PERSEPSI GURU DAN SISWA
TERHADAP ALAT PERAGA BANGUN DATAR
BERBASIS METODE MONTESSORI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh:
IMELSA HENI PRIYAYIK
NIM: 101134098
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
PERSEPSI GURU DAN SISWA
TERHADAP ALAT PERAGA BANGUN DATAR
BERBASIS METODE MONTESSORI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh:
IMELSA HENI PRIYAYIK
NIM: 101134098
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karyaku ini kepada:
Allah SWT yang selalu memberiku jalan dan memudahkanku.
Kedua orang tuaku tercinta yang selalu mendoakanku dan mendukungku.
Adik ku tersayang yang senantiasa menyemangatiku.
v MOTTO
“Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya”
-Al-Baqarah:
286-“If you don’t give up your hopes and dreams, then there will always be a good ending”
-Choi Minho-
“Maksimalkan apa yang bisa kamu maksimalkan”
viii ABSTRAK
PERSEPSI GURU DAN SISWA
TERHADAP ALAT PERAGA BANGUN DATAR BERBASIS METODE MONTESSORI
Imelsa Heni Priyayik Universitas Sanata Dharma
2014
Terdapat beberapa alat peraga Montessori yang sudah dikembangkan salah satunya adalah alat peraga Montessori bangun datar. Untuk suatu produk yang dihasilkan memerlukan evaluasi untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan alat peraga yang dikembangkan. Evaluasi ini dapat diperoleh dari orang yang secara langsung mengunakan alat peraga tersebut yaitu guru dan siswa. Untuk itu perlu menggali lebih dalam mengenai persepsi guru dan siswa atas penggunaan alat peraga Montessori dalam proses pembelajaran.
Subjek pada penelitian ini adalah guru bidang studi matematika kelas V dan tiga siswa kelas VB. Metode penelitian adalah kualitatif dengan wawancara dan observasi sebagai sumber data utama. Wawancara dilakukan dua kali yaitu wawancara sebelum menggunakan alat peraga dan sesudah menggunakan alat peraga. Observasi dilaksanakan selama empat kali pertemuan pada saat penggunaan alat peraga. Analisis data yang dilakukan meliputi pengumpulan data, mengolah data, membaca keseluruhan data, meng-coding, menghubungkan tema, dan menginterpretasi atau memaknai data.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi guru dan siswa atas penggunaan alat peraga Montessori adalah positif. Alat peraga Montessori memberikan pengalaman yang baru bagi guru dan siswa. Siswa menjadi sangat aktif, antusias, bersemangat, dan berminat untuk mengikuti pembelajaran. Selain itu alat peraga membantu siswa dalam memahami konsep bangun datar karena siswa dapat melihat bendanya secara konkret dan dapat melakukan pembuktian tentang sifat-sifat bangun datar menggunakan alat peraga tersebut. Begitu juga dengan guru, alat peraga dapat membantu menyampaikan materi kepada siswa karena siswa menjadi aktif dalam pembelajaran. Guru mengangap bahwa alat peraga tersebut juga dapat digunakan dalam pembelajaran dari kelas 1 hingga kelas 6 khususnya pada materi bangun datar.
ix
ABSTRACT
PERSPECTION OF TEACHER AND STUDENTS OF USING BUILD FLAT LEARNING MEDIA
BASED ON THE MONTESSORI METHOD
Imelsa Heni Priyayik Sanata Dharma Univercity
2014
There was many learning media Montessori developed one is learning media Montessori built flat. The evaluation is required to know the strength and the weaknesses of products produced. This Evaluation can be obtained from a person who is directly using the learning media, there are teachers and students. It was necessary to dig deeper about the perceptions of teachers and students in the use of learning media Montessori in learning process.
The subjects of this research was the mathematics teacher class 5nd and three students of 5nd grade of Elementary school. The method of this research is qualitative by interview before (pre) using the learning media and after (past) using the learning media. The interview was conducted before and after the use of learning media. Observations were made during a meeting four times during the use of learning media. Data analysis was conducted on the data collection, data processing, reading the entire data, recode, linking theme, and interpret or make sense of the data.
The results of this study indicate that the teachers and students perception on the use of Montessori learning media was positive. Montessori learning media provide a new experience for teachers and students. Students become very active, enthusiastic, excited, and interested in participating in learning. Additionally learning media assist the students in understanding the concept of a flat built because students can see the object in a concrete and will be able prove the properties of flat built using the learning media. Learning media Montessori can help the teacher to deliver the material to the students because the students become active in learning. The teacher considers that these learning media also can be used in learning from 1nd grade until 6nd grade, especially in flat built.
x PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun
untuk memperoleh gelar Sarjana (S1) di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Khusunya Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak selesai tepat pada waktunya
tanpa ada bantuan dari beberapa pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada
beberapa pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini kepada:
1. Rohandi, Ph. D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma.
2. Gregorius Ari Nugrahanta, S.J., S.S., BST., M.A., selaku Ketua Program
Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma dan
Dosen Pembimbing I yang telah memberikan ide, kritik, saran dan
bimbingannya yang sangat berguna dalam penelitian ini.
3. E. Catur Rismiati, S.Pd., M.A., Ed.D., selaku Wakaprodi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma.
4. Irine Kurniastuti, S.Psi., M.Psi., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan ide, kritik, saran dan bimbingannya yang sangat berguna
dalam penelitian ini.
5. Kastinah, S.Pd., selaku Kepala Sekolah SD N Sokowaten Baru yang telah
memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di SD
Sokowaten Baru.
6. Mumpuni, selaku Guru bidang studi matematika yang telah banyak
membantu baik tenaga maupun waktu kepada penulis dalam melakukan
penelitian.
7. Ketiga siswa kelas VB SD N Sokokwaten Baru yang telah membantu dan
berpartisipasi dalam penelitian ini.
8. Ayahku tercinta Haryono dan Ibuku tercinta Pariyah yang selalu
xii DAFTAR ISI
Judul Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
PRAKATA ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
1.5 Definisi Operasional... 6
BAB II LANDASAN TEORI ... 7
2.1.1Teori-teori yang Mendukung ... 7
2.1.1.1Teori Perkembangan Anak Menurut Piaget ... 7
2.1.2 Metode Pembelajaran Montessori ... 9
2.1.3 Alat Peraga ... 10
2.1.3.1Pengertian Alat Peraga ... 10
2.1.3.2 Pengertian Alat Peraga Montessori ... 11
2.1.3.3 Ciri-ciri Alat Peraga Montessori ... 12
2.1.4 Pembelajaran Matematika di Kelas ... 14
xiii
2.1.4.2 Keterampilan Geometri dalam Matematika ... 14
2.1.4.3 Materi Bangun Datar Kelas V ... 15
2.1.5 Alat Peraga Bangun Datar Montessori Kelas V ... 17
2.1.6 Persepsi ... 17
2.1.6.1 Pengertian Persepsi ... 17
2.1.6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi ... 20
2.1.6.3 Persepsi Terhadap Penggunaan Alat Peraga Montessori ... 21
2.2 Hasil Penelitian yang Relevan ... 24
2.2.1 Alat Peraga ... 24
2.2.2 Metode Montessori ... 25
2.2.3 Persepsi ... 26
2.2.4 SkemaLiterature Map Penelitian Terdahulu ... 29
2.3 Kerangka Berfikir... 29
BAB III METODE PENELITIAN ... 32
3.1 Jenis Penelitian ... 32
3.2 Setting Penelitian ... 33
3.2.1 Objek Penelitian ... 33
3.2.2 Tempat Penelitian... 33
3.2.3 Narasumber Penelitian ... 34
3.3 Desain Penelitian ... 36
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 40
3.4.1 Observasi ... 40
3.4.2 Wawancara ... 42
3.4.3 Dokumentasi ... 44
3.5 Instrumen Penelitian... 44
3.6 Kredibilitas dan Transferabilitas ... 46
