• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknologi Bimbingan dan Konseling Kelomp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teknologi Bimbingan dan Konseling Kelomp"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Technology Guidance and Counselling:

Implementation Theory in Practice, Development and Experience

Eko Susanto, M.Pd., Kons.

ekobkummetro@gmail.com

Mobile: +62813 6914 9853

Muhammadiyah University Metro

Yuni Novitasari, M.Pd.

unie69@yahoo.co.id

Mobile: +62821 2198 4590

Muhammadiyah University Metro

ABSTRACT

: This article is a testimony of the results of practical experience and literacy

studies on group counseling and group counseling. Since 1905 as the beginning

of develop the group acknowledged that the approach is often effective to create an

atmosphere that therapy can help people solve problems. Not only that certain groups

are also often used for training and means of sharing information. The fact remains found

in the field of school counselors who have difficulty in organizing group activities. This

article attempts to answer the question (1) how carry out the theory into practice group,

(2) develop a model of group activities, (3) the author's experience in the group activities,

(4) technology in group activities. Hope the author after reading this article and follow the

workshop, will appear enlightenment that can stimulate the school counselor carry out

the group's activities in school.

(2)

Teknologi Bimbingan dan Konseling Kelompok:

Implementasi Teori dalam Praktik, Pengembangan dan Pengalaman

Eko Susanto, M.Pd.,Kons.

ekobkummetro@gmail.com

HP : +62813 6914 9853

Universitas Muhammadiyah Metro

Yuni Novitasari, M.Pd.

unie69@yahoo.co.id

HP : +62821 2198 4590

Universitas Muhammadiyah Metro

ABSTRAK

: Artikel ini merupakan sebuah testimoni dari hasil pengalaman praktik dan

kajian literasi tentang bimbingan kelompok dan konseling kelompok. Sejak tahun 1905

sebagai awal berkembangnya diakui bahwa pendekatan kelompok sering kali efektif

menciptakan suasana terapi yang dapat membantu individu menyelesaikan masalah.

Tidak hanya itu kelompok-kelompok tertentu juga sering digunakan untuk pelatihan dan

sarana saling berbagi informasi. Kenyataan dilapangan masih ditemukan konselor sekolah

yang mengalami kendala dalam penyelenggaraan kegiatan kelompok. Artikel ini mencoba

menjawab pertanyaan (1) bagaimana implementasi teori kelompok ke dalam praktik, (2)

mengembangkan model kegiatan kelompok, (3) pengalaman penulis dalam kegiatan

kelompok, (4) teknologi dalam kegiatan kelompok. Harapan penulis setelah membaca

artikel ini dan mengikuti workshopnya, akan muncul pencerahan yang dapat menstimuli

konselor sekolah dalam pelaksanaan kegiatan kelompok di sekolah.

(3)

INTRODUCTION

Bimbingan dan Konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan berkelanjutan

serta terprogram yang dilakukan oleh konselor sekolah untuk memfasilitasi perkembangan konseli untuk mencapai kemandirian dalam kehidupannya

(Permendikbud No 111 Tahun 2014). Bimbingan kelompok merupakan salah satu strategi dari pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Bimbingan kelompok

lebih bersifat edukatif, preventif dan informatif yang disajikan dalam bentuk kelompok kecil untuk mendiskusikan topik umum dan tidak rahasia. Bimbingan kelompok juga

dirancang sebagai sarana mengembangkan keterampilan atau perilaku baru yang lebih efektif dan produktif (Depdiknas, 2008). Sejak tahun 1905 sebagai awal

berkembangnya diakui bahwa pendekatan kelompok sering kali efektif menciptakan suasana terapi yang dapat membantu individu menyelesaikan masalah (Gladding,

2012). Tidak hanya itu kelompok-kelompok tertentu juga sering digunakan untuk

pelatihan dan sarana saling berbagi informasi. Keefektifan bimbingan kelompok sudah banyak dibuktikan dalam berbagai kegiatan riset, misalnya penelitian Rosidah (2013)

yang membuktikan bahwa bimbingan kelompok dengan teknik permainan efektif untuk meningkatkan penyesuaian diri individu. Dalam penelitian lain Suryani (2012)

menunjukkan bimbingan kelompok efektif untuk meningkatkan kemampuan siswa mengelola stres sekolah.

