebesar 0,867. Pengujian hipotesis menggunakan analisis regresi. Hipotesis pada penelitian ini adalah 1) extraversion berhubungan negatif dengan tingkat burnout pada perawat IGD, 2) agreeableness berhubungan negatif dengan tingkat burnout pada perawat IGD, 3) conscientiousness berhubungan negatif dengan tingkat burnout pada perawat IGD, 4) emotional stability berhubungan negatif dengan tingkat burnout pada perawat IGD, dan 5) openness to experience berhubungan negatif dengan tingkat burnout pada perawat IGD. Hasil analisis data menunjukkan bahwa extraversion tidak berhubungan dengan tingkat burnout (β =-0,149; p=0,427), agreeableness tidak berhubungan dengan tingkat burnout (β=0,897; p=0,227), conscientiousness tidak berhubungan dengan tingkat burnout (β=-0,246; p=0,585), emotional stability tidak berhubungan dengan tingkat burnout (β=0,098; p=0,844), dan openness to experience tidak berhubungan dengan tingkat burnout (β=-0,196; p=0,103).

(9)

viii

THE CORRELATION CORRELATION BETWEEN BIG FIVE PERSONALITY DIMENSIONS AND BURNOUT LEVEL IN HOSPITALS’

EMERGENCY NURSES AT YOGYAKARTA

Martha Herati

ABSTRACT

This research aimed to examine the relationship between big five personality dimensions and burnout level in Hospitals’ emergency nurses at Yogyakarta. Big five personality dimensions consist of extraversion, agreeableness, conscientiousness, emotional stability, and openness to experience. 38 people at Panti Nugroho Hospital and Panti Rapih Hospital were the subjects in this research. Selection of subject used a purposive sampling technique and two Likert scale of measurement models, the burnout scale and the big five personality scale. The result of reliability on the burnout scale was 0.953. While the reliability of each dimension of big five scale was 0.867 for extraversion, 0,808 for agreeableness, 0.920 for conscientiousness, 0,923 for emotional stability dimension, and 0.867 for openness to experience. Hypothesis test used regression analysis. The hypothesis purposed in this research was 1) extraversion has a negative correlation with burnout level in emergency, 2) agreeableness has a negative correlation with burnout level in emergency, 3) conscientiousness has a negative correlation with burnout level in emergency, 4) emotional stability has a negative correlation with burnout level in emergency, and 5) openness to experience has a negative correlation with burnout level in emergency The results of data analysis showed that the dimensions of extraversion hasn’t a significant correlation with the level of burnout (β =-0,149; p=0,427), agreeableness hasn’t a significant correlation with the level of burnout (β=0,897; p=0,227), conscientiousness hasn’t a significant correlation with the level of burnout (β=-0,246; p=0,585), emotional stability hasn’t a significant correlation with the level of burnout (β=0,098; p=0,844), and the dimension of openness to experience hasn’t a significant correlation with the level of burnout (β=-0,196; p=0,103).

(10)
(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan karena berkat rahmat dan anugerah-Nya

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Dimensi

Kepribadian Big Five dengan Tingkat Burnout Pada Perawat IGD Rumah Sakit di

Yogyakarta” sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi

Universitas Sanata DharmaYogyakarta.

Dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis telah mendapat banyak

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Christina Siwi., H., M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing Akademik.

2. Ibu Titik Kristiyani., S. Psi., M. Psi., selaku Kepala Program Studi

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, S.Psi., M.Psi., selaku Dosen Pembimbing

Skripsi. Terima kasih atas waktu, tenaga, pikiran, semangat, dukungan,

kesabaran dan bimbingannya kepada penulis selama menyelesaikan skripsi

ini.

4. Bapak Y. Agung Santoso., M.A., terima kasih atas masukan-masukan

statistiknya.

5. Ibu A. Tanti Arini M. Si., terima kasih atas masukan dan sarannya.

(12)

xi

7. Kepada Bapak dr. H. Ahmad Hidayat, Sp.OG., M.Kes, selaku kepala

Rumah Sakit Muhammadiyah yang telah memberikan izin penelitian.

8. Kepada Ibu Valentina Dwi Yuli Siswianti, M.Kes, selaku Direktur

Pelayanan dan Infrastruktur Rumah Sakit Panti Rapih yang telah

memberikan izin penelitian.

9. Kepada Bapak dr. Tandean Ari Wibowo selaku Direktur Rumah Sakit

Panti Nugroho yang telah memberikan izin bagi peneliti untuk melakukan

penelitian.

10.Kedua orangtuaku tercinta yang selalu mendoakan dan mendukungku

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

11.Saudara-saudaraku : “Mas Wawan, Mas wanto, Mba Wati” trimakasih atas

dukungan dan doanya.

12.Sahabat terbaikku, Winarti H. Wibowo. Thank you atas semangatnya,

dukungan, doanya, dan pelajaran berharga yang membuatku terus bertahan

hingga saat ini.

13.Pak dhe, Budhe, Mas Sunu, Mas daru, Mba Vero, dan Daka kecil..

Trimakasih telah mengajarkan ku menjadi pribadi yang lebih baik.

14.Temen-temen terbaikku… Nita, Desi, Nindi, Siska, Agnez, Lusi,

Skolastika, dan Heni. Trimakasih telah menemaniku selama 4 tahun ini.

Aku rindu kalian,hehe.

15.Teman-teman Divisi Training, Mba Devi, Mas David, Ko Ateng, Martha

(13)

xii

16.Temen-temen Psikologi … Dewi, Ayu, Mila, Kika, Anggun, Tiwi, Meli,

Aik, Monik, Inez, Puput, Priska, Adit, Vike, Cece, Dian, Mitha, dan

seluruh angkatan 2008. Terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya.

17.Temen-temen seperjuangan… Nursih, Chelly, Agung, dan Wawan…Ayo

teman-teman bersemangatlah. God bless us!

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk

menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan

menjadi sumbangan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Terima Kasih.

Yogyakarta, Agustus 2012

Penulis

(14)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……… ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

BAB II. LANDASAN TEORI ... 14

(15)

xiv

1. Definisi Burnout ... 14

2. Aspek-aspek Burnout Menurut Maslach... 17

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Burnout ... 20

4. Alat Ukur Burnout ... 26

5. Burnout Pada Perawat ... 27

B. Kepribadian Big Five ... 29

1. Definisi Kepribadian ... 29

2. Dimensi Kepribadian Big Five ... 30

3. Komponen Kepribadian Big Five ... 32

4. Alat Ukur Dimensi Kepribadian Big Five... 32

C. Perawat ... 34

1. Pengertian Perawat ... 34

2. Tugas Perawat IGD ... 34

D. Dinamika Hubungan Antara Dimensi Kepribadian Big Five dengan Burnout Pada Perawat IGD Rumah Sakit ... 36

E. Hipotesis Penelitian ... 46

BAB III. METODE PENELITIAN ... 47

A. Jenis Penelitian ... 47

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 47

C. Definisi Operasional ... 48

1. Burnout ... 48

(16)

xv

D. Sampel dan Subyek Penelitian ... 49

E. Metode Pengumpulan Data ... 50

1. Skala Burnout ... 50

2. Skala Kepribadian Big Five ... 53

F. Validitas Dan Reliabilitas Skala ... 55

1. Validitas ... 55

2. Seleksi Item ... 55

3. Reliabilitas ... 56

G. Metode Analisis Data ... 57

1. Uji Asumsi ... 57

a. Uji Normalitas ... 57

b. Uji Linearitas ... 58

c. Uji Homoskedastisitas ... 58

d. Uji Non-autokorelasi ... 58

2. Uji Hipotesis ... 59

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 60

A. Pelaksanaan Tryout ... 60

B. Pelaksanaan Penelitian ... 60

C. Analisis Data ... 61

1. Uji Normalitas ... 61

2. Uji Linearitas ... 61

(17)

xvi

4. Uji Non-autokorelasi ... 63

5. Uji Hipotesis ... 64

D. Deskripsi Subyek Penelitian ... 67

E. Deskripsi Data Penelitian ... 68

F. Pembahasan ... 70

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Keterbatasan Penelitian ... 76

C. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(18)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Karakteristik Skor Tinggi dan Skor Rendah Pada Dimensi

Kepribadian Big Five ... 30

Tabel 2 Penilaian Berdasarkan Pilihan Jawaban Subyek ... 52

Tabel 3 Komponen Skala Burnout (Uji Coba Item) ... 53

Tabel 4 Penilaian Untuk Jawaban Favorable dan Unfavorable ... 54

Tabel 5 Komponen Skala Kepribadian Big Five (Uji Coba Item) ... 54

Tabel 6 Distribusi Item Skala Burnout Untuk Penelitian ... 56

Tabel 7 Distribusi Item Skala Big Five Untuk Penelitian ... 56

Tabel 8 Hasil Tes Kolmogorov-Smirnov ... 61

Tabel 9 Hasil Uji Linearitas ... 62

Tabel 10 Rangkuman Hasil Uji Non-autokorelasi ... 64

Tabel 11 Distribusi Subyek Perawat IGD Rumah Sakit Panti Nugroho Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ... 67

Tabel 12 Distribusi Subyek Perawat IGD Rumah Sakit Panti Nugroho Berdasarkan Lama Kerja ... 68

Tabel 13Distribusi Subyek Perawat IGD Rumah Sakit Panti Rapih Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ... 68

Tabel 14 Distribusi Subyek Perawat IGD Rumah Sakit Panti Rapih Berdasarkan Lama Kerja ... 68

(19)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Proses Burnout... 15

Gambar 2 Kerangka Pemikiran antara Dimensi Kepribadian Extraversion

dengan Burnout ... 41

Gambar 3 Kerangka Pemikiran antara Dimensi Kepribadian

Emotional Stability dengan Burnout ... 42

Gambar 4 Kerangka Pemikiran antara Dimensi Kepribadian

Openness to Experience dengan Burnout ... 43

Gambar 5 Kerangka Pemikiran antara Dimensi Kepribadian

Agreeableness dengan Burnout ... 44

Gambar 6 Kerangka Pemikiran antara Dimensi Kepribadian

Conscientiousness dengan Burnout ... 45

(20)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Penelitian ... 84

Lampiran 2 Reliabilitas Skala Dimensi Kepribadian Big Five ... 91

Lampiran 3 Reliabilitas Skala Burnout ... 96

Lampiran 4 Normalitas ... 100

Lampiran 5 Linearitas ... 102

Lampiran 6 Non-autokorelasi ... 107

Lampiran 7 Scatter Plot ... 108

Lampiran 8 Analisis Regresi ... 109

(21)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rumah sakit merupakan salah satu lembaga kesehatan di bidang

pelayanan yang menyelenggarakan kesehatan dalam upaya penyembuhan

penyakit dan pemulihan kesehatan bagi pasien (depkes, 2006). Untuk

melaksanakan upaya tersebut, rumah sakit perlu memiliki sumber daya

manusia yang profesional baik di bidang teknis medis maupun administrasi

kesehatan. Salah satu tenaga kesehatan di rumah sakit yang berperan dalam

memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien adalah perawat.

Baik buruknya pelayanan kesehatan di rumah sakit dapat ditentukan

oleh pelayanan yang diberikan perawat. Hal ini sesuai dengan yang

disampaikan oleh Nursalam (2011) bahwa pelayanan perawat di bidang

kesehatan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan. Pelayanan

perawat merupakan salah satu faktor penentu citra dan mutu rumah sakit. Hal

ini terjadi karena keperawatan merupakan kelompok profesi yang memiliki

hubungan dekat dengan pasien. Di samping itu, tuntutan masyarakat terhadap

pelayanan perawat yang baik semakin meningkat seiring dengan

meningkatnya kesadaran akan hak dan kewajiban dari masyarakat. Husin

(dalam Nursalam, 2011) menguraikan empat hal yang membuat tuntutan

(22)

Pertama, kondisi masyarakat yang semakin berpendidikan, membuat mereka

memiliki kesadaran yang lebih tinggi akan hak dan hukum, serta menuntut

berbagai bentuk dan jenjang pelayanan kesehatan yang professional. Kedua,

rentang masalah kesehatan melebar sehingga membutuhkan sistem pelayanan

kesehatan yang meluas. Ketiga, ilmu pengetahuan dan teknologi terus

berkembang sehingga harus digunakan secara tepat guna. Keempat, tuntutan

profesi terus meningkat akibat didorong oleh perkembangan iptek medis dan

permasalahan internal pada profesi keperawatan.

Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, Departemen

Kesehatan RI mencanangkan program akreditasi Rumah Sakit. Tugas-tugas

yang terkait dengan pelaksanaan akreditasi rumah sakit akan dilakukan oleh

Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). KARS membantu menyiapkan,

melakukan survei, menyampaikan laporan hasil survei dan rekomendasi

kepada Menteri Kesehatan dan selanjutnya Departemen Kesehatan

menetapkan hasilnya berdasarkan usulan KARS (Bambang, 2008). Standar

akreditasi yang digunakan saat ini mengalami perubahan, yaitu dari sistem

akreditasi versi 2007 menjadi sistem akreditasi versi 2012. Salah satu

perubahannya terletak pada standar akreditasi yang digunakan. Standar

akreditasi 2012 menekankan pada pelayanan berfokus pada pasien serta

kesinambungan pelayanan dan menjadikan keselamatan pasien sebagai

(23)

Implikasi perubahan standar akreditasi versi 2007 menjadi versi 2012

menuntut perawat memiliki kemampuan intelektual, teknikal dan

interpersonal, serta memperhatikan kaidah etik dan moral atau memiliki

kompetensi legal dan etik (Hamid, 2000). Kemampuan intelektual dan

teknikal meliputi pengetahuan yang memadai tentang penyakit, termasuk

anatomi dan fisiologi; keterampilan pengkajian yang baik dalam

mewawancarai pasien dengan kepedulian tentang penyakit yang dialami; dan

keterampilan mengajar untuk memberi pasien informasi dan keterampilan

yang diperlukan. Sedangkan kompetensi interpersonal meliputi keterampilan

komunikasi interpersonal untuk membina hubungan yang penuh dengan rasa

percaya terhadap pasien. Pada kompetensi legal dan etik, perawat diharapkan

memiliki pengetahuan tentang tanggung jawab profesional dan kemampuan

serta kesediaan untuk menggunakan secara tepat untuk membantu masalah

pasien. Oleh sebab itu, perawat yang profesional merupakan salah satu tolok

ukur keberhasilan pencapaian tujuan pelayanan kesehatan.

Perawat memiliki beban kerja dan tanggung jawab yang besar. Hal ini

disebabkan perawat harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup

pasien yang dirawatnya. Menurut Smith dan Sulsky (dalam Arifianti, 2008),

perawat memiliki beban kerja yang berat karena mereka harus bekerja sesuai

shift, dituntut untuk penuh perhatian terhadap pasien, dan terkadang memiliki

masalah interpersonal dengan staf medis lainnya. Selain itu, perawat juga

(24)

keperawatan, seperti menggantikan tugas dokter saat dokter tidak bertugas

atau melakukan tugas administrasi dan keuangan. Hal ini senada dengan hasil

penelitian di 10 Propinsi, 20 Kabupaten, dan 60 Puskesmas yang dilakukan

oleh Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia (Ilmiki, 2005). Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 78,8% perawat melaksanakan

tugas kebersihan, 63,6% perawat melakukan tugas administrasi,93,1%

perawat membuat resep obat, 97,1% perawat melakukan tindakan pengobatan

di dalam maupun di luar gedung puskesmas, dan 57,7% perawat melakukan

pertolongan persalinan.