3.6.1 Kredibilitas ... 46
3.6.2 Transferabilitas ... 47
3.7 Teknik Analisis Data ... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50
4.1 Pelaksanaan Penelitian ... 50
xiv
4.2.1 Penelitian sebelum Pengimplementasian alat peraga Montessori ... 51
4.2.1.1 Latar Belakang Subjek ... 51
4.2.1.2 Pandangan Subjek terhadap Alat Peraga ... 55
4.2.1.3 Kefamiliaran Subjek terhadap Alat Peraga ... 56
4.2.1.4 Pengalaman Subjek Menggunakan Alat Peraga ... 58
4.2.2 Penelitian setelah Pengimplementasian Alat Peraga Montessori... 59
4.2.2.1 Pengalaman subjek Menggunakan Alat Peraga Montessori ... 59
4.2.2.2 Perasaan Subjek Menggunakan Alat Peraga Montessori ... 62
4.2.2.3 Kendala yang Dialami Subjek ... 64
4.2.2.4 Manfaat Menggunakan Alat Peraga Montessori ... 69
4.3 Pembahasan ... 74
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 79
5.1 Kesimpulan ... 79
5.2 Keterbatasan Penelitian ... 80
5.3 Saran ... 80
DAFTAR REFERENSI ... 81
LAMPIRAN ... 85
xv DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Perencanaan Kegiatan Observasi ... 37
Tabel 3.2 : Perencanaan Kegiatan Wawancara ... 38
Tabel 4.1 : Pelaksanaan Observasi ... 50
xvi DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Bagan Persepsi ... 22
Gambar 2.2 : Bagan Persepsi yang sudah Dimodifikasi ... 22
Gambar 2.3 : Skema Literature Map ... 29
Gambar 3.1 : Bagan Prosedur Penelitian ... 36
xvii DAFTAR LAMPIRAN
A. Pedoman Observasi dan Wawancara
Lampiran 3.1 : Pedoman Observasi Kondisi Sosio- Cultural ... 85
Lampiran 3.2 : Pedoman Observasi Proses Pembelajaran ... 86
Lampiran 3.3 : Pedoman Observasi Guru ... 87
Lampiran 3.4 : Pedoman Observasi Siswa ... 88
Lampiran 3.5 : Pedoman Wawancara Pra- Penelitian Guru ... 90
Lampiran 3.6 : Pedoman Wawancara Pra- Penelitian Siswa ... 92
Lampiran 3.7 : Pedoman Wawancara Pasca- Penelitian Guru ... 93
Lampiran 3.8 : Pedoman Wawancara Pasca- Penelitian Siswa ... 97
B. Observasi Lampiran 4.1 : Transkrip Observasi Kondisi Sosio- Cultural ... 100
Lampiran 4.2 : Transkrip Observasi Proses Pembelajaran ke- 1 ... 102
Lampiran 4.3 : Transkrip Observasi Proses Pembelajaran ke- 2 ... 104
Lampiran 4.4 : Transkrip Observasi Penelitian Pertemuan Pertama ... 106
Lampiran 4.5 : Transkrip Observasi Penelitian Pertemuan Kedua ... 112
Lampiran 4.6 : Transkrip ObservasiPenelitian Pertemuan Ketiga ... 116
Lampiran 4.7 : Transkrip Observasi Penelitian Pertemuan Keempat ... 119
C. Wawancara Lampiran 4.8 : Verbatim Wawancara Pra- Penelitian Guru ... 122
Lampiran 4.9 : Verbatim Wawancara Pra- Penelitian Siswa A ... 125
Lampiran 4.10 : Verbatim Wawancara Pra- Penelitian Siswa B ... 127
Lampiran 4.11 : Verbatim Wawancara Pra- Penelitian Siswa C ... 130
Lampiran 4.12 : Verbatim Wawancara Pasca- Penelitian Guru ... 132
Lampiran 4.13 : Verbatim Wawancara Pasca- Penelitian Siswa A ... 136
Lampiran 4.14 : Verbatim Wawancara Pasca- Penelitian Siswa B ... 139
Lampiran 4.15 : Verbatim Wawancara Pasca- Penelitian Siswa C ... 141
D. Foto-foto Lampiran 4.16 : Foto-foto Wawancara dan Observasi ... 143
1 BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini dijelaskan (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah,
(3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) definisi operasional.
1.1Latar Belakang Masalah
Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri setiap
orang sepanjang hidupnya. Proses belajar itu terjadi karena adanya interaksi antara
seseorang dengan lingkungannya. Hal itu juga sependapat dengan Sumantri
(2001: 114) bahwa proses belajar mengajar merupakan interaksi yang dilakukan
antara guru dengan peserta didik dalam suatu situasi pendidikan atau pengajaran
untuk mewujudkan tujuan yang diterapkan. Oleh karena itu, pembelajaran dapat
terjadi kapan saja dan dimana saja tak terkecuali di Sekolah Dasar.
Pada pembelajaran di Sekolah Dasar siswa belajar berbagai macam mata
pelajaran salah satunya adalah pembelajaran matematika. Pembelajaran
matematika merupakan pembelajaran pokok bagi siswa karena dalam
kesehariannya siswa berhubungan langsung dengan matematika. Selain itu
pembelajaran matematika juga mengembangkan proses berfikir siswa dalam
membangun pengetahuan yang baru guna meningkatkan penguasaan terhadap
materi pembelajaran. Tujuan akhir dari pembelajaran matematika di Sekolah
Dasar adalah agar siswa terampil dalam mengembangkan berbagai konsep
matematika dalam kehidupan sehari-hari (Heruman, 2007: 2). Maka dari itu dalam
setiap proses pembelajarannya siswa dibekali kemampuan berfikir untuk
memahami konsep-konsep matematika sehingga akan tercapai tujuan atau hasil
belajar yang diharapkan.
Hasil belajar matematika di Sekolah Dasar yang diharapkan berupa
kemampuan siswa untuk berpikir kritis, kreatif, logis, sistematis, dan analitis
(Badan Standar Nasional Pendidikan [BSNP], 2006: 172). Untuk mencapai
kompetensi pada pembelajaran matematika penggunaan alat peraga sangat
diperlukan. Hal ini sependapat dengan Heruman (2007: 2) bahwa dalam
2 media dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang disampaikan oleh guru
sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti oleh siswa. Alat peraga merupakan
suatu komponen dalam pembelajaran yang bermanfaat untuk mencapai tujuan
pembelajaran (Saryono, 2011: 17). Alat peraga juga berfungsi untuk
menyampaikan pesan atau materi sehingga siswa dapat memahami dan
menangkap pesan dan makna yang disampaikan. Selain itu menurut Sumantri dan
Permana (2001: 154), fungsi alat peraga adalah untuk meletakkan dasar-dasar
yang konkrit dari konsep yang abstrak sehingga dapat mengurangi pemahaman
yang bersifat verbalisme.
Hal di atas sesuai dengan karakteristik siswa Sekolah Dasar yang berusia
antara 6 hingga 12 tahun. Menurut Piaget dalam (Suparno, 2001: 26) anak dalam
usia tersebut termasuk dalam tahapan operasional konkret. Pada tahapan ini
kemampuan anak yang tampak adalah kemampuan dalam proses berfikir untuk
mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan objek yang
bersifat konkret. Pada usia perkembangan kognitif siswa Sekolah Dasar masih
terikat dengan objek konkret yang ditangkap oleh panca indra (Heruman, 2007:
1). Maka dari itu dalam setiap kegiatan pembelajaran siswa harus menggunakan
sesuatu yang konkret untuk memudahkan memahami materi yaitu dengan
penggunaan alat peraga dalam pembelajaran.
Terdapat beberapa metode pembelajaran yang menggunakan alat peraga,
salah satunya adalah metode Montessori. Metode Montessori adalah sebuah
metode pembelajaran yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh Maria
Montessori. Montessori menggunakan konsep belajar sambil bermain untuk
anak-anak (Holt, 2008:xi), dengan demikian anak-anak tidak menyadari bahwa kegiatan
bermainnya adalah kegiatan dalam memahami konsep. Montessori juga membuat
sendiri alat peraganya. Alat peraga matematika menurut Montessori merupakan
material atau alat yang dirancang dengan konsep dan desain yang unggul
berdasarkan cakupan pemahaman matematika yang akan dicapai (Lillard, 1997:
137). Selain itu alat peraga Montessori memiliki karakteristik antara lain menarik,
bergradasi, memiliki pengendali kesalahan, dan memungkinkan siswa untuk
3 Observasi yang dilakukan sebanyak dua kali yaitu tanggal 7 Februari
2014 dan tanggal 24 Februari 2014 pada kelas V di SD N Sokowaten didapatkan
hasil bahwa dalam pembelajaran matematika guru menggunakan papan tulis
dalam menyampaikan materi kepada siswa. Guru menuliskan materi di papan tulis
lalu siswa mencatat materi tersebut ke dalam buku catatan. Selain itu guru juga
menyampaikan materi dengan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab,
dalam kegiatan pembelajarannya tidak terlihat penggunaan alat peraga. Selain itu
berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada guru, guru mengungkapkan
bahwa guru jarang menggunakan alat peraga dalam pembelajaran. Pernah sekali
pada semester awal melakukan pembelajaran menggunakan alat peraga bangun
ruang kubus dan balok.
