• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Hukum Administrasi Negara Tentang Larangan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Perda No. 6 tahun 2003 (Studi Pemko Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Hukum Administrasi Negara Tentang Larangan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Perda No. 6 tahun 2003 (Studi Pemko Medan)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jumlah penduduk yang semakin meningkat, kebutuhan dan tuntutan hidup juga meningkat, serta teknologi dan informasi yang terus berkembang, sedangkan

sumber daya alam, sumber-sumber penghasilan, dan sumber daya manusia yang tidak bisa mengimbangi peningkatan-peningkatan tersebut, menyebabkan

munculnya permasalahan-permasalahan sosial yang begitu banyak dan kompleks. Hampir di setiap daerah di Indonesia khususnya di Kota Medan, permasalahan

sosial ini ada dengan jenis yang beragam.1

Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan

hidup yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat dilakukan pemerintah,

pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial

(Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 1 dan 2).

Akhir-akhir ini, semakin sering dijumpai banyaknya gelandangan, pengemis, maupun pekerja anak yang berada di tengah kota, fasilitas-fasilitas umum, traffic light bahkan hingga masuk pada wilayah kampus dan pemukiman

1

(2)

warga. Sekelompok orang yang hidupnya di bawah batas ukuran cukup akan

melakukan hal yang disebut mengemis. Pengemis ini akan menggunakan gelas, kotak kecil, topi ataupun benda lainnya yang dapat dimasuki oleh uang dan yang

sering pula ditemui sekarang ini adalah dengan menggunakan amplop yang berisikan keluh kesah mereka, seperti masalah pendidikan, susu untuk anaknya,

atau permasalahan tempat tinggal.2

Munculnya gelandangan di lingkungan perkotaan merupakan gejala sosial

budaya yang relatif menarik. Pada umumnnya gejala tersebut dihubungkan dengan perkembangan lingkungan perkotaan. Kondisi semacam ini membawa

implikasi terhadap semakin kuatnya. Akan tetapi, anak jalanan bukanlah tipe anak-anak yang gampang menyerah begitu saja. Mengetahui gelagat kurang baik,

mereka pun bersiasat laiknya prajurit di medan perang. Mereka tidak lagi atau jarang menampakkan diri di tempat-tempat yang membuat mereka mudah ditangkap.

Di sinilah letak kekhasan karakter anak jalanan di Medan. Meskipun banyak juga di antara mereka yang turun ke jalan karena dikurung kemiskinan,

namun ada alasan lain yang mengakar kuat di kepala, yaitu alasan sosial-budaya. “Tertanam di benak mereka untuk mendirikan “kerajaan” mereka sendiri. Karena

itulah mereka merantau,” ungkap Taufan. Seiring dengan “meroketnya” kemunculan anak jalanan di Indonesia pada tahun 1970-an, banyak anak-anak

jalanan yang datang dari daerah-daerah di sekitar Medan. Perkembangan anak

(3)

jalanan di Medan tergolong cukup pesat, setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan

Yogyakarta.3

Mengemis itu sendiri adalah kegiatan meminta-minta bantuan, derma,

sumbangan baik kepada perorangan atau lembaga yang identik dengan penampilan pakaian yang serba kumal sebagai sarana untuk mengungkapkan

kebutuhan apa adanya dan dengan berbagai cara lain untuk menarik simpati orang lain. Cara yang dimaksudkan yaitu dengan mengamen, atau bahkan dengan

mengatasnamakan suatu yayasan panti asuhan yang ilegal untuk mendapatkan sejumlah uang dari masyarakat. Mengemis atau meminta-minta dapat dilakukan

dengan meminta-minta melalui cara lisan, tertulis atau memakai gerak-gerik, termasuk juga dalam kategori pengertian ini adalah menjual lagu-lagu dengan

jalan menyanyi dengan menggunakan berbagai alat musik, misalnya adalah gitar, angklung, seruling, botol aqua. Pengemis adalah seorang yang tidak mempunyai penghasilan yang tetap, dan pada umumnya hidup dengan cara mengandalkan

belas kasihan dari orang lain. Mengemis menjadi sebuah budaya saat ini, karena banyak sekali orang yang sebenarnya masih dalam keadaan sehat memilih jalan

untuk mengemis/meminta-minta. Karena kondisi tersebutlah, maka praktek dalam mengemis dikatakan sebagai perilaku yang menyimpang dari norma dan nilai

yang berlaku dalam masyarakat.

Anak jalanan bukanlah komunitas yang seragam. Berbagai latar belakang

mendesak mereka tinggal dan bekerja selama 12 jam di jalan. Tak jarang, selama

(4)

24 jam mereka hidup di sana jumlahnya pun tak sedikit. Berdasarkan data yang

diperoleh beberapa tahun terakhir, koordinator Program Advokat Anak Jalanan Yayasan Pusaka Indonesia, Haspin Yusuf Ritonga, menaksir jumlah anak jalanan

di Sumatra Utara mencapai 5.000 anak dan 2.000 di antaranya berada di Kota Medan.4

Perserikatan Perlindungan Anak Indonesia (PPAI) Sumatra Utara menghimpun angka lebih banyak, yaitu 6.000 anak jalanan berada di seluruh

Sumatera Utara dan 4.000 dari jumlah tersebut tinggal di kota Medan. Pada tahun 2006, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) mencatat, ada 4.525 anak

jalanan dan sekitar 2.000 berada di seputar Medan. Sedangkan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anak yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-20,

Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak (KKSP), memperkirakan ada sekitar 5.000 anak jalanan di seluruh Sumatra Utara, pada tahun 2007.

5

Data Pusdatin Kementerian Sosial tahun 2014 menunjukan jumlah

pengemis sebanyak 31.1793 jiwa, sementara jumlah gelandangan tahun 2009 sebanyak 54.028 jiwa, keterkaitan ini sangat jelas bahwa faktor kemiskinanlah

yang menyebabkan mereka hidup seperti itu. Untuk mengurangi penduduk miskin yang berjumlah 34 juta, tahun 2010 disediakan anggaran Rp 1,8 triliun.

Jumlah mereka terus bertambah bahkan semakin meroket pasca krisis moneter, apalagi anak jalanan di Medan banyak yang berasal dari kota Medan

sendiri. Perekonomian yang terpuruk memaksa sebagian anak-anak menyimpan

4

(5)

tas sekolah mereka dan turut bertanggung jawab mempertahankan keuangan

keluarga, atau setidaknya mereka diharapkan mampu membiayai diri mereka sendiri.

Fenomena merebaknya masyarakat miskin sebenarnya telah lama menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah maupun masyarakat para pengguna jalanan.

Hampir di setiap jalan kita selalu melihat dan menyaksikan anak jalanan, gelandangan, dan pengamen yang memberikan citra buruk, selalu merusak keindahan Kota Medan dan sebagainya.

Perkembangan permasalahan Kesejahteraan Sosial di Kota Medan cenderung meningkat ditandai dengan munculnya berbagai fenomena sosial yang

spesifik baik bersumber dari dalam masyarakat maupun akibat pengaruh globalisasi, industrialisasi dan derasnya arus informasi dan urbanisasi, Kota

Medan sementara masalah sosial menjadi konvensional masih berlanjut termasuk keberadaan anak jalanan, serta adanya pelaku eksploitasi, merupakan beban bagi Pemerintah.6

Kritik dalam perjalanan Perda ini tak terbilang lagi, dari yang rasional sampai yang ngawur. Ada yang mengkritik pasal kriminalisasi terhadap orang

yang bersedekah kepada Gepeng, ada juga yang protes pemidanaan bagi orang yang melakukan penggelandangan dan pengemisan. Alasannya karena tidak ada

dasar yang kuat bagi pemidanaan itu, bahkan melanggar norma-norma agama dan sosial yang berlaku di tengah masyarakat. Namun ada juga kritik negatif ketika

5

(6)

satu kelompok masyarakat menolak Perda ini dengan alasan peraturan ini adalah

proyek legislasi Gubernur terdahulu.

