• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSFEK, PEMASARAN DAN KEBIJAKAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU ROTAN MUHDI, S.HUT., M.SI NIP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSFEK, PEMASARAN DAN KEBIJAKAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU ROTAN MUHDI, S.HUT., M.SI NIP"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA TULIS

PROSFEK, PEMASARAN DAN KEBIJAKAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU ROTAN

MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 132296512

DEPARTEMEN ILMU KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah, kami panjatkan kehadlirat Allah SW yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini.

Karya tulis yang berjudul : Prosfek, Pemasaran dan Kebijakan Hasil Hutan Bukan Kayu Rotan”.

Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Kritik dan saran untuk penyempurnaan karya tulis inisangat penulis harapkan.

Medan, Juni 2008

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI...ii

PENDAHULUAN ...1

SUMBER, PEMANFAATAN DAN PEMASARAN ROTAN ...2

KEBIJAKAN DAN FLUKTUASI PERDAGANGAN ROTAN ...3

KESIMPULAN ...9 DAFTAR PUSTAKA

(4)

PENDAHULUAN

Sumadiwangsa (2008) menyatakan bahwa hutan merupakan ekosistem alam yang memiliki tiga macam produk, yaitu : a) kayu; b) jasa; dan c) hasil hutan bukan kayu (HHBK). Produk HHBK merupakan salah satu sumber daya hutan (SDH) yang memiliki keunggulan komparatif dan paling bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar hutan. HHBK terbukti dapat memberikan dampak padapeningkatan usaha dan pendapatan masyarakat sekitar hutan dan memberikan kontribusi yang berarti bagi penambahan devisa Negara. Salah satu produk unggulan HHBK adalah rotan.

Sebagai komoditi yang mulai dapat diandalkan untuk penerimaan negara, rotan telah dipandang sebagai komoditi perdagangan hasil hutan bukan kayu yang cukup penting bagi Indonesia. Produk rotan ini juga telah menambah penerimaan ekspor unggulan selain minyak dan gas bumi, serta dapat disejajarkan dengan penerimaan ekspor utama pertanian lainnya seperti kopi, karet dan minyak sawit. Disamping itu, industri rotan juga memenuhi persyaratan pengembangan ekspor bukan migas, karena : (a) memanfaatkan sumberdaya dalam negeri, (b) dapat memperbesar nilai tambah, (c) dapat bersaing di pasar dunia, dan (d) dapat menyerap tenaga kerja (Zulkieflimansyah, 2008; Erwinsyah, 1999; Fariyanti, 1995).

Potensi produksi rotan Indonesia sangat.besar. Indonesia menempati urutan pertama (75,5%) dalam produksi rotan dunia, urutan berikutnya adalah Malaysia (8,5%), Thailand (7,5%), Filipina (6,6%), dan sisanya (1,9%) diproduksi oleh negara-negara lain (Fariyanti, 1995). Produksi rotan Indonesia sebagian besar (90 %) diekspor ke pasar dunia. Ekspor rotan Indonesia tersebut berupa rotan mentah, rotan setengah jadi, dan barang jadi rotan. Penerimaan devisa rotan menempati urutan kedua, setelah kayu, dalam ekspor hasil hutan.

(5)

SUMBER, PEMANFAATAN DAN PEMASARAN ROTAN

Rotan merupakan tumbuhan tak berkayu (hasil hutan bukan kayu yang berasal dari nabati) yang berasal dari hutan alam tropis dan budidaya. Kelestarian sumberdaya rotan sangat tergantung pada kelestarian hutan, karena aspek habitat dan syrarat tumbuh yakni merambat. Kelestarian rotan ini juga akan berpengaruh pada industri hasil hutan bukan kayu dan turunannya (Hasanusi, 2008).

Pada permulaan tahun 1970-an, Indonesia menjadi pengekspor utama rotan mentah dunia. Pangsa pasar rotan mentah Indonesia adalah 90% dari kebutuhan dunia (Saragih, 1996). Sumber produksi rotan mentah Indonesia adalah hutan alam. Luas areal hutan yang berpotensi rotan sekitar 9.369 juta hektar (Rombe, 1986). Potensi produksi rata-rata setiap hektar sebesar 970 kg rotan berat kering. Rotan tumbuh hampir di seluruh hutan Indonesia, dengan penyebaran terbanyak di Sumatera Barat, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Irian Jaya.

Tujuan ekspor rotan Indonesia pada tahun 1970-an adalah Hongkong, Singapura, Negara Asia lain, Eropa, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat dan Afrika (Simatupang, 1978). Setelah dilakukan pengolahan, Hongkong dan Singapura melakukan ekspor kembali rotan olahan. Dengan pengolahan kembali tersebut Singapura menerima lebih dari US $ 21 juta pada tahun 1977 dan Hongkong, dengan mengimpor rotan senilai lebih dari US $ 26 juta, dapat mengekspor kembali rotan tersebut dengan nilai US $ 68 juta (Saragih, 1996). Penerimaan Indonesia dari ekspor rotan mentah pada tahun tersebut hanya US $ 15 juta.

Dominasi ekspor rotan mentah terus berlanjut sampai tahun 1979. Pada tahun ini komposisi ekspor rotan Indonesia adalah 84% rotan mentah, 15% rotan setengah jadi dan 1% rotan jadi (Silitonga dkk, 1993 dalam Agus, 2001). Larangan ekspor rotan mentah yang ditetapkan pada tahun 1979 menyebabkan perubahan komposisi ekspor rotan Indonesia. Ekspor rotan mentah menurun dan mencapai tingkat yang rendah pada tahun 1988 dan seterusnya. Ekspor rotan setengah jadi meningkat pesat, sedangkan ekspor rotan jadi meningkat secara perlahan.

(6)

KEBIJAKAN DAN FLUKTUASI PERDAGANGAN KOMUDITAS ROTAN

Kebijakan penting pertama yang ditetapkan pemerintah berkaitan dengan perdagangan rotan adalah larangan ekspor rotan asalan dari seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan ini dituangkan dalan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor: 492/Kp/VII/79 tanggal 23 Juli 1979. Pertimbangan penetapan kebijakan ini adalah: (a) sudah mulai dikenalnya hasil olahan rotan Indonesia di pasaran dunia; (b) upaya meningkatkan pertumbuhan industri ekspor barang jadi rotan, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan penerimaan devisa negara; dan (c) memelihara persediaan supply rotan. Seperti telah dikemukakan, kebijakan ini mengubah komposisi ekspor rotan Indonesia, yaitu penurunan ekspor rotan rnentah sampai menjadi nol dan peningkatan ekspor rotan setengah jadi dan barang jadi rotan.

Pertumbuhan industri barang jadi rotan membutuhkan bahan baku, yaitu rotan setengah jadi. Sementara itu, pada saat bersamaan, rotan setengah jadi masih diperkenankan untuk diekspor. Akibatnya, terjadi persaingan antara pemenuhan bahan baku industri dan ekspor. Untuk mempercepat pertumbuhan industri ekspor barang jadi rotan, maka ditetapkan Keputusan Menteri Perdagangan Nomor : 274/Kp/X/86 tanggal 7 Oktober 1986 yang kemudian disempurnakan menjadi Keputusan Menteri Perdagangan Nomor : 1907Kp/VI/88 tanggal 30 Juni 1988. Kebijakan ini berisi larangan ekspor rotan mentah dan rotan setengah jadi. Kebijakan ini berdampak kepada penurunan ekspor barang jadi negara-negara yang mengimpor rotan setengah jadi, seperti Singapura dan Hongkong.

Larangan ekspor rotan mentah dan rotan setengah jadi ini kemudian dicabut dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Perdagangan Nomor : 179/Kp/VI/92 tanggal 8 Juni 1992. Pengganti larangan tersebut adalah pengenaan pajak ekspor rotari yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 534/KMK 013/1992 tanggal 27 Mei 1992. Pajak ekspor ini dikenakan pada ekspor rotan asalan dan rotan setengah jadi. Kelompok rotan yang dikenakan pajak ekspor US $ 15/kg adalah : (a) rotan asalan, sudah dirunti, belum dicuci, diasapkan atau dibelerang; (b) rotan asalan sudah dicuci, diasap, atau dibelerangi; dan (c) rotan belahan, sudah

(7)

dicuci, diasap atau dibelerangi. Kelompok rotan yang dikenakan pajak ekspor US S 107kg adalah: (a) rotan bulat sudah dipoles halus; (b) hati rotan; (c) kulit rotan; dan (d) webbing rotan.