Sekolah Dasar Negeri Sokowaten adalah tempat untuk menguji
efektivitas penggunaan alat peraga Montessori. Alat peraga yang sudah dibuat
untuk materi bangun datar pada kelas V. Alat peragatersebut berupa satu set papan
geometri bidang datar. Alat peraga bangun datar ini merupakan modofikasi alat
peraga Montessori Metal Squares pada alat peraga ini, dimana papan 1 yang
dibagi menjadi 6 bagian, 3 bagian merupakan spesifikasi bangun persegi, 3
bangun lainnya merupakan spesifikasi bangun segitiga. Papan 2 dikembangkan
sifat-sifat bangun datar dari bangun belah ketupat dan layang-layang. Papan 3
dikembangkan sifat-sifat bangun datar dari bangun jajar genjang dan trapesium.
Pada papan 4 dikembangkan sifat-sifat bangun datar dari bangun datar lingkaran,
segilima, dan segienam dan papan 5 dikembangkan sifat-sifat bangun datar dari
bangun segitujuh, segidelapan, dan segisembilan.
Alat peraga tersebut akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran di
kelas V SD N Sokowaten Baru. Peneliti eksperimen akan meneliti alat peraga
tersebut untuk melakukan uji efektivitas alat. Selanjutnya peneliti akan meneliti
lebih mendalam mengenai persepsi guru dan siswa atas penggunaan alat peraga
tersebut dalam kegiatan pembelajaran. Persepsi seseorang dalam mengartikan
suatu objek dapat dilihat melalui alat inderawinya. Selanjutnya objek yang
dipersepsinya akan diproses kedalam otak lalu memaknainya dalam bentuk
kata-kata dan tingkah laku (Slameto, 2010). Selain itu persepsi pada manusia dapat
4 indra. Oleh karena itu persepsi guru dan siswa terhadap alat peraga akan terlihat
melalui kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu persepsi mempengaruhi intensitas
seseorang dalam menggunakan suatu produk. Apabila guru dan siswa memiliki
persepsi yang positif mengenai alat peraga, maka intensitas siswa dan guru dalam
memanfaatkan alat peraga tersebut semakin besar. Begitu pula sebaliknya apabila
guru dan siswa memiliki persepsi negatif mengenai alat peraga maka intensitas
penggunaan alat peraga dalam memanfaatkan alat peraga semakin berkurang. Di
sinilah letak persepsi itu mulai berperan dalam proses transfer pengetahuan
dengan menggunakan alat peraga pembelajaran.
Berdasarkan penjelasan di atas peneliti akan meneliti mengenai
pengalaman, perasaan, dan manfaat yang diharapkan guru dan siswa dalam
menggunakan alat peraga Montessori bangun datar selama proses pembelajaran.
Penelitian ini dibatasi pada persepsi guru dan siswa atas penggunaan alat peraga
Montessori bangun datar untuk kelas VB, dengan standar kompetensi memahami
sifat-sifat bangun dan hubungan antar bangun, kompetensi dasar mengidentifikasi
sifat-sifat bangun datar, dan pada materi bangun datar pada semeseter genap tahun
ajaran 2013/ 2014 di SD N Sokowaten Baru Yogyakarta.
1.2Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana persepsi guru terhadap penggunaan alat peraga bangun datar
berbasis metode Montessori?
1.2.2 Bagaimana persepsi siswa terhadap penggunaan alat peraga bangun datar
berbasis metode Montessori?
1.3Tujuan Penelitian
1.3.1 Untuk mengetahui persepsi guru terhadap penggunaan alat peraga bangun
datar berbasis metode Montessori.
1.3.2 Untuk mengetahui persepsi siswa terhadap penggunaan alat peraga bangun
5 1.4Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Temuan yang didapatkan dari penelitian ini dapat memperkaya wawasan
tentang pesepsi guru dan siswa atas penggunaan alat peraga Montessori
khususnya materi bangun datar di kelas V.
1.4.2 Manfaat praktis
1.4.2.1 Bagi Siswa
Memperoleh pengalaman dalam menggunakan alat peraga Montessori
bangun datar dalam kegiatan pembelajaran dan melakukan wawancara
tentang persepsi penggunaan alat peraga berbasis Montessori.
1.4.2.2 Bagi Guru
Memiliki paradigma tentang pembelajaran Montesori, memiliki referensi
dalam membuat alat peraga pembelajaran dan memiliki inspirasi dalam
melakukan pembelajaran matematika menggunakan alat peraga
Montessori bangun datar.
1.4.2.3 Bagi sekolah
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan tambahan
informasi bagi sekolah mengenai penggunaan alat peraga Montessori
dalam pembelajaran matematika bangun datar serta menambah referensi
bagi perpustakaan sekolah khususnya terkait dengan penelitian kualitatif.
1.4.2.4 Bagi peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui gambaran atau
evaluasi tentang alat peraga yang baru saja dikembangkan serta
menambah informasi yang baru mengenai persepsi guru dan siswa terkait
alat peraga Montessori dan dapat digunakan sebagai acuan dalam
penelitian kualitatif.
1.4.2.5 Bagi peneliti
Dapat memperoleh pengalaman dalam melakukan penelitian kualitatif
khususnya meneliti tentang persepsi guru dan siswa atas penggunaan alat
peraga berbasis Montessori pada pembelajaran bangun datar di kelas V
6 1.5Definisi Operasional
1.5.1 Persepsi adalah suatu proses kegiatan mengartikan atau menyimpulkan
suatu pesan atau informasi yang diperoleh melalui alat inderawinya yang
berupa objek, peristiwa, atau pengalaman menggunakan pengetahuan yang
dimilikinya, setelah menginderakan suatu objek selanjutnya diproses ke
dalam otak lalu memaknai hasil yang dipersepsinya melalui kata-kata atau
tingkah laku.
1.5.2 Alat peraga adalah alat yang digunakan guru untuk membantu menyajikan
konsep materi pembelajaran kepada siswa pada saat proses pembelajaran.
1.5.3 Alat Peraga Montessori adalah suatu alat pembelajaran yang
mengembangkan kemampuan matematika siswa yang dibuat secara
menarik, bergradasi, dan memiliki pengendali kesalahan yang
memungkinkan siswa untuk belajar secara mandiri.
1.5.4 Materi bangun datar adalah materi yang dipelajari oleh siswa yang
meliputi bentuk dan sifat-sifat dari berbagai bentuk bangun datar dalam
pembelajaran.
1.5.5 Alat peraga Montessori bangun datar adalah alat peraga bangun datar yang
terdiri dari satu set papan geometri bidang datar yang terbuat dari bahan
7 BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini terdapat pembahasan tentang landasan teori yang terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu (1) kajian pustaka, (2) hasil penelitian terdahulu, dan
(3) kerangka berpikir.
2.1Kajian Pustaka
2.1.1 Teori-teori yang Mendukung
2.1.1.1Teori Perkembangan Anak Menurut Piaget
Piaget dalam Suparno (2001: 26) membagi perkembangan anak menjadi 4
tahap yaitu, tahap sensorimotor, tahap pra-operasional, tahap operasional konkret,
dan tahap operasi formal. Setiap tahap memiliki karakteristik di antaranya :
1. Tahap Sensorimotor (0 - 2 tahun)
Pada tahap ini kecerdasan anak dalam bentuk tindakan inderawi, seperti:
menggenggam, melihat, mendengarkan, dan menangis. Anak belum dapat
berbicara sehingga belum dapat menggunakan bahasa simbol. Pengetahuan anak
yang dibentuk lebih banyak dalam pengetahuan fisis. Oleh karena itu kecerdasan
anak menghasilkan suatu tindakan, bukan pengetahuan. Anak belum mampu
mengalami ikatan tempat dan waktu sehingga belum mampu mengidentifikasi
sebab dan akibat dari terjadinya sesuatu. Pada tahap ini, kecerdasan terjadi secara
bertingkat dan berkelanjutan sehingga dijadikan dasar perkembangan pandangan
dan kecerdasan anak pada tahap berikutnya.
2. Tahap Praoperasional (2 - 7 tahun)
Tahap ini dicirikan dengan penggunaan simbol yang memberi kejelasan
obyek. Melalui simbol tersebut, anak dapat mengungkapkan suatu hal yang
terjadi. Dia dapat membicarakan hal-hal yang sudah terjadi, hal-hal yang sedang
dialami tanpa ikatan ruang dan waktu. Pada tahap ini kecerdasan anak
berkembang karena sudah dapat menggambarkan sesuatu dengan bentuk lain.
