• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DIRI, KECERDASAN EMOSIONAL, TINGKAT STRES, DAN STRATEGI KOPING REMAJA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN DI SMA RESTU DWI PRIHATINA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP DIRI, KECERDASAN EMOSIONAL, TINGKAT STRES, DAN STRATEGI KOPING REMAJA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN DI SMA RESTU DWI PRIHATINA"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP DIRI, KECERDASAN EMOSIONAL, TINGKAT STRES, DAN

STRATEGI KOPINGREMAJA PADA BERBAGAI

MODEL PEMBELAJARAN DI SMA

RESTU DWI PRIHATINA

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(2)

ABSTRACT

Restu Dwi Prihatina. Self Concept, Emotional Intelligence, Stress Level, and Coping Strategies of Youth on Various Learning Model in Senior High School. Supervised by Melly Latifah and

Irni Rahmayani Johan.

The aim of this study was to analyze of self concept, emotional intelligence, stress level, and coping strategies of youth on various learning model in senior high school. The method used in this study was cross sectional study. This study involved 86 participants who been chosen purposively with some criterions, such as all the participants should be eleventh grade student from acceleration class, RSBI class, and regular class. The primary data was collected by questionnaires and secondary data was collected from school archived. Self concept was classified as internal and external self concepts. Emotional intelligence divided into five dimensions, such self-awareness, self-regulation, motivation, empathy, and social skills. Stress in this study being viewed as physical and psychological symptoms. Coping strategies was classified as problem focused coping and emotion focused coping. In this study, descriptive, correlation, and mean differences analysis were used. The result found that there was positive correlation between self concept, emotional intelligence, problem focused coping, and emotion focused coping. There was negative correlation between self concept and stress level. Emotional intelligence and stress level was negatively correlated. There was a real difference emotional intelligence between three groups of participants and the regular class had the best score.

Keywords: self concept, emotional intelligence, stress, coping strategy, learning models

ABSTRAK

Restu Dwi Prihatina. Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Remaja pada Berbagai Model Pembelajaran di SMA. Dibimbing oleh Melly Latifah dan Irni Rahmayani Johan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping remaja pada berbagai model pembelajaran di SMA. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional study. Jumlah contoh dalam penelitian ini sebanyak 86 orang yang dipilih secara purposive dengan kriteria merupakan kelas XI IPA kelas akselerasi, RSBI dan reguler. Data primer dalam penelitian ini dikumpulkan melalui kuesioner dan data sekunder yang berasal dari pihak sekolah. Konsep diri dikelompokkan menjadi dimensi internal dan eksternal. Kecerdasan emosional terbagi menjadi lima dimensi, yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan ketrampilan sosial. Stres terdiri atas gejala stres fisik dan psikologis. Strategi koping terbagi menjadi strategi terfokus masalah dan strategi terfokus emosi. Data dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif, uji hubungan, dan uji beda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara konsep diri, kecerdasan emosional, strategi terfokus masalah, dan strategi terfokus emosi. Konsep diri memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat stres. Kecerdasan emosional juga memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat stres. Terdapat perbedaan yang nyata antara kecerdasan emosional pada ketiga kelompok contoh dan kelas reguler memiliki skor paling tinggi di antara ketiga kelompok.

(3)

RINGKASAN

RESTU DWI PRIHATINA. Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Remaja pada Berbagai Model Pembelajaran di SMA. Dibimbing oleh MELLY LATIFAH dan IRNI RAHMAYANI JOHAN.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping remaja pada berbagai model pembelajaran di SMA. Secara khusus, penelitan ini bertujuan untuk (1) menganalisis perbedaan antara karakteristik remaja, karakteristik keluarga, konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping remaja pada berbagai model pembelajaran; (2) menganalisis hubungan antara karakteristik remaja dan karakteristik keluarga dengan konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping remaja; (3) menganalisis hubungan antara konsep diri dan kecerdasan emosional remaja; (4) menganalisis hubungan antara konsep diri dan kecerdasan emosional dengan tingkat stres dan strategi koping remaja.

Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Lokasi penelitian ini juga difokuskan bertempat di SMA Negeri di Kota Bogor. Pemilihan tempat penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan pertimbangan bahwa lokasi tersebut memiliki perbedaan model pembelajaran dan dianggap memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitian. Pengambilan data dilakukan pada bulan April hingga Mei 2011. Contoh dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA dari kelas akselerasi dan kelas RSBI serta kelas reguler yang berasal dari dua SMA Negeri di Kota Bogor. Kelas akselerasi, RSBI, dan reguler tersebut dipilih secara purposive untuk menjadi kerangka contoh dalam penelitian. Contoh dalam penelitian ini dipilih secara purposive dari kerangka contoh di kedua sekolah. Jumlah keseluruhan contoh adalah 86 orang yang terdiri atas 26 orang siswa kelas akselerasi, 30 orang siswa kelas RSBI, dan 30 orang siswa kelas reguler.

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer terdiri atas (1) karakteristik contoh meliputi jenis kelamin, usia, dan urutan kelahiran, (2) karakteristik keluarga meliputi usia, pendidikan, dan pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, serta besar keluarga, (3) konsep diri contoh, (4) kecerdasan emosional contoh, dan (5) stres yang dialami contoh, serta (6) strategi koping contoh. Data sekunder yang digunakan adalah data karakteristik sekolah yang diperoleh dari sekolah yang bersangkutan.

Pengumpulan data karakteristik contoh, karakteristik keluarga, konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping dilakukan dengan menggunakan teknik self report melalui alat bantu berupa kuesioner. Konsep diri diukur menggunakan kuesioner berbentuk skala yang mengacu pada alat skala konsep diri yaitu Tennessee Self-Concept Scale (TSCS) yang disusun oleh Fitts (1971) dan dimodifikasi oleh Hapsari (2001). Kecerdasan emosional diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan berdasarkan teori Goleman (2007). Tingkat stres diukur dengan melihat gejala stres contoh dengan menggunakan kuesioner yang disusun oleh H.Ebel (1983) dan dikembangkan oleh Latifah (2009). Strategi koping diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan berdasarkan teori Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000). Data yang diperoleh kemudian diolah melalui proses editing, coding, scoring,

(4)

entry, cleaning, dan analisis data. Analisis data dilakukan secara statistik deskriptif dan inferensia. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis korelasi Spearman dan Pearson, serta uji beda (one way Anova).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh berjenis kelamin perempuan (62,8%) dan sisanya berjenis kelamin laki-laki (37,2%). Lebih dari separuh contoh (67,4%) termasuk remaja awal (13-16 tahun) dan sisanya (32,6%) adalah remaja akhir (17-18 tahun). Terdapat perbedaan yang nyata pada ketiga kelompok (p<0,01) dengan rata-rata usia contoh pada kelas akselerasi adalah 15,27; RSBI 16,50; dan reguler 16,47. Selain itu, lebih dari separuh contoh merupakan anak sulung (52,3%).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua dari ketiga kelompok contoh termasuk ke dalam usia dewasa madya (41-60 tahun). Hampir seluruh ayah contoh (94,0%) dan lebih dari tiga per empat ibu contoh (86,0%) termasuk dewasa madya. Tidak terdapat perbedaan yang nyata di antara ketiga kelompok contoh dalam hal usia ayah (p>0,05). Akan tetapi, terdapat perbedaan yang nyata pada usia ibu di antara ketiga kelompok (p<0,05) pada kelas akselerasi (44,19), RSBI (45,43), dan reguler (41,83). Lebih dari separuh ayah contoh (57,2%) dan hampir separuh ibu contoh (41,9%) berpendidikan hingga S1/S2/S3. Terdapat perbedaan yang nyata di antara ketiga kelompok contoh dalam hal pendidikan ayah (p<0,05) dan pendidikan ibu (p<0,01). Hal ini terkait dengan data yang diperoleh bahwa hampir separuh ibu contoh kelas RSBI (43,3%) dan separuh ibu contoh kelas reguler (50,0%) berpendidikan hingga SMA/sederajat.

Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa hampir separuh ayah contoh bekerja di sektor swasta (40,7%). Sebanyak lebih dari separuh ibu contoh tidak bekerja (60,5%). Sebanyak hampir separuh pendapatan keluarga contoh berada pada rentang ≥ Rp 5.000.001,00. Terdapat perbedaan yang nyata di antara ketiga kelompok contoh (p<0,01) dengan rata-rata pendapatan keluarga contoh kelas akselerasi dan RSBI di atas Rp 5.000.001,00; sedangkan kelas reguler di atas Rp 3.000.001,00. Sebesar lebih dari separuh keluarga contoh tergolong ke dalam keluarga sedang (61,6%), yaitu berjumlah antara lima hingga tujuh orang anggota. Tidak terdapat perbedaan yang nyata di antara ketiga kelompok contoh (p>0,05) dalam hal besar keluarga.

Penelitian menunjukkan bahwa keseluruhan contoh memiliki konsep diri yang positif dan kelas reguler memiliki skor konsep diri yang lebih tinggi dibandingkan kelas akselerasi dan RSBI. Dimensi yang memiliki persentase paling besar dengan kategori sedang adalah subdimensi identitas diri etik moral dan kepuasan diri etik moral. Dimensi yang memiliki persentase pada kategori negatif adalah subdimensi tingkah laku diri sosial. Walaupun terdapat perbedaan yang cukup menonjol di antara persentase tiap dimensi, akan tetapi secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan yang nyata di antara ketiga konsep diri contoh (p>0,05). Keseluruhan contoh memiliki kecerdasan emosional yang termasuk dalam kategori sedang. Akan tetapi, separuh contoh kelas reguler memiliki skor kecerdasan emosional yang termasuk ke dalam kategori sedang dan tinggi. Dimensi dengan persentase terbesar pada kategori tinggi adalah dimensi kesadaran diri. Penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara kecerdasan emosional contoh pada berbagai model pembelajaran (p<0,05) dengan skor kecerdasan emosional kelas reguler sebesar 80,14; kelas RSBI sebesar 79,66; dan kelas akselerasi sebesar 76,48.

(5)

Gejala stres yang dirasakan oleh keseluruhan contoh tergolong rendah dan jenis gejala stres yang lebih banyak dirasakan oleh contoh adalah gejala stres psikologis. Dalam penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang nyata dalam hal tingkat stres contoh meskipun memiliki model pembelajaran yang berbeda (p>0,05). Dalam penelitian ini juga tidak ditemukan perbedaan yang nyata pada strategi koping yang dilakukan oleh contoh (p>0,05). Sebagian besar contoh dalam penelitian ini memiliki strategi koping yang tergolong sedang yang artinya strategi koping yang dilakukan sudah cukup baik dan contoh diduga mampu mencegah emosi negatif yang dapat menguasai dirinya serta melakukan tindakan untuk memecahkan masalahnya. Jenis strategi koping yang lebih banyak digunakan oleh contoh adalah emotion focused coping.

Selanjutnya penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara konsep diri dengan kecerdasan emosional (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsep diri maka semakin baik pula kecerdasan emosional contoh. Konsep diri memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat stres (p<0,01). Hal ini berarti semakin tinggi konsep diri maka semakin rendah tingkat stres contoh. Konsep diri juga memiliki hubungan yang positif dengan problem focused coping (p<0,01) dan emotion focused coping (p<0,05) yang artinya semakin tinggi konsep diri maka semakin tinggi pula strategi koping contoh, baik dalam hal penyelesaian masalah maupun pengelolaan emosi. Penelitian ini juga menunjukkan terdapatnya hubungan yang negatif antara kecerdasan emosional dengan gejala stres psikologis (p<0,05) dan hubungan yang positif dengan problem focused coping dan emotion focused coping (p<0,01). Hal ini berarti semakin baik kecerdasan emosional contoh maka dapat menurunkan tingkat stres dan meningkatkan strategi koping yang dilakukan. Akan tetapi, dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat stres (reaksi fisik dan psikologis) dengan problem focused coping maupun emotion focused coping.

Keterbatasan penelitian ini adalah dalam hal penarikan contoh. Pemilihan kelas pada kedua sekolah yang menjadi lokasi penelitian dilakukan secara purposive. Hal ini dilakukan atas dasar perizinan dengan pihak sekolah yang bersangkutan. Selain itu, kelas XI IPA akselerasi yang merupakan satu-satunya kelas di sekolah menyebabkan peneliti hanya dapat menggunakan kelas tersebut sebagai contoh meskipun jumlah siswa di kelas tersebut secara keseluruhan adalah 26 orang. Hal ini juga menyebabkan tidak dapat dilakukan teknik simple random sampling untuk penarikan contohdi kelas akselerasi.

(6)

KONSEP DIRI, KECERDASAN EMOSIONAL, TINGKAT STRES, DAN

STRATEGI KOPINGREMAJA PADA BERBAGAI

MODEL PEMBELAJARAN DI SMA

RESTU DWI PRIHATINA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Sains pada

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi bahwa Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Remaja pada Berbagai Model Pembelajaran di SMA adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

Restu Dwi Prihatina

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusnan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(9)

Judul : Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Remaja pada Berbagai Model Pembelajaran di SMA Nama : Restu Dwi Prihatina

NIM : I24070021

Disetujui, Dosen Pembimbing

Ir.Melly Latifah, M.Si Irni Rahmayani Johan, SP., MM

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui,

Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

Dr.Ir.Hartoyo, M.Sc

(10)

PRAKATA

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt karena atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Rasa syukur juga penulis haturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi motivator kehidupan bagi penulis. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang begitu besar kepada:

1. Ir. Melly Latifah, M.Si sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan serta masukan yang positif kepada penulis selama penyusunan skripsi ini, dan juga memberikan nasihat-nasihat yang dapat membuka wawasan sehingga penulis memiliki semangat untuk terus maju.

2. Irni Rahmayani Johan SP, MM sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan begitu banyak masukan, bimbingan, dan perbaikan yang positif sehingga dapat menyempurnakan penyelesaian skripsi ini.

3. Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan serta saran sehingga penulis lebih termotivasi dalam menjalankan studi di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen.

4. Megawati Simanjuntak, SP, M.Si sebagai dosen pemandu seminar yang telah memberikan semangat dan masukan demi penyempurnaan skripsi ini.

5. Dr.Ir.Dwi Hastuti, M.Sc sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan, perbaikan, dukungan, dan semangat yang luar biasa kepada penulis.

6. Orang tua yang tiada henti mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Ayahanda tercinta Ade Santika, SP dan Ibunda Rohayati, S.Pd yang selalu mendoakan dan memotivasi penulis untuk terus berkarya dan berprestasi. Kakak tersayang Adisty Pradita atas dukungan serta semangat yang tak henti mengalir. 7. Kepala Sekolah, Ibu Sri Hartini, Ibu Deceu, Ibu Elvita, Ibu Aam, Ibu Lin

Marliani, Pak Tata, beserta pihak Kesiswaan SMA Negeri 3 Bogor dan SMA Negeri 8 Bogor yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian. Pihak SMA Negeri 10 Bogor yang telah memberikan izin untuk melaksanakan uji coba kuesioner dan juga seluruh siswa-siswi yang telah meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner.

(11)

8. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama penulis menempuh studi di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen.

9. Galih Indro Tanoyo dan keluarga atas doa, dukungan, dan perhatian yang begitu besar kepada penulis.

10. Teman-teman satu bimbingan, Nadia Nandana Lestari, Dinda Ayu Novariandhini, dan Herti Herniati atas kerjasama, perhatian, dukungan, dan semangat dalam menjalani setiap tahap penyelesaian skripsi ini bersama-sama dalam suka maupun duka.

11. Nadia Naomi, Cefti Lia Permatasari, Anita Saufika, Ruri Setianti, Restystika Dianeswari, Husfani A.Putri, Dini Aprilia, dan Agus Surachman atas persahabatan yang unik, perhatian, serta dukungan kepada penulis.

12. Elmanora, Mustika Dewanggi, dan teman-teman IKK 44 yang selalu memberikan warna setiap kali penulis menjajakan kaki di bangku kuliah dan atas kekompakan yang tiada henti.

13. Miss Medina Rachmawati, Miss Shelly Septiana, Miss Dwi Anindita, Miss Lia Widyanti, Ibu Rika, Pak Endang, Pak Deki, Miss Lia Nurjanah, dan Miss Anggy Nurmalasari atas dukungan, saran, dan berbagi pengalaman yang menyenangkan mengenai Labschool.