Di lain pihak banyak masyarakat yang serba sulit akibat keadaan, banyak

masyarakat yang miskin dan dimiskinkan oleh sistem. Akibatnya selain menjamur fenomena gepeng dan pengamen di kota Medan juga menjamur praktek prostitusi

di berbagai tempat. Akibatnya adalah ketakutan yang kemudian menjadi alasan penulis melihat fenomena tersebut sudah terang benerang dan terjadi pembiaran

sehingga tak jarang di pinggir jalan Kota Medan terdapat wanita-wanita yang sering disebut Wanita Tuna Susila (selanjutnya disebut WTS) menjajakan dirinya.

Alangkah bahayanya jika ini terus terjadi karena akan berdampak negatif masa depan kota Medan, apalagi para WTS merupakan illegal dan tidak teridentifikasi

oleh pemerintah Kota Medan.

Hukum adalah sebuah ketentuan sosial yang mengatur perilaku mutual antar manusia, yaitu sebuah ketentuan tentang serangkaian peraturan yang

mengatur perilaku tertentu manusia dan hal ini berarti sebuah sistem norma.7

7

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2006, hal 24.

Teori hukum Menurut Hans Kelsen tersebut menunjukkan apresiasi yang tinggi

terhadap eksistensi dari kehidupan sosial yang tentu tidak bisa dilepaskan dari norma-norma dan kaidah yang ada. Manusia sebagai bagian dari kehidupan

masyarakat tentu akan bersinergi dengan dinamika sosial yang terjadi. Tidak jarang bahwa dalam proses interaksi sosial tersebut pada akhirnya dapat

(7)

penyakit sosial. Penyakit sosial pada prinsipnya merupakan suatu kondisi tingkah

laku individu dan masyarakat yang telah bergeser pada norma-norma atau kaidah yang ada. Pada umumnya perilaku kontradiktif tersebut hanya dilakukan oleh

segolongan minoritas masyarakat namun akibat dari penyakit sosial tersebut dapat menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat lainnya.

Keterkaitan masalah (interdepence) yang terjadi tentu tidak sepenuhnya membuat sekelompok masyarakat mayoritas menjadi kacau (chaos). Dinamika

yang terjadi pada masyarakat pada prinsipnya telah membuat masyarakat itu sendiri dapat mengantisipasi keadaan baik dengan meletakkan dasar-dasar

kearifan lokal, mengkaitkan norma agama atau bahkan menegakkan norma hukum. Oleh sebab itulah maka norma-norma dan kaidah yang ada selalu bisa

mengikuti perkembangan zaman dalam mengatur tingkah laku di masyarakat. Sejatinya, tidak ada jumlah yang pasti mengenai mereka. Mereka bergerak seperti udara. Sekali waktu mereka bermukim di jalanan, lain waktu mereka

mendapat pekerjaan tetap atau pindah ke luar kota. Definisi tentang anak jalanan itu pun cair.

Ketua Yayasan Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak (selanjutnya KKSP), Ahmad Taufan Damanik. Belakangan ini Satpol PP sedang

gencar-gencarnya melakukan razia. KKSP mengidentifikasi ada sejumlah titik tempat mereka biasa bekerja, antara lain simpang Ramayana Jalan Brigjen Katamso,

(8)

Amplas di Jalan Panglima Denai, warung kopi di seputaran lapangan di Jalan

Gajah Mada, Simpang Sei Sikambing di Jalan Kapten Muslim, simpang Jalan Guru Patimpus, Pasar Pringgan, Pasar Petisah, Pusat Pasar, dan Pasar Brayan.8

Di lain pihak banyak masyarakat yang serba sulit akibat keadaan, banyak masyarakat yang miskin dan dimiskinkan oleh sistem. Akibatnya selain menjamur

fenomena gepeng dan pengamen di kota Medan juga menjamur praktek prostitusi di berbagai tempat. Akibatnya adalah ketakutan yang kemudian menjadi alasan

penulis melihat fenomena tersebut sudah terang benerang dan terjadi pembiaran sehingga tak jarang di pinggir jalan Kota Medan terdapat WTS menjajakan

dirinya. Alangkah bahayanya jika ini terus terjadi karena akan berdampak negatif masa depan kota Medan, apalagi para WTS merupakan illegal dan tidak

teridentifikasi oleh pemerintah Kota Medan.

Berdasarkan hukum positif di Indonesia, pengaturan mengenai yuridiksi penegakan hukum mengenai pengaturan masalah sosial selain diselenggarakan

oleh pemerintah pusat juga diselenggarakan secara otonom pengaturannya kepada pemerintah daerah. Peraturan daerah adalah salah satu bentuk kewenangan yang

dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengatur ketentuan-ketentuan tertentu di daerah dapat memuat sanksi-sanksi sebagaimana layaknya undang-undang namun

sanksi tersebut bersifat limitatif. Beberapa pengaturan daerah tersebut berwenang untuk membuat peraturan daerah untuk mengatasi persoalan sosial di daerah

masing-masing. Namun apakah, secara yuridiksi baik kompetensi dan urgensi

8

(9)

peraturan daerah dapat mengatur secara penuh permasalahan penyakit sosial

masih menjadi suatu kontradiksi.

Berdasarkan latar belakang di atas merasa tertarik memilih judul Kajian

Hukum Administrasi Negara Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Perda No. 6 Tahun 2003 (Studi Pemko

Medan).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang digunakan

peneliti dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Bagaimanamkah gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila

sebagai isu permasalahan sosial di Kota Medan?

2. Bagaimanakah Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna

Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003? 3. Bagaimanakah Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6

Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta

Praktek Tuna Susila?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

(10)

a. Untuk mengetahui gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila

sebagai isu permasalahan sosial di Kota Medan.

b. Untuk mengetahui Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek

Tuna Susila Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003.

c. Untuk mengetahui Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6

Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: a. Manfaat teoritis

Untuk menambah wawasan bagi masyarakat dan akademisi, maupun praktisi hukum pada umumnya dan terutama hukum administrasi Negara

yang berkaitan dengan Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Tuna Susila.

b. Manfaat praktis

Menjadi bahan referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terutama pembaca pada umumnya serta dapat dijadikan

(11)

D. Keaslian Penulisan

Penelitian dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri atas masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud.

Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian tentang Kajian Hukum Administrasi

Negara Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Perda Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 (Studi Pemko

Medan), belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya.

Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam

penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

E. Tinjauan Pustaka

Negara hukum menurut F.R. Bothlingk adalah “De staat, waanis de

wilswrijheid van gezasdragers is beperkt door grenzeen van racht” (negara,

dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan tersebut, maka diwujudkan dengan cara, Enerzjids in een binding van de wetgever, 9

Hamid S Attamimi, dengan mengutip Burkens, mengatakan bahwa Negara hukum (rechtsstaat) secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum (di satu sisi keterikatan

(12)

sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam

segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.10

Sebagai negara dengan bentuk kesatuan, Republik Indonesia telah

melakukan beberapa perubahan yang cukup urgensial dalam penyelenggaraan bentuk dan sistem tata pemerintahan. Salah satu bentuk tersebut adalah perubahan

sistem pemerintahan yang sebelumnya menganut sistem pemerintahan sentralisasi namun pada akhirnya menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi (transfer of

authority), yaitu suatu pelimpahan kewenangan (atributif) penyelenggaraan

pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (daerah otonom).

Berdasarkan hal tersebut, pemerintahan daerah diberikan kewenangan untuk bertindak sebagai pembuat kebijakan (policy making) dan pelaksana kebijakan

(executing making).

Pemerintah daerah merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah yang menganut asas otonom dan tugas pembantuan dengan pemberian

prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang Dasar

Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945. Unsur-unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah terdiri dari Gubernur, Bupati, atau Walikota, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut DPRD) dan perangkat daerah. Cukup menarik dan akan menjadi bahan kajian dalam penulisan makalah ini

9

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2007, hal 18

10

(13)

adalah menenai Peraturan Daerah (Perda) yang merupakan salah satu produk

hukum sekaligus produk politik yang dihasilkan pemerintahan daerah.

Hukum administrasi negara (hukum pemerintahan) menguji hubungan

hukum khusus yang diadakan akan memungkinkan para pejabat (ambtsdragers) administrasi negara melakukan tugas mereka yang khusus.11

Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut dengan

Perda terdiri dari peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kota. Mekanisme disahkannya suatu Peraturan Daerah adalah melalui penetapan kepala

daerah setelah sebelumnya disetujui bersama antara Kepala Pemerintahan Daerah dengan DPRD terkait. Sebagaimana sifat atributifnya, seperti undang-undang,

Peraturan Daerah juga diberikan kewenangan untuk memuat ancaman denda, pidana, dan kurungan namun bersifat limitatif, terhadap denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan ancaman pidana tidak boleh lebih dari 6

(enam) bulan penjara.12

Pengaturan yuridis yang berkaitan dengan peraturan daerah mulai dari

definisi, substansi atau materi hingga tahapan pengundangan dan penyebarluasan tertuang dalam peraturan-peraturan berikut, yaitu :

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;

11

(14)

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan; dan

4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 tentang

Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan.

Secara yuridis formal, eksistensi dari Peraturan Daerah disebutkan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu :

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam perkembangannya pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, peraturan daerah tidak hanya berupa

pemerintah daerah provinsi dan kabupaten kota, namun muncul peraturan daerah khusus yang dinamakan Qanun, yaitu peraturan daerah baik provinsi maupun

kabupaten atau kota untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang

12

(15)

Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Selain itu, peraturan daerah

khusus juga dimiliki oleh Provinsi Papua yang disebut sebagai Perdasus dan Perdasi yang khusus untuk melaksanakan pasal-pasal tertentu pada

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Namun apapun bentuknya, pada dasarnya baik Qanun, Perdasus dan Perdasi

secara substansi tetap merupakan suatu peraturan yang sama tingkatannya dengan peraturan daerah.

Sekalipun peraturan daerah merupakan peraturan yang merupakan atribusi (pelimpahan wewenang) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,

peraturan daerah tetaplah suatu peraturan yang secara hierarki terikat dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan seperti peraturan yang lebih rendah

tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (lex superior derogat

legi inferiori) atau peraturan yang baru meniadakan peraturan yang lama (lex

posterior derogat legi priori). Sebagai bagian dari produk hukum dalam tataran

negara konstitusi, Peraturan Daerah tidak dapat dibuat melebihi kewenangannya

(over authority).

Peraturan daerah juga dapat dilakukan pengujian (judicial review) terhadap peraturan diatasnya apabila ditemui dugaan pelanggaran konstitusional

yang merugikan pihak-pihak tertentu. Peraturan daerah yang baik adalah peraturan daerah yang dapat menjamin, melindungi, mengakomodir kebutuhan

(16)

secara ekonomis maupun politis. Oleh karena itu, idealnya suatu peraturan daerah

harus dapat menyesuaikan diri dengan dinamika sosial sehingga suatu peraturan daerah dapat bertahan lama dan dapat menjadi salah satu regulasi sentral yang

akan benar-benar melekat dalam setiap individu di masyarakat.13

Prostitusi merupakan salah satu penyakit masyarakat dan merupakan

fenomena yang selalu ada dalam sejarah kehidupan manusia. Dengan demikian prostitusi dianggap sebagai satu profesi yang sudah sangat tua usianya walaupun

kerap menimbulkan problema-problema sosial. Lokasi prostitusi sebenarnya hampir tidak jauh berbeda dengan pasar. Jika di pasar tradisional orang

melakukan transaksi jual beli dengan sistem penawaran, maka di lokasi prostitusi hal serupa juga ditemukan.14

Prostitusi atau lebih sering disebut sebagai pelacuran memiliki dua jenis yakni pelacuran yang terdaftar dimana pelakunya diawasi oleh bagian dari kepolisian yang dibantu dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan

Kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisir dalam satu daerah tertentu. Penghuninya secara periodik harus memeriksa diri pada dokter atau petugas

kesehatan dan mendapatkan suntikan serta pengobatan sebagai tindakan kesehatan dan keamanan umum.

Pelacuran yang tidak terdaftar termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang melakukan pelacuran secara gelap-gelapan dan liar, baik secara

13

Himawan Estu Bagijo, Pembentukan Peraturan Daerah” Staf Pengajar Universitas Airlangga yang berjudul, diakses tanggal 18 Mei 2015.

14

(17)

perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisir, tempatnya

pun tidak tertentu. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib. Sehingga kesehatannya sangat dirugikan karena belum tentu mereka itu mau memeriksakan

kesehatannya ke dokter.

Prostitusi sebagai sebuah penyakit masyarakat mempunyai sejarah yang

panjang, dan tidak ada putus-putusnya yang terdapat di semua negara di dunia. Norma-norma sosial jelas mengharamkan pelacuran, dunia kesehatan

“menunjukkan” dan “memperingatkan” bahaya penyakit kelamin yang mengerikan akibat adanya pelacuran di tengah-tengah masyarakat, namun

masyarakat dari abad keabad tidak pernah berhasil melenyapkan gejala-gejala ini.15

Beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran antara lain ialah tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, yang dilarang dan diancam dengan hukuman ialah, praktek germo dan mucikari, adanya keinginan

dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan, komersialisasi dari seks, baik di pihak wanita maupun

germo-germo dan oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks, perkembangan kota-kota, daerah-daerah pelabuhan dan industri yang sangat cepat

dan menyerap banyak buruh serta pagawai pria.

Penyebab timbulnya prostitusi ini pada point dari terakhir menunjukkan

benar bahwa Kota Medan memang cukup pesat dan perkembangnya sangat cepat

(18)

pula. Faktor pendukungnya tak lain dari pada berdiri megahnya hotel, penginapan,

club malam serta penginapan seperti bungalow, motel dan tempat hiburan lainnya. Tetapi yang pastinya adalah prostitusi di Kota Medan sudah menjamur dan sudah

memasuki pada tahap kritis dimana banyak isu yang mengatakan bahwa anak ABG yang masih duduk di bangku SMP dan SMA terjebak dalam praktek

tersebut.16

Jika pemerintah Kota Medan tetap membiarkan praktek prostitusi

gelap-gelapan maka tidak akan mengherankan jika pada beberapa tahun kedepan Kota Medan akan menjadi kota tertinggi penularan penyakit HIV/AIDS. Diakibatkan

oleh kelalaian pemerintah mengingat perhatian pemerintah khususnya kepada para pelaku seks terkhusus penjaja seks sangat minim. Akibatnya tidak diketahuinya

penyakit apa yang akan diderita pelaku dan pelanggan sehingga akan tertular ke istri atau calon istri dari si pelanggan.17

Salah satu solusinya adalah Pemerintah Kota Medan segera menertibkan

daerah-daerah yang sudah menjadi tempat prostitusi dan membuat tempat yang khusus bagi para WTS tersebut dan membuat peraturan dan jaminan yang baik

bagi kelangsungan hidup serta memeriksa secara rutin oleh pihak yang berkaitan.18

16

Ibid.

17

(19)

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.19

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian yang menitikberatkan perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan

hukum.20

Penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang

bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis peraturan hukum.21 Dengan menggunakan sifat deskriptif ini, maka peraturan hukum dalam penelitian ini

dapat dengan tepat digambarkan dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian ini. Pendekatan masalah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku

(Statute Approach).22 2. Sumber data

Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek yang diteliti, antara lain; buku-buku literatur, laporan penelitian, tulisan para ahli,

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Dalam

18

Ibid

19

Soerjono Soekanto dan Sri Mamadji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2013, hal 3.

20

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2010, hal 87.

21

(20)

penelitian ini yang merupakan penelitian yuridis normatif, sebagai bahan dasar

penelitiannya, menggunakan data sekunder, yakni bahan-bahan yang diperoleh dari bahan pustaka lazimnya. Data sekunder yang digunakan sebagai bahan dasar

penelitian ini terdiri atas:23 a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan atau berbagai perangkat

hukum, seperti Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-Undang-Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Daerah Kota Medan No. 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan serta Praktek Susila dalam penelitian semacam ini, hukum ditempatkan sebagai terikat

dan faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi hukum dipandang sebagai variabel bebas dan peraturan lainnya.24

b. Bahan hukum sekunder

Selain itu, hasil wawancara yang

didapatkan melalui studi lapangan menjadi bahan hukum primer yang membantu dalam mengkaji masalah dalam penelitian ini.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku

teks, jurnal-jurnal, karya ilmiah, pendapat sarjana, dan hasil-hasil penelitian, dan bahan lainnya yang dapat dan berfungsi untuk memberikan penjelasan lebih lanjut

atas bahan hukum primer.

23

Soerjono Soekanto dan Sri Mamadji, Op. Cit., hal 13.

24

(21)

c. Bahan hukum tertier

Bahan hukum tersier memberikan petunjuk/penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan

lainnya.25

3. Pengumpulan data

Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai bahan dasar penelitian dikumpulkan dengan menggunakan studi dokumen (documents study)

atau studi kepustakaan (library research) sebagai alat pengumpul data.26

4. Analisis data

Studi dokumen tersebut merupakan penelitian bahan hukum primer, yaitu peraturan

peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum. Pengumpulan data dilakukan wawancara dengan Dinas Sosial Kota Medan yaitu Ka. Humas Dinas Sosial Kota Medan dan Satpol PP Kota Medan dan para gepeng

yang ada di Kota Medan.

Analisa data adalah pengolahan data yang diperoleh baik dari penelitian pustaka maupun penelitian lapangan. Terhadap data primer yang didapat dari

lapangan terlebih dahulu diteliti kelengkapannya dan kejelasannya untuk diklarifikasi serta dilakukan penyusunan secara sistematis serta konsisten untuk

memudahkan melakukan analisis. Data primer inipun terlebih dahulu diedit untuk menyeleksi data yang paling relevan dengan perumusan permasalahan yang ada

dalam penelitian ini. Data sekunder yang didapat dari kepustakaan dipilih serta

25

(22)

dihimpun secara sistematis sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan

analisis. Dari hasil data penelitian baik pustaka maupun lapangan ini dilakukan pembahasan secara deskriptif analisis.

Deskriptif adalah pemaparan hasil penelitian dengan tujuan agar diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh namun tetap sistematik terutama mengenai

fakta yang berhubungan dengan permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini. Analisis artinya gambaran yang diperoleh tersebut dilakukan analisis secara

cermat sehingga dapat diketahui tentang tujuan dari penelitian ini sendiri yaitu membuktikan permasalahan sebagaimana telah dirumuskan dalam perumusan

permasalahan yang ada pada latar belakang penulisan skripsi. Tahap selanjutnya adalah pengolahan data yaitu analisis dilakukan dengan metode kualitatif

komparatif yaitu penguraian dengan membandingkan hasil penelitian pustaka (data sekunder) dengan hasil penelitian lapangan (data primer).

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Penulis membuat sistematika dengan

(23)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK TUNA SUSILA SEBAGAI ISU PERMASALAHAN SOSIAL DI KOTA

MEDAN.

Bab ini berisikan mengenai pengertian gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila dan faktor yang mengakibatkan terjadinya

gelandangan dan pengemis serta praktek tuna susila di kota medan serta dampak gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila

dalam pembangunan nasional.

BAB III LARANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA

PRAKTEK TUNA SUSILA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2003

Bab ini berisikan tentang latar belakang lahirnya Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan

Dan Pengemisan Serta Praktek Tuna Susila, larangan gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila di Kota Medan Berdasarkan

(24)

BAB IV PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN

NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG LARANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK

TUNA SUSILA

Bab ini berisikan upaya Pemerintah Kota Medan dalam penanganan

gelandangan dan pengemisan serta praktek tuna susila di Kota Medan dan pengawasan dan pembinaan terhadap gelandangan dan

pengemisan serta praktek tuna susila di Kota Medan serta kendala yang dihadapi dalam penanggulangan gelandangan dan pengemisan

serta praktek tuna susila di Kota Medan. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Referensi

Dokumen terkait

PENERAPAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK BERDASARKAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA.. (STUDI DI

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah selaku pemegang kebijakan, dalam menangani permasalahan gelandangan

6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan secara umum sudah berjalan dengan baik hanya saja

Peraturan Walikota Medan Nomor 12 Tahun 2010 tentang Rincian Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, sesuai dengan Struktur organisasinya, unsur-unsur

PENERAPAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK BERDASARKAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA.. (STUDI DI KOTA MEDAN) * Tyan

6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan dan untuk mengetahui kendala- kendala yang dihadapi

6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan dan untuk mengetahui kendala- kendala yang dihadapi

Solahuddin, 2008.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Acara & Perdata (KUH, KUHAP, KUHAPdt,) Jakarta: Visi Media.. Solichin