Sedikit berbeda dengan konseling kelompok yang lebih bersifat terapiutik, kuratif,

responsif dan rahasia. Konseling kelompok juga dapat diberikan sebagai bantuan untuk medukung konseli menghadapi kondisi-kondisi krisis. Konseling kelompok lebih

banyak menjangkau konseli dalam proses bantuannya, kegiatan ini lebih efektif jika dibandingkan dengan kegiatan konseling individu. Depdiknas (2008) menjelaskan

Konseling kelompok ditujukan untuk membantu para siswa yang mengalami kesulitan, mengalami hambatan dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya. Dalam

prosesnya konseli dibantu untuk tahu sebab masalah, menemukan solusi dan

mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya. Konseling kelompok pada prinsipnya adalah kegiatan konseling individu yang diselenggarakan dalam suasana kelompok.

Adanya dukungan kelompok dapat mempermudah individu untuk menyelesaikan masalahnya. Kohesifitas kelompok yang dibangun dipercaya mampu memberikan

dukungan psikologis yang mendalam bagi individu yang bermasalah.

(4)

umum dapat dibagi menjadi dua yaitu (1) kendala internal; terkait dengan pengetahuan konselor, keterampilan, keyakinan, kepercayaan diri dan kemampuan

konselor, (2) kendala eksternal; baik yang sistemik terkait penerimaan sekolah terhadap layanan bimbingan dan konseling, penjadwalan, waktu; atau yang bersifat struktural

bagi konselor yang memiliki posisi jabatan tertentu. Walaupun tidak semua konselor

sekolah terkendala dengan hal tersebut diatas, namun secara umum ini banyak menjadi dilema yang dialami oleh konselor sekolah. Artikel ini tidak membahas

masalah ini lebih dalam, tetapi akan fokus menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut; (1) bagaimana implementasi teori kelompok ke dalam praktik, (2) mengembangkan

model kegiatan kelompok, (3) pengalaman penulis dalam layanan kelompok, (4) teknologi dalam kegiatan kelompok.

Menjawab pertanyaan pertama, bagaimana implementasi teori kelompok kedalam

praktik. Dimasyarakat profesi konseling masih saya dengar kata-kata pesimis terkait dengan implementasi teori ke dalam praktik. Ungkapan beginilah praktik tidak seperti yang ada pada teori , hal ini mengindikasikan seolah-olah teori sulit untuk diimplementasikan. Jika demikian maka konselor sekolah yang mengatakan hal

tersebut telah bekerja dengan tidak menggunakan teori dalam praktiknya. Praktik yang

demikian justru membahayakan, jika didalam praktik tidak didasarkan pada suatu teori. Dalam kehidupan sehari‑hari memang sering terjadi persepsi yang mengdikotomi

antara teori dengan praktik. Sangat memungkinkan sebuah teori untuk berbeda dengan kenyataan, dan mungkin juga bertentangan. Oleh sebab itu banyak sekali –

riset-riset yang dilakukan hanya untuk sekedar menguji sebuah teori. Dalam ilmu pengetahuan, teori berarti model atau kerangka pikiran yang menjelaskan fenomena

alami atau fenomena sosial tertentu. Teori dirumuskan, dikembangkan, dan dievaluasi menurut metode ilmiah. Teori juga merupakan suatu hipotesis yang telah

terbukti kebenarannya. Manusia membangun teori untuk menjelaskan, meramalkan, dan menguasai fenomena tertentu misalnya, benda-benda mati, kejadian-kejadian

di alam, tingkah laku manusia bahkan tingkah laku hewan (Wikipedia, 2014).

Dalam referensi lain menyebutkan teori merupakan seperangkat konsep‑konsep dan

prinsip‑prinsip yang menjelaskan, dan memprediksikan phenomena. Ada dua macam teori, yaitu teori intuitif dan teori ilmiah. Teori intutif adalah teori yang dibangun

berdasarkan pengalaman praktis. Sedangkan teori ilmiah (teori formal) adalah teori yang dibangun berdasarkan hasil‑hasil penelitian. Guru di sekolah lebih sering