Banyaknya prosentase perawat yang melakukan tugas non

keperawatan dapat memunculkan ambiguitas peran (role ambiguity) dan peran

yang berlebihan (role overload). Menurut Landy dan Conte (2004),

ambiguitas peran terjadi ketika individu tidak memiliki pengetahuan yang

jelas mengenai perilaku apakah yang diharapkan dari pekerjaannya.

Sedangkan role overload terjadi ketika individu diharapkan untuk dapat

memenuhi semua peran dalam satu waktu.

Besarnya tanggung jawab dan ambiguitas peran dapat membuat

perawat memiliki risiko terhadap stres. Hal ini selaras dengan penelitian dari

National Institute for Occupational Safety and Health (Department of Health

and Human Services, 2008) yang menetapkan perawat sebagai profesi dengan

(25)

Salah satu kelompok perawat dengan risiko terhadap stres yang

berlebihan adalah perawat yang bertugas di bagian Instalasi Gawat Darurat

(IGD). Seperti penelitian yang dilakukan oleh Numerof dan Abrams (dalam

Kusumawati, 2009), ditemukan bahwa perawat yang bekerja di IGD memiliki

tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan perawat di unit lain.

Menurut Depkes RI (1999), hal tersebut disebabkan perawat di bagian IGD

melaksanakan asuhan keperawatan selama 24 jam terus menerus dan

berkesinambungan, serta menanggulangi kejadian luar biasa. Selain itu,

perawat harus melakukan pencegahan kematian pada pasien gawat darurat

sehingga dapat hidup dan berfungsi dengan baik.

Menurut Wren dan Michie (dalam Liewelyn dan Kennedy, 2003), stres

yang jika tidak ditangani secara optimal dapat menyebabkan burnout. Hal ini

juga selaras dengan yang diungkapkan oleh Schultz dan Schultz (2010),

bahwa ketika individu melakukan coping yang kurang efektif dalam

menghadapi stres dapat menyebabkan munculnya burnout. Oleh sebab itu,

perawat yang tidak dapat menangani stres secara optimal maka stres akan

berlarut dan mengakibatkan munculnya burnout.

Fenomena burnout sudah lama diidentifikasikan keberadaannya, hanya

saja tidak banyak organisasi melakukan upaya untuk mengatasi terjadinya

burnout pada anggota organisasi. Istilah burnout ini pertama kali dikenalkan

(26)

yang menunjukkan respon negatif akibat adanya tekanan dari pekerjaan

(Murtiasari dan Ghozali, 2006).

Lebih lanjut, Maslach (Maslach and Jackson, 1981) mendefinisikan

burnout sebagai sebuah sindrom kelelahan emosi, depersonalisasi, dan

penurunan pencapaian prestasi diri bagi individu yang bekerja untuk

memberikan pelayanan bagi orang lain. Cropanzano, Rup, dan Byrne (dalam

Schultz dan Schultz, 2010) mengatakan bahwa individu yang mengalami

burnout cenderung menjadi kaku dengan pekerjaannya, serta mengikuti aturan

dan prosedur secara kompulsif karena merasa sangat kelelahan untuk

beradaptasi terhadap aturan tersebut. Burnout digambarkan dengan rendahnya

energi, self-esteem, efikasi diri, dan keterlibatan kerja, serta meningkatnya

simptom stres fisik, turnover, dan menarik diri dalam situasi yang

memerlukan dukungan sosial.

Burnout lebih banyak dialami oleh individu yang bekerja di bidang

pelayanan sosial (Maslach, Schaufeli, dan Leiter, 2005). Perawat IGD, sebagai

salah satu pelayan sosial, menjadi salah satu subyek yang lebih rentan

terhadap munculnya burnout. Hal ini sependapat dengan penelitian yang

dilakukan oleh Adali, Priami, dan Potter (dalam Mahony, 2011) bahwa

perawat IGD mengalami tingkat burnout yang lebih tinggi daripada perawat

lainnya.

Wawancara singkat dengan salah satu perawat IGD menunjukkan

(27)

dirasakan saat bekerja sebagai perawat IGD. Subyek mengungkapkan adanya

perasaan lelah setelah selesai bekerja, menjadi tidak sabar dengan pasien, dan

terkadang menjadi ragu apakah dalam memberikan asuhan keperawatan sudah

tepat atau belum, yang ditunjukkan dari pernyataan:

“Wah, saya kadang jadi lelah setelah bekerja karena

kerja jadi perawat IGD itu berat lho, soalnya harus menghadapi orang yang gawat keadaannya..melakukan tindakan yang cepat tapi tepat gak asal-asalan. Istilahnya pasien yang saya rawat itu harus selamat dari kondisi yang gawat. Karena itu, kadang saya jadi nggak sabar dengan pasien saya, cepat emosian, apalagi dengan pasien yang banyak omong. Ya berat jadi perawat IGD, apalagi kerjaannya gak cuma untuk pasien, malah kadang jadi administrasi tu, yang ngurus pendaftaran jadi pasien. Jadi

ya kurang konsentrasi dengan kerjaan saya.” (Al, 16

Agustus, 2012)

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa perawat IGD memiliki

tanggung jawab yang besar terhadap keselamatan hidup pasien sehingga stres

mudah muncul. Stres yang tidak dapat ditangani secara optimal dapat

memunculkan burnout.

Maslach (dalam Cherniss, 1987) mengungkapkan bahwa burnout

memberi dampak bagi individu, orang lain, dan organisasi. Dampak pada

individu terlihat dari adanya gangguan fisik seperti sulit tidur, rentan terhadap

penyakit, munculnya gangguan psikosomatis maupun gangguan psikologis

yang meliputi penilaian yang buruk terhadap diri sendiri. Dampak burnout

yang dialami individu terhadap orang lain dirasakan oleh penerima pelayanan

dan keluarga. Hal ini disebabkan individu yang mengalami burnout tidak

(28)

dikatakan klien, sinis terhadap pelanggan, bersikap menyalahkan, perasaan

dilumpuhkan, serta kaku dalam berpikir. Menurut Cordes dan Dougherty

(dalam Spector, 2008) burnout dapat memberikan dampak bagi organisasi

yaitu meningkatnya frekuensi tidak masuk kerja, berhenti dari pekerjaan, dan

rendahnya performansi kerja sehingga berpengaruh terhadap efektivitas dan

efisiensi kerja dalam organisasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Leiter dan

Maslach (2009) pada 667 perawat di Provinsi Atlantik, Amerika Serikat, yang

menyatakan bahwa burnout merupakan prediktor yang signifikan terhadap

munculnya turnover. Spence Laschinger, Adali, dan Priami (dalam Mahony,

2011 mengatakan bahwa konsekuensi burnout adalah rendahnya moral,

meningkatnya turnover, menurunnya afektivitas dan performansi kerja, serta

rendahnya kualitas pelayanan terhadap pasien.

Ada dua faktor yang dapat menimbulkan burnout yaitu faktor internal

dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri

individu, seperti faktor demografis, kepribadian, dan sikap bekerja. Sedangkan

faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu, seperti

tergantung pada karakteristik organisasi dan karakteristik kerja (Maslach,

Schaufeli, dan Leiter, 2001).

Penelitian tentang burnout lebih banyak dihubungkan pada

faktor-faktor lingkungan atau konteks kerja (Halbesleben & Buckley, 2004). Hal ini

sesuai dengan Alarcon, Eschleman, dan Bowling (2009), yang menyatakan

(29)

terhadap lingkungan. Akan tetapi, ada kemungkinan bahwa faktor kepribadian

juga memainkan peranan yang penting dalam munculnya burnout. Buhler dan

Land (2004) mengatakan bahwa kecenderungan faktor kepribadian merupakan

pengaruh yang kuat dalam menentukan burnout saat individu berada dalam

lingkungan sosial. Yan dan Tang (2003) menguji peran individual,

interpersonal, dan faktor organisasi di antara relawan China untuk lanjut usia

di Hongkong. Mereka menemukan bahwa faktor demografik, individu,

interpersonal, dan organisasi juga berhubungan secara signifikan terhadap

depersonalisasi dan rendahnya pencapaian prestasi. Arifianti (2008)

mengemukakan bahwa individu yang cenderung ekstrovert maka burnout akan

semakin rendah, dan individu yang cenderung introvert maka burnout akan

semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kepribadian yang dimiliki oleh

perawat dapat menentukan tingkat burnout yang dialami. Berdasarkan uraian

tersebut, maka peneliti ingin melihat lebih jauh tentang kepribadian yang

berkaitan dengan burnout, khususnya pada perawat IGD.

Menurut McCrae dan Morgan (dalam Morgan dan Bruin, 2010),

kepribadian dapat dideskripsikan sebagai istilah lima domain yang

mendiskripsikan secara lengkap kepribadian individual. Lima domain tersebut disebut sebagai istilah dimensi kepribadian Big five. Dimensi big five terdiri

dari extraversion, agreeableness, conscientiousness, emotional stability, dan

openness to experience (Raad & Perugini, 2002). Costa dan McRae (dalam

(30)

sebagai 1) Neuroticism berlawanan dengan emotional stability yang mencakup

perasaan-perasaan negatif, seperti kecemasan, kesedihan, mudah marah, dan

tegang; 2) Openness to Experience menjelaskan keluasan, kedalaman, dan

kompleksitas dari aspek mental dan pengalaman hidup; 3) Extraversion

menunjukkan tingkat kesenangan individu untuk menjalin hubungan, memiliki

kebutuhan untuk stimulasi dan beraktivitas; 4) Agreeableness menunjukkan

kualitas interpersonal, seperti suka menolong, penuh kepercayaan, dan

berterus terang; dan 5) Conscientiousness menjelaskan perilaku pencapaian

tujuan dan kemampuan mengendalikan dorongan yang diperlukan dalam

kehidupan sosial.

Pada tahun 2003, Storm dan Rothman melakukan review pada

beberapa penelitian mengenai konsistensi dimensi kepribadian big five sebagai

prediktor burnout. Berdasarkan hasil review tersebut, ditemukan bahwa

penelitian yang paling banyak menunjukkan konsistensi adalah mengenai

hubungan yang positif antara neuroticism terhadap burnout, hubungan yang

negatif antara agreeableness terhadap burnout, dan hubungan yang negatif

antara extraversion terhadap burnout. Hal ini menjadi bukti bahwa dimensi

kepribadian big five dapat digunakan sebagai prediktor burnout.

Dalam penelitian tentang hubungan antara dimensi kepribadian big five

dengan burnout pada mahasiswa di Universitas Afrika Selatan, Morgan dan

Bruin (2009) menemukan bahwa dimensi emotional stability, extraversion,

(31)

semua aspek burnout, sedangkan openness to experience dan agreeableness

tidak memiliki hubungan negatif terhadap semua aspek burnout. Bakker dkk

(2006) menemukan bahwa antara dimensi emotional stability, extraversion,

dan openness to experience memiliki hubungan negatif yang signifikan

terhadap burnout pada relawan konselor. Akan tetapi, hasil penelitian berbeda

ditemukan oleh Storm dan Rothmann (2003) bahwa ada hubungan yang

positif antara openness to experience dengan burnout, dan ada hubungan yang

negatif antara neuroticism, extraversion, agreeableness, dan conscientiousness

terhadap burnout pada kelompok apoteker.

Berdasarkan review hasil penelitian tersebut terdapat inkonsistensi

pada subyek mahasiswa dengan kelompok profesional. Penelitian pada

kelompok profesional yaitu relawan konselor dan apoteker menemukan

adanya hubungan antara openness to experience dengan burnout. Hal ini dapat

dilihat dari adanya hubungan yang negatif antara openness to experience

dengan burnout pada relawan konselor, dan ada hubungan positif antara

openness to experience dengan burnout pada kelompok apoteker. Sedangkan

pada kelompok mahasiswa tidak ada hubungan antara openness to experience

dengan burnout. Di sisi lain pada kelompok profesional, dimensi

agreeableness tidak berhubungan secara signifikan dengan burnout pada

relawan konselor. Sedangkan pada kelompok apoteker memiliki hubungan

negatif yang signifikan terhadap burnout. Oleh sebab itu perlu dilakukan

(32)

dimensi kepribadian big five dengan burnout pada kelompok profesional, yaitu

pada perawat IGD.

Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti

kepribadian big five dan burnout pada perawat. Meskipun penelitian tersebut

telah dilakukan oleh beberapa peneliti, khususnya burnout pada pekerja sosial,

penulis ingin melihat kembali hubungan dimensi kepribadian big five dengan

burnout pada perawat IGD. Hal ini menjadi penting dikarenakan burnout

dapat memberikan dampak yang negatif bagi organisasi. Selain itu,

pengetahuan masyarakat mengenai perawat hanya sebatas tugas dan

peranannya tanpa melihat bahwa individu itu memiliki keterbatasan dalam

menghadapi tuntutan profesi yang membuat perawat tidak dapat mengatasi

stress nya sehingga memunculkan burnout. Oleh sebab itu, peneliti tertarik

untuk meneliti lebih jauh mengenai hubungan dimensi kepribadian big five

dengan burnout pada perawat yang bertugas di bagian IGD.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah

dimensi kepribadian big five berhubungan dengan tingkat burnout pada

(33)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara

dimensi kepribadian big ive dengan tingkat burnout pada perawat IGD rumah

sakit di Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis:

Memberikan wawasan dalam ilmu psikologi industri dan

organisasi dan psikologi kesehatan terkait dengan model kepribadian big

five dan burnout pada perawat IGD.

2. Manfaat Praktis:

Bagi pihak rumah sakit, penelitian ini dapat dijadikan bahan

(34)

14

BAB II

LANDASAN TEORI A. Burnout

1. Definisi Burnout

Menurut Cherniss (1987), burnout adalah penarikan diri secara

psikologis dari pekerjaan dalam mereaksi stres yang berlebihan.

Perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara

psikologis dari pekerjaan, misalnya menjaga jarak dan bersikap sinis

terhadap klien, membolos, sering terlambat, dan keinginan pindah kerja.

Maslach (dalam Halbesleben dan Buckley, 2004) mengatakan

bahwa burnout adalah suatu sindrom psikologis yang terdiri dari tiga

dimensi, yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan rendahnya

pencapaian prestasi diri. Secara khusus, kelelahan emosional mengacu

pada pengurasan emosi. Karyawan yang mengalami kelelahan secara

emosional biasanya akan merasa seolah-olah tidak adaptif dan tidak bisa

memberikan lebih untuk pekerjaannya. Energi yang telah terkuras dapat

menyebabkan karyawan tidak memiliki kekuatan untuk melakukan

pekerjaan. Depersonalisasi (juga dikenal sebagai sinisme) terjadi dalam

respon terhadap kelelahan emosional tersebut. Dalam hal ini, karyawan

melepaskan diri dari pekerjaan mereka dan mulai mengembangkan sikap

tidak berperasaan atau tidak peduli terhadap pekerjaannya, kinerja mereka,

(35)

Stres Kerja

Tuntutan

Sumber Daya

kerja). Rendahnya pencapaian prestasi diri mengacu pada persepsi

berkurang kemampuannya dalam pekerjaan. Pada dimensi ini, karyawan

merasa bahwa mereka tidak dapat melakukan pekerjaan mereka seperti

dulu bisa.

Menurut Shinn (dalam Cherniss, 1987), proses burnout ini dimulai

ketika seseorang mengalami stres dan ketegangan yang tidak dapat

diredakan melalui penyelesaian masalah secara aktif. Shinn

menambahkan, situasi stres biasanya dimediasi oleh penyelesaian masalah

secara aktif. Jika penyelesaian masalah secara aktif tersebut gagal untuk

mengurangi stres, burnout mungkin muncul sebagai mekanisme coping.