Bahasa yang digunakan anak bersifat egosentris yaitu berbicara dengan dirinya
sendirinya. Anak sudah dapat mengidentifikasi sebab dan akibat dari sesuatu yang
8 3. Tahap Operasi Konkret (7 - 11 tahun)
Pada tahap ini, sistem pemikiran anak didasari aturan logis. Anak sudah
dapat memperkembangkan operasi logis yang terdiri dari operasi reversibel dan
operasi yang bersifat kekekalan. Operasi reversibel yaitu pemikiran yang dapat
dikembalikan kepada awalnya lagi. Misalnya A dikembangkan dengan metode
tertentu menjadi B, kemudian B dapat dikembangkan dengan metode tertentu
menjadi A. Perkembangan sistem logis pada anak dapat diterapkan dalam
pemecahan persoalan konkrit. Operasi kekekalan yaitu pemikiran bahwa benda A
dengan proses tertentu menjadi benda B dan selamanya akan seperti itu. Pada
tahap ini anak dapat menganalisis berbagai segi yang berdasarkan pada sesuatu
nyata. Kecerdasan anak sangat maju namun terbatas pada hal konkrit.
4. Tahap Operasi Formal (11 tahun - ke atas)
Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir logis berdasarkan teoritis
formal. Anak dapat menyimpulkan tentang hal-hal yang diamati. Melalui kegiatan
tersebut, logika anak berkembang. Anak mulai mengerti berpikir abstrak dan
membuat teori tentang sesuatu yang dihadapi, pikirannya sudah melampaui waktu
dan tempat. Anak tidak hanya terikat pada hal yang dialami namun juga dapat
berpikir tentang sesuatu yang akan datang karena dia sudah dapat berpikir secara
hipotesis. Tahap pemikiran ini sama dengan orang dewasa secara kualitatif, yang
membedakan hanya dalam kuantitas orang dewasa lebih banyak memiliki skema.
Menurut penjabaran di atas teori Piaget menyebutkan bahwa anak akan
lebih mudah belajar dengan hal-hal yang konkret dalam artian dapat diamati
menggunakan panca indera. Melihat tahapan perkembangan kognitif anak
menurut Piaget, siswa SD berada pada rentang usia 7-11 tahun yang berada pada
tahap operasional konkret. Sudah dijelaskan sebelumnya pada tahapan ini anak
dapat berpikir secara sistematis hanya pada objek-objek yang konkret, maka
dalam pembelajaran guru harus menyajikan materi pembelajaran menggunakan
9
2.1.2 Metode Pembelajaran Montessori
Metode Montessori merupakan sebuah metode pembelajaran yang
diperkenalkan dan dikembangkan oleh Maria Montessori. Beliau adalah seorang
dokter wanita pertama di Italia yang lahir pada tanggal 31 Agustus 1870 dan
wafat pada tanggal 6 Mei 1952, dengan menggunakan konsep belajar sambil
bermain untuk anak-anak (Holt, 2008:xi). Dengan demikian anak tidak menyadari
bahwa kegiatan bermainnya adalah kegiatan belajar berbagai macam
konsep-konsep pembelajaran.Metode ini sangat menekankan pembelajaran yang
dilakukan oleh anak secara mandiri dengan sesedikit mungkin intervensi dari
orang dewasa (Montessori, 2002: 33).
Terdapat tiga hal yang menjadi prinsip dasar dari metode Montessori yaitu
filosofi yang digunakan, tugas pendidik dalam pembelajaran dan adanya alat
peraga (Hainstock, 1997: 38). Esensi metode Montessori terletak pada filosofinya
terhadap anak, yaitu “Teach Me to Do It Myself”. Filosofi tersebut mengandung
makna bahwa Montessori mempercayai kemampuan seorang anak untuk bekerja
dan menemukan cara belajarnya sendiri (Seldin, 2006: 12). Montessori
menggunakan kebebasan setiap anak untuk beraktivitas sebagai basis untuk
membentuk sikap disiplin dalam diri anak (Montessori, 2002: 86).
Prinsip kedua yaitu tugas pendidik dalam pembelajaran Montessori adalah
membantu anak untuk semakin dapat mandiri dalam hidup dengan
mengembangkan seluruh kemampuannya secara maksimal. Karena itu,
Montessori menggunakan kemerdekaan masing-masing anak untuk beraktivitas
sebagai dasar untuk membentuk sikap disiplin dalam diri anak, karena sikap
disiplin datang dari kemerdekaan itu (Montessori, 2002: 90). Metode Montessori
memberikan kesempatan pada anak untuk (1) bekerja dengan dirinya sendiri (2)
bekerja tanpa mengandalkan bantuan atau pun interupsi, (3) bekerja dengan penuh
konsentrasi, (4) bekerja dengan kelompok atau lingkungan yang telah disiapkan,
dan (5) menggali potensi diri dengan kemauannya sendiri (Lillard, 1996: 98).
Prinsip ketiga dari metode Montessori adalah alat peraga adanya alat
peraga yang memiliki pengendali kesalahan dengan tujuan anak dapat mengoreksi
10 Montessori sendiri dengan mengacu pada teori Itard dan Seguin (Hainstock, 1997:
13).
Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menyimpulkan bahwa metode
pembelajaran Montessori sangat berpegang teguh pada kemerdekaan atau
pembebasan kepada anak. Anak bebas sesuai dengan keinginan dan kehendak
yang akan mereka lakukan tanpa adanya perintah atau tuntutan. Pada prinsip
metode Montessori ini menekankan pada kedisiplinan anak, menemukan cara
belajar sendiri serta mampu memperbaiki kesalahan.
2.1.3 Alat Peraga
2.1.3.1Pengertian Alat Peraga
Alat merupakan barang yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu,
mencapai maksud tertentu, sedangkan peraga merupakan alat media pengajaran
untuk meragakan sajian pelajaran, sehingga alat peraga adalah alat yang
digunakan untuk menyajikan materi pembelajaran (KBBI, 2008). Sependapat
dengan hal tersebut Sudono (2010: 14) mengungkapkan bahwa alat peraga adalah
alat yang berfungsi untuk menerangkan suatu mata pelajaran tertentu dalam suatu
proses belajar mengajar.
Istilah alat peraga menunjuk kepada suatu alat atau benda yang sama yang
dapat mengantarkan pesan pembelajaran antara pemberi pesan kepada penerima
pesan (Anitah, 2010: 4). Sependapat dengan hal tersebut, Sukayati dan Agus
(2009: 6) menjelaskan bahwa media pembelajaran merupakan semua benda yang
menjadi perantara dalam terjadinya pembelajaran. Berdasarkan fungsinya media
dapat berbentuk alat peraga dan sarana tetapi dalam keseharian tidak terlalu
dibedakan antara media dan alat peraga. Hal tersebut sependapat dengan Smaldino
(2011: 14), alat peraga merupakan bagian dari media pembelajaran. Media adalah
semua sarana untuk memperlancar proses pembelajaran, sedangkan alat peraga
adalah alat yang memeragakan konsep materi pembelajaran yang akan
disampaikan oleh guru.
Fungsi dari alat peraga adalah (1) alat bantu untuk mewujudkan situasi
mengajar yang efektif, (2) bagian integral dari keseluruhan situasi mengajar, (3)
11 mengurangi pemahaman yang bersifat verbal, (4) membangkitkan motivasi
belajar peserta didik, dan (5) mempertinggi mutu belajar mengajar (Sumantri,
2001: 154).
Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menyimpulkan bahwa alat peraga
merupakan alat yang digunakan guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Guru
menyampaikan materi kepada siswa dengan menggunakan alat peraga untuk
memudahkan siswa dalam memahami suatu konsep yang abstrak menjadi nyata
atau konkret.
2.1.3.2Pengertian Alat Peraga Montessori
Alat peraga Montessori adalah material pembelajaran siswa yang
dirancang secara menarik, bergradasi, memiliki kendali kesalahan, dan
memungkinkan siswa untuk belajar secara mandiri tanpa banyak intervensi dari
guru (Lillard, 1997: 11). Alat peraga matematika menurut Montessori adalah
material yang dirancang dengan konsep dan desain yang unggul berdasarkan
cakupan pemahaman matematika yang akan dicapai (Lillard, 1997: 137). Tujuan
dari penggunaan alat peraga matematika adalah pertama-tama bukan untuk
mengajar matematika, tetapi terutama untuk membantu siswa dalam
mengembangkan kemampuan matematikanya yang meliputi pemahaman perintah,
urutan, abstraksi, dan kemampuan untuk mengkonstruksi konsep-konsep baru
sebagai pengetahuan yang diperoleh dalam pembelajaran.