14. Ibrahim Febrizky dan Nanda Marifani Sani atas pundak yang selalu siap menampung air mata dan tangan lembut yang selalu menyambut saat berbagi suka maupun duka.

15. Kepada semua pihak yang belum disebutkan namanya yang telah memberikan kontribusi dalam penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ...v DAFTAR GAMBAR ... vi DAFTAR LAMPIRAN………...vi PENDAHULUAN ...1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 4 Tujuan Penelitian ... 8 Kegunaan Penelitian ... 8 TINJAUAN PUSTAKA ...9 Remaja ... 9 Karakteristik Contoh ... 9 Karakteristik Keluarga ... 10 Model Pembelajaran ... 11 Konsep Diri ... 13 Kecerdasan Emosional ... 16 Stres ... 19 Strategi Koping ... 20 KERANGKA PEMIKIRAN ...23 METODE PENELITIAN ...26

Disain, Tempat, dan Waktu ... 26

Cara Pemilihan Contoh ... 26

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 27

Pengolahan dan Analisis Data ... 28

Definisi operasional ... 31

HASIL ...33

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 33

Karakteristik Contoh ... 35 Karakteristik Keluarga ... 37 Konsep Diri ... 42 Kecerdasan Emosional ... 43 Tingkat Stres ... 46 Strategi Koping ... 46

(13)

Hubungan antara Karakteristik Contoh dan Karakteristik Keluarga dengan Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping

Contoh ... 48

Hubungan antara Konsep Diri dan Kecerdasan Emosional terhadap Tingkat Stres dan Strategi Koping Contoh ... 50

PEMBAHASAN ... 55

SIMPULAN DAN SARAN... 64

Simpulan ... 64

Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Jenis dan cara pengumpulan data……….. 28

2 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin……… 35

3 Sebaran contoh berdasarkan usia………... 36

4 Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran………... 37

5 Sebaran usia orang tua contoh………... 37

6 Sebaran pendidikan orang tua contoh……… 38

7 Sebaran pekerjaan orang tua contoh……….. 40

8 Sebaran pendapatan orang tua contoh………... 41

9 Sebaran besar keluarga contoh……….. 41

10 Sebaran konsep diri contoh pada berbagai model pembelajaran…... 42

11 Sebaran kecerdasan emosional contoh pada berbagai model pembelajaran.………. 45

12 Sebaran tingkat stres contoh pada berbagai model pembelajaran……….……... 46

13 Sebaran strategi koping contoh pada berbagai model pembelajaran………... 48

14 Sebaran contoh berdasarkan kecenderungan strategi koping yang digunakan……….. 48

15 Hubungan antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh... 49

16 Hubungan antara konsep diri dengan kecerdasan emosional contoh... 51

17 Hubungan antara konsep diri dengan tingkat stres contoh... 51

18 Hubungan antara konsep diri dengan strategi terfokus masalah contoh… 52 19 Hubungan antara konsep diri dengan strategi terfokus emosi contoh…... 53

20 Hubungan antara kecerdasan emosional dengan tingkat stres contoh…... 53

21 Hubungan antara kecerdasan emosional dengan strategi terfokus masalah contoh... 54

22 Hubungan antara kecerdasan emosional dengan strategi terfokus emosi contoh……… 54

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Kerangka pemikiran……….………… 25

2 Cara pemilihan contoh………….……… 27

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Hasil uji korelasi antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga

dengan konsep diri contoh………. 71

2 Hasil uji korelasi antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh.. 72 3 Hasil uji korelasi antara konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat

stres, dan strategi koping contoh………... 73 4 Sebaran contoh berdasarkan strategi koping terfokus masalah…………. 74 5 Sebaran contoh berdasarkan strategi koping terfokus emosi …………... 75 6 Sebaran contoh berdasarkan gejala stres fisik ……….. 76 7 Sebaran contoh berdasarkan gejala stres psikologis ………. 77 8 Sebaran konsep diri contoh pada berbagai model pembelajaran………... 78 9 Sebaran kecerdasan emosional contoh pada berbagai model

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Remaja merupakan generasi penerus bangsa. Remaja memiliki tugas untuk melaksanakan pembangunan dalam upaya meningkatkan kualitas dari suatu bangsa. Kualitas bangsa dapat diukur berdasarkan kualitas sumber daya manusia yang ada di dalamnya dan hal ini juga merupakan kunci dalam mereformasi bangsa menjadi lebih baik. Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang tercermin dari Human Development Index (HDI), Indonesia menempati urutan 102 dari 106 negara (Megawangi, Latifah, & Dina 2008). Sumber daya manusia dipengaruhi oleh kualitas sistem pendidikan yang dijalankan di Indonesia. Melalui pendidikan yang holistik, akan dihasilkan pula manusia-manusia yang holistik dan memiliki kualitas sumber daya manusia yang baik.

Sumber daya manusia tersebut juga perlu ditunjang oleh sistem pendidikan yang baik. Menurut Cury (2007), tugas pendidikan yang terpenting adalah mengubah manusia menjadi pemimpin bagi pikiran dan emosi dirinya sendiri. Megawangi, Latifah, dan Dina (2008) menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia memiliki sistem yang mengacu pada sistem yang dipakai oleh Amerika Serikat. Sistem ini menyiapkan para siswa untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi atau diperuntukkan bagi mereka yang memiliki hasil akademik yang baik dengan ukuran IQ yang tinggi. Kenyataan ini dapat dilihat dari bobot mata pelajaran yang diarahkan hanya pada dimensi akademik siswa saja dan seringkali diukur dengan kemampuan logika matematika serta kemampuan abstraksi, seperti kemampuan bahasa, menghafal, atau ukuran IQ. Banyak orang tidak menyadari bahwa sebenarnya terdapat potensi lain yang perlu dikembangkan seperti yang terdapat dalam teori Howard Gardner (1983) diacu dalam Armstrong (2002), yaitu mengenai kecerdasan majemuk.

Kecerdasan seorang anak dengan anak lainnya berbeda-beda. Anak yang cenderung cerdas dalam satu bidang belum tentu cerdas pula di bidang lainnya. Begitupun dengan anak yang kurang cerdas dalam satu bidang, ia pasti memiliki kecerdasan tertentu di bidang lain. Setiap anak pasti memiliki keunikan. Mereka memiliki kekhasan dalam diri mereka masing-masing. Kecerdasan yang mereka miliki dipengaruhi bukan hanya oleh gen yang diturunkan oleh orang tua mereka,

(17)

melainkan juga dipengaruhi oleh suatu proses belajar dari lingkungan di sekitarnya serta stimulus-stimulus yang dapat meningkatkan kemampuannya. Anak yang cerdas sesungguhnya bukan saja dilihat dari aspek kognitif, melainkan juga kecerdasan emosionalnya, cara ia mengelola emosi saat menghadapi stres, serta kecerdasan lain di samping aspek kognitif.

Goleman (1995) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi seseorang. Menurut Goleman (1999), kecerdasan emosi merupakan faktor penentu keberhasilan masa depan anak. Kecerdasan intelektual dan emosi merupakan bagian yang integratif jiwa dan raga karena kecerdasan intelektual seseorang juga dipengaruhi oleh kecerdasan emosinya. Misalnya saja hasil tes IQ yang juga ditentukan oleh beberapa kecerdasan emosi, seperti ketekunan dan motivasi. Emosi manusia berasal dari perasaan dalam lubuk hati, naluri yang tersembunyi, sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, akan mempengaruhi kecerdasan emosional untuk menyediakan pemahaman yang lebih utuh dan mendalam mengenai diri sendiri dan orang lain. Menurut Goleman (2007), seorang remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang baik akan mampu mengelola emosi serta dapat menahan dirinya untuk tidak melakukan kekerasan. Selain itu, ia juga mampu berpikir positif dalam memecahkan suatu masalah.

Pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua akan mempengaruhi kecerdasan seorang anak (Goleman 2007). Hal ini disebabkan keluarga adalah tempat pertama dan utama seorang anak dalam mempelajari emosi dan akan mempengaruhi cara anak mengontrol emosinya kelak. Perkembangan intelektual anak akan sangat berkaitan dengan keadaan emosionalnya. Keberhasilan seorang anak di sekolah dipengaruhi oleh perasaan terhadap diri dan kemampuannya. Seorang anak yang memiliki gangguan emosi dan sosial akan berpengaruh pada prestasi belajar dan akan membuat anak membutuhkan banyak waktu untuk mengejar ketertinggalan. Kecerdasan seorang anak juga akan dipengaruhi oleh konsep diri yang ia miliki. Cara ia mengelola perasaannya akan sangat ditentukan oleh bagaimana ia mengenal konsep dirinya sendiri. Konsep diri itu pun akan terbentuk melalui perkembangan kecerdasan dan pengaruh dari lingkungan di sekitarnya.

(18)

Menurut Hurlock (1993), konsep diri seorang anak dipengaruhi juga oleh beberapa faktor, antara lain peran orang tua, lingkungan sosial, serta proses belajar. Konsep diri merupakan suatu hasil belajar. Konsep diri seseorang mulai berkembang melalui proses belajar dan dapat didekati sejak lahir. Proses belajar ini terjadi setiap hari tanpa disadari. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) pada masa remaja ini, seseorang mempertanyakan tentang pandangan orang lain terhadap dirinya sendiri dan pandangan dirinya terhadap dirinya sendiri.

Pembentukan konsep diri juga dibentuk melalui pengalaman-pengalaman, baik pengalaman positif atau menyenangkan maupun pengalaman negatif atau menyedihkan. Lingkungan di sekitar memiliki porsi untuk mempengaruhi konsep diri seseorang. Konsep diri seorang individu bergantung pula pada tempat individu tersebut berada. Hurlock (1993) mengatakan bahwa konsep diri seseorang berkembang secara hierarkis dan hal yang pertama terbentuk adalah melalui hasil belajar di rumah serta pengalaman interaksinya dengan anggota keluarga lainnya yang disebut dengan konsep diri primer.

Interaksi yang terjadi antara anak dengan lingkungannya, baik itu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan di luar keduanya tidak terlepas dari suatu masalah. Masalah-masalah dalam diri anak tersebut dapat menyebabkan terjadinya stres. Masalah di sekolah misalnya dapat berupa ketertinggalan dalam belajar, masalah dalam hubungan sosial dengan teman-teman, rendahnya prestasi akademik, rendahnya rasa percaya diri, dan lain sebagainya. Stres pada anak dapat juga dipengaruhi oleh kondisi anak di luar sekolah, misalnya keadaan keluarga di rumah atau lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, stres pada anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Keduanya berperan dan berinteraksi dalam proses penilaian hingga terjadinya stres. Menurut Arianti (2002) diacu dalam Astuti (2007), tingkat stres seseorang dipengaruhi juga oleh sumber stres, sumberdaya yang dimiliki untuk mengatasi stres, sumber koping, dan juga persepsi individu terhadap stres. Stres yang dialami oleh seseorang dapat menyebabkan emosi yang menyakitkan seperti kecemasan atau depresi. Cara seseorang memandang dan mengatasi stres yang ia hadapi akan mempengaruhi proses penyesuaian diri yang ia lakukan dalam kehidupannya.

(19)

Perumusan Masalah

Permasalahan yang terjadi di Indonesia bukan hanya mengenai kemerosotan ekonomi atau kemiskinan. Ada hal lain yang juga menjadi tantangan besar yang perlu dihadapi, yaitu masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Salah satu hal yang mempengaruhi masalah ini adalah kualitas sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu aspek penentu keberhasilan suatu bangsa. Melalui pendidikan, seseorang akan mendapatkan pengetahuan serta belajar bagaimana mengembangkan dirinya. Pendidikan juga mengajarkan nilai-nilai baik dan buruk sehingga memberikan pengertian pada individu mana hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Pendidikan identik dengan fokus pada aspek kognitif seorang individu. Padahal, pendidikan itu sendiri mencakup berbagai aspek di luar aspek kognitif. Banyak aspek lain yang dipelajari dan berkembang melalui suatu proses pendidikan yang diterapkan. Saat ini masih banyak orang yang berpikir bahwa kecerdasan kognitif merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan kesuksesan seseorang. Pandangan akan hal ini juga banyak diterapkan dalam berbagai proses pembelajaran di sekolah. Pengajar lebih menekankan pada daya tangkap, daya pikir, dan daya ingat anak tanpa mempertimbangkan perkembangan emosi siswa yang mengikutinya. Anak hanya diberikan materi untuk kemudian dihafal dalam waktu tertentu dan tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan hal lain di luar aspek kognitif. Saat aspek kognitif tersebut diperoleh anak dengan hasil yang tidak sesuai dengan standar, anak dinilai kurang cerdas. Hal tersebut tidak didukung oleh perkembangan kecerdasan anak yang lain yang mungkin dapat jauh lebih berkembang dibandingkan sekedar satu jenis kecerdasan saja, yaitu kecerdasan kognitifnya.

Menurut Long (1978) perkembangan mental dan kognitif anak dalam rentang usia 13-19 tahun relatif lebih matang dibandingkan dengan peringkat sekolahnya terdahulu. Mereka telah memiliki asas pendidikan dan merupakan proses perluasan konsep yang telah mereka peroleh sebelumnya. Perkembangan yang mereka alami pun akan semakin banyak dan lebih rumit dari sebelumnya

(20)

dan mereka perlu menguasai tugas-tugas perkembangan tersebut sebelum menuju perkembangan selanjutnya.

Menurut Megawangi, Latifah, dan Farahdina (2008), pada kenyataannya energi yang dimiliki mayoritas siswa Indonesia sudah habis setelah melewati jenjang pendidikan SD sehingga mereka tidak siap untuk mengikuti pelajaran pada jenjang selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh metode yang digunakan tidaklah sesuai dengan teori perkembangan anak. Akibatnya, terciptalah generasi-generasi yang tidak percaya diri dan menciptakan sumber daya manusia Indonesia berada pada urutan terbawah, tidak mampu bekerja, tidak terampil, serta tidak berkarakter. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh tujuan pendidikan di Indonesia yang lebih mengacu pada pembentukan anak yang pandai secara kognitif.

Pendekatan belajar yang lebih berorientasi pada aspek kognitif akan dapat mengubah pandangan siswa yang semata-mata hanya untuk memperoleh nilai yang tinggi. Berbagai hal mereka lakukan dengan cara yang tidak jujur untuk mengejar nilai. Melalui kenyataan ini, dapat dilihat bahwa siswa belum bisa mengontrol kecerdasan emosi mereka dengan baik. Mereka hanya terfokus pada bagaimana pencapaian sebuah prestasi akademik atau dari aspek kognitif saja. Ketidakseimbangan ini pun mengarah pada kesadaran siswa terhadap konsep diri yang mereka miliki. Saat siswa memiliki konsep diri yang baik, mereka tidak akan melakukan hal-hal yang tidak jujur, justru mereka akan berusaha mencapai keseimbangan antara kecerdasan kognitif dan kecerdasan emosional yang mereka miliki untuk meraih sebuah keberhasilan.

Sekolah merupakan salah satu sarana seorang anak belajar, bukan hanya dalam hal mendapat ilmu melainkan juga melatih emosi dan ketrampilan sosialnya. Berbagai kurikulum dan metode pembelajaran pun mulai diterapkan di sekolah. Dimulai dengan adanya kelas nasional (reguler) atau yang merupakan kelas yang tergolong umum, baik dalam hal program maupun lingkungan sekitarnya. Kini semakin banyak inovasi lain di bidang pendidikan. Misalnya saja dengan adanya berbagai kurikulum atau program tertentu yang berbeda dengan kelas reguler, seperti kelas akselerasi dan kelas RSBI. Kelas akselerasi diciptakan dengan tujuan mempercepat proses belajar siswa sehingga siswa lebih cepat lulus

(21)

dibandingkan dengan anak seusianya. Kelas ini juga merupakan kelas dengan siswa-siswi unggulan sehingga dipersiapkan langsung untuk memperoleh materi dengan sistem yang berbeda. Selain itu, ada pula program kelas RSBI. Kelas ini menggunakan kurikulum yang melakukan inovasi di bidang pengelolaan sekolah dan proses pembelajaran. Kelas ini juga menyediakan fasilitas yang jauh lebih lengkap, sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan perkembangan teknologi, serta mulai menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (bilingual) sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar. Tujuannya adalah agar dapat menciptakan lulusan yang memiliki daya sains yang tinggi.

Munculnya inovasi dalam bidang pendidikan ini ternyata tidak serta merta memberikan keuntungan bagi berbagai pihak. Akan tetapi, terdapat beberapa permasalahan umum yang terjadi dalam penyelenggaraan kelas akselerasi. Program akselerasi sebenarnya terdiri atas tiga layanan, yaitu enrichment, extention, dan acceleration, namun pelaksanaan di kebanyakan sekolah lebih identik dengan layanan acceleration (percepatan) saja. Menurut Kurniawan (2010), pembentukan kelas akselerasi menyebabkan pihak sekolah memerlukan konsultan yang profesional dan terpercaya, serta pengajar yang memiliki ketrampilan khusus untuk mengajar di kelas akselerasi. Selain itu, pihak sekolah membutuhkan dana yang cukup untuk menutupi pembiayan di awal tahun.

Kurniawan (2010) juga menyatakan bahwa jadwal yang padat pada siswa kelas akselerasi menyebabkan mereka kehilangan masa bermainnya dan secara tidak sengaja kelas ini pun menjadi kelas yang eksklusif. Hal ini diakibatkan oleh pelayanan dan perlakuan yang istimewa dari pihak sekolah. Di lingkungan sekolah, siswa kelas akselerasi lebih tertutup dan kurang aktif sehingga cenderung memiliki resiko yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak (Kamdi 2004 diacu dalam Kurniawan 2010). Sementara itu, munculnya kelas akselerasi juga menjadi gengsi tersendiri bagi sebagian masyarakat, misalnya dalam hal perekrutan siswa. Tidak sedikit orang tua yang cenderung memaksakan anaknya agar dapat masuk ke kelas akselerasi.

Menurut Darmaningtyas (2004) diacu dalam Kurniawan (2010), kelas akselerasi memiliki beberapa kelemahan, di antaranya kelas tersebut hanya mengukur kecerdasan kognitif dan ditetapkan berdasarkan IQ, serta menimbulkan

(22)

kecemburuan bagi kelas reguler. Kurikulum yang diterapkan di kelas akselerasi pun sama dengan kelas reguler padahal dengan IQ yang tinggi, siswa kelas akselerasi seharusnya mendapatkan kurikulum yang lebih luas dan mendalam.

Aktivitas yang dialami juga menjadi salah satu pemicu stres siswa. Dalam waktu yang singkat di sekolah dan berbagai tugas yang diberikan akan menjadi tekanan bagi siswa itu sendiri. Siswa yang dapat beradaptasi dengan baik akan mampu menyelesaikan masalahnya, sedangkan siswa yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan belajarnya, ia akan mengalami stres yang berkepanjangan. Seseorang seringkali menunjukkan gangguan kognitif yang cukup serius ketika berhadapan dengan penyebab stres yang cukup serius pula. Mereka akan sulit berkonsentrasi dan mengorganisasikan pikiran mereka secara logis. Akibatnya, saat mereka mengerjakan suatu pekerjaan yang kompleks, hasil yang diperoleh tidak akan menjadi optimal dan bahkan cenderung memburuk. Stres yang dirasakan juga bergantung pada besarnya gambaran individu tentang dirinya (konsep diri) serta cara mengelola perasaan atau emosi yang dirasakan.

Pengaruh faktor-faktor tersebut juga merupakan tugas orang tua, guru, pihak sekolah, masyarakat, dan pemerintah untuk lebih memberikan perhatian terhadap dampak dari adanya kelas unggulan seperti akselerasi dan kelas RSBI juga perbedaannya dengan kelas reguler. Ini dilakukan agar dapat tercipta suasana yang mendukung proses belajar yang dapat membentuk konsep diri yang positif dalam diri siswa, meningkatkan kecerdasan emosional, menurunkan tingkat stres akibat tekanan kognitif atau lingkungannya, dan menjelaskan strategi koping yang dapat membantu siswa menyelesaikan masalah, terutama yang berkaitan dengan aktivitas belajar.

Sesuai dengan pemaparan diatas, maka pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perbedaan antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh pada berbagai model pembelajaran.

2. Bagaimana hubungan antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh.

(23)

3. Bagaimana hubungan antara konsep diri dan kecerdasan emosional dengan tingkat stres dan strategi koping contoh.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping remaja pada berbagai model pembelajaran di SMA.

Tujuan Khusus

1. Menganalisis perbedaan antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga, konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh pada berbagai model pembelajaran.

2. Menganalisis hubungan antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh.

3. Menganalisis hubungan antara konsep diri dengan kecerdasan emosional contoh.

4. Menganalisis hubungan antara konsep diri dan kecerdasan emosional dengan tingkat stres dan strategi koping contoh.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak terkait. Bagi orang tua dan pendidik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran untuk tidak hanya memperhatikan kecerdasan kognitif anak tetapi juga lebih memperhatikan perkembangan emosi anak. Hal ini disebabkan perkembangan emosi merupakan pendukung pembentukan konsep diri anak. Bagi Departemen Pendidikan Nasional dan juga para pendidik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam mengembangkan aspek kognitif dan emosi dalam upaya pembentukan konsep diri anak melalui model pembelajaran yang lebih proporsional. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang keilmuan perkembangan dan pendidikan anak dan juga dapat menjadi landasan bagi pengembangan penelitian-penelitian sejenis di masa yang akan datang.

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Remaja

Remaja merupakan masa transisi dari periode anak ke periode dewasa. Secara psikologi, kedewasaan adalah keadaan berupa sudah terdapatnya ciri-ciri psikologis pada diri seseorang. Ciri-ciri psikologis tersebut menurut G.W.Allport (1961) diacu dalam Sarwono (2006) adalah pemekaran diri sendiri (extension of the self), kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif, dan memiliki falsafah hidup tertentu.

Piaget menyatakan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia ketika anak tidak lagi berada di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, tetapi berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Secara umum, remaja dibagi ke dalam dua periode, yaitu remaja awal (13-16 tahun) dan remaja akhir (17-18 tahun). Menurut Bronfenbrenner (1979) diacu dalam Gunarsa (2001), kondisi lingkungan hidup, baik itu kondisi sosial atau kondisi budaya suatu masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak.

Menurut Richmond dan Sklansky (1984) diacu dalam Sarwono (2006), inti dari tugas perkembangan seseorang dalam periode remaja adalah memperjuangkan kebebasan. Sementara itu, menemukan bentuk kepribadian yang khas dalam periode ini belum menjadi sasaran utama. Pada usia ini juga individu mulai meningkatkan daya kreativitasnya melalui berbagai kegiatan atau penjurusan tertentu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap remaja terhadap pendidikan, yaitu sikap teman sebaya, sikap orang tua, nilai-nilai praktis dari berbagai mata pelajaran, sikap terhadap guru-guru, keberhasilan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler, dan derajat dukungan sosial di antara teman-teman sekelas.

Karakteristik Remaja

Jenis Kelamin

Menurut Papalia, Olds, & Feldman (2008), remaja perempuan lebih banyak dilanda stres dan depresi karena pengaruh lingkungan sosial dan juga teman sebaya. Remaja perempuan juga lebih mudah meluapkan emosinya

(25)

daripada laki-laki. Perempuan juga ternyata lebih peka dan memiliki empati yang tinggi, sedangkan laki-laki lebih mudah beradaptasi dan mengatasi stres.

Usia

Santrock (2003) membagi usia remaja dibagi ke dalam dua periode, yaitu remaja awal (13-16 tahun) dan remaja akhir (17-18 tahun). Bertambahnya usia anak membuat anak memiliki ruang lingkup yang semakin luas terjangkau. Pada masa remaja juga lah pengaruh teman sebaya dan lingkungan di luar diri anak semakin kuat, sedangkan pengaruh lingkungan keluarga semakin berkurang.

Urutan Kelahiran

Urutan anak ketika dilahirkan terdiri atas anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu. Menurut Santrock (2003), urutan kelahiran anak ini akan mempengaruhi sikap dan perilaku orang tua terhadap anak tersebut. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004), anak sulung memiliki tanggung jawab yang lebih besar dan dituntut untuk lebih dewasa serta dapat memberikan contoh bagi adik-adiknya. Orang tua juga menjadi lebih mengekang atau menetapkan batas-batas tingkah laku anak. Hal tersebut tidak jarang membuat anak sulung cenderung mengalami stres bila tidak dapat memenuhi tuntutan yang diberikan.

Menurut Harlock (1980) diacu dalam Yulianti (2010), kedudukan seseorang dalam keluarga akan sangat mempengaruhinya menghadapi masyarakat dan dunia. Semua anggota keluarga memaksakan pola-pola perilaku tertentu kepada anggota keluarga yang lain pada saat mereka berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan cara inilah posisi dalam keluarga memberikan cap yang tidak dapat dihapuskan dari gaya hidup seseorang.

Karakteristik Keluarga Usia Orangtua

Berdasarkan Papalia dan Olds (2009), usia ibu dibagi menjadi tiga kategori, yakni dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir (>60 tahun). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004), usia dapat mempengaruhi cara memperlakukan dan mendidik anak. Perlakuan yang diberikan oleh orang tua terhadap anaknya haruslah disesuaikan dengan kematangan anak agar anak lebih siap menerima hal apa saja yang ingin

(26)

ditanamkan oleh orang tua. Dengan begitu, hal tersebut akan tetap tersimpan dan menjadi bagian kepribadian anak untuk kemudian membentuk konsep dirinya.

Tingkat Pendidikan Orangtua

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2001), pola komunikasi antar keluarga secara langsung maupun tidak langsung ditentukan oleh tingkat pendidikan orang tua. Tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianut, cara berpikir, cara pandang, dan juga persepsi terhadap suatu masalah (Sumarwan 2002).

Pekerjaan Orangtua

Bekerja merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara teratur dan berkesinambungan dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu dalam bentuk uang, benda, jasa, maupun ide. Menurut Sumarwan (2002), pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan seseorang dan akan mempengaruhi besar pendapatan yang diterimanya.

Pendapatan Orangtua

Pendapatan merupakan imbalan yang diterima oleh seseorang sebagai hasil dari pekerjaan yang dilakukan (Sumarwan 2002). Keluarga yang memiliki pendapatan rendah akan memiliki kegiatan keluarga yang kurang terorganisasi dibandingkan keluarga dengan pendapatan tinggi (Hurlock 1980).

Besar Keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dalam keadaan saling ketergantungan.

Model Pembelajaran

Berbagai upaya telah dilakukan dalam dunia pendidikan sebagai proses untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Munculnya inovasi dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif bagi pelaksana pendidikan itu sendiri. Salah satu bentuk inovasi dalam dunia pendidikan adalah munculnya model-model pembelajaran dengan berbagai program unggulan. Model-model ini dirancang dan

(27)

disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa yang memasuki kelas tersebut. Beberapa program yang telah diselenggarakan oleh sekolah, yaitu dengan adanya program kelas unggulan, seperti kelas Akselerasi dan membentuk Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).

Kelas Akselerasi

Program akselerasi merupakan proses percepatan belajar yang telah dilaksanakan sejak tahun 1998. Tokoh yang pertama kali merumuskan akselerasi adalah Pressy. Pada tahun 1949, Pressy mengemukakan bahwa akselerasi adalah suatu kemajuan dalam bidang pendidikan dengan laju yang lebih cepat daripada yang berlaku pada umumnya.

Semiawan (2000) diacu dalam Gunarsa (2006) mengatakan bahwa terdapat dua pengertian akselerasi, yang pertama adalah akselerasi sebagai model pembelajaran dan yang kedua akselerasi sebagai suatu kurikulum atau disebut sebagai program akselerasi. Dengan kata lain, akselerasi juga dikatakan sebagai suatu proses memulai tingkat pendidikan pada usia yang lebih muda dari yang biasanya. Program ini diperuntukkan untuk anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa di setiap jenjang sekolah. Program ini dilakukan dengan mempercepat waktu sekolah melalui pengurangan waktu selama satu tahun dari biasanya.

Menurut Southern dan Jones (1991) dalam Gunarsa (2006), terdapat dua kriteria untuk melakukan kemajuan dalam bidang pendidikan, yaitu prestasi yang telah ada dan kemampuan untuk maju dengan lebih cepat daripada norma yang telah ada. Terdapat dugaan juga bahwa seorang siswa yang superior akan mampu melaju dengan lebih cepat dibandingkan teman sebayanya dalam menjalani program pengajaran yang standar. Para ahli juga menyatakan bahwa akselerasi melaju dengan lebih cepat dari segi akademis yang mencakup penawaran kurikulum standar kepada siswa yang berusia lebih muda dan berbakat sehingga proses pembelajaran yang dilakukan akan sesuai dengan bakat dan potensi siswa. Departemen Pendidikan (2002) merumuskan akselerasi sebagai pemberian layanan pendidikan sesuai potensi siswa berbakat dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan teman-teman sebayanya.

(28)

Kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)

Dalam Bab XIV pasal 50 ayat 3 Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pemerintah daerah harus mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan menjadi bertaraf Internasional. Tujuan diadakannya RSBI ini adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia dengan kualitas global atau Internasional.

Kelebihan RSBI adalah memotivasi para siswa untuk mampu bersaing dalam dunia global. Seorang siswa lebih berani mencoba hal-hal baru sehingga akan menantang para guru untuk mengembangkan metode dan model pembelajaran di dunia Internasional. Salah satu standar RSBI adalah pendidik atau guru yang mengajar harus telah melalui jenjang pendidikan S2 atau S3 dengan kemampuan berbahasa Inggris yang aktif, secara lisan maupun tulisan.

Peraturan Pemerintah (PP) No 17/2010 yang terdiri atas tiga pasal, yaitu menurut Pasal 152 Ayat 1 yang berisi satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan yang menjadi taraf Internasional melakukan penjaminan mutu pendidikan sesuai dengan penjaminan khusus sekolah/madrasah bertaraf Internasional yang diatur oleh menteri. Selain itu juga diatur dalam Pasal 152 Ayat 2, yaitu Pemerintah provinsi/pemerintah kabupaten kota atau masyarakat dapat mendirikan sekolah/madrasah baru yang bertaraf Internasional dengan persyaratan harus memenuhi standar Nasional Pendidikan (SNP) sejak sekolah/madrasah berdiri dan juga pedoman penjaminan mutu sekolah/madrasah bertaraf Internasional yang ditetapkan oleh menteri sejak sekolah/madrasah berdiri.

Konsep Diri

Menurut Hurlock 1993, konsep diri diartikan sebagai gambaran seorang individu tentang dirinya secara fisik, sosial, dan psikologis yang diperoleh melalui interaksinya dengan orang lain. Hurlock (1980) menyatakan bahwa konsep diri mencakup citra fisik dan psikologis. Citra fisik ini terbentuk pertama kali dan berkaitan dengan penampilan fisik anak, daya tarik, serta kesesuaian dengan jenis kelaminnya juga pentingnya beberapa bagian tubuh untuk perilaku dan harga diri anak di mata orang lain. Citra psikologis terbentuk melalui pikiran, perasaan, dan emosi. Citra ini terdiri atas kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi

(29)

penyesuaian terhadap kehidupan, misalnya keberanian, kejujuran, kemandirian, kepercayaan diri, berbagai aspirasi, dan kemampuannya. Seiring dengan bertambahnya usia seorang anak, konsep diri fisik dan psikologis ini cenderung semakin menyatu dan pada akhirnya seorang anak akan menganggap diri mereka sebagai individu tunggal.

Dimensi Konsep Diri

Konsep diri bukan merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk melalui pengalaman individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam berinteraksi, setiap anak akan menerima sebuah tanggapan. Tanggapan tersebut akan dijadikan cara untuk menilai dan memandang diri seorang anak itu jika diberikan oleh orang-orang yang penting dalam hidup anak, seperti orang tua, guru, dan juga teman sebaya. Dengan kata lain, konsep diri seseorang terbentuk dari umpan balik individu lainnya. Bila orang-orang di sekitar anak menyenangi mereka, maka akan terbentuk pula konsep diri positif dalam diri anak. Konsep diri juga memiliki dua dimensi, yaitu dimensi internal dan eksternal.

Menurut Calhoun (1990) konsep diri memiliki tiga dimensi internal, antara lain:

1. Pengetahuan tentang diri sendiri (identitas diri), dimensi ini merupakan suatu faktor dasar yang akan menentukan seseorang dalam kelompok sosial tertentu. Setiap individu juga akan mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok sosial lain yang akan menambah julukan dirinya dan memberikan sejumlah informasi lain yang akan masuk dalam potret mental orang tersebut. 2. Harapan terhadap diri sendiri (tingkah laku)

Diri ideal setiap individu tidaklah sama. Harapan dan tujuan seseorang akan membangkitkan kekuatan yang mendorongnya menuju masa depan dan memandu kegiatan seumur hidupnya.

3. Evaluasi diri (kepuasan diri)

Evaluasi terhadap diri sendiri ini disebut dengan self esteem, yang akan menentukan seberapa jauh seseorang akan menyukainya. Semakin jauh perbedaan antara gambaran tentang siapa dirinya dengan gambaran seseorang

(30)

tentang bagaimana seharusnya ia menjadi, maka akan menimbulkan harga diri yang rendah dan sebaliknya.

Hal yang termasuk ke dalam dimensi eksternal konsep diri, antara lain diri fisik, yaitu persepsi seseorang terhadap keadaan fisik, kesehatan, penampilan diri, dan juga gerak motoriknya; diri etik moral, persepsi seseorang tentang dirinya sendiri yang ditinjau dari standar pertimbangan etik moral; diri personal, perasaan individu terhadap nilai-nilai pribadi terlepas dari fisik dan hubungannya dengan orang lain, juga sejauh mana individu merasa sebagai seorang pribadi; diri keluarga, perasaan dan harga diri seseorang sebagai bagian dari anggota keluarga, teman-teman sebaya, juga sejauh mana dirinya merasa sebagai anggota kelompok tersebut; serta diri sosial, penilaian seseorang tentang dirinya dalam berinteraksi dengan orang lain dalam suatu lingkungan yang lebih luas.

Ada beberapa hal yang mempengaruhi konsep diri seorang anak, antara lain peran orang tua, peran faktor sosial, dan faktor belajar. Keluarga, dalam hal ini orang tua dan saudara-saudara merupakan orang pertama yang menanggapi perilaku anak sehingga akan terbentuk konsep diri anak. Semua bentuk sanjungan, senyuman, pujian dan penghargaan akan menciptakan penilaian positif dalam diri anak. Lain halnya dengan cemoohan dan juga hardikan akan menyebabkan penilaian negatif dalam diri anak. Jika seseorang diterima, dihormati, dan disenangi oleh orang lain karena keadaan dirinya, maka mereka akan menghormati dan menyenangi diri mereka sendiri. Sebaliknya, saat seseorang seringkali diremehkan, disalahkan, dan ditolak, maka ia tidak akan menyenangi diri mereka sendiri.

Suatu kajian menyatakan bahwa kondisi keluarga akan lebih berpengaruh pada pembentukan konsep diri anak dibandingkan kondisi sosialnya. Kondisi keluarga yang kurang baik akan menciptakan konsep diri yang rendah pada anak. Kondisi keluarga yang kurang baik ini misalnya tidak adanya pengertian antara orang tua dan anak, tidak adanya keserasian antara ayah dan ibu, orang tua yang menikah lagi, sikap ibu yang tidak puas dengan hubungan ayah dan anak, serta kurangnya sikap menerima dari orang tua terhadap anak mereka. Selain itu, tuntutan orang tua terhadap anak akan mempengaruhi rendahnya konsep diri anak tersebut.

(31)

Konsep diri tinggi akan terbentuk dalam diri anak jika terdapat kondisi keluarga yang penuh dengan integritas dan tenggang rasa. Dengan begitu, anak akan memandang orang tua sebagai seorang figur yang berhasil dan dapat dipercaya. Anak juga akan merasa mendapatkan dukungan yang besar dari kedua orang tuanya saat menghadapi suatu masalah sehingga ia tumbuh menjadi anak yang tegas dan efektif dalam memecahkan masalah, rendahnya kecemasan dalam diri mereka, lebih positif serta realistis dalam memandang diri dan lingkungannya.

Kecerdasan Emosional Definisi Kecerdasan Emosi

Menurut Santrock (2007), emosi adalah perasaan yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau interaksi yang dianggap penting olehnya. Emosi dapat dipengaruhi oleh dasar biologis dan pengalaman masa lalu. Menurut Salovey dan Mayer dalam Hariwijaya (2005), kecerdasan emosional adalah kemampuan memantau dan mengendalikan emosi sendiri dan orang lain serta menggunakan emosi tersebut untuk memandu pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosional dimiliki seseorang sejak ia dilahirkan.

Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan seperti keluarga, sekolah, lingkungan bermain, dan lain sebagainya, tidak bersifat menetap, dan dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi pembentukan kecerdasan emosional. Goleman (2007) menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan dalam keadaan frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa. Kecerdasan emosional remaja juga akan mengarahkan remaja untuk membangun potensi dirinya. Menurut Goleman (2007), kecerdasan emosional dibagi menjadi lima dimensi utama, yaitu:

Mengenali emosi diri

Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan untuk diri sendiri, memiliki tolak ukur

(32)

realitas atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran emosi menurut Goleman (2007) juga dapat berupa kemampuan mengenali kekuatan serta kelemahan dan melihat diri sendiri dalam sisi yang positif namun tetap realistis. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

Mengelola emosi

Menangani emosi sedemikian rupa sehingga berdampak positif pada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup untuk menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, serta mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Menurut Gottman dan DeClaire (2007), pengelolaan emosi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menanggapi emosi dan pulih dari keadaan stres. Mengelola emosi juga merupakan suatu cara untuk menangani kecemasan, amarah, dan kesedihan melalui kemampuan untuk menyadari sesuatu yang ada di balik sebuah perasaan.

Memotivasi diri sendiri

Kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntut seseorang menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, serta untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusiasme, gairah, optimis, dan keyakinan diri.

Kemampuan memotivasi diri memiliki ciri-ciri seperti memiliki banyak akal untuk menemukan cara meraih tujuan, tetap memiliki kepercayaan yang tinggi ketika menghadapi masalah yang sulit, serta memiliki keberanian untuk memecahkan tugas yang berat menjadi suatu hal yang mudah diselesaikan (Goleman 2007). Shapiro (1998) menyatakan bahwa orang yang termotivasi memiliki keinginan dan kemauan untuk menghadapi dan mengatasi segala rintangan. Selain itu, motivasi diri juga dapat membuat seseorang bekerja keras untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan sehingga tercapai keberhasilan dan kepuasan diri.

(33)

Mengenali emosi orang lain (empati)

Menurut Goleman (2007), individu yang memiliki kemampuan empati akan lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan hal yang dibutuhkan orang lain sehingga ia mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain, dan dapat lebih mendengarkan orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal akan lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Seorang ahli psikologi juga menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi.

Seni membina hubungan

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman 2007). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Seseorang dapat berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2007). Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.

Keluarga adalah tempat pertama seseorang dalam mempelajari emosi, menentukan kehidupan emosi, dan juga pembentukan kepribadian seseorang. Goleman (1995) menyatakan bahwa kecerdasan emosional lebih utama dibandingkan kecerdasan kognitif. Apabila seseorang mengalami gangguan emosi, hal tersebut akan menyebabkan kesulitan untuk berpikir jernih, mengingat, terganggunya konsentrasi belajar, dan kapasitas intelektualnya. Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa anak yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan mempunyai prestasi yang baik pula, lebih original, lebih ulet, juga lebih termotivasi untuk berprestasi lebih baik lagi. Anak ini juga akan mempunyai penyesuaian sosial yang lebih baik sehingga dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik.

(34)

Stres

Stres merupakan gejala penyakit yang berkaitan dengan kemajuan yang pesat dan perubahan yang menuntut seseorang untuk beradaptasi terhadap perubahan dengan kecepatan yang sama pesatnya. Usaha, kesulitan, kesusahan, dan kegagalan dalam mengikuti kemajuan dan perubahan dapat menimbulkan berbagai keluhan. Menurut McElroy dan Townsend (1985), stres merupakan proses yang terjadi saat seseorang harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang jarang dialaminya. Stres terjadi jika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang dirasakan sebagai hal yang dapat mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya. Peristiwa tersebut disebut stresor dan reaksi orang terhadap peristiwa yang dialami disebut dengan respons stres.

Lazarus (1976) diacu dalam Sussman dan Steinmetz (1988) membagi sumber stres ke dalam dua tipe berdasarkan sifatnya, yaitu sumber stres bersifat fisik dan sumber stres yang bersifat psikososial. Sumber stres fisik merupakan stres biologis yang dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan emosi. Berbeda dengan stres psikososial, yaitu stres yang didasarkan pada kondisi lingkungan sosial tertentu. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan fisik orang yang mengalami stres. Stres psikologis ini dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain, krisis, frustasi, konflik, dan tekanan.

Menurut Higgins (1982) diacu dalam Astuti (2007) faktor-faktor yang berperan dalam stres merupakan kombinasi antara faktor internal (individual) dan faktor eksternal (lingkungan). Faktor-faktor tersebut, yaitu:

1. Faktor Internal (individual), seperti rasa percaya diri, motivasi, keyakinan individu secara umum tentang kehidupan sekitarnya, dan kemampuan beradaptasi.

2. Faktor Eksternal (lingkungan)

a. Faktor yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti peran dan tanggung jawab yang berlebihan, rutinitas, dan juga tuntutan pekerjaan.

b. Faktor non pekerjaan, seperti keluarga, teman, keuangan, hobi, kegiatan sosial, kondisi fisik, lingkungan fisik, dan lain-lain.

c. Perubahan dalam kehidupan, seperti kematian, menikah, dan mengubah kebiasaan.

(35)

Reaksi terhadap stres

Reaksi terhadap stres terbagi menjadi dua, yaitu reaksi fisik dan reaksi psikologis. Reaksi fisik berupa bagian tubuh yang bereaksi terhadap stresor dengan memulai seurutan kompleks respon bawaan terhadap ancaman yang dihayati. Jika ancaman yang muncul dapat diatasi dengan segera, respon darurat tersebut akan menghilang dan keadaan fisik individu akan kembali normal. Namun, jika kondisi stres terus menerus terjadi, maka akan muncul respon internal yang lain pada saat individu berusaha untuk beradaptasi dengan stresor kronis. Respon individu secara fisik ini ditandai dengan respon melawan atau melarikan diri karena kondisi ini memerlukan energi atau aksi segera. Akan tetapi, ternyata respon ini sangat tidak adaptif dalam menghadapi banyak sumber stres dalam kehidupan yang cukup modern. Menurut Dienstbier (1989) diacu dalam Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), stres intermiten (pemaparan kadang-kadang dengan periode pemulihan) dapat memberikan manfaat dalam bentuk kekuatan fisiologis dan akan menyebabkan toleransi stres selanjutnya.

Kondisi stres dapat menghasilkan reaksi emosional mulai dari kegembiraan sampai dengan emosi umum kecemasan, kemarahan, kekecewaan, dan depresi. Jika kondisi stres terus menerus terjadi, emosi seorang individu akan berpindah-pindah di antara emosi-emosi tersebut tergantung pada keberhasilan individu dalam menyelesaikannya. Hal ini terkait dengan reaksi psikologis terhadap stres. Emosi-emosi yang dihasilkan antara lain kecemasan, kemarahan, apati, dan gangguan kognitif.

Strategi Koping

Emosi dan juga berbagai reaksi yang ditimbulkannya (fisik dan psikologis) akan menimbulkan ketidaknyamanan dan hal ini akan memotivasi individu yang mengalami stres untuk melakukan sesuatu yang dapat menghilangkannya. Koping atau kemampuan untuk mengatasi masalah merupakan suatu proses yang digunakan oleh individu untuk menangani tuntutan yang dapat menimbulkan stres. Upaya koping biasanya dilakukan dengan mengenali dan menyadari sumber-sumber stres atau stresor. Tujuannya adalah agar sikap-sikap negatif seperti memberontak terhadap keadaan, apatis, dan mudah marah dapat dihindari karena sikap-sikap tersebut akan menimbulkan masalah baru (Handayani 2000).

(36)

Koping itu sendiri memiliki dua bentuk utama. Individu dapat lebih fokus pada masalah atau situasi spesifik yang terjadi sambil mencoba menemukan cara untuk mengubah atau menghindarinya di kemudian hari. Hal ini disebut dengan strategi terfokus masalah. Individu juga dapat berfokus untuk menghilangkan emosi yang berhubungan dengan situasi stres, walaupun situasi sendiri tidak dapat diubah. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), proses yang kedua ini dinamakan strategi terfokus emosi. Kedua jenis koping ini mencakup beberapa hal, seperti perencanaan dan pengorganisasian waktu, pengembangan rasa humor, pencarian lingkungan yang memberikan kenyamanan, dan juga pengembangan tingkah laku positif.

Strategi Terfokus Masalah (Problem-focused Coping)

Menurut Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), strategi yang dilakukan untuk memecahkan suatu masalah misalnya dengan menentukan masalah, menciptakan pemecahan alternatif, menimbang alternatif yang berkaitan dengan biaya dan manfaat, memilih salah satu di antaranya, dan kemudian mengimplementasikan alternatif yang telah dipilih. Strategi terfokus masalah juga dapat diarahkan ke dalam orang yang dapat mengubah sesuatu pada dirinya sendiri dan bukan mengubah lingkungan. Contoh dari strategi ini antara lain mengubah tingkat aspirasi, menemukan sumber pemuasan alternatif, dan mempelajari kecakapan baru. Kecakapan individu dalam menerapkan strategi ini tergantung dari pengalaman dan kapasitasnya untuk mengendalikan diri.

Menurut Nezu, Nezu, dan Peri (1989) diacu dalam Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), terapi yang mengajarkan orang depresi untuk menggunakan strategi terfokus masalah akan lebih efektif dalam membantu mengatasi depresinya dan dapat beradaptasi secara lebih adaptif terhadap stresor. Menurut Parker dan Endler (1996) diacu dalam Rahayu (1998), strategi berfokus masalah terdiri atas empat dimensi, yaitu perilaku aktif mengatasi stres, perencanaan, penekanan kegiatan lain, dan pengendalian perilaku dalam mengatasi stres.

Strategi Terfokus Emosi (Emotion-focused Coping)

Menurut Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), orang menggunakan strategi terfokus emosi dengan tujuan untuk mencegah emosi negatif yang dapat

Gambar

Gambar 1 Hubungan antara konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping pada berbagai model pembelajaranKonsep Diri
Gambar 2 Kerangka contoh penelitian  Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data  Jenis
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat masalah diatas, tulisan ini direkomendasikan bagi gereja agar dapat merumuskan visi gereja secara jelas, agar pelayanan yang dijalankan dapat

Wawancara merupakan suatu bentuk komunikasi semacam tanya jawab secara langsung antara penyelidik dengan subjek berupa percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi

Oleh karena itu Agrowisata Kebun Teh Pagilaran harus selalu memperhatikan kebutuhan dan kepuasan para konsumen dengan memberikan pelayanan yang terbaik agar para

Keterangan : 1 Bagi peserta yang yang merupakan badan usaha dapat diwakilkan dengan ketentuan WAJIB membawa Surat Kuasa/Surat Tugas dari Pimpinan Perusahaan

Dibandingakan dengan minuman yang dikemas dengan kaleng, pengemasan yang paling banyak dijumpai dengan pengemasan botol, pengemasan kaleng sering menimbulkan kerugian,

Berdasarkan studi terhadap pengertian dan karakteristik arsitektur Green Building, serta studi terhadap bangunan dengan pengaplikasian Green Building, maka hal-hal yang

mempertahankan orbitnya dengan gaya tarik bumi yang terjadi pada benda

Selanjutnya ditambahkan fungsi administrasi pendidikan dalam buku Ahmad Sabri adalah pengarahan, koordinasi, dan evaluasi. Pengarahan maksudnya member bimbingan dan petunjuk yang