Mekanisme coping yang pasif seperti burnout terjadi ketika individu

merasa seolah-olah pekerjaan yang terkait dengan stres menjadi tidak

dapat dikendalikan dan menjadi tidak berdaya. Shinn (dalam Cherniss,

1987) menggambarkan proses burnout sebagai berikut:

Gambar 1. Proses burnout

Pada gambar tersebut, proses terjadinya burnout terdiri dari tiga

(36)

a. Stres Kerja

Stres terjadi akibat adanya hubungan yang tidak seimbang

antara sumber daya yang dimiliki individu dengan tuntutan dari

lingkungan. Stress ini akan menyebabkan ketegangan.

b. Ketegangan

Pada tahap ini, individu biasanya secara tidak sadar merasakan

ketegangan, dilihat dari sejauhmana sumber ketegangan tersebut dirasa

mengancam. Pada tahap ini, individu akan merasa kelelahan, tegang,

dan cepat marah.

c. Coping Pertahanan

Cherniss (1987) berpendapat jika stres dan ketegangan tidak

dapat dikurangi melalui coping pemecahan masalah secara aktif,

individu cenderung akan menggunakan jenis coping intrapsikis.

Bentuk coping intrapsikis tersebut antara lain menarik diri,

menjauhkan diri, menghindar, menurunnya usaha pencapaian tujuan,

dan menyalahkan orang lain. Jika penyelesaian masalah secara aktif

tersebut gagal untuk mengurangi stres, burnout dapat muncul sebagai

mekanisme coping.

Lebih lanjut, Landy dan Conte (2004) menyatakan bahwa bahwa

burnout merupakan suatu ketegangan secara psikologis akibat reaksi yang

berkepanjangan terhadap stressor kerja kronik melebihi kemampuan

(37)

merupakan sindrom yang dihasilkan dari stres kerja yang berkepanjangan

sehingga mendorong individu ke arah penarikan diri terhadap

pekerjaannya. Schultz dan Schultz (2010) juga memiliki pendapat yang

serupa bahwa burnout merupakan efek dari stres kerja akibat pekerjaan

yang berlebihan sehingga individu akan mengalami kurangnya energi dan

minat terhadap pekerjaan.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, yang dimaksud dengan

burnout pada penelitian ini adalah definisi yang digunakan oleh Maslach.

Burnout adalah suatu sindrom psikologis terdiri dari tiga dimensi, yaitu

kelelahan emosional, depersonalisasi, dan rendahnya pencapaian prestasi

diri.

2. Aspek-aspek Burnout Menurut Maslach

Maslach (dalam Maslach, Schaufeli, dan Leiter, 2001)

memberikan gambaran adanya tiga aspek burnout yaitu:

a. Kelelahan emosional (Emotional Exhaustion)

Kelelahan emosional yaitu perasaan lelah karena terkurasnya

energi yang dimiliki sebagai akibat dari banyaknya tuntutan kerja yang

besar. Kelelahan emosional ditandai dengan perasaan putus asa,

frustasi, tidak berdaya, tertekan, mudah tersinggung, dan mudah marah

tanpa alasan yang jelas (Maslach dan Jackson, 1981). Selain itu,

(38)

karena kelelahan psikologis dan tuntutan emosional, sering melakukan

pekerjaan yang berlebihan, atau ekspektasi tinggi yang tidak realistis.

b. Depersonalisasi (Depersonalization)

Depersonalisasi adalah suatu sikap yang tidak berperasaan dan

sinis serta merupakan suatu penurunan sensitivitas terhadap orang lain

(Schultz dan Schultz, 2010). Depersonalisasi ini ditandai dengan

menjauhnya individu dari lingkungan sosial, apatis dan tidak perduli

terhadap lingkungan dan orang-orang disekitarnya (Maslach dan

Jackson, 1981). Menurut Landy dan Conte (2004), seseorang yang

mengalami depersonalisasi akan cenderung memperlakukan klien

seperti objek.

c. Rendahnya pencapaian prestasi diri (Lack of personal

accomplishment)

(39)

dapat menguraikan masalah secara efektif dan tidak dapat memahami

atau mengidentifikasi masalah orang lain.

Penelitian ini akan menggunakan aspek-aspek burnout yang

dijabarkan oleh Maslach, yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan

rendahnya prestasi diri. Menurut Maslach, Schaufeli, dan Leiter (2001),

tuntutan emosional dari pekerjaan pada pekerja sosial dapat menguras

energi. Kehabisan energi dapat menimbulkan perasaan enggan untuk

melakukan pekerjaan baru ataupun berinteraksi dengan orang lain.

Depersonalisasi adalah upaya untuk membuat jarak antara diri sendiri dan

penerima layanan dengan mengembangkan sikap sinis dan acuh tak acuh

terhadap orang lain. Maslach menambahkan bahwa depersonalisasi adalah

coping yang dilakukan individu untuk mengatasi kelelahan emosional.

Adanya rasa kelelahan dan sinisme cenderung mengikis efektivitas

seseorang. Menurutnya, sangat sulit untuk mendapatkan keberhasilan

ketika merasa kelelahan atau ketika membantu orang lain dengan sikap

acuh tak acuh.

Dalam rangka mendapatkan skor total burnout, Schepman dan

Zarate (2008) menjumlahkan skor yang didapat dari skor emotional

exhaustion dan depersonalization tanpa menjumlahkan skor pada Personal

(40)

burnout dengan cara menjumlahkan skor dari emotional exhaustion,

depersonalization, dan lack of personal accomplishment.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Burnout

Menurut Maslach (dalam Maslach, Schaufeli, dan Leiter, 2001),

faktor yang mempengaruhi munculnya burnout dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu faktor situasional dan faktor individu. Pada faktor situasional,

terjadinya burnout tergantung dari karakteristik pekerjaan dan

karakteristik organisasi. Pada karakteristik pekerjaan, Maslach

mengungkapkan bahwa burnout dapat terjadi akibat adanya konflik peran

dan ambiguitas peran. Konflik peran terjadi ketika tuntutan bertentangan

pada pekerjaan harus terpenuhi, sedangkan ambiguitas peran terjadi ketika

ada kurangnya informasi yang memadai untuk melakukan pekerjaan

dengan baik. Dalam konteks organisasi, organisasi dibentuk oleh

kekuatan-kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi. Hal ini menunjukkan

bahwa organisasi telah mengalami banyak perubahan, seperti perampingan

dan merger, yang memiliki efek signifikan terhadap kehidupan

karyawannya. Saat ini karyawan juga diharapkan untuk memberi lebih

banyak dalam hal waktu, tenaga, keterampilan, dan fleksibilitas,

sedangkan mereka menerima lebih sedikit dalam hal peluang karir,

pekerjaan seumur hidup dan sebagainya.

Sedangkan pada faktor individu, terjadinya burnout tergantung dari

(41)

jenis kelamin dan status perkawinan memiliki peranan untuk

memunculkan burnout. Maslach mengatakan bahwa usia merupakan salah

satu penyebab yang paling konsisten berhubungan dengan burnout,

khususnya pada individu yang lebih muda dalam berkarir. Variabel

demografis seks belum menjadi prediktor yang kuat terhadap burnout

meskipun beberapa argumen menyatakan bahwa perempuan lebih rentan

terhadap burnout. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa burnout lebih

rentan terjadi pada wanita daripada pria. Penelitian lain menunjukkan skor

yang lebih tinggi untuk pria daripada wanita. Pada penelitian lain tidak

ditemukan adanya perbedaan antara pria dan wanita (Maslach, Schaufeli,

dan Leiter, 2001).