(5)

tersebut dapat dipahami bahwa teori dapat dijadikan acuan didalam praktik, oleh karena itu praktik yang dilakukan oleh konselor sekolah tidak boleh lepas dari teori

yang mendasari pelayanan bimbingan dan konseling. Menurut Suppes (dalam Bell, 1986) ada empat fungsi umum teori yakni: (1) berguna sebagai kerangka kerja untuk

melakukan penelitian; (2) memberikan suatu kerangka kerja bagi pengorganisasian

butir-butir informasi tertentu; (3) identifikasi kejadian yang komplek; (4) reorganisasi pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dari beberapa fungsi yang dijelaskan didalam

praktik sebuah teori berfungsi memberikan kerangka kerja yang menuntun proses praktik yang dilakukan. Teori juga dibangun atas dasar pengalaman-pengalaman

dimasa lalu. Dalam konteks BK, teori secara akurat dapat mendeskripsikan, memahami, menjelaskan hubungan-hubungan antar variabel dalam suatu fenomena, dan

kemudian memprediksi dan mengontrol (mengintervensi) fenomena lain atau di waktu lain berkenaan dengan perilaku konselor dan konseli dalam suatu kegiatan bimbingan

dan konseling. Suatu teori, misalnya, mampu secara tepat menjelaskan apa yang menyebabkan problem konseli, menyampaikan prediksi tentang respon dan perilaku

konseli, dan menawarkan suatu teknik yang relevan sebagai kontrol atau solusi tertentu atas problem konseli tersebut, bahkan solusi bagi pertumbuhan dan

perkembangan konseli di masa depan (Adi Atmoko, 2010). Intinya dengan teori

konselor disekolah dapat melakukan tahapan proses bantuan dengan benar dan sudah disertai rambu-rambu yang boleh dan tidak untuk dilakukan. Himbauan kepada

konselor sekolah untuk terus menambah ilmu yang dimiliki dengan membaca berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Terus menambah ilmu pengetahuan,

pemahaman baru, paradigma baru, teori baru dan konsep-konsep baru terkait bimbingan dan konseling. Pengembangan diri konselor melalui update informasi

menjadi pendukung untuk mewujudkan profesionalisme pelayanan bimbingan dan konseling yang diberikan.

Menjawab pertanyaan kedua, mengembangkan model kegiatan kelompok. Dari banyak

kepustakaan, literasi asing tentang bimbingan dan konseling yang sering dipelajari oleh konselor dan calon konselor di Indonesia. Dalam praktik masih banyak yang

merujuk pada teori psikologi barat seperti psikoanalisis, behaviorime dan humanisme.

Psikoanalisis memandang hakikat perilaku dan kepribadian manusia secara historikal yang banyak ditentukan oleh hasil perkembangan di masa lalu. Perilaku manusia

terbentuk atas dorongan seksual dan agresifitas dengan motif dasarnya untuk mencari kenikmatan dan ketidaksadaran. Aliran behaviorisme manusia tidak dipandang

(6)

aliran humanisme berpandangan bahwa manusia memiliki nilai-nilai pribadi, kesadaran, potensi, tanggung jawab dan kebebasan untuk tumbuh dan berkembang secara

positif. Pandangan ini menekankan pada fungsi eksitensi diri dan optimistime.

Dalam menyikapi berbagai teori barat yang berkembang masuk ke Indonesia, harus

ada filterasi terhadap teori barat agar sesuai dan dapat diterapkan kedalam budaya bangsa Indonesia. Gagasan ini sangat masuk akal, karena suatu teori dikembangkan

dengan menggunakan prinsip kerja deducto-hipotetico-verificatio yang tidak terlepas dari kondisi lapangan tempat data dikumpulkan untuk keperluan bangunan teori

tersebut. Meskipun suatu teori mengklaim mampu mencakup semua hal secara universal (etics), namun dalam proses penyusunan dan penerapannya tidak mungkin

terlepas dari aspek konteks (emics). Oleh karena itu pandangan teori barat (western oriented) tidak selalu kongruen dalam mendeskripsikan dan memahami apa yang

terjadi dikonteks masyarakat timur. Dengan demikian, teori yang dikembangkan dalam konteks barat sudah pasti berbeda dengan konteks timur khususnya Indonesia (Miller,

1993; Salim, 2006; Atmoko, 2010).

Pada kenyataannya yang terjadi dilapangan penggunaan teori barat didalam praktik

banyak dilakukan oleh konselor di sekolah. Bahkan dalam kegiatan PLPG instruktur menggunakan modul yang mempraktikkan teori-teori barat dan diterapkan secara

ketat. Kegiatan praktik itu pun dijadikan salah satu sumber paling benar yang menjadi dasar praktik konselor di sekolah. Sering muncul ucapan kemarin dapat dari PLPG begitu kata instrukturnya , sangat menggelikan buat saya mendengar ucapan demikian. Bagi calon konselor dikampus pun demikian mempelajari banyak teori barat

yang dijadikan dasar pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Sayangnya baik konselor atau calon konselor sedikit sekali yang menyadari ketidakkongruenan yang

terjadi saat teori tersebut dipraktikan di sekolah. Atmoko (2010) menjelaskan Konseling yang berakar dari budaya barat dalam praktiknya akan menggunakan konsep dan hasil

penelitian yang sangat mungkin tidak aplikabel untuk konteks sosio-budaya Indonesia.