Selain itu untuk melatih seluruh indera yang ada dalam tubuh, alat peraga
Montessori dilengkapi dengan sensor-sensor yang merangsang penggunaan
kelima indera manusia (Hainstock, 1997). Hal tersebut memperlihatkan bahwa
alat peraga yang diciptakan Montessori tidak hanya mewakili konsep yang akan
disampaikan namun juga mampu mengakomodir seluruh kebutuhan anak sesuai
dengan usia dan kebutuhannya (Montessori, 1964: 168).
Alat peraga Montessori pada bidang matematika dirancang untuk
mengembangkan kemampuan matematis (Hainstock, 1997: 137), sehingga alat
peraga tersebut bukan semata-mata dirancang untuk mencapai kompetensi
matematika saja. Kemampuan matematis yang terdapat pada alat peraga
Montessori meliputi abstraksi, pemahaman perintah, dan pengkonstruksian
12 Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa alat
peraga Montessori adalah suatu alat pembelajaran yang mengembangkan
kemampuan matematika guna membangun konsep-konsep yang baru serta alat
peraganya dibuat secara menarik, bergradasi dan memiliki pengendali kesalahan
yang memungkinkan siswa untuk belajar secara mandiri.
2.1.3.3Ciri-ciri Alat Peraga Montessori
Pada metode Montessori, alat peraga mempunyai peranan yang penting
dalam tahap perkembangan siswa. Montessori merumuskan ciri-ciri alat peraga
yang baik (Montessori, 2002: 170-176), yaitu:
a) Menarik
Bagi anak-anak pembelajaran dimaksudkan untuk mengembangkan
seluruh potensi anak melalui panca indera. Alat-alat peraga harus dibuat menarik
bagi anak-anak agar secara spontan anak-anak ingin menyentuh, meraba,
memegang, merasakan, dan menggunakannya untuk belajar. Untuk itu tampilan
fisik alat peraga harus mengkombinasikan warna yang cerah dan lembut
(Montessori, 2002: 174).
b) Bergradasi
Alat peraga harus memiliki gradasi rangsangan yang rasional terkait
warna, bentuk, dan usia anak sehingga bukan hanya alat peraga sebanyak
mungkin melibatkan penggunaan panca indera, tetapi juga alat peraga yang sama
bisa digunakan untuk berbagai usia perkembangan anak dengan tingkat abstraksi
pembentukan konsep-konsep yang semakin kompleks. Untuk memperkenalkan
gradasi warna merah, misalnya, kartu-katu warna merah dibuat dengan 10 gradasi
dari kartu berwarna merah sangat tua sampai dengan kartu berwarna merah sangat
muda. Selain itu ada juga gradasi bentuk, dengan gradasi bentuk anak belajar
membeda-bedakan besar-kecil dan berat-ringan suatu objek (Montessori, 2002:
174).
c) Auto-correction
Alat peraga harus memiliki pengendali kesalahan pada alat peraga itu
sendiri agar anak dapat mengetahui sendiri apakah aktivitas yang dilakukannya itu
benar atau salah tanpa perlu diberi tahu orang lain yang lebih dewasa atau guru.
13 sedemikian rupa sehingga anak akan mengetahui sendiri jika tindakannya tidak
tepat. Misalnya gelas dan piring dibuat bukan dari bahan plastik, tetapi dari bahan
gelas yang bisa pecah jika tidak digunakan secara hati-hati (Montessori, 2002:
83).
d) Auto-education
Seluruh alat peraga harus diciptakan agar memungkinkan anak semakin
mandiri dalam belajar dan mengembangkan diri dan meminimalisir campur
tangan orang dewasa. Keberhasilan pendidikan seperti ini didasarkan pada
lingkungan yang dikondisikan dengan berbagai alat peraga didaktik, dan bukan
pertama-tama didasarkan pada kelihaian guru dalam mendidik anak (Montessori,
2002: 172).
Perkembangan anak sangat tergantung bukan pada guru yang mendidik,
tetapi tergantung pada anak sendiri dengan berbagai aktivitas pembelajaran yang
dilakukannya. Jika orang dewasa harus memberikan pengarahan, pengarahannya
harus singkat (semakin banyak kata-kata semakin tidak baik bagi perkembangan
anak), sederhana (harus digunakan pilihan kata-kata yang sederhana), dan objektif
(dalam memberikan penjelasan, orang dewasa sebaiknya hanya berfokus pada
objek yang mau dijelaskan, dan bukan menarik anak pada diri orang dewasa)
(Montessori, 2002:107-118).
e) Kontekstual
Dari keempat ciri alat peraga Montessori yang memang disebutkan oleh
Montessori secara eksplisit di atas, akan ditambahkan satu ciri lagi oleh peneliti
yaitu kontekstual. Dari sejarahnya Montessori mulai mengembangkan sistem
pembelajarannya terutama untuk anak-anak gelandangan yang miskin di Roma
dengan alat-alat peraga yang diciptakan dengan material apa adanya di lingkungan
sekitar perkampungan kumuh. Itu berarti konteks lingkungan sekitar menjadi
sumber yang tidak terbatas untuk pembelajaran. Alat peraga dalam pembuatannya
atau bahan-bahan untuk membuat alat peraga menggunakan material yang ada di
lingkungan sekitar (Johnson, 2007).
Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menyimpulkan bahwa ciri-ciri alat
peraga Montessori adalah alat peraga menarik baik dilihat dari tampilan fisik,
14 pengendali kesalahan, auto-education yang menekankan pada kemandirian anak,
dan kontekstual sehingga pembuatannya menggunakan benda-benda yang terdapat
di lingkungan sekitar. Semua ciri ini merupakan peranan penting untuk
pemahaman siswa dalam menggunakan alat peraga Montessori.
2.1.4 Pembelajaran Matematika di Kelas
2.1.4.1Pengertian Pembelajaran Matematika
Pembelajaran merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh seorang guru
dalam mengarahkan interaksi siswa ke dalam sumber belajar untuk mencapai
tujuan tertentu (Triyanto, 2009: 17).
Matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan-bilangan serta
operasi-operasinya, melainkan juga unsur ruang sebagai sasarannya. Namun
penunjukkan kuantitas seperti itu belum memenuhi sasaran matematika yang lain,
yaitu yang ditunjukkan kepada hubungan pola, bentuk dan struktur Tinggih
(dalam Hudojo dan Herman, 2001).
Hal di atas sependapat dengan Hudojo dan Herman (2001: 46),
matematika adalah ilmu yang berkenaan dengan gagasan terstruktur yang
ditunjukkan melalui hubungan-hubungan yang logis, bersifat abstrak dengan
penalaran deduktif berdasarkan landasan kesepakatan-kesepakatan yang
membentuk suatu sistem.
Jadi pembelajaran matematika adalah usaha sadar yang dilakukan oleh
seorang guru dalam mengarahkan interaksi siswa ke dalam ilmu yang berkenaan
dengan gagasan terstruktur yang ditunjukkan melalui hubungan-hubungan yang
logis, bersifat abstrak dengan penalaran yang saling berhubungan.
2.1.4.2Keterampilan Geometri dalam Matematika
Geometri adalah cabang matematika yang menerangkan sifat-sifat garis,
sudut, bidang, dan ruang (KBBI, 2008: 442). Sehubungan dengan hal tersebut,
Walle (2008: 150) menyatakan bahwa keterampilan geometri merupakan
kemampuan dalam penggambaran objek dalam pikiran dan hubungan keterkaitan
ruang, disebutkan pula bahwa tanpa pengalaman akan geometri seseorang akan
mengalami kendala dalam tingkat pemahaman dan logika ruang. Lebih jauh lagi,
15 keterampilan yang berpengaruh terhadap keterampilan yang lainnya. Geometri
berhubungan dengan keterampilan berhitung, yaitu menghitung luas bangun.
Pembelajaran geometri bukan dimulai dari pemberian definisi-definisi tentang
suatu bangun kepada siswa namun lebih pada proses pengidentifikasian suatu
bangun (Heruman, 2008: 87). Tujuan mempelajari geometri untuk anak adalah
mengembangkan kompetensi anak dalam hal logika keruangan atau pemahaman
ruang dan mengembangkan prinsip-prinsip dalam materi suatu bangun (Walle,
2008: 150).
Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa
keterampilan geometri merupakan keterampilan matematika yang berkaitan
dengan pengindentifikasi suatu objek atau bangun. Keterampilan geometri
berpengaruh pada keterampilan yang lainnya sehingga harus dikembangkan
secara maksimal terhadap konsep-konsep yang harus diberikan kepada siswa.
