• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGURAI BENANG KUSUT SEJARAH HUBUNGAN I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENGURAI BENANG KUSUT SEJARAH HUBUNGAN I"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

MENGURAI "BENANG KUSUT"

SEJARAH HUBUNGAN ISLAM DAN KRISTEN DI INDONESIAOleh: Irfan Noor∗

Abstrak:

Indonesia sejak lama telah dikenal sebagai sebuah bangsa yang memiliki keragaman dalam bidang budaya, etnik, bahasa juga agama. Keragaman yang telah menjadi ciri masyarakat Indonesia tersebut, tentunya bisa dikatakan merupakan berkah tersendiri. Namun, di balik berkah yang ada tersebut, Indonesia pada dasarnya memiliki potensi konflik yang sangat tinggi di tingkat hubungan sosial, antara sesama warganya. Dalam sejarah panjangnya, konflik sosial yang sering terjadi di negeri ini tidaklah bisa dilepaskan dari berbagai keterlibatan agama sebagai sumber pemicu

meluasnya eskalasi konflik tersebut. Realitas potensi konflik seperti itulah yang akan menjadi fokus kajian dalam artikel ini. Melalui refleksi kritis atas buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia yang ditulis Jan S. Aritonang, penulis menyimpulkan bahwa konflik antar agama (Islam-Kristen) yang sering terjadi di Indonesia sering terkait dengan dinamika kehidupan politik dan kekuasaan di negeri ini.

Kata-Kata Kunci: Multikulturalisme, Kristenisasi, Misionaris, Pergumulan, Hard Encounter.

Pendahuluan

Indonesia, yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Hindia Belanda, dilihat dari

sudut pandang mana saja – geologis, historis, dan kultural -- merupakan sebuah negara dan

bangsa yang kompleks. Karena itu, bukanlah tanpa alasan jika "Bhinneka Tunggal Ika"

yang merupakan semboyan resmi negara ini dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini untuk

tujuan menegaskan keragaman etnis dan kesatuannya. Terlepas dari keragaman etnisnya,

Tulisan ini merupakan pengembangan dari makalah yang telah dipresentasikan untuk Seminar dan Bedah Buku “Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia” dalam rangka Dies Natalis ke-73 STT Gereja Kalimantan Evangelis pada tanggal 02 Februari 2005 di Aula STT GKE Banjarmasin.

Irfan Noor adalah Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Alumni

(2)

termasuk terdapatnya lebih dari 250 bahasa daerah, masyarakat Indonesia juga memiliki

keragaman agama-agama yang dianut oleh penduduknya.1

Keragaman yang telah menjadi ciri masyarakat Indonesia tersebut, tentunya, bisa

dikatakan merupakan berkah tersendiri yang tidak semua Negara di dunia ini dapat

memilikinya. Namun demikian, di balik berkah yang ada tersebut, Indonesia pada dasarnya

memiliki potensi untuk terjadinya konflik di tingkat hubungan sosial, antara sesama

warganya. Dalam sejarah panjangnya, konflik sosial yang sering terjadi di negeri ini sering

tidaklah bisa dilepaskan dari berbagai keterlibatan agama sebagai sumber pemicu meluasnya

eskalasi konflik tersebut. Sebut saja di sini, sebagai contoh, adalah konflik Ambon dan

Poso.

Oleh karena itu, penelusuran kembali perjalanan historis perjumpaan

agama-agama di Indonesia merupakan tema penting yang patut untuk diangkat sebagai salah satu

cara untuk mengurai "benang kusut" carut-marut perjalanan agama-agama di tengah-tengah

dinamika sosial bangsa ini. Realitas keagamaan seperti di atas sangatlah kontekstual ketika

dijadikan titik-tolak untuk memberikan penilaian atas terbitnya buku Sejarah Perjumpaan

Kristen dan Islam di Indonesia yang ditulis oleh Jan S. Aritonang,2 sebuah buku yang pada

dasarnya adalah upaya untuk melakukan penelusuran historis atas dinamika perjalanan

agama-agama, dengan fokus telaah pada perjumpaan Kristen dan Islam yang terkait dengan

kehidupan politik dan kekuasaan di Indonesia.3 Bahasan buku yang mencakup sekitar lima

abad (abad 16-21) perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia ini menunjukkan bahwa

perjumpaan yang terjadi antar kedua agama tersebut sering kali justru menampilkan

"pergumulan" (strunggle) yang banyak terkait dengan kehidupan politik dan kekuasaan.

Agama di antara Realitas Transendental dan Historisitas Keberagamaan Manusia Jika memang konflik sosial yang terjadi di negeri ini sering tidak bisa dilepaskan

dari berbagai keterlibatan agama, lalu bagaimana sesungguhnya realitas agama itu sendiri ?

Apakah, secara struktural, agama pada dirinya berdimensi tunggal atau justru berdimensi

plural ?

1

Alwi Shihab, Membendung Arus; Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 16.

2

Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2004). Buku yang ditulis setebal 666 halaman dan ditambah 27 halaman untuk "Kata Pengantar" yang ditulis oleh Azyumardi Azra (termasuk indeks dan daftar singkatan) ini merupakan buah karya seorang Pendeta yang sangat concern atas perwujudan kesaling-pemahaman antar agama, khususnya Islam-Kristen.

3

(3)

Agama atau fenomena agama merupakan "pelembagaan" pengalaman religiusitas

(pengalaman iman), pengalaman disapa oleh Yang Ilahi, yakni Sang Sumber Hidup,

Pencipta Yang Maha Mengatasi Dunia, Sang Arah dan Tujuan Hidup yang dialami manusia.

Oleh karena itu, iman sebagai tanggapan manusia terhadap "disapa" itu merupakan relasi

manusia dengan Yang Ilahi. Dalam relasi ini, manusia menanggapi dengan penuh

penyerahan dan mengarahkan hidupnya agar mendapatkan arti dari Yang Ilahi. Karena

pengalaman iman itu biasanya dihayati bersama dengan umat (sesama), maka manusia

beragama mempunyai lingkup sosial dan penampilan sosialnya yang secara "lembagawi"

tampil dalam agama.4

Walaupun Agama selalu berhubungan dengan pengalaman dan perjumpaan

dengan "Yang Ilahi" (Rudolf Otto, F. Heiler, M. Eliade, G. Mensching). Entah kenyataan

Yang Ilahi itu dipikirkan sebagai satu kekuatan tunggal, sebagai kekuatan-kekuatan

(roh-roh, setan-setan, malaikat) atau sebagai "seorang" pribadi Allah; sebagai keilahian yang

impersonal atau sebagai suatu kenyataan yang definitif (Nirwana, kasunyutan, Tao). Agama

juga, pada dasarnya, merupakan suatu realisasi sosio-individu yang hidup (dalam ajaran,

tingkah laku, ritus/upacara keagamaan) dari suatu relasi dengan yang melampaui kodrat

manusia (Yang Ilahi) dan dunianya dan berlangsung lewat tradisi manusia dan dalam

masyarakatnya.5

Pada konteks inilah, agama menjadi suatu konstanta dalam pengalaman manusia.

Ia bergumul di antara kategori-kategori manusia yang terhingga yang cenderung untuk

membatasinya dan dengan keterbukaannya terhadap transendensi yang cenderung

melampauinya. Secara dalam, agama tertanam dalam kehidupan manusia yang fana, tetapi

agama juga menyatu ke dalam kehidupan Ilahi yang abadi.6 Oleh karena itu, agama menjadi

sangat eksistensial dan sangat pribadi. Karena karakteristiknya yang sangat eksistensial dan

sangat pribadi inilah, agama mampu mengikat komitmen pribadi secara total dari manusia.

Agama, akhirnya, tidak hanya menjadi soal "percaya" (to believe) melainkan juga soal

"mempercayakan diri" (to trush),7 sehingga dalam sejarah perjalanan manusia agama begitu

4

Mudji Sutrisno, "Agama, Harkat Manusia dan Modernisme", dalam TH. Sumartana, dkk (ed.), Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: DIAN/INTERFIDIE, 1993), hlm. 199.

5

YB. Sudarmanto, Agama dan Politik Kekerasan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 17.

6

William McInner, "Agama di Abad Duapuluh Satu", diterjemahkan oleh Dewi Yaminah, dalam Jurnal Ulumul Qur'an, No. 5, Vol. II, 1990, hlm. 63.

7

(4)

menjadi kebutuhan dasar manusia karena ia bisa menjadi sarana untuk pertahanan

eksistensial manusia dalam perjalanan hidupnya.8

Sejalan dengan kesadaran spiritualitas yang mengekspresikan diri dalam

historisitas pengalaman manusia, agama lalu memasuki wilayah "human construction", dimana

ia terlibat dalam kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal-usul

(antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan

ketenangan jiwa (psikologis), dorongan yang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan

hidup yang optimal (ekonomis), dan bentuk kesadaran historis lainnya.9 Secara ilustratif,

Arkoun menjelaskan jarak yang membentang ini sebagai berikut:

Ada jarak antara makna potensial terbuka yang diberikan dalam agama dan aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang diaktualisasi dan dijelmakan dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan, dan penalaran khas masyarakat tertentu ataupun dalam berbagai wacana keagamaan. Ada berbagai faktor sosial, budaya, psikis, politis, dan lain-lain yang mempengaruhi proses aktualisasi tersebut.10

Pada wilayah yang terbuka ini, menurut Askari, agama memasuki suatu "kategori

subjektivitas-ganda, suatu kategori yang melingkupi subjektivitas personal dan subjektivitas

masyarakat. Keduanya secara bersama-sama membentuk totalitas keagamaan.11

Dengan alur penalaran di atas, maka pada dasarnya "agama tidak semata-mata

berada di “langit Plato” yang sempurna dan suci-murni dan dari sana mengantarai manusia

dan Tuhan, tetapi selalu dia merupakan agama manusia biasa, dengan darah dan daging.

Pergolakan manusia menjadi pergolakan agama, dan unsur keputusan tiap penganut suatu

agama serta tindakannya dari waktu ke waktu, bakal menentukan wujud agama tersebut

dalam sejarah. Agama – dengan tanpa mengurangi hormat kita kepada unsur Ilahi – selalu

merupakan agama dengan dan karena keputusan dan pilihan manusia yang

menghayatinya.12

8

Peter L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, diterjemahkan oleh Hartono, (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 36-37.

9

M. Amin Abdullah, "Keimanan Universal di tengah Pluralisme Budaya; Tentang Klaim Kebenaran dan Masa Depan Ilmu Agama", dalam Jurnal Ulumul Qur'an, No. 1, Vol. IV, 1993, hlm. 93-94.

10

Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 194.

11

Hasan Askari, Spiritualitas Quest; An Inter-Religious Dimension, (West Yorkshire: Seven Mirrors, 1991), hlm. 1.

12

(5)

Oleh karena itulah, tidak mengherankan jika pada orientasi dasar dan pencarian

ruhani agama, manusia memang menemukan makna dan harapan dalam agama. Dalam

asal-muasal dan ajaran-ajaran pokok mereka, agama boleh jadi mulia, tetapi bagaimana

mereka berkembang sepanjang sejarah sering kali jauh dari idealitas agama itu sendiri. Para

penganut agama terlalu sering menjadikan pemimpin-pemimpin agama mereka,

ajaran-ajaran agama dan kebutuhan untuk membela struktur-struktur institusional agama sebagai

alat dan justifikasi bagi tingkah laku mereka yang tidak bisa diterima oleh norma-norma

agama itu sendiri.

Itulah sebabnya, pada tataran tertentu, agama bisa saja berfungsi sebagai subjek

penentu pola bangunan sosial, tetapi pada saat yang bersamaan pula, manusia (bangunan

sosial itu) ikut menentukan perkembangan kehidupan agama.

Kondisi ini bisa diilustrasikan melalui ungkapan Marx sebagai berikut:

“Manusia memang pembuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya secara sesukanya; mereka tidak membuat sejarah dalam lingkungan yang mereka pilih sendiri, tetapi dalam lingkungan yang secara langsung dihadapi dari masa lalu. Tradisi dari semua generasi yang telah tiada menekan seperti suatu mimpi buruk dalam benak orang yang masih hidup”.13

Ketika terjadi tarik-ulur antara realitas transendental agama dengan historisitas

keberagamaan manusia yang melingkupi agama itu sendiri, maka agama sering terjebak

dalam peran-peran dilematis bagi penganutnya. Di satu pihak, agama diperlukan agar

kesadaran azali manusia (agama) dapat terwujud menjadi kekuatan efektif dalam kenyataan

empiris, namun pada pihak lain, agama menjadi berpotensi untuk tersesat dan mengalami

goal-displacement, yakni proses pembalikan sarana untuk mencapai tujuan itu sendiri. Pada

alur terakhir inilah, ketika agama telah sebegitu rupa mengalami distorsi tujuan azali, yakni

komitmen ruhaniah yang memuat esensi religiusitas universal, maka agama cenderung

untuk melahirkan konflik-konflik instrumental, yakni konflik atas klaim-klaim kebenaran.

Kecenderungan inilah yang akhirnya kemudian membawa posisi agama menjadi

disfungsional di tengah nilai-nilai transendental yang diembannya.

Buku setebal 666 halaman ini, secara padat dengan detail data sejarah yang

mendalam, pada dasarnya juga ingin mengungkapkan apa yang dinarasikan secara baik oleh

Azyumardi Azra dalam pengantar buku ini bahwa "agama memang bukanlah entitas

abstrak, yang tidak secara bebas mengambang (free-floating) begitu saja. Agama hidup sebagai

13

(6)

tradisi yang dipeluk dan menjadi hidup di tangan masyarakat manusia. Agama yang

kemudian menjadi tradisi mempengaruhi perjalanan manusia; sebaliknya, manusia juga

mempengaruhi agama. Karena itulah, ajaran-ajaran dan struktur-struktur agama tertentu

dapat digunakan siapa saja untuk kepentingannya sendiri, hampir sama dengan pistol atau

senjata apa saja yang dapat digunakan untuk menghabisi riwayat orang lain".14

Jan S. Aritonang dan "Benang Kusut" Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia Asumsi dan ilustrasi di atas secara gamlang dapat ditangkap dalam uraian historis

Aritonang dalam bukunya yang mendalam itu mengenai perjumpaan awal Kristen dan

Islam di Indonesia pada abad ke-16. Menurut penulis buku ini, perjumpaan Kristen dan

Islam di Indonesia sejak abad ke-16 hingga sekarang (awal abad ke-21) sangat dipengaruhi

oleh perkembangan, konstelasi sosial, politik, ekonomi (perdagangan), dan agama, serta

kebijakan politik, baik dalam skala nasional maupun nasional. Namun sebaliknya, dan pada

gilirannya perjumpaan itu juga sedikit-banyak ikut menentukan perkembangan, konstelasi,

dan kebijakan politik di negeri ini.15

Asumsi di atas diyakini oleh Aritonang mengingat ketika Kekristenan dibawa oleh

para penginjil Barat yang datang bersama dengan penguasa imperialis-kolonialis Barat

(Portugis dan Belanda) pada abad ke-16 atau tepatnya antara tahun 1511-1512, wilayah

persebaran Islam sudah meliputi seluruh penjuru Nusantara, termasuk di kawasan yang kini

dikenal sebagai Indonesia Timur, khususnya Maluku.16 Di Maluku Utara misalnya, sejak

sekitar tahun 1470 telah terdapat sekurang-kurangnya empat Kerajaan atau Kesultanan

Islam, yakni Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Pada awalnya, Kerajaan-kerajaan tersebut

tidak bersedia menjalin hubungan kerjasama dengan Portugis. Namun karena persaingan

antar sesama Kerajaan-kerajaan tersebut, maka Ternate pada akhirnya membangun aliansi

dengan Portugis.17 Tepatnya pada tanggal 24 Juni 1522 peletakan batu pertama benteng

Portugis yang diberi nama Sao Paulo dirayakan di Ternate, lengkap dengan upacara

keagamaan Katolik. Hubungan ini mengalami puncaknya pada masa pemerintahan Sultan

Tabarija (1523-1535) dimana terjadi baptisan pertama terhadap sangaji atau kolano (kepala

14

Azyumardi Azra, "Kata Pengantar", dalam Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. xiv.

15

Aritonang, Op.Cit, hlm. 594.

16

Ibid., hlm. 15.

17

(7)

suku) Mamuya dan Tolo berikut rakyatnya dari daerah Moro, Halmahera, tahun 1534.

Mereka inilah dicatat sebagai komunitas Kristen Katolik pertama di Indonesia.18.

Mulanya, memang, Portugis berusaha menjalin hubungan dagang dan politik

dengan penguasa pribumi secara baik-baik, termasuk dengan para Sultan Ternate, namun

lambat laun nafsu berkuasa dan hasrat mendapatkan keuntungan yang lebih besar semakin

meningkat dan upaya untuk mendukung penginjilan tidak dilakukan dengan bijaksana.

Inilah yang kemudian mengundang kebencian masyarakat di daerah ini. Dalam situasi

kebencian terhadap Portugis itulah pada tahun 1535 misionaris Simon Vaz terbunuh

bersama sejumlah warga masyarakat yang baru masuk Kristen di pulau Morotai, sehingga

tercatat sebagai syuhada atau martir Kristen pertama di Indonesia.19 Ketika masa

pemerintahan Sultan Hairun (1535-1570), hubungan Ternate dan Portugis kembali

membaik. Khusus terhadap agama Kristen, Sultan Hairun pada masa itu tidak

memperlihatkan sikap antipatinya. Sampai batas tertentu, ia bahkan memperlihatkan

penghargaannya, dan tidak menghalangi anggota keluarga istana untuk menerima baptisan

dan masuk Kristen.20 Namun, sekali lagi, hubungan baik yang terjalin ini tidak selalu

didukung oleh langkah atau kebijakan politis yang diambil oleh kalangan Portugis. Ini

antara lain terlihat dalam kasus penawanan Sultan Hairun oleh Jordao de Freitas, panglima

Portugis di Ternate pada tahun 1544.21 Walaupun Sultan Hairun sudah disakiti dan

kehilangan kepercayaan, ia belum memperlihatkan sikap anti Kristen dan masih

memperlihatkan sikap simpatik dan bersahabat dengan orang-orang Kristen. Namun

setelah peristiwa 1 Desember 1557 Sultan Hairun bersama adik dan ibunya ditahan oleh

Panglima Duarte de Eca tanpa alasan yang jelas hingga Desember 1558, hubungan Ternate

dengan Portugis mulai memburuk. Akibatnya, di mana-mana di seluruh kepulauan Maluku

umat Kristen dipersulit kehidupannya. Orang-orang Kristen di kampung-kampung di pulau

Moro (Halmahera), yang menurut Sultan Hairun masuk wilayah kesultanannya, dipaksanya

masuk Islam.22 Hubungan yang buruk ini berpuncak pada pembunuhan keji yang dilakukan

oleh Martin Alfonso Pimenta terhadap Sultan Hairun pada tahun 1570, tepatnya sehari

setelah ditandatanganinya kesepakatan perdamaian pada tanggal 27 Februari 1570 di

benteng Sao Paulo Ternate.23

18

Ibid., hlm. 26.

19

Ibid., hlm. 27.

20

Ibid., hlm. 29.

21

Ibid., hlm. 31.

22

Ibid., hlm. 32, 35-36.

23

(8)

Sejak saat itu perkembangan Kristenisasi terpukul dan mengalami kemunduran

serius. Sultan Baabullah, putra Sultan Hairun yang terbunuh itu, bersumpah untuk

membalaskan kematian ayahnya dengan melakukan pertumpahan darah. Pertikaian dan

perang antara masyarakat Islam dan Kristen, oleh karenanya, menjadi tak terhindarkan di

Pulau Ambon dan sekitarnya selama hampir setengah abad sampai datangnya

Belanda/VOC.24 Dengan terjalinnya kerjasama antara Sultan Ternate dengan VOC, maka

terusirlah orang-orang Portugis bersama para Jesuit dari wilayah Ambon sekitar tahun

1677. Dengan berkembangnya kekuasan Belanda, yang berlangsung sejak dibentuknya

VOC pada tanggal 20 Maret 1602 oleh pemerintah Belanda hingga dibubarkannya pada

tanggal 31 Desember 1799 dan ditanganinya langsung wilayah Indonesia sebagai jajahan

pemerintah Belanda hingga 1942, kisah pertumbuhan agama Protestan di wilayah ini pun

dimulai.25 Ini berarti bahwa dengan kedatangan Belanda ini, maka masyarakat di wilayah

Indonesia bagian timur sejak saat itu memasuki era Protestanisasi dimana sebelumnya

banyak yang telah menganut agama Katolik.26

Bentuk perjumpaan awal Kristen dan Islam ini semakin krusial ketika warisan

yang diterima masing-masing pihak dari sumbernya di luar Indonesia bersifat negatif.

Proses perjumpaan Kristen dan Islam di Timur Tengah dan Eropa selama sekitar sembilan

abad sebelum keduanya berjumpa di Nusantara, terutama pengalaman Perang Salib yang

berlangsung sejak abad ke- 12, telah menjadi beban sejarah bagi kedua belah pihak.27 Stigma

yang dilekatkan pihak yang satu kepada pihak yang lain terus terpelihara lantaran

saling-menilai secara negatif di luar Indonesia juga tidak berhenti pada akhir Abad Pertengahan,

melainkan terus terpelihara atau dihidupkan kembali, antara lain oleh gerakan kebangunan

rohani dan penginjilan di kalangan Kristen di satu pihak, 28 serta gerakan kebangunan,

pemurnian, dan pembaharuan Islam di lain pihak, yang muncul pada waktu kurang lebih

bersamaan, yakni sejak abad ke-18.29

Di sisi lain, kerumitan hubungan Kristen dan Islam di sini semakin pelik ketika

penduduk asli di hampir semua wilayah di Nusantara cenderung dibangun berdasarkan atas

hubungan kekerabatan. Ambon misalnya, penduduk aslinya menghimpun dirinya

berdasarkan hubungan darah atau ikatan kekeluargaan, yang kemudian membentuk desa

24

Ibid., hlm. 36-37.

25

Alwi Shihab, Op.Cit., hlm. 32.

26

Ibid., hlm. 39.

27

Ibid., hlm. 18-23.

28

Ibid., hlm. 191-208. 29

(9)

atau negeri. Lalu sejumlah negeri yang memiliki kesatuan atau kedekatan kekerabatan dan

adat istiadat membentuk uli. Sampai akhir abad ke-15, penduduk asli Pulau Ambon dan

sekitarnya masih menganut agama suku, dan di antara kelompok-kelompok kekerabatan

tersebut sudah biasa terjadi permusuhan.30 Itulah sebabnya kedatangan Islam dan Kristen

acapkali menambah pertikaian yang sudah bersifat endemik di Nusantara.31

Selain masalah karakteristik sosial-budaya di atas, salah satu pokok soal yang juga

ikut mewarnai bentuk perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia adalah masalah

hubungan antara agama dan negara atau pemerintah. Pada abad-abad pertama dari

perjumpaan, yakni abad ke-16 hingga ke-18, bahkan dalam hal-hal tertentu hingga abad

ke-19, pihak Kristen melihat kesatuan antara agama atau gereja dengan negara, sehingga

menekankan wajarnya dan pentingnya keikutsertaan dan dukungan pemerintah (penguasa

imprialis-kolonialis Portugis dan Belanda) dalam menyebarluaskan kekristenan di

Indonesia. Di sisi lain, kalangan Islam – paling tidak sebagian besar yang berkecimpung di

bidang politik – juga menganut dan sangat menekankan kesatuan antara agama dan negara,

walaupun pada tataran praksis dan operasional berbagai kalangan Islam di Indonesia tidak

memiliki kesepakatan tentang apa yang dimaksud dengan negara Islam atau kesatuan Islam

dengan negara. Oleh karena itu, ketika pemerintahan di negeri ini – baik pada zaman

penjajahan maupun pada zaman merdeka – tidak menghendaki adanya penyatuan antara

Islam dan negara, maka muncullah keluhan dan tudingan bahwa pemerintah di negeri ini

cenderung sangat "memihak" kalangan dan kepentingan orang Kristen, yang oleh kalangan

Islam sering disebut sebagai "minoritas”.

Gejala ini tampak sekali ketika ada keinginan kuat dari sebagian kelompok Islam

yang ingin menjadi Islam sebagai dasar Negara sebagaimana yang tercermin dalam kelahiran

“Piagam Jakarta” pada sidang-sidang BPUPKI,32 dan manifestasi dari kekecewaan atas

perjalanan awal Negara ini terefleksi dari munculnya gerakan pemberontakan yang

dilakukan oleh DI/TII/NII, yang tidak lain merupakan gejala atas keinginan hadirnya

agama dalam Negara yang tidak diakomodasi selama Pemerintahan Orde Lama.33 Adapun

puncak dari bentuk pemisahan agama dari Negara yang berakibat pada perjumpaan keras

antara Islam dengan Negara adalah lahirnya Undang-Undang No. 3/1985 sebagai revisi atas

UU No. 3/175 tentang organisasi kemasyarakatan yang menjadi titik-tolak lahirnya

30

Ibid., hlm. 34.

31

Ibid., hlm. 17.

32

Ibid., hlm. 214-251.

33

(10)

kebijakan asas tunggal, Pancasila, selama masa pemerintahan Orde Baru.34 Dengan

Undang-Undang ini pula, Orde Baru selama masa pemerintahan menjadi rezim hegemonik

karena mengembangkan sistem politik yang mampu mengontrol masyarakat sipil.

Bentuk perjumpaan seperti di atas inilah yang secara kompleks mewarnai

perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia pada masa-masa selanjutnya, sehingga

perjumpaan itu lebih tepat diilustrasikan sebagai "pergumulan" (strunggle) yang banyak

terkait dengan kehidupan politik dan kekuasaan.

Dari rentang waktu antara hadirnya kekuatan asing sampai terbangunnya

kedaulatan- diri sebagai bangsa yang berdaulat di era kemerdekaan sampai era

pembangunan, --baik masa Orde Lama, Orde Baru, maupun Indonesia kontemporer,

cenderung memperlihatkan hubungan yang kompleks antara agama dan politik.

Kompleksitas itulah yang kemudian memunculkan kompleksitas hubungan Islam dan

Kristen yang dapat diibaratkan seperti "benang kusut" yang sulit dicari ujung pangkal

pengurainya. Kerumitan konstalasi sosial, politik, ekonomi (perdagangan), dan agama ini

ikut – bahkan sangat – menentukan proses perjumpaan antara Kristen dan Islam pada

periode-periode perjalanan bangsa ini. Akibatnya, perjumpaan Kristen dan Islam di

Indonesia, terutama di lapangan politik, lebih banyak –- kendati tidak selalu-- ditandai oleh

konflik, yang acap kali sangat berdarah.

Serangkaian peristiwa kerusuhan dan perusakan mulai dari Sidotopo-Surabaya (9

Juni 1996), Situbondo (10 Oktober 1996), Tasikmalaya (26 Desember 1996),

Rengasdengklok (30 Januari 1997), Banjarmasin (23 Mei 1997), yang berpuncak pada

peristiwa yang sangat berdarah di Poso (1998-2002) dan Ambon-Maluku (1999-2002) serta

Kalimantan Barat-Tengah (2000-2001) merupakan perjumpaan Islam dan Kristen yang

sangat berdarah yang lahir sebagai akibat dari konstalasi sosial, ekonomi, dan politik yang

sangat kompleks.35 Serangkaian peristiwa ini makin bertambah kompleks ketika pada

tanggal 11 September 2001 dua Gedung kembar WTC di New York luluh-lantah oleh

serangan organisasi teroris al-Qaidah dan pada tanggal 12 Oktober 2002 terjadi ledakan

Bom di sebuah Café di Bali oleh kelompok Islam radikal Indonesia.

Di era Indonesia kontemporer, kompleksitas itu seolah-olah menemukan kembali

momentumnya ketika gelombang globalisasi terus meningkat – dengan segala aksesnya

seperti konsumerisme, hedonisme, promiskuitas dan sebagainya – mendorong banyak

34

Ibid., hlm. 435-443.

35

(11)

pengikut agama semakin agresif dalam pencarian otentisitas, baik dalam agama yang mereka

peluk maupun dalam berhadapan dengan agama-agama lain. Pencarian otentisitas

keagamaan secara sangat bersemangat, pada gilirannya cenderung berujung pada

meningkatnya perjumpaan secara keras (hard encounter) di antara agama-agama, yang oleh

Aritonang diidentikkannya dengan kehadiran kelompok-kelompok keagamaan seperti

Lasykar Jihad, Front Pembela Islam, dan lain-lainnya.

Menelusuri alur demi alur penjelasan Aritonang di atas, maka menarik mengutip

pendapat Steenbrink yang mengungkapkan bahwa:

"pada bagian awal karangan Muhammad bin Abdulkarim Asy-Syahrastani

(1077-1153), al-Milal wa al-Nihal, mengenai agama-agama dan sekte-sekte yang ada di dunia ini, mengeluh bahwa "semua pertikaian dan fitnah dalam bidang agama dimulai dari bidang politik". Persoalan pokok yang diberikan oleh Asy-Syahrastani adalah pertikaian di sekitar khilafah dalam Islam. Sejak wafatnya Nabi

Muhammad sampai pembunuhan khalifah Utsman, perdebatan mengenai pergantian penguasa telah mengakibatkan fitnah dan perpecahan antara kaum Sunni dan kaum Syi'ah, serta beberapa pertikaian selanjutnya. Juga kalau observasi ini diterapkan pada hubungan Islam dan Kristen, kepentingan politik harus diakui sebagai sebab-sebab berbagai pertikaian itu. Perbedaan teologis atau akidah seringkali hanya boleh dianggap sebagai selimut yang menyembunyikan perbedaan dan pertentangan politis.36

Beberapa Catatan Kritis tentang Buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia

Sebagaimana yang diungkapkan oleh pengarang Buku ini bahwa titik-tolak kajian

buku tentang perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia ini adalah semenjak kedatangan

Portugis tahun 1511-1512 di Nusantara. Alasannya tidak lain adalah:

“…karena tidak tersedianya data atau informasi tentang perjumpaan pada masa itu [sebelumnya, pen.]…sejauh didukung oleh data, perjumpaan baru berlangsung sejak Portugis datang ke Nusantara”.37

Dengan titik-tolok kajian seperti ini, maka tidaklah mengherankan jika alur

bahasan tentang Perjumpaan Kristen dan Islam yang digambarkan oleh buku ini lebih

banyak terkait dengan kehidupan politik dan kekuasaan, sehingga penuh dengan gambaran

suasana konflik daripada suasana saling mengakomodasi. Secara gamblang, penulis buku ini

melukiskan suasana awal dari perjumpaan Kristen, yang dipresentasikan oleh bangsa

36

Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian; Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 221.

37

(12)

Portugis, dengan Islam, yang dipresentasi oleh pedagang/penguasa Nusantara, yang penuh

konflik itu sebagai berikut:

Ketika Portugis tiba di Nusantara, khususnya di Maluku, perdagangan masih dikuasai oleh jaringan perdangan (yang ditopang oleh jaringan kekuasaan politik) kalangan Islam…Di sepanjang masa kehadiran Portugis di Nusantara, kendali perekonomian dan perdagangan masih tetap berada di tangan kalangan Islam”.38

Dengan titik-tolak seperti ini pula, maka penulis buku ini sesungguhnya secara

tidak sadar menempatkan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara sebagai representasi kehadiran

awal dari kekuatan Islam di Nusantara. Padahal jika ditelisik lebih jauh ke belakang dengan

bertitik-tolak pada penyebaran Islam abad ke-7 hingga ke-16 ketika hampir sebagian

wilayah-wilayah yang ada di Nusantara dikuasai oleh kekuatan politik Hindu-Budha, maka

penyebaran Islam pada saat itu tidaklah identik dengan kekuatan politik. Ketika proses

Islamisasi yang terjadi dalam kurun abad-abad tersebut di beberapa kawasan di Nusantara,

maka orientasi Islam yang mula-mula berkembang di kawasan ini adalah suatu orientasi

Islam sufistik berhaluan wujûdiyyah.39

Gejala ini dapat dilihat dari penelusuran yang seksama atas perkembangan arus

pemikiran Islam yang masuk ke kawasan Nusantara di masa-masa awal perkembangannya,

terutama pada abad ke-16 dan 17. Moris menemukan sejumlah besar literatur yang banyak

memiliki kandungan nuansa tasawuf yang kental. Contoh kecil dari kecenderungan ini bisa

dilihat pada teks-teks klasik seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu yang memiliki

pengaruh luas di kawasan ini. 40 Terdapat, dalam teks-teks klasik tersebut, gambaran bahwa

Raja-Raja Melayu mempunyai perhatian terhadap ajaran tentang al-insân al-kâmil.41

38

Jan S. Aritonang, Op.Cit., hlm. 18.

39

Martin van Bruinessen, “Origins and Development of Sufi Orders (Tarekat) in

Southeast Asia”, dalam Indonesian Journal for Islamic Studies, Studia Islamika, Vol. I, No. 1 (April – June), 1994, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah), hlm. 3-6. Para sarjana yang mendalami sejarah Islam di Indonesia menyatakan bahwa Islam dibawa masuk ke wilayah ini oleh para pedagang di Arab, Persia, dan India. Mereka juga menunjukkan bahwa hubungan perdagangan antara kepulauan Indonesia dan Arab sudah mulai berlangsung bahkan sebelum datangnya Islam. Pada abad

kedelapan dan kesembilan, terutama pada puncak masa kejayaan kerajaan Sriwijaya, beberapa pelabuhan di wilayah ini sudah amat dikenal oleh para pedagang. Terlepas dari kontak-kontak awal ini, saat itu baru sedikit saja jumlah penduduk kepulauan Indonesia yang memeluk Islam. Islamisasi besar-besaran baru berlangsung pada abad ke-13 hingga abad ke-16. Dari semua faktor yang ada, para sarjana sependapat bahwa tasawuf memainkan peran paling penting dalam mendorong masyarakat Indonesia menerima dan memeluk Islam. [Alwi Shihab, Membendung Arus…, hlm. 26-27.]

40

Zailan Moris, “Southeast Asia”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed), History of Islamic Philosophy, Part II, (London & New York: Routledge, 1996), hlm. 1135.

41

(13)

Orientasi sufistik dalam perkembangan arus pemikiran Islam yang masuk ke

kawasan Nusantara di masa awal-awal ini semakin mendapatkan formulasi yang lebih tegas

dengan kehadiran tokoh tasawuf semacam Hamzah Fansûrî dan Syamsuddîn as-Sumatrani.

Kedua tokoh inilah yang kemudian memberi arah khusus orientasi sufistik Nusantara ke

ajaran wahdat al-wujûd dalam proses islamisasi Nusantara abad ke 16. Menguatnya orientasi

sufistik yang berkecenderungan pada aliran wahdat al-wujûd ini, menurut pengamatan A. H.

John, hampir secara merata dan menjadi ciri yang terdapat dalam karya-karya tasawuf abad

ke-16.42

Asumsi ini, misalnya, bisa dilihat dari kecenderungan yang mewarnai

perkembangan Islam di Jawa. Pandangan budaya masyarakat Jawa yang sangat menekankan

keberlangsungan nilai-nilai keagamaan pra-Islam muncul menjadi landasan kuat bagi

tumbuhnya pola keagamaan yang berorientasi tasawuf. Pandangan keagamaan yang

demikian dapat dilihat pada karya-karya keislaman yang muncul pada periode awal

perkembangan Islam di Jawa. Salah satu teks Jawa dari periode tersebut adalah Het Boek van

Bonang (Primbon Sunan Bonang) karya yang ditulis Sunan Bonang, salah seorang Wali

Songo. Kecenderungan ini juga terlihat dalam Suluk Sukarsa yang juga merupakan ajaran

Sunan Bonang. Teks Jawa lainnya adalah Suluk Sumirang yang ditulis oleh Sunan Panggung.

Semua berisi ajaran fanâ’ li Allâh yang merupakan inti ajaran wahdat al-wujûd.43

42

Anthony H. Johns, “Islamization in Southeast Asia”, SEAS: tp., 1993.

43

Ahmad Baso, “Kritik atas “Nalar Melayu” (2); Tradisi Tasawuf: Historisitas ‘Nalar Melayu’,” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, (Edisi No. 3, Thn. 1998), hlm. 67. Dasar pemikiran yang amat penting dalam tasawuf wahdat al-wujûd ialah gambaran Tuhan yang pada awalnya merupakan suatu perbendahaan yang tersembunyi dan belum dikenal, karena mahluk sendiri memang belum diciptakan. Pada maqam ini Tuhan amat gaib keberadaannya, dan disebut Ghâb’ib al-Ghuyib atau Ghâb’ib al-Huwiyyah. Tatkala Ia menyatakan kehendak-Nya untuk dikenal, maka Ia

menyelenggarakan aktivitas-Nya yang pertama, yaitu Sabda kun ! (jadilah !). Pada saat sabda ini diucapkan oleh-Nya, maka wujudlah Nur Muhammad atau disebut juga Hakikat Muhammad. Nur Muhammad merupakan tajallî (percikan terang) dari zat Allâh; bersamaan dengan ini tajallî pula pada Nur Muhammad itu sifat-sifat-Nya, yaitu kamal (Kesempurnaan Allâh) dan asmâ’-Nya, yaitu Allâh. Sifat kamal Allâh pada maqam Nur Muhammad ini terurai dalam dua arah, yaitu jamal (keindahan Allâh) dan jalal (keagungan Allâh). Wujud Nur Muhammad ini jika dilihat dari segi “zat-Nya”, ia adalah Tuhan yang disebut al-Haqq. Namun demikian, jika dilihat dari segi “sifat dan asmâ’-Nya, ia merupakan “ciptaan-Nya” yang disebut al-Khalq dan al-khalq ini merupakan hakikat yang tidak berbeda, karena sama-sama tajallî dari zat Allâh. (Lihat : Purwa Ahmad Purwadaksi, “Ratib Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman”, dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Qur’an, No. 5/VI/96, hlm. 73-74).

(14)

Sementara itu, faham wahdat al-wujûd atau wujûdiyyah yang berkembang di

berbagai kawasan di Nusantara sampai saat ini bukanlah murni ajaran Ibnu Arabi, yang

secara salah banyak diduga oleh para ahli, disebarkan oleh Hamzah Fansûrî. Menurut

Abdul Hadi W. M., faham wahdat al-wujûd yang berkembang saat ini merupakan

pengembangan teori tajalliyât Ibnu ‘Arabi, yakni ajaran tentang penciptaan alam dan

manusia melalui penampakan diri Tuhan, ke dalam teori tentang tujuh martabat.44 Faham

ini pertama kalinya dikembangkan oleh Ibnu Fadlullâh al-Burhânpurî dalam karyanya

Tuhfah al-Mursalah ilâ Rúh al-Nabî45 dan berkembang di berbagai kawasan di Nusantara

lewat Syekh Syamsuddîn Pasai sebagai penganjur pertamanya.46 Inti konsep martabat tujuh

adalah bahwa alam semesta, termasuk di dalamnya manusia, merupakan tajallî

(penampakan keluar) dari hakikat Tuhan yang bersifat mutlak sebanyak tujuh martabat,

yakni martabat ahadiyyah, wahdah, wahîdiyyah, alam mîtsâl, alam arwah, alam ajsâm, dan alam

insân (alam manusia)47

Tentunya, maraknya wacana intelektual keagamaan seperti ini pada saat itu justru

merupakan “berkah” tersendiri bagi proses Islamisasi masyarakat di Nusantara. Hal ini

lantaran aspek yang paling kompromistis terhadap budaya lokal dalam tradisi Islam adalah

tasawuf. Sifat kompromistis ini sering ditunjukkan oleh para pengamal tasawuf lantaran

ajarannya yang lebih menekankan praktek-praktek spiritual untuk mencapai “derajat

kesatuan” dengan Tuhan, yang dianggap sebagai bentuk kesempurnaan dalam beragama,

daripada praktek-praktek ritual yang lebih mengejar tuntutan legal-formal semata. Orientasi

seperti ini, dalam banyak aspek, sejalan dengan praktek dan pandangan dunia keagamaan

kejadian. Kalau tidak demikian maka Dia bukan Yang Zahir dan Yang Batin, sebagaimana al-Qur’an mengatakan, dan kehampiran-Nya kepada manusia tidak akan lebih dekat dari urat leher manusia sendiri. Karena manifestasi pengetahuan-Nya beraneka ragam dan memiliki penampakan zahir dan batin, maka di samping transenden Dia juga immanen (tasybîh). Pemakaian istilah wahdat al-wujûd sebagaimana yang dikenal sekarang ini sering diasosiasikan dengan doktrin pokok ajaran tasawuf Ibnu Arabi. Padahal istilah tersebut mula-mula dikemukakan oleh Sadr al-dîn al-Qûnawî (w. 1274) setelah melakukan penafsiran mendalam atas karya-karya Ibnu Arabi. Istilah itu dirumuskan oleh Qûnawî secara positif berkaitan dengan rumusan doktrin tauhid versi kaum sufi. Namun belakangan istilah ini bergeser kepada pengertian negatif oleh Taqîuddîn ibnu Taymiyah (w. 1328) yang dikaitkan dengan faham panteisme. Bagi Ibnu Taymiyah, karena istilah ini sinonim dengan faham panteisme, maka ajaran yang terkandung di dalamnya merupakan bid’ah, sebagaimana ajaran ittihâd dan hulûl. (Lihat kajian mendalam pada Kautsar Azhari Noer, Ibn al-’Arabî; Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 33-40.)

44

Abdul Hadi W. M., Hamzah Fansuri; Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 20.

45

Oman Fathurahman, Menyoal Wahdatul Wujud; Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh abad 17, (Bandung: Mizan & Ecole Française d’Extrême-Orient Centre de Jakarta, 1999), hlm. 21.

46

Abdul Hadi W. M., Hamzah Fansuri .., hlm. 20.

47

(15)

Hindu yang telah tertanam lebih dahulu dalam kesadaran kultural masyarakat di

Nusantara.48 Jalinan antara mistik Hindu-Budha dan mistisisme Islam menyiapkan lahan

subur bagi masyarakat di wilayah ini untuk menerima Islam sepenuh hati.49 Dengan

demikian, jelaslah bahwa penyebaran awal Islam di Nusantara sangatlah dekat dengan

kekuatan budaya yang bersifat akomodatif daripada kekuatan politik yang konfrontatif.

Jika pun kemudian Islam sebagai kekuatan politik tak terhindarkan hadir bagi

keberadaan Islam di Nusantara pada abad-abad ke-16 sampai abad ke18, maka tentunya

haruslah dibedakan antara Islam sebagai kekuatan politik dengan Kristen sebagai kekuatan

politik. Islam sebagai kekuatan politik yang terepresentasi pada kehadiran kerajaan-kerajaan

Islam Nusantara pada saat itu lebih mencerminkan kekuatan politik lokal Nusantara

daripada Kristen sebagai kekuatan politik saat itu yang lebih merepresentasikan kekuatan

politik asing yang kolonial-imprialistik. Asumsi ini ditegaskan mengingat bahwa (1) tidak

ada data historis yang menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara identik dengan

hadirnya kekuatan asing secara politik, baik itu dari Arab, Turki, ataupun India. Jikapun

terjadi perseteruan antara kerajaan Islam atas kerajaan-kerajaan non-Islam yang berujung

pada penaklukkan dan penguasaan wilayah,50 maka pertikaian itu haruslah dilihat sebagai

pertikaian endemik yang bersifat lokal yang telah lama berlangsung sebelum datangnya

Islam; (2) Pola penyebaran Islam di Nusantara haruslah dibedakan dari pola penyebaran

Islam ke dunia Barat. Jika pada penyebaran Islam ke dunia Barat identik dengan perluasan

kekuasaan Imperium Islam, maka penyebaran Islam di Nusantara khususnya lebih identik

48

Jajat Burhanuddin, “Tradisi Keilmuan dan Intelektual”, dalam Taufik Abdullah, et.all, (ed.), Ensiklopedi Tematis…, hlm. 142.

49

Alwi Shihab, Op.Cit, hlm. 27.

50

(16)

dengan gelombang migrasi kelompok-kelompok tarekat yang terusir pasca kejatuhan

Baghdad di tangan laskar Moghol pada 656/1258 dalam wujudnya sebagai

kelompok-kelompok pedagang;51 (3) Kesuksesan para misionaris Kristen pada abad-abad ini sering

kali berkaitan dengan kestabilan kekuasaan kolonial Portugis. Hal ini bisa dilihat bahwa

sehubungan dengan melemahnya secara perlahan-lahan kekuasaan Portugis di wilayah

Indonesia bagian Timur misalnya, maka terjadilah penurunan jumlah keanggotaan gereja

setelah 1560 secara drastis.52

Oleh karena itu, sangatlah wajar jika dikatakan dalam buku Aritonang ini bahwa

"penyebaran Islam justru berlangsung pesat setelah kekristenan tiba di Nusantara".53

Alasannya, tidak lain "Islam bagi orang Indonesia berfungsi sebagai titik pusat untuk

melambangkan keterpisahan diri dari – dan perlawanan terhadap – penguasa-penguasa

Kristen yang asing".54

Contoh lain yang lebih belakangan yang merepresentasikan kekuatan lokal untuk

melawan kekuatan asing ini adalah kehadiran organisasi sosial-keagamaan Islam

Muhammadiyah yang didirikan pada bulan November 1912 oleh Ahmad Dahlan di

Jogjakarta. Selama ini Muhammadiyah dipahami banyak orang sebagai organisasi

sosial-keagamaan yang identik dengan gerakan antitesis atas kecenderungan kelompok-kelompok

Islam tradisional.55 Namun di luar dugaan banyak orang, Alwi Shihab dalam Disertasi

Doktornya, menunjukkan bahwa Muhammadiyah sesungguhnya merupakan organisasi

sosial-keagamaan yang dibangun untuk menandingi penetrasi mendalam misi-misi Kristen

di Indonesia.56 Adapun latar belakang munculnya asumsi ini adalah perkembangan kegiatan

misi Kristen di Jawa. Penetrasi Kristen ini berawal ketika para penguasa keraton Jogjakarta,

51

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Edisi Revisi, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 14-15. Migrasi dalam jumlah besar ini turut mempercepat konversi orang-orang dalam jumlah besar kepada Islam di Nusantara pada periode abad ke-12 atau ke-13.

Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit – Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), hlm. 32.

55

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hlm. 84-95.

56

(17)

atas desakan pemerintah kolonial Belanda, menyetujui pencabutan larangan penginjilan

terhadap masyarakat Jawa. Sejak saat itu, Jawa, wilayah konsentrasi kebanyakan kaum

Muslim, terbuka bagi kegiatan misionaris Kristen. Penetrasi Kristen yang lebih dalam lagi

terjadi mulai 1850-an ke wilayah Jawa Tengah, yang menjadi dorongan kuat bagi lahirnya

pendalaman "kesadaran" kaum Muslim untuk melawan kegiatan-kegiatan misi ini. Apalagi

saat itu, pemerintah kolonial Belanda menyatakan secara terbuka bahwa pemerintah Hindia

Timur adalah representasi sebuah negara Kristen.57 Di sini tampak sekali bahwa

Muhammadiyah lahir bukan sebagai kekuatan politik tetapi sebagai kekuatan organisasi

masyarakat pribumi yang menginginkan ruang lingkup kedaulatannya tidak diambil-alih atau

dipersempit oleh kekuatan asing.58 Konon Ahmad Dahlan belum merasa terusik ketika di

Jawa Tengah mulai marak berdiri Gereja dan sekolah-sekolah Kristen, namun ia mulai

terusik ketika Belanda mulai masuk dalam kebijakan penguasa Keraton Yogyakarta dalam

bidang sosial-keagamaan di tanah Jawa.

Di tengah-tengah hubungan Islam dan Kristen yang penuh dengan kecurigaan

dan ketidaksalingpemahaman ini, bukan berarti tidak ada usaha-usaha untuk membuka

jalan kesalingpemahaman antar kedua agama ini di Indonesia. Di Indonesia, pada

pertengahan abad ke-17 Nuruddin al-Raniri (w. 1658) telah menulis sebuah buku yang

diberi judul, Tibyân fi Ma'rifah al-Adyân (Petunjuk dalam Memahami Berbagai Agama). Buku

berbahasa Arab-Melayu ini ditulis untuk memenuhi pesanan Sultanah Safiatuddin di Aceh.

Keingintahuan Sultanah terhadap agama-agama telah menempatkan Tibyân pada posisi

terhormat, sebagai buku pelopor hasil studi terhadap berbagai agama. Barangkali, inilah

buku tertua tentang "sejarah agama-agama" yang pernah terbit di Indonesia.59 Karya yang

disebutkan ini untuk melengkapi informasi Aritonang yang menyebut tiga buah karya

al-Raniri, Asrar al-insan fi Ma'rifah ar-Ruh wa al-Rahman, Bustan as-Salatin, dan Syirat al-Mustaqim

57

Alwi Shihab, Membendung Op.Cit., hlm. 141-142.

58

Uniknya, menurut A. Syafi'i Ma'arif, dalam membendung arus Kristenisasi tersebut Muhammadiyah banyak mempergunakan cara yang dipergunakan oleh kaum misionaris Kristen. Misalnya, di bidang pendidikan dipergunakan cara klasikal, dengan memasukkan pelajaran umum serta sistem belajar-mengajar yang terprogram. Di bidang pemeliharaan kesehatan dengan memperkenalkan cara-cara pemeliharaan kesehatan dengan memperkenalkan cara-cara

pemeliharaan kesehatan secara modern, mendirikan rumah sakit dan poliklinik, serta meninggalkan pengobatan dukun dan jampi-jampi. Di bidang pembinaan pemuda dan remaja, didirikan

kepanduan (path-finder) dan didirikan organisasi yang sebelumnya belum pernah dikenal oleh umat Islam. Oleh karena itu, bisa dimengerti bila Muhammadiyah sering dituduh sebagai "Kristen putih" atau "Kristen alus" dalam upayanya membendung arus Nasranisasi. [A. Syafi'I Ma'arif, "Sekapur Sirih", dalam Alwi Shihab, Membendung Arus …, hlm. xiv.]

59

(18)

yang disebut-sebut sebagai karya yang sangat mempengaruhi pemahaman umat Islam

Nusantara saat itu tentang keyakinan Kristen.60

Karya-karya lainnya dari luar yang cukup berpengaruh di kalangan ulama-ulama

Nusantara dalam bidang pemahaman antar agama pada saat itu adalah karya Ali ibn Hazam

(994-1064) yang berjudul al-Fashl fi al-Milal wa al-ahwâ' wa an-Nihal dan Muhammad Abd

al-Karim asy-Syahrastani (1017-1143) yang berjudul al-Milal wa an-Nihal.61 Dengan adanya

karya-karya ini menjadi konsumsi umum ulama-ulama Nusantara pada saat itu, maka

sangatlah mustahil jika Islam sangat dibebani oleh trauma "perang salib" ketika

berhubungan dengan Kristen. Menurut banyak asumsi yang beredar di kalangan umat Islam

bahwa hubungan Islam dan Kristen pada saat itu sering terganggu lantaran lebih

dikarenakan bangsa asing yang kolonial-imprialistik ada di belakang aktivitas Kristen di

Nusantara. Bahkan agak belakangan ditemukan karya seorang Muslim Nusantara, al-Mu’în

al-Mubîn sebanyak 4 jilid yang ditulis oleh ‘Abdul Hamîd Hakîm dari Padangpanjang,

Padang. Menurut Nurcholish Madjid, tokoh ini dalam bukunya itu menyatakan bahwa

Yahudi dan Kristen bukanlah termasuk kaum musyrik, bahkan yang tergolong ahl al-Kitâb

tidak hanya Yahudi, Kristen, tapi juga Majusi, Hindu, Budha dan penganut agama Cina dan

Jepang.62 Oleh karena itu, lebih tepat dikatakan bahwa kontroversi yang sering terjadi

dalam hubungan Islam dan Kristen lebih dikarenakan beban “formalisme” yang

berkembang sebagai akibat dekadensi kegiatan intelektualisme pasca keruntuhan

kekhalifahan Abbasiyah pada tahun 1256, dimana fiqh menjadi queen of sciences dunia Islam

di abad-abad 13-18.63

Lama kemudian, mulai tahun 1931, daerah Sumatera Barat memasukkan mata

pelajaran Perbandingan agama ke dalam kurikulum berbagai sekolah agamanya; terutama

perguruan Islam yang dibangun Persatuan Muslimin Indonesia atau Permi, seperti Cursus

Normal Putri dan Tsanawiyah di Bukittinggi dan Islamic College di Padang. Pada beberapa

60

Jan S. Aritonang, Op.Cit., hlm. 69-71. Pemikiran ar-Raniri yang ada di dalam karyanya di atas sangat mempengaruhi pemikiran fiqh ulama terkenal dari Banjar pada abad-abad tersebut, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Lihat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Sabîl al-Muhtadîn littafaquhi fi al-dîn, (Singapura – Jeddah: ttp), hlm. 52. Bandingkan dengan versi terjemahan

H.M.Asywadie Syukur: Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Kitab Sabilal Muhtadin, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), hlm.98.

61

Karel A. Steenbrink, Kitab Suci atau Kertas Toilet ? Nuruddin ar-Raniri dan Agama Kristen, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 14.

62

Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 140-142.

63

(19)

perguruan Islam lainnya, seperti al-Jami'ah al-Islamiyah di Sungayang, Batusangkar (1931),

Normal Islam di Padang (1931), Training College di Payakumbuh (1934) dan Madrasah

Tsanawiyah, diajarkan mata pelajaran "Ilmu Agama-agama". Tenaga pengajarnya adalah

Muhammad Yunus dengan buku pegangan adalah al-Adyân, yang merupakan karangannya

sendiri.64 Sementara mulai tahun 1951, Pesantren Persatuan Islam (Persis), di Bangil, Jawa

Timur, mengembangkan satu mata pelajaran yang bernama "Mengenal Agama-agama

Lain". Mata pelajaran ini dikelompokkan ke dalam mata pelajaran umum dan diberikan di

tingkat Tsanawiyah. Tahun 1951 ini pula Perguruan Tinggi Islam Jakarta (PTID)

memasukkan ke dalam rencana pelajarannya mata kuliah yang disebut "Lain-lain Agama

dan Kepercayaan". Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), sejak berdiri tahun

1951 di Yogyakarta, pada tingkat pertamanyan (propaedeus), diajarkan juga mata kuliah

"Pengantar Ilmu Agama" dan di tingkat kandidatnya diajarkan perbandingan agama. Pada

tingkat doktoral, jurusan Qadha dan Dakwahnya, mata kuliah "Perbandingan Agama"

diperdalam lagi. Sementara Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, yang didirikan

sejak tahun 1957, memiliki satu mata kuliah dengan nama "Agama-agama Besar", yang

dikuliahkan pada tingkat dua dan tiga.65

Setelah PTAIN dan ADIA lebur menjadi Institut Agama Islam Negeri pada

tahun 1960, pada fakultas Ushuluddin IAIN di Yogyakarta dibuka jurusan "Perbandingan

Agama", di samping jurusan lainnya. Adanya jurusan Perbandingan Agama, yang waktu itu

diketuai oleh Prof. Dr. H.A. Mukti Ali merupakan era baru bagi studi perbandingan agama

di Indonesia.66 Oleh karena itu pula, semenjak terbitnya karya H. A. Mukti Ali, Ilmu

Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Metodos dan Sistema) pada tahun 1964 boleh

dikatakan sebagai karya pertama di bidang kajian antar agama-agama sebagai "ilmu" di

Indonesia.67 Berbeda dengan persepsi terhadap apa yang dinamakan "perbandingan

agama" sebelumnya, yang pada dasarnya tidak lain dari usaha memperkenal agama-agama

selain Islam kepada anak didik, maka semenjak jurusan Perbandingan Agama dibuka,

mahasiswa diperkenalkan kepada "Perbandingan Agama" sebagai "ilmu" yang memiliki

metode dan sistem ilmiah tertentu.68

64

Burhanuddin Daya, Op.Cit., hlm. 182.

65

Ibid., hlm. 183.

66

Ibid., hlm. 185-186.

67

H. A. Muin Umar, "Sambutan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta", dalam Herman Leonard Beck, dkk (ed.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), (Jakarta: INIS, 1990), hlm. xv.

68

(20)

Karya-karya dan usaha-usaha di atas, pada dasarnya, menunjukkan bahwa tidak

ada halangan yang mempersulit hubungan umat Islam dengan umat Kristen yang berbeda

keyakinan. Kesulitan itu lebih sering terjadi dari akibat-akibat yang ditimbulkan gejolak yang

ada di luar inti keyakinan agama itu sendiri.

Penutup/Renungan

Terlepas dari data apapun yang telah disajikan oleh Buku Sejarah Perjumpaan

Kristen dan Islam di Indonesia yang ditulis oleh Jan S. Aritonang ini, pada dasarnya buku ini

patut untuk mendapatkan sambutan hangat di kalangan para pengkaji hubungan antar

agama di negeri ini. Selain telah menyajikan kajian komprehensifnya tentang carut-marut

perjalanan dan perjumpaan Islam dan Kristen di belantara politik kekuasaan bangsa ini,

Buku ini juga telah sedikit-banyak membantu menciptakan rasa kesalingpemahaman antar

kedua agama ini di Indonesia. Jika pun ada hal-hal yang kurang berkenan dalam penyajian

data, maka haruslah dipahami bahwa sejarah pada akhirnya merupakan “bagaimana

seseorang merekonstruksi masa lalunya".

Hal yang terungkap secara eksplisit dalam kajian Aritonang tentang perjumpaan

Islam dan Kristen di Indonesia dari abad ke-16 sampai abad ke-21 adalah posisi agama yang

lebih sering menjadi sarana kepentingan politik sesaat, sehingga akibatnya adalah muncul

rasa saling curiga dan ketidaksepahaman antar dua agama yang berbeda ini. Rasa saling

curiga dan ketidaksepahaman inilah yang akhirnya membawa bentuk-bentuk perjumpaan

yang keras (hard encounter) antara Islam dan Kristen selama ini di Indonesia.

Ada ungkapan akhir dalam buku ini yang patut direnungkan secara seksama, yakni

"ada banyak pengalaman keseharian dalam diri kita masing-masing untuk tidak terlalu sulit

membangun hubungan yang saling menghargai dan saling menghormati, tanpa harus

kehilangan identitas dan integritas. Namun kemudian, dalam skala yang lebih luas,

hubungan itu menjadi terganggu ketika agama dipolitikkan. Oleh karena itu, sebaiknya

agama tidak menjadi pijakan – apalagi kendaraan – untuk berkecimpung di dunia politik

praktis".69

Tidak ada cara yang lebih praktis untuk membangun rasa kesalingpemahaman

antar agama selain kedua komunitas ini memiliki kemauan baik untuk saling mendengar.

Jika keduanya tidak siap dan tidak mau berjumpa dengan iman lain dengan sikap pengertian

69

(21)

dan penghargaan, maka hambatan yang ada selama ini tidak akan berubah, kecuali mungkin

akan bertambah buruk70 []

DAFTAR PUSTAKA

A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia, (Jogjakarta: Jajasan "Nida", 1971).

A. Muin Umar, "Sambutan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta", dalam Herman Leonard Beck, dkk (ed.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), (Jakarta: INIS, 1990).

70

(22)

Alwi Shihab, Membendung Arus; Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998).

Ahmad Baso, “Kritik atas “Nalar Melayu” (2); Tradisi Tasawuf: Historisitas ‘Nalar Melayu’,” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, (Edisi No. 3, Thn. 1998).

Anthony H. Johns, “Islamization in Southeast Asia”, SEAS: tp., 1993.

Azyumardi Azra, "Kata Pengantar", dalam Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2004).

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Edisi Revisi, (Jakarta: Prenada Media, 2004).

Abdul Hadi W. M., Hamzah Fansuri; Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, (Bandung: Mizan, 1995).

Burhanuddin Daya, "Kuliah Ilmu Perbandingan Agama pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN)", dalam Burhanuddin Daya, dkk (ed.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta: INIS, 1992).

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, (Jakarta: LP3ES, 1980).

Eka Darmaputra, "Spiritualitas Baru dan Kepedulian terhadap Sesama", dalam TH. Sumartana, dkk (ed.), Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat,

(Yogyakarta: DIAN / INTERFIDIE, 1994).

Hasan Askari, Spiritualitas Quest; An Inter-Religious Dimension, (West Yorkshire: Seven Mirrors, 1991).

Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit – Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985).

Ignas Kleden, "Agama dalam Perubahan Sosial", dalam Seri Prisma II, Agama dan Tantangan Zaman, (Pilihan Artikel Prisma 1975-1984), (Jakarta: LP3ES, 1985).

Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2004).

Jajat Burhanuddin, “Tradisi Keilmuan dan Intelektual”, dalam Taufik Abdullah, et.all, (ed.),

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 5 (Asia Tenggara), (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002).

(23)

Juhaya S. Praja, “Fikih dan Syariat”, dalam Taufik Abdullah, et.all, (ed.), Taufik Abdullah, et.all, (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002).

Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian; Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah, (Bandung: Mizan, 1995).

Karel A. Steenbrink, Kitab Suci atau Kertas Toilet ? Nuruddin ar-Raniri dan Agama Kristen, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988).

Kautsar Azhari Noer, Ibn al-’Arabî; Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995).

Martin van Bruinessen, “Origins and Development of Sufi Orders (Tarekat) in Southeast Asia”, dalam Indonesian Journal for Islamic Studies, Studia Islamika, Vol. I, No. 1 (April – June), 1994, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah).

M. Amin Abdullah, "Keimanan Universal di tengah Pluralisme Budaya; Tentang Klaim Kebenaran dan Masa Depan Ilmu Agama", dalam Jurnal Ulumul Qur'an, No. 1, Vol. IV, 1993.

Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994).

Mudji Sutrisno, "Agama, Harkat Manusia dan Modernisme", dalam TH. Sumartana, dkk (ed.), Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta:

DIAN/INTERFIDIE, 1993).

Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995).

Oman Fathurahman, Menyoal Wahdatul Wujud; Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh abad 17, (Bandung: Mizan & Ecole Française d’Extrême-Orient Centre de Jakarta, 1999).

Purwa Ahmad Purwadaksi, “Ratib Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman”, dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Qur’an, No. 5/VI/96.

Peter L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, diterjemahkan oleh Hartono, (Jakarta: LP3ES, 1991).

Ritzer dalam George Ritzer, Classical Sociological Theory, (New York: McGraw-Hill Int., 1996).

(24)

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Sabîl al-Muhtadîn littafaquhi fi al-dîn, (Singapura – Jeddah: ttp).

Uka Tjandrasasmita, “Kedatangan dan Penyebaran Islam”, dalam Taufik Abdullah, et.all, (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 5 (Asia Tenggara), (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002)

YB. Sudarmanto, Agama dan Politik Kekerasan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989).

William McInner, "Agama di Abad Duapuluh Satu", diterjemahkan oleh Dewi Yaminah, dalam Jurnal Ulumul Qur'an, No. 5, Vol. II, 1990.

Zailan Moris, “Southeast Asia”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed),

History of Islamic Philosophy, Part II, (London & New York: Routledge, 1996).

(25)

Referensi

Dokumen terkait

Pande Putu Sekar Ariwidiantari, S.Si SMP (SLUB) Saraswati Denpasar Pemanfaatan Daun Singkong (Manihot utilissima) dan buah Apel (Malus domestica) Sebagai Pengganti Karbit

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Beberapa hakim mediator dalam melakukan mediasi memang sudah mengikuti aturan PERMA dan pedoman perilaku mediator, (2) Problem yang

Lanjutkan intervensi : bantu pasien untuk latihan ambulasi, beri semangat pada klien dan keluarga untuk beraktivitas ringan. 3 26/7/0

Perbandingan secara kualitatif ini dapat didukung dengan menggunakan Pre- Analisis Inversi pada Gambar 6 dimana merupakan proses yang dilakukan untuk mengehtahui

Berdasarkan hasil penelitian yang telah disajikan dalam bentuk tabel dengan jumlah responden 30 orang menunjukkan adanya hubungan antara persepsi seksual dengan perilaku

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh pelatihan terhadap kinerja karyawan Kedai Roti Gempol dan Kopi Anjis Bandung, maka dapat diambil beberapa

The objectives of this study were to investigate the process of teaching- learning listening at the English Language Education Department of UIN Ar-Raniry in terms of (a)

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang negatif antara kesadaran keselamatan kerja dengan stress kerja karyawan di Perusahaan Raket AKRAB Malang.. Uji