Konsep dan cara mereka tidak relevan dalam menghadapi isu-isu konselor dan konseli Indonesia. Untuk itu, kita perlu mulai mengkonsentrasikan pada kebutuhan untuk

mengkontekstualisasikan konseling, yang memberdayakan budaya yang lebih relevan serta berakar pada sosio-budaya Indonesia.

Indigenisasi konseling dengan mencari akar budaya konseling barat dan

(7)

yang menghalangi perbandingan antar budaya, sedangkan di satu sisi yang lain adalah yang memelihara dominasi intelektual barat, mainstream konseling, dengan sikap

skeptis dan prasangka buruk terhadap konseling indigenous Indonesia. Dengan indigenisasi konseling, kita menjadi ilmuwan Indonesia yang memiliki pandangan dan

pemikiran positif terhadap nilai, pemikiran dan praktik lokal Indonesia yang berguna

bagi pengembangan konseling, memiliki pikiran kritis yang bernilai terhadap praktik konseling barat maupun lokal, dan medorong kita untuk memelihara identitas budaya

lokal sejalan dengan gerakan untuk menjadi lebih integratif ke dalam framework yang lebih luas, dan kita tidak membabi buta untuk menolak ide dari barat karena dianggap

asing dan buruk (Atmoko, 2010).

Dalam mengkonstruk pengetahuan yang dimiliki konselor tentu perlu diawali dengan pemahaman teori yang kompleks. Praktik terbaik dapat dilakukan jika konselor

memiliki banyak pengetahuan yang dapat dijadikan dasar untuk memahami konseli dan lingkungannya. Kegiatan bimbingan kelompok dan konseling kelompok sangat

erat berkaitan dengan dinamika kelompok yang berawal dari pertemuan antar individu yang memiliki nilai, budaya dan lingkungan asal yang beragam. Dalam kondisi yang

demikian konselor harus mampu menginkulturasikan budaya dan nilai anggota

kelompok dalam diri konselor untuk memunculkan empati yang asli. Konselor juga harus mampu menyatukan setiap individu dalam kegiatan kelompok dan membangun

kohesifitas diantara mereka. Hal ini bukan merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan oleh konselor, justru pengalaman praktik dan temuan dilapangan dapat

dijadikan dasar membangun teori intuitif. Bentuk laporan dari refleksi teori intuitif kemudian dapat dijadikan informasi untuk membangun teori formal yang lebih teruji

secara empiris. Membangun model kegiatan kelompok pun demikian dapat diawali dengan memasukan nilai budaya lokal kedalam praktik. Misalnya sebelum melakukan

kegiatan bimbingan kelompok atau konseling kelompok diawali dengan berdoa. Posisi duduk yang tidak terlalu dekat antara anggota laki-laki dan perempuan, memasukan

nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, toleransi, tenggang rasa, hormat dengan orang tua dan nilai budaya Barat seperti disiplin tinggi, bekerja dengan perencanaan,

merupakan nilai-nilai yang perlu diadopsi (Asih Menanti, 2003).

Pada prinsipnya cara kerja konselor didalam praktik harus didasari pada pandangan

yang tepat terhadap konseli yang dibantu. Dengan begitu dapat meningkatkan efektifitas layanan yang diberikan, tidak kaku dan terkesan formal. Misalnya

(8)

room dalam kegiatan bimbingan kelompok. Menggunakan sapaan yang sesuai disuatu daerah mungkin dapat menggunakan sapaan Ananda tetapi didaerah lain mungkin kurang cocok dan terkesan kaku dan formal. Pada kondisi kedaerahan yang kental sangat memungkinkan menggunakan sapaan daerah yang lebih dirasa sopan dan

menunjukkan kedekatan hubungan. Penggunaan bahasa tunggal misalnya bahasa

Indonesia akan cocok pada kelompok yang bersifat heterogen. Tetapi untuk kelompok homogen menggunakan dual bahasa akan lebih mudah diterima dan lebih berkesan.