2.1.4.3Materi Bangun Datar Kelas V
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang wajib
dipelajari oleh siswa Sekolah Dasar. Tujuan matematika adalah membangun
kemampuan siswa untuk berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, serta
kemampuan bekerjasama.
Banyak materi pembelajaran matematika yang dipelajari siswa di kelas V
akan tetapi dalam penelitian ini materi dibatasi pada materi Bangun Datar dengan
Standar Kompetensi 6. Memahami sifat-sifat bangun dan hubungan antar bangun
dan Kompetensi Dasar 6.1 Mengidentifikasi sifat-sifat bangun datar, bangun datar
segitiga (segitiga sama kaki, segitiga sama sisi, segitiga siku-siku, segitiga
sembarang), persegi, persegi panjang, trapesium, jajar genjang, lingkaran, belah
ketupat dan layang-layang. Sifat-sifat tersebut terdiri dari jumlah sisi, sudut, titik
sudut dan bidang diagonal dari suatu bangun datar. Berikut adalah pengertian dan
sifat-sifat bangun datar persegi, persegi panjang, segitiga, belah ketupat,
layang-layang, jajargenjang, trapesium, lingkaran menurut Zaini dan Siti (2007: 62-67).
1. Persegi
Bangun persegi adalah suatu bangun segi empat yang keempat sisinya sama
panjang dan keempat sudutnya siki-siku. Sifat-sifatnya meliputi keempat
16 360°, kedua diagonalnya sama panjang, kedua diagonalnya saling
berpotongan tegak lurus dan membagi dua sama panjang, dan kedua
diagonalnya membagi sudut menjadi dua sama besar.
2. Persegi Panjang
Bangun persegi panjang adalah suatu bangun segi empat yang keempat
sudutnya siku-siku. Sifat-sifatnya antara lain memiliki dua pasang sisi yang
sama panjang dan sejajar, keempat sudutnya siku-siku, jumlah besar
sudut-sudutnya 360°, kedua diagonalnya sama panjang, dan kedua diagonalnya
saling berpotongan dan membagi dua sama panjang.
3. Segitiga
Bangun segitiga adalah bangun yang memiliki tiga sisi. Secara umum
sifat-sifat dari segitiga adalah memiliki tiga sisi, memiliki tiga sudut, memiliki tiga
titik sudut, dan jumlah besar sudutnya adalah 180°.
4. Belah Ketupat
Bangun belah ketupat merupakan jajargenjang khusus yakni jajargenjang
yang sisi-sisinya sama panjang. Sifat-sifatnya antara lain keempat sisinya
sama panjang, sudut yang berhadapan sama besar, jumlah
sudut-sudutnya 360°, kedua diagonal saling berpotongan tegak lurus dan membagi
dua sama panjang, dan kedua diagonal membagi sudut menjadi dua sama
besar.
5. Layang-layang
Bangun layang-layang adalah suatu bangun segi empat dengan dua pasang
sisi saling berdekatan sama panjang. Sifat-sifatnya antara lain memiliki dua
pasang sisi yang sama panjang, memiliki sepasang sudut yang sama besar,
jumlah besar sudut-sudutnya 360°, kedua diagonalnya saling berpotongan
tegak lurus, dan salah satu diagonal terbagi dua sama panjang oleh diagonal
yang lain.
6. Jajargenjang
Bangun jajargenjang adalah suatu bangun segi empat dengan sisi-sisi yang
berhadapan sama panjang dan sejajar. Sifat-sifatnya antara lain sisi-sisinya
17 sama besar, jumlah besar sudut-sudutnya 360° dan kedua diagonalnya saling
berpotongan dan membagi dua sama panjang.
7. Trapesium
Bangun trapesium adalah suatu bangun segi empat yang dua sisinya sejajar.
Sifat-sifatnya antara lain memiliki sepasang sisi yang sejajar, jumlah besar
sudut-sudutnya 360°.
8. Lingkaran
Bangun lingkaran adalah bangun datar yang sisinya selalu berjarak sama
dengan titik pusat. Sifat-sifatnya antara lain memiliki titik pusat yang berada
di tengah lingkaran, memiliki diameter dan memiliki jari-jari lingkaran atau
radius.
2.1.5 Alat Peraga Bangun Datar Montessori Kelas V
Alat peraga bangun datar Montessori untuk siswa kelas V Sekolah Dasar
adalah satu set papan geometri bidang datar (segitiga yang terdiri dari:segitiga
sama kaki, segitiga sama sisi, segitiga sembarang; segiempat yang terdiri dari:
persegi, persegi panjang, jajar genjang, trapesium siku-siku, trapesium sama kaki,
trapesium sembarang, belah ketupat, layang-layang; segi lingkaran, segilima;
segienam; segitujuh; segidelapan; segisembilan dan segisepuluh). Alat ini
berbahan dari kayu yang akan dilubangi pada bagian alasnya sebagai tempat
untuk meletakkan bidang datar. Setiap bidang datar akan disusun menjadi bidang
datar lainnya yang merupakan bidang datar tersebut. Dengan aktivitas
mengindetifikasi sifat-sifat bangun datar maka diharapkan siswa dapat
mengetahui hubungan antar bangun melalui kartu soal latihan.
Alat peraga bangun datar ini merupakan modofikasi alat peraga
Montessori Metal Squares pada alat peraga ini, diaman papan 1 yang dibagi
menjadi 6 bagian, 3 bagian merupakan spesifikasi bangun persegi, 3 bangun
lainnya merupakan spesifikasi bangun segitiga. Papan 2 dikembangan sifat-sifat
bangun datar dari bangun belah ketupat dan layang-layang. Papan 3 dikembangan
sifat-sifat bangun datar dari bangun jajar genjang dan trapesium. Pada papan 4
18 segienam dan papan 5 dikembangan sifat-sifat bangun datar dari bangun
segitujuh, segidelapan, dan segisembilan.
Pada materi pembelajaran di kelas V bangun datar yang digunakan adalah
persegi, persegi panjang, segitiga (segitiga sama sisi, segitiga sama kaki, segitiga
siku-siku, segitiga sembarang), persegi panjang, trapesium, layang-layang, jajar
genjang dan lingkaran. Dengan alat peraga ini siswa mampu menemukan
sifat-sifat dari masing-masing bangun datar.
2.1.6 Persepsi
2.1.6.1Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi manusia
dalam menanggapi berbagai situasi dan gejala yang muncul di sekitarnya.
Persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu (KBBI, 2008). Jadi
tanggapan ini merupakan reaksi spontan yang muncul atas objek yang
dipersepsikan. Lebih jauh, Jalaludin (dalam Hadiwijaja, 2011) mengungkapkan
bahwa persepsi merupakan kegiatan penyimpulan dan penafsiran atas berbagai
pengalaman, informasi, dan objek yang dihadapi seseorang.
Senada dengan hal di atas Leavitt (dalam Desmita, 2009) memisahkan
pengertian persepsi dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit,
persepsi merupakancara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas,
persepsi merupakan proses seseorang memandang sesuatu atau mengartikan
sesuatu.
Persepsi adalah proses masuknya suatu pesan atau informasi ke dalam otak
manusia (Slameto, 2010). Proses ini ditunjukkan melalui kegiatan penerimaan
rangsangan oleh indera (sensory) seseorang seperti melihat, mencium, meraba,
merasakan, dan mendengar (Matlin dalam Suharnan, 2005). Sedangkan Walgito
(1999: 45) menjelaskan bahwa proses persepsi merupakan suatu proses yang
didahului oleh penginderaan.
Proses pembentukan persepsi ini melibatkan tiga komponen utama yaitu
seleksi, penyusunan, dan penafsiran. Dalam kegiatan seleksi, seseorang
menyaring data yang diperoleh melalui alat inderawi sebagai akibat dari
19 relevansi kebutuhan sesorang pada saat itu. Pada tahap kedua, penyusunan, otak
menata dan menyederhanakan data-data yang ada ke dalam sistematika dan
organisasi yang lebih bermakna. Pemberian makna atas suatu informasi tersebut
adalah kegiatan penafsiran yang pada akhirnya tercermin dalam tingkah laku
sebagai respon atas rangsangan yang ada (Desmita, 2009).
Selain hal di atas, proses terbentuknya persepsi tidak akan terlepas dari
pengalaman penginderaan dan pemikiran. Seperti yang telah dijelaskan oleh
Robbins (dalam Muji, 2005) bahwa pengalaman masa lalu akan memberikan
dasar pemikiran, pemahaman, pandangan atau tanggapan individu terhadap
sesuatu yang ada di sekitarnya. Myers (dalam Muji, 2005) mengemukakan bahwa
persepsi terjadi dalam tiga tahapan yang berkesinambungan dan terpadu satu dan
lainnya, yaitu :
1. Pemilihan
Pada saat memperhatikan sesuatu berarti individu tidak memperhatikan
yang lainnya. Mengapa dan apa yang disaring biasanya berasal dari beberapa
faktor eksternal dan internal. Faktor internal terdiri dari enam prinsip: intensitas,
ukuran, kontras, pengulangan, gerakan. Sedangkan faktor-faktor eksternal yang
mliputi: (a) faktor fisiologis, individu dirangsang oleh apa yang sedang terjadi di
luar dirinya melalui pengindraan seperti mata, kulit, lidah, telinga, hidung, tetapi
tidak semua individu yang memiliki kekuatan indera yang sama, maka tidak setiap
individu mampu mempersepsikan dengan baik, (b) faktor psikologis, meliputi
motivasi dan pengalaman belajar masa lalu. Motivasi dan pengalaman belajar
masa lalu setiap individu berbeda. Sehingga individu cenderung mempersepsikan
apa yang sesuai dengan kebutuhan, motivasi dan minatnya.
2. Pengorganisasian
Pengelolaan stimulus atau informasi melibatkan proses kognisi, dimana
individu memahami dan memaknai stimulus yang ada. Individu yang memiliki
tingkat kognisi yang baik cenderung akan memiliki persepsi yang baik terhadap
objek yang dipersepsikan.
3. Interpretasi
Pada tahapan interpretasi individu biasanya melihat konteks dari objek
20 mengalami lingkungan, yaitu mengecek persepsi. Apakah orang lain juga melihat
sama seperti yang dilihat individu melalui perbandingan.
Berdasarkan penjabaran mengenai persepsi peneliti menyimpulkan bahwa
persepsi adalah suatu proses kegiatan mengartikan atau menyimpulkan suatu
pesan atau informasi yang diperoleh melalui alat inderawinya yang berupa objek,
peristiwa, atau pengalaman menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Setelah
menginderakan suatu objek selanjutnya diproses ke dalam otak lalu memaknai
hasil yang dipersepsinya melalui kata-kata atau tingkah laku.
2.1.6.2Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Faktor-faktor yang berpengaruh pada persepsi adalah faktor internal.
Faktor internal merupakan faktor yang ada dalam diri individu akan
mempengaruhi individu tersebut dalam mengadakan persepsi. Selain itu faktor
lain yang dapat mempengaruhi dalam proses persepsi yaitu faktor stimulus itu
sendiri dan faktor lingkungan dimana persepsi itu berlangsung, dan ini merupakan
faktor eksternal. Stimulus dan lingkungan sebagai faktor eksternal individu
sebagai faktor internal saling berinteraksi dalam individu dalam mengadakan
persepsi (Walgito, 1999: 46).
Agar stimulus dapat dipersepsi, maka stimulus harus cukup kuat agar
dapat dipersepsi oleh individu. Apabila stimulus kurang kuat maka akan
berpengaruh pada ketepatan persepsi. Bila stimulus itu berwujud benda-benda
bukan manusia maka ketepatan persepsi lebih terletak pada individu yang
mengadakan persepsi, karena benda yang dipersepsi tersebut tidak ada usaha
untuk mempengaruhi yang mempersepsi.
Selain itu menurut Toha (dalam Susanto, 2003: 154) menyatakan
faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang meliputi (1) faktor-faktor interen, antara
lain perasaan, sikap dan kepribadian individual, prasangka, keinginan atau
harapan, perhatian (fokus), proses belajar, keadaan fisik, ganguan kejiwaan, nilai
dan kebutuhan juga minat dan motivasi dari individu. (2) faktor eksteren, antara
lain latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan, dan
kebudayaan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan, penggulangan gerakan,
21 Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menyimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mungkin dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap penggunaan alat
peraga dalam pembelajaran adalah perasaan, sikap, prasangka keinginan atau
harapan, fokus, proses belajar, minat, motivasi pengetahuan informasi yang
diperoleh dan ketidak asingan suatu objek.
2.1.6.3Persepsi Terhadap Penggunaan Alat Peraga Montessori
Transfer pengetahuan akan dapat berjalan efektif bilamana memperhatikan
faktor-faktor psikologis yang ada pada siswa dan guru, salah satunya meliputi
aspek kognitif. Salah satu aktivitas dari aspek kognitif yang paling penting adalah
persepsi. Persepsi dapat mempengaruhi intensi seseorang dalam melakukan
sesuatu. Persepsi juga dipengaruh oleh suatu sikap terhadap objek dan dipicu oleh
suatu kejadian yang mengaktifkan sikap (Fazio, 1989; Fazio dan
Roskos-Ewoldsen, 1994).
Dalam theory of planned behavior (teori perilaku terencana), Ajzen dan
Fishbein (1980) menyatakan bahwa prediktor terbaik untuk reaksi yang akan kita
berikan pada situasi tertentu adalah kekuatan intensi kita dalam hubungannya
dengan situasi tersebut (Ajzen, 1987). Dalam intensi, terdapat tiga faktor penentu.
Faktor yang pertama adalah sikap terhadap perilaku yang dimaksud. Faktor yang
kedua berhubungan dengan keyakinan tentang bagaimana evaluasi orang lain
terhadap perilakunya (faktor ini dikenal dengan nama norma-norma subjektif).
Hal yang terakhir, intensi juga dipengaruhi oleh perceived behavioral control
(persepsi tentang kemampuannya untuk mengontrol perilaku) – sejauh mana
orang mempersepsi sebuah perilaku sulit atau mudah dilakukan. Jika dianggap
sulit, intensinya akan lebih lemah dibanding jika perilaku itu dianggap mudah.
Kedua faktor ini mempengaruhi intensitas, dan intensitas merupakan prediktor
terkuat untuk perilaku individu.
Menurut salah satu teori – yaitu model teori Fazio untuk proses
dari-sikap-ke-perilaku (Fazio, 1989; Fazio dan Roskos-Ewoldsen, 1994) – proses itu
berlangsung sebagaimana berikut. Kejadian tertentu mengaktifkan suatu sikap.
Begitu diaktifkan, sikap tersebut mempengaruhi persepsi kita terhadap objek
sikap. Pada saat yang sama, pengetahuan kita tentang apa yang sesuai untuk
22 Bersama-sama, sikap dan informasi yang tersimpan tentang apa yang cocok atau
diharapkan itu kemudian membentuk definisi terhadap kejadian tersebut. Definisi
atau persepsi ini kemudian mempengaruhi perilaku kita.
Menurut Rahmat (dalam Mukhtar, 2012: 13) menyebutkan persepsi dibagi
menjadi dua bentuk yaitu positif dan negatif, apabila objek yang dipersepsi sesuai
dengan penghayatan dan dapat diterima secara rasional dan emosional maka
manusia akan mempersepsikan positif atau cenderung menyukai dan menanggapi
sesuai dengan objek yang dipersepsikan. Apabila tidak sesuai dengan penghayatan
maka persepsinya negatif atau cenderung menjauhi, menolak dan menanggapinya
secara berlawanan terhadap objek persepsi tersebut.
Konsep persepsi menurut Walgito (2003: 116) tersaji pada bagan 2.1 di
bawah ini.
Bagan 2.1 Bagan persepsi yang dikutip dari Walgito
Bagan di atas menunjukkan bahwa objek sikap akan dipersepsi oleh
individu, dan hasil persepsi akan dicerminkan dalam sikap yang diambil oleh
individu yang bersangkutan. Dalam mempersepsi objek sikap individu akan
dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, keyakinan, proses belajar, dan hasil
proses persepsi ini akan merupakan pendapat atau keyakinan individu mengenai
objek sikap, dan ini berkaitan dengan segi kognisi. Afeksi akan mengiringi hasil
Kepribadian
Kognisi
Afeksi
Sikap
Persepsi
Objek sikap
Pengalaman Pengetahuan
Keyakinan Proses belajar
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh
Evaluasi
Senang/ tak senang
23 kognisi terhadap objek sikap sebagai aspek evaluatif, yang dapat bersifat positif
atau negatif. Keadaan lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap objek
sikap maupun pada individu yang bersangkutan.
Bagan mengenai persepsi yang dikutip dari Walgito dimodifikasi menurut
alur pemikiran oleh peneliti sehingga menjadi seperti pada bagan 2.2 di bawah ini.