Maslach (dalam Maslach, Schaufeli, dan Leiter, 2001)

menambahkan bahwa karakteristik kepribadian dapat digunakan sebagai

prediktor terjadinya burnout. Misalnya individu yang memiliki tingkat

hardiness rendah (keterlibatan dalam kegiatan sehari-hari dan keterbukaan

untuk berubah) memiliki skor burnout lebih tinggi, terutama pada dimensi

emotional exhaustion. Burnout akan lebih tinggi di antara orang yang

memiliki lokus kontrol eksternal (menghubungkan peristiwa dan prestasi

orang lain kuat atau kebetulan) daripada individu yang memiliki lokus

kontrol internal (atribusi dengan kemampuan sendiri dan usaha).

Lebih lanjut, Maslach menjelaskan bahwa burnout dapat muncul

(42)

pekerjaannya, yaitu beban kerja, kurangnya kontrol, penghargaan yang

tidak cukup, gangguan dari komunitas, tidak adanya keadilan, dan

nilai-nilai yang berlawanan (Maslach, Schaufeli, dan Leiter, 2001). Adapun

penjelasan dari masing-masing area atau aspek adalah sebagai berikut:

a. Beban Kerja (work overload)

Beban kerja terjadi karena pekerjaan yang terlalu intens, setiap

saat, sangat kompleks, dan pekerjaan yang membuat seseorang

menjadi sangat kelelahan. Work overload ini adalah dimensi kunci dari

kehidupan organisasi. Akan tetapi, dari perspektif individu, workload

berarti waktu dan energi. Adanya sebuah kompromi di antara kedua

perspektif ini adalah tantangan yang fundamental untuk memelihara

keseimbangan hubungan dalam pekerjaan. Transisi besar yang dialami

organisasi diasosiasikan dengan mengutamakan perampingan dan

restrukturisasi dari workload. Inti dari perampingan dan restrukturisasi

dalam meningkatkan produktivitas adalah jumlah orang yang lebih

sedikit untuk melakukan pekerjaan yang lebih banyak. Workload ini

juga termasuk seberapa banyak dan apa yang seseorang lakukan.

Kondisi ini dapat menimbulkan efek dalam workload dengan tiga cara,

yaitu pekerjaan menjadi lebih intensif, menuntut lebih banyak waktu,

dan menjadi lebih kompleks. Hal ini dapat menimbulkan kelelahan

yang berlebihan dan berujung pada burnout (Maslach dan Leiter,

(43)

akibat kesalahan dalam jenis-jenis pekerjaan, seperti ketika karyawan

tidak memiliki keterampilan atau keinginan untuk jenis pekerjaan

tertentu (Maslach, Schaufeli, dan Leiter, 2001).

b. Lack of control

Setiap karyawan memiliki kapasitas untuk membuat prioritas

pekerjaan, menyeleksi pendekatan dalam melakukan pekerjaan dan

membuat keputusan mengenai penggunaan sumber daya. Hal ini

adalah inti untuk menjadi seorang yang profesional. Kebijakan

organisasi yang mengintervensi kapasitas tersebut dapat menurunkan

kebebasan dan keterlibatan individu dengan pekerjaan. Ketika individu

tidak memiliki kontrol, mereka tidak dapat menyeimbangkan

ketertarikan mereka dengan organisasi. Individu akan merasa

kehilangan ketertarikan dan tidak merasa bahwa merekalah yang

membuat segala sesuatunya berjalan (Maslach dan Leiter, 1997).

c. Penghargaan yang tidak cukup (insufficient reward)

Seorang karyawan berharap bahwa pekerjaan mereka akan

memberikan penghargaan material berupa uang, martabat, dan

keamanan. Akan tetapi, terkadang karyawan tidak mendapatkan ketiga

penghargaan ini meskipun telah bekerja keras. Salah satu kontributor

(44)

menikmati pekerjaan dan meningkatkan keahlian bersama dengan

rekan kerja yang saling menghargai (Maslach dan Leiter, 1997). Lebih

lanjut, Maslah (dalam Maslach, Schaufeli, dan Leiter, 2001)

menambahkan bahwa hal yang dapat membuat burnout adalah imbalan

keuangan yang tidak memadai, seperti ketika karyawan tidak

menerima gaji atau tunjangan yang setara dengan prestasinya. Selain

itu, kurangnya penghargaan sosial, seperti ketika kerja keras karyawan

diabaikan dan tidak dihargai oleh orang lain. Kurangnya penghargaan

intrinsik (seperti kebanggaan dalam melakukan sesuatu yang penting

dan melakukannya dengan baik) juga bisa menjadi bagian penting dari

munculnya burnout ini.

d. Gangguan dari komunitas (breakdown of community)

Individu berkembang di masyarakat memiliki fungsi yang baik

ketika bersama-sama memberikan pujian, kenyamanan, dan

kebahagiaan. Akan tetapi burnout dapat terjadi ketika individu merasa

kehilangan akan hubungan yang positif dengan orang lain di tempat

kerja (Maslach, Schaufeli, dan Leiter, 2001). Menurut Maslach (dalam

Maslach dan Leiter, 1997) perpecahan dalam komunitas dapat merusak

pikiran dan kehilangan kenyamanan kerja. Hal ini dapat membuat

(45)

e. Tidakadanya keadilan (absence of fairness)

Suatu tempat kerja dapat dikatakan adil apabila terdapat tiga

elemen yang terpenuhi, yaitu kepercayaan, keterbukaan, dan respek.

Ketika organisasi dapat mengembangkan komunitas, pekerja dapat

saling percaya satu sama lain untuk melaksanakan tugas

masing-masing dalam menjalankan program, dapat mengkomunikasikan

secara terbuka mengenai intense mereka dan menunjukkan sikap saling

menghormati. Ketika organisasi bersikap adil, individu akan merasa

bahwa dirinya adalah penting bagi organisasi. Akan tetapi, ketika

organisasi tidak bersikap adil dapat menyebabkan individu merasa

tidak penting dalam berjalannya organisasi sehingga perasaan tersebut

dapat berkembang menjadi burnout (Maslach dan Leiter, 1997).

f. Nilai-nilai yang berlawanan (conflicting values)

Nilai yang dikembangkan adalah tentang hubungan pekerja

dengan pekerjaannya. Lingkungan kerja menjadi salah satu sumber

utama menghasilkan konflik. Adanya perbedaan nilai antara pekerja

dengan organisasi atau antara pekerja dengan pekerja dapat

memunculkan burnout (Maslach dan Leiter, 1997).

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

(46)

adalah memiliki masalah dalam berhubungan dengan orang-orang di

lingkungan yang baru, antara lain menghindar dan suka sendirian. Muncul

juga perasaan tidak mendapat perhatian dan orang di lingkungan yang baru

tidak sensitif dan mengalami gangguan gaya hidup, seperti makan, minum

dan tidur. Selain itu, muncul perasaan tidak berdaya dalam melakukan

sesuatu dan sulit untuk berkonsentrasi dalam melakukan

sesuatu.Seseorang juga bermasalah dengan tempramen dan kesehatan yang

dimiliki, serta berlebihan dalam menghadapi penyakit-penyakit yang

dialami.Mulai merasa kehilangan identitas diri dan berkurangnya rasa

percaya diri.Lebih suka mengidentifikasikan budaya yang dimiliki sebagai

budaya yang paling baik dan ideal.Seseorang yang mengalami culture

shock juga merasakan kerinduan yang sangat kuat terhadap orang-orang

terdekatnya dan berusaha terlalu keras untuk mnyerap serta memahami

segala hal yang ada di budaya yang baru.

4. Alat Ukur Burnout

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur burnout dikembangkan

oleh Maslach yang dikenal sebagai Maslach Burnout Inventory (MBI).

MBI diciptakan oleh Maslach dan Jackson pada tahun 1981 untuk

mengukur burnout pada pekerja bidang Pelayanan Sosial dan dikenal

sebagai MBI – Human Services Survey (MBI – HSS). MBI versi kedua

(47)

(MBI – ES). Kedua versi tersebut sama-sama terfokus pada jenis

pekerjaan yang mengharuskan individu berinteraksi secara intensif dengan

orang lain yaitu klien dan pasien atau mahasiswa dan murid. Bentuk HSS

dan ES ada tiga dimensi yang diukur, yaitu kelelahan emosional,

depersonalisasi, dan rendahnya pencapaian prestasi diri (Maslach,

Schaufeli dan Leiter, 2001).

5. Burnout Pada Perawat

Perawat memiliki beban kerja dan tanggung jawab yang besar

karena perawat harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup

pasien yang dirawatnya. Menurut Smith dan Sulsky (dalam Arifianti,

2008), perawat memiliki beban kerja yang berat karena mereka harus

bekerja sesuai shift, dituntut untuk penuh perhatian terhadap pasien, dan

terkadang memiliki masalah interpersonal dengan staf medis lainnya.

Selain itu, perawat juga dibebani tugas tambahan lainnya, bahkan sering

melakukan kegiatan non keperawatan, seperti menggantikan tugas dokter

saat dokter tidak bertugas atau melakukan tugas administrasi dan

keuangan.

Menurut Depkes RI (1999), perawat di bagian IGD melaksanakan

asuhan keperawatan selama 24 jam terus menerus dan berkesinambungan,

serta menanggulangi kejadian luar biasa. Selain itu, perawat harus

(48)

dapat hidup dan berfungsi dengan baik. Banyaknya tugas, peran dan

ambiguitas peran pada perawat dapat memunculkan stress. Apabila stres

tersebut tidak dapat diatasi, perawat dapat mengalami burnout.

Beberapa peneliti tertarik meneliti burnout yang terjadi pada

pelayanan sosial, khususnya pada perawat. Windayanti dan Prawasti

(2007) meneliti tentang perbedaan burnout pada perawat yang bekerja di

rumah sakit swasta dan rumah sakit pemerintah. Hasil temuan tersebut

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada perawat

rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta terhadap dimensi burnout.

Penelitian yang dilakukan oleh Vahey dkk (2004) menemukan bahwa

burnout pada perawat dapat mempengaruhi kepuasan konsumen. Selain

itu, perawat yang dicirikan sebagai staff yang adekuat, dan memiliki relasi

yang baik antara dokter dan perawat dapat menunjukkan kepuasan yang

tinggi bagi pasien yang dirawatnya.

Beberapa ahli melakukan penelitian yang mengeksplorasi

hubungan antara tempat kerja dengan burnout. Salah satunya, Mahony

(2011) mengungkapkan bahwa 52 % perawat mengalami kelelahan

emosional dan depersonalisasi berhubungan secara signifikan terhadap

(49)

B. Kepribadian Big Five

1. Definisi Kepribadian

Menurut Larsen dan Buss (2002) kepribadian merupakan sekumpulan trait psikologis dan mekanisme di dalam individu yang diorganisasikan, relatif bertahan yang mempengaruhi interaksi dan adaptasi individu di dalam lingkungan meliputi lingkungan intrafisik, fisik dan lingkungan sosial. Burger (2011) mendefinisikan kepribadian sebagai bentuk perilaku yang konsisten dan proses intrapersonal yang berasal dari individu. Proses intrapersonal terdiri dari semua emosional yang dirasakan, motivasi dan proses kognitif di dalam diri individu yang mempengaruhi bagaimana individu bertindak dan merasa. Burger menambahkan bahwa bukan berarti sumber-sumber eksternal tidak mempengaruhi kepribadian. Tetapi yang terpenting bahwa perilaku bukan hanya sebuah fungsi dari situasi.

Kepribadian menurut Allport (dalam Barrick dan Ryan, 2003) didefinisikan sebagai suatu organisasi dinamik dalam diri individu yang merupakan sistem psychophysical dan hal tersebut menentukan penyesuaian diri individu secara unik terhadap lingkungan.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dirumuskan bahwa

kepribadian adalah sifat individu yang relatif bertahan dan menetap, yang

(50)

2. Dimensi Kepribadian Big Five

Kepribadian dapat dideskripsikan sebagai istilah trait yang

merupakan deskripsi lengkap dari kepribadian individual. Trait

didefinisikan sebagai suatu dimensi yang menetap dari karakteristik kepribadian. Hal tersebut yang membedakan individu dengan individu yang lain (Fieldman, dalam Mastuti, 2005). Trait tersebut telah dikelompokkan menjadi lima besar, yang disebut dengan big five.

Dimensi Big Five terdiri dari extraversion, agreeableness,

conscientiousness, emotional stability, dan openness to experience (Raad

dan Perugini, 2002). Definisi serta karakteristik orang dengan skor yang

tinggi dan skor yang rendah dari faktor-faktor tersebut bisa dilihat dari

tabel di bawah ini (dalam Lawrence, Cervone, dan John, 2004).

Tabel 1. Karakteristik skor tinggi dan skor rendah pada dimensi kepribadian big five

Dimensi Sifat Skor Tinggi Skor Rendah

(51)
(52)

dengan mereka

yang pemalas

dan

pembangkang

3. Komponen Kepribadian Big Five

Dari lima faktor di dalam Big Five, masing-masing dimensi terdiri dari beberapa facet. Facet merupakan trait yang lebih spesifik, merupakan komponen dari 5 faktor besar tersebut. Berikut ini adalah facet yang dikembangkan Costa dan McCrae (Raad dan Perugini, 2002) adalah:

a. Emotional Stability (vs Neuroticism): stabilitas, keharmonisan,

ketenangan, kegembiraan, ketabahan, berkepala dingin, terkontrol

b. Extraversion: ramah, minat berteman, kemampuan asertif,

kepemimpinan, sosialisasi, tenang

c. Openness to Experience: kreatifitas, kemampuan imajinasi, minat

berpetualangan, intelektualitas, kebebasan, introspeksi, keaslian

d. Agreeableness: hangat, pengertian, suka menolong, lemah lembut,

emosional, menyenangkan

e. Conscientiousness: bertujuan, patuh, perfeksionis, berpikir rasional, berhati-hati, terorganisir

4. Alat Ukur Dimensi Kepribadian Big Five

(53)

Inventories and Questionnaires, Big Five Adjective Acale dan Big Five

Trait Markers. Penggunaan alat ukur tergantung pada familiaritas alat ukur

dan perspektif mana yang akan digunakan (Raad dan Perugini, 2002).

Salah satu contoh skala kepribadian dalam bentuk kuesioner adalah

NEO-Personality Inventory Revised (NEO-PI-R) yang dikembangkan oleh

Costa dan McCrae dengan berdasarkan pada analisis faktor skala. Pada

awalnya, hanya difokuskan pada tiga faktor saja, yaitu Neuroticism,

Extraversion, dan Openness. Selanjutnya, Costa dan McCrae

menambahkan faktor Agreebleness dan Conscientiousness setelah

mempelajari lebih dalam mengenai model Big Five (Lawrence, Cervone,

dan John, 2004).

Berbagai alat ukur tersebut dalam penggunaannya perlu ijin khusus

dari penciptanya. Sebagai konsekuensinya, instrumen-instrumen tersebut

tidak dapat digunakan secara bebas oleh peneliti lain. Mengingat hal

tersebut, Goldberg mempelopori adanya bank item mengenai inventori

kepribadian yang dipubilkasikan dalam International Personality Item

Pool (IPIP) website. IPIP merupakan suatu usaha secara internasional

untuk mengembangkan sebuah set inventori kepribadian yang berasal dari

item-item domain publik dan skala tersebut dapat digunakan untuk tujuan

(54)

C. Perawat

1. Pengertian Perawat

Menurut Departemen Kesehatan RI (2004), perawat adalah

seseorang yang telah lulus pendidikan perawat sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hidayat (2004), memberikan

definisi bahwa keperawatan adalah pelayanan esensial yang diberikan oleh

perawat terhadap individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang

memiliki masalah kesehatan. Pelayanan yang diberikan adalah upaya

untuk mencapai derajat kesehatan semaksimal mungkin sesuai dengan

potensi yang dimiliki dalam menjalankan kegiatan di bidang promotif,

preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Berdasarkan beberapa definisi tentang perawat di atas, secara

umum dapat dirumuskan bahwa perawat adalah seorang yang telah lulus

pendidikan perawat untuk memberikan pelayanan yang berarti terhadap

individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang memiliki masalah

kesehatan dalam upaya mencapai derajat kesehatan yang semaksimal

mungkin. Dalam penelitian ini, yang akan diteliti adalah perawat di bagian

instalasi gawat darurat.