Dengan begitu konselor sekolah tidak perlu takut untuk mencobakan sebuah model yang dikonstruk sendiri ke dalam praktik, yang penting memiliki landasan berpikir

yang relevan. Jika terpaku pada satu model saja maka konselor akan cenderung menyalahkan model lain yang berbeda. Praktik dengan memasukan nilai-nilai budaya

lokal cenderung memiliki tingkat penerimaan yang tinggi dari kelompok yang dibantu.

Pengalaman penulis dalam kegiatan kelompok menjawab pertanyaan ketiga. Dalam praktik yang pernah saya dilakukan mendapati catatan berharga sebagai testimoni.

Walaupun catatan yang saya cenderung bersifat pragmatis kualitatif dan subjektif, akan tetapi bisa menjadi informasi yang berguna bagi perbaikan praktik konselor di sekolah.

Saya memfokuskan catatan pada aspek waktu sesi, jumlah sesi, karakteristik kelompok,

teknik-teknik dalam kegiatan kelompok.

1.Terkait dengan waktu setiap sesi bimbingan kelompok dan konseling kelompok

Konselor sekolah bertanya berapa lama waktu yang ideal untuk digunakan dalam sesi konseling kelompok atau bimbingan kelompok? Sebelum menjawab pertanyaan ini,

sebaiknya kita perlu memahami makna layanan profesional. Apakah layanan konseling

dan bimbingan dengan waktu lama dapat disebut profesional. Atau layanan yang dilakukan dalam waktu singkat tidak layak disebut layanan profesional. Saya

analogikan dengan layanan yang dilakukan oleh seorang dokter. Saat kita datang ke dokter untuk berobat kita disambut ramah dengan kata-kata sugesti untuk

mendamaikan pasien. Dipersilahkan duduk dan ditanya dengan ramah siapa yang sakit, keluhan apa yang dirasakan, sakit dibagian mana, dan kronologi lain sebagai

bagian diagnosis. Kemudian dilakukan cek tekanan darah setelah selesai dipersilahkan untuk berbaring di tempat tidur untuk diperiksa lebih lanjut dengan stetoskop. Setelah

selesai kita dipersilahkan menunggu resep yang dipersiapkan oleh dokter. Kemudian kita bayar dan pulang, berapa lama waktu yang digunakan untuk melakukan semua

(9)

Saya menyimpulkan bahwa layanan profesional tidak selalu berbanding lurus dengan waktu pemberian layanan. Pada prinsipnya layanan yang dilakukan baik itu dengan

waktu sebentar atau lama jika dilakukan dengan prinsip-prinsip keprofesian maka dapat disebut sebagai layanan profesional. Eksistensi suatu profesi amat tergantung

pada pengakuan dan kepercayaan pengguna profesi (public trust), kepercayaan itu

muncul karena penyandang profesi itu (1) memiliki kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus, (2) ada perangkat aturan untuk

mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahteraan publik, (3) para anggota profesi akan bekerja dan memberikan layanan dengan berpegang teguh kepada

standar profesi (Biggs & Blocher,1986). Dengan demikian penjelasan Biggs & Blocher menguatkan bahwa layanan profesional adalah layanan yang didasari dengan tiga ciri

sebagaimana disebutkan. Dalam pelayanan bimbingan dan konseling konselor tetap diakui memberikan layanan profesional, walaupun dilakukan dengan waktu yang relatif

singkat seperti layaknya dokter yang saya analogikan sebelumnya. Selama pelayanan bantuan yang diberikan didasari kompetensi dan keahlian dari pendidikan khusus, ada

kode etik layanan, dan ada standar profesi yang dijalankan maka layanan itu layak disebut sebagai layanan profesional.

Kaitannya dengan waktu ideal pelaksanaan sesi layanan konseling kelompok atau bimbingan kelompok amat ditentukan oleh tiga hal. (1) Tingkat perkembangan

anggota kelompok untuk anggota kelompok dengan usia sekolah dasar ke bawah sebaiknya kurang dari 30 menit untuk setiap sesinya. Mengapa demikian, pengalaman

dilapangan tingkat perhatian siswa sekolah dasar tidak bisa konstan dalam waktu lama. Tentu hal ini terkait dengan masa perkembangan mereka. Pada beberapa referensi

asing pun demikian Missouri Comprehensive Guidance and Counseling Program

menetapkan waktu 30 menit untuk setiap sesi layanan kelompok untuk elementary

school.Untuk usia sekolah menengah keatas paling sebentar 30 menit dan paling lama

dapat disesuaikan dengan kondisi anggota dan kesepakatan dengan konselor.

