• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH pH SUBSTRAT TANAM TERHADAP KEBERHASILAN AKLIMATISASI EMBRIO SOMATIK KOPI ROBUSTA (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner) - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGARUH pH SUBSTRAT TANAM TERHADAP KEBERHASILAN AKLIMATISASI EMBRIO SOMATIK KOPI ROBUSTA (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner) - repository perpustakaan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner)

Kopi merupakan salah satu tumbuhan dalam famili Rubiaceae yang banyak dibudidayakan di negara tropis. Kopi pertama kali ditemukan pada abad ke-9 oleh bangsa Ethiopia yang memanfaatkan kopi sebagai jenis makanan penambah energi “energy bar”. Jenis kopi yang banyak dibudidayakan pertama kali adalah kopi arabika (Coffea arabica L.). Kopi tersebut pertama kali dibudidayakan di Indonesia pada tahun 1696. Namun demikian, jenis kopi arabika tidak tahan terhadap penyakit karat daun (Hemileia vastatrik) sehingga budidaya kopi mengalami kemunduran. Sebagai penggantinya, petani di Indonesia mulai membudidayakan kopi jenis liberika (C. liberica Bull ex. Hiern ) pada pada tahun 1875. Akan tetapi, kopi liberika juga tidak tahan terhadap penyakit karat daun. Pada awal abad ke-19, petani di Indonesia mulai mengenal kopi robusta (C. canephora var. Robusta) dan membudidayakannya karena jeni kopi tersebut tahan terhadap penyakit karat daun. Pada saat ini, kopi robusta banyak dibudidayakan di daerah dataran rendah wilayah pulau Jawa, Sumatra, Bali dan Sulawesi (van Steenis et al., 2008).

2.1.1 Morfologi Kopi

(2)

Kopi merupakan tanaman perdu dengan batang berkayu yang memiliki tinggi antara 2 - 4 meter. Batang kopi memiliki dua tipe percabangan yaitu cabang orthotrop dan cabang plagiotrop. Cabang orthotrop adalah cabang yang tumbuh tegak serta tidak menghasilkan bunga, sedangkan cabang plagiotrop adalah cabang yang tumbuh mendatar dan berfungsi sebagai penghasil bunga (Gambar 2.1.B; van Steenis et al., 2008).

Daun tanaman kopi bertangkai pendek sekitar 1 cm ( Gambar 2.1.C; van Steenis et al., 2008) dan berbentuk memanjang (oblongus) dengan ukuran panjang berkisar 20 – 30 cm dan lebar 10 – 16 cm, dengan ujung daun meruncing dan pangkal daun membulat atau berbentuk baji (van Steenis et al., 2008). Daun kopi bertepi rata dengan permukaan helaian daun mengkilap dan permukaan bagian atas berwarna hijau gelap serta permukaan daun bagian bawah berwarna hijau lebih terang (van der Vossen et al., 2000).

(3)

memiliki panjang yang berukuran 5 mm dan memiliki tangkai sari dengan panjang 3 – 4 mm (van Seenis et al., 2008).

Apabila bunga sudah dewasa, akan terjadi penyerbukan dengan membukanya kelopak dan mahkota yang akan berkembang menjadi buah. Penyerbukan yang terjadi pada tanaman kopi robusta merupakan jenis penyerbukan silang (Sudarka et al., 2009). Penyerbukan ini terjadi karena kedudukan tangkai putik pada kopi robusta menjulang tinggi dari posisi benang sari, sehingga kemungkinan benang sari dapat jatuh di tangkai putik sendiri sangat kecil (Sudarka et al., 2009). Selain itu, kopi robusta memiliki sifat self-incompatibility yaitu apabila terjadi penyerbukan sendiri, maka buluh sari tidak terbentuk sehingga tidak terjadi pembuahan (van der Vossen et al., 2000).

(4)

Gambar 2.1 (A) akar tunggang pada kopi, (B) batang kopi, (C) daun kopi, (D) bunga kopi, (E) buah kopi), (F) buah kopi (Hulupi & Martini, 2013).

2.1.2 Varietas Kopi

Berdasarkan varietasnya ada sekitar 80 jenis kopi di dunia, namun ada dua jenis kopi yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan diperdagangkan secara komersil yaitu kopi arabika (Coffea arabica L.) dan kopi robusta (C. canephora Pierre var robusta; van Steenis et al., 2008).

Kopi Arabika (Gambar 2.2.A) merupakan jenis kopi yang pertama kali masuk di Indonesia sekitar abad ke-17. Kopi arabika tumbuh baik pada daerah tropis maupun sub tropis pada suhu sekitar 18 - 22 oC (van Steenis et al., 2008). Pada daerah tropis (7o LU - 7o LS) kopi arabika tumbuh pada ketinggian 1000 –

A B C

(5)

2100 meter di atas permukaan laut (dpl), sedangkan pada daerah sub tropis (9o LU - 23o LU dan 9o LS - 23o LS) kopi arabika tumbuh pada ketinggian 300 – 1100 m dpl (van der Vossen et al., 2000). Pada saat ini, kopi arabika banyak dibudidayakan di Indonesia seperti Sumatra utara, Aceh, Lampung, dan beberapa propinsi di pulau Sulawesi, Jawa dan Bali (Panggabean, 2011)

Secara morfologi, buah kopi arabika berwarna hijau dan berubah menjadi merah apabila sudah masak. Buah kopi berbentuk lonjong (ovoid-ellpsoidal) memiliki diameter sekitar 8 - 15 mm dengan panjang 12 - 18 mm. (van der Vossen et al., 2000). Biji kopi arabika memiliki berat sekitar 0,45 - 0,5 gram per biji dengan kandung kafein berkisar 0,6 - 1,7 %. (van der Vossen et al., 2000). Selain itu, biji kopi arabika memiliki harga jual yang tinggi karena memiliki rasa yang manis dan memiliki aroma yang kuat (Ibrahim et al., 2013).

(6)

Secara morfologi buah kopi robusta berbentuk bulat telur bola (ovoid-globose) memiliki biji yang berukuran lebih pendek dibandingkan kopi arabika (8 - 16 mm). Selain itu, biji kopi robusta memiliki ukuran lebih ringan jika dibandingkan dengan kopi arabika sekitar 0,4 g per biji kopi dengan kandungan kafein berkisar 0,6 %. Dari segi rasa, kopi robusta memiliki rasa yang kurang digemari dibandingkan dengan kopi arabika. Kandungan kafeina kopi robusta juga lebih tinggi (1,5 - 3,3 %; van der Vossen et al., 2000) dibandingkan dengan kopi arabika.

Gambar 2.2 (A) kopi arabika, (B) kopi robusta (Sumaryono, 2013). A

(7)

2.1.3 Manfaat Kopi

Kopi merupakan tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat untuk dimanfaatkan bijinya. Hal ini dikarenakan biji kopi mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi dan memiliki banyak manfaat bagi tubuh dan kesehatan. Biji kopi banyak mengandung kafein yang dapat memberi efek stimulan pada tubuh dengan cara merangsang kerja otak sehingga menyebabkan tubuh akan terasa lebih segar (Utami, 2011). Selain kafein, di dalam biji kopi juga mengandung chlorogenic acid, yaitu suatu senyawa polyphenol yang berfungsi sebagai antioksidan kuat sehingga dapat membantu tubuh untuk memperbaiki sel-sel yang rusak (Johnston et al., 2003). Selain itu, biji kopi juga kaya akan kalsium, magnesium, tembaga, karbohidrat dan beberapa macam vitamin lainnya sehingga banyak dimanfaatkan sebagai sunblock untuk mencegah sengatan matahari dan mencegah kulit keriput (Gambar 2.3.A; Adikasari, 2012).

(8)

Gambar 2.3 (A) masker kopi, (B) arang kopi, (C) minuman dari kopi, (D) pakan ternak.

D C

B

(9)

2.2 Budidaya Kopi dan Permasalahannya

2.2.1 Produksi Kopi Dunia dan Indonesia

Kopi merupakan salah satu komoditas pertanian yang paling banyak diperdagangkan di dunia. Pada tahun 2013, produksi kopi di dunia mencapai 8,7 juta ton dari luas lahan sekitar 10 juta hektar (FAO, 2015). Negara-negara utama penghasil kopi dunia di antaranya adalah Brazil dengan rata-rata produksi mencapai 2,8 juta ton kopi per tahun (32,54 %), Vietnam dengan rata-rata produksi mencapai 1,2 juta ton per tahun (14,98 %), maupun Indonesia dengan rata-rata produksi mencapai 679 ribu ton per tahun (7,86 %) (Gambar 2.4; FAO, 2015).

Total produksi kopi di Indonesia yang tinggi tersebut sangat berkaitan erat dengan luas lahan perkebunan kopi yang mencapai sekitar 1,3 juta Ha. Hal ini, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan luas perkebunan kopi kedua setelah negara Brazil dengan luas perkebunan sekitar 2 juta Ha (FAO, 2015). Oleh karena itu, kopi merupakan salah satu komoditas utama yang banyak dibudidayakan di Indonesia setelah kelapa sawit 6,1 juta Ha dan karet 5,2 juta Ha (FAO, 2015)

(10)

milyard US$ pada tahun tersebut, sehingga menempatkan kopi sebagai komoditas penyumbang devisa terbesar ketiga setelah kelapa sawit dan karet (BPS, 2014).

Gambar 2.4 Nilai rata - rata produksi kopi di dunia pada tahun 2009 - 2013 (FAO, 2015).

2.2.2 Permasalahan Budidaya Kopi di Indonesia

Sebagai negara dengan lahan kopi terluas kedua di dunia, Indonesia hanya mampu menempati urutan ketiga terbesar di dunia sebagai negara penghasil kopi dunia. Hal tersebut terjadi karena produktivitas perkebunan kopi di Indonesia tergolong rendah. Pada tahun 2013, total produksi biji kopi yang mampu dihasilkan oleh setiap hektar lahan per tahunnya hanya berkisar 500 kg biji. Angka tersebut masih jauh di bawah negara - negara penghasil kopi utama lainnya seperti Malaysia, Vietnam, Siera Leone, ataupun China yang mampu menghasilkan biji kopi sekitar 2,4 ton biji kopi untuk setiap hektar lahan setiap tahunnya. Hal tersebut menempatkan Indonesia di urutan ke-38 dari 78 negara penghasil kopi di dunia (Gambar 2.5; FAO, 2015).

(11)

Gambar 2.5 Produktivitas perkebunan kopi Indonesia dibandingkan dengan empat negara dengan produktivitas kopi tertinggi di dunia (FAO, 2015).

(12)

2.2.3 Pembibitan Kopi di Indonesia

(13)

Gambar 2.6 Pembibitan tanaman kopi secara generatif (Hulupi dan martini, 2013).

(14)

Selain itu, teknik ini juga dapat merusak tanaman induknya, maupun bibit yang dihasilkan akan memiliki akar serabut sehingga mudah roboh (Prastowo et al., 2010).

Pembibitan kopi secara vegetatif yang mampu menghasilkan tanaman dengan akar tunggang adalah dengan menggunakan teknik okulasi (Gambar 2.7.B). Teknik ini dilakukan dengan cara menempelkan mata tunas yang diambil dari pohon kopi unggul pada batang bawah yang diperoleh dari pembibitan melalui biji. Kemudian, bibit hsil okulasi dipelihara lebih lanjut sekitar sekitar 15 bulan sebelum bibit siap ditanam di lahan (Prastowo et al., 2010). Namun demikian, teknik tersebut masih memiliki keberhasilan yang relatif rendah , yaitu sekitar 11 % (Prastowo et al., 2010; Basri, 2009). Di samping itu, teknik tersebut masih menyebabkan kerusakan pada tanaman induknya.

(15)
(16)

induksi kalus embriogenik dilakukan dengan cara menanam eksplan pada medium tanam yang mengandung auksin dengan konsentrasi tinggi atau dengan menggunakan auksin serta sitokinin secara bersamaan (Gambar 2.8.A Ibrahim et al., 2013). Tahap induksi kalus pada umunya dilakukan selama 4 minggu (Sumaryono, 2014 ) dengan tingkat keberhasilan yang masih tinggi sekitar 100 % (Murni, 2010).

Tahap selanjutnya yaitu tahap induksi embrio. Tahap induksi embrio dilakukan dengan cara kalus embriogenik ditanam pada medium induksi yang mengandung auksin dengan konsentrasi rendah yang dikombinasikan dengan sitokinin dengan konsentrasi tinggi sehingga terinduksi pembentukan embrio somatik (Purnamaningsih, 2002). Perkembangan embrio somatik dapat melalui beberapa tahap, yaitu embrio globular (Gambar 2.8.C), embrio tahap hati

(17)

keberhasilan masih cukup tinggi sekitar 90 % (Arimarsetiowati & Ardiyani, 2012).

Tahapan terakhir dari pembibitan kopi melalui embriogenesis somatik adalah aklimatisasi (Gambar 2.8. J-K). Aklimatisasi merupakan tahapan yang menentukan berhasil tidaknya teknik embriogenesis somatik yang digunakan dalam produksi bibit suatu tumbuhan (Purnamaningsih, 2002). Teknik ini perlu dilakukan secara hati - hati karena pemindahan bibit dilakukan dari kondisi antara in vitro ke kondisi ex vitro dengan penurunan kelembaban dan peningkatan intensitas cahaya (Purnamaningsih, 2002; Sandra, 2012). Pada tahap ini, waktu sekitar 3 bulan (Yenitasari, 2015) dengan tingkat keberhasilannya sekitar 78 % dengan (Priyono dan Zaenudin, 2002).

(18)

Namun demikian, tahapan produksi bibit kopi melalui teknik embriogenesis somatik masih memiliki banyak kendala seperti lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memelihara kultur dalam kondisi in vitro. Sampai saat ini, produksi bibit kopi melalui teknik embriogenesis somatik memerlukan waktu sekitar 12 bulan untuk kondisi in vitro yang terdiri atas pada induksi kalus selama 1 bulan (Sumaryono, 2014), induksi embrio somatik selama 8 bulan (Ibrahim et al., 2013), dan perkecambahan selama 3 bulan (Murni, 2010). Disamping itu bibit yang dihasilkan masih membutuhkan tahapan aklimatisasi selama 3 bulan sebelum siap dibesarkan di screen house (Santoso et al, 2014). Dengan panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk kondisi in vitro tersebut mengakibatkan resiko kegagalan produksi cukup tinggi sebagai akibat adanya kontaminasi bakteri dan jamur, tingginya medium yang digunakan, konsumsi listrik maupun tenaga kerja yang banyak (Ahloowalia & Savangikar, 2002). Oleh karena itu perlu inovasi teknik embriogenesis somatik untuk mempersingkat lamanya waktu oleh embrio kopi dalam kondisi in vitro.

2.4 Aklimatisasi Embrio Somatik Secara Langsung (Direct Sowing)

(19)

produksi bibit kopi adalah mempersingkat waktu kultur sehingga mampu menghemat tenaga, biaya serta memperkecil resiko kontaminasi (Priyono & Zaenudin, 2012).

Beberapa tanaman telah berhasil diperbanyak dengan mengaplikaasikan teknik tersebut seperti tanaman Medicago sativa L (Fujii et al., 1989), Magnolia pyramidata (Merkle et al., 1994) dan Theobroma cacao L. (Niemenak et al., 2008). Pada tanaman M. sativa embrio somatik berhasil dikecambahkan sekaligus diaklimatisasikan dengan menggunakan teknik direct sowing. Tingkat keberhasilan teknik direct sowing pada embrio somatik tanaman tersebut mencapai 60 % dan mampu mempersingkat waktu kultur in vitro sekitar 6 minggu (Fuji et al., 1989). Hal yang sama juga dilaporkan pada tanaman M. pyramidata dengan tingkat keberhasilan mencapai sekitar 40 % dan mampu mempersingkat waktu kultur in vitro sekitar 5 minggu (Merkle et al., 1994).

Pada T.cacao L, teknik direct sowing juga berhasil digunakan untuk mempersingkat waktu kultur in vitro sekitar 8 minggu, namun demikian teknik tersebut hanya memiliki tingkat keberhasilan rendah 10 % (Niemenak et al., 2008)

(20)

mempersingkat lama kultur 13 % lebih cepat dibandingkan dengan teknik embriogenesis somatik secara konvesional (Etienne-Barry et al., 1999).

Pada tanaman kopi robusta, teknik direct sowing juga telah dicobakan, namun dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah, yaitu sekitar 50 % (Yenitasari, 2015). Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya keberhasilan teknik embrio somatik selama proses aklimatiasai adalah derajat keasaman (pH) substrat tanam

2.5 Derajat Keasaman Substrat Tanam

2.5.1 Pengertian dan Fungsi Derajat Keasaman pada Tumbuhan

Derajat Keasaman (pH) merupakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki suatu larutan. Tingkat keasaman ditunjukan sebagai konsentrasi ion H+ pada suatu larutan berpelarut air. Nilai pH berjarak antara 0 (sangat asam) sampai 14 (sangat basa) dan titik netralnya pada pH 7 (Fitriani, 2001). Bila nilai pH suatu larutan bernilai kurang dari 7 maka larutan disebut bersifat asam dan apabila nilai pH lebih besar dari 7 maka larutan tersebut basa.

Derajat keasaman (pH) memiliki peranan penting pada proses pertumbuhan suatu tanaman. Hal tersebut dikarenakan pH berperan penting dalam keberadaan mikroorganisme tanah, ketersediaan nutrisi makro dan mikro maupun daya serap tanaman terhadap nutrisi (Widiastoety et al., 2005 & Salisbury & Ross, 1992).

(21)

namun setiap organisme membutuhkan nilai pH tertentu. Jamur dapat tumbuh secara optimum pada pH sekitar 4 – 6 (Budiman et al., 2009), sedangkan bakteri membutuhkan pH sekitar 6 – 8 (Khaerunnisa & Rahmawati, 2013), dan algae membutuhkan pH berkisar 7 – 9 (Isnadina & Hermana, 2013).

(22)

Gambar 2.9. Keberadaan unsur nutrisi tumbuhan sangat dipengaruhi oleh pH substrat tanam (Taiz & Zeiger, 2002, p.77).

Daya serap tumbuhan terhadap nutrisi yang tersedia pada substrat tanaman juga dipengaruhi oleh pH substrat tersebut. Nilai pH yang tepat agar daya serap tumbuhan terhadap nutrisi optimum sangat tergantung kepada jenis tumbuhan maupun jenis nutrisi yang akan diserap. Pada anggrek, pH optimum untuk penyerapan nutrisi terjadi pada kisaran pH 5,0 – 5,5 (Widiastoety et al., 2005), sedangkan pada kedelai, pH optimum untuk penyerapan nutrisi adalah berkisar 6 - 6,8 (Sofia, 2007).

(23)

sedangkan pada pH di atas 7 ion fosfat berada dalam bentuk anion valensi dua (HPO42-, Gambar 2.9 ; Salisbury & Ross, 1992). Hal yang sama juga terjadi pada penyerapan nitrogen dalam bentuk anion (NO3-) paling optimum pada pH asam, sedangkan penyerapan nitrogen dalam bentuk kation (NH4+) paling optimum pada pH basa (George & de Klerk, 2008). Hal sebaliknya terjadi pada penyerapan ion Cl- yang optimum pada pH di atas 7 (Schubert et al., 1990).

Gambar 2.10 Grafik penyerapan fosfat terhadap nutrisi pada substrat tanam yang berpengaruh terhadap derajat keasaman (pH).

2.5.2 Fungsi Derajat Keasaman (pH) Substrat Tanam dalam Aklimatisasi Bibit Hasil Kultur Jaringan

(24)

pH 6,6 (45%). pH 5,8 juga dilaporkan menjadi nilai pH paling optimum untuk regenerasi dan aklimatisasi Polyscias balfauriana dibandingkan dengan pH 5,0 ataupun 6,6 (Ilyas et al., 2013). Hal yang sedikit berbeda dilaporkan pada tanaman Hygrophila polysperma (Roxb.) T. Anderson yang menunjukkan bahwa perlakuan pH yang bervariasi dari 4,0 sampai 10,0 tidak berpengaruh secara nyata terhadap keberhasilan aklimatisasi karena seluruh plantlet berhasil diaklimatisasikan. Namun demikian, pH berpengaruh secara nyata tinggi tanaman dan jumlah internodus sesudah aklimatisasi dengan pH optimum sebesar 7,0 (Karatas et al., 2013).

Gambar

Gambar 2.1  (A) akar tunggang pada kopi, (B) batang kopi,  (C) daun kopi, (D)
Gambar 2.2 (A) kopi arabika, (B) kopi robusta (Sumaryono,  2013).
Gambar 2.3  (A) masker kopi, (B) arang kopi,  (C) minuman dari kopi, (D) pakan
Gambar 2.4 Nilai rata - rata produksi kopi di dunia pada tahun  2009 - 2013
+6

Referensi

Dokumen terkait

somatik tidak terjadi serempak pada satu inokulum. Rekapitulasi analisis ragam pada Tabel 7 menunjukkan bahwa media induksi embrio tidak memberikan pengaruh nyata terhadap

Kalus yang ditanam pada medium dengan penambahan 5x10 -5 M kinetin berhasil terinduksi membentuk embryo somatik fase globular dengan persentase keberhasilan

dalam kondisi in vitro adalah dengan melakukan aklimatisasi embrio somatik yang terbentuk secara langsung ke dalam kondisi ex vitro atau biasa disebut dengan

Namun tingkat keberhasilan teknik tersebut masih relatif rendah.Salah satu kendala yang dihadapi adalah belum ditemukannya fase perkembangan embrio yang tepat untuk

Sedangkan pada tahap paling akhir dari teknik embriogenesis somatik kopi yaitu aklimatisasi juga menunjukan keberhasilan yang tinggi 90 %. (Priyono et al

Embriogenesis somatik pada kultur in vitro daun kopi robusta (Coffea canephora var.. Regenertion of somatic embryos in Theobroma

Somatic embryogenesis integumen ( perisperm ) cultures of coffea. Plant Cell Report.. Embriogenesis somatik langsung tanaman cendana. Jurnal Bioteknologi

somatik tidak terjadi serempak pada satu inokulum. Rekapitulasi analisis ragam pada Tabel 7 menunjukkan bahwa media induksi embrio tidak memberikan pengaruh nyata terhadap