EXPERIENCEBDALAMBKEPRIBADIANBBIG FIVEBDENGANB KECENDERUNGANBREMAJABMELAKUKANB
CYBERBULLYING
Cicilia Verina Krisniminarti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara dimensi extraversion dan openness to experience dalam kepribadian big five dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying.Penelitian hanya berfokus pada dua dimensi yaitu Extraversion dan Openness to Experience.Subyek dalam penelitian ini berjumlah 160 orang yang berasal dari siswa sekolah menengah pertama dan siswa sekolah menengah atas, dengan rincian 96 remaja perempuan dan 64 remaja laki-laki. Metode pengumpulan data menggunakan skala kepribadian big five dari IPIP (international Personality Item Pool) yang disusun oleh Golberg dan skala cyberbullying dari Mawardah.Reliabilitas pada skala kepribadian big fivesebesar 0,832 dan skala cyberbullying sebesar 0,951. Hasil analisis data menunjukkan bahwa kepribadian big five berhubungan negatif dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying (β= -0,251 ; p= 0,001), dimensi Extraversion tidak berhubungan dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying (β= -0,026 ; p= 0,373) dan Openness to Experience berhubungan negatif dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying (β= -0,211 ; p= 0,004).
EXPERIENCEBDIMENSIONSBINBBIGBFIVEBPERSONALITYBANDBTHEB CYBERBULLYINGBTENDENCYB
OFBTEENAGERS
Cicilia Verina Krisniminarti
Abstract
The aim of this research was examine the relationship between extraversion and openness to experience dimensions in big five personality and cyberbullying tendency of teenagers. This study was focused just on two dimensions. There is the were extraversion and openness to experience. The subjects of this research were about 160 teenagers from junior and senior high school in Yogyakarta, 96 female teenagers and 64 male teenagers. The researcher used big five personality scale from IPIP (International Personality Item Pool) compiled by Golberg and cyberbullying scale from Mawardah to collect the datas. The reliability of big five personality scale was 0,832 and cyberbullying scale was 0,951. The result showed that the big five personality had a negative correlation with cyberbullying tendency of teenagers ((β= -0,251 ; p= 0,001), extraversion didn’t have significant correlation with the cyberbullying tendency of teenagers (-0,026 ; p= 0,373) and openness to experience had negative correlation with the cyberbullying tendency of teenagers (β= -0,211 ; p= 0,004).
HUBUNGAN ANTARA DIMENSI EXTRAVERSION DAN OPENNESS TO EXPERIENCE DALAM KEPRIBADIAN BIG FIVE DENGAN
KECENDERUNGAN REMAJA MELAKUKAN CYBERBULLYING
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Cicilia Verina Krisniminarti
NIM : 109114113
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“janganlah
hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi
nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan
permohonan dengan ucapan syukur”
(Filipi 4;6)
“God is willing to wait for me, for many a
day, even many a year”
(Teresa Of Avila)
Berdoalah sesering mungkin, karena doa mengubah segalanya
D
, l
G
(Teresa of Avila)
~ Aku tidak perlu berlari untuk meraih sesuatu, yang kubutuhkan
hanyalah tetap dan terus berjalan~
(Cicilia Verina. K)
Karya ini saya persembahkan kepada :
Tuhan,.. Sang Kasih Sejati,
Bapak,Ibu, Adik-adikku yang memberikan cintanya yang
luar biasa
HUBUNGAN ANTARA DIMENSI EXTRAVERSION DAN OPENNESS TO EXPERIENCE DALAM KEPRIBADIAN BIG FIVE DENGAN
KECENDERUNGAN REMAJA MELAKUKAN CYBERBULLYING
Cicilia Verina Krisniminarti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara dimensi extraversion dan
openness to experience dalam kepribadian big five dengan kecenderungan remaja melakukan
cyberbullying. Penelitian hanya berfokus pada dua dimensi yaitu Extraversion dan Openness to Experience. Subyek dalam penelitian ini berjumlah 160 orang yang berasal dari siswa sekolah menengah pertama dan siswa sekolah menengah atas, dengan rincian 96 remaja perempuan dan 64 remaja laki-laki. Metode pengumpulan data menggunakan skala kepribadian big five dari IPIP (international Personality Item Pool) yang disusun oleh Golberg dan skala cyberbullying dari Mawardah. Reliabilitas pada skala kepribadian big five sebesar 0,832 dan skala cyberbullying
sebesar 0,951. Hasil analisis data menunjukkan bahwa kepribadian big five berhubungan negatif dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying (β= -0,251 ; p= 0,001), dimensi
Extraversion tidak berhubungan dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying (β= -0,026 ; p= 0,373) dan Openness to Experience berhubungan negatif dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying (β= -0,211 ; p= 0,004).
THE CORELATION BETWEEN EXTRAVERSION AND OPENNESS TO EXPERIENCE DIMENSIONS IN BIG FIVE PERSONALITY AND THE
CYBERBULLYING TENDENCY OF TEENAGERS
Cicilia Verina Krisniminarti
Abstract
The aim of this research was examine the relationship between extraversion and openness to experience dimensions in big five personality and cyberbullying tendency of teenagers. This study was focused just on two dimensions. There is the were extraversion and openness to experience. The subjects of this research were about 160 teenagers from junior and senior high school in Yogyakarta, 96 female teenagers and 64 male teenagers. The researcher used big five personality scale from IPIP (International Personality Item Pool) compiled by Golberg and cyberbullying scale from Mawardah to collect the datas. The reliability of big five personality scale was 0,832 and cyberbullying scale was 0,951. The result showed that the big five personality had a negative correlation with cyberbullying tendency of teenagers ((β= -0,251 ; p= 0,001), extraversion didn‟t have significant correlation with the cyberbullying tendency of teenagers (-0,026 ; p= 0,373) and openness to experience had negative correlation with the cyberbullying tendency of teenagers (β= -0,211 ; p= 0,004).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan karena berkat rahmat dan anugerah-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Dimensi
Extraversion dan Openness to Experience Dalam Kepribadian Big Five dengan
Kecenderungan Remaja Melakukan Cyberbullying” sebagai salah satu syarat
untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis telah mendapat
banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto M.Si., selaku Dekan Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing Akademik.
2. Ibu Ratri Sunar Astuti M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu M.M Nimas Eki Suprawati M.Si, Psi., selaku Dosen Pembimbing
Skripsi I. Terimakasih atas waktu, tenaga, pikiran, dan bimbingannya
kepada penulis selama awal penyusunan skripsi hingga beliau pergi untuk
menuntaskan tugas studi S3.
4. Ibu Sylvia Carolina MYM.,M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II.
Terimakasih atas kesempatan, waktu, tenaga, pikiran, dukungan,
semangat, perhatian dan bimbingannya sehingga penulis dapat
5. Segenap dosen dan staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
6. Segenap staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma. Terimakasih atas
keramahan, pelayanan, sarana dan prasarana yang telah mendukung
penelitian ini.
7. Kepada keluarga besar Sekolah Menengah Pertama Stella Duce 2
Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian.
8. Kedua orangtuaku tercinta Bapak Benediktus Sunarna dan Ibu Theresia
Suparmi yang tak henti-hentinya selalu memberi dukungan dalam doa,
bantuan serta semangat sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Adikku tercinta Ayu dan adik kecilku Putri terimakasih atas doa dan
dukungannya.
10.Sahabat terbaikku Esri dan Aning. Terimakasih atas semangat, dukungan,
doa dan pengalaman-pengalaman hidup yang mengajarkanku menjadi
pribadi yang lebih baik.
11.Sahabat terbaikku Cik Vivin, Tyas, Feby dan Wuri. Terimakasih atas
semangat, dukungan, doa, kegalauan, kekonyolan, kebersamaan dan tawa
kita yang banyak memberi warna dalam hidupku.
12.Segenap keluarga besar TK dan PG Ceria Timoho. Terimakasih atas
pengalaman dan dukungannya.
13.Teman-teman Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang tidak
bisa saya sebut satu-persatu. Terimakasih untuk kebersamaannya, senang
14.Pihak-pihak lain yang telah memberikan dukungan. Sekali lagi peneliti
mengucapkan terimakasih.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan
menjadi sumbangan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Terimakasih.
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xviii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 13
C. Manfaat Penelitian ... 13
BAB II LANDASAN TEORI A. Bullying ... 14
2. Aspek-Aspek Bullying ... 15
3. Bentuk-Bentuk Bullying ... 15
B. Cyberbullying ... 16
1. Pengertian Cyberbullying... 16
2. Tipe-Tipe Cyberbullying ... 18
3. Faktor-faktor yang menyebabkan Cyberbullying ... 22
C. Kepribadian Big Five ... 26
1. Definisi Kepribadian ... 26
2. Perkembangan Terori Big Five ... 27
3. Dimensi Kepribadian Big Five... 29
4. Alat Ukur Dimensi Kepribadian Big Five ... 32
D. Remaja ... 33
1. Definisi dan Batasan Usia Remaja ... 33
2. Perkembangan Remaja... 34
E. Hubungan Antara Dimensi Extraversion dan Openness to Experience Dalam Kepribadian Big Five dengan Kecenderungan Remaja Melakukan Cyberbullying ... 36
F. Hipotesis ... 43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 44
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 44
1. Cyberbullying ... 44
2. Kepribadian Big Five ... 45
D. Subjek Penelitian ... 45
E. Metode Pengumpulan Data ... 46
1. Skala Cyberbullying ... 47
2. Skala Kepribadian Big Five ... 47
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 49
1. Validitas ... 49
2. Seleksi item ... 49
3. Reliabilitas ... 51
G. Metode Analisis Data ... 52
1. Uji Asumsi ... 52
a. Uji normalitas ... 52
b. Uji linearitas ... 52
2. Uji Hipotesis ... 52
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Tryout ... 53
B. Pelaksanaan penelitian ... 53
C. Analisis Data... 54
1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 54
2. Statistik Deskriptif ... 54
4. Uji Linearitas ... 56
5. Uji Hipotesis ... 58
D. Pembahasan ... 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 67
DAFTAR LAMPIRAN
Skala Penelitian ... 74
Reliabitas Alat Ukur 1. Kepribadian big five ... 80
2. Cyberbullying ... 82
Analisis Data 1. Statistik Deskriptif ... 84
2. Uji Normalitas ... 86
3. Uji Linearitas ... 89
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Rangkuman dimensi kepribadian big five ... 31
Tabel 3.1 Penilaian skor jawaban favorable dan unfavorable... 47
Tabel 3.2 Komponen skala cyberbullying ... 47
Table 3.3 Penilaian untuk jawaban favorable dan unfavorable ... 48
Tabel 3.4 Komponen skala kepribadian big five ... 48
Tabel 3.5 Distribusi skala cyberbullying ... 50
Tabel 3.6 Distribusi skala kepribadian big five ... 51
Tabel 4.1 Deskripsi jenis kelamin subjek penelitian ... 54
Tabel 4.2 Deskripsi usia subjek penelitian ... 54
Tabel 4.3 Hasil statistik deskriptif ... 55
Tabel 4.4 Hasil tes Kolmogorov-Smirnov ... 56
Tabel 4.5 Hasil uji linearitas ... 57
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema Dimensi Extraversion dan Cyberbullying ... 39
Gambar 2.2 Skema Dimensi Openness to Experience dan Cyberbullying ... 41
Gambar 4.1 Scaterplot Cyberbullying*Extraversion ... 57
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena penggunaan gadget smartphone pada remaja saat ini semakin
meningkat. Sebuah artikel menyebutkan bahwa pengguna smartphone secara
global mencapai satu miliar pada tahun 2012 dan diprediksi pada tahun 2014
akan menyentuh 1,75 sampai 4 miliar (Prayogi, 2014). Menurut hasil survey
yang dilakukan Yahoo dan Mindshare di pertengahan tahun 2013 terdapat
sekitar 41,3 juta pengguna gadget smartphone di Indonesia. Presentasi
tertinggi pengguna smartphone di Indonesia (____,2013) sekitar 39%
digunakan oleh pengguna dari kalangan remaja dan anak muda yang berkisar
antara 16 sampai 21 tahun.
Gary B, Thomas J & Misty E (2007) menyebutkan istilah Smartphone
sebagai telepon yang terhubung dengan internet yang menyediakan fungsi
Personal Digital Assistant (PDA), seperti fungsi kalender, buku agenda, buku
alamat, kalkulator, dan catatan serta dapat bekerja layaknya sebuah komputer
mini.
Kemajuan teknologi komunikasi yang dihadirkan lewat smartphone ini
memudahkan individu untuk berinteraksi kapan saja dan dimana saja dengan
teman, pacar ataupun dengan keluarga melalui media sosial seperti facebook,
twitter, email maupun melalui media video. Dalam sebuah artikel data
menunjukkan bahwa 91% remaja menggunakan smartphone untuk mengakses
hampir semua media sosial dimiliki oleh pengguna internet di Indonesia dan
diprediksi akan menarik lebih banyak pengguna di tahun 2015, hal ini salah
satunya didorong dengan semakin banyaknya individu yang memiliki gadget
smartphone (Reza Iqbal, 2015). Presentasi aktivitas jejaring sosial di
Indonesia sendiri mencapai 79,72% yang merupakan tertinggi di Asia.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Marsono (dalam Yonida, 2015)
mengungkapkan bahwa kebutuhan akan „suasana bermain‟ merupakan
kebutuhan yang mendominasi remaja awal (13-15 tahun) dalam menggunakan
media sosial. Remaja tersebut menggunakan media sosial sebagai hiburan
sedangkan pada usia remaja tengah yang berusia 16-18 tahun menggunakan
media sosial untuk memenuhi kebutuhan akan informasi. Media sosial
tersebut mereka gunakan untuk update status dan atau saling menimpali
komentar atau foto yang diunggah atau diposting (Mohamad Ardyan, 2013).
Media sosial pada awal kemunculannya bertujuan untuk memudahkan
setiap orang mengakses informasi, mencari dan menyebar luaskan informasi
tersebut, menemukan dan saling berinteraksi dengan teman baik yang dekat
maupun yang jauh. Dalam perkembangannya, fungsi awal media sosial
tersebut telah mulai bergeser. Media sosial saat ini telah mengubah pola
interaksi diantara individu atau pola interaksi sosial. Kemunculan media sosial
yang telah menjadi gaya hidup masyarakat saat ini telah mengubah pola
interaksi sosial yang bersifat langsung atau face to face menjadi pola interaksi
sosial yang bersifat tidak langsung. Hal ini membuat media sosial menjadi
hal yang diutamakan dan bentuk ekspresi emosi yang dihadirkan melalui
keadaan fisik kini dapat tergantikan dengan berbagai gambar pilihan ungkapan
emosi. Perubahan pola interaksi tersebut cenderung mengakibatkan kualitas
hubungan sosial yang terjadi didunia nyata menjadi berkurang. Hal ini
menyebabkan munculnya banyak permasalahan yang melibatkan media sosial
hingga keranah hukum seperti menghujat, menciptakan opini yang merugikan
orang lain hingga penculikan anak dibawah umur (Jones, 2013 ; Royananda,
2013 ; Vazque, 2014).
Hadirnya media sosial tersebut selain memudahkan dalam berinteraksi,
juga berpotensi memunculkan interaksi yang berbahaya (Ybara, Diener-West
& Leaf, dalam Dilmac, 2009) dimana dapat berisiko pada keamanan dan
kebahagiaan emosional dari pengguna media sosial (Li Qing, Smith.P.K,
Cross D, 2011). Bentuk interaksi tersebut dapat berupa sebuah ancaman,
penyebaran rumor atau fitnah maupun mengirim pesan yang bertujuan untuk
menyakiti (Price.M, Dalgleish.J, 2010). Salah satu bentuk interaksi yang
berbahaya tersebut sering disebut cyberbullying.
Kasus cyberbullying banyak yang berujung pada kematian. Menurut
artikel dari salah satu media online menyebutkan ada sebanyak lima kasus
remaja yang menjadi korban cyberbullying yang berujung pada tindakan
bunuh diri salah satunya terjadi pada Amanda Todd remaja 15 tahun yang
bunuh diri setelah video vulgarnya diposting oleh salah satu teman
sekolahnya. Hal serupa juga terjadi pada Megan Meier remaja 13 tahun yang
teman-temannya di media chatting. Mayoritas dari para korban mengalami
intimidasi dari teman-teman di dunia maya sehingga tidak sedikit dari para
korban melakukan bunuh diri karena tidak tahan dengan tindakan bully
tersebut (Sulaiman, 2014). Kasus cyberbullying di Indonesia sendiri baru-baru
ini terjadi pada kasus Florence Sihombing seorang mahasiswa di Yogyakarta
yang mendapat kecaman, ejekan dan mengalami intimidasi dari berbagai
pihak di media sosial hingga berujung pada pelaporan oleh pihak kepolisian
karena luapan emosi kekesalan yang diposting di media sosial path dan twitter
dimana isi dari postingannya adalah memaki-maki warga Yogya dengan
bahasa yang kasar (Asiffa, 2014). Pengguna media sosial lain baik dewasa
maupun remaja juga banyak melakukan kecaman dan ejekan pada korban
berupa komentar, status ataupun foto tentang korban yang diposting di media
sosial dengan bahasa kasar dan ejekan seperti “ mulutnya minta ditonjok” atau
“ratu SPBU” (____, 2014).
Menurut survey dari NCH (2009) pada 770 remaja yang berusia 11-19
tahun menunjukkan bahwa 20% melaporkan telah mengalami tindakan bully (
14% melalui pesan singkat atau SMS, 5% melalui chat, 4% melalui email) dan
28% korban tidak melaporkan. Sedangkan menurut hasil survey yang
dilakukan di University of Valencia menunjukkan bahwa sebanyak 24,6%
remaja mengalami kasus cyberbullying melalui ponsel dan 29 % remaja
mengalami kasus cyberbullying melalui internet (Upi, 2010). Berdasarkan data
survey tersebut maka tidak bisa dipungkiri dengan hadirnya teknologi
Peneliti juga melakukan survey sederhana untuk mengetahui ada atau
tidaknya remaja di Indonesia yang melakukan cyberbullying. Survey
dilakukan terhadap empat remaja SMA yang terdiri dari tiga perempuan dan
satu laki-laki yang berusia 15-16 tahun mengenai cyberbullying. Dari keempat
remaja ini mengungkapkan bahwa mereka mengetahui tindakan cyberbullying
khususnya dalam media sosial. Dari kempat remaja tersebut hanya satu yang
tidak pernah menjadi korban maupun melakukan tindakan cyberbullying.
Sedangkan ketiga remaja mengungkapkan pernah menjadi korban dan pelaku
tindakan cyberbullying dimana salah satunya mengaku melakukan cyber
bullying dengan motivasi bercanda (entertainment). Berdasarkan hasil survey
tersebut peneliti menyimpulkan bahwa ada remaja di Indonesia yang terlibat
dalam tindakan cyberbullying.
Cyberbullying merupakan bentuk baru dari tindakan bullying atau
traditional bullying. Bullying sendiri didefinisikan sebagai tindakan agresi
yang disengaja oleh individu atau kelompok dimana sifat hubungan
interpersonalnya tidak seimbang (individu atau kelompok yang kuat dengan
individu atau kelompok yang lemah) yang terjadi secara berulang dengan
tujuan menyakiti atau mengganggu baik dengan cara verbal maupun non
verbal, secara langsung maupun tidak langsung (Olweus, 2012).
Ketidakseimbangan kekuatan ini dapat meliputi perbedaan kekuatan fisik
maupun perbedaan social power atau status (Kowalski.M, Limber.S,
Limber.S.P, Agatston.P.W, 2012). Sedangkan Cyberbullying didefinisikan
komunikasi dan informasi seperti penggunaan email, internet, pesan singkat,
video, media sosial, maupun media chatting.
Cyberbullying memiliki dampak yang hampir sama dengan traditional
bullying (Mason,2008). Cyberbullying menyebabkan korban memiliki harga
diri rendah, kesepian, tidak percaya diri dan menyebabkan tekanan emosional
seperti merasa sedih, marah, malu dan frustasi (Price.M & Dolgleish.J, 2010).
Begitu juga dengan traditional bullying yang menyebabkan harga diri rendah,
kecemasan sosial, depresi dan meningkatkan kecenderungan untuk bunuh diri
(Grene,2003, Juvonen,2003). Selain itu cyberbullying dan traditional bullying
juga menyebabkan tingkat konsentrasi korban disekolah rendah dan
mengalami kesulitan akademik untuk mencapai prestasi di sekolah (Beran.T &
Li Qing, 2007). Bullying banyak terjadi di dalam sekolah sedangkan cyber
bullying lebih berpontensi terjadi di luar sekolah dari pada di dalam sekolah.
Namun dampak yang ditimbulkan dapat diketahui hingga di dalam sekolah
(Kowalski, Limber.S, Limber.P.S, Agatston, 2012). Hal ini dikarenakan
dampak dari cyberbullying dapat mempengaruhi korban dalam mengikuti
pembelajaran di sekolah (Beran.T & Li Qing, 2007).
Meskipun cyberbullying merupakan bentuk baru dari traditional bullying
namun keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Pertama, tindakan
dalam cyberbullying sangat tergantung dari tingkat keahlian dalam
penggunaan teknologi. Semakin individu memiliki keahlian maka ancaman
atau serangan yang diberikan semakin kuat dari pada individu yang tidak
Sedangkan tindakan dalam traditional bullying cenderung berkaitan dengan
ketidakseimbangan kekuatan baik itu secara fisik, kompetensi sosial, ras
maupun status sosial (Pisch.M, 2010). Kedua, potensi penonton dari
cyberbullying sangat luas dan dapat mencakup penonton yang besar. Hal ini
dikarenakan sifat internet yang global sehingga siapa saja baik individu yang
dikenal maupun yang tidak dikenal dapat melihat dan ikut berpartisipasi dalam
memberikan pendapatnya baik membela maupun mengejek (Kowalski,
Limber.S, Limber.P.S, Agatston.P.W, 2012). Hal ini dapat menyebabkan
korban merasa sangat terintimidasi dan sulit untuk menghindar dari tindakan
cyberbullying. Sebaliknya potensi penonton dari tindakan traditional bullying
cakupannya kecil atau dalam situasi private yaitu hanya antara pelaku dan
korban (Pisch.M, 2010). Hal ini di karenakan mayoritas tindakan traditional
bullying terjadi di lingkungan sekolah dan dilakukan secara tersembunyi.
Ketiga, cyberbullying bersifat tidak langsung dan anonymous. Hal ini
menyebabkan pelaku memiliki kesempatan untuk menyembunyikan
identitasnya. Hal ini juga dikarenakan sistem yang ada pada internet dibuat
untuk melindungi identitas dari pengguna internet (Shariff, 2008). Keuntungan
ini digunakan oleh pelaku untuk meminimalisir konsekuensi dari perilakunya.
Karena cyberbullying bersifat tidak langsung dan anonymous maka pelaku
biasanya tidak bisa secara langsung melihat reaksi atau respon dari korban
(Smith.P.K, Mahdavi.J, Carvalho.M, Fisher.S, Russell.S, Tippett.N, 2008).
Hal ini menjadi penting karena membuat pelaku cyberbullying tidak memiliki
Limber.P.S, Agatston.P.W, 2012). Selain itu karena pelaku cyberbullying sulit
untuk diketahui informasinya, membuat pelaku cenderung tidak mendapat
hukuman dan konsekuensi atas tindakannya. Hal ini berpotensi menyebabkan
pelaku lebih menunjukkan sikap permusuhan dan ancaman yang lebih besar
(Pisch.M, 2010). Sebaliknya pada traditional bullying pelaku justru ingin
menunjukkan identitasnya. Hal ini karena motivasi dari pelaku traditional
bullying adalah ingin menunjukkan kekuasaan pada orang lain dan untuk
mendapatkan status sosial yang lebih tinggi (Olweus dalam Kowalski,
Limber.S, Limber.P.S, Agatston.P.W, 2012).
Cyberbullying banyak terjadi dan dilakukan oleh remaja dan anak muda.
Penelitian yang dilakukan oleh Price & Dalgleish (2010) mengatakan bahwa
banyak remaja yang melakukan atau mengalami cyberbullying ketika berusia
10-16 tahun yaitu sekitar 50%, dan ketika berusia 15-18 tahun ada sekitar 42%
sedangkan pada usia 19-25 tahun ada sekitar 8%. Presentasi terbesar yang
terlibat cyber bullying ada pada individu yang berusia 10 sampai 18 tahun.
Usia tersebut merupakan masa transisi remaja dari anak-anak menuju pada
tahapan dewasa. Dalam masa ini remaja banyak mengalami perubahan mulai
dari perubahan fisik, kognitif, emosi, maupun sosial (Santrock, 2002).
Perubahan-perubahan yang dialami remaja ini membuat remaja menjadi labil
dan belum matang secara psikis (Santrock, 2002). Selain itu dalam masa
transisi tersebut remaja cenderung mengeksplorasi diri untuk mencari dan
Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi tindakan cyberbullying yaitu
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor ekternal diantaranya adalah sikap
orangtua. Menurut Dilmac & Aydogan (2010) mengatakan bahwa sikap orang
tua yang otoriter menjadi prediktor seorang anak melakukan tindakan
cyberbullying. Selain sikap orangtua, pengaruh sosial (social influence) seperti
kelompok teman sebaya juga menjadi faktor individu melakukan
cyberbullying (Hinduja & Patchin, 2012). Sedangkan faktor internal
diantaranya adalah kebutuhan psikologis. Menurut Dilmac (2009)
mengatakan bahwa kebutuhan akan agresi dan kebutuhan untuk mendapat
dukungan emosi merupakan kebutuhan psikologis yang menjadi prediktor
seseorang melakukan tindakan cyberbullying. Hal ini disebabkan karena
kebutuhan tersebut tidak individu dapatkan dalam kehidupan nyata sehari-hari
atau off-line melainkan individu berusaha mendapatkan kebutuhan tersebut
dalam dunia maya atau online (Dilmac, 2009).
Faktor internal lainnya adalah karakteristik personal seperti usia dan jenis
kelamin juga memiliki peran penting dalam mempengaruhi tindakan
cyberbullying. Dilihat dari usia, remaja yang berusia 10 sampai 18 tahun lebih
cenderung terlibat dalam tindakan cyberbullying daripada anak-anak atau
orang dewasa (Price & Dalgeish, 2010). Hal ini kemungkinan disebabkan
karena kurangnya pengendalian diri remaja. Sedangkan dilihat dari jenis
kelamin, laki-laki lebih berpotensi besar untuk terlibat dalam cyberbullying
(Alonzo & Aiken dalam Kowalksi, Limber & Agatson, 2012). Selain dua
lain yang juga memiliki peran penting dalam munculnya tindakan
cyberbullying. Hal ini dikarenakan sifat dari kepribadian yang dapat
memprediksi perilaku atau tindakan seseorang (Eysenck dalam Feist &
Feist,2006).
Kepribadian menurut Allport (dalam Feist&Feist, 2006) merupakan
sebuah “pengorganisasian dinamis” yang didalam diri seseorang terdapat
sistem psikofisik yang menentukan atau menciptakan pola perilaku, pikiran
dan karakteristik seseorang. Menurut Costa & Mc Crae kepribadian
digambarkan dalam lima dimensi. Lima dimensi tersebut sering disebut
dengan kepribadian big five. Dimensi big five terdiri dari agreeableness,
extraversion, neuroticism, openness to experience dan conscientiousness.
Kelima dimensi tersebut digambarkan sebagai 1). Agreeableness
menunjukkan pribadi yang berhati lembut dan pribadi yang berhati kejam. 2).
Extraversion menunjukkan tingkat kesenangan menjalin relasi dan
beraktivitas. 3). Neuroticism menunjukkan temperamental, pencemas, dan
emosional namun jika pribadi memilliki skor neuroticism rendah maka
cenderung tenang, lembut, dan tidak berperasaan. 4). Openness to experience
menunjukkan pribadi yang lebih menyukai keragaman dengan pribadi yang
memiliki kebutuhan besar akan kedekatan dan rasa nyaman dari hubungan
yang sudah dikenal. 5). Conscientiousness berfokus pada pencapaian tujuan
serta kemampuan mengendalikan dorongan dalam kehidupan sosial.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Capra dan Ruiz (dalam Talley dan
agresi berkorelasi dengan dimensi neuroticism. Perilaku cyberbullying sendiri
merupakan bentuk dari perilaku agresi. Selain itu dalam penelitian Brack dan
Caltabiano (2012) yang mengatakan bahwa pelaku tindakan cyberbullying
cenderung memiliki kepribadian yang impulsive dan agresif. Tindakan
impulsive sendiri merupakan salah satu ciri trait dari dimensi neuroticism
(McCrae & Costa dalam Feist & Feist, 2006). Penelitian lain yang dilakukan
oleh Celik, Atak dan Ferguzen (2012) juga menemukan bahwa dimensi
ketidakstabilan emosi berkorelasi dengan tindakan cyberbullying. Dimensi
ketidakstabilan emosi merupakan bagian dari dimensi neuroticism (McCrae &
Costa, dalam Feist & Feist, 2006). Hal ini dapat disimpulkan bahwa dimensi
neuroticism dapat menjadi prediktor dari tindakan cyberbullying.
Disisi lain, hasil penelitian berbeda ditemukan oleh Ozden & Icellioglu
(2014) yang mengatakan bahwa dimensi kepribadian psychotism yang menjadi
prediktor individu melakukan cyberbullying. Dimensi psychotism sendiri
merupakan dimensi dari Eysenck Personality Inventory dimana ukurannya
dapat disetarakan dengan skor rendah dari aggreableness dan
conscientiousness (McCrae & Costa dalam Feist & Feist, 2006). Selain itu
pada penelitian yang dilakukan oleh Kokkinos, Antoniadou, Dalara,
Koufogazou dan Papatzlki (2013) menemukan bahwa dimensi
conscientiousness yang rendah dan disertai dengan agresi memiliki korelasi
dengan tindakan cyberbullying.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut peneliti menyimpulkan bahwa tidak
cyberbullying. Hal ini dapat dilihat dari tiga dimensi kepribadian big five yaitu
neuroticism, agreeableaness, dan conscientiousness yang dapat menjadi
prediktor dari tindakan cyberbullying. Sementara masih ada dua dimensi lain
yang belum diuji yaitu dimensi extraversion dan dimensi openness to
experience. Menurut Sinha (dalam Bianchi & Philips, 2005) individu yang
memiliki kepribadian extrovert lebih mudah untuk terpengaruh dengan teman
sebaya. Pengaruh teman sebaya sendiri merupakan salah satu faktor individu
terlibat dalam tindakan cyberbullying (Hinduja & Patchin, 2012). Sedangkan
individu yang memiliki kepribadian openness to experience merupakan
individu yang terbuka akan pengalaman baru dan kreatif. Remaja yang kreatif
cenderung memiliki tingkat sensivitas yang tinggi, bergairah dan ekspresif
dalam berinteraksi namun cenderung impulsif (McCrae dan Sutin, 2009).
Impulsif mmerupakan salah satu ciri kepribadian yang berkorelasi dengan
tindakan cyberbullying (Brack dan Caltabiano, 2012). Oleh karena itu, peneliti
menduga bahwa dimensi extraversion dan dimensi openness to experience
juga dapat secara kuat menjadi prediktor dari perilaku cyberbullying. Akan
tetapi, hal ini belum dibuktikan, oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan
untuk mengetahui hubungan dimensi extraversion dan openness to experience
dalam kepribadian big five dengan kecenderungan remaja melakukan
cyberbullying. Hal ini perlu dilakukan karena cyberbullying tidak hanya
memberikan dampak negatif pada korban namun juga dapat memberikan
dampak negatif terhadap pelaku yaitu membuat pelaku tidak memiliki rasa
B. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
dimensi extraversion dan openness to experience dalam kepribadian big five
dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying.
C. Manfaat penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Memberikan sumbangan pengetahuan maupun wacana mengenai
dimensi extraversion dan openness to experience dalam kepribadian
big five dan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan gambaran umum pada remaja mengenai hubungan
dimensi extraversion dan openness to experience dalam kepribadian
big five dan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying sehingga
dapat dijadikan acuan bagi remaja-remaja dalam menyikapi dan
menggunakan teknologi dengan baik.
b. Memberikan gambaran umum pada orang tua maupun guru mengenai
hubungan dimensi extraversion dan openness to experience dalam
kepribadian big five dan kecenderungan remaja melakukan tindakan
cyberbullying sehingga dapat dijadikan acuan dalam membimbing
TINJAUAN TEORI
A. Bullying
1. Pengertian Bullying
Menurut Rigby (dalam Mawardah, 2012) bullying merupakan salah
satu bentuk dari perilaku Agresi. Tindakan agresi sendiri menurut
Berkowitz (1995) adalah tingkah laku dan emosi yang bisa mengarah
kepada tindakan agresif (melukai atau menyakiti) baik untuk mencapai
tujuan tertentu atau hanya semata-mata sebagai pelampiasan keinginan.
Menurut Olweus (2012) bullying merupakan tindakan agresi yang
disengaja oleh individu atau kelompok dimana sifat hubungan
interpersonalnya tidak seimbang (individu atau kelompok yang kuat
dengan individu atau kelompok yang lemah) yang terjadi secara berulang
dengan tujuan menyakiti atau mengganggu baik dengan cara verbal
maupun non verbal, secara langsung maupun tidak langsung.
Sedangkan menurut Pikas (dalam Mawardah, 2012) mengambarkan
tindakan bullying sebagai kekerasaan dalam konteks kelompok dimana
digunakan untuk memberikan reinforce (penguatan) kepada perilaku
setiap orang dalam interaksi kelompok tersebut.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa bullying
jangka waktu yang berkelanjutan dan berulang-ulang.
2. Aspek-aspek Bullying
Menurut Krae (dalam Mawardah, 2012) bullying memiliki tiga aspek
yaitu:
a. Intimidasi : bullying adalah bentuk perilaku dimana telah terjadi
pemaksaan atau usaha menyakiti secara psikologis ataupun fisik
terhadap seseorang atau sekelompok orang lebih “lemah” oleh
seseorang atau sekelompok orang lebih kuat.
b. Power : bullying melibatkan kekuatan, kemampuan dan kekuasaan
yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak
mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan
negatif yang diterimanya.
c. Kontinuitas : bullying terjadi secara berkelanjutan dengan jangka
waktu yang lama sehingga menyebabkan korbannya terus menerus
merasa cemas dan terintimidasi.
3. Bentuk-bentuk Bullying
menjabak, menendang, mengunci seseorang dlm ruangan, mencubit,
mencakar, dan meminta secara paksa.
b. Kontak verbal langsung : seperti mengancam, mempermalukan,
merendahkan, menggangu, memberi panggilan nama buruk, mengejek,
mngintimidasi, memaki dan menceritakan keburukan seseorang.
c. Perilaku non verbal tidak langsung : seperti mendiamkan seseorang,
memanipulasi persahabatan sehingga retak, sengaja mengucilkan atau
mengabaikan.
d. Pelecehan seksual : dikategorikan sebagai perilaku agresi fisik atau
verbal seperti memegang organ vital sekunder
e. Pelaku non verbal langsung : seperti melihat dengan sinis,
menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek,
mengancam yang disertai dengan bullying fisik.
B. Cyberbullying
1. Pengertian Cyberbullying
Bentuk baru dari tindakan bullying diketahui sebagai Cyberbullying.
Menurut Kowalski, 2012 cyberbullying merupakan tindakan bullying yang
melibatkan penggunaan email, instant message, web pages, blogs, chat
(Kowalski.M, Limber.S, Limber.S.P, Agatston.P.W, 2012).
Cyberbullying merupakan tindakan agresif yang disengaja oleh
kelompok maupun individu melalui penggunaan alat elektronik yang
dilakukan secara berulang dimana korban tidak bisa melakukan
pertahanan terhadap dirinya sendiri. Cyberbullying juga dapat
berhubungan dengan agama, budaya maupun diskriminasi ras. (Peter
Smith dalam Kowalski, 2012).
Sedangkan menurut Belsey (dalam Keith.S & Martin E.M, 2005)
cyberbullying merupakan tindakan bullying yang melibatkan penggunaan
teknologi komunikasi dan informasi seperti email, telepon seluler, pesan
singkat, internet, media sosial yang secara sengaja, berulang, dan dengan
perilaku yang tidak ramah oleh individu maupun kelompok yang
digunakan untuk menyakiti atau merugikan orang lain.
Dari uraian definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa cyberbullying
merupakan perilaku seseorang yang dilakukan secara terus menerus
dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk menganggu orang
lain dan mengintimidasi orang lain dengan menggunakan media elektronik
baik melalui email, website, jejaring sosial, game online, chat rooms, dan
Menurut Aftab (dalam Mawardah, 2012) dalam praktek
cyberbullying dibedakan menjadi dua tipe yaitu:
a. Cyberbullying secara langsung
Cyberbullying secara langsung atau direct merupakan tindakan
cyberbullying yang serangannya dilakukan secara langsung kepada
target atau korban. Cyberbullying secara langsung ini dapat
dilakukan melalui :
1. Pesan singkat (teks) yang berisi tentang pelecehan
Remaja mengirim pesan singkat yang berisi kebencian,
kemarahan, kejengkelan ataupun ancaman kepada remaja lainnya.
Pesan juga dapat berisi serangan yaitu ketika remaja bermusuhan
dengan korban, pelaku mengirimkan ribuan pesan ataupun gambar
ke ponsel via SMS atau perangkat lain.
2. Pencurian password
Seseorang dapat mencuri password dari orang lain yang
kemudian password tersebut ia salah gunakan untuk memulai
chatting dengan orang lain. Ia dapat menggunakan password
tersebut untuk mengatakan hal-hal yang dapat menyinggung dan
membuat marah orang lain.
Selain itu, ia juga dapat menggunakan password orang lain
perasaan orang lain. Dengan cara ini identitas pelaku tidak dapat
diketahui karena pelaku dapat bersembunyi dibalik identitas orang
lain.
3. Blog
Blog digunakan oleh remaja untuk mengirim dan menyebarkan
pesan atau informasi ke semua teman-teman mereka. Blog sendiri
bersifat terbuka, sehingga semua orang dapat mengakses dan
melihat pesan atau informasi yang ditulis. Namun, tak sedikit
remaja yang menyalah gunakan media tersebut untuk merusak
reputasi remaja lain salah satunya dengan cara membuat halaman
profil palsu pada blog dengan berpura-pura menjadi orang lain dan
kemudian mengatakan hal-hal yang mempermalukan tentang
orang tersebut.
4. Website
Website digunakan oleh remaja untuk mengoda satu sama
lainnya. Mereka terkadang membuat situs yang berisi hinaan
kepada orang lain atau memposting informasi pribadi ataupun
gambar yang merugikan orang lain.
5. Mengirim gambar-gambar melalui email dan ponsel
Pelaku dapat mengirimkan gambar korban yang sudah diubah
mengubah (mengedit) gambar korban telanjang.
Selain itu, dengan banyaknya teknologi komunikasi yang
bermunculan seperti smartphone, dapat saling berbagai foto
dengan mudah misalnya dengan MMS ataupun dengan Bluetooth.
Remaja dapat menerima dan mengirim kembali gambar tersebut
sehingga gambar tersebut dapat tersebar ke orang lain dengan
bebas.
6. Polling internet
Jejak pendapat melalui internet ini ditujukan untuk melecehkan
seseorang atau mengucilkan korban.
7. Permainan online
Permainan online atau sering disebut sebagai game online
merupakan permainan yang dapat menghubungkan orang lain
diseluruh dunia. Remaja terkadang menggunakan game online ini
untuk melecehkan dan menggunakan ancaman agar lawan mereka
merasa kalah, mengeluarkan mereka dari permainan dan dapat
juga memberikan rumor palsu tentang mereka atau korban.
8. Mengirimkan kode berbahaya atau virus
Banyak remaja mengirimkan virus, spyware dan
dapat menghilangkan file-file penting dari korban.
9. Mengirimkan hal-hal yang porno
Pelaku dapat mengirimkan ribuan website pornografi kepada
pelaku melalui email atau pesan singkat sehingga orangtua korban
akan menganggap anak mereka telah mengunjungi situs tersebut.
10.Penyamaran
Pelaku dapat melakukan hal-hal yang dapat merusak nama baik
korban dengan menyamar sebagai korban. Kemudian mereka
memposting pesan yang tidak menyenangkan melalui media
komunikasi misalnya chat rooms atau media sosial sehingga
membuat orang lain akan membenci korban. Pelaku juga dapat
memberikan nama, alamat, ataupun nomer telepon korban untuk
disebar luaskan.
b. Cyberbullying secara tak langsung
Cyberbullying dengan penghubung adalah ketika pelaku
cyberbullying menemukan orang lain yang dijadikan aksi untuk
merugikan orang lain. Sebagian penghubung tidak menyadari dan
tidak tahu jika mereka sedang dimanfaatkan oleh pelaku untuk
dimulai ketika pelaku menyamar sebagai korban. Pelaku dapat
melakukannya dengan dua cara yang pertama pelaku dapat menyusup
account korban dengan mencuri password korban terlebih dahulu dan
yang kedua pelaku dapat membuat account baru dengan nama korban
dan menjalankan account korban dengan berpura-pura menjadi
korban dan menciptakan masalah untuk korban sendiri maupun orang
lain misalnya dengan mengirimkan pesan yang berisi kata-kata buruk
kesemua daftar teman-teman korban yang ada di accountnya. Account
yang dimaksud dapat berupa account di jejaring sosial seperti
Facebook, Twitter dll.
3. Faktor-faktor yang menyebabkan cyberbullying
Cyberbullying merupakan bentuk dari perilaku agresi sebagai bagian
dari masalah perilaku pada remaja. Oleh karena itu faktor pencetus atau
pembentuk perilaku agresi akan dipaparkan sebagai berikut :
a. Frustrasi dan Rasa marah
Frustrasi merupakan situasi dimana individu terhambat atau gagal
dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya atau
mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai
tujuan. Menurut Berkowitz (dalam Sarwono,1988) frustrasi bisa
mengatasi atau menghindarinya dengan cara agresif. Tindakan
cyberbullying yang dilakukan oleh seseorang bisa dipicu oleh rasa
marah dan frustrasi kepada orang lain yang tidak disukai.
b. Stres
Stres dikonsepsikan sebagai stimulus yang menimbulkan
gangguan terhadap keseimbangan intrapsikis. Stres bisa muncul
berupa stimulus eksternal (situasional) dan berupa stimulus internal
(intrapsikis) yang diterima atau dialami oleh individu sebagai hal
yang tidak menyenangkan atau menyakitkan serta menghasilkan efek
behavioral berupa kemunculan agresi (Sarwono, 1988).
c. Provokasi
Menurut Geen (dalam Sarwono, 1988) Provokasi bisa
mencetuskan agresi karena provaksi sering merupakan serangan
terhadap sesuatu yang oleh setiap orang selalu dipelihara keutuhannya
yakni rasa harga diri. Dalam menghadapi provokasi yang mengancam
para pelaku agresi cenderung berprinsip bahwa daripada diserang
lebih baik mendahului menyerang. Namun tidak jarang juga
kecenderungan menggunakan provokasi sebagai dalih untuk
melakukan agresi meskipun provokasi itu tidak bersifat mengancam.
Dalam cyberbullying para pelaku dapat menggangu korban karena
Menurut Berkowitz (1995) semua perasaan negatif dan tidak
menyenangkan merupakan dorongan dasar dari perilaku agresi.
Pengaruh rasa tersinggung atau ancaman terhadap harga diri menjadi
pendorong munculnya agresi. Pelaku melakukan tindakan
cyberbullying bisa karena dipicu oleh perasaan tersinggung dengan
objek (postingan atau kiriman informasi) dari orang lain.
e. Modeling
Modeling atau mencontoh perilaku orang lain juga bisa
mempengaruhi kecenderungan agresi pada seseorang (Sarwono,
1988).
Selain beberapa faktor tersebut, terjadinya cyberbullying juga dapat
dijelaskan dengan teori dominasi. Teori dominasi sendiri menjelaskan
tentang perilaku bullying (Olweus dalam Mawardah, 2012), sedangkan
cyberbullying merupakan bentuk baru dari tindakan bullying. Menurut
teori ini kebutuhan untuk mendominasi dan kontrol sangat berhubungan
dengan perilaku bullying. Sikap mendominasi tidak selalu melibatkan
kekuatan fisik, kepemimpinan dan lain-lain, namun dapat juga diartikan
sebagai kemampuan untuk bisa melakukan lebih banyak dengan segala
kemampuan yang dimiliki sehingga dapat melakukan kekerasaan baik
diharapkan dapat tercapai.
Selain itu karena cyberbullying tidak membutuhkan kekuatan fisik ini
bisa menjadi salah satu cara bagi seorang individu yang tidak terlibat
dalam perilaku agresif secara fisik untuk mendapatkan kekuasaan dan
dapat mengontrol orang lain.
Faktor yang mempengaruhi praktik cyberbullying menurut
Vandebosch dan Cleemput (dalam Mawardah, 2012):
a. Keinginan untuk merusak, membalas dendam
b. Cyberbullying meminimalisisr risiko dan rasa takut terhadap hukuman
dari bullying
c. Tidak ingin menghadapi secara langsung
d. Anonimitas
e. Menunjukkan keahliannya dalam menguasai teknologi, pemahaman
akan penggunaan teknologi informasi
Motivasi yang mempengaruhi terjadinya cyberbullying menurut Rudi
(dalam Mawardah, 2012) :
a. Marah sakit hati, balas dendam, atau frustasi
b. Haus akan kekuasaan sehingga menonjolkan ego dan menyakiti orang
lain
c. Merasa bosan dan memiliki kemahiran Hacking
emosional
Salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi praktik
cyberbullying adalah karena bersifat anonmitas, sehingga pelaku mampu
melecehkan atau menganggu korban mereka 24 jam sehari. Anonimitas
yang terdapat dalam setiap model komunikasi elektronik tidak hanya
menyamarkan identitas namun dapat mengurangi akuntabilitas sosial
sehingga memudahkan pengguna untuk terlibat dalam permusuhan dan
tindakan agresif (Li Qing & Beran.T, 2007).
C. Kepribadian Big Five
1. Definisi Kepribadian
Menurut Goldberg (2006) manusia dibedakan kepada
karakter-karakter serta kepribadian yang dimiliki setiap individu. Masing-masing
individu memiliki ciri tersendiri, sikap, dan pola berfikir sendiri yang
banyak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan mereka dibesarkan dan
bentuk pendidikan yang diperoleh.
Menurut Roberts dan Mroezek (2008) kepribadian merupakan sebuah
pola yang relatif menetap dari pikiran, perasaan, dan perilaku yang
membedakan dari individu satu dengan individu yang lain.
Sedangkan menurut Allport (dalam Feist&Feist, 2006) kepribadian
pola perilaku, pikiran, karakteristik seseorang dimana hal tersebut
menentukan penyesuain diri secara unik terhadap lingkungan.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepribadian
merupakan sebuah pola dari pikiran, perasaan, perilaku dan karakteristik
seseorang yang relatif menetap dimana hal tersebut menentukan
penyesuain diri seseorang secara unik terhadap lingkungan.
2. Perkembangan teori big five
Big five adalah taksonomi kepribadian yang disusun berdasarkan
pendekatan lexical yaitu mengelompokkan kata-kata atau kalimat yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menggambarkan ciri-ciri
individu yang membedakannya dengan individu lain. Pendekatan ini
dipeloporoi oleh Allport dan Odbert dengan mengumpulkan 18.000
istilah yang membedakan perilaku seseorang dengan orang lain. Daftar ini
menginspirasi Cattel untuk menyusun model multidimensional dari
kepribadian dimana dari 18.000 istilah tersebut cattel
mengelompokkannya kedalam 4.500 ciri sifat kepribadian dan kemudian
melakukan analisis faktor hingga dipereloh 12 faktor kepribadian yang
kemudian menjadi inventori 16 faktor kepribadian. Penemuan Cattel
tersebut menginspirasi banyak peneliti untuk menganalisa ulang dengan
diperoleh lima faktor yang sangat menonjol yang kemudian oleh
Goldberg disebut dengan big five. Big five bukan berarti menyatakan
bahwa kepribadian itu hanya ada lima melainkan pengelompokkan dari
ribuan ciri trait kedalam kelompok lima besar yang berikutnya disebut
dengan dimensi kepribadian (John dan Srivastava, 1999). Trait sendiri
merupakan suatu dimensi yang menetap dari karakteristik kepribadian,
hal tersebut yang membedakan individu dengan individu lainnya
(Fieldman dalam Mastuti, 2005). Lima dimensi dalam kepribadian big
five adalah extraversion, neuroticism, agreeableness, conscientiousness
dan openness to experience. Dari kelima dimensi big five tersebut,
masing-masing dimensi memiliki komponen yang terdiri dari facet. Facet
merupakan trait atau sifat yang lebih spesisifik dari lima dimensi tersebut.
Berikut facet yang dikembangkan oleh McCrae dan Costa (dalam Raad
dan Perugini, 2002) :
a. Extraversion : ramah, minat berteman, kemampuan asertif,
kepemimpinan, sosialisasi, tenang.
b. Emotional Stability (vs Neuroticism) : stabilitas, keharmonisan,
ketenangan, kegembiraan, ketabahan, berkepala dingin,
terkontrol.
c. Agreeableness : hangat, pengertian, suka menolong, lemah
rasional, berhati-hati, terorganisir.
e. Openness to experience : kreatifitas, kemampuan imajinasi, minat
berpetualang, intelektualitas, kebebasan, introspeksi, keaslian.
Lima dimensi dalam kepribadian big five tersebut masuk akal secara
teoritis, hal ini dapat dilihat dari teori-teori sebelumnya yang telah lebih
dulu menyatakan, seperti teori Jung yang menyatakan ada pengaruh kuat
dari perilaku ekstraversi dan introversi (dimensi extraverion), teori Freud
yang menekankan pentingnya kecemasan dalam membentuk perilaku
(dimensi neuroticism), teori Adler yang menyatakan bahwa diri yang
kreatif yang merupakan prinsip penting dalam kehidupan yang menjadi
penyebab pertama dalam menentukan perilaku (dimensi openness to
experience) dan teori lain dari Maslow yang melihat kesehatan psikologis
dalam mengaktualisasikan diri (dimensi agreeableness dan
conscientiousness) (Feist & Feist, 2006).
3. Dimensi Kepribadian Big Five
Berikut lima dimensi dalam kepribadian big five menurut Goldberg
(dalam John dan Srivastava, 1999) yaitu :
a. Agreeablenes, dimensi ini menilai kualitas orientasi interpersonal
seseorang sepanjang kontinum mulai dari perasaan lemah lembut
untuk tunduk pada orang lain. Dalam keseharian individu dengan
sifat kepribadian ini tampil sebagai individu yang baik hati, dapat
bekerja sama dan dapat dipercaya.
b. Extraversion, dimensi ini menilai kuantitas intensitas interaksi
intrapersonal dan tingkat aktivitas seseorang. Individu ini
menunjukkan tingkat kesenangan dalam menjalin relasi dan
beraktivitas. Mereka cenderung ramah dan terbuka serta
menghabiskan banyak waktu untuk mempertahankan dan
menikmati hubungan.
c. Neurotisicm, dimensi ini menilai kestabilan emosi dengan
ketidakstabilan emosi. Dimensi ini mengidentifikasikan individu
yang rentan terhadap tekanan psikologis, mempunyai ide-ide
yang tidak realistik dan memiliki coping stress yang maladaptif.
Individu ini identik dengan emosi negatif seperti khawatir, takut
dan tegang.
d. Openness to Experience, dimensi ini melihat keluasan,
kedalaman dan kompleksitas dari kesadaran atau aspek mental
dan pengalaman. Dimensi ini juga cenderung berhubungan
dengan intelektualitas yaitu dorongan untuk mengeksplorasi
kognitif. Hal ini yang sering disebut sebagai kreativitas. Individu
senang dan bergairah dengan berbagai informasi baru, pandai
menciptakan aktivitas diluar kebiasaan namun umumnya
cenderung impulsif.
e. Conscientiousness merupakan dimensi yang berfokus pada
pencapaian tujuan serta kemampuan mengendalikan dorongan
dalam kehidupan sosial. Dimensi ini menilai tingkat organisasi,
ketekunan dan motivasi dalam berperilaku yang berarah pada
tujuan. Individu dengan sifat ini tampil sebagai individu yang
tepat waktu, berprestasi, teliti dan mengerjakan tugas dengan
tuntas.
Berikut karakteristik seseorang dengan nilai tinggi dan rendah
dari dimensi-dimensi tersebut (Feist&Feist, 2006) :
Tabel 2.1 Rangkuman dimensi kepribadian big five
Dimensi Skor Tinggi Skor Rendah Agreeableness Berhati lembut
Extraversion Penuh perhatian Mudah bergabung
Merasa tidak nyaman
4. Alat ukur dimensi kepribadian big five
Saat ini ada beberapa alat ukur yang sudah dikembangkan untuk
mengukur kepribadian big five seperti Big Five Inventory (BFI), Big Five
Questionnaire (BFQ) dan The Big Five Marker Scale. Penggunaan alat
ukur tersebut tergantung pada familiaritas dari alat ukur dan perspektif
mana yang akan dipakai (Raad dan Perugini, 2002).
Berbagai alat ukur tersebut perlu ijin khusus dalam
penggunaannya sehingga alat ukur tersebut tidak dapat digunakan secara
bebas. Oleh karena itu, Lewis R.Golberg menyusun suatu inventoris yang
memudahkan peneliti untuk melihat kepribadian seseorang. Inventories
tersebut dikenal dengan International personality item pool (IPIP).
dapat digunakan untuk tujuan ilmiah ataupun komersil (Golberg, 2006).
D. Remaja
1. Definisi dan batasan usia remaja
Masa remaja diartikan sebagai masa peralihan atau transisi dari
masa anak-anak menuju masa dewasa yang dalam prosesnya mengalami
perubahan baik perubahan fisik, kognitif maupun perubahan sosio emosi
(Santrock, 2002).
Sedangkan menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya
krisis identitas atau pencarian identitas diri. Selama dalam masa pencarian
identitas tersebut sering menimbulkan masalah pada diri remaja
(Santrock, 2002).
Pada saat individu memasuki usia 10 sampai 21 tahun dapat
dikatakan bahwa individu telah memasuki masa remaja. Masa remaja
dapat dibedakan kedalam tiga tahap yaitu remaja awal berkisar antara 10
sampai 15 tahun, remaja tengah antara 15 sampai 18 tahun dan remaja
akhir berkisar antara 18 sampai 21 tahun (Santrock, 2002).
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa remaja
adalah masa transisi anak-anak menuju masa dewasa yang berkisar antara
satunya dengan membentuk identitas diri.
2. Perkembangan remaja
a. Perkembangan fisik
Perkembangan fisik pada remaja dimulai ketika remaja mengalami
masa pubertas. Masa perkembangan fisik pada remaja berlangsung
sangat cepat. Pada masa tersebut remaja mulai mengalami perubahan
dalam bentuk fisik seperti tinggi dan berat badan, dan kematangan
seksual. Perkembangan dan perubahan fisik remaja ini membuat
remaja harus penyesuaikan diri dengan perubahan pada dirinya sendiri
(Santrock, 2002).
b. Perkembangan kognitif
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002) remaja memasuki tahap
operasional formal yaitu remaja mulai berpikir abstrak, idealistik, dan
logis. Pada fase ini remaja mulai menciptakan hipotesis dan
menggunakan kemampuan logisnya.
Sedangkan menurut Elkind (dalam Papalia, 2008) masa remaja
dikatakan memiliki pola berfikir yang tidak matang. Ketidakmatangan
pola pikir dari remaja ini ditandai dengan idealisme yaitu remaja
percaya bahwa mereka mengetahui bagaimana cara mengatur
kurang efektif, menganggap orang lain memiliki pandangan yang
sama dengan dirinya dan menganggap dirinya unik.
c. Perkembangan sosioemosional
Masa remaja merupakan masa puncak perkembangan sosial dan
emosionalitas. Remaja cenderung memiliki kebutuhan untuk
membangun relasi dengan teman sebaya. Mereka mulai memperluas
lingkungan sosialnya baik dengan lingkungan disekolah ataupun
lingkungan diluar sekolah. Hal ini membuat remaja lebih banyak
menghabiskan waktu bersama dengan teman daripada keluarga.
Remaja juga mulai membentuk kelompok dengan teman sebaya yang
memiliki ketertarikan yang sama. Mereka mulai mengikuti
aturan-aturan dan nilai-nilai yang dibuat oleh kelompok (Santrock, 2002).
Disisi lain remaja memiliki tugas perkembangan dalam mencari
identitas diri. Dalam mencari identitas ini tidak jarang remaja
mengikuti tokoh idola mereka sebagai panutan. Dalam masa ini remaja
juga dituntut untuk menjadi individu dewasa yang mampu memahami
Kepribadian Big five dengan Kecenderungan Remaja Melakukan
CyberBullying
Dimensi extraversion berhubungan erat dengan interaksi sosial dan
sosiabilitas. Remaja dengan kepribadian extrovert atau remaja dengan skor
extraversion tinggi cenderung mudah membangun hubungan sosial, senang
berjumpa dengan orang lain, mudah mengekspresikan emosi, aktif berbicara,
suka mengambil risiko, tetapi umumnya cenderung impulsif. Remaja yang
memiliki kepribadian extrovert juga cenderung memiliki kebutuhan untuk
mendominasi. Kebutuhan untuk mendominasi ini menurut Olweus (dalam
Mawardah, 2012) merupakan faktor seorang individu melakukan perilaku
agresif. Selain itu, menurut Sinha (dalam Bianchi & Philips, 2005) remaja
yang memiliki kepribadian extrovert juga lebih mudah terpengaruh dengan
teman sebaya. Kelompok teman sebaya memberi pengaruh yang besar
terhadap pola pikir, tingkah laku dan perkembangan kepribadian remaja.
Mereka cenderung mudah mengikuti aturan-aturan dan ide-ide yang dibuat
oleh kelompok (Santrock, 2002). Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hinduja & Patchin (2012) yang mengatakan bahwa faktor
kelompok teman sebaya dapat mempengaruhi remaja melakukan
cyberbullying. Remaja yang extravert ketika dihadapkan dengan stimulus
yang tidak menyenangkan atau perasaan-perasaan negatif dapat dengan
dengan kepribadian introvert atau individu dengan skor extraversion rendah
cenderung pasif, pendiam, menarik diri dari pergaulan sosial, hati-hati dalam
bertindak, dan kurang dapat mengekspresikan emosi. Individu yang introvert
ketika menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan atau perasaan negatif
cenderung tidak mengekspresikan emosinya kepada banyak orang tetapi lebih
mengelola emosi secara individual. Hal ini membuat individu cenderung
kurang berpartisipasi dalam bentuk perilaku agresi cyberbullying.
Sedangkan dimensi openness to experience berkaitan dengan dorongan
untuk mengeksplorasi aspek kognitif dan keterbukaan akan pengalaman baru.
Salah satu bentuk dari eksplorasi kognitif ini adalah kreativitas. Kreativitas
dapat muncul dalam bentuk ide, opini maupun karya seni yang sesuai dengan
ketertarikan intelektualnya. Remaja yang kreatif didorong oleh adanya rasa
keingintahuan yang besar sehingga mereka akan cenderung mudah untuk
mencoba hal-hal baru. Menurut penelitian masa remaja sampai dengan usia 20
tahunan cenderung memiliki tingkat openness to experience yang tinggi dan
cenderung akan menurun pada perkembangan usia selanjutnya. Remaja yang
memiliki tingkat openness to experience yang tinggi cenderung memiliki
tingkat sensitivitas yang tinggi, bergairah dan ekspresif dalam berinteraksi
namun cenderung impulsif (McCrae dan Sutin, 2009). Hal ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa kecenderungan impulsif
ketika menghadapi situasi dan perasaan-perasaan negatif akan dengan sangat
mudah mengekspresikan emosinya salah satunya dalam bentuk agresi verbal
melalui media sosial. Disamping itu remaja juga pada umumnya sedang dalam
masa peralihan sehingga mereka cenderung kurang memiliki kontrol atas
dirinya sendiri. Hal ini membuat mereka cenderung dapat terlibat dalam
perilaku agresi salah satunya dengan tindakan cyberbullying. Sebaliknya
individu dengan skor rendah pada openness to experience cenderung tidak
kreatif, bersahaja, tidak mau tahu dan tunduk pada aturan sehingga ketika
individu ini dihadapkan pada situasi yang tidak sesuai dan tidak
menyenangkan cenderung akan bersikap pasif dan menerima kenyataan yang
ada sesuai apa adanya. Selain itu mereka akan cenderung melakukan sesuatu
sesuai dengan norma yang berlaku antara baik dan tidak baik. Dengan
demikian kepribadian ini cenderung kurang dapat berpartisipasi dalam
tindakan cyberbullying.
Berdasarkan pemaparan diatas, dimensi extraversion dan openness to
experience dalam kepribadian big five juga dapat menjadi prediktor dari
tindakan cyberbullying. Remaja yang memiliki extraversion tinggi dan
openness to experience tinggi memiliki kecenderungan yang lebih besar
cyberbullying
Remaja
1. Perkembangan fisik
2. Perkembangan kognitif
3. Perkembangan sosioemosional
Dimensi
Extraversion tinggi
Remaja mudah bersosialisasi, ekspresif, memiliki kebutuhan untuk mendominasi, cenderung mudah terpengaruh teman sebaya
Kecenderungan melakukan
cyberbullying
1. Perkembangan fisik
2. Perkembangan kognitif
3. Perkembangan sosioemosional
rendah
Remaja cenderung menarik diri dari pergaulan sosial, tidak mudah terpengaruh teman sebaya, pasif dan kurang dapat mengekspresikan emosi
Kecenderungan remaja melakukan cyberbullying rendah