• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Resiko Rantai Pasok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Resiko Rantai Pasok"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Manajemen Resiko Rantai Pasok

Menurut (Pujawan 2005) rantai pasok adalah jaringan perusahaan-perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir dimana perusahaan-perusahaan tersebut termasuk supplier, pabrik, distributor, toko atau ritel seta perusahaan-perusahaan pendukung seperti perusahaan jasa logistik. (Chopra and Meindl 2007) mendefinisikan rantai pasok sebagai keterlibatan fungsi keseluruhan bagian didalam jaringan pasokan baik pabrik, suppliers, perusahaan jasa pengiriman, pergudangan, retail, bahkan konsumen seta dalam memenuhi permintaan pelanggan baik secara langsung maupun tidak langsung. Istilah manajemen rantai pasok pertama kali dikemukakan oleh Oliver & Weber pada tahun 1982. Kalau pada rantai pasok adalah jaringan fisiknya maka, manajemen rantai pasok adalah metode, alat, atau pendekatan pengelolaannya.

Manajemen rantai pasok dipopulerkan sebagai pendekatan manajemen persediaan yang ditekankan pada pasokan bahan baku. Isu ini terus berkembang sebagai kebijakan strategis perusahaan yang menyadari bahwa keunggulan bersaing perlu didukung oleh manajemen aliran barang dari pemasok hingga pengguna akhir yang baik. Menurut The Council of Supply Chain Management

Professionals (CSCMP) manajemen rantai pasok adalah perencanaan dan

pengelolaan semua kegiatan yang terlibat dalam sumber dan pengadaan, konversi, dan semua kegiatan manajemen logistik yang mencakup koordinasi dan kolaborasi dengan mitra penyalur, yang dapat berupa pemasok, perantara, penyedia layanan pihak ketiga, dan pelanggan, Dengan tujuan mengintegrasikan manajemen penawaran dan permintaan didalam dan antar perusahaan. Menurut Vorst (2004) manajemen rantai pasok adalah keterpaduan antara perencanaan, koordinasi seluruh proses dan atktifitas bisnis untuk menghantarkan nilai keutamaan produk ke tangan konsumen sebagai keseluruhan untuk memenuhi kebutuhan kepuasan para pihak yang berkepentingan dalam system rantai pasok.

Beberapa tahun belakangan, perusahaan tidak hanya memfokuskan perhatian kepada bagaimana mengelola rantai pasok tetapi juga bagaimana

(2)

mengatasi ganguan yang terjadi di sepanjang jaringan rantai pasok untuk menjaga keberlasungan jaringan rantai pasok itu sendiri. Gangguan-gangguan inilah yang menyebabkan timbulnya resiko di sepanjang aliran nilai jaringan rantai pasok. Sehingga pendekatan manajemen rantai pasok lebih difokuskan kepada bagaimana mengelola resiko yang timbul di sepanjang jaringan rantai pasok. Dalam literatur, istilah resiko didefinisikan sebagai suatu ketidakpastian di masa yang akan datang tentang kerugian (Christopher and H 2004). Resiko adalah ketidakpastian dari kejadian yang akan datang (Olsson 2002) resiko berarti kemunculan kemungkinan terjadinya suatu hal yang tidak baik (Borge 2011). Resiko adalah ancaman yang terjadi secara internal ataupun eksternal yang akan berpengaruh merugikan kemampuan untuk mencapai sasaran dan menimbulkan dampak pada nilai capaian. Kemungkinan bahwa sesuatu yang tidak baik akan terjadi atau sesuatu yang jelek yang akan terjadi (Shimell 2002). Resiko adalah setiap sumber kejadian secara random yang bisa mempunyai dampak berlawanan terhadap nilai pertanggungjawaban asset bersih suatu perusahaan pada pendapatan dan atau arus kasnya. Resiko adalah tingkat ketidakpastian dimana melibatkan beberapa kemungkinan diantaranya kerugian, bencana atau hasil yang tidak dinginkan lainnya (Hubbard 2009).

Dalam teori statistik resiko dimodelkan dalam nilai kemungkinan dari beberapa hasil yang dilihat sebagai bentuk yang tidak diinginkan (Dantzig, 2001). Resiko bisa juga diartikan sebagai akumulasi dari resiko yang timbul dari beberapa kejadian sehingga resiko bisa diformulasikan dalam bentuk :

...(1)

Menurut Norrman dan Lindroth (2004) resiko adalah peluang suatu kejadian terhadap dampak tingkat keparahan terhadap bisnis. Saat ini menurut March dan Saphira resiko tidak hanya diartikan sebagai deviasi negatif tetap tetapi bisa diartikan sebagai peluang dan kesempatan.

Dalam perspektif yang berbeda, risiko pada masa sekarang dipandang sebagai peluang dalam meningkatkan profit dan kompetitif perusahaan di masa yang akan datang. Variabel tidak terduga dan dampak dari definisi risiko

 

ker

kejadian

(3)

dipandang sebagai nilai positif sebagai peningkatan peluang dan profit. Menurut Luhmann (1996) risiko dipandang sebagai dampak positif melalui peningkatan kewaspadaan sebagai atribut peluang sukses di masa yang akan datang.

Resiko rantai pasok dapat didefinisikan sebagai potensi terjadinya insiden atau kegagalan untuk merebut peluang dengan pasokan inbound di mana hasil tersebut mengakibatkan kerugian finasial untuk setiap pengadaan yang dilakukan perusahaan (Zsidisin dan Ritchie 2009). Menurut Kersten et. al (2004) resiko rantai pasok adalah kerusakan yang dikaji dengan kemungkinan terjadinya disebabkan oleh oleh suatu kejadian dalam sebuah perusahaan, dalam rantai pasok atau lingkungannya menimbulkan pengaruh negatif terhadap proses bisnis pada lebih dari satu perusahaan dalam rantai pasok. Menurut Kumar etal (2010) resiko rantai pasok adalah potensi penyimpangan dari keseluruhan tujuan awal tersebut, yang menjadi akibat pemicu penurunan kegiatan nilai tambah kegiatan di berbagai tingkatan. Menurut Zsidisin dan Ritchie (2009) resiko dalam konteks rantai pasok dapat dikategorikan berdasarkan jumlah dimensinya :

a) Gangguan terhadap pasokan barang dan jasa termasuk kualitas yang buruk yang menyebabkan downtime dan kegagalan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan.

b) Volatilitas dalam masalah harga yang menyebabkan kesulitan dalam mengatasi perubahan harga di tingkat konsumen dan berpotensi menyebabkan kerugian.

c) Mutu dan jasa pelayanan produk yang buruk, dapat mempengaruhi tingkat kepuasan pelanggan dengan konsekuensi terhadap pendapatan di masa yang akan datang dan kemungkinan klaim yang lebih cepat untuk kompensasi finansial.

d) Reputasi perusahaan, dihasilkan dari isu-isu yang tidak terkait langsung terhadap rantai pasok itu sendiri sehingga dapat menimbulkan resiko.

Tingginya kompleksitas dan ketergantungan merupakan karakteristik dari rantai pasok saat ini. Globalisasi, e-bisnis, permintaan mengambang dan bergesernya filosofi bisnis (seperti outsourcing) merupakan beberapa faktor yang membuat anggota rantai pasok menjadi lebih bergantung terhadap yang lain. Sebagai akibatnya rantai pasok menjadi lebih rentan terhadap gangguan. Jika

(4)

suatu gangguan terjadi pada salah satu pemain rantai pasok, hal ini akan mengganggu keseluruhan jaringan. Risiko dalam rantai pasok dapat diakibatkan dari suatu perusahaan dalam rantai pasok, atau keterhubungan antar organisasi dalam jaringan pasokan, atau antar jaringan pasokan dan lingkungannya, yang akan menyebabkan kerugian finansial secara menyeluruh atau bahkan mengakibatkan berhentinya kegiatan bisnis. Oleh karena itu perlu pengendalian risiko rantai pasok agar dapat menghindarkan akibat berkelanjutan yang dapat terjadi pada setiap titik dalam jaringan pasokan.

Menurut (Wu dan Blackhurst 2009) resiko yang terjadi dengan hasil yang diharapkan dapat dipetakan (Gambar 2).

A B C Rendah Tinggi Rendah Tinggi Resiko yang dihadapi

Hasil kinerja yang diharapkan

Gambar 2 Hubungan antara resiko dengan kinerja (Zsidisin 2009)

Dalam kondisi tertentu, penilaian resiko yang dihadapi akan menjadi penilaian bagi setiap pemangku kepentingan atau pengambil keputusan mengenai kinerja yang diinginkan dan dampak potensial dari resiko pada kinerja yang dihasilkan. Pengelolaan resiko rantai pasok intinya berlandaskan dari tujuan pengelolaan jaringan rantai pasok itu sendiri, dimana optimalisasi difokuskan pada tiga prinsip : 1) Responsiveness, 2) Leanness, 3) Agility dalam bentuk segitiga seperti yang ditunjukkan Gambar 3.

(5)

waktu

Biaya

Mutu

R

es

po

ns

iv

en

es

s

Resiko

L

ea

nn

es

s

Agility

Gambar 3 Segitiga penilaian resiko

Manajemen resiko berarti menghasilkan dan mempertimbangkan skenario alternatif dan solusi, menilai manfaat masing-masing, memilih solusi dan melakukan pelaksanaan (Wu dan Blackhurst 2009). Menurut (Culp dan Christopher 2002) manajemen resiko adalah proses yang dilakukan organisasi untuk coba memastikan bahwa resiko yang muncul adalah resiko yang diinginkan dan perlu dimunculkan untuk menjalankan bisnis utamanya.

Menurut Hanani et al. (2003), agroindustri merupakan perpaduan antara pertanian dan industri dimana keduanya menjadi sistem pertanian berbasis industri dengan penanganan utama pada sisi pasca panen. Sehingga, manajemen risiko rantai pasok Agroindustri adalah perencanaan dan pengelolaan seluruh kegiatan dari pelaku yang terlibat didalam alur rantai pasokan produk pertanian berbasis industri melalui koordinasi pendekatan sumber peluang yang dapat mengakibatkan kerugian finansial untuk setiap pengadaan yang dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi gangguan terhadap rantai pasok secara keseluruhan.

Secara umum, proses manajemen resiko rantai pasok terdiri atas identifikasi resiko,analisis resiko, evaluasi resiko dan mitigasi resiko. Identifikasi resiko merupakan tahapan fundamental dalam proses manajemen resiko. (Hallikas et al.2004; Norrman dan Lindroth 2004). Resiko yang tidak teridentifikasi dengan baik dapat menyebakan kesalahan arah dalam proses manajemen resiko. Sehingga dalam penentapan resiko sendiri berdasarkan strategi dari jaringan rantai pasok yang ingin kita rancang atau evaluasi, responsiveness atau efiensien. Sangat penting untuk mengetahui drivers rantai pasok berdasarkan strategi yang kita

(6)

inginkan, karena akan menjadi landasan fundamental dalam penerapan resiko jaringan rantai pasok.

2.1.1. Kerangka Kerja Manajemen resiko Rantai Pasok

Penetapan kerangka kerja dalam pengelolaan resiko di dalam rantai pasok sangat penting karena akan menjadi tahapan pemikiran dalam menyelesaikan permasalahan resiko yang ada. Klasifikasi tahapan ini akan membantu sistematika manajemen resiko rantai pasok. Menurut (Wu dan Blackhurst, 2009) kerangka kerja manajemen resiko rantai pasok terdiri atas dua bagian utama (Gambar 4).

1. Bagian inti lingkaran yang meliputi profil resiko, profil kinerja, jangka waktu strategi dan partisipasi stakeholder rantai pasok

2. Bagian luar lingkaran meliputi komponen kunci atau aktifitas yang terlibat di dalam proses manajemen resiko dan kinerja.

Profil resiko Profil kinerja

Jangka waktu Stakeholders rantai pasok Drivers dan sumber resiko Penilaian resiko Manajemen resiko Keluaran resiko Keluaran Kinerja Manajemen kinerja Penilaian kinerja Drivers dan sumber kinerja

Gambar 4 Kerangka kerja manajemen resiko rantai pasok (Wu dan Blackhurst 2009)

Menurut Hallikas et al. (2004) proses manajemen resiko yang umum terjadi pada suatu perusahaan terdiri dari empat kegiatan utama yaitu identifikasi resiko, pengkajian resiko, pengambilan keputusan dan implementasi pada kegiatan manajemen resiko dan pengawasan resiko.

1. Identifikasi resiko

Resiko rantai pasok secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu resiko internal dan resiko external (Chan dan Kumar 2007)Menurut Wu dan Blackhurts (2009) resiko yang dihadapi perusahaan dapat dibagi menjadi dua yaitu resiko yang tidak dapat dihindari (systematicrisk) dan resiko yang dapat

(7)

dihindari (unsystematic risk) yang bisa dilihat pada Gambar 5. Unsystematic risk merupakan gambaran resiko yang dihasilkan dari tujuan yang berbeda untuk setiap sphere di dalam rantai pasok. Sehingga untuk resiko yang dapat dihindari merupakan resiko yang berada di masing-masing sphere rantai pasok yang tentu saja dapat dikendalikan dengan baik. Ketika konsep resiko meluas kedalam bentuk konfigurasi dari jaringan rantai pasok yang terdiri dari bebagai macam sphere maka akan terjadi conflict kepentingan antara berbagai level sphere di dalam rantai pasok sehingga akan menimbulkan resiko yang tidak diinginkan atau tidak dapat dihindari (systematics risk). Untuk jenis resiko seperti ini hanya bisa di kurangi lewat proses risk

Mitigation. Karakteristik lingkungan Karakteristik industri Konfigurasi rantai pasok Anggota rantai pasok Strategi organisasi Unit Pembuat keputusan Variabel spesifik masalah

Sistematis (Tidak dapat dihindari) Risk exposure

Tidak sistematis (dapat dihindari) Risk exposure

Portofolio hasil resiko dan kinerja

Profil kinerja Profil resiko

Gambar 5 Sumber dan driver resiko dan kinerja (Wu dan Balckhurst 2009) 2. Pengkajian resiko

Pengkajian resiko dan prioritas untuk masing-masing resiko diperlukan agar dapat memilih tindakan manajemen yang sesuai terhadap faktor-faktor resiko yang teridentifikasiberdasarkan situasi dan kondisi perusahaan.

3. Keputusan dan implementasi tindakan manajemen risiko, sangat diperlukan untuk menggunakan metode manajemen yang dapat memastikan pencegahan secara parsial atau total terhadap risiko yang akan terjadi atau pada saat

(8)

terjadinya kegagalan, dilakukan dengan mengurangi akibatnya terhadap pengoperasian rantai pasok. Metode utama untuk menanggulangi risiko, seperti dalam literatur (Culp dan Christopher 2002; IRM 2003; Chapman 2006) adalah:

a) Menghidari risiko, secara intuisi cara untuk menghindari risiko yang utama adalah tidak mengambil tindakan yang akan berpotensi terjadinya risiko yang dimaksud.

b) Mitigasi atau eliminasi risiko, Tindakan penanggulangan resiko di identifikasi dengan meninjau ulang profil resiko dari keseluruhan

sphere rantai pasok dan merumuskan tindakan yang harus diambil

dalam rangak mengurangi profil resiko tadi atau membuat penghalang dari dampak yang akan ditimbulkan resiko terhdap perusahaan. Menurut Handfield dan McCormack (2008), ada beberapa pendekatan yang berbeda dalam penanggulangan resiko :

 Mengambil tindakan yang bisa mengubah profil resiko.

Ini adalah tindakan penangulangan resiko yang pertama kali harus dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap atribut masing masing pemasok di setiap sphere rantai pasok, hubungan atau interaksi yang akan menimbulkan skor atau bobot resiko yang paling tinggi dan apa yang dapat dilakukan untuk mengubahnya berdasarkan atribut atribut yang mempunyai nilai bobot tertinggi (Gambar 6).

Profil 1 Tidak ada pengelolaan resiko Profil 2 ada pengelolaan resiko L H

Indeks peluang resiko (Peluang kejadian x skor)

D a m p a k r e v e n u e ( $ ) L H

Gambar 6 Persamaan dampak revenue dan penurunan resiko dengan manajemen resiko (Handfield dan McCormack 2008)

(9)

 Mendistribusikan resiko kepada beberapa pemasok yang memiliki resiko profil yang lebih rendah

Hal ini akan mengurangi dampak resiko untuk masing masing pemasok dan pengurangan resiko secara keseluruhan dalam satu jaringan rantai pasok (Gambar 7).

Pemasok 1 tiidak ada management resiko Pemasok 2

L H

Indeks peluang resiko (Peluang kejadian x skor)

D a m p a k r e v e n u e ( $ ) L H Pemasok 3 Pemasok 4

Gambar 7 Penyebaran pengeluaran dan revenue penurunan resiko secara keseluruhan (Handfield dan Kevin M, 2008)

c) Pengalihan risiko, Sebuah prinsip yang umum dari strategi menajemen risiko yang efektif adalah bahwa risiko harus didistribusikan jika mungkin pada semua pihak agar dapat dilakukan pengaturan dengan baik. Sebagai tindakan ekstrim risiko dapat dialihkan pada perusahaan asuransi, dengan membayar premi yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya risiko tersebut, dengan melakukan kontrak untuk menyediakan konpensasi terhadap seluruh pelaku yang terpengaruh oleh risiko. d) Penyerapan dan pengumpulan risiko. Ketika risiko (tidak dapat dijustifikasi secara ekonomi) tidak dapat dieliminasi, dialihkan dan dihindari, maka harus diserap. Dalam suatu rantai pasok, hal ini tidak selalu disarankan hanya sebuah perusahaan tertentu untuk menanggung semua risiko yang terserap. Risiko dapat dikurangi dengan melalui mekanisme pengumpulan (risk pooling) kemungkinan melalui partisipasi dalam sebuah konsursium dari kontraktor, ketika dua atau

(10)

lebih anggota dapat melakukan pengendalian parsial terhadap kejadian dan akibat dari risiko.

d) Penyerapan dan pengumpulan risiko, Ketika risiko (tidak dapat dijustifikasi secara ekonomi) tidak dapat dieliminasi, dialihkan dan dihindari, maka harus diserap. Dalam suatu rantai pasok, hal ini tidak selalu disarankan hanya sebuah perusahaan tertentu untuk menanggung semua risiko yang terserap. Risiko dapat dikurangi dengan melalui mekanisme pengumpulan (pooling) kemungkinan melalui partisipasi 4. Pengawasan risiko, Perusahaan dan lingkungannya tidaklah statik, dan oleh

karenanya juga status risiko akan berubah. Faktor-faktor risiko yang dikenali harus dimonitor untuk mengidentifikasi potensi meningkatnya kecenderungan dari kemungkinan dan konsekuensinya. Sebagai akibatnya faktor risiko penting yang baru bisa muncul.

2.1.2.AnalisisRisikoRantaiPasok

Dua metode utama untuk mengukur risiko rantai pasok adalah metode pengukuran risiko berdasarkan pendapat pakar dan metode pengukuran risiko secara statistik (Klimov dan Merkuyev 2006). Pengukuran risiko dengan pendekatan statistik bersifat objektif dan lebih efektif dengan kerangka kerja berdasarkan probabilitas kejadian risiko sebagai variabelnya. Analisis rantai pasok merupakan bagian bagian dari manajemen rantai pasok yang harus dilakukan untuk mengurangi atau menghindari terjadinya kegagalan bisnis dalm kondisi yang penuh ketidakpastian. Analisis risiko dilakukan dengan menghitung nilai indeks risiko pada setiap tingkatan rantai pasok yaitu indeks risiko (Marimin dan Maghfiroh 2010).

... (2)

Dimana :

Rix = Indeks risiko rantai pasok pada tingkat ke x

= konsekuensi dari rantai pasok yang harus ditanggung pelaku pada tingkat ke-x ketika produk gagal dipasok.

= persentase nilai tambah yang diberikan pelaku rantai pasok pada tingkat

x  ^ 1 1 1 n xi x x x i RI

 

P S              

(11)

ke x.

x = pelaku rantai pasok pada masing-masing sphere

= Probabilitas kegagalan produk komponen ke-i dari pelaku tingkat ke-x. Nilai indek risiko berada pada nilai antara nol dan satu. Dalam kajian ini, nilai konsekuensi dapat diklasifikasikan sebagai vital, dibutuhkan, diperlukan dan diinginkan (Tabel 1 ).

Tabel 1 Nilai konsekuensi risiko

Konsekuensi Keterangan Α

Vital Tidak tergantikan 1,00

Necessary Tidak mudah digantikan 0,60

Necessary Mudah digantikan 0,30

Desired Mudah digantikan 0,10

Sumber : Marimin 2010

Sementara perhitungan nilai tambah pelaku rantai pasok menggunakan pendekatan metode Hayami (Tabel 2)

Tabel 2 Prosedur perhitungan nilai tambah metode Hayami

No Variabel Nilai

Output, Input, Harga

1 Output (Kg) (1)

2 Bahan baku (Kg) (2)

3 Tenaga kerjalangsung (HOK) (3)

4 Faktor konversi (4) = (1) / (2)

5

Koofisien tenaga kerja langsung

(HOK/Kg) (5) = (3) / (2)

6 Harga Output (Rp/Kg) (6)

7 Upah tenaga kerja langsung (Rp/HOK) (7) Penerimaan dan keuntungan

8 Harga bahan baku (Rp/Kg) (8)

9 Harga input lain (Rp/Kg) (9)

10 Nilai output (Rp/Kg) (10) =(4) X (6)

11 a. Nilai tambah (Rp/Kg) (11a) = (10) – (8) – (9) b. Rasio nilai tambah (%) (11b) = (11a)/10 x 100 12

a. Pendapatan tenaga kerja langsung

(Rp/Kg) (12a) = (5) x (7)

b. Pangsa tenaga kerja langsung (%) (12b) = (12a)/(11a)x 100

13 a. Keuntungan (Rp/Kg) (13a) = (11a) – (12a)

(12)

Tabel 2 prosedur perhitungan nilai tambah metode Hayami (lanjutan)

No Variabel Nilai

Balas jasa pemilik faktor produksi

14 Marjin (Rp/Kg) (14) = (10) x (8)

a. Pendapatan tenaga kerja langsung (%) (14a) = (12a) /(14)x 100 b. Sumbangan input lain (%) (14b) = (9) /(14)x 100 c. Keuntungan perusahaan (%) (14c) = (13a) /(14)x 100 Sumber : Marimin 2010

2.2. Pengukuran Kinerja pelaku Rantai Pasok melalui pendekatan Data EnvelopmentAnalysis (DEA)

Salah satu aspek fundamental dalam Supply Chain Management (SCM) adalah manajemen kinerja dan perbaikan secara berkelanjutan. Menurut Pujawan (2005), sistem pengukuran kinerja diperlukan untuk : 1) melakukan monitoring dan pengendalian, 2) mengkomunikasikan tujuan organisasi ke fungsi-fungsi pada rantai pasok, 3) mengetahui dimana posisi suatu organisasi relatif terhadap pesaing maupun terhadap tujuan yang ingin dicapai dan 4) menentukan arah perbaikan untuk menciptakan keunggulan dalam bersaing.

Menurut Aranyam et al. (2006), terdapat beberapa metode yang telah dikembangkan untuk mengukur kineja SCM. Beberapa metode terbaik tersebut antara lain : Supply Chain Council Operations Reference (SCOR), the Balanced

Scorecard (BSC), Multi-Criteria Analysis, Data Envelopment Analysis (DEA),

Life-Cycle Analysis dan Activity-Based Costing. Di dalam studi ini pengukuran

kinerja pelaku rantai pasok dilakukan melalui pendekatan Data Envelopment

Analysis (DEA). DEA pertama kali diperkenalkan oleh Charnes, Cooper dan

Rhodes (1978) sebagai programa linier (LP). Keuntungan DEA dapat mengevaluasi berbagai pengukuran secara efisien seperti yang diperlukan untuk menemukan berbagai hubungan antar variabel yang berkaitan. Selain itu, DEA mampu bekerja dengan cara yang unik melalui proses Benchmarking sehingga tidak batasan limit dari atribut pengukuran DEA dalam mencapai efisiensi yang diinginkan. Setiap unit atau organisasi yang akan menjadi objek pengukuran menggunakan metode DEA didefinisikan sebagai unit pembuat keputusan

(DecisonMakingUnit) atau DMU.

Penentuan nilai efisiensi DMU setiap unit dalam pengukuran (θi) dalam

(13)

output (Oij) ketika dibandingkan dengan DMU yang lainnya. Nilai efisiensi suatu

unit pengukuran sangat tergantung kepada nilai output dan input serta bobot pada setiap nilai variabel output (wij) dan bobot variabel input (vij) dari DMU

pengukuran.

... (3)

Dalam penentuan nilai efisien unit dilakukan melalui dua pendekatan yaitu dengan cara memaksimalkan output dengan penggunaan nilai input yang sama atau sebaliknya dengan cara meminimalkan input yang digunakan dalam menghasilkan output dengan kuantitas yang sama. Di dalam penelitian ini dilakukan dengan cara memaksimalkan output yang dihasilkan karena untuk menyelaraskan dengan tujuan rancangan model distribusi risiko.

Kelebihan lain dari metode DEA adalah penentuan bobot dilakukan berdasarkan analisa kuantitatif sehingga dapat menghilangkan efek bias yang selalu terjadi ketika pengukuran kinerja dilakukan melalui pendapat para pakar. Pada setiap proses pengukuran, unit tidak dapat menentukan bobot terhadap dirinya sendiri yang akan menyebabkan efisiensi unit lainnya termasuk unit tersebut melebihi 100 %. Sangat tidak mungkin setiap unit untuk mencapai efisiensi lebih dari 100 % berdasarkan penentuan bobot pengukuran setiap unit. Oleh karena itu, setiap individu unit pengukuran menghasilkan akumulasi dari perkalian bobot dengan output tidak boleh melebihi daripada akumulasi perkalian bobot dengan input. Formulasinya dapat dilihat pada persamaan (4)

... (4)

Untuk mencegah solusi diluar batas yang diinginkan maka kumulatif perkalian bobot dengan input dari unit pengukuran sama dengan 1 sesuai dengan persamaan (5). ... (5)

.

.

o o n n ij ij ij ij j i j i

O w

I v

 

. 1 o n ij ij j i I v  

. . o o n ij ij j i i n ij ij j i O w I v

  

(14)

Asumsi ini berlaku jika pencarian (Threshold) nilai efisiensi unit melalui mekanisme dengan memaksimalkan output.

2.3. Model Mitigasi Risiko Dengan Pendekatan Distribusi Risiko (Risk Sharing)

Proses mitigasi risiko melalui pendekatan distribusi risiko (Risk Sharing) merupakan salah satu bagian dari metode dalam pendekatan penanggulangan risiko di dalam manajemen risiko rantai pasok (Culp dan Chritoper 2002; Chapman, 2006). Banyak literatur (Laviere dan Porteus 2001; Tsay,2001; Wu dan Blackhurst 2009) yang menjelaskan bahwa proses distribusi risiko bisa dilakukan dengan mekanisme pendistribusian profit dari pelaku rantai pasok yang menerima beban risiko lebih sedikit kepada pelaku dengan bobot risiko lebih besar. Melalui proses transfer profit berdasarkan model yang ingin diberlakukan maka akan memicu keseimbangan risiko (Balancing Risk) antar setiap pelaku rantai pasok. Model yang selama ini menjadi bahan kajian peneliti adalah melalui mekanisme penetapan harga.

Menurut Cachon (2003), Wu dan Blackhurst (2009) mekanisme model distribusi risiko bisa diaplikasikan dengan bantuan kontrak dalam mengkoordinasikan semua parameter dan kompleksitas permasalahan yang didefinisikan model. Wu dan Blackhurst (2009) berhasil memberikan pendekatan model yang lebih baik dari usulan model yang pernah dipubilkasikan sebelumnya melalui penetuan risiko spesifik pelaku rantai pasok untuk meminimalisir kemungkinan loss profit akibat penentuan harga yang bersifat general. Model yang diusulkan dalam penelitian mengambil ide dari penelitian Wu dan Blackhurst (2009) dengan pendekatan yang lebih mendalam terhadap mekanisme,implikasi serta aplikasi distribusi risiko. Sehingga, metode distribusi risiko yang akan disajikan fokus kepada teorema Wu dan Blachurst yang merupakan usulan terbaik pada saat ini dalam melakukan proses penyeimbangan risiko (RiskBalancing) pelaku rantai pasok.

Menurut Wu dan Blackhurst (2009) risiko yang dihadapi vendor adalah ketika terjadi fluktuasi permintaan konsumen di tingkat ritel sehingga proses penentuan kapasitas porduksi dan kuantitas pasokan mnjadi sulit dilakukan.

(15)

Melalui proses internediasi risiko melalui pelaku tingkat distributor diharapkan risiko vendor dapat didistribusikan kepada ritel dan distributor. Proses penentapan harga jual dari setiap produk yang menjadi salah satu faktor kunci dalam menyelesaikan permasalahan melalui model ini. Menurut model yang diajukan Wu dan Blackhurst (2009) kelemahan dari model distribusi risiko yang ada selama ini adalah belum memahami dengan baik bahwa risiko dari setiap ritel akan berbeda satu sama lain. Oleh karena itu penentuan harga jual juga harus spesifik berdasarkan risiko yang dihadapi oleh setiap ritel sehingga kerugian

(Loss Profit) akibat generalisasi penetapan harga bisa dihindari.

Kontrak yang dirancang melalui proses karakterisasi pelaku berdasarkan risiko spesifik yang dihadapinya merupakan model koordinasi yang diusulkan dalam model ini. Setiap ritel bertujuan untuk memaksimalkan penjualan dari semua produk yang telah dipesannya (Expected Utility) sehingga berdampak kepada vendor sebagai pemasok ketika menghadapi persoalan mengenai jumlah pasokan dan harga yang harus diberlakukan selama periode pemesanan. Sebaliknya Vendor akan berorientasi untuk memaksimalkan nilai total profit yang diperolehnya (Expected Value) melalui peningkatan kuantitas pesanan dari ritel. Dua paameter tujuan inilah yang coba dimediasi oleh Wu dan Blachurst melalui usulan model yang diberikan.

Kuantitas pesanan (S) selama periode pemesanan akan memberikan fungsi keuntungan yang bersifat acak melalui proses pembayaran yang diberikan ritel terhadap vendor.

... (6) Dimana :

П (S,F,c,s,e) = Akumulasi jumlah pembayaran yang diberikan pengecer

(distributor) dari sejumlah unit pemesanan

S = Kuantitas pesanan

F = pembayaran tetap terhadap ritel p = harga unit tingkat ritel

c = harga unit tingkat vendor di dalam periode pemesanan (regularprice)

s = harga setiap unit yang dikembalikan ke vendor ketika tidak ( , , , , )S F c s e  F pD cS s S[ D]e D s[  ]

(16)

( ) (0, , , ) v opt i i Q i M Q Max E S c s e F p c         

terjual (salvageprice)

D = Jumlah permintaan dari ritel terhadap vendor

e = Harga unit yang dipesan diluar periode pemesanan (emergency purchase)

Sementara nilai Expected Value (EV) dan Expected Utility (EU) yang akan memaksimalkan jumlah pasokan yang didefinisikan sebagai dan adalah sebagai berikut :

... (7) ... (8) Pada persamaan (7), setiap ritel akan berusaha meminimalkan risiko yang dihadapinya (Risk Aversion) atau dengan meningkatkan nilai EU melalui rancangan struktur kontrak yang ditawarkan model (Reservation Utility) atau ri.

Melalui penjabaran dari persamaan (6), (7) dan (8) model struktur kontrak akan dirancang yang akan memberikan kenuntungan maksimum kepada distributor selaku pelaku yang menjadi mediator risiko.

P : ... (9)

Dari kendala pada persamaan (9) diatas memberikan makna, bahwasanya ritel (i) hanya akan menerima menu dari kontrak (M (Q) ) jika nilai EU yang bisa ditawarkan kontrak minimal harus sama dengan nilai ri ritel sehingga, ritel akan

selalu memilih kontrak dengan nilai EU yang paling tinggi.

2.4. Kopi

Kopi arabika merupakan komoditas penting bagi perekonomian masyarakat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo lues. Selain itu komodits tersebut juga merupakan komoditas ekspor peting untuk menghasilkan devisa bagi Negara. Bagi Pemerintah Provinsi NAD sendiri komoditi kopi memberikan nilai tambah ekspor yang begitu besar. Menurut Aceh Coffee forum Kopi merupakan

2 2 . . ( ) i i i i / 2 i s t If iM Q  F p c

 

p c

r

2 2

2 2 / 2 / 2 ( ), i i i i j j j j i F p c p c F p c p c M Q j Q                  

( , , , ) arg max [ ] [ ] u opt s S F c s eEU pD cS s SD e D s 

( , , , ) arg max [ ] [ ] v opt s S F c s eEU pD cS s SDe D s 

(17)

salah satu sektor pertanian penting di Aceh dan merupakan komoditi Ekspor yang memberikan konstribusi besar ke dua setelah Kelapa sawit bagi PDRB Daerah (Gambar 8).

Gambar 8 Persentase expor komoditi pertanian NAD (Aceh Coffe Forum 2011) Menurut Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia pada tahun 2007, kopi arabika yang berasal dari Nanggroe Aceh Darussalam mampu menghasilkan devisa sebesar US$ 20.113.261 dari ekspor kopi sebesar 6.677.055 kg. Tercatat pada tahun 2008, komoditas kopi mampu menghasilkan devisa sebesar US$ 25.235.339 dengan volume ekspor sebesar 7.062.966 kg (Tabel 3).

Tabel 3 Data realisasi ekspor kopi Arabika Nagroe Aceh Darussallam Tahun 2001-2008

No Tahun Volume (Kg) Nilai (USD)

1 2001 783,70 1.305,43 2 2002 7.818,10 14.755,23 3 2003 6.438,14 11.682,81 4 2004 4.863,50 9.455,14 5 2005 5.196,82 16.061,80 6 2006 7.160,00 18.489,25 7 2007 6.677,05 20.113,26 8 2008 7.062,96 25.235,34

Sumber : Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia 2009

Others 1% Clove 0% Coffee 24% palm oil 26% coconut 0% rubber 13% pinang 9% patchouli 0% nutmeg 9% paper 0% cocoa 18%

(18)

Dari peranan kontribusi kopi yang cukup besar bagi PDRB aceh terdapat masalah dimana begitu banyak area tanam yang terlantar akibat konflik dan tsunami ditambah lagi dengan fluktuasi yang tinggi dari perolehan keuntungan jika dilihat dari perbandingan data BPPS dengan data APED. Lembaga Aceh

Coffee Forum memberikan justifikasi yang lebih spesifik terhadap kontribusi

komoditi kopi organik melalui jumlah ekspor kopi Gayo dari tahun 2010 sampai pertengahan 2011 dari enam belas eksportir yang ada di 3 kecamatan berbeda (Tabel 4)

Tabel 4 Rekapitulasi nilai ekspor kopi Arabika Gayo

Eksportir 2010 (Rp) Januari 2011-April 2011 (Rp) Total ekspor (Rp) CV. SARI MAKMUR 8.892,66 5.111,81 14.004,47 CV. SIDIKALANG 6.010,15 2.460,41 8.470,56 CV. SSC 4.168,20 1.009,20 5.177,40 PT. INDOCAFCO 3.677,40 1.377,90 5.055,30 CV. SAM KARYA 2.889,60 971,10 3.860,70 CV. MENACOM 2.483,29 870,00 3.353,29 CV. OLAM 2.036,62 1.005,46 3.042,08 CV. RAJA PUTRA 2.331,18 576,00 2.907,18 CV. MANDAGO 2.279,40 672,00 2.951,40 Kop. PERMATA 1.536,00 0,00 1.536,00 Kop. KBQ 1.648,80 660,00 2.308,80 CV. UJANG JAYA 1.004,40 271,20 1.275,60 CV. ARVIS 789,40 184,80 974,20 CV. MULYO KAWI 0,00 593,10 593,10 PT. EKA NUSA 0,00 719,25 719,25 CV. YUDI PUTRA 0,00 510,30 510,30

Total keseluruhan ekspor 56.739.630

Sumber : Aceh Coffee Forum 2012

Dari Tabel 4 terlihat peningkatan jumlah ekspor produk kopi Gayo hampir dua kali lipat setelah dua tahun kemudian. Akan tetapi konsentrasi ekspor meningkat karena migrasi petani kopi organik ke budidaya kopi konvensional sehingga jumlah produktifitas kopi meningkat dua kali lipat dari yang sebelumnya. Hal ini diperkuat dengan indikasi data yang ditunjukkan Tabel 5 yang menyatakan tidak terjadi perubahan yang begitu berarti dari luas areal tanam kopi Arabika Gayo.

(19)

Sehingga, bisa disimpulkan peningkatan jumlah kuantitas ekspor disebabkan faktor produktifitas petani kopi Arabika Gayo.

Tabel 5 Data luas areal tanam kopi Arabika Nagroe Aceh Darussallam Tahun 1983-2006

No. Tahun Luas tanam (Ha)*

1 1983 31,74 2 1984 32,47 3 1985 32,33 4 1986 33,88 5 1987 33,86 6 1988 43,22 7 1989 49,05 8 1990 55,31 9 1991 59,37 10 11 12 1992 1993 1994 59,43 59,82 59,76 13 1995 57,74 14 1996 57,76 15 1997 61,68 16 1998 62,14 17 1999 92,71 18 2000 100,07 19 2001 96,40 20 2002 94,90 21 2003 97,78 22 2004 98,35 23 2005 94,59 24 2006 94,89

(20)

Ketika ditelaah lebih lanjut luas areal tanam yang tergambar pada data diatas sebenarnya ada indikasi lahan yang telantar akibat adanya konflik dan tsunami di Aceh melalui persentase jumlah lahan terlantar (Gambar 9).

Gambar 9 Perkembangan Produksi Kopi 1990 s/d 2007 di Aceh Tengah dan Bener Meriah (APED, 2011)

Dari serangkaian alur gambaran data yang disajikan diatas memperkuat hipotesa keberlanjuan rantai kopi organik di Aceh Tengah sebagai salah satu wilayah sentra produksi kopi organik Arabika Gayo terancam hilang karena kompleksitas permasalahan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. Tercatat, jumlah petani kopi di Aceh Tengah 34.476 keluarga. Jika satu keluarga diasumsikan beranggotakan 4 orang, sebanyak 137.904 orang di sana yang menggantungkan hidup pada kebun kopi. Jumlah itu setara dengan hampir 90 persen total penduduk Aceh Tengah yang mencapai 149.145 jiwa (2010). Kondisi yang sama juga terjadi di Bener Meriah. Jumlah petani kopi mencapai sekitar 21.500 keluarga atau sekitar 84.000 jiwa orang. Itu artinya sekitar 75 persen penduduk di Bener Meriah (111.000 jiwa tahun 2010) menggantungkan hidup pada kebun kopi. Itu baru di petani, belum termasuk pedagang, tauke, agen kopi, dan warga yang bekerja di pengolahan kopi. Pengolahan kopi arabika di Aceh tengah masih terbatas dalam bentuk kopi beras dengan orintasi utama untuk expor.

Gambar

Gambar 4 Kerangka kerja manajemen resiko rantai pasok   (Wu dan Blackhurst 2009)
Gambar 5 Sumber dan driver resiko dan kinerja (Wu dan Balckhurst 2009)
Gambar 7 Penyebaran pengeluaran dan revenue penurunan resiko secara  keseluruhan (Handfield dan Kevin M, 2008)
Tabel 1 Nilai konsekuensi risiko
+4

Referensi

Dokumen terkait

Setiap pengusaha mengharapkan agar perusahaannya dapat berkembang, maka dari itu seluruh aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dimaksudkan agar dapat terus mengendalikan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pretest maka peneliti memilih untuk menerapkan model pembelajaran berbeda dari model yang biasa digunakan. Model pembelajaran

Kontraktor Bumiputera tempatan Kelas II dan I yang telah memperolehi kerja elektrik di dalam projek Program PIA dan PIAS tidak dibenarkan melaksanakan kerja elektrik

Scale adalah problema produksi dalam sistem air, karena perubahan tekanan, suhu dan pH sehingga keseimbangan ion-ion melebihi kelarutannya dan membentuk endapan

Dari percobaan yang dilakukan sebanyak 30 kali, hasil perhitungan nilai parameter eror rate (P) masing-masing filter deteksi tepi Sobel dan Prewitt untuk citra yang mengandung

Kegiatan PPL ini dilaksanakan oleh mahasiswa kependidikan di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) untuk melaksanakan pembelajaran PPL langsung pada lingkungan sekolah.

Lingkungan kerja yang harus diperhatikan bukan hanya tentang lingkungan kerja fisik saja tetapi juga tentang lingkungan kerja non fisik yaitu hubungan antara satu karyawan

Pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh keluarga sangat penting dalam meningkatkan status kesehatan keluarganya (Kartika, S,W, 2013) Kurangnya pemanfaatan