Fariyanti (1995) menganalisis dampak larangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi terhadap pertumbuhan industri manufaktur rotan dan distribusi rente ekonomi. Larangan ekspor kedua jenis rotan tersebut telah mendorong tumbuhnya industri manufaktur rotan berskala besar dan kecil di Jawa. Pertumbuhan industri ini, selanjutnya, meningkatkan produksi dan ekspor barang jadi rotan dan kesempatan kerja secara agregat. Namun demikian, pusat-pusat produksi rotan mentah dan setengah jadi, seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera, kehilangan kegiatan perdagangan rotan, khususnya perdagangan internasional. Berdasarkan analisis distribusi rente ekonomi, penikmat utama larangan ekspor kedua jenis rotan tersebut adalah pengusahan pengolahan rotan dan tenaga kerja industri manufaktur rotan. Sedangkan petani pengumpul dan pemerintah mengalami kehilangan karena rente ekonomi yang diterima menurun.

Razak (1993), secara spesifik, melakukan analisis dampak pembatasan ekspor terhadap efisiensi pemasaran rotan Kalimantan Tengah. Sedangkan Harlinda (1995) menganalisis dampak larangan ekspor rotan terhadap perkembangan usaha dan efisiensi industri rotan di Sumatera Selatan. Kalimantan Tengah sebagai sentra produksi rotan kecil terbesar setelah Sulawesi Selatan kehilangan kegiatan perdagangan ekspor komoditi rotan mentah akibat pembatasan ekspor rotan ini. Lebih jauh, daya serap industri domestik terhadap rotan asal Kalimantan Tengah juga terbatas karena rotan kecil hanya sebagai pelengkap dalam industri furnitur rotan. Sama halnya dengan Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan yang juga merupakan sentra produksi rotan mentah sebelum pelarangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi dapat mengekspor kedua jenis rotan ini dan menikmati rente ekonomi yang besar. Ketika terjadi larangan ekspor kedua jenis rotan ini, daerah yang cepat merespon adalah Jawa. Karena kekurangan tenaga kerja terampil dalam pengolahan barang jadi rotan, Sumatera Selatan tidak segera merespon kebijakan iarangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi. Akibatnya, Sumatera Selatan juga kehilangan kegiatan

(8)

perdagangan internasional komoditi rotan.

Berdasarkan penelitian Agus (2001) menyatakan bahwa simulasi dinamik dasar dilakukan untuk mengetahui keragaan kebaikan prediktif model ekonometrika dalam periode tertentu. Periode waktu yang dipilih dalam simulasi ini adalah 1992-1997. Agus (2001) menyatakan perubahan faktor ekonomi yang berdampak langsung pada penurunan produksi komoditi rotan adalah kenaikan tingkat bunga dan upah tenaga kerja. Depresiasi nilai tukar yen terhadap dollar Amerika Serikat juga berdampak pada penurunan produksi komoditi rolan melalui penurunan impor komoditi rotan oleh Jepang dari Indonesia. Penurunan impor ini menyebabkan kelebihan penawaran domestik yang berdampak pada penurunan harga domestik sehingga peoduksi komoditi rotan menjadi turun.

Sebaliknya, depresiasi nilai tukar yen terhadap dollar Amerika Serikat berdampak pada kenaikan produksi komoditi rotan. Ini terjadi karena depresiasi nilai tukar rupiah ini mendorong peningkatan ekspor komoditi rotan dan kenaikan harga domestik keenam komoditi rotan. Peningkatan ekspor komoditi rotan Indonesia ke Jepang yang menaikkan harga domestiknya juga terjadi akibat kenaikan GDP Jepang. Dampak selanjutnya dari kenaikan GDP Jepang ini adalah peningkatan produksi komoditi rotan Indonesia. Kenaikan GDP Indonesia juga berdampak pada peningkatan produksi komoditi rotan. Ini terjadi karena kenaikan GDP Indonesia menyebabkan kenaikan permintaan domestik barang jadi rotan. Naiknya permintaan domestik ini menyebabkan kenaikan permintaan domestik rotan setengah jadi dan harga domestik komoditi rotan. Kenaikan harga domestik inilah yang mendorong peningkatan produksi komoditi rotan.

Perubahan faktor ekonomi yang berdampak pada penurunan penerimaan devisa adalah depresiasi nilai tukar yen terhadap dollar Amerika Serikat. Seperti telah dikemukakan, depresiasi nilai tukar Yen ini secara umum menurunkan ekspor komoditi rotan Indonesia ke Jepang. Hal inilah yang menyebabkan penurunan penerimaan devisa. Sebaliknya, kenaikan GDP Jepang berdampak pada peningkatan penerimaan devisa dengan kenaikan tertinggi. Ini terjadi karena kenaikan GDP Jepang menyebabkan sebaliknya, depresiasi nilai tukar yen terhadap dollar Amerika

(9)

Serikat berdampak pada kenaikan produksi komoditi rotan. Ini terjadi karena depresiasi nilai tukai rupiah ini mendorong peningkatan ekspor komoditi rotan dan kenaikan harga domestik keenam komoditi rotan. Peningkatan ekspor komoditi rotan Indonesia ke Jepang yang menaikkan harga domestiknya juga terjadi akibat kenaikan GDP Jepang. Dampak selanjutnya dari kenaikan GDP Jepang ini adalah peningkatan produksi komoditi rotan Indonesia. Kenaikan GDP Indonesia juga berdampak pada peningkatan produksi komoditi rotan. Ini terjadi karena kenaikan GDP Indonesia menyebabkan kenaikan permintaan domestik barang jadi rotan. Naiknya permintaan domestik ini menyebabkan kenaikan permintaan domestik rotan setengah jadi dan harga domestik komoditi rotan. Kenaikan harga domestik inilah yang mendorong peningkatan produksi komoditi rotan.

Perubahan faktor ekonomi yang berdampak pada penurunan penerimaan devisa adalah depresiasi nilai tukar yen terhadap dollar Amerika Serikat. Seperti telah dikemaukakan, depresiasi nilni tukar yen ini secara umum menurunkan ekspor komoditi rotan Indonesia ke Jepang. Hal inilah yang menyebabkan penurunan penerimaan devisa. Sebaliknya, kenaikan GDP Jepang berdampak pada peningkatan penerimaan devisa dengan kenaikan tertinggi. Ini terjadi karena kenaikan GDP Jepang menyebabkan peningkatan volume dan harga ekspor yang relatif besar, khususnya untuk barang jadi rotan.

Kenaikan tingkat bunga dan upah tenaga kerja menyebabkan penurunan yang lebih besar dalam ekspor rotan setengah jadi dibandingkan dengan peningkatan ekspor rotan mentah ke Jepang. Akibatnya, penerimaan pajak menjadi berkurang. Kenaikan GDP Indonesia yang berdampak pada peningkatan permintaan domestik barang jadi rotan juga menyebabkan penurunan ekspor rotan setengah jadi yang pada akhirnya menurunkan penerimaan pajak. Perubahan faktor ekonomi eksternal kenaikan GDP Jepang, depresiasi nilai tukar yen terhadap dollar Amerika Serikat, dan penurunan tariff impor furnitur rotan Jepang yang menyebabkan penurunan ekspor rotan mentah dan setengah jadi juga berdampak pada penurunan penerimaan pajak. Sebaliknya, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang menyebabkan peningkatan ekspor keenam komoditi rotan mengakibatkan

(10)

peningkatan penerimaan pajak.

Berdasarkan perubahan distribusi pendapatan yang diterirna oleh produsen, konsumen, dan eksportir serta penerimaan pajak pemerintah, depresiasi nilai tukar yen terhadap dollar Amerika Serikat menghasilkan dampak bersih negatif atau penurunan kesejahteraan. Ini terjadi karena depresiasi nilai tukar yen ini menyebabkan penurunan harga domestik, volume ekspor, dan harga ekspor komoditi rotan yang menyebabkan penurunan yang lebih besar dalam surplus produsen, eksportir, dan penerimaan pajak dibandingkan dengan kenaikan surplus konsumen Perubahan faktor ekonomi lainnya menghasilkan dampak peningkatan distribusi kesejahteraan. Peningkatan distribusi kesejahteraan terbesar disebabkan oleh depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serika Hal ini terjadi karena depresiasi nilai tukar rupiah ini menyebabkan kenaikan yang paling besar dalam harga domestik, harga ekspor, dan volume ekspor komoditi rotan Indonesia ke Jepang. Dengan demikian, kenaikan surplus produsen dan eksportir serta penerimaan pajak relatif lebih besar dari penurunan surplus konsumen.

Berdasarkan penelitian Gunawan tentang perubahan kebijakan dan faktor eksternal terhadap perdagangan rotan Indonesia dan Jepang (2002) menyatakan bahwa simulasi dinamik dasar dilakukan untuk mengetahui keragaan kebaikan prediktif model ekonometrika dalam periode tertentu. Periode waktu yang dipilih dalam simulasi ini adalah 2002-2010.

Gunawan (2002) menyatakan bahwa hasil analisis menunjukkan bahwa ternyata adanya kebijakan pemerintah yang melarang ekspor rotan mentah dan setengah jadi (bahan baku rotan) sangat berperan dalam meningkatkan produksi rotan jadi, akan tetapi adanya kebijakan tersebut menyebabkan volume penawaran bahan baku rotan dalam negeri menjadi meningkat dan cenderung melimpah yang pada gilirannya menyebabkan harga bahan baku rotan di dalam negeri menjadi semakin murah apalagi jalur pemasaran bahan baku rotan dari petani sampai ke pintu pabrik dinilai terlalu panjang. Oleh karena itu adanya kebijakan ini ditinjau dari sisi kesejahteraan petani/pengumpul rotan dinilai kurang menguntungkan. Untuk itu adanya kebijakan ini harus diimbangi dengan sistem penjualan yang lebih baik, seperti sistem lelang di

(11)

sentra-sentra produksi rotan secara periodik serta diupayakan untuk dapat memperpendek jalur pemasaran rotan dari petani sampai ke pintu pabrik (industri). Selain itu dampak lain yang tak kalah pentingnya adalah dengan adanya kebijakan tersebut menyebabkan pasar gelap (penyelundupan) rotan mentah ke luar negeri menjadi meningkat dengan sangat tajam.

Selanjutnya apabila pemerintah mencabut larangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi (bahan baku rotan) terutama untuk masa yang akan datang, maka hal ini akan menyebabkan harga bahan baku rotan dalam negeri menjadi semakin mahal yang pada akhirnya akan berpengaruh pada menurunnya produksi rotan jadi, karena produksinya menurun maka volume penawarannya juga menurun, baik di pasar domestik maupun pasar ekspor yang pada gilirannya akan meningkatkan harganya. Oleh karena peningkatan harganya mampu menutupi penurunan volume penawarannya, maka kebijakan ini dilihat dari nilai pemasarannya baik pemasaran domestik maupun ekspor adalah menguntungkan, karena total nilai pemasarannya menjadi meningkat, apalagi dengan adanya pencabutan larangan ekspor tersebut, total net surplusnya juga menjadi meningkat. Sungguhpun demikian, pencabutan larangan ekspor bahan baku rotan ini menyebabkan timbulnya biaya sosial yang cukup besar berupa penurunan penyerapan tenaga kerja yang cukup signifikan terutama tenaga kerja yang terlibat dalam industri pengolahan rotan.

(12)

KESIMPULAN DAN SARAN

• Kelestarian produksi rotan sangat tergantung pada kelestarian hutan.

• Komoditi rotan yang diperdagangkan meliputi rotan mentah, rotan setengah jadi, dan barang jadi rotan yaitu keranjang, lampit, kursi, dan furnitur rotan. • Perubahan faktor ekonomi dan kebijakan pemerintah mempengaruhi

perdagangan rotan.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Agus. 2001. Perdagangan Komoditi Rotan Indonesia di Pasar Domestik dan Jepang : Analisis Dampak Perubahan Faktor Ekonomi. [Tesis] : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Anonim. 2005. Asmindo Keluhkan Kebijakan untuk Ekspor Bahan Baku Rotan. www.kapanlagi.com [14 Juni 2008].

Aryanto Y dan Gunawan H. 2004. Memangkas Demi Pasar Bebas. www.majalahtrust.com (14 Juni 2008).

Banjarmasin Pos. 2005. Pemakaian Rotan Budidaya Masih Kecil. www.indomedia.com [14 Juni 2008].

Detik Finance. 2008. Tata Niaga Rotan Akan Diperketat. www.detik.com [3 Juni 2008].

Detik Finance. 2008. Depperin Siapkan 6 Sentra Rotan. www.detik.com [3 Juni 2008].

Detik Finance. 2008. Ekspor Fiktif Bayangi Industri Rotan Lokal. www.detik.com [3 Juni 2008].

Erwinsyah. 1999. Kebijakan Pemerintah dan Pengaruhnya terhadap Pengusahaan Rotan di Indonesia. Environmental Policy and Institutional Strengthening IQC. Discussion Paper.

Fariyanti, Anna. 1995. Dampak Kebijaksanaan Larangan Ekspor Rotan terhadap Pertumbuhan Industri dan Distribusi Rente Ekonomi di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Gunawan. 2002. Keragaan Perdagangan Rotan dan Produksi Rotan Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. [Disertasi] : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Hasanusi, A. 2008. Prosfek Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam Dunia Industri. Makalaha Seminar Nasional Prosfek Hasil Hutan Bukan Kayu. Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional (PIKNAS) IV. Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Bogor.

Kompas. 2006. Kebijakan Rotan Melemahkan Usaha Kecil. www.disperindag-jabar.go.id [14 juni 2008].

(14)

Kompas. 2005. Asmindo Minta Pemerintah Tetap Pertahankan Kebijakan Ekspor Rotan. www.kompas.co.id [14 Juni 2004].

Harlinda. 1995. Dampak Larangan Ekspor Rotan terhadap Perkembangan Usaha dan Efisiensi Industri Rotan di Sumatera Selatan. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nopirin. 1995. Ekonomi International. Edisi Ketiga Cetakan Pertama. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, Yogyakarta.

Portal Berita Palu. 2008. Regulasi Kebijakan Tata Niaga Tak Konsisten, Industri Rotan Macet. www.beritapalu.com [14 Juni 2008].

Razak, Ismail. 1993. Analisis Dampak Pembatasan Ekspor terhadap Efisiensi Pemasaran Rotan Kalimantan Tengah. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sinar Harapan. 2003. Kebijakan Ekspor yang Selalu Berubah. www.sinarharapan.com [14 Juni 2008].

Suharyono. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi pada Komoditi Minyak Sawit dan Hasil Industri yang menggunakan Bahan Baku Minyak sawit. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sumadiwangsa, E.S. 2008. Pengembangan Teknologi Pemanfaaatan Hasil Hutan Bukan Kayu. Makalaha Seminar Nasional Prosfek Hasil Hutan Bukan Kayu. Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional (PIKNAS) IV. Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Bogor.

Tempointeraktif. 2007. Megawati Kritik Kebijakan Ekspor Rotan. www.tempointeraktif.com [14 Juni 2008].

Walhi. 2004. Peperindag Memiskinkan Petani Rotan, Kebijakan Pelarangan Ekspor Rotan Mentah Hanya Akan Rugikan Petani. www.walhi.com [14 Juni 2008]. Zulkieflimansyah. 2006. Kebijakan Ekspor Rotan Hambat Pertumbuhan Industri

(15)

Referensi

Dokumen terkait

114 CIBITUNG SINDANGKERTA 03 AHMAD SAEPUDIN L KP.TAMANSARI.. 115 CIBITUNG SINDANGKERTA 03 OPIK

Dari pertimbangan pemasaran jasa di atas, maka penulis berkeinginan meneliti faktor-faktor tersebut yang diduga mempengaruhi nasabah dalam pengembalian pembiayaan barang

Berdasarkan peraturan Gubernur Aceh Tentang Tata Cara Pencairan dana zakat pada kas umum aceh dilakukan oleh Baitul Mal Aceh melalui sekretariat Baitul Mal Aceh dengan

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa jumlah pelanggan PLN clan jumlah Kwh dari kelompok bisnis berpengaruh secara signifikan terhadap pemungutan Pajak

Kendal Honorarium Tim Pengadaan Barang Dan Jasa dan PPHP, Dekorasi dan Dokumentasi, fotocopy, Makanan Dan Minuman Rapat/Kegiatan, Perjalanan Dinas Dalam Daerah, Perjalanan Dinas

Dalam hal ini, penulis tertarik untuk melakukan penelitian berkenaan dengan proses pemenuhan hak atas pendidikan bagi anak yang berhadapan dengan hukum di Panti Sosial Marsudi

Pada saat pasien berkunjung ke sebuah pelayanan kesehatan, harapan pasien adalah mendapatkan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya dan dengan waktu sesingkat- singkatnya. Pelayanan

Dalam penelitian ini terdapat teori-teori yang digunakan seperti Business Process Modeling Notation (BPMN), Object Oriented Analysis and Design (OOAD), Consistency