2. Terkait dengan jumlah sesi untuk setiap kelompok

Pada umumnya referensi barat merekomendasikan 6 (enam) sampai dengan 8 (delapan) sesi untuk satu kelompok bimbingan. Namun demikian kita di Indonesia

menurut hemat saya tidak perlu terpaku pada patokan yang demikian. Pada Permendikbud no 111 tahun 2014 tentang pelaksanaan layanan bimbingan dan

(10)

permendikbud tersebut tetap dapat dijadikan acuan didalam praktik. Tentunya proses untuk menjadi sebuah permen sudah melewati proses analisis dan pertingan ahli

bimbingan dan konseling di Indonesia dengan memperhatikan kondisi konselor sekolah di Indonesia. Dalam praktik saya selalu melakukan layanan konseling

kelompok dan bimbingan kelompok paling banyak 3 (tiga) sesi untuk satu kelompok.

dan yang paling banyak kurang dari 3 (tiga) sesi untuk setiap kelompoknya. Efektifitas layanan itu selalu dikaitkan dengan efisiensi layanan yang dilakukan. Artinya sedikit

sesi yang dilakukan dapat menunjukkan efektifitas layanan yang diberikan. Namun demikian pernyataan saya ini masih perlu diuji lebih lanjut. Bandingkan dengan

pengalaman Anda selama ini bagaimana. Saya pribadi selalu membatasi layanan bimbingan kelompok atau konseling kelompok paling banyak 3 (tiga) sesi untuk setiap

kelompoknya. Saya yakin beriring waktu masalah yang dialami oleh konseli akan hilang dengan sendirinya, maka perlu dilakukan stimuli untuk mendorong individu lepas dari

masalahnya. Melalui kegiatan kelompok masalah individu yang belum sempat diselesaikan secara alami akan hilang sedikit-demi sedikit. Individu akan mengkontruks

informasi yang diperoleh pada sesi pertama untuk memecahkan masalah yang dialaminya. Biasanya hal ini akan terlihat saat mereka bertanya lebih lanjut tentang

suatu masalah.

3.Terkait dengan karakteristik kelompok

Secara umum karakteristik kelompok dapat dibagi menjadi dua yakni kelompok

homogen dan kelompok heterogen. Kelompok homogen adalah kelompok yang

memiliki kesamaan ciri dari anggota kelompoknya misalnya kesamaan jenis kelamin, agama, masalah yang dialami, kesukaan atau minat dan lain sebagainya. Sedangkan

kelompok heterogen adalah kelompok yang memiliki kompleksitas didalam keanggotaannya misalnya berbeda jenis kelamin, agama, budaya, berbeda usia,

berbeda masalah, berbeda tingkat kelas dan lain sebagainya. Dilihat dari sifatnya kelompok dapat dibedakan menjadi dua pula yakni kelompok tertutup dan kelompok

terbuka. Kelompok tertutup merupakan kelompok yang dalam keanggotaannya tidak bisa ditambah, biasanya adalah kelompok konseling. Kelompok terbuka adalah

kelompok yang dalam keanggotaannya masih bisa menerima anggota baru, mungkin sebagai model atau tamu, yang demikian biasanya adalah kelompok bimbingan.

Konselor harus pandai menempatkan seorang konseli pada kelompok yang tepat yang dapat membantu konseli menyelesaikan masalahnya. Penempatan kelompok tentu

(11)

kala konselor dapat menempatkan seorang konseli secara intuitif berdasarkan pengalaman dan kepekaan konselor terhadap kondisi yang terjadi, hal ini mungkin saja

dilakukan.

4.Terkait dengan teknik-teknik dalam kegiatan kelompok

Dalam kenyataan praktik konselor dituntut untuk menjadi pribadi yang menarik

dihadapan anggota kelompok. Menarik dalam berbagai aspek yang sangat ditentukan oleh keadaan diri konselor itu sendiri. Mungkin saja ada konselor yang agak pendiam

atau kalem tetapi dipandang menarik dihadapan anggota kelompok. Bahkan bisa juga

konselor yang suka humor adalah salah satu aspek yang menarik bagi anggota kelompok. Oleh itu setiap konselor perlu menggali sisi menarik yang ada dalam diri

mereka masing-masing. Latihan yang demikian dapat dilakukan dengan sebuah refleksi dari setiap sisi kehidupan konselor. Selesai kegiatan kelompok lakukan refleksi sebagai

bagian menggali informasi tentang hal yang sudah dilakukan oleh konselor. Setelah konselor memahami keinginan yang umumnya diharapkan oleh konseli dari diri

konselor, maka saat itulah konselor berpeluang menjadi pribadi yang menarik. Banyak teknik-teknik konseling yang dapat digunakan dan dilakukan akan kegiatan kelompok

menjadi lebih menarik. Ketika kegiatan kelompok dirasa menarik oleh anggota kelompok saat itu konselor dipandang menarik oleh anggota kelompok. Konselor

dapat berlatih menggunakan teknik permainan, home room, latihan, sosiodrama dan inovasi teknik lain yang dikembangkan sendiri oleh konselor. Dalam pengalaman

praktik anggota kelompok umumnya lebih suka dengan konselor yang humoris dan

menampilkan hal-hal menarik yang tidak diperolehnya dari guru mata pelajaran. Penampilan yang ekspresif dan cerita lucu sering saya gunakan untuk menarik

perhatian anggota kelompok. Saya juga sering menggunakan morfologi dengan sebuah cerita untuk dapat memasuki wilayah penerimaan diri konseli.

Teknologi dalam kegiatan kelompok menjawab pertanyaan keempat. Mendengar kata

teknologi selalu dapat dipastikan yang terbesit dalam pikiran adalah sebuah alat canggih dan komputerisasi. Padahal tidak selalu demikian, kata teknologi merujuk

pada sebuah alat atau cara yang dapat mempermudah seseorang melakukan pekerjaan atau mencapai tujuan. Teknologi secara dikotomi dibagi menjadi teknologi

canggih dan teknologi sederhana. Teknologi juga tidak serta merta berbentuk benda nyata, mungkin saja berbentuk sesuatu yang abstrak dan sistemik yang hanya dapat

(12)

instruksional kepada siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan merangcang model-model pembelajaran yang menarik, itulah bentuk teknologi yang abstrak dan sistemik yang

saya maksudkan.

Model konseling dan teknik bimbingan dapat pula disebut sebagai teknologi yang

sifat abstrak dan sistemik. Perangkat elektronik yang digunakan dalam kegiatan klasikal seperti LCD dan Laptop adalah teknologi yang bersifat kebendaan yang dapat di

sentuh. Satu lagi yang disebut teknologi sederhana adalah semua hal yang dibuat secara konvensional untuk membantu mempermudah pekerjaan konselor. Misalnya

papan bimbingan adalah teknologi sederhana teknologi canggihnya adalah Blog atau Website yang difungsikan sama dengan papan bimbingan. Kotak masalah adalah

teknologi sederhana, teknologi canggihnya adalah SMS atau inbox jejaring sosial yang dimiliki oleh konselor sekolah.

METHODS

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang mengedepankan

makna dari suatu kejadian, kenyataan dan hubungan-hubungan yang unik didalam

praktik bimbingan dan konseling kelompok. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah deskriptif. Interpretasi yang disajikan didasarkan pada kajian literasi,

pengalaman dan hasil refleksi praktik dilapangan.

RESULTS AND DISCUSSION

Hasil dari artikel ini memberikan catatan kepada konselor sekolah untuk dapat memberikan pelayanan yang profesional. Khususnya dalam kegiatan bimbingan

kelompok dan konseling kelompok dapat mempertimbangkan empat hal terkait dengan waktu sesi, jumlah sesi, karakteristik kelompok, teknik-teknik dalam kegiatan

kelompok. Sebagaimana sudah saya jelaskan sebelumnya konselor harus berani memulai untuk mengumpulkan catatan pengalamannya. Kemudian mengkonstruk

pengalaman itu menjadi sebuah pendekatan baru yang menadaptasi budaya lokal. Konselor perlu terus belajar untuk menjadi pribadi yang menarik dan menyenangkan.

Perkembangan teknologi disadari atau tidak telah memberi dampak pada lingkungan kerja konselor. Sudah seharusnya konselor itu memahami fungsi dari teknologi itu agar

dapat meningkatkan profesionalitas konselor.

Implementasi penggunaan teknologi dalam layanan bimbingan dan konseling harus

memperhatikan fungsi dari teknologi itu sendiri. Pertama teknologi difungsikan sebagai suplemen dalam layanan bimbingan dan konseling. Artinya teknologi

(13)

untuk menggunakannya atau tidak. Misalnya setelah proses konseling berakhir konselor menawarkan untuk chatting di malam harinya, chatting disini berfungsi

sebagai tambahan dari proses konseling siang harinya, konseli boleh menerima boleh juga tidak tawaran konselor tersebut. Kedua teknologi difungsikan sebagai komplemen

dalam layanan bimbingan dan konseling. Artinya teknologi digunakan sebagai

pelengkap proses bantuan yang diberikan oleh konselor dan memang sudah direncanakan oleh konselor untuk menggunakan teknologi tersebut. Misalnya

penggunaan LCD dan Laptop dalam kegiatan kelompok untuk menampilkan gambar atau video. Ketiga teknologi difungsikan sebagai subtitusi dalam layanan bimbingan

dan konseling. Dimana teknologi benar-benar menggantikan keberadaan konselor dihadapan konseli. Misalnya proses konseling melalui internet dengan menggunakan

gadget atau laptop, teknologi disini menggantikan keberadaan konselor yang tidak bisa bertatap muka langsung dengan konseli karena konselor sedang berada di luar

kota. Dengan demikian penggunaan teknologi tidak serta merta harus dilakukan, tetapi dapat digunakan sesuai kebutuhan. Penggunaan teknologi juga perlu memperhatikan

fungsi dari teknologi itu sendiri, jangan sampai kelalaian menggunakan teknologi menimbulkan masalah baru bagi konselor.

CONCLUSION

Kebermaknaan bantuan bagi konseli lebih utama dibandingkan dengan teknik dan teknologi yang konselor gunakan dalam memberikan bantuan. Konselor adalah

manusia biasa yang memiliki kekurangan dan kelebihan. Konselor juga bisa memiliki masalah, masalah itu sendiri adalah resiko yang harus ditanggung oleh setiap orang.

Masalah tidak mungkin dihilangkan menjadi nol mutlak, yang bisa dilakukan oleh konselor adalah meminimalisir munculnya masalah itu dalam kehidupannya.

REFERENCES

Adi atmoko. (2010). Penerapan ICT dalam Pengembangan Keilmuan Bimbingan dan Konseling Indonesia. Seminar Nasional Revitalisasi Keilmuan Bimbingan dan Konseling DalamPendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia

Bell Gredler, E. Margaret.1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali

Biggs, Donald A. & Blocher H. (1986). The Cognitive Approach To Ethical Counseling:Values in Counseling Ethic. New York: State University of New York at Albany.

Depdiknas.2008. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bahan Belajar Mandiri

Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah, Jakarta: Direktorat Jenderal

(14)

Menanti, Asih. (2003). Konseling Indigenous (Indigenous Counseling). Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Rosidah, Ainur. (2013). Efektivitas Teknik Permainan Dalam Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan Penyesuaian Diri Siswa : Studi Kuasi Eksperimen Terhadap Siswa Kelas Vii Smp Negeri 29 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013 (Thesis, Universitas Pendidikan Indonesia)

Suryani, Yani. (2012). Program Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Mengelola Stres Sekolah : Studi Kuasi Eksperimen Terhadap Siswa Kelas X Madrasah Aliyah 99 Persis Rancabango Tahun Pelajaran 2011/2012 (Thesis, Universitas Pendidikan Indonesia)

Ismaya Dwi Agustina. (2014). Pengertian Teori. (Online).

http://ismayadwiagustina.wordpress.com/2012/11/26/pengertian-teori/. Diakses 9 Desember 2014

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan, yang harus dipelajari untuk dapat mempermudah kehidupan manusia, sehingga ketika seseorang memanfaatkan

BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM RELOKASI PERMUKIMAN RT 3/36 & RT 3/37 KELURAHAN MOJOSONGO 4.1.. Karakteristik Kebijakan Relokasi Permukian Pemukiman

Metode yang digunakan oleh orang tua dalam memberikan pendidikan seksualitas sangat bervariasi tergantung pada gangguan yang dialami anak, perkembangan mereka dan perilaku

Sebagai Negara yang memiliki hutan hujan tropis yang sangat luas penelitian mengenai keanekaragaman, karakteristik populasi maupun pola distribusi Jamur kelas Basidiomycetes

Tujuan penelitian adalah memperoleh gambaran dan menganalisis Pengaruh Kepemimpinan Instruksional Kepala Sekolah dan Profesional Learning Community Terhadap Kinerja Mengajar

anggota masyarakat setempat serta pendeta Jemaat GPM Negeri Soya. Sumber data sekunder yang dipakai dalam penelitian ini adalah. sejumlah dokumen-dokumen negri atau desa