Bagan 2.2 Bagan persepsi yang sudah dimodifikasi
Pada bagan 2.2 menjelaskan alur proses terjadinya persepsi. Pengalaman
dapat membentuk persepsi, pengalaman dapat berupa hasil belajar dan pemikiran
subjek terhadap objek. Lalu persepsi akan mempengaruhi sikap yang diambil
subjek, sikap ini dapat berupa kepercayaan, perilaku dan perasaan. Selanjutnya
sikap dapat dibuktikan dengan tindakan.
Pada kondisi belajar mengajar, siswa mempunyai persepsi terhadap
pembelajaran yang diterapkan oleh guru di kelas dan guru juga mempunyai
persepsi terhadap keefektifan dari metode yang digunakannya. Pada pembelajaran
matematika dilakukan dengan menggunakan alat peraga Montessori yang relatif
baru baik bagi siswa maupun bagi guru. Siswa diharapkan secara aktif
menggunakan objek yang konkret atau nyata dalam menyelesaikan permasalahan
matematikanya. Jika siswa dan guru memiliki persepsi yang positif mengenai alat
peraga, maka intensi siswa dan guru dalam memanfaatkan alat peraga tersebut
semakin besar. Di sinilah letak persepsi itu mulai berperan dalam proses transfer
pengetahuan dengan menggunakan alat pembelajaran yang baru.
Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menyimpulkan bahwa persepsi
guru dan siswa terhadap penggunaan alat peraga Montessori akan terlihat persepsi
Persepsi
Sikap
Tindakan Pengalaman
Kepercayaan
Perilaku
Perasaan Hasil belajar
24 positif dan negatif. Persepsi positif dapat terlihat intensitas penggunaan alat
peraga dalam pembelajaran semakin sering terlihat guru dan siswa memanfaatkan
alat peraga tersebut dalam pembelajaran, begitu pula dengan persepsi negatif
dalam penggunaanya terlihat ketidakantusiasan guru dan siswa dalam
menggunakan alat peraga dalam kegiatan pembelajaran.
2.2Hasil Penelitian yang Relevan
2.2.1 Alat Peraga
Penelitian yang dilakukan oleh Nur (2009) tentang peningkatan prestasi
belajar matematika di kelas III SD pada materi pecahan menggunakan alat peraga.
Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan prestasi belajar matematika
khususnya pada materi pecahan dengan alat peraga kertas karton berwarna.Jenis
penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Subjek dari penelitian
adalah siswa kelas III SD N Depok 1.Metode pengumpulan data meliputi
observasi dan tes.Penelitian ini terdiri dari dua siklus.Hasil dari penelitian ini
adalahmenunjukkan bahwa prestasi belajar matematika kelas III khususnya pada
materi pecahan dalam tema pekerjaan dimana setelah diberikan tindakan berupa
pembelajaran menggunakan alat peraga kertas karton berwarna mengalami
peningkatan dan dinyatakan berhasil mencapai indikator keberhasilandalam dua
siklus pembelajaran. Nilai rata-rata siswa sebelum dilakukan tindakan hanya
sebesar 52,6 dengan tingkat ketuntasan hanya 38% naik menjadi 66,4 dengan
ketuntasan belajar sebesar 65% pada siklus I, selanjutnya pada siklus II nilai
rata-rata kembali naik menjadi 74,9 dengan ketuntasan sebesar 79%. Sedangkan untuk
penilaian aktifitas siswa selama siklus I dan siklus II terus mengalami peningkatan
untuk aspek positif dan penurunan pada aspek negatif dimana kedua aspek
tersebut dapat mencapai kategori sangat baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Chatarina (2011) tentang pengaruh alat
peraga terhadap antusiasme, minat dan kemampuan siswa SD. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pengaruh alat peraga terhadap
antusiasme, minat belajar, dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita
pembagian. Jenis penelitian ini adalah penelitian kombinasi kuantitatif dan
25 pengumpulan data yang digunakan adalah tes, observasi, dan wawancara.
Instrumen yang digunakan adalah lembar kerja, lembar soal, lembar pengamatan,
dan pedoman wawancara. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis
deskriptif dan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
alat peraga terhadap antusiasme siswa dalam menyelesaikan soal cerita pembagian
sebesar 55,56% untuk kelompok A dan 66,67% untuk kelompok B. Berdasarkan
hasil wawancara, antusiasme siswa sebesar 88,89% untuk kelompok A dan 100%
untuk kelompok B. Ada pengaruh alat peraga terhadap minat belajar; minat
terhadap kegiatan pembelajaran sebesar 77,78%, siswa yang merasa senang dan
santai untuk kelompok A sebesar 77,78% dan kelompok B sebesar 66,67%, siswa
yang berkonsentrasi dalam mengerjakan soal untuk kelompok A sebesar 33,33%
dan kelompok B sebesar 77,78%. Berdasar hasil wawancara minat siswa terhadap
matematika untuk kelompok A sebesar 66,67 dan kelompok B sebesar 77,78%.
Selain itu ada pengaruh alat peraga terhadap kemampuan siswa, kelompok B
menunjukkan peningkatan yang lebih baik daripada kelompok A.
Penelitian yang dilakukan oleh Mukti (2013) mengenai pengembangan alat
peraga Montessori geometri. Tujuan penelitian adalah untuk mengembangkan alat
peraga Montessori yang berkualitas untuk pembelajaran matematika khusunya
bidang geometri. Pengembangan alat yang sudah dibuat berupa rak papan pasir
bangun datar, bangun datarnya meliputi persegi, persegi panjang, segitiga. Hasil
menunjukkan bahwa penilaian terhadap alat peraga dari guru dan siswa
menunjukkan bahwa alat peraga yang dikembangkan memiliki kualitas yang
sangat baik untuk digunakan dalam pembelajaran matematika untuk keterampilan
geometri pada kelas III.
2.2.2 Metode Montessori
Penelitian juga dilakukan oleh Manner (2006) meneliti hubungan antara
pendidikan berbasis Montessori terhadap sekolah tradisional. Pengujian
ditunjukkan dengan pencapaian skor tes Stanford dalam aspek membaca dan
matematika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan yang signifikan
muncul pada tahun kedua dan ketiga yang menunjukkan bahwa program
26 Penelitian yang dilakukan oleh Frick dan Koh (2010) yang meneliti
penerapan kemandirian dan dampaknya terhadap motivasi intrinsik siswa dalam
bekerja di kelas Montessori. Penelitian ini dilakukan terhadap guru Montessori
dan asistennya serta 28 siswa Montessori umur 9-11 tahun. Hasil penelitian ini
menunjukkan guru dan asistennya memiliki strategi yang sesuai dengan filosofi
Montessori dalam mendukung kemandirian siswa melalui pemberian kesempatan
pada siswa untuk memilih sendiri jenis aktivitas yang akan dilakukannya dan
teman bekerjanya. Guru mengembangkan kemandirian berpikir siswa melalui
pemberian dorongan terhadap kebebasan berpikir siswa, inisiatif diri, dan
menghormati pendapat siswa. Dalam menerapkan kontrol, guru dan asistennya
mengakui dan menghargai perasaan siswa, mendukung rasional untuk tingkah
laku yang diharapkan, dan menekan kecaman.Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa siswa Montessori memiliki motivasi instrinsik dalam mengerjakan
tugasnya.Siswa Montessori memiliki kecenderungan untuk mengerjakan setiap
tugas belajarnya dikarenakan siswa menyadari pentingnya aktivitas tersebut untuk
dirinya dan tujuan yang dicapai dari aktivitas tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2007) mengenai kegiatan dan
hasil belajar siswa kelas I SD dengan metode Montessori. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui kegiatan dan hasil belajar siswa kelas 1 dengan
menggunakan metode Montessori pada bahasan membaca dan menulis lambang
bilangan menggunakan papan seguin. Penelitian ini melibatkan 4 siswa sebagai
subjek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan belajar yang
berlangsung dengan menggunakan alat peraga Montessori memungkinkan
terjadinya interaksi antara guru dan siswa, interaksi antara siswa dan guru, serta
interaksi antara siswa dan alat peraga. Selain itu juga dalam pembelajarannya
siswa menjadi aktif, dapat menjawab pertanyaan dari guru dan siswa merasakan
kenyamanan dalam belajar.
2.2.3 Persepsi
Penelitian yang telah dilakukan oleh Nilawati (2010) tentang pengaruh
persepsi siswa tentang metode pengajaran, media pengajaran dan pengelolaan
kelas terhadap prestasi belajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui