Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
(makhluk hidup) yang bersangkutan.Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis
semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan
manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing.
Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah
tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang
sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah,
menulis, membaca, dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan Perilaku (manusia)
adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung,
maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2012).
Bentuk operasional dari perilaku dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu :
1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi dan
ransangan.
2. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan perasaan terhadap keadaan atau
rangsangan dari luar diri si subjek sehingga alam itu sendiri akan mencetak
perilaku manusia yang hidup didalamnya, sesuai dengan sifat keadaan alam
tersebut(lingkungan fisik) dan keadaan lingkungan sosial budaya yang bersifat
non fisik tetapi mempunyai pengaruh kuat terhadap pembentukan perilaku
3. Perilaku dalam bentuk tindakan, yang sudah konkret berupa perbuatan terhadap
situasi dan rangsangan dari luar.
2.1.1 Perilaku dalam Bentuk Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan umumnya dating dari
pengalaman juga dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan orang lain,
didapat dari buku, surat kabar, atau media massa elektronik. Penginderaan terjadi
melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, penciuman, rasa, dan raba.
Sebagian besar pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang ( overt behavior).
Pada dasarnya pengetahuan terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang
memungkinkan seseorang dapat memahami sesuatu gejala dan memecahkan
masalah yang dihadapi. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung
ataupun melalui pengalaman orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui
penyuluhan baik secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan
pengetahaun kesehatan yang bertujuan untuk tercapainya perubahan perilaku
individu, keluarga, dan masyarakat dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan
optimal.
Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan mempunyai enam tingkatan,
1. Tahu (Know)
Diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bagian yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang
tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan,
mendefenisikan, mengatakan.
2. Pemahaman (Comprehension)
Diartikan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara
benar.Orang telah memahami atau dapat harus menjelaskan objek (materi),
menyebutkan contoh, menyampaikan, meramalkan objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi
disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan buku, rumus,
metode, prinsip dalam konteks, atau situasi lain. Misalnya adalah dapat
menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan-perhitungan
hasil penelitian dan dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan
masalah kesehatan dari kasus-kasus yang diberikan.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek
masi ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat
dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan,
memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk menghubungkan
bagian-bagian ke dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan
katan lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
yang ada. Misalnya : dapat menyusun, merencanakan, meringkas,
menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan
yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan-kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau
objek.Penilaian-penilaian ini berdasarkan kriteria-kriteria yang ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden.Kedalaman pengetahuan yang ingin ingin kita ketahui atau kita
ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkatan di atas (Notoatmodjo,
2005).
2.1.2 Perilaku Dalam Bentuk Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap
ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tretutup.Sikap secara nyata
menunjykkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang
dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap
stimulus sosial (Notoatmodjo, 2005).
Secara umum sikap dapat di rumuskan sebagai kecenderungan untuk
merespon ( secra positif dan negatif) terhadap orang, objek atau situasi tertentu.
Sikap mengandung suatu penelitian emosional/afektif (senang, benci, sedih, dan
sebagainya). Selain bersifat positif dan negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman
yang berbeda-beda (sangat benci,agak benci, dan sebagainya). Sikap itu tidaklah
sama dengan prilaku dan prilaku tidaklah mencerminkan sikap seseorang. Sebab
sering kali terjadi bahwa seseorang dapat berubah dengan memperlihatkan
tindakan yang bertentangan dengan sikapnya.Sikap seseorang dapat berubah
dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut melalui persuasi
serta tekanan dari kelompok sosialnya.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak langsung dapat
dilihat, tetapi dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Allport
(1954) dalam Notoadmodjo (2005), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga
komponen pokok yaitu :
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evluasi terhadap suatu objek.
Sikap ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan, yaitu :
1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperlihatkan stimulus
yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang teerhadap gizi dapat dilihat dari
kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.
2. Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya.Mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas
dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide
tersebut.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak oranglain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya: seorang ibu mengajak ibu
yang lain untuk pergi menimbangkan anaknya keposyandu atau
mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah
mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Ciri – ciri sikap adalah :
1. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang
membedakannya dengan sifat motif-motif biogenetis seperti lapar, haus, atau
kebutuan akan istirahat.
2. Sikap dapat berubah-ubah karena sikap dapat dipelajari dankarena itu pula
sikap dapat berubah-ubah pada orang bila terdapat keadaan-keadaan dan
syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.
3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu
terhadap suatu objek. Dengan kata lain, sikap itu dibentuk, dipelajari atau
berubah senantiasa.
4. Objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu tetapi juga merupakan
kumpulan dari hal-hal tersebut.
5. Sikap mempunyai segi motifasi dari segi-segi perasaan. Sifat ilmiah ynag
membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan
yang dimiliki orang (Purwanto (1999) dalam Notoatmodjo,2005).
Fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan yakni :
1. Sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Sikap adalah sesuatu yang bersifat
communicable artinya sesuatu yang udah menjalar sehingga mudah pula
menjadi milik bersama.
2. Sebagai alat pengatur tingkah laku. Seorang tahu bahwa tingkah laku anak
kecil atau binatang umumnya merupakan aksi-aksi yang spontan terhadap
sekitarnya. Antara perangsang dan reaksi tidak ada pertimbangan tetapi pada
orang dewasa dan yang sudah lanjut usianya, perangsang itu pada umunya
tidak diberi reaksi secara spontan akan tetapi terdapat adanya proses secara
reaksi terhadap sesuatu yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud
pertimbangan-pertimbangan atau penilaian terhadap perangsang itu
sebenarnya bukan hal yang berdiri sendiri tetapi merupakan sesuatu yang erat
hubungannya dengan cita-cita orang, tujuan hidup orang, peraturan-peraturan
kesusilaan yang ada dalam bendera, keinginan-keinginan pada orang itu dan
sebagainya.
3. Sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu
dikemukakan bahwa manusia didalam menerima pengalaman-pengalaman
dari dunia luar sikapnya tidak pasif tetapi diterima secara aktif artinya semua
pengalaman yang berasal dari luar itu tidak semuanya dilayani oleh manusia
tetapi juga manusia memilih mana-mana yang perlu dan yang mana tidak
perlu dilayani. Jadi semua pengalaman ini diberi penilaian lalu dipilih.
4. Sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering mencerminkan kepribadian
seseorang. Ini sebabnya karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang
mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada objek-objek
tertentu, sedikit banyak orang bias mengetahui pribadi orang tersebut. Jadi
sikap sebagai pernyataan pribadi. Apabila kita akan mengubah sikap
seseorang, kita harus mengetahui keadaan sesungguhnya dari sikap orang
tersebut. Dengan mengetahui keadaan sikap itu, kita akan mengetahui pula
mungkin tidaknya sikap tersebut dapat diubah dan bagaimana cara mengubah
2.1.3 Perilaku Dalam Bentuk Tindakan
Suatu sikap belum optimis terwujud dalam suatu tindakan untuk
trewujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung/suatu kondisi yang memungkin (Notoatmodjo, 2005). Tindakan terdiri
dari empat tingkatan, yaitu :
1. Persepsi (Perception)
Mengenal dan milih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
2. Respon terpimpin (Guided Response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh adalah merupakan indicator praktik tingkat dua.
3. Mekanisme (Mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
optimis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai
praktik tingkat tiga.
4. Adopsi (Adoption)
Adopsi adalah praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik
artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut.
2.2 Perilaku Kesehatan
Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner, perilaku kesehatan adalah suatu
dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman,
serta lingkungan.Dari batasan in, perilaku kesehatan dapat diklafikasikan menjadi
3 kelompok (Notoatmodjo, 2007).
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health maintenance)
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau
menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit.
Oleh sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek yaitu :
a) Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta
pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b) Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat.
Perlu dijelaskan disini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif,
maka dari itu orang yang sehat pun perlu dkkiupayakan supaya mencapai
tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
c) Perlu gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat
memelihara serta meningkatkan kesehatan seseorang tetapi sebaliknya
makanan dan kkkminuman dapat menjadi penyebab menurunnya
kesehatan seseorang, bahkan mendatangkan penyakit. Hal ini sangat
tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan
kesehatan atau sering disebut perilaku pencarian pkkkengobatan (health
seeking behavior ).Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan
Suchman (1965) memberikan batasan perilaku sakit sebagai tindakan
untuk menghilangkan rasa tidak enak (discomfort) atau rasa sakit sebagai
akibat dari timbulnya gejala tertentu. Suchman menganalisa pola proses
pencarian pengobatan dari segi individu maupun pola proses pencarian
pengobatannya, terhadap lima macam reaksi dalam proses mencari
pengobatan :
a. Shoping adalah proses mencari alternatif sumber pengobatan yang
menemukan seseorang yang dapat memberikan diagnosa atau
pengobatan sesuai dengan harapan si sakit.
b. Figmentation adalah proses pengobatan oleh beberapa fasilitas
kesehatan pada lokasi yang sama. Contoh : Berobat ke dokter,
sekaligus ke sinse dan dukun.
c. Procrastination adalah proses penundaan pencarian pengobatan
meskipun gejala penyakitnya sudah dirasakan.
d. Self medication ialah pengobatan sendiri dengan menggunakan
berbagai ramuan atau obat-obatan yang dinilainya tepat baginya.
e. Discontinuity adalah penghentian proses pengobatan.
