• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjawab Tantangan Penyediaan Air Bersih Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Menjawab Tantangan Penyediaan Air Bersih Jakarta"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Menjawab Tantangan Penyediaan Air Bersih Jakarta

1. Latar Belakang

Akses universal terhadap air minum yang aman adalah hak asasi manusia yang diakui oleh PBB melalui resolusi 64/292. Air adalah kebutuhan vital manusia dan setiap orang harus memiliki akses terhadap air minum yang aman. Air minum yang aman berarti “air yang diperlukan untuk setiap penggunaan pribadi atau rumah tangga harus aman, yang bebas dari mikro-organisme, bahan kimia, dan bahaya radiologis yang merupakan ancaman bagi kesehatan seseorang.”1 Penyediaan air minum yang paling mudah dijangkau adalah dengan melalui layanan air perpipaan yang disalurkan ke rumah warga.

Namun, di kota padat penduduk seperti Jakarta, menyediakan air minum yang aman melalui layanan air pipa adalah pekerjaan yang tidak mudah. Populasi DKI Jakarta mencapai 9,6 juta jiwa.2 Artinya, dengan menggunakan asumsi bahwa setiap individu membutuhkan 175 liter/hari, kebutuhan air Jakarta bisa mencapai lebih dari 900 juta m3/tahun,3 dan akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang cepat. Menyediakan air minum yang aman untuk permintaan sebesar ini adalah tantangan nyata yang mempengaruhi kehidupan jutaan orang.

Untuk memenuhi kebutuhan air, penduduk Jakarta umumnya bergantung pada dua sumber utama, yaitu melalui layanan air perpipaan dan air tanah. Air tanah menjadi sumber utama karena layanan air perpipaan baru bisa menyediakan 297 juta m3 setiap tahun. Sisanya, sekitar 600 juta m3/tahun, kemungkinan besar dipenuhi dengan air tanah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena

penggunaan air tanah memiliki risiko serius. Eksploitasi air tanah yang berlebihan menyebabkan masalah lingkungan seperti penurunan tanah dan intrusi air laut. Selain itu, air tanah Jakarta rentan terhadap masalah kesehatan, seperti adanya kontaminasi E coli yang tinggi yang ditengarai

mencapai 90%.4

Oleh karena itu, ketersediaan layanan air pipa di lingkungan perkotaan seperti Jakarta merupakan hal yang penting. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa peningkatan akses air perpipaan di daerah perkotaan dapat secara drastis mengurangi kematian akibat infeksi. Kurangnya akses terhadap air minum yang aman, di sisi lain, telah menyebabkan “Hampir setengah dari penduduk kota di Afrika, Asia, dan Amerika Latin menderita setidaknya satu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan air bersih dan sanitasi.”5

Di Jakarta, layanan air perpipaan adalah tanggung jawab PAM Jaya, sebuah perusahaan daerah milik DKI yang bekerja sama dengan dua operator swasta, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra), untuk memberikan layanan kepada pelanggan. Kerjasama antara PAM Jaya dan operator swasta menggunakan model Built, Operate, and Transfer (BOT).6 PAM Jaya menyerahkan usahanya (atau sebagian dari usahanya) melalui konsesi, untuk dikembangkan dan akan

dikembalikan lagi oleh mitra swasta pada tahun 2022.7 Palyja memberikan layanan untuk bagian barat kota, sedangkan Aetra bagian timur.

(2)

Lebih dari separuh perjalanannya, privatisasi diwarnai dengan hasil kinerja yang tidak memuaskan. Jangkauan layanan masih rendah, pelanggan sering mendapati sambungan air mereka mati, tingkat kebocoran yang tinggi, dan tarif air yang melambung. Penduduk yang menggunakan air perpipaan untuk air minum juga masih rendah. Menurut studi Universitas Indonesia, penduduk yang

menggunakan air perpipaan untuk minum hanya 24,4% (melalui penjual), dan 11,3% (melalui langganan pipa).8 Masih jauh bagi Jakarta untuk bisa menyediakan layanan air siap minum.

Masyarakat masih akan tergantung pada air kemasan, yang bisa menimbulkan masalah lain seperti keterjangkauan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, limbah, risiko kesehatan, dan sebagainya.

Peningkatan layanan air minum di Jakarta adalah agenda yang mendesak. Dengan asumsi bahwa batas aman penggunaan air tanah adalah 212 juta m3/tahun,9 layanan air pipa perlu menutup defisit pasokan air sebanyak 411 juta m3/tahun. Layanan juga harus mampu mengantisipasi populasi yang tumbuh 2% per tahun. Untuk mendorong masyarakat beralih ke air pipa, Pemprov DKI melalui PAM Jaya juga perlu membuat kebijakan tarif yang terjangkau. Tarif air di Jakarta saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tarif air di kota-kota besar lain di Indonesia.

Layanan air yang masih buruk tersebut telah menimbulkan ketidakpuasan baik masyarakat maupun pemerintah. Pemerintah telah berusaha untuk mengambil alih layanan air dari operator swasta melalui pembelian saham. Dengan beralasan bahwa denda penalti akan lebih sedikit, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana untuk membeli saham operator swasta melalui Jakarta Propertindo (Jakpro), sebuah perusahaan daerah milik DKI yang bergerak di bidang real estate. Jakpro akan melanjutkan sistem yang sama yang digunakan oleh operator swasta, salah satu alasan mengapa rencana pemerintah ini dianggap sebagai akal-akalan bisnis belaka.

Sementara itu, masyarakat menginginkan privatisasi layanan air benar-benar berakhir. Melalui gugatan warga negara terhadap privatisasi air, mereka ingin perjanjian kerjasama yang memberikan hak penuh untuk operator swasta untuk memberikan layanan air dinyatakan batal demi hukum. Pengelolaan air harus menjadi tanggung jawab PAM Jaya lagi, sesuai dengan amanat hukum, sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Daerah 13/1992, UUNo. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan interpretasi Mahkamah Konstitusi atas Pasal 5 UU No. 7 Tahun 2004 Sumber Daya Air.

Di samping peningkatan layanan air pipa, Jakarta memiliki pekerjaan rumah yang lebih besar lagi untuk meningkatkan sistem sanitasi, yang saat ini praktis terabaikan. Layanan sanitasi dikelola terpisah dari layanan air pipa oleh PAL Jaya, juga sebuah perusahaan daerah milik DKI. Saat ini, cakupan layanan PAL Jaya masih kurang dari 5 persen; 70 persen penduduk menggunakan septic tank dan 11 persen lainnya membuang limbah domestik secara langsung ke lingkungan.10 Sistem sanitasi diperlukan untuk mengurangi kontaminasi terhadap sumber daya air.

