• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL BERBASIS KONTEKSTUAL DI SEKOLAH DASAR 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL BERBASIS KONTEKSTUAL DI SEKOLAH DASAR 1"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

131

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN

MODEL BERBASIS KONTEKSTUAL DI SEKOLAH DASAR

1

Badarudin2 PGSD FKIP

Universitas Muhammadiyah Purwokerto Abstrak

Matematika merupakan mata pelajaran pokok yang diajarkan di jenjang Sekolah Dasar. Pembelajaran matematika akan bermakna apabila pembelajaran yang dirancang dapat membuat siswa merasa senang untuk belajar, memfasilitasi untuk terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran, dan membiasakan untuk menerapkan konsep-konsep dasar matematika dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan siswa secara nyata, sehingga siswa mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari yaitu pembelajaran berbasis kontekstual.

Kata Kunci: Pembelajaran matematika, Model Berbasis Kontekstual

1 Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional Menjadi Guru Inspirator “Kenali dan Kembangkan Kemampuan Intelegensi Emas untuk Indonesia Emas” di Prodi PGSD FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto Tanggal 30 April 2016.

(2)

132

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika deskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.

Matematika sebagai suatu mata pelajaran yang diajarkan pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan merupakan mata pelajaran pokok. Pelaksanaan pembelajaran matematika memungkinkan guru harus menguasai berbagai konsep yang akan dipelajari, mulai dari hal-hal yang sifatnya sederhana sampai hal yang sifatnya lebih kompleks. Selain itu guru harus memperhatikan berbagai karakteristik siswa. Hal ini disebabkan karena karakteristik yang dimiliki oleh siswa yang satu dengan yang lain berbeda. Motivasi belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Apabila siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi, maka hasil belajar siswapun dapat ditingkatkan.

Hasil pembelajaran matematika dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal, maupun eksternal. Salah satu faktor eksternalnya adalah metode yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Banyak metode yang dapat digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa secara efektif dan efisien. Melihat kenyataan di lapangan dan dari hasil pengamatan selama proses pembelajaran matematika di kelas IV suatu SD di Kecamatan Arcamanik Kota Bandung, ditemukan bahwa pada umumnya saat pembelajaran matematika berlangsung, khususnya pada materi sifat-sifat dan jaring-jaring bangun ruang, sitauasi aktivitas pembelajaran di kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi pembelajaran. Sehingga siswa kurang termotivasi dalam mengikuti pembelajaran matematika. Selain itu aktivitas siswa pun kurang terlihat yang berdampak pada penurunan hasil pembelajaran matematika.

Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan perubahan paradigma dalam hal pembelajaran matematika di SD. Salah satu perubahan paradigma pembelajaran tersebut adalah orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru (teacher centered) beralih berpusat pada aktivitas siswa (student active centred), metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipatori, dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan. Satu inovasi yang menarik mengiringi perubahan paradigma tersebut adalah ditemukan dan diterapkannya strategi pembelajaran yang

(3)

133

mampu mengembangkan dan menggali pengetahuan peserta didik secara konkret dan mandiri. Inovasi ini bermula dan diadopsi dari metode kerja para ilmuwan dalam menentukan suatu pengetahuan baru.

Persoalan sekarang adalah bagaimana menemukan cara yang terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan sehingga siswa dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut. Bagaimana guru dapat berkomunikasi baik dengan siswanya. Bagaimana guru dapat membuka wawasan berfikir yang beragam dari seluruh siswa, sehingga dapat mempelajari berbagai konsep dan cara mengaitkannya dalam kehidupan nyata. Untuk membantu siswa memahami konsep-konsep dan memudahkan guru dalam mengajarkan konsep tersebut diperlukan suatu inovasi pembelajaran yang langsung mengaitkan materi konteks pelajaran dengan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari. Inovasi pembelajaran tersebut adalah penerapan pembelajaran kontekstual pada mata pelajaran matematika SD.

PEMBAHASAN

A. Pembelajaran Matematika di SD

Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar, merupakan mata pelajaran yang tidak dapat dipisahkan dari mata pelajaran lainnya sesuai dengan pendapat Kline (Suwangsih, 2006, hlm. 4) bahwa Matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam. Selain dari itu dalam mewujudkan sumber daya manusia yang memiliki keterampian intelektual tingkat tinggi, melibatkan kemampuan

penalaran logis, sistematis, kritis, cermat, dan kreatif dalam

mengkomunikasikan gagasan atau dalam memecahkan masalah. Kemampuan tersebut dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika. Hal ini merupakan ciri bahwa pentingnya pembelajaran matematika di berikan di sekolah pada jenjang pendidikan dasar.

Tujuan pembelajaran matematika menurut kurikulum yang berlaku sekarang yaitu KTSP adalah mengembangkan kemahiran atau kecakapan matematika yang diharapkan dicapai seperti berikut:

1. Menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari,

menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah

2. Memiliki kemampuan mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik atau diagram untuk memperjelas keadaan atau masalah

3. Menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika

(4)

134

4. Menunjukkan kemampuan strategik dalam membuat (merumuskan),

menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu

memiliki:

a. Rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari

matematika

b. Sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah

(DEPDIKNAS: 2006)

Berdasarkan tujuan di atas, pembelajaran matematika yang diberikan di SD tidak cukup dengan menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum. Tetapi dibarengi juga dengan pembelajaran matematika yang dapat membuat siswa merasa senang untuk belajar, memfasilitasi siswa untuk terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran, dan membiasakan siswa untuk menerapkan konsep-konsep dasar matematika dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

B. Pembelajaran Berbasis Kontekstual

Pembelajaran kontekstual lahir dari permasalahan pendidikan di Amerika Serikat yang medesak para pendidik menggantikan metode yang sudah biasa mereka terapkan dengan tujuan dan strategi yang baru, dari pendidikan tradisional yang bertolak pada penguasaan akademik dan manipulasi isi yaitu siswa menghafalkan fakta, angka, nama, tanggal, dan kejadian; mempelajari mata pelajaran secara terpisah satu sama lain; dan berlatih dengan cara yang sama untuk memperoleh kemampuan dasar menulis dan berhitung, menjadi siswa menemukan makna dengan aktif memilih, menyusun, mengatur, menyentuh, merencanakan, menyelidiki, mempertanyakan, dan membuat keputusan, serta mengaitkan isi dengan konteks adalam situasi kehidupan (Johnson, 2009, hlm. 32-35).

Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) atau CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan siswa secara nyata, sehingga siswa mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari (Mulyasa, 2006, hlm.102). Menurut Sanjaya (2006, hlm. 109) mengemukakan bahwa CTL adalah suatu konsep pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata. Johnson (2009, hlm. 67) merumuskan CTL adalah suatu proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna/arti di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadi, sosial, dan budayanya.

(5)

135

Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran kontekstual memungkinkan proses belajar mengajar yang bermakna dan menyenangkan, karena pembelajarannya dilakukan secara alamiah, sehingga memungkinkan siswa dapat bekerja dan mengalami secara langsung materi yang dipelajarinya, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.

Komponen pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut:

1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful conections),

adalah membuat hubungan antara subyek dengan pengalaman yang bermakna dan makna ini akan memberi alasan apa yang dipelajari. Menghubungkan antara pembelajaran dengan kehidupan nyata siswa sehingga hasilnya akan bermakna (berarti). Ini akan membuat siswa merasakan bahwa belajar penting untuk masa depannya (Johnson, 2009, hlm. 147-148).

2. Melakukan pekerjaan atau kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work), adalah dapat melakukan pekerjaan atau tugas yang sesuai. Pekerjaan yang memiliki suatu tujuan, memiliki kepedulian terhadap orang lain, ikut serta dalam menentukan pilihan, dan menghasilkan produk.

3. Belajar yang diatur sendiri (self regulated learning), adalah membangun minat individual siswa untuk bekerja sendiri ataupun kelompok dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna dengan mengaitkan antara materi ajar dan konteks kehidupan sehari-hari (Johnson, 2009, hlm. 149). 4. Bekerja sama (collaborating), adalah proses pembelajaran yang melibatkan

siswa dalam kelompok, membantu siswa untuk mengerti bagaimana berkomunikasi atau berinteraksi dengan yang lain dan dampak apa yang ditimbulkannya.

5. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berpikir kritis dan kreatifnya dalam pengumpulan, analisis dan sintesis data, memahami suatu isu atau fakta dan pemecahan masalah (Johnson, 2009, hlm. 182-183).

6. Memelihara atau membina pribadi (nurturing the individual), adalah menjaga atau mempertahankan kemajuan individu. Hal ini menyangkut pembelajaran yang dapat memotivasi, mendukung, menyemangati, dan memunculkan gairah belajar siswa. Guru harus memberi stimuli yang baik terhadap motivasi belajar siswa dalam lingkungan sekolah. Guru diharap mampu memberi pengaruh baik terhadap lingkungan belajar siswa. Antara guru dan orang tua mempunyai peran yang sama dalam mempengaruhi kemampuan siswa. Pencapaian perkembangan siswa tergantung pada lingkungan sekolah juga pada kepedulian perhatian

(6)

136

yang diterima siswa terhadap pembelajaran (termasuk orang tua). Hubungan ini penting dan memberi makna pada pengalaman siswa nantinya didalam kelompok dan dunia kerja (Johnson, 2009, hlm. 235-236).

7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards), adalah

menyiapkan anak agar dapat hidup mandiri, produktif, bertanggung jawab, cepat merespon atau mengikuti perkembangan teknologi dan jaman. Dengan demikian dibutuhkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan sebagai wujud jaminan untuk menjadi orang yang bertanggung jawab, pengambil keputusan yang bijaksana dan karyawan yang memuaskan (Johnson, 2009, hlm. 260-261).

8. Penilaian yang sesungguhnya (authentic assesment), ditujukan pada motivasi siswa untuk menjadi unggul di era teknologi, penilaian sesungguhnya ini berpusat pada tujuan, melibatkan keterampilan tangan, penerapan, dan kerja sama serta pemikiran tingkat tinggi yang berulang-ulang. Penilaian itu bertujuan agar para siswa dapat menunjukkan penguasaan dan keahlian yang sesungguhnya dan kedalaman berpikir dari pengertian, pemahaman, akal budi, kebijaksanaan dan kesepakatan (Johnson, 2009, hlm. 288).

Sesuai dengan karakteristiknya, pembelajaran kontekstual memiliki tujuh komponen utama pembelajaran, yaitu konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik. Pembelajara kontekstual memiliki komponen utama yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran, yaitu:

1. Konstruktivisme(Constructivism)

Komponen ini merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan

tidak sekonyong-konyong (Nurhadi: 2003: 34). Pembelajaran

konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna.

Dalam pandangan konstruktivis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan:

a. Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa,

b. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri,

c. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. (Trianto, 2008, hlm. 29).

(7)

137

Menurut Nurhadi (2003, hlm. 43), inkuiri adalah suatu ide yang kompleks, yang berati banyak hal bagi banyak orang. Inkuiri menurut Sanjaya (2006, hlm. 119) mempunyai artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Komponen ini merupakan kegiatan inti CTL. Diawali dari pengamatan terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Dengan demikian pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh tidak dari hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya.

Langkah-langkah kegiatan inquiry, Nurhadi (2003, hlm. 43):

merumuskan masalah; mengumpulkan data melalui observasi;

menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain; mengkomunikasikan dan menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, audiens yang lain.

3. Bertanya (Questioning)

Menurut Nurhadi (2003, hlm. 45), pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Guru menggunakan pertanyaan-pertanyaan untuk menuntun siswa berpikir dan untuk membuat penilaian secara kontinyu terhadap pemahaman siswa. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Siswa belajar mengajukan pertanyaan tentang gejala-gejala yang ada, belajar bagaimana merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang dapat diuji, belajar saling bertanya tentang bukti, interprestasi, dan penjelasan-penjelasan yang ada. Pertanyaan dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan, berbagai macam bentuk, dan berbagai macam jawaban yang ditimbulkannya.

Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:

a. Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis, b. Mengecek pemahaman siswa,

c. Membangkitkan respon kepada siswa,

d. Mengetahui sejauhmana keingintahuan siswa, e. Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa,

f. Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru, g. Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa,

h. Menyegarkan kembali pengetahuan siswa (Trianto, 2008, hlm. 31)

4. Masyarakat Belajar ( Learning Community)

Komponen ini menyarankan bahwa prestasi belajar sebaiknya diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Prestasi belajar bisa diperoleh dengan sharing antar teman, kelompok, dan antara yang tahu kepada yang tidak tahu, baik di dalam maupun di luar kelas. Komponen ini terjadi

(8)

138

apabila ada proses komunkasi dua arah. Karena pembelajaran yang dikemas dalam diskusi kelompok dengan anggota heterogen dan jumlah yang bervariasi sangat mendukung komponen ini. Anggota kelompok yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran dapat saling belajar. Prinsip-prinsip yang bisa diperhatikan guru ketika menerapkan pembelajaran yang berkonsentrasi pada komponen learning community adalah sebagai berikut: a. Pada dasarnya prestasi belajar diperoleh dari kerjasama atau sharing

dengan pihak lain.

b. Sharing terjadi apabila ada pihak yang saling memberi dan saling menerima informasi.

c.Sharing terjadi apabila ada komunikasi dua atau multiarah.

d. Masyarakat belajar terjadi apabila masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya sadar bahwa pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dimilikinya bermanfaat bagi yang lain.

e. Siswa yang terlibat dalam masyarakat belajar pada dasarnya bisa menjadi sumber belajar.

(Sanjaya, 2006, hlm.120)

5. Pemodelan (Modeling)

Modeling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu

sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa (Sanjaya, 2006, hlm. 121). Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoritis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme. Menurut Nurhadi (2003, hlm. 49) pemodelan pada dasarnya membahasakan

gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru

menginginkan siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru

inginkan agar siswanya melakukan.

Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Contoh itu bukan untuk ditiru persis, tapi menjadi acuan pencapaian kompetensi siswa. Dalam kontekstual, guru bukan satu-satunya model, tapi model itu dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Model juga dapat didatangkan dari luar.

6. Refleksi (Reflection)

Refleksi menurut Nurhadi (2003, hlm. 51) adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita laukan di masa yang baru saja kita terima. Releksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan terhadap apa yang baru diterima. Guru membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa baru dipelajarinya.

(9)

139

Guru perlu melaksanakan refleksi pada akhir program pembelajaran. Guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Releksi dapat berupa:

a. Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari b. Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok

c. Menelaah dan merespon terhadap kejadian, aktivitas dan pengalaman

d. Mencatat apa yang telah kita pelajari, bagaimana kita merasakan, ide-ide baru

e. Pertanyaan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, f. Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu,

7. Penilaian Nyata (Authentic Assesment)

Menurut Nurhadi (2003, hlm. 52) pada hakikatnya, penilaian yang benar adalah menilai apa yang seharusnya dinilai. Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa (Sanjaya, 2006, hlm. 122). Prinsip yang dipakai dalam penilaian serta ciri-ciri penilaian autentik adalah:

a. Harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja, dan

produk.

b. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.

c. Menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber.

d. Tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian.

e. Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan

bagian-bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari, mereka harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari.

f.Penilaian harus menekankan kedalam pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keluasanya (kuantitas). (Nurhadi, 2003, hlm. 52)

C. Implementasi Pembelajaran Kontekstual

Sesuai dengan faktor kebutuhan individual siswa, maka untuk dapat mengimplementasikan pembelajaran dan pengajaran kontekstual guru seharusnya dalam pembelajarannya mengaitkan antara materi yang akan diajarkannya dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan cara sebagai berikut:

1. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan perkembangan mental siswa

(developmentally appropriate).

2. Membentuk group belajar yang saling tergantung (interdependent learning groups).

(10)

140

4. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri ( self-regulated learning) dengan 3 karakteristik umumnya (kesadaran berpikir, penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan).

5. Memperhatikan multi-intelegensi (multiple intelli-gences) siswa.

Selain lima cara di atas, guru juga mengimplementasikan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual yakni sebagai berikut:

1. Mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna

jika ia diberi kesempatan untuk bekerja, menemukan, dan

mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru

(constructivism).

2. Membentuk group belajar yang saling tergantung (interdependent learning groups) yaitu agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain, maka pembelajaran hendaknya selalu dilaksanakan dalam kelompok-kelompok belajar atau proses pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kelompok.

3. Memfasilitasi kegiatan penemuan (inquiry), yaitu agar siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui penemuannya sendiri (bukan hasil mengingat sejumlah fakta).

4. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui pengajuan pertanyaan

(questioning). Bertanya dipandang sebagai kegiatan guru untuk

mendorong, membimbing, dan memahami kemampuan berpikir siswa, sedangkan bagi siswa kegiatan bertanya untuk menggali informasi mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui dan menunjukkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang baru yang didatangkan di kelas.

5. Pemodelan (modeling), maksudnya dalam sebuah pembelajaran selalu ada

model yang bisa ditiru. Guru memberi model tentang bagaimana cara belajar, namun demikian guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa atau dapat juga mendatangkan dari luar.

6. Refleksi (reflection), adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa yang lalu kuncinya adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa.

7. Penilaian sesungguhnya (authentic assesment), adalah proses

pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi diakhir periode pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melulu hasil, dan dengan

(11)

141

berbagai cara. Tes hanya salah satunya itulah hakekat penilaian yang sebenarnya (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003, hlm. 10-20).

Sedangkan berkaitan dengan faktor peran guru, agar proses pengajaran kontekstual dapat lebih efektif, maka guru seharusnya;

1. Mengkaji konsep atau teori (materi ajar) yang akan dipelajari oleh siswa. 2. Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses

pengkajian secara seksama.

3. Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa, selanjutnya memilih dan mengkaitkannya dengan konsep atau teori yang akan dibahas.

4. Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman siswa dan lingkungan kehidupannya.

5. Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong siswa untuk

mengkaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman sebelumnya dan fenomena kehidupan sehari-hari, serta mendorong siswa

untuk membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa

terhadap konsep atau teori yang sedang dipelajarinya.

6. Melakukan penilaian autentik (authentic assessment) yang memungkinkan siswa untuk menunjukkan penguasaan tujuan dan pemahaman yang mendalam terhadap pembelajarannya, sekaligus pada saat yang bersamaan dapat meningkatkan dan menemukan cara untuk peningkatan pengetahuannya.

D. Pelaksanaan Pembelajaran Matematika dengan Model Berbasis Kontekstual

Pelaksanaan pembelajaran matematika dengan model berbasis kontekstual pada materi sifat-sifat bangun ruang di kelas IV SD, pada setiap pelaksanaannya mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

1. Kegiatan diawali dengan guru membuka pembelajaran dan

mengkondisikan kelas serta siswa pada situasi belajar yang kondusif, kemudian guru mengadakan apersepsi sebagai penggalian pengetahuan awal siswa terhadap materi yang akan diajarkan. Setelah pengetahuan awal siswa tergali selanjutnya guru menyampaikan tujuan pelajaran yang hendak dicapai dalam pembelajaran. Langkah selanjutnya siswa dibagi menjadi lima kelompok dengan dua kelompok terdiri dari lima orang dan tiga kelompok terdiri dari empat orang, kemudian guru membagikan model bangun ruang dan lembar kerja siswa (LKS) kepada setiap kelompok.

2. Memasuki kegiatan inti dimulai dari tahap konstruktivisme, inkuiri dan pemodelan. Pada tahap ini siswa mengamati gambar dan memanipulasi model bangun ruang serta berdiskusi dalam mengidentifikasi sifat-sifat

(12)

142

bangun ruang sesuai dengan petunjuk yang ada dalam LKS. Hasil dari diskusi tersebut dibuat laporannnya secara tertulis.

3. Pada tahap masyarakat belajar, salah seorang perwakilan kelompok maju

ke depan kelas untuk melaporkan hasil diskusi, sementara kelompok yang tidak ke depan menanggapi dengan cara mengajukan pertanyaan dan memberikan komentar atas hasil diskusi tersebut.

4. Tahap selanjutnya tahap bertanya dimana beberapa siswa mengajukan pertanyaan seputar hasil diskusi dan selama proses pembelajaran.

5. Pada tahap pemodelan guru memberikan peragaan cara yang benar

mengamati dan memanipulasi model bangun ruang dalam

mengidentifikasi sifat-sifat bangun ruang.

6. Pada tahap refleksi pembelajaran diarahkan pada siswa untuk

mengaitkan pembelajaran ke dalam kehidupan sehari-hari dengan cara menyebutkan sifat-sifat bangun ruang dan menunjukkannya pada benda-benda yang ada disekitar kelas yang termasuk bangun ruang tertentu.

7. Kegiatan diakhiri dengan guru melakukan penilain dan bersama siswa membahas kesimpulan hasil pembelajaran. Untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang telah diajarkan, guru memberikan tes akhir lalu menutup pembelajaran.

Pembelajaran ke-1 dilaksanakan pada hari Kamis, 9 April 2015, pukul 10.00-11.10 WIB, dengan jumlah siswa sebanyak 26 orang, siswa yang hadir yaitu 25 orang dan yang tidak hadir 1 orang. Materi pembelajaran hari ke-1 mengenai sifat-sifat kubus. Prestasi belajar siswa dari hasil pelaksanaan pembelajaran pada hari ke-1 saat mengerjakan soal secara individu yaitu, 4 orang memperoleh nilai 40; 2 orang memperoleh nilai 60; 1 orang memperoleh nilai 70; 4 orang memperoleh nilai 80; 2 orang memperoleh nilai 85, 6 orang memperoleh nilai 90; 4 orang memperoleh nilai 95; dan 2 orang memperoleh nilai 100. Dengan nilai terendah 40 dan nilai tertinggi 100, sehingga diperoleh rata-rata kelas sebesar 78,40.

Pembelajaran ke-2 dilaksanakan pada hari Kamis, 16 April 2015, pukul 10.00-11.10 WIB, dengan jumlah siswa sebanyak 26 orang, siswa yang hadir yaitu 25 orang dan yang tidak hadir 1 orang. Materi pembelajaran hari ke-2 mengenai sifat-sifat balok. Prestasi belajar siswa dari hasil pelaksanaan pembelajaran pada hari ke-2 saat mengerjakan soal secara individu yaitu 2 orang siswa memperoleh nilai 90; 5 orang siswa memperoleh nilai 95; dan 18 orang siswa memperoleh nilai 100. Semua siswa mendapat nilai di atas 60, dengan nilai tertinggi 100 dan nilai terendah 90. Sehingga diperoleh rata-rata kelas 98,20.

Pembelajaran ke-3 dilaksanakan pada hari Kamis, 23 April 2015, pukul 10.00-11.10 WIB, dengan jumlah siswa sebanyak 26 orang, siswa yang hadir yaitu 22 orang dan yang tidak hadir 4 orang. Materi pembelajaran hari ke-3 mengenai sifat-sifat prisma tegak segitiga. Prestasi belajar siswa dari

(13)

143

hasil pelaksanaan pembelajaran pada hari ke-3 saat mengerjakan soal secara individu yaitu 2 orang memperoleh nilai 80; 4 orang memperoleh nilai 90; dan 16 orang memperoleh nilai 100. Semua siswa mendapat nilai diatas 60 dengan nilai tertinggi 100 dan nilai terendah 80. Sehingga diperoleh rata-rata kelas 96,36.

Pembelajaran ke-4 dilaksanakan pada hari Kamis, 30 April 2015, pukul 10.00-11.10 WIB, dengan jumlah siswa sebanyak 26 orang, siswa yang hadir yaitu 24 orang dan yang tidak hadir 2 orang. Materi pembelajaran hari ke-4 mengenai sifat-sifat limas segiempat. Prestasi belajar siswa dari hasil pelaksanaan pembelajaran pada hari ke-4 saat mengerjakan soal secara individu yaitu 2 orang memperoleh nilai 80 dan 22 orang memperoleh nilai 100 . Semua siswa mendapat nilai diatas 60 dengan nilai tertinggi 100 dan nilai terendah 80. Sehingga diperoleh rata-rata kelas 98,33

Perkembangan prestasi belajar siswa pada setiap pembelajaran dapat dilihat dari gambar diagram di bawah ini:

.

Gambar D.1

Diagram Nilai Rata-rata Pembelajaran Matematika dengan Model Berbasis Kontekstual pada Materi Sifat-Sifat Bangun Ruang di Kelas IV SD.

Dari Gambar D.1 dapat dijelaskan nilai rata-rata pada hari ke-1 dari 78,40 naik menjadi 98,20 pada hari ke-2 dan menurun menjadi 96,36 pada hari ke-3, kemudian naik lagi menjadi 98,33 pada hari ke-4 dan rata-rata keseluruhan adalah 92,82.

PENUTUP A. Kesimpulan

Pembelajaran matematika di SD tidak cukup dengan menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum. Tetapi dibarengi juga dengan pembelajaran yang dapat membuat siswa merasa senang untuk belajar, memfasilitasi siswa untuk terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran,

(14)

144

dan membiasakan siswa untuk menerapkan konsep-konsep dasar matematika dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan siswa secara nyata, sehingga siswa mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari yaitu pembelajaran berbasis kontekstual.

Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Komponen pembelajaran

kontekstual yaitu membuat hubungan yang bermakna (making meaningful

connections), melakukan pekerjaan yang siginifikan (doing significant work), pembelajaran mandiri (self-regulated learning), bekerjasama (collaborating), berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thingking), pendewasaan individu (nurturing individual), pencapaian standar yang tinggi (reaching high standards), menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment). Langkah pembelajaran kontekstual yaitu kebermaknaan (konstruktivisme), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), reflekasi (reflection), penilaian sebenarnya (authentic assessment).

Hasil pelaksananan pembelajaran matematika dengan model berbasis kontekstual pada materi sifat-sifat bangun ruang di kelas IV SD, diperoleh nilai rata-rata pada hari ke-1 dari 78,40 naik menjadi 98,20 pada hari ke-2 dan menurun menjadi 96,36 pada hari ke-3, kemudian naik lagi menjadi 98,33 pada hari ke-4 dan rata-rata keseluruhan adalah 92,82.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. (2006). Pengembangan Model Pembelajaran yang efektif. Jakarta: Depdiknas.

Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. (2003). Pendekatan Kontekstual

Contextual Teaching and Learning (CTL). Jakarta: Depdiknas.

Johnson, E. B. (2009). Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: MLC. Kaifa Mulyasa, E. (2006). Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif, dan

Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosda karya.

Nurhadi, dkk. (2003). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.

Sanjaya, W. (2006). Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana.

Suwangsih, E. dan Tiurlina. (2006). Model Pembelajaran Matemátika. Bandung: UPI PRESS.

Trianto. (2008). Mendesain Pembelajaran Kontekstual di Kelas. Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher

Referensi

Dokumen terkait

Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah atau Negara dalam periode tertentu, kenaikan produksi ini bisa

Jumlah kalor yang diterima benda bersuhu rendah sama dengan jumlah kalor yang dilepas benda bersuhu tinggib. Jumlah kalor yang diterima benda bersuhu rendah tidak

3) Blok yang sudah disiapkan dipotong dengan ketebalan 5 mikron, lalu dimasukkan air panas ±60 o C. Setelah jaringan mengembang, jaringan diambil menggunakan kaca

Lembaga atau perusahaan besar pada umumnya sudah menggunakan teknologi canggih dengan memanfaatkan program-program yang biasanya mereka buat atau beli dari orang yang

Skripsi yang berjudul: Tanggung Jawab Orangtua pada Anak terhadap Pembelajaran Fikih di Desa Tambak Sirang Darat Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar (Studi Kasus 5 Pedagang

Untuk penyelesaian yang bersifat antisipatif telah diundangkan berbagai peraturan yang mengatur adanya perangkat hubungan industrial ini yaitu minimal adanya

 Diagnosis penyakit kulit berdasar pemeriksaan klinis saja, kadang2 menemui kesukaran oleh karena : pada gejala klinis yang sama dapat disebabkan oleh penyebab yang berbeda,

kejahatan yang dilakukan dengan memasuki atau menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan