• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN TEKNOLOGI RESERVOIR SATURATION TOOL DI LAPANGAN PERTAMINA BUNYU KALIMANTAN TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN TEKNOLOGI RESERVOIR SATURATION TOOL DI LAPANGAN PERTAMINA BUNYU KALIMANTAN TIMUR"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN TEKNOLOGI

RESERVOIR SATURATION TOOL

DI LAPANGAN PERTAMINA BUNYU

KALIMANTAN TIMUR

Panca Priantara, Henky Kurniawan, Krisna,

PERTAMINA DOH Kalimantan

ABSTRACT

Bunyu is one of Pertamina Field that is sited in Operation Area Kalimantan Upstream. Bunyu Island is about 122 square kilometers in northeastern of Borneo. The Discovery of first oil well was B-1 in 1922, developing of the field is done since January 1952. Peak production of Bunyu was 10,503 Bbl/d in 1959. Current production of Bunyu is about 2200 bbl/d.

In the end of 2000 production of Bunyu was just about 1,547 Bbl/d. In effort to increase the oil production that is going down, so it applied the RST (Reservoir Saturation Tool) technology to help the workover job. The using of RST technology is very helpful to do the workover job and it can seem from the production which is going up in 2001.

1. PENDAHULUAN

Lapangan Bunyu merupakan salah satu lapangan Pertamina

yang berada di DOH Kalimantan. Pulau Bunyu dengan luas ±

122 km2 terletak di bagian sebelah timur muara Sungai

Sesayap, timurlaut Kalimantan (Gambar-1). Penemuan

sumur minyak pertama kali adalah Bunyu-1 pada tahun 1922. Kemudian dilanjutkan pada awal tahun 1950 dengan pengembangan lapangan minyak Bunyu yang terletak di bagian tenggara Pulau Bunyu. Lapangan Bunyu mulai berproduksi sejak Januari 1952. Jumlah lapisan yang berpotensi mengandung hidrokarbon 150 lapisan di struktur Bunyu Nibung.

Produksi Lapangan Bunyu sejak diproduksikan dari tahun 1952 hingga sekarang terus menurun. Puncak produksi yang pernah dicapai oleh lapangan Bunyu sebesar 10,503 bbl/d pada tahun 1959. Awal tahun 1990 produksi lapangan Bunyu cenderung terus menurun, hingga akhir tahun 2000 produksi

hanya sebesar 1,547 bbl/d. Pelaksanaan workover maupun

reparasi tingkat keberhasilannya relatif rendah, sehingga produksi hanya diharapkan dari sumur-sumur yang eksisting.

2. TEKNOLOGI RESERVOIR SATURATION TOOL

RST dapat digunakan untuk menentukan informasi tentang

saturasi minyak dan gas pada sumur terbuka atau berselubung. Saturasi hidrokarbon pada sumur terbuka pada umumnya

didapat dari logging resistivitas. Setelah pemasangan

selubung, alat resistivitas konvensional tidak dapat digunakan

lagi. Pada kondisi inilah RST digunakan untuk mengukur

saturasi minyak dan gas saat ini.

Dengan pengukuran RST, saturasi minyak diperoleh dengan

dua cara yaitu pengukuran perbandingan karbon-oksigen

(C/O), dan pengukuran laju penyerapan neutron (sigma).

Perbandingan karbon-oksigen (C/O) berhubungan langsung dengan saturasi minyak formasi. Karbon paling banyak terdapat di minyak dan oksigen paling banyak terdapat di air. Pengukuran saturasi minyak dengan cara ini tidak dipengaruhi oleh salinitas air formasi. Kelebihan ini sesuai untuk lapangan-lapangan minyak di Indonesia yang pada umumnya memiliki salinitas kurang dari 40,000 ppm. Untuk lapangan yang memiliki salinitas air formasi yang tinggi, pengukuran

laju penyerapan neutron dapat digunakan untuk menghitung saturasi minyak.

Berbeda dengan pengukuran saturasi minyak, untuk

mendapatkan saturasi gas hanya pengukuran laju penyerapan neutron (sigma) yang dapat digunakan. Oleh karena rendahnya salinitas air formasi di Indonesia, pengukuran laju

penyerapan neutron hanya dapat digunakan untuk

membedakan gas dari cairan (minyak atau air) formasi. Kemampuan RST untuk menganalisa jenis batuan sangat bermanfaat dalam pengkajian ulang sumur-sumur tua dengan logging yang terbatas. RST memanfaatkan karakteristik sinar gamma yang terinduksi karena tumbukan neutron dengan inti atom. Berbagai kemajuan dalam teknologi detektor dan akselarator yang diterapkan pada peralatan ini menghasilkan alat yang lebih kecil sehingga dapat dimasukkan ke dalam sumur melalui tubing 2-3/8”. Pengembangan baru pada

teknologi pengolahan data memungkinkan logging secara

cepat dan kontinyu, bahkan pada porositas yang rendah (>10 pu). Hal ini tidak mungkin dilakukan dengan alat sebelumnya. Gamma Ray Spectroscopy Tool (GST). GST memiliki penampang 3-3/8”, lebih besar dari RST.

3. GEOLOGI

Lapangan Bunyu Nibung terletak dalam Tarakan sub basin yang merupakan sub cekungan yang paling muda dalam Cekungan Tarakan. Cekungan Tarakan disebelah barat dibatasi oleh Tinggian Kuching, disebelah utara dibatasi oleh Tinggian Sampurna yang terletak di utara batas wilayah Indonesia-Malasyia . Disebelah selatan dibatasi oleh Tinggian Mangkalihat yang merupakan batas pemisah antara Cekungan Tarakan dengan Cekungan Kutai. Arah timur cekungan ini belum diketahui dengan jelas batasnya dibawah Laut Sulawesi. Cekungan Tarakan ini dapat dibagi menjadi 4 sub

basin berdasarkan depocenternya yaitu Tidung sub basin,

Berau sub basin, Tarakan sub basin dan Muara sub basin. Secara regional Pulau Bunyu merupakan elemen positif yang merupakan tinggian didalam sub cekungan Tarakan. Sumbu memanjang Pulau Bunyu berarah baratlaut-tenggara dan

secara garis besar bertepatan dengan arah sumbu

antiklinorium Bunyu. Struktur antiklinorium ini dipotong oleh

sejumlah sesar normal transversal, antithetic dan synthetic

(2)

terpisah. Arah kemiringan sesar umumnya ke arah timur dan tenggara. Tektonik utama yang pertama mempengaruhi Pulau Bunyu adalah ketidakselarasan bersudut dibagian atas Formasi Tarakan. Sesudah pengendapan Formasi Bunyu pada kala Pleistosen terjadi tektonik fase kedua pada akhir Pleistosen dimana daerah ini mengalami gangguan tektonik

sehingga terangkat dan terpatahkan. Absennya fosil

foraminifera plankton penunjuk umur dan perubahan facies yang sangat cepat secara lateral menyebabkan pembagian statigrafi di Pulau Bunyu sangat kompleks. Pertamina pada tahun 1970 secara praktis membagi stratigrafi Pulau Bunyu

berdasarkan jenis litologi menjadi 3 kelompok yaitu : coal

series paling atas, kemudian berturut-turut dibawahnya calcareous series dan mudstone series. Berdasarkan data-data dibawah permukaan yang terkumpul dari tahun 1970 baik dari sumur maupun seismik maka Akuanbatin. H dan Rosandi. T tahun 1983, membagi stratigrafi Pulau Bunyu menjadi 4 formasi berturut-turut dari tua ke muda sebagai berikut : Formasi Meliat, Tabul, Tarakan dan Bunyu.

4. RESERVOIR

Hasil korelasi stratigrafi antar sumur di lapangan Bunyu-Nibung ditemukan kurang lebih 150 lapisan reservoir batupasir yang terdistribusi kedalam Formasi Tarakan, Formasi Santul dan Formasi Tabul. Ketebalan batu pasir yang produktif ini berkisar dari 1 meter sampai 46 meter. Porositas rata-rata 25% dari permeabilitas 7 hingga 3400 md.

Pengamatan yang dilakukan pada beberapa sumur bor

eksplorasi dan sumur produksi yang menghasilkan

hidrokarbon di lapangan Bunyu Nibung menunjukkan bahwa umumnya hidrokarbon ditemukan dalam batupasir ambang

muara (distributary mouth bar) dan batupasir alur pasang

surut (tidal channel). Dari hasil korelasi detail yang telah

dilakukan memperlihatkan penyebaran reservoir batupasir distribusinya bukan merupakan lapisan yang melampar (blanked sand), tetapi umumnya melensa dan membaji didalam lapisan serpih.

Cadangan pasti struktur Bunyu sebesar 20.24 MMStb, dengan kumulatif produksi hingga tahun 2000 sebesar 90.7 MMStb. Mekanisme dorong yang bekerja pada lapisan yang ada

merupakan kombinasi antara solution gas drive, gas cap

drive, dan water drive. Pada beberapa lapisan dijumpai

mekanisme dorong strong water drive sangat berperan.

5. PERMASALAHAN

Saat ini terdapat 10 struktur eksisting yang berada dibawah pengelolan Pertamina, salah satunya adalah struktur Bunyu yang terletak di sebelah selatan Pulau Bunyu dan telah dikembangkan menjadi lapangan minyak dan gas. Tingkat keberhasilan pekerjaan workover relatif rendah, meskipun dari peta produksi, korelasi antar sumur dan rekaman log lama menunjukkan sumur tersebut masih berada di dalam kolom minyak.

Dalam upaya meningkatkan produksi lapangan Bunyu yang cenderung terus menurun, maka dicarilah alternatif yang dapat dipergunakan untuk membantu meningkatkan produksi. Maka dilakukan usaha pencarian hidrokarbon secara detail dengan 2 cara yaitu menggunakan RST untuk perkiraan

berdasarkan sekuen stratigrafi, yang saat ini masih dalam pelaksanaan.

6. PEMBAHASAN

Pemilihan calon sumur perekaman RST untuk workover

maupun yang akan dijadikan data referensi terhadap sumur sekitarnya harus didasarkan pada beberapa hal, antara lain :

1.Posisinya merupakan sumur kunci (key well) pada suatu

blok yang dipilih berdasarkan hasil korelasi antar sumur yang relatif paling banyak menembus lapisan prospek, serta posisinya berada diantara batas minyak air terakhir sampai puncak antiklin.

2.Sumur tidak mempunyai probem mekanis maupun problem

dengan kondisi lubang, yaitu sumur yang tidak bermasalah

dengan selubung (casing), washed out lubang sumur tidak

melebihi dari kemampuan penetrasi alat RST untuk merekam data, tidak ada ikan serta diusahakan tidak ada lubang perforasi yang terbuka supaya diperoleh gambaran kondisi reservoir yang sesungguhnya.

3.Data produksi dan salinitas air formasi

4.Memiliki Open Hole Log (GR/SP, Caliper, Resistivity,

NPHI, RHOB) untuk evaluasi formasi dan Cased Hole Log (Cement Bonding Log dan VDL) untuk mengetahui kualitas semen.

7. HASIL

Berdasarkan pada kriteria diatas, maka dipilih 5 sumur yang dianggap cukup representatif yaitu : 94, 125, 127,

B-130, dan B-136. Setelah dilakukan perekaman serta

interpretasi log RST, korelasi antar sumur dan revisi peta

horison meliputi perubahan OWC, didapatkan zona-zona yang

menarik untuk dilakukan workover maupun reparasi. Catatan

hasil pekerjaan workover adalah sebagai berikut :

7.1. Sumur B–17

Lapisan G-45

Berdasarkan korelasi dengan hasil RST dari B-125

menunjukkan bahwa lapisan G-45 masih berada pada kolom

minyak (OWC –757 tvdss) dan posisi sumur B-17 berada pada

top struktur.

Perforasi dilakukan pada interval 799-800.5m diperoleh hasil

SA(OF) Gross = 1025 bbl/d, Nett =902 bbl/d, WC = 12 %,

Gas = 1.2 MMscf/d.

7.2. Sumur B–94

Lapisan P-70

Log CBL/VDL mengindikasikan kualitas semen jelek (±40-50

mv), perforasi pada interval 1490.5-1492.5m menghasilkan

SB(OF) Gross = 242 bbl/d, Nett =5 bbl/d, WC = 98 %, Gas =

0.1 MMscf/d.

Lapisan Q-20 &P-70

Diproduksikan bersama (comingle) dengan P-70. Perforasi

Q-20 di 2 interval 1514-1515m dan 1517-1518m, hasil SB(OF) Gross = 485 bbl/d, Nett =45 bbl/d, WC = 91 %, Gas = 0.1 MMscf/d.

(3)

Lapisan Q-60 &O-20

Diproduksikan bersama P-70 (1532.5-1535.5m) & O-20

(1524-1526m), hasil SB (OF) Gross = 365 bbl/d, Nett =74

bbl/d, WC = 80 %, Gas = 0.1 MMscf/d.

7.3. Sumur B–117

Lapisan Q-20B

Berdasarkan korelasi dengan RST B-130 menunjukkan bahwa

lapisan ini berada pada kolom minyak dan posisi sumur B-117 berada pada top struktur.

Perforasi interval 1572-1574m diperoleh hasil SB(OF) Gross

= 1279 bbl/d, Nett = 399 bbl/d, WC = 69 %, Gas = 0.2

MMscf/d.

7.4. Sumur B–127

Lapisan R-90

Lapisan R-90 memiliki tebal 10m yang terdiri dari 2 bagian, bagian atas mempunyai ketebalan kolom minyak 3m pada

interval 1636.5-1639.5m dengan Sw 35% dan porositas 30%.

Perforasi interval 1637-1639m pada bulan Maret 2000,

diperoleh hasil SB(OF) Gross = 1536.6 bbl/d, Nett =1123.4

bbl/d, WC = 27 %, Gas = 0.1 MMscf/d.

Sedangkan pada bagian bawah yang terpisah dari bagian atas oleh lapisan batulempung, tidak diproduksikan karena hanya memiliki kolom minyak setebal 0.5m.

Lapisan S-75 dan S-20A

Lapisan S-75 mempunyai ketebalan kolom minyak hanya 1m dengan Sw 20% sedangkan S-20A kolom minyak setebal 1.5m dengan Sw 60 %.

Perforasi S-75 interval 1701-1702m dan S-20A interval 1654.5-1656m diproduksikan bersama diperoleh hasil SB(OF) Gross = 1629 bbl/d, Nett =199.4 bbl/d, WC = 88 %, Gas = 0.4 MMscf/d.

Lapisan M-70

Lapisan M-70 mempunyai ketebalan kolom minyak 6m, Sw

60% dan porositas 27% pada interval 1230-1235m. OWC

mengalami kenaikan setinggi 5.5m dari –1164.5 tvdss menjadi –1159 tvdss.

Perforasi yang dilakukan pada interval 1229.5-1231.5m bulan

Juli 2000 diperoleh hasil SA(32) Gross = 963 bbl/d, Nett =

720.2 bbl/d, WC = 25.2 %, Gas = 1.01 MMscf/d.

Lapisan M-31

Lapisan M-31 dengan ketebalan batupasir 13.5m memiliki 2 lapisan prospek dimana bagian atas dengan Sw 40% dan

porositas 35% tersekat dengan lapisan bawah oleh

batulempung setebal 1m, sehingga kemungkinan terjadinya

efek kerucut air (water coning) tidak akan terlalu besar

(Gambar-2).

OWC mengalami kenaikan 2m dari –1127 tvdss menjadi –

1124.5 tvdss (Gambar-3 & 4). Lapisan ini merupakan lapisan

minyak dengan porositas terbesar sehingga diperkirakan gross

yang akan dihasilkan relatif besar.

Perforasi interval 1199-1201m diperoleh hasil SB(40) Gross =

2146.7 bbl/d, Nett = 240.9 bbl/d, WC = 88.8 %, Gas = 0.6

MMscf/d.

7.5. Sumur B–125

Lapisan O-50

Dengan tebal lapisan 8m dan Sw 45% serta porositas 25% merupakan lapisan prospek, setelah dilakukan perforasi pada

interval 1447.5–1449 m diperoleh hasil SB(OF) Gross =

242.2 bbl/d, Nett = 213.2 bbl/d, WC = 12 %, Gas = 0.1

MMscf/d.

Lapisan M-32

Sw 60% tetapi setelah dilakukan perforasi pada interval

1267.5-1269m ternyata hasil air SB(OF) Gross = 950 bbl/d,

Nett = 0 bbl/d, WC = 100 %, Gas = 0.1 MMscf/d.

7.6. Sumur B–130

Lapisan R-34

Tebal lapisan batupasir 5m dengan Sw 60-80%, setelah dilakukan perforasi pada interval 1598.5–1600m diperoleh

hasil gas SB(OF) Gross = 1293 bbl/d, Nett = 0 bbl/d, WC =

100%, Gas = 0.8 MMscf/d.

Lapisan F-78

Tebal lapisan 4m dengan Sw 50-70% dan porositas 26%,

perforasi interval 710–711.5m diperoleh hasil SB(OF) Gross

= 949.8 bbl/d, Nett = 0 bbl/d, WC = 100%, dan Gas = 0.1

MMscf/d, dinilai gagal karena mengalami problem kepasiran.

7.7. Sumur B–136

Lapisan V-70

Lapisan V-70 dengan ketebalan total 7.5m memiliki 2 lapisan yang terpisahkan oleh batulempung setebal 2 m. Prospek interval atas dengan Sw 40 %, porositas 20% sedangkan bagian bawah Sw 30 % dan porositas 20%. Diperoleh data

OWC di –1929 tvdss, perforasi dilakukan di dua interval yaitu

1983-1984m dan 1987–1989m, diperoleh hasil SB(OF) Gross

= 658 bbl/d, Nett = 215 bbl/d, WC = 67 %, Gas = 0.1

MMscf/d.

8. KESIMPULAN

Penerapan alat logging RST maupun yang sejenisnya

dirasakan sangat membantu dalam mengelola lapangan marginal yang sudah lama diproduksikan, guna

meningkatkan akurasi upaya pencarian hidrokarbon.

Keberhasilan ini tidak terlepas dari kerja sama tim dalam pemilihan sumur-sumur kunci, kelengkapan data yang dibutuhkan, terpenuhinya kondisi sumur untuk perekaman data, operasional di lapangan serta log analisis/interpreter.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada PERTAMINA DOH Kalimantan, Manager Operasi Bunyu, rekan-rekan KKAF dan semua pihak terkait yang mendukung hingga terselesaikannya tulisan ini.

(4)

DAFTAR PUSTAKA

Akuanbatin. H, Rosandi. T (1983), Lingkungan Pengendapan Formasi Tabul dan Formasi Tarakan Serta Hubungannya

Dengan Potensi Hidrokarbon di Pulau Bunyu. Pertemuan

Ilmiah tahunan IAGI ke XII, Yogyakarta 5-8 Desember 1983.

Cholid. M (1998), Aplikasi RST di Indonesia

Cholid. M, Djaswadi. H, Ricardo, Tom Mc. Donald,

Witjaksono (2000-2001), Laporan Interpretasi RST (tidak

dipublikasikan).

Gambar-1

(5)

Gambar-2

Log RST Lapisan M-31 di sumur B-127 Memperlihatkan Bahwa Lapisan Ini Masih Mengandung Hidrokarbon

(6)

Gambar-3

Korelasi Lapisan Batupasir M-31 Antara Sumur B-102, 127 dan 85 Menunjukkan Kenaikan OWC Setinggi 2.5 m

(7)

Gambar-4

Peta Horizon Lapisan M-31 Dengan OWC di kedalaman –1124.5 tvdss

Referensi

Dokumen terkait

Penutupan lahan bukan hutan pada kawasan lindung berdasarkan peraturan kementerian pertanian dan kehutanan mengindikasikan adanya gangguan pada kawasan lindung,

Sistem Telekomunikasi Operasi adalah keseluruhan tatanan yang teratur dari sistem dan kegiatan komunikasi yang dipersiapkan untuk pengemban fungsi operasional Polri

Ditinjau dari etika bisnis Islam, strategi pemasaran yang dilakukan oleh para supplier ikan Hias di desa Bendiljati Wetan Kecamatan Sumbergempol tidak menyimpang dari

Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah teks Palanta karya Sawir Pribadi mencerminkan realita masyarakat Minangkabau yang gemar berargumentasi, memberikan

Sehingga penulis tertarik untuk melalukan penelitian pendidikan ini dengan judul: “Kontribusi Hasil Uji Kompetensi Teori Kejuruan Terhadap Hasil Uji Kompetensi

Dengan memberi nama pada hal-hal yang dilihat, pemikiran ini tidak perlu menyimpan segala sesuatu yang ditemuinya; selama tidak ada yang bergerak atau berubah, mengenali nama

 Pokok untuk direnungkan: Tidak ada hal yang lebih penting daripada menge- tahui tujuan-tujuan Allah bagi kehidupan saya, dan tidak ada yang bisa meng- ganti kerugiannya

yang akan membentuk kompleks inklusi sekurang-kurangnya harus sesuai secara parsial pada rongga tempat terjadinya kompleks inklusi, jika ukuran molekul tamu kecil atau cocok