Untuk meningkatkan pelayanan air, PDAM perlu langkah besar untuk meningkatkan air curah dan air olahan, meningkatkan produksi air, dan mengurangi kebocoran. Selain itu, PDAM perlu membangun instalasi pengolahan air baru, memelihara dan mengoptimalkan instalasi pengolahan air yang ada, memperbaiki jaringan air, dan mengintegrasikan pengelolaan air dengan sanitasi.

Meskipun demikian, sebelum mengambil langkah-langkah tersebut, Jakarta harus terlebih dahulu bersikap tegas dalam memutuskan siapa yang akan mengelola layanan air.

(3)

2. Layanan Air di Jakarta 2.1. Pengelolaan Layanan Air

Keterlibatan sektor swasta dalam pelayanan air Jakarta mulai dirintis pada bulan Juni 1991 melalui pinjaman Bank Dunia untuk perbaikan infrastruktur sanitasi senilai USD 92 juta yang juga didukung oleh Dana Kerjasama Ekonomi Jepang, kepada PAM Jaya. Kedua lembaga inilah yang

mempromosikan privatisasi layanan air di Jakarta, sampai dua perusahaan air asing masuk.

Sektor swasta secara resmi terlibat dalam layanan air Jakarta pada tahun 1997, ketika kekuasaan Soeharto masih solid. Thames Water Overseas Ltd berhasil mengambil bagian dalam bisnis air ini melalui Sigit Harjojudanto, putra Soeharto, sementara GDF Suez menjalin kerjasama dengan Anthony Salim. Dua perusahaan tersebut kemudian membentuk dua operator air, yaitu Palyja dan Aetra, yang diberikan hak untuk memberikan layanan air masing-masing separuh wilayah Jakarta.

Saham mayoritas Palyja, sebanyak 51%, dimiliki oleh Suez Environment, sebuah perusahaan utilitas Perancis, dan sisanya sebaganyak 49% saham dimiliki oleh Astratel Nusantara, perusahaan

infrastruktur yang berbasis di Indonesia. Saham mayoritas Aetra (95%) dimiliki oleh Acuatico PTE. LTD., sebuah perusahaan investasi yang berbasis di Singapura, yang pada tahun 2007 mengakuisisi saham dari Thames Water Overseas Limited, dan 5% saham sisanya dimiliki oleh PT Alberta Utilities, sebuah perusahaan yang berbasis di Indonesia.

Setelah penandatanganan pada 1997, perjanjian kerja sama antara PAM Jaya dan dua operator swasta mengalami amandemen, pernyataan kembali, serta proses renegosiasi kontrak yang rumit dan berkepanjangan. Perjanjian kerjasama diubah pada tahun 2001 untuk menyesuaikan dengan situasi ekonomi dan politik setelah krisis 1998. Perjanjian kerja sama tersebut dinyatakan kembali pada tanggal 22 Oktober 2001. Perjanjian kerja sama versi tahun 2001 ini diikuti oleh rebasing, yaitu perubahan target lima tahunan yang harus dipenuhi oleh operator swasta. Rebasing sejauh ini telah dilakukan untuk periode 2003-2007 dan 2008-2012. Dalam proses rebasing inilah yang oleh sejumlah pihak diyakini rentan terhadap korupsi karena PAM Jaya sering dengan mudah menyutujui untuk menurunkan target kinerja operator swasta.

Pergantian pucuk pimpinan pada tahun 2010 membuat PAM Jaya untuk pertama kalinya mulai menyuarakan ketidakpuasan terhadap perjanjian kerja sama dengan mitra swasta. Perjanjian dianggap menimbulkan kerugian keuangan yang besar bagi PAM Jaya, dan pada saat yang sama kinerja operator swasta tidak membaik. Pada akhir 2011 PAM Jaya mengusulkan renegosiasi kontrak. Saat itu direktur PAM Jaya Maurits Napitupulu menyuarakan dengan keras dampak buruk yang ditimbulkan privatisasi terhadap PAM Jaya. Jika privatisasi diteruskan hingga masa berlakunya habis pada tahun 2022, PAM Jaya bisa menanggung kerugian hingga Rp18,2 triliun. Tidak

mengherankan jika Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyebut perjanjian kerjasama tersebut “gila”.

Proses renegosiasi tidak berjalan mulus. Aetra adalah yang pertama berkompromi untuk menerima renegosiasi kontrak. Beberapa item yang dinegosiasikan diterima sebagai addendum perjanjian kerja sama pada bulan Desember 2012. Item yang disetujui adalah permintaan PAM Jaya untuk

menurunkan Internal Rate of Return (IRR), yang dinilai terlalu tinggi, dari 22% menjadi 15,8%; menghapus Rp330 miliar utang akibat shortfall; dan menurunkan tingkat kebocoran dari 29%

(4)

menjadi 25%. Sementara Palyja, hingga laporan ini ditulis, masih menolak melakukan renegosiasi kontrak.

Akhirnya pada Maret 2013 Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menyatakan bahwa privatisasi layanan air akan diakhiri. Jakarta telah jemu dengan masalah yang disebabkan oleh privatisasi layanan air.

Koalisi masyarakat dan Serikat Pekerja PDAM (SP-PDAM) Jakarta telah jauh lebih awal menentang privatisasi. Telah banyak unjuk rasa dan diskusi publik diselenggarakan untuk mendorong

kembalinya layanan air ke tangan publik. Resistensi terus meningkat sampai Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), yang merupakan koalisi LSM, pelanggan, dan warga Jakarta, melaporkan kasus korupsi yang diduga melibatkan PAM Jaya dan kedua operator swasta ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Januari 2012, serta mengajukan gugatan warga negara menentang privatisasi layanan air ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada April 2013.

Meskipun pemerintah dan masyarakat sipil sepakat bahwa privatisasi harus berakhir, kedua pihak memiliki pandangan yang berbeda mengenai siapa yang semestinya mengelola layanan air. Sebagian LSM dan warga, melalui gugatan warga negara, menuntut agar pengelolaan air dikembalikan pada PAM Jaya. Pemerintah, di sisi lain, berencana untuk mengambil alih layanan air melalui PT Jakarta Propertindo. Untuk menjalankan rencana itu pemerintah bahkan mendesak masyarakat sipil untuk menarik gugatan warga negara.11

2.2. Privatisasi Bermasalah

Privatisasi layanan air di Jakarta sudah bermasalah mulai dari perjanjian kerja sama antara PAM Jaya dengan dan dua operator swasta. Sejumlah masalah yang terjadi saat ini, seperti menumpuknya utang PAM Jaya, layanan air yang buruk, dan tarif air yang tinggi, pada dasarnya disebabkan oleh perjanjian kerja sama tersebut. Sementara perjanjian kerja sama menjamin keuntungan bisnis pihak swasta, PAM Jaya dan pelanggan harus menanggung kerugian dan biaya tinggi yang ditimbulkan oleh pengelolaan keuangan operator swasta.

Masalah yang menonjol dari perjanjian kerja sama ini adalah penekanan pada keuntungan bisnis operator swasta. Mekanisme Pembayaran dari PAM Jaya kepada operator swasta yang diterapkan dalam perjanjian kerja sama disebut “water charge”, atau imbalan air. Uniknya, penetapan imbalan air tidak berkaitan dengan penetapan “water tariff”, atau tarif air. Pasal 28.1 poin e menyatakan bahwa imbalan air pada awalnya, yaitu 1 April 2001, adalah Rp2.400, dan akan disesuaikan setiap enam bulan.

Imbalan air yang dapat bebas dinaikkan terlepas dari kebijakan tarif air ini menjamin operator swasta untuk mendapatkan jaminan pendapatan yang tinggi. Sementara bagi PAM Jaya, jika kenaikan imbalan air tidak diikuti dengan kenaikan tarif air, maka akan terjadi shortfall. Pemerintah terpaksa mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan tarif air untuk naik secara otomatis setiap enam bulan, mulai 23 Juli 2004 sampai dengan 2007, untuk menghindarkan PAM Jaya dari kerugian finansial. Tidak mengherankan jika kemudian tarif air di Jakarta menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya.

(5)

Pendapatan dari tarif air dibagi sesuai dengan Pasal 28. Bagian PAM Jaya meliputi biaya bulanan, pembayaran utang kepada Kementerian Keuangan, biaya Badan Regulator, dan porsi pendapatan untuk pemerintah provinsi Jakarta. Namun, ketentuan ini tidak dengan sendirinya memberikan keuntungan bagi PAM Jaya karena jika seluruh pendapatan tidak dapat menutupi imbalan air yang harus dibayar ke operator swasta, PAM Jaya harus menanggung kekurangan dari selisih antara tarif air dan imbalan air.

2.2.1. Perjanjian Kerja Sama dan Kinerja Operator Swasta

Tujuan pelibatan sektor swasta dalam layanan air salah satunya disebutkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No 21 Tahun 1996 yang kurang lebih untuk meningkatkan layanan air. Perjanjian kerja sama juga menyebutkan tujuan serupa, seperti tercantum dalam poin 2.2, di antaranya adalah pengembangan prasarana air, peningkatan distribusi layanan air, menjamin kuantitas, kualitas, dan kontinuitas layanan air, dan mengurangi tingkat kehilangan air.

Akan tetapi, selanjutnya kontrak kerja sama justru memberi kelonggaran target kinerja pada pihak swasta. Ini tercantum dalam klausula 20 untuk Target Teknis dan klausula 21 untuk Standar Pelayanan. Aturan tentang target kinerja yang penting bagi publik ini dibuat sedemikian rupa agar bisa dihindari oleh swasta. Klausula 20 poin a, misalnya, menyatakan bahwa target teknis dapat diubah dari waktu ke waktu sejalan dengan Proyeksi Keuangan. Sebagaimana klausula ini, standar pelayanan juga bisa diubah dari waktu ke waktu.

Kualitas layanan air yang sangat tergantung dari target teknis dan standar pelayanan semakin sulit untuk ditingkatkan karena kontrak kerja sama memberikan keleluasaan untuk mengubah target. Swasta bisa mengajukan penyesuaian target jika ada muncul masalah mengenai air baku (Klausula 11 hal. 64 kontrak kerja sama dengan Palyja). Target teknis dan standar pelayanan juga bisa

diturunkan Jika PAM Jaya gagal dalam usaha menutup sumur dalam milik warga di daerah yang telah terjangkau jasa layanan mitra swasta (Klausula 12 poin c), serta sejumah situasi lain yang membuat target kinerja diturunkan.

Kelonggaran kontrak kerja sama terhadap pencapaian target kinerja mitra swasta ini membuat layanan air tak kunjung membaik, dan pada gilirannya menjadikan pelanggan sebagai korban. Mitra swasta bahkan terus gagal mencapai target sekalipun target tersebut telah diturunkan dari waktu ke waktu.

Hal ini dapat dilihat dari evaluasi kinerja layanan air oleh Badan Regulator PAM Jaya (BR PAM Jaya). BR PAM Jaya adalah sebuah lembaga yang didirikan untuk memfasilitasi perjanjian kerjasama antara PAM Jaya dengan operator swasta. Salah satu tugas utamanya adalah untuk mengevaluasi kinerja pelayanan air perpipaan di Jakarta. Pada tahun 2008, BR PAM Jaya menerbitkan evaluasi kinerja selama sepuluh tahun privatisasi yang dapat diakses oleh publik. Setelah evaluasi ini hampir tidak ada lagi pengungkapan kinerja operator swasta secara lengkap ke publik.

Menurut BR PAM Jaya (Lanti et al 2008), operator swasta gagal untuk memenuhi beberapa target. Operator swasta gagal secara signifikan dalam rasio cakupan pelayanan, yang merupakan rasio layanan terhadap populasi. Dua operator hanya mampu meningkatkan rasio cakupan layanan sebesar 62,21% dari target 74,55% sebagaimana diamanatkan perjanjian kerjasama. Tidak hanya

(6)

gagal memenuhi target, operator swasta juga dianggap menggunakan parameter yang tidak realistis karena. Menurut BR PAM Jaya, rasio cakupan yang lebih realistis adalah 42,92% (Lanti dkk, 2008: 126). Ini berarti lebih dari setengah penduduk Jakarta tidak memiliki akses terhadap layanan air perpipaan.

Data terbaru rasio cakupan layanan disediakan oleh Persatuan Perusahaan Air Minum Indonesia (Perpamsi), sementara operator swasta tidak menampilkan rasio cakupan layanan mereka di situs resmi. Menurut Perpamsi, rasio cakupan pelayanan kedua operator pada tahun 2010 masih di level 63,93% untuk Palyja dan 65% untuk Aetra.

Tingkat kebocoran, atau Non Revenue Water (NRW), setinggi 41,8%,12 jauh dari target yang

disebutkan dalam perjanjian kerjasama, yaitu 30%. Menurut peraturan Menteri Dalam Negeri No. 47 tahun 1999, maksimal tingkat NRW adalah 20%.

2.2.2. Kepentingan Bisnis Swasta

Ketentuan dalam kontrak kerja sama yang sangat melindungi kepentingan bisnis mitra swasta adalah Proyeksi Keuangan dalam Klausula 27. Proyeksi keuangan inilah yang menentukan besaran imbalan air. Mitra swasta sangat terjamin mendapatkan keuntungan bisnis karena segala faktor yang tidak terkontrol dimasukkan dalam penghitungan imbalan air, seperti inflasi, fluktuasi nilai tukar, dan suku bunga.

Lazimnya dalam bisnis, perusahaan harus membayar sejumlah uang tertentu untuk melakukan hedging untuk menghilangkan resiko nilai tukar. Lain halnya dalam kasus ini, mitra swasta bukan hanya terbebas dari risiko tapi juga bisa memperoleh keuntungan lebih dari fluktuasi nilai tukar. Demikian juga halnya jika ada perubahan dalam hal tarif pajak, maka imbalan air disesuaikan dengan memperhatikan setiap kerugian yang diderita atau keuntungan yang didapatkan oleh mitra swasta (Klausula 38.5).

Selain itu, jika terjadi keadaan darurat yang memerlukan rencana tindakan (misalnya terjadi kekeringan dan warga memerlukan pasokan air), maka seluruh biaya dan pengeluaran yang dikeluarkan oleh mitra swasta diakui sebagai jumlah terhutang PAM Jaya kepada mitra swasta (Klausula 36.2).

Kontrak kerja sama bahkan lebih jauh lagi memberikan jaminan pada mitra swasta untuk

memperoleh keuntungan sebesar 22% melalui persyaratan Internal Rate of Return dalam Klausula 27.1. Pengembalian keuntungan ini terlalu tinggi, terlebih jika dibandingkan dengan rekomendasi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahwa tingkat keuntungan untuk layanan air Jakarta yang wajar adalah 14,68%.

Meskipun kontrak kerja sama menimbulkan setumpuk persoalan, pengakhiran atau terminasi kontrak sebelum habis masa kerja sama bisa membuat pihak I (PAM Jaya) harus membayar dalam jumlah besar (Klausula 41, 42, dan 43). Baik karena keadaan kahar, pengakhiran dengan sendirinya, pengakhiran sepihak oleh pihak I, pengakhiran sepihak oleh pihak II, maupun melalui

(7)

Inilah kontrak kerja sama yang memberikan pihak swasta jaminan keuntungan yang

sebesar-besarnya dengan risiko bisnis yang sekecil-kecilnya. Di sisi lain, PAM Jaya, dan pada gilirannya publik, harus menanggung kerugian yang besar sementara mendapatkan layanan air yang buruk.

2.3. Dampak Privatisasi

Air keran yang mati adalah persoalan yang sangat sering dialami penduduk Jakarta. Sepanjang 2013 saja, perusahaan air minum Jakarta PAM Jaya mencatat bahwa ada hampir 40 ribu keluhan air mati.13 Di kota dengan penduduk yang padat dan terbatasnya sumber air bersih, air keran yang mati tentu menjadi persoalan yang serius.

Tingginya kasus mati air ini terjadi setelah lima belas tahun layanan air Jakarta diprivatisasi, dan hanya satu dari setumpuk persoalan lain. Pada 1998 PAM Jaya memulai kerja sama konsesi dengan dua operator swasta yang saat ini dijalankan oleh Palyja dan Aetra. Alasan privatisasi, yang kemudian menjadi ironi, adalah untuk meningkatkan layanan air.

Pada praktiknya, privatisasi layanan air memang banyak mengalami kegagalan. Beberapa sebabnya adalah karena tingginya tarif; tidak ada keberpihakan terhadap kelompok miskin untuk

mendapatkan akses terhadap air bersih; orientasi keuntungan; rendahnya akuntabilitas yang mendorong praktik korupsi; swasta yang malas menambah jaringan perpipaan yang membutuhkan biaya besar; pembiayaan membengkak; pengurangan tenaga kerja untuk efisiensi yang justru berisiko terhadap kualitas layanan; tekanan utang luar negeri bagi negara miskin; serta sulitnya pemerintah untuk lepas dari kerja sama privatisasi.14

2.3.1. Tarif Meroket

Selama privatisasi, tarif layanan air telah dinaikkan hingga sepuluh kali. Pada awal konsesi, tarif rata-rata air di Jakarta adalah Rp. 1.700/m3, kemudian dinaikkan terus dengan empat di antaranya terjadi hanya pada rentang waktu antara 2004 hingga 2007 melalui kebijakan Penyesuaian Tarif Otomatis (PTO I). Kebijakan yang terpaksa diambil pemerintah karena swasta terus meningkatkan imbalan air. Penyesuaian tarif otomatis kemudian tidak dilanjutkan lagi karena pemerintah menganggap tarif sudah terlalu tinggi dan kinerja swasta banyak yang di bawah target.

Saat ini, rata-rata tarif air di Jakarta Rp 7.020/m3, yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia.

Table 1: Perbandingan tarif rata-rata air sejumlah kota besar di Indonesia (2012)

Kota Tarif (per m3)

1 Jakarta Rp 7.020

2 Surabaya Rp 2.600

3 Medan Rp 2.294

4 Bekasi Rp 2.300

(8)

6 Semarang Rp 2.600

Sumber: (1), (2), (4) TribunNews (31/01/2012); (3) Bisnis Indonesia (24/09/2012); (5) Department of Public Works; (6) Okezone (10/05/2012)

Tarif yang tinggi disebabkan karena swasta terus menuntut peningkatan biaya yang dibebankan dalam imbalan air. Pada 2009, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan bahwa swasta ternyata sangat tidak efisien dalam menyusun biaya tersebut. Di Palyja, sebagai contoh, terdapat komponen biaya sekolah anak, biaya perjalanan pribadi, biaya rumah sewa, dan sejumlah biaya lain untuk personel ekspatriat, yang tidak terkait dengan investasi layanan air, yang jumlahnya mencapai Rp. 3,9 miliar.15 Biaya seperti ini yang kemudian harus ditanggung PAM Jaya, dan pada gilirannya pelanggan, yang di saat bersamaan menerima layanan air yang buruk dari operator swasta.

2.3.2. Kinerja Buruk

Pelanggan yang sering mengeluhkan air mati adalah dampak dari kinerja operator swasta yang terus gagal mencapai target. Salah satu targetnya adalah jangkauan layanan sebesar 66,37%, tetapi operator swasta hanya mampu mencapai 59,01%.16 Dengan kata lain, sekitar separuh dari warga Jakarta tidak mendapat akses terhadap layanan air bersih. Tingkat kebocoran mencapai 44 persen, lebih tinggi dari rata-rata tingkat kebocoran secara nasional, yaitu 31 persen.17 Semakin tinggi tingkat kebocoran, semakin tidak efisien kinerja layanan air.

Pelanggan menerima layanan air yang buruk. Kasus yang paling banyak ditemui adalah air mati hingga berjam-jam dan bahkan berhari-hari. Terutama di daerah dengan mayoritas masyarakat berpenghasilan rendah di Jakarta Utara, penduduk harus membeli air jirigen dengan harga yang jauh lebih tinggi dari tarif air. Untuk menggunakan air jirigen tersebut, warga harus mengeluarkan uang sekitar Rp. 15.000/hari, jumlah yang sangat mahal bagi warga yang memiliki pendapatan harian kurang dari Rp. 30.000.18

Buruknya kinerja disebabkan karena swasta hanya berusaha mengejar keuntungan tanpa mau menginvestasikan keuntungan tersebut untuk peningkatan layanan air.

2.3.3. Kerugian Negara

Privatisasi membuat PAM Jaya mengalami kerugian keuangan yang besar. Pada 2011, ketika Presiden Direktur PAM Jaya mengajukan renegosiasi kontrak, kerugian PAM Jaya dirinci mencakup akumulasi kerugian shortfall sebesar Rp 610 miliar, tunggakan Rp 530 miliar, ekuitas perusahaan minus Rp 985,7 miliar, serta aset yang turun dari sebelum kerja sama senilai Rp 1,49 triliun menjadi hanya Rp 204,46 miliar.19 Melalui support letter yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi DKI, utang PAM Jaya ini pada gilirannya menjadi tanggungan negara. Padahal, menurut estimasi Presdir PAM Jaya, apabila kontrak kerja sama diteruskan PAM Jaya akan menderita akumulasi kerugian mencapai Rp 18,2 triliun.

(9)

Kerugian ini menunjukkan bahwa sistem privatisasi memang didesain untuk menjamin keuntungan bisnis bagi operator swasta, sementara biaya yang tinggi harus ditanggung oleh negara, PAM Jaya, dan pelanggan.

2.3.4. Rawan Korupsi

Salah satu karakter privatisasi adalah minimnya transparansi dan akuntabilitas. Hal yang paling mendasar saja, yaitu kontrak kerja sama antara PAM Jaya dan operator swasta, tidak pernah dibuka bagi publik sampai tahun 2013 ketika pemprov DKI mulai mempertimbangkan mengakhiri kerja sama dengan operator swasta. Padahal kontrak ini mempengaruhi pemenuhan kebutuhan air jutaan warga Jakarta.

Tidak mengherankan jika kasus korupsi juga muncul. Pada Januari 2012 Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Layanan Air Jakarta (KMMSAJ) melaporkan dugaan kasus korupsi yang melibatkan PAM Jaya dan dua operator swasta ke KPK. Kasus korupsi yang saat ini tengah disidik oleh KPK ini nilai kerugiannya diperkirakan sebesar Rp 561 miliar.20 Majalah Tempo, yang melakukan investigasi kasus ini, menemukan adanya kaitan antara kasus korupsi ini dengan pemilihan kepala daerah tahun 2012 di DKI Jakarta.21

Privatisasi layanan air Jakarta diawali dengan proses yang sarat nuansa Korupsi Kolusi dan Nepotisme era Orde Baru. Hingga saat ini, nuansa KKN tersebut masih bertahan.

3. Langkah untuk Mengatasi Persoalan

Sebagaimana telah dipaparkan, privatisasi yang diharapkan meningkatkan kinerja layanan air Jakarta pada kenyataannya mengalami banyak kegagalan. Bertolak belakang dengan pengalaman Jakarta, sejumlah PDAM di Indonesia yang masih dikelola oleh publik, dalam artian masih menjadi milik pemerintah dan tidak melakukan konsesi dengan swasta, justru mencatatkan kinerja yang sangat baik, jauh melampaui layanan air di Jakarta. Ini menunjukkan bahwa dalam hal layanan air,

pengelolaan oleh publik terbukti lebih baik dan efisien, serta tarif terjangkau, dibandingkan swasta.

Tabel 2. Perbandingan kinerja PDAM Indonesia

PDAM Tarif Rata-rata Tingkat

kebocoran (%) Jangkauan layanan (%) 1 Surabaya 2.800 34 87 2 Palembang 3.800 30 93 3 Banjarmasin 4.120 26 Nearly 100 4 Medan 2.300 27 69 5 Malang 4.000 30 84 6 Jakarta 7.800 45 46

Perbandingan yang paling dekat dengan Jakarta adalah Surabaya. Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia, dengan karakteristik yang hampir serupa dengan Jakarta: jumlah penduduk yang

(10)

besar, aktivitas ekonomi yang tinggi, dan wilayah layanan yang luas, yang berarti permintaan terhadap air bersih juga tinggi. Akan tetapi berbeda dengan Jakarta, yang jangkauan layanannya hanya 46%, jangkauan layanan PDAM surabaya mencapai dua kali lipatnya, yaitu 87 persen.

Jangkauan layanan, atau service coverage ratio, adalah perbandingan jumlah sambungan dengan jumlah populasi. Ini adalah salah satu indikator penting yang menunjukkan seberapa luas sebuah PDAM bisa melebarkan jangkauan layanan dalam sebuah kota/kabupaten. Dengan jangkauan layanan 46%, artinya layanan air perpipaan di Jakarta hanya menjangkau kurang dari separuh populasi.

Pada 2013 PDAM Surabaya meraih penghargaan sebagai PDAM terbaik dari Perpamsi22 dengan kategori sambungan di atas 200.000, yang semestinya juga menjadi kategori operator swasta di Jakarta. Pada 2013 jangkauan layanan PDAM Surabaya juga meningkat lagi menjadi 90 persen.23 Dengan kinerja yang baik, tarif rata-rata di Surabaya hanya Rp. 2.800/m3, sangat jauh dibandingkan dengan Jakarta yang sampai Rp. 7.800/m3. Dengan perbedaan biaya hidup di Surabaya dan Jakarta yang hanya 20%,24 perbedaan tarif air sebesar 65% menunjukkan bahwa tarif air di Jakarta terlalu mahal atau overpriced . Dengan tarif air setinggi itu pun, perusahaan air minum Jakarta PAM Jaya masih menderita kerugian shortfall yang jumlahnya pada 2011 saja mencapai Rp. 610 miliar, dan akan terus bertambah karena swasta terus menuntut imbalan air yang lebih tinggi.

Dalam hal jangkauan layanan, PDAM Banjarmasin jauh lebih unggul dibandingkan dengan PDAM lain karena mencapai hampir mencapai seratus persen. Bukan hanya pada jangkauan layanan, tetapi juga pada tingkat kebocoran yang hanya 26 persen. Tingkat kehilangan air ini bukan hanya mempengaruhi kuantitas air yang diterima pelanggan, tetapi juga inefisiensi akibat banyaknya air yang diproduksi yang terbuang. Semakin rendah tingkat kebocoroan, semakin efisien produksi air PDAM, dan berarti semakin baik kinerjanya.

Di Jakarta, operator air swasta terus mengajukan penurunan target kebocoran (yang berarti dengan meningkatkan jumlah prosentase), yang pada 2013 menjadi setinggi 38,68 persen, yang itu pun gagal dipenuhi.25

Secara keseluruhan, tabel di atas menunjukkan bahwa dibandingkan dengan lima PDAM lain, yang masih dikelola oleh publik, kinerja PDAM Jakarta adalah yang paling buruk. PDAM Jakarta memiliki jangkauan layanan paling rendah dan tingkat kebocoran paling tinggi. Dengan kinerja yang buruk tersebut, PDAM Jakarta menetapkan tarif yang paling tinggi.

Ini adalah bukti konkret bahwa pengelolaan layanan air oleh publik lebih unggul. Kinerja yang buruk dan tarif yang tinggi adalah karakteristik layanan yang dijalankan operator swasta. Operator swasta memang pada dasarnya adalah profit-oriented, sehingga tidak mengherankan jika mereka lebih menekankan pada kepentingan bisnis (dapat dilihat dari tarif air yang sangat mahal) dan tidak memiliki komitmen yang cukup untuk memberi layanan yang baik kepada publik.

Data dalam tabel di atas adalah fakta sederhana: privatisasi telah gagal, dan layanan air publik lebih unggul. Tidak ada alasan bagi Jakarta untuk mempertahankan privatisasi layanan air.

(11)

3.1. Pilihan untuk “Remunisipalisasi”

Remunisipalisasi adalah proses pengembalian layanan publik dari tangan swasta kepada badan milik pemerintah. Inilah yang saat ini tengah diupayakan untuk layanan air Jakarta. Dalam pandangan pemerintah, pembelian saham Palyja melalui Jakpro merupakan proses remunisipalisasi. Jakpro adalah sebuah perusahaan milik pemerintah, sehingga pemerintah berdalih apabila pengelolaan dilakukan oleh Jakpro, privatisasi telah diakhiri. Akan tetapi, strategi ini sebenarnya tidak lebih dari pemberlakuan privatisasi dalam bentuk lain. Jakpro, meskipun saat ini dimiliki oleh pemerintah provinsi, akan dijual di pasar saham pada tahun 2015. Selain itu, Jakpro akan melanjutkan perjanjian kerja sama operator swasta.

Di saat yang sama, masyarakat sipil secara tegas menginginkan layanan air dikembalikan kepada PAM Jaya. PAM Jaya adalah perusahaan daerah yang memiliki mandat hukum, kompetensi, dan pengalaman dalam memberikan layanan air. Berikut adalah perbandingan lebih lanjut antara pengelolaan air oleh Jakpro dengan PAM Jaya.

Tabel 3: Perbandingan pengelolaan layanan air oleh PAM Jaya dan Jakpro

PAM Jaya Jakpro

PAM Jaya telah memiliki payung hukum untuk menjalankan layanan air minum, yaitu UU Sumber Daya Air No. 7/2004, PP 16/2005 Sistem Penyediaan Air Minum, dan Perda 11/1993, PERDA 13/1002.

Tidak memiliki payung hukum untuk

menjalankan layanan air, sehingga akan perlu proses yang panjang untuk bisa mulai bekerja.

Sebagai Perusahaan Daerah (PD), PAM Jaya didirikan untuk memenuhi kebutuhan air minum dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan PAD serta turut

melaksanakan pengembangan perekonomian daerah.

Kegiatan usaha pokok perusahaan sesuai anggaran dasarnya adalah bahwa perusahaan didirikan dengan maksud dan tujuan untuk menjalankan usaha di bidang real estate. Artinya, Jakpro tidak memiliki kecakapan di luar bidang yang sesuai dengan anggaran dasarnya. Kontrak privatisasi yang selama ini merugikan

PAM Jaya dan Pemprov diakhiri.

Kontrak privatisasi terus berlanjut, dan akan melebihi tahun 2022 untuk menutup biaya pembelian saham.

Pemprov memiliki kendali penuh terhadap layanan air Jakarta, sehingga sesuai dengan prinsip kedaulatan air.

Kontrol Pemprov kecil karena Pembangunan Jaya terdaftar di bursa, Jakpro 2015 terdaftar di bursa sehingga siapa saja dapat mengambil alih layanan air. Kontrol pengelolaan air di tangan investor.

Sebagai PD yang dimiliki oleh Pemprov, PAM Jaya memiliki potensi sebagai penyumbang PAD yang besar.

Ada atau tidaknya PAD ditentukan RUPS.

Sesuai dengan putusan MK UU SDA No. 7/2004, PDAM harus difungsikan sebagai unit

operasional negara dalam merealisasikan

kewajiban negara dan bukan sebagai perusahaan yang berorientasi pada keuntungan ekonomis.

Orientasi usahanya komersial untuk kepentingan mencari keuntungan.

Memiliki tim yang berpengalaman melaksanakan proses produksi air.

Masih perlu adaptasi terhadap pengetahuan dan teknologi pengelolaan air.

Tidak perlu modifikasi manajemen untuk menjalankan layanan air.

Apabila dipaksakan mengoperasikan air di Jakarta perlu modifikasi manajemen di semua

(12)

lini. Perbaikan kesejahteraan karyawan melalui

efisiensi biaya dan perbaikan kinerja keuangan serta tidak adanya dualisme manajemen.

Kondisi karyawan tetap seperti sekarang karena adanya 2 manajemen

Biaya pengambilalihan yang lebih murah, yaitu jika 1) melalui perubahan peraturan (Pergub): Rp892 miliar 2) opsi membeli: a. Rp2,6 triliun (pasal 42.6.c) b. 1,9 triliun (pasal 42.6.d)

Biaya pengambilahannya besar, yaitu hingga Rp3,125 triliun, dan sesudah itu masih membutuhkan biaya yang besar lagi untuk pembuatan payung hukum, restrukturisasi perusahaan, dan transfer karyawan. Tarif air terjangkau karena didasarkan pada

biaya-biaya produksi riil.

Tarif air menjadi mahal karena menggunakan sistem imbalan yang menjamin keuntungan bisnis, sehingga masyarakat miskin tidak akan terlayani.

Tersedia cukup banyak fasilitas pendanaan biaya rendah bagi PDAM di Indonesia. Sebagai badan publik, PAM Jaya juga memiliki akses pendanaan biaya rendah dari lembaga keuangan

internasional.

Pendanaan komersial yang mahal.

Perbandingan di atas menunjukkan bahwa rencana untuk mengambil alih layanan air melalui Jakpro tidak mencerminkan kebijakan yang mewakili kepentingan publik. Untuk menghindari kesalahan yang sama yang telah terjadi sejak tahun 1998, pemerintah perlu mengambil solusi yang paling realistis: pelayanan air harus dibawa kembali ke PAM Jaya.

Dalam menjalankan rencana tersebut, beberapa pilihan yang tersedia adalah:

1. Melakukan opsi membeli (yang diatur dalam Pasal 42.6.c Perjanjian Kerjasama antara PAM Jaya dengan PALYJA), dengan akibat hukum PAM Jaya membayar kompensasi dengan nilai

Rp3.136.703.000.000.

Kelebihan: Mengacu pada prinsip-prinsip bisnis yang fair dan jujur sehingga citra bisnis di Indonesia terjaga dengan baik, mematuhi peraturan perundangan yang berlaku (menghargai kontrak dan pelaksanaan peraturan terkait pengelolaan air minum di Indonesia).

2. Berdasarkan Perjanjian Kerjasama Pasal 49.3 yang mengatur mengenai pemutusan kerjasama akibat perubahan peraturan perundangan, maka Gubernur membuat Peraturan Gubernur yang berintikan Pemprov menghentikan perjanjian kerjasama antara PAM Jaya dengan Palyja. Akibat hukum dari opsi ini adalah Pemprov membayar kompensasi senilai Rp892.000.000.000

Kelebihan: Citra Gubernur tegas, sesuai peraturan yang berlaku dan nilai kompensasi lebih kecil dari opsi no. 1.

3. Citizen Law Suit

Kelemahan: Memakan waktu yang cukup lama

(13)

4. Rencana Kerja Layanan Air

Dengan kinerja yang masih belum memadai, layanan air Jakarta perlu melakukan peningkatan besar-besaran. Strategi jangka pendek untuk meningkatkan layanan air di antaranya:

1. Memutuskan kontrak kerja sama dengan swasta.

2. Menyediakan air siap minum bagi masyarakat di public spaces seperti sekolah, rumah ibadah, dan tempat rekreasi khususnya di Jakarta Utara dan Barat.

3. Menyediakan air siap minum untuk penghuni rumah susun di Jakarta Barat/Jakarta Utara. 4. Program komunikasi publik untuk meningkatkan citra pengelolaan air di Jakarta untuk publik

nasional dan internasional.

Strategi jangka menengah mencakup:

1. Membangun instalasi pengolahan air di beberapa lokasi di Jakarta; 2. Meneruskan program akses air siap minum di rumah susun di Jakarta; 3. Menyediakan air siap minum bagi penduduk miskin Jakarta;

4. Mengelola ketersediaan air Jakarta terutama pada musin kemarau dan menghentikan ekstrasi air tanah secara bertahap.

Untuk dapat menjalankan strategi di atas, PAM Jaya perlu direformasi menjadi perusahaan air minum yang kuat dan kompeten. Tahapan reformasi PAM Jaya adalah:

1. Juni - Desember 2014

a. Restrukturisasi organisasi

b. Pengembangan SDM dan manajemen aset

c. Persiapan transfer sistem pelayanan dan sistem informasi d. Penyediaan air siap minum di lokasi publik tertentu e. Intensifikasi renegosiasi dengan Aetra

f. Persiapan pengembalian hak pengoperasian SPAM DKI Jakarta

g. Persiapan skema investasi dalam rangka pengembangan dan ketahanan SPAM DKI Jakarta

2. 2015 -2017

a. Persiapan dan pengembangan SDM b. Peningkatan kualitas pelayanan air minum

c. Pelaksanaan sistem pelayanan dan sistem informasi d. Pengembangan zona air siap minum

e. Penyelesaian pengembalian hak pengoperasian SPAM DKI Jakarta

f. Pelaksanaan investasi dalam rangka pengembangan dan ketahanan SPAM DKI Jakarta g. Pengembangan bisnis PAM Jaya (pengembangan bisnis jasa penilaian kualitas air/lab)

3. 2018 – 2022

a. Peningkatan kualitas dan cakupan pelayanan air minum b. Peningkatan sistem pelayanan dan sistem informasi c. Pengembangan zona air siap minum

(14)

e. Pengembangan bisnis PAM Jaya dalam rangka optimalisasi aset PAM Jaya.

5. Aspek Keuangan Pengambilalihan Layanan Air 5.1. Biaya

Tabel 4: Biaya pengambilalihan layanan air (dalam miliar rupiah)

5.2. Sumber Pendanaan

Sumber pendanaan untuk opsi membeli dan perubahan peraturan perundang-undangan dapat diperoleh dari:

1. Pinjaman bank komersial dengan system equal payment of the principal (pokok dibayar prorata selama periode pinjaman)

2. Penyertaan modal Rp 1 triliun untuk kompensasi ekuitas negatif ditambah pinjaman Rp 2 triliun dengan tenor 10 tahun dengan bunga 10%.

3. Pinjaman komersial senilai Rp 3 triliun dengan skema seperti poin (2).

4. Sumber dana untuk membayar pinjaman komersial di atas dapat diperoleh dari internal PAM Jaya yaitu dari:

a. Laba usaha Rp200 miliar per tahun

b. Biaya pembayaran pinjaman Bank Dunia yang akan berakhir pada 2016 dengan nilai cicilan Rp160 miliar per tahun

c. Biaya fee know how Rp20 miliar per tahun yang tidak perlu dibayarkan kepada swasta d. Total sumber pendanaan dari hasil operasi PAM Jaya adalah Rp380 miliar per tahun.

Sumber dana ini masih mungkin bertambah dengan dilakukan efisiensi lain-lain.