2. Tugas Perawat IGD

Departemen Kesehatan RI (1999) menjabarkan tugas pokok

(55)

a. Melaksanakan serah terima setiap pergantian dinas yang mencakup

pasien dan peralatan.

b. Melakukan asuhan keperawatan pasien dalam hal mengkaji keadaan

pasien, membuat rencana keperawatan, melakukan tindakan

keperawatan, melakukan evaluasi dan melakukan pencatatan atau

dokumentasi.

c. Menyiapkan, memelihara, serta menyimpan peralatan agar selalu siap

pakai

e. Memelihara lingkungan instalasi gawat darurat (IGD) untuk

kelancaran pelayanan.

d. Melaksanakan program orientasi kepada pasien tentang IGD dan

lingkungannya.

e. Menyiapkan, memelihara dan menyimpan peralatan agar selalu siap

pakai

f. Melakukan dinas rotasi sesuai jadwal yang sudah dibuat

g. Memelihara lingkungan instalasi gawat darurat untuk kelancaran

pelayanan

h. Melaksanakan program orientasi kepada pasien tentang instalasi rawat

darurat dan lingkungannya, peraturan atau tata tertib yang berlaku,

fasilitas yang ada dan cara penggunaannya

i. Menciptakan hubungan kerjasama yang baik dengan pasien dan

(56)

j. Mengikuti pertemuan berkala yang diadakan oleh dokter penanggung

jawab ruang IGD atau kepala perawat IGD

k. Menyiapkan pasien yang akan keluar, meliputi:

1. Menyediakan formulir untuk penyelesaian administrasi seperti

surat izin pulang, surat keterangan sakit, resep obat untuk dirumah

jika diperlukan, dan surat keterangan lunas membayar

2. Memberikan penyuluhan kesehatan kepada pasien dan keluarga

sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pasien, misalnya mengenai

pentingnya pemeriksaan ulang di rumah sakit atau institusi

pelayanan kesehatan lainnya.

D. Dinamika Hubungan Antara Dimensi Kepribadian Big Five dengan

Burnout Pada Perawat IGD Rumah Sakit

Perawat memiliki beban kerja dan tanggung jawab yang besar. Hal ini

disebabkan perawat harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup

pasien yang dirawatnya. Menurut Smith dan Sulsky (dalam Arifianti, 2008),

perawat memiliki beban kerja yang berat karena mereka harus bekerja sesuai

shift, dituntut untuk penuh perhatian terhadap pasien, dan terkadang memiliki

masalah interpersonal dengan staf medis lainnya. Depkes RI (1999)

menjabarkan tugas tugas-tugas pokok perawat IGD, diantaranya melakukan

kompetensi dan profesionalitas kerja, yaitu melakukan asuhan keperawatan

(57)

pasien; pemeliharaan peralatan; melakukan dinas rotasi; komunikasi dengan

pasien; dan menciptakan kerjasama dengan pasien.

Tanggung jawab besar yang dialami oleh perawat di bagian IGD dapat

menimbulkan stres. Stres kerja adalah kesenjangan antara tuntutan yang

berlebihan dengan rendahnya sumber daya yang dimiliki.

Salah satu faktor yang dapat memunculkan stres adalah faktor

kepribadiaan. Menurut McCrae dan Morgan (dalam Morgan dan Bruin, 2010),

kepribadian dapat dideskripsikan sebagai istilah lima domain yang

mendiskripsikan secara lengkap kepribadian individual. Lima domain tersebut disebut sebagai istilah dimensi kepribadian Big five. Dimensi big five terdiri

dari extraversion, agreeableness, conscientiousness, emotional stability, dan

openness to experience (Raad & Perugini, 2002).

Extraversion mengukur kuantitas dan intensitas interaksi intrapersonal,

level aktivitas, kebutuhan akan stimulasi, kapasitas kesenangan. Perawat

dengan extraversion yang tinggi cenderung lebih mudah menjalin komunikasi

yang baik dengan pasien maupun teman sejawat, melakukan kerjasama

dengan pasien, dan cenderung tidak melakukan penghindaran terhadap

tuntutan tugas perawat. Perawat dengan extraversion yang rendah cenderung

memiliki sifat menahan diri, diam, dan kurangnya minat untuk berhubungan

dengan orang lain sehingga lebih mudah mengalami stres. Stres yang

berkepanjangan dapat memunculkan burnout. Oleh sebab itu, semakin tinggi

(58)

extraversion maka semakin tinggi tingkat burnout. Hal ini sependapat dengan

yang dikatakan oleh Lawrence, Cervone, dan John (2004) bahwa individu

dengan extraversion yang rendah dapat memunculkan burnout karena

memiliki sifat yang tidak ramah, tenang, tidak periang, menyendiri, task –

oriented, pemalu, dan pendiam.

Agreeableness mengukur kualitas orientasi interpersonal seseorang,

mulai dari perasaan kasihan sampai pada sikap permusuhan dalam hal pikiran,

perasaaan, dan tindakan. Menurut McCrae dan Costa (dalam Lawrence,

Cervone, dan John, 2004), seseorang yang memiliki Agreeableness yang

rendah memiliki sifat sinis, kasar, rasa curiga, tidak mau bekerjasama,

pendendam, kejam, mudah marah, dan manipulatif. Apabila perawat memiliki

agreeableness yang rendah sedangkan perawat dituntut untuk bersikap

profesional dalam memberikan asuhan keperawatan, maka dapat

menimbulkan konflik antara tuntutan pekerjaan sebagai perawat dengan sifat

yang dimiliki perawat, dan merasa berat hati untuk mau membantu

permasalahan yang dihadapi pasien. Hal inilah yang dapat memunculkan stres.

Apabila perawat tidak dapat mereduksi stres secara optimal, maka dapat

memunculkan burnout.

Openness to experience mengukur keinginan untuk mencari dan

menghargai pengalaman baru, Senang mengetahui sesuatu yang tidak familiar.

Menurut McCrae dan Costa (dalam Lawrence, Cervone, dan John, 2004),

Gambar

Gambar 3  Kerangka Pemikiran antara Dimensi Kepribadian
Gambar 1. Proses burnout
tabel di bawah ini (dalam Lawrence, Cervone, dan John, 2004).
Gambar 2. Kerangka pemikiran antara dimensi kepribadian extraversion dengan burnout
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menganalisis hubungan antara tipe kepribadian perawat dengan tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan di Rumah Sakit Islam Surakarta..

Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepemimpinan transformasional dan dimensi kepribadian extraversion, agreeableness, conscientiousness ,

Hubungan Kepribadian Hardiness Dengan Kemampuan Regulasi Emosi Perawat Rumah Sakit Swasta Di Kota Bandung.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Tujuan dari penelitian ini adalah menguji hubungan antara rotasi kerja dan burnout dengan kepuasan kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof.. Muhammad

Hasil penelitian ini menujukkan bahwa tiga dari lima dimensi kepribadian the big five personality yaitu conscientiousness, openness to experience dan agreeableness berpengaruh

Metode Goal Programming dapat diterapkan pada penjadwalan perawat IGD Rumah Sakit Umum Kota Bandung dengan menentukan variabel-variabel keputusan, menentukan fungsi tujuan

melakukan penelitian “ Dimensi-Dimensi yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Perawat Di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ”.. Penelitian ini merupakan salah satu kegiatan

Lebih dari setengah perawat ICU dan IGD Rumah Sakit Harapan Bunda dan Rumah Sakit Camatha Sahidya mengalami lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja non fisik yang baik, mengalami