• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Ser

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Ser"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI BANK DALAM MENGHADAPI PENYELESAIAN KREDIT MACET SERTA PENGAMANAN BENDA JAMINAN,

SUATU TINJAUAN PRAKTIS BERACARA DI PENGADILAN NEGERI SAMPAI PADA TINGKAT PENINJAUAN KEMBALI

A. Kredit dan Jaminan Pada Umumnya 1. Kredit dan Fungsi Kredit

Pengertian kredit menurut UU 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 angka 11, adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Kredit yang diberikan oleh bank didasarkan atas kepercayaan sehingga pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan kepada nasabah. Oleh karena pemberian kredit oleh bank dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan keuntungan, maka bank hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit jika ia betul-betul yakin bahwa si debitur akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Hal tersebut menunjukkan perlu diperhatikannya faktor kemampuan dan kemauan, sehingga tersimpul kehati-hatian dengan menjaga unsur keamanan dan sekaligus unsur keuntungan.

Unsur kredit yang paling esensial adalah “kepercayaan” dari bank/kreditor terhadap nasabah peminjam/debitu. Kepercayaan tersebut timbul karena dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh debitur, antara lain, jelasnya tujuan peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau agunan, dan lain-lain. Unsur-unsur kredit terdiri atas :

a. Kepercayaan. b. Tenggang Waktu.

c. Degree of risk (tingkat resiko). d. Prestasi atau objek kredit.

(2)

perundang-undangan. Dengan kondisi seperti itu maka peraturan perundang-undangan merupakan salah satu unsur utama dari kegiatan perkreditan.

2. Hukum Jaminan Pada Umumnya

Pengaturan hukum jaminan tidak hanya terdapat dalam KUHPer, yaitu Buku II KUHPer, melainkan juga terdapat di luar KUHPer. Di dalam buku II KUHPer mengatur mengenai jaminan kebendaan, yang meliputi piutang-piutang yang diistimewakan (BAB XIX), tentang gadai (BAB XX), dan tentang hipotek (BAB XXI). Adapun buku III KUHPer mengatur mengenai jaminan perseorangan, yaitu penanggungan utang(Borgtocht) (BAB XVII). Di luar KUHper, pengaturan hukum jaminan antara lain dapat dijumpai dalam :

1. KUHD.

2. UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

3. UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman jo. UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

4. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998.

5. UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun Tahun 2008 tentang Pelayaran.

7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

8. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

B. Penyelesaian Kredit Macet

(3)

1. Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima benda gadai berhak untuk menjual barang gadai, setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukannya peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan jangka waktu yang pasti.

2. Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia): yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).

3. Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).

Mengenai apa yang dimaksud dengan wanprestasi sendiri, kita dapat mellihat pada Penjelasan Pasal 21 UU Jaminan Fidusia, yaitu yang dimaksud dengan "cidera janji" (wanprestasi) adalah tidak memenuhi prestasi, baik yang berdasarkan perjanjian pokok, perjanjian Jaminan Fidusia, maupun perjanjian jaminan lainnya.

Mengenai apa itu prestasi, berdasarkan Pasal 1234 KUHPer, ada 3 macam bentuk prestasi, yaitu:

1. Untuk memberikan sesuatu; 2. Untuk berbuat sesuatu; dan 3. Untuk tidak berbuat sesuatu.

Melihat pada bentuk-bentuk prestasi pada Pasal 1234 KUHPer, dapat kita lihat bahwa wujud wanprestasi bisa berupa:

1. Debitur sama sekali tidak berprestasi; 2. Debitur keliru berprestasi;

3. Debitur terlambat berprestasi.

Biasanya sebelum membawa perkara kredit yang bermasalah ke jalur hukum, dilakukan upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu. Drs. Muhamad Djumhana, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Perbankan di Indonesia (hal. 553-573), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa mengenai kredit bermasalah dapat dilakukan penyelesaian secara administrasi perkreditan, dan terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas macet maka penanganannya lebih ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian kelembagaan hukum (penyelesaian melalui jalur hukum).

(4)

1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak;

2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan bank;

3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan dana bank; dan/atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru, dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.

Memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka waktu pembayaran kredit dalam hal debitur melakukan tindakan wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada baiknya ditempuh upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu untuk menyelesaikan kredit yang bermasalah sebelum melakukan gugatan ke pengadilan dan mengeksekusi barang jaminan.

Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan yang diberikan oleh debitur dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) serta beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:

4. Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima benda gadai berhak untuk menjual barang gadai, setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukannya peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan jangka waktu yang pasti.

5. Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia): yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).

6. Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).

(5)

Mengenai apa itu prestasi, berdasarkan Pasal 1234 KUHPer, ada 3 macam bentuk prestasi, yaitu:

1. Untuk memberikan sesuatu; 2. Untuk berbuat sesuatu; dan 3. Untuk tidak berbuat sesuatu.

Melihat pada bentuk-bentuk prestasi pada Pasal 1234 KUHPer, dapat kita lihat bahwa wujud wanprestasi bisa berupa:

1. Debitur sama sekali tidak berprestasi; 2. Debitur keliru berprestasi;

3. Debitur terlambat berprestasi.

Apabila kredit macet tersebut terjadi karena debitur tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana terdapat dalam perjanjian kredit, maka sebelum melakukan eksekusi barang jaminan, debitur harus terlebih dahulu dinyatakan wanprestasi, yang dilakukan melalui putusan pengadilan. Untuk itu kreditur harus menggugat debitur atas dasar wanprestasi. Akan tetapi sebelum menggugat debitur, kreditur harus melakukan somasi terlebih dahulu yang isinya agar debitur memenuhi prestasinya. Apabila debitur tidak juga memenuhi prestasinya, maka kreditur dapat menggugat debitur atas dasar wanpretasi, dengan mana apabila pengadilan memutuskan bahwa debitur telah wanprestasi, maka kreditur dapat melakukan eksekusi atas barang jaminan yang diberikan oleh debitur.

Jadi, dapat atau tidaknya barang jaminan dieksekusi tidak hanya bergantung pada apakah jangka waktu pembayaran kredit telah lewat atau tidak. Akan tetapi, apabila debitur melakukan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, itu juga merupakan bentuk wanprestasi (keliru berprestasi atau melakukan tidak sebagaimana yang diperjanjikan) dan dapat membuat kreditur berhak untuk melaksanakan haknya mengeksekusi barang jaminan.

Namun, biasanya sebelum membawa perkara kredit yang bermasalah ke jalur hukum, dilakukan upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu. Drs. Muhamad Djumhana, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Perbankan di Indonesia (hal. 553-573), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa mengenai kredit bermasalah dapat dilakukan penyelesaian secara administrasi perkreditan, dan terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas macet maka penanganannya lebih ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian kelembagaan hukum (penyelesaian melalui jalur hukum).

(6)

4. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak;

5. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan bank;

6. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan dana bank; dan/atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru, dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.

Memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka waktu pembayaran kredit dalam hal debitur melakukan tindakan wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada baiknya ditempuh upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu untuk menyelesaikan kredit yang bermasalah sebelum melakukan gugatan ke pengadilan dan mengeksekusi barang jaminan.

Menurut Penulis ada 3 langkah yang bisa dilakukan dalam menyelesaikan kredit macet yakni :

1. Penyelesaian kredit macet melalui penjualan jaminan secara sukarela (penjualan dibawah tangan.

2. Penyelesaian kredit macet melalui Parate Executie.

3. Penyelesaian kredit macet melalui gugatan perdata di Pengadilan.

1. Penyelesaian Kredit Macet melalui Penjualan Jaminan Secara Sukarela (Penjualan Dibawah Tangan)

Penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Demikian ditentukan oleh Pasal 20 Ayat (2) UUHT. Yang dimaksud dengan penjualan dibawah tangan adalah penjualan atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebani dengan hak tanggungan oleh kreditor sendiri secara langsung kepada orang atau pihak lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh pemilik tanah dan bangunan dimaksud.

(7)

agunan kredit apabila debitor tidak menyetujuinya. Dalam praktek apabila terjadi kredit macet, debitor tidak kooperatif sehingga bank sulit untuk mendapatkan atau memperoleh persetujuan dari nasabah debitor. Syarat untuk dapat dilakukan penjualan dibawah tangan obyek hak tanggungan adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dalam keadaan-keadaan tertentu justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan dijual dibawah tangan daripada dijual melalui pelelangan umum, apabila menurut pertimbangan bank hasil penjulan di bawah tangan lebih tinggi dibandingkan melalui pelengan umum. Bank sendiri berkepentingan agar hasil penjualan agunan tersebut cukup jumlahnya untuk membayar seluruh jumlah kredit yang terutang.

Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek hak tanggungan berada. Hal ini dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum penjualan dilakukan serta tidak ada sanggahan dari pihak manapun. Apabila tidak dilakukan, penjualan dapat dikatakan batal demi hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20 UUHT.

Syarat untuk dapat dilakukan penjualan di bawah tangan obyek hak tanggunganadalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Kesulitan untuk memperoleh persetujuan dari nasabah debitor dapat terjadi karena, misal :

a. Nasabah debitor dan atau pemilik agunan tidak mempunyai iktikad baik sehingga sulit ditemui atau tidak kooperatif;

b. Nasabah debitor dan atau pemilik agunan tidak diketahui keberadaannya.

Agar bank kelak dikemudian hari setelah kredit yang diberikan tidak mengalami kesulitan yang demikian, pada waktu kredit diberikan bank mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara dibawah tangan atau meminta kepada debitor untuk memberikan surat kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan. Bank melakukan tindakan seperti itu dengan alasan “jaga-jaga” yang tidak akan dipergunakan jika debitor membayar utangnya dengan lancar. Alasan lainnya yang biasa disampaikan oleh bank adalah sebagai tindakan “shocktherapy” bagi debitor, agar tidak melakukan tindakan wanprestasi.

(8)

tertentu. Pada prinsipnya sebenarnya kuasa untuk menjual diberikan oleh karena pihak penjual ( pemilik tanah) tidak dapat hadir sendiri pada saat pembuatan akta jual beli karena alasan-alasan tertentu. Namun dalam praktek alasan pemberian kuasa berkembang sesuai kebutuhan praktek.

Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan surat kuasa dalam Pasal 1792 KUHPerdata, berbunyi sebagai berikut :

Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang meberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan

Dari pasal tersebut kita dapat melihat bahwa unsur-unsur dari pemberian kuasa adalah:

a. Persetujuan;

b. Memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan; dan c. Atas nama pemberi kuasa.

Pertama-tama, haruslah unsur-unsur dan syarat-syarat untuk sahnya suatu persetujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatau perikatan; c. Suatu hal tertentu; dan

d. Suatu sebab yang halal.

Unsur kedua dari pemberian kuasa, yaitu mengenai memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan adalah sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak, baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas.

Unsur ketiga di mana penerima kuasa melakukan tindakan hukum tersebut untuk dan atas nama pemberi kuasa. Penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya, tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa. Apakah penerima kuasa dalam melakukan sesuatu tindakan hukum tersebut selalu untuk kepentingan pemberi kuasa semata-mata, disamping melakukannya atas nama pemberi kuasa? Ada kemungkinan pemberian kuasa tersebut dilakukan atas nama pemberi kuasa, tetapi untuk kepentingan penerima kuasa sehingga dalam hal-hal tertentu justru kepentingan penerima kuasa tersebut merupakan tujuan dari pemberian kuasa tersebut, misalnya :

(9)

b. Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa pemegang hipotik pertama diberi kuasa mutlak oleh pemberi hipotik untuk menjual persil yang dihipotikkan apabila debitor tidak memenuhi kewajibannya.

Untuk lebih jelasnya, kami kutip Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata tersebut:

Namun demikian, diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa jika uang tidak dilunasi semestinya atau jika bunga pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan.

Adapun dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT), maka ketentuan Pasal 1178 KUHPerdatatersebut tidak berlaku untuk jaminan berupa hak atas tanah dan bangunan. Pasal 6 UUHT menyebutkan senada dengan ketentuan Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata bahwa :

Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Suatu perjanjian pendahuluan di mana para pihak berjanji dan mengikatkan diri akan melakukan suatu perjanjian lainnya (kemungkinan menunggu syarat tertentu telah dipenuhi). Umpamanya, dalam hal jual-beli sebidang tanah, di mana bakal penjual dan bakal pembeli bersetuju untuk melakukan jual-beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tetapi syarat-syarat yang diperlukan untuk pelaksanaan jual-beli tersebut belum dipenuhi (sertipikat tanah hak atas nama penjual belum selesai, harga jual-beli belum lunas dan sebagainya). Dalam hal demikian, para pihak mengadakan perjanjian. pendahuluan (perjanjian pengikatan jual-beli). Dalam perjanjian tersebut penjual memberi kuasa kepada pembeli apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi (sertipikat tanah hak telah selesai tertulis atas nama penjual, harga jual beli telah dilunasi seluruhnya) mewakili penjual sebagai pemilik tanah hak tersebut guna melaksanakan jual beli di hadapan PPAT.

(10)

menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya. Jika terjadi demikian, akan mengakibatkan hak-hak dari penerima kuasa (kreditor atau bakal pembeli dalam contoh di atas) sangat dirugikan. Pemberian kuasa yang diberikan dalam rangka suatu perjanjian, dimana pemberian kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian tersebut (integrerend deel), karena tanpa adanya kuasa tersebut kepentingan penerima kuasa akan sangat dirugikan, perlulah pemberian kuasa tersebut diberikan syarat bahwa kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali atau yang sekarang dikenal atau disalahartikan dengan “kuasa mutlak”.

Larangan kuasa mutlak yang dimaksud disini adalah larangan terhadap kuasa sebagaimana diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai pemindahan Hak Atas Tanah yang sekarang telah dimuat di dalam Pasal 39 huruf d peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kuasa mutlak tersebut pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah, dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu: “Kuasa mutlak yang dimaksud dalam diktum pertama adalah kuasa yang di dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa.

Kuasa mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.

2. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Kredit Melalui Parate Eksekusi

Permasalahan parate eksekusi jaminan kredit bagi bank sangat penting karena sesuai dengan fungsi hak jaminan berkaitan dengan pemberian kredit adalah sebagai pengaman terakhir kredit yang diberikan oleh bank tersebut dapat kembali dan menguntungkan, yaitu dengan cara eksekusi/menjual agunan kredit tersebut dan hasilnya diperuntukan bagi pelunasan utang debitur, sedangkan apabila dari hasil penjualan terdapat sisa setelah digunakan pembayaran utangnya, maka sisa itu dikembalikan kepada debitu. Jika dari hasil penjualan terdapat kekurangan, maka kekurangannya wajib dibayar debitur, berdasarkan pasal 1131 KUHPer.

(11)

praktik, hal tersebut masih terdapat kendala, yaitu masih diperlukannya fiat eksekusi dari Pengadilan. Berdasarkan penjelasan pasal 14 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa terdapat kata-kata “melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga

parate executie sesuai dengan peraturan hukum acara perdata.” Ini berarti, sekalipun debitur telah cidera janji, penjualan objek hak jaminan tersebut belum serta merta dapat dilakukan. Dalam praktik, pihak kantor lelang akan meminta adanya fiat pengadilan mengenai eksekusi jaminan kredit. Tanpa adanya penetapan pengadilan mengenai eksekusi jaminan kredit, pelaksanaan penjualan akan mengalami kesulitan dan masih terdapat permasalahan hukum. Sering terjadi, walaupun pengadilan telah menetapkan adanya eksekusi atas objek jaminan kredit, pihak debitur mengadakan upaya bantahan mengenai penetapan eksekusi tersebut dengan alasan-alasan yang dapat diterima hakim. Hal demikian juga akan memperpanjang pelaksanaan eksekusi jaminana kredit.

Dasar dilakukannya lelang terdapat dalam undang-undang yang mengatur mengenai hak jaminan, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996, penjualan melalui lelang atas hak tanggungan berdasarkan janji, yang diatur dalam Pasal 6, yang intinya adalah apabila debitur cidera janji, kreditor (pemegang hak tanggungan) atas kekuasaan sendiri menjual melalui lelang umum serta mengambil pelunasan piutangnya.

Berdasarkan Pasal 14 ayat 3 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, sertifikat hak tanggungan disamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun, dalam penjelasan tersebut antara lain dinyatakan tata cara pelaksanannya dengan menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai dengan peraturan hukum acara perdata.

3. Penyelesaian Kredit Macet Melalui Gugatan Perdata di Pengadilan

Mengajukan gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri (PN) atas dasar wanprestasi (ingkar janji/cedera janji) dapat dijadikan opsi oleh Bank untuk menyelesaikan portfolio kredit macet. Opsi ini dapat ditempuh manakala pihak bank tidak dapat melakukan eksekusi grosse akta melalui Pengadilan Negeri disebabkan antara lain perjanjian kreditnya tidak diiringi pembuatan grosse akta pengakuan utang yang dibuat secara notarial.

(12)

Proses mediasi harus terlebih dahulu dilalui yang jangka waktunya paling lama 40 hari, sebagaimana diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2008. Setelah mediasi dilalui sebenarnya dalam melakukan pemeriksaan dan memutus perkara perdata apabila berjalan lancar dapat diselesaikan selama delapan minggu atau delapan kali persidangan.

Adapun rincian acara persidangan dimaksud, apabila dapat berjalan lancar setiap sekali seminggu sebagai berikut :

1. Sidang pertama : Pemeriksaan identitas para pihak bersengketa dan penunjukan Mediator.

2. Mediasi dengan mediator paling lama selama 40 (empat puluh) hari 3. Sidang kedua : Jawaban tergugat.

4. Sidang ketiga : Replik. 5. Sidang keempat : Duplik.

6. Sidang kelima : Pembuktian oleh penggugat. 7. Sidang keenam : Pembuktian oleh tergugat.

8. Sidang ketujuh : Kesimpulan masing-masing pihak. 9. Sidang kedelapan : Putusan.

Hambatan dalam memeriksa perkara dengan cepat dalam perkara perdata sebagaimana dimaksud diatas, pada umumnya berasal dari para pihak yang berperkara itu sendiri. Salah satu yang sering ditemui dalam persidangan antara lain salah satu pihak berhalangan hadir, belum siap jawaban/replik/duplik, belum siap bukti dan saksi, yang kesemuanya menyebabkan sidang ditunda paling cepat satu minggu dan bisa lebih lama dari itu.

Setelah diputus oleh Pengadilan Negeri maka pihak yang tidak puas terhadap putusan tersebut dapat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi. Yang perlu diperhatikan adalah tata cara pengajuan banding sebagai berikut :

1. Mengajukan Permohonan Banding dengan membuat akta pernyataan banding di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dalam waktu paling lambat 14 hari sejak putusan dibacakan (jika prinsipal atau kuasanya hadir di persidangan) atau sejak relaas putusan diterima jika putusan dibacakan secara verstek. Jika lewat waktu maka berakibat permohonan banding tidak dapat diterima.

2. Kuasa hukum dapat mewakili prinsipal untuk membuat permohonan banding dan membuat memori banding dengan surat kuasa khusus untuk itu.

(13)

memori banding dapat diajukan selama pengadilan tinggi dalam tingkat banding belum memutus perkara tersebut.

4. Kontra memori banding dapat dilakukan kapan saja selama perkara banding tersebut belum diputus di Pengadilan Tinggi.

5. Membayar biaya perkara banding.

Setelah diputus di tingkat banding yakni di Pengadilan Tinggi, maka apabila ada dari pihak yang bersengketa tidak puas dengan putusan tingkat banding maka dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Hal-hal yang perlu untuk diperhatikan adalah sebagai berikut :

1. Mengajukan Permohonan Kasasi dengan membuat akta pernyataan kasasi di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama, tenggang waktunya adalah paling lambat 14 hari sejak putusan diterima.

2. Kuasa hukum dapat mewakili prinsipal untuk membuat pemohonan kasasi dan membuat memori kasasi dengan surat kuasa khusus untuk itu.

3. Pemohon kasasi wajib menyerahkan memori kasasi dengan tenggang waktu 14 hari setelah permohonannya didaftar.

4. Kontra memori kasasi wajib diserahkan dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari setelah Salinan memori kasasi diterima.

5. Membayar biaya perkara kasasi.

Terhadap putusan tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan ketentuan Pasal 67 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan sebagai berikut :

”Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;

d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

(14)

f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.”

Selanjutnya, Pasal 69 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menyatakan :

“Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk :

a. yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;

c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

d. yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.” (PK) ini, harus bersifat menentukan.

3. Hari dan tanggal alat bukti surat itu ditemukan, harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan pejabat yang berwenang.1

4. Alat bukti surat itu telah ada sebelum proses pemeriksaan perkara.

1 Catatan Penulis : Pengakuan tersumpah Dikenal juga Affidafit. Adapun

terhadap pengertian ”pejabat yang berwenang” pada Pasal 69 huruf b tersebut tidak diberikan penjelasan. Oleh karena tidak diberikan penjelasan, maka tidak terdapat pembatasan atas ”pejabat yang berwenang” dalam melakukan pengesahan atas alat bukti surat tersebut. Namun demikian, pada umumnya, jika suatu surat yang akan dijadikan novum berkaitan erat dengan pejabat tertentu, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dilakukan di hadapan dan oleh pejabat tersebut.

Dikaitkan dengan perkara, jika alat bukti surat yang diajukan sebagai novum

(15)

Terhadap bagian 3 tersebut di atas, maka pada hari dan tanggal ditemukan alat bukti surat itu, pemohon PK harus menyatakan di bawah sumpah dimana :

1. Pernyataan sumpah itu dibuat secara tertulis yang menjelaskan bahwa pada hari dan tanggal tersebut telah menemukan alat bukti surat in casu Akta Jual beli ataupun Sertipikat Hak Milik dengan menyebut tempat atau kantor dimana alat bukti surat itu ditemukan.

2. Selanjutnya surat pernyataan sumpah itu disahkan oleh pejabat yang berwenang. Kedua syarat ini bersifat imperatif dan kumulatif. Artinya, apabila penemuan surat itu tidak dituangkan dalam bentuk surat pernyataan di bawah sumpah, kemudian surat pernyataan sumpah itu tidak disahkan oleh pejabat yang berwenang, maka alat bukti surat itu tidak memenuhi syarat sebagai alasan permohonan PK. Sementara itu, pernyataan sumpah saja oleh Pemohon PK tanpa disahkan oleh pejabat yang berwenang juga mengakibatkan alat bukti surat tersebut tidak sah sebagai alasan permohonan PK.

Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan dalam praktiknya memakan waktu lama. Debitur sering memanfaatkan lamanya waktu penyelesaian perkara di Pengadilan. Bahkan adakalanya debitor sengaja menggugat kreditor dengan tujuan untuk mengulur-ulur waktu pembayaran dan menggunakan dalih “masih dalam sengketa” untuk menghalang-halangi eksekusi jaminan. Oleh karena itu bank dalam menghadapi debitor semacam itu memerlukan strategi khusus.

Namun demikian Melihat pada ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004, ditentukan bahwa permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan. Dari ketentuan pasal tersebut dan dari penjelasan pasalnya yang juga berbunyi “cukup jelas”, maka dapat kita simpulkan bahwa upaya Peninjauan Kembali (“PK”) tidak akan menunda pelaksanaan putusan kasasi.

4. Eksekusi Putusan Pengadilan

(16)

Dalam hukum acara perdata, putusan hakim terdapat beberapa jenis sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Abdul Kadir Muhammad, S.H. yakni :

1. Putusan Kondemnator (Condemnatoir vonnis, condemnatory verdict). 2. Putusan Deklarator (declaratoir vonnis, declaratory verdict).

3. Putusan Konstitutif (Constitutief vonnis, constitutive verdict).

Terdapat dua jenis eksekusi perdata, yakni eksekusi riil dan eksekusi pembayaran. M. Yahya Harahap, S.H. menjelaskan :

Pada dasarnya ada dua bentuk eksekusi ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan. Adakalanya sasaran hubungan hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau dictum putusan, yaitu melakukan suatu “tindakan nyata” atau “tindakan riil”, sehingga eksekusi semacam ini disebut “eksekusi riil”. Adakalanya hubungan hukum yang mesti dipenuhi sesuai dengan amar putusan, melakukan “pembayaran sejumlah uang”. Eksekusi yang seperti ini disebut “pembayaran uang”.

Eksekusi merupakan akhir dari gugatan perkara perdata dimana putusan hakim yang telah mempunyai putusan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dilaksanakan. Tidak semua jenis putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut dapat dieksekusi. Lilik Mulyadi, S.H. berpendapat :

Pada asasnya putusan hakim hanya yang bersifat “condemnatoir” dengan amar berisi penghukuman saja yang dapat dieksekusi. Seperti: penghukuman berisi penyerahan sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah, membayar sejumlah uang atau melakukan sesuatu perbuatan tertentu dan lain-lain. Sedangkan terhadap putusan hakim dengan sifat amar “deklaratoir” atau “konstitutif” tidak memerlukan eksekusi oleh karena pada putusan tersebut mengandung sifat dan dan keadaan dinyatakan sah serta keadaan baru telah mulai berlaku/tercipta sejak putusan itu diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum.

Putusan yang bersifat kondemnator mengandung arti putusan yang bersifat menghukum. Putusan-putusan yang memiliki sifat deklarator atau konstitutif tidak perlu dieksekusi, karena begitu putusan-putusan yang demikian itu begitu diputuskan oleh hakim, maka keadaan dinyatakan sah oleh putusan dan mulai berlaku pada saat itu juga. Putusan kondemnator bisa berupa putusan untuk:

(17)

e. Membayar sejumlah uang.

Dari kelima bentuk putusan kondemnator, dari point a sampai dengan point d adalah penghukuman untuk bentuk eksekusi riil, sedangkan pada point e adalah eksekusi pembayaran uang.

Ada tiga hal yang membedakan antara eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran. M. Yahya Harahap S.H. menyebutkan yang membedakaan itu adalah sebagai berikut:

1. Eksekusi riil mudah dan sederhana, sedangkan eksekusi pembayaran uang memerlukan tahap sita eksekusi dan penjualan eksekusi.

Jika diperhatikan dengan seksama, menjalankan eksekusi riil sangat mudah dan sederhana. Ambil contoh penghukuman pengosongan tanah. Cara eksekusinya sederhana. Prosesnya pun sangat mudah dengan jalan memaksa tergugat keluar meninggalkan tanah tersebut. Begitu pula pada bentuk eskekusi riil yang lain. Pada dasarnya secara teoritis sangat mudah dan sederhana. Lain halnya mengenai eksekusi pembayaran sejumlah uang. Adakalanya terhukum sama sekali tidak mempunyai uang tunai. Yang ada hanya harta benda. Diperlukan syarat dan tata tertib yang terinci. Secara garis besarnya tahapannya adalah melalui proses sita jaminan (esxecutorial beslag) dan kemudian dilanjutkan dengan penjualan lelang yang melibatkan jawatan lelang.

Penahapan proses itu tidak perlu dalam menjalankan eskesusi riil. Pada eksekusi riil, Ketua Pengadilan Negeri cukup mengeluarkan surat penetapan yang memerintahkan eksekusi. Berdasarkan penetapan itu, panitera atau juru sita pergi ke lapangan melaksanakan penyerahan atau pembongkaran secara nyata. Dengan penyerahan atau pembongkaran, eksekusi sudah dianggap terlaksana. Berbeda halnya dengan ekskusi pembayaran sejumlah uang. Untuk mendapatkan uang itu, harta tergugat harus lebih dahulu dilelang dan untuk sampai pada tahap lelang terdapat tata cara tersendiri.

2. Eksekusi riil terbatas putusan pengadilan, sedang eksekusi pembayaran uang meliputi akta yang disamakan dengan putusan pengadilan .

Eksekusi riil hanya terjadi dan mungkin diterapakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memunyai kekuatan hukum tetap, bersifat dijalankan lebih dahulu, berbentuk provisi dan berbentuk akta perdamaian di sidang pengdilan. Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas putusan pengadilan, tetapi juga didasarkan atas bentuk akta tertentu yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap yang terdiri dari grosse akta pengakuan utang, grosse akta hipotek,

(18)

Eksekusi riil tidak mungkin dijalankan terhadap grosse akta. Sebab grosse akta pengakuan utang, hipotek, hak tanggungan, dan jaminan fidusia adalah ikatan hubungan hukum utang piutang yang harus diselesaikan dengan jalan pembayaran sejumlah uang. Jadi, bentuk kelahiran terjadinya grosse akta itu sendiri sudah menggolongkannya kepada eksekusi pembayaran sejumlah uang.

3. Sumber hubungan hukum yang disengketakan.

Eksekusi riil merupakan upaya hukum yang mengikuti persengketaan hak milik atau persengketaan hubungan hukum yang didasarkan atas perjanjian jual beli, sewa-menyewa atau perjanjian melaksanakan suatu perbuatan. Adapun eksekusi pembyaran sejumlah uang, dasar hubungan hukumnya hanya didasarkan atas persengketaan perjanjian utang-piutang dan ganti rugi berdsarkan wanprestasi, dan hanya dapat diperluas berdasarkan ketentuan Pasal 225 HIR dengan nilai sejumlah uang apabila tergugat enggan menjalankan perbuatan yang dihukumkan pada waktu tertentu.

Terdapat tata cara dan prosedur untuk menjalankan eksekusi pembayaran sejumlah uang. Pada dasarnya eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah untuk melaksanakan putusan pegadilan berupa pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan oleh putusan pengadilan. Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan putusan berupa pembayaran sejumlah uang sebagaimana yang dihukumkan kepadanya, maka pengadilan berwenang untuk melaksanakan eksekusi pembayaran sejumlah uang dengan cara penjualan lelang harta kekayaan tergugat di depan umum. Dari hasil penjualan lelang, dibayarkanlah kepada pihak yang yang berhak atas pihak yang dihukum sesuai dengan jumlah yang disebutkan dalam amar putusan.

Tidak serta merta penjualan lelang secara nyata dapat langsung dilakukan dan hasilnya langsung diperoleh oleh penerima hak dari pihak yang dihukum. Terdapat tahapan-tahapan yang harus ditempuh. Bisa dikatakan, bahwa lelang dan penyerahan hasil lelang kepada penerima hak atas pihak yang dihukum adalah tahapan terakhir dalam eksekusi. Tahapan-tahapan itu adalah sebagai berikut :

1. Peringatan (aanmaning).

Peringatan (aanmaning) merupakan tahap awal proses eksekusi. Proses peringatan merupakan prasyarat yang bersifat formil pada segala bentuk eksekusi, baik pada eksekusi riil maupun eksekusi pembayaran sejumlah uang.

(19)

proses peringatan tidak dapat dilakukan. Namun demikian, ketika sudah diajukan permohonan eksekusi maka Ketua Pengadilan Negeri wajib melakukan peringatan (aanmaning). Batas waktu masa peringatan “aanmaning” ditentukan oleh ketua Pengadilan Negeri maksimal adalah 8 (delapan) hari. Hal ini sesuai dengan Pasal 196 HIR.

Setelah dilakukan peringatan (aanmaning), apabila pihak tergugat tidak hadir memenuhi panggilan peringatan tanpa alasan yang sah, atau setelah masa peringatan dilampaui tetap tidak mau memenuhi pembayran yang dihukumkan kepadanya, sejak saat itu Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk melakukan sita eksekusi (executoriale beslag).

2. Sita Eksekusi (executorial beslag)

Sita eksekusi atau (executorial beslag) merupakan tahap lanjutan dari peringatan dalam proses eksekusi pembayaran sejumlah uang. Tata cara sita eksekusi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 197 HIR, Pasal 198 HIR, dan Pasal 199 HIR.

Mengenai sita eksekusi (executorial beslag) ada beberapa hal yang perlu dijelaskan oleh penulis adalah sebagai berikut :

a. Sita Eksekusi berdasarkan surat perintah eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pada eksekusi pembayaran sejumlah uang, surat perintah dilakukan setelah surat peringatan (aanmaning). Penahapan proses sita eksekusi harus disusul dengan penahapan surat perintah penjualan lelang. Setelah penahapan proses perintah penjualan lelang baru kemudian dilakukan proses penahapan penjualan lelang oleh jawatan lelang. Mengenai penahapan penjualan lelang akan dibahas lebih lanjut dalam pemabahasan tersendiri.

b. Sita Eksekusi dilaksanakan Panitera atau Juru Sita. Jadi, surat perintah eksekusi berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk menyita sejumlah atau seluruh harta kekayaan tergugat yang jumlahnya disesuaikan dengan patokan batas yang ditentukan pasal 197 ayat (1) HIR.

c. Panitera atau juru sita yang diperintahkan menjalankan sita eksekusi dibantu dan disaksikan oleh dua orang saksi. Ketentuan ini adalah syarat formil yang ditentukan Pasal 197 ayat (6) HIR. Sita eksekusi yang tidak dibantu dan disaksikan dua orang saksi menurut hukum dianggap tidak memenuhi syarat. Akibatnya sita eksekusi dianggap tidak sah.

(20)

Syarat ini disimpulkan dari ketentuan Pasal 197 ayat (5) dan ayat (9) HIR. Maksudnya adalah panitera atau juru sita datang ke tempat di mana barang yang hendak disita terletak untuk melihat sendiri jenis barang maupun ukuran dan letak barang yang hendak disita eksekusi bersama-sama dengan kedua orang saksi yang ditunjuk.

e. Sita eksekusi wajib untuk dibuatkan berita acara sita eksekusi. Autentikasi sita eksekusi sebagai tindakan hukum dituangkan dalam berita acara. Berita acara merupakan bukti autentik kebenaran sita eksekusi. Tanpa berita acara sita eksekusi dianggap tidak pernah terjadi. Hal inilah yang disinggung Pasal 197 ayat (5) dan (6) HIR. Menurut Pasal tersebut, fungsi sita eksekusi yang dilakukan panitera atau juru sita mesti dilengkapi dengan pembuatan berita acara.

f. Pasal 197 ayat (5) HIR menentukan berita Acara eksekusi diberikan kepada tersita eksekusi jika tersita hadir pada waktu pelaksanaan eksekusi. Walaupun undang-undang menentukan demikian, namun berita acara eksekusi tetap diberikan kepada tereksekusi walapun dia tidak hadir.

g. Sita eksekusi dapat dijalankan pelaksanaannya di luar hadirnya pihak tersita. Pelaksanaan sita eksekusi tidak digantungkan atas hadirnya pihak tersita. Hadir atau tidak hadir, sita dapat dijalankan pelaksanaannya.

h. Penjagaan barang yang disita mesti tetap berada di tangan pihak tersita. Penjagaan dan penguasaan barang yang disita tidak boleh diserahkan kepada pemohon eksekusi. Sita eksekusi tidak dapat diartikan pelepasan hak milik tereksekusi atas barang yang disita. Selama barang yang disita eksekusi belum dijual lelang, hak milik tersita masih tatap melekat pada barang yang disita. Hal ini berdasarkan dengan hak penjagaan dan penguasaan barang yang disita eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (9) HIR.

3. Lelang Eksekusi (executoriale verkoop).

Kelanjutan Sita Eksekusi adalah penjualan lelang (executorial verkoop). Hal ini ditegaskan Pasal 200 ayat (1) HIR yang berbunyi :

(21)

Setelah sita eksekusi dilaksanakan, undang-undang memerintahkan penjualan barang sitaan. Cara penjualannya dengan perantaraan Kantor Lelang. Penjualannya disebut penjualan lelang (executorial verkoop).

5. Perlawanan Terhadap Eksekusi

Menurut pasal 195 ayat (6) HIR diberi kemungkinan bagi pihak ketiga untuk mengajukan perlawanan terhadap eksekusi yang akan dijalankan. Tidak selamanya perlawanan dapat menunda eksekusi. Bank perlu cermat dalam menyikapi dan mengambil langkah hukum apabila berhadapan dengan “debitor nakal” yang sengaja menunda-nunda eksekusi dengan alasan masih ada “perlawanan” terhadap eksekusi putusan pengadilan. Syarat agar perlawanan yang dapat menunda eksekusi adalah sebagai berikut :

a. Perlawanan diajukan sebelum eksekusi dijalankan.

b. Pihak yang mengajukan perlawanan adalah pihak ketiga yang tidak ikut dalam perkara dimana pihak ketiga tersebut memiliki hak terhadap objek eksekusi.

c. Terdapat perdamaian antara para pihak yang bersengketa mengenai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata segi hukum dan penegakannya,

Akademika Pressindo, Jakarta, 1987.

Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Rineka Cipta, Jakarta, 2009.

H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Herowati Poesoko, Dinamika Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, Aswaja

PressindoYogyakarta, 2013.

Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Kompas, Gramedia, Jakarta, 2010.

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2008.

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1997.

Moh.Taufik Makarao, S.H., M.H., Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2004.

M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan EksekusiBidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.

Ropaun Ranbe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Sinar Grafika, Jakarta, 2002. Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Damar, Jakarta, 2008.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2001. Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung, 2014.

(23)

Peraturan Perundang-Undangan

Herziene Indonesich Reglement (HIR)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman jo. UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998.

UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Referensi

Dokumen terkait

Masalah ekonomi yang dialami keluarga Ibu Ni Made Ginter adalah pendapatan yang tidak menentu dan tidak dapat mencukupi kehidupan sehari-hari, dimana solusi yang dapat ditawarkan

Pendapat ini lah yang kemudian menjadi dasar bagi penulis untuk menyatakan bahwa, pasal 22 undang-undang pengampunan pajak 45 ini tidak bertentangan dengan isi Undang-Undang

Data Pengukuran Imago Jantan E... Data Pengukuran Imago Betina

Semua aksesi nilam uji terdapat variasi yang tinggi pada karakter kuantitatif antara lain jumlah daun, panjang daun, lebar daun dan tebal daun, produksi terna, jumlah

PEMBENTUKAN, KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS METROLOGI LEGAL PADA DINAS PERDAGANGAN. BAGAN SUSUNAN ORGANISASI UPT

then relate it to the most important environmental variables (radiation, temperature, vapour pressure deficit) using the multiplicative model of Jarvis.. In this paper, some

Dengan mata kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu memahami kaidah-kaidah fikih aghlabiyah serta mampu mengimplementasikan dalam problematika masyarakat.. Mahasiswa

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan menyusun skripsi ini yang berjudul