Dana yang tersedia akan semakin besar karena adanya efisiensi setelah pengelolaan air diambil alih dari operator swasta:

KOMPONEN

KOMPENSASI PALYJA AETRA TOTAL

NPV Earnings before

tax and inventory 1,452 1,301 2,753.1

Book value of asset

and Intangible asset 795.6 855 1,649.6

TERMINATION COST 2,247 2,156 4,403

Shortfall 333 283 616

(15)

Tabel 5: Efisiensi dari pemutusan kerja sama dengan operator swasta (dalam miliar rupiah)

EFFICIENCY ASPECTS PALYJA AETRA TOTAL PAM JAYA-REV TOTAL

Kompensasi manajemen

kunci 11.3 10 21.3 9.4 11.9

Gaji/upah karyawan 211 183 394 350 44

Asuransi 5.3 22.8 28 10 18

Perjalanan Dinas dan

Sewa 10.7 17.9 28.6 12 16.6 Jasa profesional 6.5 16.6 23 10 13 Pelatihan dan pendidikan 37.2 28.5 65.7 3 62.7 Representasi, jamuan, dan iklan. 3.2 4.3 7.5 3 4.5 Total 285 283 568 397 171 6. Simpulan

Privatisasi layanan air di Jakarta telah menimbulkan berbagai persoalan sementara kinerja layanan tidak membaik. Air pipa yang tidak mengalir adalah persoalan yang masih umum terjadi, setengah dari populasi tidak memiliki akses layanan air, dan tingkat kebocoran yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Dengan kinerja yang buruk seperti itu, tarif air di Jakarta telah meningkat sepuluh kali sejak awal privatisasi, menjadikannya tertinggi di antara tarif air kota-kota besar lain. Privatisasi telah menyebabkan kerugian finansial yang besar untuk PAM Jaya, yang harus ditanggung oleh anggaran publik. Mengakhiri privatisasi adalah satu-satunya pilihan yang realistis untuk Jakarta.

Namun, keputusan ini harus diambil dengan hati-hati. Strategi yang ditawarkan oleh pemerintah, yaitu mengambil alih layanan air melalui Jakpro, tidak benar-benar mewakili kepentingan

masyarakat terutama karena sistem privatisasi masih akan dilanjutkan. Kontrak Privatisasi harus dihentikan dan pengelolaan air dikembalikan pada PAM Jaya. Di Indonesia, layanan air yang dikelola PDAM terbukti lebih unggul. Keputusan ini harus diambil dengan cepat karena pemenuhan

(16)

Catatan Akhir

1 http://www.un.org/waterforlifedecade/human_right_to_water.shtml

2 http://jakarta.bps.go.id/index.php?bWVudT0yMzA0JnBhZ2U9ZGF0YSZzdWI9MDQmaWQ9MTE= 3 Including clean water needs of commuters and industries.

4

http://www.tribunnews.com/metropolitan/2011/06/07/90-persen-air-tanah-jakarta-mengandung-bakteri-e-coli

5 http://www.who.int/gho/urban_health/determinants/safe_water_text/en/

6 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhianie, Amandemen Kontrak Konsesi Air Jakarta (Semarang: Amrta Institute for

Water Literacy. 2007) h. 1.

7 Achmad Lanti, dkk, Sepuluh Tahun Kerjasama Pemerintah-Swasta pada Pelayanan Air PAM DKI Jakarta 1998-2008 (Jakarta: Badan Regulator PAM Jaya) p. 9

8 http://www.ylki.or.id/tantangan-pengelolaan-air-di-kota.html 9 40% dari ketersediaan air tanah

10 http://news.detik.com/read/2013/11/13/121632/2411672/10/2/sanitasi-jakarta-buruk-ini-penyebabnya 11 http://www.tempo.co/read/news/2014/06/02/231581732/Ahok-Marah-marahSaat-Ditanya-Kasus-PAM-Jaya 12 http://www.tribunnews.com/metropolitan/2014/03/24/kebocoran-air-tinggi-operator-pilih-bayar-denda 13 http://www.jpnn.com/read/2013/12/30/208221/Hampir-40-Ribu-Warga-Jakarta-Keluhkan-Air-Mati- 14 http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/whywaterprivatisationfails.pdf.pdf

15 Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pendapatan dan Biaya (Operasional dan Non-Operasional) Tahun Buku 2007

dan 2008 pada PAM Jaya

16 http://www.jpnn.com/read/2013/12/30/208221/Hampir-40-Ribu-Warga-Jakarta-Keluhkan-Air-Mati- 17 “PDAM Jakarta Kehilangan 7.500 Meter Kubik Air Per Detik”, Tempo, 16 Maret 2013,

(http://www.tempo.co/read/news/2013/03/16/090467457/PDAM-Jakarta-Kehilangan-7500-Meter-Kubik-Air-Per-Detik) 18 http://www.tribunnews.com/metropolitan/2012/06/28/faisal-berharap-pengelolaan-air-bersih-kembali-ke-warga 19 http://m.bisnis.com/industri/read/20111222/45/57497/pdam-jaya-klaim-terancam-merugi-rp18-2-triliun 20 http://www.tempo.co/read/news/2012/01/31/063380816/Diduga-Korupsi-Rp-561-Miliar-PAM-Jaya-Dilaporkan-ke-KPK

21 Majalah Tempo 14-20 Juli 2014, hal. 67. 22 http://perpamsi.or.id/news_detail.php?id=714

23 http://pdam-sby.go.id/page.php?get=jumlah_pelanggan_tahunan&bhs=1

24 http://www.beritasatu.com/makro/158457-biaya-hidup-di-jakarta-rp-75-jutabulan.html

Gambar

Table 1: Perbandingan tarif rata-rata air sejumlah kota besar di Indonesia (2012)
Tabel 2. Perbandingan kinerja PDAM Indonesia
Tabel 3: Perbandingan pengelolaan layanan air oleh PAM Jaya dan Jakpro
Tabel 4: Biaya pengambilalihan layanan air (dalam miliar rupiah)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Ft., M.Fis., selaku Kepala program studi fisioterapi fakultas ilmu kesehatan universitas Muhammadiyah malang, serta sebagai dosen Pembimbing 1 saya yang

unhe nibhana aasan nahin pyar mein dil sabhi jeet lete hain magar dil har ke jeetna aasan nahin zindagi mein to sabhi pyar karlete hain pyaar mein ise qurban karna aasan nahin. teri

Sektor-sektor ekonomi lainnya yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Banjarnegara, yaitu sektor industri pengolahan;

breakdown lagi memiliki basic event yaitu adanya keterbatasan dana, dan hanya dilakukan sesekali saja. Sedangkan yang ketiga adalah rendahnya kepedulian mahasiswa

Di tahun 2001, dengan adanya perkembangan spesifikasi dari telepon selular, game telah dimainkan pada layar berwarna dengan dukungan grafik yang lebih baik dan sudah mampu

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengembangan menggunakan model ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation). Populasi

Dalam pembelajaran teknologi ini dimanfaatkan sebagai media yang sangat baik, karena dapat memberikan visualisasi yang tidak dapat dilakukan media lain. Untuk dapat mengembangan

Emulsi yang terbentuk semakin tidak stabil jika waktu emulsifikasi semakin cepat, dan ketika dilakukan ekstraksi akan terjadi perubahan volum negatif yaitu FAi keluar