• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - YULIATI BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - YULIATI BAB I"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karya sastra merupakan ekspresi kreatif seorang penulis yang diungkapkan melalui media bahasa yang mengandung nilai estetis (keindahan) dari hasil imajinasi penulis. Karya sastra yang dihasilkan atau diciptakan akan dipengaruhi oleh karakter atau ideologi pengarangnya. Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta gambaran terhadap gejala-gejala sosial yang ada di sekitarnya. Karya sastra merupakan pengungkapan sastrawan melalui bahasa mengenai realita kehidupan. Kehadiran sastra di tengah manusia tidak dapat ditolak. Bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realita sosial budaya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa karya sastra lahir dari latar belakang dan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan keberadaan manusia itu sendiri.

(2)

Novel merupakan jenis karya sastra yang diciptakan oleh pengarangnya dengan harapan untuk dapat dinikmati, dipahami, direnungkan dan dimanfaatkan oleh pembaca. Novel menyajikan manusia dengan segala sifat dan karakternya melalui tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Dengan kata lain manusia dalam novel adalah subjek yang dihadirkan oleh pengarangnya. Kehadiran manusia dalam novel tidak hanya sebagai pengisi lembaran-lembaran kertas, tetapi juga sebagai penentu dan pembawa makna untuk membuka wawasan berpikir manusia. Namun, banyak masyarakat menganggap bahwa novel adalah karya yang hanya mampu menghibur atau sebagai pengantar tidur belaka. Oleh karena itu penelitian novel dalam bentuk analisis sangat dibutuhkan untuk dapat memberi gambaran sekaligus konsumsi dan solusi bagi para pembaca agar dapat mengetahui maksud yang terkandung di dalam novel tersebut.

Pengarang dalam mengungkapkan masalah-masalah sosial biasanya disembunyikan melalui alur cerita yang dibuat. Adakalanya tulisan pengarang itu dimaksudkan untuk mengkritik kinerja pemerintah. Pengarang juga bermaksud mengkritik kondisi sosial kemasyarakatan yang ada. Suatu kritik sosial yang ditulis oleh sastrawan bertujuan untuk mengungkapkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Selain itu, pengarang juga mengharapkan agar persoalan-persoalan tersebut dapat diselesaikan.

(3)

pengarang menceritakan Jakarta sebagai kota yang penuh perjuangan dan kejahatan. Namun pada akhirnya perjuangan dan kejahatan di Jakarta tidak pernah berakhir.

Arimbi hanya seorang gadis desa. Ayah dan ibunya seorang petani sederhana yang tinggal di Ponorogo. Karena orang tuanya tidak mau nasib Arimbi sama dengan mereka akhirnya Arimbi dikuliahkan di Solo. Kemudian Arimbi meneruskan perjuangan hidupnya di Jakarta. Di kota yang dijadikan Ibu Kota inilah Arimbi mengenal kehidupan yang sesungguhnya. Di Jakarta Arimbi mulai mengenal banyak warna kehidupan. Kehidupan akan percintaan, kehidupan dengan berbagai karakter manusia, kehidupan akan perjuangan, kehidupan dalam memenuhi kebutuhan, kehidupan yang tidak semanis dalam bayangan sebelumnya.

Di kota Jakarta inilah Arimbi mulai mengenal dan bermain dengan istilah 86. Ungkapan 86 awalnya digunakan di kepolisian yang artinya sudah dibereskan, tahu sama tahu. Tapi kemudian digunakan sebagai tanda penyelesaian berbagai hal dengan menggunakan uang. Arimbi yang awalnya hanya gadis lugu akhirnya mulai berkembang mengenal kesepakatan-kesepakatan berbahaya. Arimbi akhirnya juga mengenal bentuk-bentuk kejahatan yang tersembunyi dengan rapih dan manis. Arimbi mulai dapat mencari cara menghasilkan uang selain dari gajinya. Dan kalimat 86 yang sebelumnya tidak dipahami semakin sering didengar dan dipahami.

(4)

melanggar hukum. Kutipan berikut mengungkapkan salah satu fenomena dari kritik sosial terhadap pemerintah.

”Dua jam lebih empat laki-laki itu bergantian membaca kertas yang mereka bawa. Orang-orang sudah tak bisa lagi menahan kebosanan. Pengunjung saling mengobrol. Ruang sidang menjadi penuh dengungan. Tak ada teguran. Tiga hakim itu sudah tertidur dengan caranya sendiri-sendiri. Hakim Dewabrata meletakkan dua tangan di meja, lalu menundukkan muka ke bawah. Matanya terpejam, dan dia tidur pulas. Di sebelah kirinya, Hakim Harsono menyandarkan badan ke sandaran kursi yang tinggi. Tangan kanannya menutup muka. Dia juga tidur. Di sisi kanan, Hakim Siswono menopang kepalanya dengan tangan kiri yang bertumpu pada sandaran kursi. Tangan kanannya memegang pulpen dengan posisi menulis. Dari hidungnya keluar suara dengkuran yang tipis. Suara orang mengobrol dari dalam dan dari luar ruangan kini menjadi kegaduhan. Suara yang tadinya hanya berupa dengungan kini lebih merupakan tumpukan suara, keras tapi tak terdengar jelas.”(86:34)

Dari kutipan di atas, Okky Madasari bermaksud untuk menyampaikan fenomena kritik sosial terhadap pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat dari proses persidangan yang digambarkan dalam novel 86 karya Okky Madasari tidak berjalan dengan baik. Tiga hakim pimpinan sidang malah tertidur tanpa mempedulikan jalannya persidangan. Hingga pada akhirnya peserta sidang tidak memperhatikan dan mengikuti persidangan dengan serius. Hal seperti ini dapat dipastikan putusan akhir atau hasil persidangan tidak akan maksimal. Hal inilah yang disampaikan oleh Okky Madasari lewat novel 86 ini. Melihat fenomena yang ada, peneliti berasumsi bahwa dalam novel 86 terdapat fenomena kritik sosial terhadap pemerintah.

Tidak hanya fenomena kritik sosial terhadap pemerintah yang hendak disampaikan oleh Okky Madasari dalam novel 86, tetapi terdapat juga fenomena yang mengungkapkan kritik sosial terhadap kekuasaan, seperti kutipan di bawah ini.

(5)

Kalaupun ada pemeriksaan, paling hanya berakhir dengan senyuman dan tak pernah ada penyitaan (86:204).

Dari kutipan di atas, diungkapkan tentang bisnis sabu-sabu yang dikendalikan oleh Cik Aling dan anak buahnya dari dalam penjara. Kekuasaan yang dimiliki oleh Cik Aling menjadikannya merasa aman dalam menjalankan bisnis sabu-sabu dari dalam sel. Dengan kekuasaannya, Cik Aling mampu mengendalikan petugas-petugas dengan membayar pada mereka setiap bulan demi mengamankan bisnisnya. Jika ada pemeriksaan, ia tetap merasa aman karena dengan uangnya ia bisa menutup mulut para petugas. Seharusnya penjara menjadi tempat untuk menghukum orang-orang yang telah melakukan kejahatan. Akan tetapi pada kenyataannya, ada saja orang yang melakukan kejahatan dari dalam penjara. Melihat fenomena di atas, peneliti berasumsi bahwa terdapat kritik sosial terhadap kekuasaan di dalam novel 86 karya Okky Madasari.

Fenomena kritik sosial terhadap ekonomi juga didapatkan dari novel 86 ini. Berikut ini adalah fenomena kritik sosial terhadap ekonomi.

Kata Tutik, di bangunan tingkat itu ada lima ruangan yang digunakan tahanan. Dua di bawah dan tiga di atas. Bu Danti tinggal di ruangan atas, bertempat tidur besar dan empuk, dengan TV berwarna berukuran besar. Di ruangan itu ada dapur. Setiap hari Tutik tak henti-henti menceritakan canggihnya semua alat masak yang ada di situ. Tidak hanya kompor gas tapi juga oven listrik yang kata Tutik bisa menggoreng kerupuk sendiri tanpa minyak. Kulkasnya dua pintu dan selalu penuh dengan berbagai makanan. Katanya ruangan itu selalu dingin, karena AC yang ada di atas pintu itu selalu menyala. Dan yang membuat Tutik terkagum-kagum adalah kamar mandinya yang kecil tapi bagus dan serba otomatis (86: 179).

(6)

fasilitas yang dapat dipesan sesuai kebutuhan. Seharusnya, narapidana diperlakukan sama oleh para petugas, bagaimanapun kondisi ekonomi mereka. Dari fenomena di atas, peneliti beranggapan bahwa ada kritik sosial terhadap ekonomi yang terkandung dalam novel 86 karya Okky Madasari.

Selanjutnya, fenomena lain juga terdapat dalam novel 86 karya Okky Madasari. Fenomena tersebut yaitu fenomena kritik sosial terhadap Hak Asasi Manusia. Berikut ini adalah fenomena kritik sosial terhadap Hak Asasi Manusia.

“Saya sudah siap seratus juta, Mbak. Bisa diambil kapan saja. Yang paling penting anak saya bisa jadi pegawai di kantor pengadilan.” (86: 63)

Kutipan di atas menceritakan tentang usaha untuk mendapatkan pekerjaan dengan cara memberikan uang suap. Proses mencari kerja seperti pada kutipan di atas merupakan salah satu fenomena pelanggaran Hak Asasi Manusia. Orang-orang dengan tingkat ekonomi yang lebih baik akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan asal sudah menyiapkan uang sogokan untuk memuluskan jalan. Prosedur yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka. Seharusnya, semua orang harus melalui proses yang sama dalam mencari pekerjaan. Dalam prosesnya, tidak perlu ada uang suap agar lebih mudah diterima. Dari fenomena di atas, peneliti berasumsi ada kritik sosial terhadap ekonomi yang terkandung dalam novel 86 karya Okky Madasari.

Dari beberapa fenomena tentang kritik sosial yang dipaparkan membuat peneliti memiliki asumsi bahwa terdapat kritik sosial dalam novel 86 karya Okky Madasari. Maka dari itu peneliti memilih penelitian tentang kritik sosial dalam novel 86 sebagai bahan ajar sastra di SMA.

(7)

yaitu: (1) kritik sosial dalam novel 86 dapat dijadikan sebagai alat untuk mengkritisi keadaan yang terjadi dalam proses penegakan hukum yang ada di Indonesia. Dalam novel ini, Okky Madasari banyak menyampaikan kritikannya tentang penyelenggaraan hukum di Indonesia yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, (2) novel 86 ditulis oleh Okky Madasari dengan menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami. Okky Madasari juga tidak melupakan nilai estetis dengan tetap memperhatikan diksi dalam setiap susunan kalimatnya tanpa melupakan narasi yang runtut dan mudah diikuti, dan (3) kesesuaian antara tema yang diangkat dengan siswa SMA. Hal ini dikarenakan siswa SMA akan lebih mudah untuk memahami hal-hal yang bersifat kekinian.

Selanjutnya peneliti berusaha untuk memaparkan kemungkinan kritik sosial yang terdapat dalam novel 86 ini sebagai bahan ajar sastra di SMA. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa novel 86 memiliki kesesuaian untuk memperkenalkan siswa SMA kepada karya sastra secara nyata. Hal ini dianggap perlu karena perkembangan siswa SMA berada pada masa dimana siswa sedang merasa ingin tahu akan ilmu pengetahuan termasuk pengetahuan tentang sastra. Selain itu, kurikulum yang sekarang diterapkan di Indonesia mengharuskan siswa-siswa SMA untuk mempelajari sastra dan hal-hal di sekitarnya. Novel 86 karya Okky Madasari sangat cocok untuk dijadikan media pengenalan sastra bagi siswa SMA.

(8)

terkait isu sosial. Selain itu, siswa SMA sudah harus mulai dikenalkan dengan karya sastra dan cara bagaimana memahami pesan yang terkandung di dalamnya. Maka dari itu, peneliti akan melakukan penelitian dengan judul ” Kritik Sosial dalam Novel 86 Karya Okky Madasari sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA “.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Apa saja kritik sosial yang terdapat dalam novel 86 Karya Okky Madasari?

2. Apakah kritik sosial dalam novel 86 Karya Okky Madasari bisa dijadikan sebagai bahan ajar sastra di SMA?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menemukan kritik sosial yang terkandung di dalam novel 86 karya Okky Madasari.

2. Memaparkan kritik sosial dalam novel 86 karya Okky Madasari dijadikan sebagai bahan ajar sastra di SMA.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis, yaitu sebagai berikut.

(9)

b. Bagi pengajar sastra, dapat memberikan kontribusi bagi pelajar sastra khususnya mengenai kritik sosial yang terdapat dalam novel.

c. Bagi penulis penelitian ini diharapkan menjadi bahan tambahan wawasan ilmu pengetahuan mengenai analisis karya sastra yang berbentuk novel.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain:

a. Bagi pengajar, penelitian ini dapat memberi sumbangsih dalam pengajaran sastra b. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat membuat peneliti menerapkan

Referensi

Dokumen terkait

3.1 Proses perumusan konsep didasari dengan latar belakang kota Surakarta yang dijadikan pusat dari pengembangan pariwisata Solo Raya karena memiliki potensi

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

Statistik deskriptif digunakan untuk mendeskriptifkan variabel-variabel dalam penelitian ini, yaitu book-tax differences sebagai variabel dependen dan variabel

Untuk mengatasi permasalahan Pembelian dan Penjualan Udang yaitu harus meningkatkan kinerja bagian pembelian dan penjualan dalam pengolahan data pembelian dan

Alhamdulilah hirobil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

 Understand the changing state of your client’s data to determine an appropriate backup

Metode Pelaksanaan yang berkaitan dengan (1) Pendidikan Masyarakat, misalnya dengan memberikan penyuluhan untuk meningkatkan pemahaman serta kesadaran, (2)