Dalam menentukan reaksi/tindakan sehubungan dengan gejala penyakit
yang dirasakannya, menurut Suchman individu berproses melalui tahap-tahap
berikut ini : tahap pengenalan gejala, tahap asumsi peran sakit, tahap kontak
dengan pelayanan kesehatan, tahap ketergantungan ksi sakit, tahap
3. Perilaku kesehatan lingkungan. Bagaimana seseorang merespons
lingkungan,baik lingkungan fisik maupun social budaya dan sebagainya,
sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan
perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak
mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga atau masyarakatnya.
Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu
pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan
contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas
terutama petugas kesehatan dan diperlukan juga undang-undang kesehatan untuk
memperkuat perilakuk tersebut (Notoatmodjo, 2005).
2.3 Pola Pencarian Pengobatan
Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit dan tidak
merasakan sakit (disease but not illness) sudah tentu tidak akan bertindak apa-apa
terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga
merasakan sakit, maka baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha.
Dari beberapa hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
pola pencarian pengobatan pada beberapa daerah. Hal ini tidak dapat dijelaskan
hanya karena adanya perbedaan morbidity rate atau karakteristik demografi
penduduk, tetapi faktor-faktor sosial budaya yang menyebabkan tidak
digunakannya fasilitas kesehatan.Penggunaan pelayanan kesehatan tidak perlu
diukur hanya dalam hubungannya dengan individu tetapi dapat diukur
Young (1980) menyatakan bahwa ada tiga pertanyaan pokok yang
biasanya dipakai dalam pengambilan keputusan yaitu :
a. Alternatif apa yang dilihat oleh anggota masyarakat agar mampu
menyelesaikan masalahnya, disini alternatf yang dimaksud adalah
pengobatan sendiri, pengobatan tradisional, paramedis, dokter dan rumah
sakit.
b. Kriteria apa yang dipakai untuk memilih salah satu dari berbagai
alternatifyang ada. Kriteria yang dipakai untuk memilih sumber
pengobatan adalah keparahannya, pengetahuan tentang pengalaman sakit
dan pengobatannya, keyakinan efektivitas pengobatan dan obat, serta
biaya dan jarak yang terjangkau.
c. Bagaimana proses pengambilan keputusan untuk memilih alternatif
tersebut.Proses pengambilan keputusan ini dimulai dengan penerimaan
informasi, memproses berbagai informasi dengan kemungkinan
dampaknya, kemudian mengambil keputusan dari berbagai kemungkinan
dan melaksanakannya. Masyarakat yang berpenyakit dan tidak merasakan
sakit (disease but no illness) pasti tidak akan berbuat apa-apa mengenai
penyakitnya. Ini berbeda apabila seseorang itu berpenyakit dan merasakan
sakit, maka baru timbul berbagai macam perilaku dan usaha, misalnya:
1. Tidak melakukan apa-apa. Ini disebabkan oleh kondisi yang sakit tersebut
tidak mengganggu kegiatan mereka sehari-hari. Mungkin mereka
beranggapan bahwa tanpa bertindak apa pun gejala yang dideritanya akan
Selain itu ada juga yang beralasan bahwa kesehatan bukan prioritas di
dalam hidup dan kehidupannya.Alasan yang lain adalah fasilitas
kesehatanjauh,para petugas kesehatan tidak simpatik, tidak sanggup biaya,
takut ke rumah sakit, dan lain-lain.
2. Tindakan berobat sendiri (self treatment). Alasannya juga sama seperti
diatas (1).Perkara lain yang bisa dijadikan tambahan untuk tindakan
mengobat sendiri ini adalah mereka percaya kepada diri sendiri karena
pengalaman yang lalu dimana pengobatan sendiri mendatangkan
kesembuhan.Hal ini menngakibatkan pencarian pengobatan keluar tidak
diperlukan.
3. Tindakan berobat ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional
remedy). Bagi masyarakat desa pengobatan tradisional ini masih menjadi
pilihan utama. Selain itu bagi masyarakat sederhana pula pencarian
pengobatan lebih cenderung ke arah sosial budaya masyarakat berbanding
hal-hal yang masih dianggap masih asing.
4. Tindakan berobat melalui pembelian obat-obat di warung. Obat-obat dibeli
umumnya tidak memakai resep dan belum menimbulkan masalah
kesehatan yang cukup serius.
5. Tindakan berobat ke fasilitas-fasilitas pengobatan yang modern seperti
balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit.
6. Tindakan mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yaitu
2.3.1 Aspek Sosial Budaya dalam Pencarian Pelayanan Kesehatan
Walaupun jaminan kesehatan dapat membantu banyak orang yang
berpenghasilan rendah dalam memperoleh perawatan yang mereka butuhkan,
tetapi ada alasan lain disamping biaya perawatan kesehatan, yaitu adanya celah
diantara kelas sosial dan budaya dalam penggunaan pelayanan kesehatan.
Seseorang yang berasal dari kelas sosial menengah kebawah merasa diri
mereka lebih rentan untuk terkena penyakit dibandingkan dengan mereka yang
berasal dari kelas atas. Sebagai hasilnya mereka yang berpenghasilan rendah lebih
tidak mungkin untuk mencari pencegahan penyakit (Sarafino,2002).
2.3.2 Faktor Budaya dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan
Faktor kebudayaan yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan
diantaranya adalah:
1. Rendah penggunaan pelayanan kesehatan pada suku bangsa terpencil.
2. Ikatan keluarga yang kuat lebih banyak menggunakan fasilitas
pelayanan kesehatan.
3. Meminta nasehat dari keluarga dan teman-teman.
4. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit. Dengan asumsi jika
pengetahuan tentang sakit meningkat maka penggunaan pelayanan
kesehatan juga meningkat.
5. Sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap provider sebagai pemberi
2.4 Teori tentang Penggunaan Pelayanan Kesehatan
Menurut Levey dan Loombo yang dijabarkan oleh Azrul Azwar (1996),
menyatakan bahwa pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang
diselenggarakan secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencagah dan menyembuhkan
penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan
ataupun masyarakat.
Dalam mencapai kesejahteraan dan pemeliharaan penyembuhan penyakit
sangat diperlukan pelayanan kesehatan yang bermutu dimana tanpa adanya
pelayanan kesehatan yang bermutu dan menyeluruh di wilayah Indonesia ini
tidak akan tercapai derajat kesehatan yang optimal (Azwar, 1996).
2.4.1 Teori Andersen/ Health System Model
Menurut teori Andersen dalam Muzaham (1995), ada tiga faktor yang
mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan yaitu :
1. Mudahnya menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan (karakteristik
predisposisi).
2. Adanya faktor-faktor yang menjamin terhadap pelayanan kesehatan yang
ada (karakteristik pendukung).
3. Adanya kebutuhan pelayanan kesehatan (karakteristik kebutuhan).
2.4.2 Model Kepercayaan Kesehatan / Health Belief Model
Model kepercayaan adalah suatu bentuk penjabaran dari model
sosio-psikologis seperti disebutkan diatas. Munculnya model ini didasarkan pada
kenyataan bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan
orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan
penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider kesehatan. Kegagalan
ini akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit
(preventive health behavior), yang oleh Becker (1974) dikembangkan dari teori
lapangan (Lewin, 1954) menjadi model kepercayaan kesehatan (health belief
model).
Ada 4 variabel yang menyebabkan seseorang mengobati penyakitnya:
1. Kerentanan yang dirasakan (Perceived susceptibility)
Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia
harus merasakan bahwa ia rentan (susceptible) terhadap penyakit tersebut. Dengan
kata lain, suatu tindak pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila
seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarganya rentan terhadap penyakit
tersebut.
2. Keseriusan yang dirasakan (Perceived Seriousness)
Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit
akan didorong pula oleh persepsi keseriusan penyakit tersebut. Penyakit polio
itu, tindakan pencegahan polio akan lebih banyak dilakukan bila dibandingkan
dengan pencegahan (pengobatan) flu.
3. Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (Perceived benafis and
barries)
Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang
dianggap gawat (serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini
tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang ditemukan
dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat tindakan lebih
menentukan daripada rintangan-rintangan yang mungkin ditemukan di dalam
melakukan tindakan tersebut.
4. Isyarat atau tanda-tanda untuk bertindak ( Cues to action)
Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan,
kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa
faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut misalnya, pesan-pesan pada media
masssa, nasihat atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga lain dari si sakit,
dan sebagainya.
2.4.3 Teori Lawrence Green
Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan.
Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu
causes). Selanjutnya perilaku kitu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga
faktor.
a. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan
masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai
yang dianut oleh masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi
dan lain sebagainya.Seseorang mau untuk bertindak mencari pelayanan
kesehatan diperlukan pengetahuan dan kesadaran seseorang tersebut
tentang manfaat bagi kesehatannya sendiri. Disamping itu kadang-kadang
kepercayaan, tradisi dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong
atau menghambat seseorang berobat ke pelayanan kesehatan.
b. Faktor-faktor pendukung (Enabling factors), yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau
sarana-sarana kesehatan, misalnya : air bersih, tempat pembuangan
sampah, pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi dan
sebagainya. Termasuk juga fasilitas kesehatan Puskesmas, Rumah Sakit,
Poliklinik, Posyandu, Polindes, Pos Obat Desa, Dokter atau Bidan Praktek
Swasta dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan
sarana dan prasarana pendukung, misalnya : seseorang individu mau pergi
ke pelayanan kesehatan untuk berobat tidak hanya karena dia tahu dan
sadar manfaatnya, melainkan individu tersebut dengan mudah harus dapat
memperoleh fasilitas atau tempat periksa kesehatannya misalnya :
pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku
kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor
pemungkin.
c. Faktor-faktor pendorong (Reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap
dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan
kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Masyarakat mau untuk pergi
langsung ke pelayanan kesehatan, masyarakat kadang-kadang bukan
hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja,
melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat,
tokoh agama, para petugas, terutama petugas kesehatan. Seseorang
individu mau untuk bertindak/bereaksi diperlukan juga dorongan dari
pihak keluarga maupun temannya.
2.5 Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah upaya, pekerjaan atau kegiatan kesehatan
yang ditunjukkan untuk mencapai derajat kesehatan perorangan/masyarakat yang
optimal /setinggi-tingginya (Pusdokkes Polri, 2006).
Pelayanan kesehatan dibedakan dalam dua golongan yakni :
1. Pelayanan kesehatan primer (primary helath care), atau pelayanan kesehatan
masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang paling depan, yang pertama kali
diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami gangguan kesehatan atau
kecelakaan.
2. Pelayanan kesehatan skunder dan tersier (secondary and tertiary health care),
(rujukan). Di Indonesia terdapat berbagai tingkat rumah sakit, mulai dari rumah
sakit tipe D sampai dengan rumah sakit kelas A.
Pelayanan kesehatan masyarakat pada prinsipnya mengutamakan
pelayanan kesehatan promotif dan preventif.Pelayanan promotif adalah upaya
meningkatkan kesehatan masyarakat ke arah yang lebih baik lagi dan yang
preventif mencegah agar masyarakat tidak jatuh sakit agar terhindar dari penyakit.
Oleh sebab itu pelayanan kesehatan masyarakat itu tidak hanya tertuju
pada pengobatan individu yang sedang sakit saja, tetapi yang lebih penting adalah
upaya-upaya pencegahan (preventif) dan peningkatan kesehatan
(promotif).Sehingga, bentuk pelayanan kesehatan bukan hanya puskesmas atau
balkesma saja, tetapi juga bentuk-bentuk kegiatan lain, bail yang langsung kepada
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, maupun yang secara tidak
langsung berpengaruh kepada peningkatan kesehatan.
Bentuk-bentuk pelayanan kesehatan tersebut antara lain berupa Posyandu,
dana sehat, Polindes (poliklinik desa), pos obat desa (POD), pengembangan
masyarakat atau community development, perbaikan sanitasi lingkungan, upaya
Penelitian ini bermaksud untuk menggambarkan pola masyarakat dalam
hal pencarian pengobatan. Dari skema di atas dapat dilihat berdasarkan modifikasi
dari dua teori yang berbeda. Teori Helath Belief Model (HBM) yang merupakan
teori perilaku pencarian pengobatan, sedangkan teori Lawrence Green merupakan
teori faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku khususnya perilaku kesehatan
seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi
(pengetahuan, sikap, persepsi kerentanan, persepsi keseriusan, dan persepsi
manfaat) faktor pendukung ( fasilitas pelayanan pengobatan) dan faktor
pendorong (keluarga, teman dan media cetak/elektronik) mempengaruhi pola
pencarian pengobatan di desa Pamah Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang