BAB III
LANDASAN TEORI
3.1. Supply Chain Management3
3.2. Green Supply Chain
Supply Chain adalah jaringan perusahaan-perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir. Perusahaan–perusahaan tersebut biasanya termasuk supplier, pabrik, distributor, toko dan ritel, serta perusahaan-perusahaan pendukung seperti perusahaan jasa logistik.
Pada suatu supply chain biasanya ada 3 aliran yang harus dikelola. Pertama adalah aliran barang yang mengalir dari hulu (upstream) ke hilir (downstream). Kedua adalah aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir ke hulu. Yang ketiga adalah aliran informasi yang bisa terjadi dari hilir ke hulu ataupun sebaliknya
Istilah Supply Chain Management pertama kali dikemukakan oleh Oliver dan Weber pada tahun 1982 yakni: Supply Chain Management adalah sistematik, koordinasi strategi dari fungsi bisnis tradisional dengan perusahaan kecil dan lintas bisnis dengan rantai pasok dengan maksud untuk memperbaiki kinerja jangka panjang dari perusahaan itu sendiri dan perusahaan rantai pemasok sebagai keseluruhan.
4
Isu lingkungan telah menjadi salah satu perhatian masyarakat dunia. Aktivis-aktivis lingkungan telah melakukan pendidikan publik secara terus menerus kepada masyarakat. Hal ini telah meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya komitmen terhadap produk-produk
3
I Nyoman Pujawan. Supply Chain Management. Edisi Pertama. (Surabaya: Guna Widya, 2005). hal. 5-7.
4
hijau. Pada awalnya, obyek perhatian dari isu hijau adalah produk. Jenis bahan yang digunakan, proses produksi dari produk, kemasan dari produk adalah bagian-bagian yang dianggap penting dalam menilai apakah sebuah produk ramah lingkungan atau tidak. Namun saat ini, seluruh rangkaian kegiatan yang terlibat dalam pembuatan produk mulai dari hulu sampai dengan hilir adalah bagian yang diperhatikan dalam isu produk ramah lingkungan.
Setiap perusahaan tidak dapat mengabaikan begitu saja isu lingkungan ini. Kesadaran yang tinggi dari konsumen mengakibatkan tingkat persaingan di pasar tidak lagi berorientasi padai mutu, harga dan pengiriman tetapi isu lingkungan. Konsumen mempertimbangkan untuk membeli produk yang relatif lebih mahal sedikit tetapi ramah lingkungan. Hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian serius dari perusahaan untuk mengelola rantai pasok. Pembelian bahan baku, transportasi, produksi, distribusi, dan penyimpanan harus memperhatikan isu lingkungan. Strategi yang mempertimbangkan isu lingkungan dikenal dengan istilah rantai pasok green.
Huang et al. (dalam Hadiguna 2016) telah melakukan kajian praktik rantai pasok green pada industri kecil dan menengah di Cina. Proposisinya adalah sektor industri yang berbeda akan mengadopsi praktek rantai pasok green yang berbeda. Sektor-sektor industri yang dikaji adalah makanan, minuman, pakaian, tekstil, kulit, kayu dan furnitur. Hasil studi menunjukan bahwa praktek rantai pasok green dari setiap sektor industri adalah berbeda satu sama lain. Sektor industry elektronik di Korea juga telah menarik perhatian Lee et al. (dalam Hadiguna 2016). Studi dilakukan terhadap hubungan antara praktek rantai pasok green dan kinerja organisasi. Hasil studi menunjukan bahwa praktek rantai pasok green memberi pengaruh nyata terhadap kepuasan kerja pegawai, efisiensi operasional, kinerja bisnis secara tidak langsung dan efisiensi relasional. Hasil studi ini telah memperkuat keyakinan bahwa praktek rantai pasok green akan memberikan pengaruh positif terhadap kinerja organisasi.
sangat komprehensif karena mengkaji aspek praktek green, pengaruh terhadap kinerja, tekanan terhadap praktek green. Praktek green terdiri dari manajemen lingkungan internal, manajemen rantai pasok green external, ecodesign, pemulihan investasi. Hasil studi menujukkan bahwa empat faktor dari praktek green ini telah dipertimbangkan oleh industri di China pada saat ini. Pengaruh praktek green terhadap kinerja perusahaan dipelajari berdasarkan faktor-faktor yaitu kinerja lingkungan, kinerja operasional, kinerja ekonomi positif dan kinerja ekonomi negatif. Hasil studi menujukan hampir mendekati relatif signifikan pengaruh praktek green terhadap peningkatan kinerja perusahaan. Sumber tekanan bagi industri di China adalah regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hasil studi ini sangat menarik sebagai dasar dalam merumuskan strategi rantai pasok green yang tepat. Namun demikian, kajian ini belum mampu menunjukan perbedaan praktek green diantara sektor industri yang berbeda-beda.
Zhu et al. (dalam Hadiguna 2016) juga telah menganalisis praktek rantai pasok green terhadap empat jenis industri yaitu industri kelistrikan, kimia/perminyakan, elektronik dan automotif. Hasil studi ini memperlihatkan bahwa praktek rantai pasok green akan memberikan dampak yang berbeda-beda terhadap kinerja rantai pasok industri tertentu. Item-item pengukuran yang digunakan adalah rantai pasok green, manajemen lingkungan internal, green purchasing, kerjasama pelanggan, pemulihan investasi dan eco-design.
Studi terhadap pengaruh praktek rantai pasok green terhadap kinerja perusahaan di US telah dilakukan oleh Green Jr et al. (dalam Hadiguna 2016). Ukuran-ukuran kinerja yang digunakan adalah manajemen lingkungan internal, system informasi green, green purchasing, kerjasama pelanggan, eco-design, pemulihan investasi, kinerja lingkungan, kinerja operasional dan kinerja organisasi. Hasil studi ini menunjukan pengaruh dari setiap ukuran kinerja terhadap kinerja lainnya. Kerangka kerja dari analisis dibangun dengan menempatkan manajemen lingkungan internal dan sistem informasi green sebagai pondasi utama. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah kinerja organisasi.
prakarsa rantai pasok green. Indikator-indikator dari outcomes yaitu lingkungan, ekonomi, reduksi biaya dan intangible. Hasil studi ini telah memperkuat pemahaman bahwa rantai pasok green memberikan manfaat secara langsung bagi kinerja perusahaan. Hasil studi ini menunjukan bahwa eco-design telah berperan nyata terhadap outcome dari prakarsa rantai pasok green.
Azevedo et al. (dalam Hadiguna 2016) telah membangun sebuah kerangka kerja dari praktek green terhadap kinerja rantai pasok. Praktek dikategorikan menjadi upstream, focal company dan downstream. Upstream terdiri dari praktek ramah lingkungan dalam pembelian, kerjasama ramah lingkungan dengan pemasok, bekerja dengan perancang dan pemasok untuk mengurangi dan menghilangkan dampak lingkungan dari produk. Focal company terdiri dari minimisasi waste, sertifikasi ISO 14000, dan penurunan konsumsi material berbahaya dan beracun. Downstream terdiri dari kerjasama lingkungan dengan pelanggan, pengemasan ramah lingkungan, bekerjasama dengan pelanggan untuk mengubah spesifikasi produk dan reverse logistics. Kinerja rantai pasok diukur berdasarkan efisiensi, biaya, biaya lingkungan, kepuasan pelanggan, kualitas, dan business wastage. Studi ini dilakukan pada rantai pasok otomotif di Portugis.
Strategi green tidak terlepas dari peran pemerintah. Sheu (dalam Hadiguna 2016) telah menginvestigasi masalah negosiasi antara produser dengan pemasok reverse logistics untuk perjanjian kerjasama dibawah pengawasan pemerintah. Studi ini ingin mendapatkan penyelesaian negosiasi yang seimbang. Intervensi keuangan dari pemerintah ternyata akan memberikan dampak perolehan laba dan kesejahteraan sosial. Studi ini telah menjelaskan bahwa praktek green supply chain management yang diintervensi oleh pemerintah akan memberikan hasil positif baik kepentingan ekonomi bagi perusahaan maupun manfaat sosial bagi masyarakat.
green juga telah membuktikan bahwa peningkatan investasi untuk praktek ini akan diikuti dengan peningkatan kinerja perusahaan.
3.3. Manajemen Lingkungan sebagai Resource-base View of Strategic Management5
Manajemen lingkungan natural adalah upaya untuk memberdayakan sumberdaya internal (konsep budaya, sistem dan keluaran) menjadi sumber keunggulan kompetitif dan kompetensi. Dengan demikian aktivitas manajemen lingkungan merupakan aktivitas manajemen strategik dalam perspektif RBV. Bagi perusahaan yang telah menyadari pentingnya faktor lingkungan natural, mereka mengembangkan system manajemen lingkungan. Anderson (dalam Harsono 2003)
Konsep inti manajemen strategis adalah bagaimana mengembangkan dan memelihara keunggulan kompetitif (Coulter, dalam Harsono 2003). Dalam literatur manajemen strategik (Coulter; Thomson & Strickland, dalam Harsono 2003) disebutkan ada dua pandangan mengenai bagaimana cara organisasi mendapatkan keunggulan kompetitif, industrial organization view (I/O) dan resource-based view (RBV). Konsep I/O dikembangkan oleh Porter (dalam Harsono 2003) yang menyatakan bahwa keunggulan kompetitif ditentukan oleh seberapa akurat organisasi menempatkan dirinya pada posisi yang paling baik dalam industri tersebut. Dengan demikian fokus bahasan keunggulan kompetitif I/O adalah kekuatan-kekuatan eksternal.
Konsep RBV dikembangkan Wernerfelt (dalam Harsono 2003), Dierickx dan Cool (dalam Harsono 2003) Prahalad dan Hamel (dalam Harsono 2003), sebagai reaksi atas keterbatasan konsep keunggulan kompetitif versi Porter (dalam Harsono 2003). RBV menyatakan bahwa dalam memelihara keunggulan kompetitif, perhatian terhadap sumberdaya organisasi lebih penting daripada struktur industri. Dalam konsep ini, keunggulan kompetitif dipusatkan pada pengelolaan sumberdaya internal dan kompetensi. Barney (dalam Harsono 2003) menyatakan bahwa sumberdaya internal bisa menjadi keunggulan kompetitif jika memiliki empat sifat, yaitu bernilai (value); langka (rare); tidak mudah ditiru (imitability); serta perusahaan dapat mengeksploitasi (ability to exploit).
5
Mugi Harsono, “ Manajemen Lingkungan Natural Dalam Perspektif Resource-Based
menyatakan bahwa melalui pendekatan tersebut manajemen lingkungan dipandang sebagai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bisnis secara keseluruhan, yang merupakan bagian dari manajemen strategik. Pendekatan tersebut adalah berupa konsep pengembangan berkelanjutan (sustainable development), sistem dan produk-produk yang ramah lingkungan merupakan upaya bisnis untuk mendapatkan keunggulan persaingan. Sistem manajemen lingkungan dipandang sebagai nilai tambah produk dan jasa, menciptakan keunggulan bersaing, meningkatkan citra masyarakat, serta mengurangi biaya.
Pendapat bahwa manajemen lingkungan natural merupakan isu manajemen strategik didukung oleh Clark et al. (dalam Harsono 2003), Klassen dan McLaughlin (dalam Harsono 2003), serta Hart (dalam Harsono 2003). Clark et al. (dalam Harsono 2003) memperluas konsep manajemen lingkungan yang semula merupakan perhatian manajemen pemasaran menjadi isu manajemen strategik melalui formulasi model yang menunjukkan hubungan tiga variabel anteseden, yakni environmental attributes, organizational attributes, dan decision maker attributes terhadap level of environmental management. Klassen dan McLaughlin (dalam Harsono 2003) menyatakan bahwa dari berbagai literatur strategi terlihat bahwa tanggungjawab sosial, termasuk manajemen lingkungan adalah tugas perusahaan yang penting, sehingga termasuk dalam manajemen strategic perusahaan. Epstein dan Roy (dalam Harsono 2003) menyatakan bahwa memasukkan pengaruh lingkungan ke dalam pembuatan keputusan membutuhkan pengembangan ketrampilan strategik yang baru. Manajemen lingkungan harus dipersepsikan sebagai inisiatif perusahaan yang bisa meningkatkan asset pengetahuan perusahaan, atau kapabilitas inti (core capabilities). Kapabilitas-kapabilitas inti ini sering terlihat pada empat dimensi, yaitu: (1)
1. skills and knowledge; 2. phsycal technical systems; 3. managerial systems; dan 4. values and norms.
yang dipatok sejak lama. Yang termasuk di sini adalah database, software, dan machinery. Dimensi managerial systems mengarahkan pengumpulan pengetahuan oleh organisasi. Dimensi values and norms menentukan dan mengendalikan bentuk pengetahuan yang dipertimbangkan pada tiga dimensi sebelumnya.
Hart (dalam Harsono 2003) menggabungkan konsep manajemen lingkungan ke dalam resource-based view manajemen strategic yang kemudian diberi istilah natural resource-based view. Dalam kerangka kerja tersebut, Hart (1995) menunjukkan ada tiga strategi lingkungan yang dipakai perusahaan, yaitu pollution prevention, product stewardship, dan sustainable development; kekuatan pendorong lingkungan, sumberdaya inti serta keunggulan bersaing. Agar isu lingkungan bisa dijadikan keunggulan kompetitif, Porter dan van der Linde (dalam Harsono 2003) menunjukkan perlunya peraturan pemerintah mengenai pengelolaan lingkungan. Tujuan adanya peraturan pengelolaan lingkungan tersebut paling tidak ada enam, yaitu:
1. Peraturan memberi sinyal kepada perusahaan tentang kemungkinan inefisiensi sumberdaya dan potensi peningkatan teknologis;
2. Peraturan dipusatkan pada pencarian informasi mengenai pencapaian manfaat utama dengan peningkatan kesadaran seluruh komponen perusahaan;
3. Peraturan mengurangi ketidakpastian investasi pada pengelolaan lingkungan; 4. Peraturan menciptakan tekanan yang memotivasi inovasi dan dinamika;
5. Peraturan menjadi pedoman agar selama masa transisi menuju innovation-based solutions, dan
3.4. Teori Institusional (Institusional Theory)6
Tekanan institusional yang diberikan pada organisasi akan menyebabkan perubahan organisasi menuju homogenitas (isomorphic) (Meyer dan Rowan, dalam Tanggulungan 2014). Isomorfisme adalah proses yang mendorong satu unit dalam suatu populasi untuk menyerupai unit yang lain dalam menghadapi kondisi lingkungan yang sama (DiMaggio dan Powell, dalam Tanggulungan 2014). DiMaggio dan Powell (dalam Tanggulungan 2014) melihat ada tiga bentuk isomorphic yaitu, pertama mimetic, yaitu peniruan organisasi terhadaporganisasi lainsebagai respon adanya ketidakpastian, kedua; coercive yang menunjukan bahwa organisasi lain karena tekanan-tekanan Negara (pengaruh politik) dan organisasi lain atau masyarakat yang lebih luas (masalah legitimasi), dan ketiga; normative terkait dengan norma-norma yang berlaku. Perubhan dalam lingkungan lembaga organisasi dapat disebabkan oleh homogenitas yang pada akhirnya Teori kelembagaan menggambarkan hubungan antara organisasi dengan lingkunganya, tentang bagaimana dan mengapa organisasi menjalankan sebuah struktur dan proses (Meyer dan Roman, dalam Tanggulungan 2014). Teori institusional digunakan untuk menjelaskan tindakan dan pengambilan keputusan dalam organisasi public (Scott dalam Villadsen, dalam Tanggulungan 2014). Teori institusional terkenal sebagai penjelas yang kuat dan popular, baik untuk tindakan-tindakan individu maupun organisasi yang disebabkan oleh faktor eksternal (Frumkin dan Galaskiewicz, dalam Tanggulungan 2014), faktor sosial (Scott, dalam Tanggulungan 2014), faktor lingkungan (Jun dan Weare, dalam Tanggulungan 2014). Bagi organisasi pemerintah, secara umum yang diutamakan adalah terkait legitimasi dan kepentingan politik. Teori institusional berpendapat bahwa organisasi yang mengutamakan legitimasi memiliki kecenderungan untuk berusaha menyesuaikan diri pada harapan eksternal atau harapan sosial dimana organisasi berada (DiMaggio dan Powell, dalam Tanggulungan 2014).
3.4.1. Isomorfisme Institusional
6
menimbulkan rangsangan atau hambatan terhadap praktik-praktik organisasi yang baru, termasuk dalam hal praktik akuntansi (Chang, dalam Tanggulungan 2014).
3.4.2. Tekanan Eksternal
Tekanan eksternal adalah suatu daya dari luar organisasi yang membatasi ruang gerak organisasi dalam melakukan tugas (Frumkin dan Galaskiewicz, dalam Tanggulungan 2014). Tekanan eksternal dalam teori institusional yang lebih dikenal sebagai bentuk isomorfisme koersif merupakan hasil dari tekanan formal dan informal yang diberikan pada organisasi oleh organisasi lain dimana organisasi tergantung dnegan harapan budaya masyarakat dimana organisasi menjalankan fungsinya (DiMaggio dan Powell, dalam Tanggulungan 2014). Kekuatan koersif adalah tekanan eksternal yang diberikan oleh pemerintah, peraturan, atau lembaga lain (Ashworth, dalam Tanggulungan 2014). Menurut Nay (dalam Tanggulungan 2014) tekanan eksternal dapat dirasakan melalui banyaknya peraturan legal, budaya birokrasi dan adanya klaim untuk atau tuntutan langsungg pemangku kepentingan. Adanyanya peraturan ditunjukan untuk mengatur praktik yang ada agar menjadi lebih baik. Kekuatan koersif dari suatu peraturan dapat menyebabkan adanya kecenderungan organisasi untuk memperoleh atau memperbaiki legitimasi, sehingga hanya menekankan aspek-aspek positif agar organisasi terlihat baik oleh pihak-pihak di luar organisasi (Hess, dalam Tanggulungan 2014). Perubahan organiasi lebih mempertimbangkan pengaruh politik dari pada teknis (Ashwort, dalam Tanggulungan 2014).
3.5. Manajemen Lingkungan Natural sebagai Resource-based View7
Manajemen lingkungan natural adalah upaya untuk memberdayakan sumberdaya internal (konsep budaya, sistem dan keluaran) menjadi sumber keunggulan kompetitif dan kompetensi. Dengan demikian aktivitas manajemen lingkungan merupakan aktivitas manajemen strategik dalam perspektif RBV (Resource-based View). Bagi perusahaan yang telah menyadari pentingnya faktor lingkungan natural, mereka mengembangkan sistem manajemen lingkungan. Anderson (dalam Harsono 2003) menyatakan bahwa melalui pendekatan tersebut manajemen lingkungan 7
dipandang sebagai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bisnis secara keseluruhan, yang merupakan bagian dari manajemen strategik. Pendekatan tersebut adalah berupa konsep pengembangan berkelanjutan (sustainable development), sistem dan produk-produk yang ramah lingkungan merupakan upaya bisnis untuk mendapatkan keunggulan persaingan. Sistem manajemen lingkungan dipandang sebagai nilai tambah produk dan jasa, menciptakan keunggulan bersaing, meningkatkan citra masyarakat, serta mengurangi biaya.
Pendapat bahwa manajemen lingkungan natural merupakan isu manajemen strategik didukung oleh Clark et al. (dalam Harsono 2003), Klassen dan McLaughlin (dalam Harsono 2003), serta Hart (dalam Harsono 2003). Clark et al. (dalam Harsono 2003) memperluas konsep manajemen lingkungan yang semula merupakan perhatian manajemen pemasaran menjadi isu manajemen strategik melalui formulasi model yang menunjukkan hubungan tiga variabel anteseden, yakni environmental attributes, organizational attributes, dan decision maker attributes terhadap level of environmental management. Klassen dan McLaughlin (dalam Harsono 2003) menyatakan bahwa dari berbagai literatur strategi terlihat bahwa tanggungjawab sosial, termasuk manajemen lingkungan adalah tugas perusahaan yang penting, sehingga termasuk dalam manajemen strategik perusahaan.
Epstein dan Roy (dalam Harsono 2003) menyatakan bahwa memasukkan pengaruh lingkungan ke dalam pembuatan keputusan membutuhkan pengembangan ketrampilan strategik yang baru. Manajemen lingkungan harus dipersepsikan sebagai inisiatif perusahaan yang bisa meningkatkan asset pengetahuan perusahaan, atau kapabilitas inti (core capabilities). Kapabilitas-kapabilitas inti ini sering terlihat pada empat dimensi, yaitu:
(1) skills and knowledge; (2) phsycal technical systems; (3) managerial systems; dan (4) values and norms.
yang dipatok sejak lama. Yang termasuk di sini adalah database, software, dan machinery. Dimensi managerial systems mengarahkan pengumpulan pengetahuan oleh organisasi. Dimensi values and norms menentukan dan mengendalikan bentuk pengetahuan yang dipertimbangkan pada tiga dimensi sebelumnya.
Hart (dalam Harsono 2003) menggabungkan konsep manajemen lingkungan ke dalam resource-based view manajemen strategis yang kemudian diberi istilah natural resource-based view. Dalam kerangka kerja tersebut, Hart (dalam Harsono 2003) menunjukkan ada tiga strategi lingkungan yang dipakai perusahaan, yaitu pollution prevention, product stewardship, dan sustainable development; kekuatan pendorong lingkungan, sumberdaya inti serta keunggulan bersaing. Agar isu lingkungan bisa dijadikan keunggulan kompetitif, Porter dan van der Linde (dalam Harsono 2003) menunjukkan perlunya peraturan pemerintah mengenai pengelolaan lingkungan. Tujuan adanya peraturan pengelolaan lingkungan tersebut paling tidak ada enam, yaitu:
(1) peraturan memberi sinyal kepada perusahaan tentang kemungkinan inefisiensi sumberdaya dan potensi peningkatan teknologis;
(2) peraturan dipusatkan pada pencarian informasi mengenai pencapaian manfaat utama dengan peningkatan kesadaran seluruh komponen perusahaan;
(3) peraturan mengurangi ketidakpastian investasi pada pengelolaan lingkungan; (4) peraturan menciptakan tekanan yang memotivasi inovasi dan dinamika;
(5) peraturan menjadi pedoman agar selama masa transisi menuju innovation-based solutions, dan
(6) tidak ada perusahaan yang menarik keuntungan dengan menolak investasi terhadap lingkungan.
Kedua, inovasi lingkungan secara simultan meningkatkan proses produksi atau proses yang berkaitan lainnya, sehingga “innovation offsets” tersebut dapat melampaui biaya. Bentuk inovasi kedua inilah yang menurut Porter dan van der Linde (dalam Harsono 2003) secara aktual dapat meningkatkan persaingan industri.
3.6. ANP (Analytical Network Process)
ANP adalah pendekatan kualitatif Non Parametrik dan Non Bayesian untuk proses pengambilan keputusan dengan kerangka kerja umum tanpa membuat asumsi-asumsi. ANP adalah perkembangan dari AHP (Analytical Hierarchy Process) yang sama-sama dibuat oleh Thomas L. Saaty. Dalam AHP, setiap elemen dalam hirarki dianggap independen dengan elemen yang lain. Tapi dalam kenyataannya, ada hubungan interdependen antar elemen dan juga terhadap alternatif. Dan ANP tidak membutuhkan independen antar elemen, sehingga ANP dapat menjadi alat yang efektif.
Metode Analityc Network Process mampu mempresentasikan tingkat kepentingan berbagai pihak dengan mempertimbangan saling keterkaitan antara strategi objektif yang satu dengan yang lain (Hidayati, 2012).
Analytic Network Process (ANP) juga merupakan teori matematis yang mampu menganalisa pengaruh dengan pendekatan asumsi-asumsi untuk menyelasaikan bentuk permasalahan. Metode ini digunakan dalam bentuk penyelesaian dengan pertimbangan atas penyesuaian kompleksitas masalah secara penguraian sintesis disertai adanya skala prioritas yang menghasilkan pengaruh prioritas terbesar. ANP juga mampu menjelaskan model faktor-faktor dependence serta feedback nya secara sistematik. Pengambilan keputusan dalam aplikasi ANP yaitu dengan melakukan pertimbangan dan validasi atas pengalaman empirical. Struktur jaringan yang digunakan yaitu benefit, opportunities, cost dan risk (BOCR) membuat metode ini memungkinkan untuk mengidentifikasi, mengklasifikasi dan menyusun semua faktor yang mempengaruhi output atau keputusan yang dihasilkan (Saaty, dalam Rusydiana & Devi 2013).
ANP yaitu dengan menggunakan perbandingan berpasangan (pairwase comparison) pada alternatif-alternatif dan kriteria proyek. Pada jaringan AHP terdapat level tujuan, kriteria, subkriteria, dan alternatif, yang masing-masing level memiliki elemen. Sedangkan pada jaringan ANP, level dalam AHP disebut cluster yang dapat memiliki kriteria dan alternatif didalamnya.
Saaty (dalam Rusydiana & Devi 2013), menyatakan bahwa jaringan umpan balik adalah struktur untuk memecahkan masalah yang tidak dapat disusun dengan menggunakan struktur hirarki. Jaringan umpan balik terdiri dari interaksi dan ketergantungan antara elemen pada level yang lebih rendah. Struktur umpan balik tidak mempunyai bentuk linier dari atas ke bawah, tetapi nampak seperti sebuah jaringan siklus pada masing-masing klaster dari setiap elemen serta dapat berbentuk looping pada klaster itu sendiri. Bentuk ini tidak dapat disebut sebagai level. Umpan balik juga mempunyai sumber (source) dan tumpahan (sink). Titik sumber menunjukkan asal dari jalur kepentingan dan tidak pernah dijadikan tujuan dari jalur kepentingan lain, sedangkan titik tumpahan adalah titik yang menjadi tujuan dari jalur kepentingan dan tidak pernah menjadi asal untuk kepentingan lain.
Sebuah jaringan yang utuh terdiri dari titik sumber (source node), titik antara (intermediate node) yang berasal dari titik asal (source node), titik siklus, atau sebuah jalur yang menuju pada titik tumpahan (sink node), dan bagian akhir adalah titik tumpahan itu sendiri (sink node). Struktur ANP terdiri atas ketergantungan antar elemen dari komponen dalam (inner dependence) dan dari ketergantungan antar elemen dari komponen luar (outer dependence). Adanya jaringan (network) dalam suatu ANP dimungkinkandapat merepresentasikan beberapa masalah tanpa terfokus pada awal dan kelanjutan akhir sepertipada AHP.
dan faktor lain. Untuk merepresentasikan feedback pada metode ANP maka diperlukan matriks berukuran besar yang disebut sebagai supermatriks yang terdiri dari beberapa sub matriks.
3.6.1. Klasifikasi Hierarki8
a. Suparchy merupakan sebuah struktur seperti hirarki dengan pengecualian tidak ada tujuan tetapi mempunyai siklus umpan balik pada kedua level paling atas. Suatu jaringan mungkin merupakan modifikasi dari bentuk hubungan hirarki yang diubah pasangan komponennya dan dihubungkan di antaranya serta mempunyai inner dependence dan outer dependence. Oleh karena itu klasifikasi hirarki yang dimodifikasi menjadi jaringan umpan balik.
Struktur hierarki tergolong menjadi empat kelompok yaitu (Saaty, dalam Rusydiana & Devi 2013) :
b. Intarchy merupakan sebuah hirarki dengan siklus umpan balik antara dua level tengah secara berurutan.
c. Sinarchy merupakan sebuah hirarki dengan siklus umpan balik pada dua level bawah.
d. Hiernet merupakan sebuah jaringan yang disusun secara vertikal untuk memfasilitasi keanggotaan pada semua level-levelnya.
Hal ini mungkin untuk sebuah sistem yang mempunyai komponen yang interaktif, dimana semua komponen memberikan pengaruh kepada semua komponen lain sehingga terbentuk suatu sistem yang interaktif.
Terkait hierarki kontrol dalam penentuan pendapat, terdapat dua tipe kriteria kontrol yaitu kriteria kontrol sebagai tujuan dari hirarki jika terhubung dengan struktur dan struktur tersebut merupakan hirarki. Pada kasus ini kriteria kontrol disebut sebagai comparison- "linking" criterion.
8
Aam Slamet Rusydiana & Abrista Devi. Analytic Network Process: Pengantar Teori dan Aplikasi,
Tipe yang kedua adalah sebuah kriteria kontrol tidak terhubung pada struktur tetapi menginduksi di dalam jaringan, kriteria kontrol ini disebut sebagai comparison- "inducing" criterion.
3.6.2. Supermatriks dan Pembobotan9
9
Ibid, 14.
Perbandingan tingkat kepentingan dalam setiap elemen maupun cluster direpresentasikan dalam sebuah matrik dengan memberikan skala rasio dengan perbandingan berpasangan. Masing-masing skala rasio menunjukkan perbandingan kepentingan antara elemen di dalam sebuah komponen dengan elemen di luar komponen (outer dependence) atau juga di dalam elemen terhadap elemen itu sendiri yang berada di komponen dalam (inner dependence). Tidak setiap elemen memberikan pengaruh terhadap elemen pada komponen lain.
Elemen yang tidak memberikan pengaruh pada elemen lain akan memberikan nilai nol. Matrik hasil perbandingan secara berpasangan direpresentasikan ke dalam bentuk vertikal dan horizontal dan berbentuk matriks yang bersifat stochastic yang disebut sebagai supermatriks.
Pembobotan dalam ANP diperlukan suatu model yang merepresentasikan keterkaitan antar kriteria/subkriteria atau alternatif. Hal yang harus diperhatikan dalam pembobotan ini adalah "kontrol". Ada dua kontrol, yaitu kontrol hierarki yang menunjukkan keterkaitan antar kriteria dan subkriteria dan yang kedua adalah kontrol keterkaitan yaitu yang menunjukkan adanya keterkaitan antar kriteria/subkriteria. Bobot gabungan diperoleh melalui pengembangan dari supermatriks. Dalam suatu sistem dengan N komponen yang terdiri dari C elemen yang saling berinteraksi, dinotasikan Ch dimana h = 1, 2, 3, .... N. Elemen yang dimiliki oleh komponen akan disimbolkan dengan eh1, eh2, ... ehn.
Masing-masing kolom dalam Wij adalah eigen vector yang menunjukkan kepentingan dari elemen pada komponen ke-i dari jaringan pada sebuah elemen pada komponen ke j. Jika nilai Wijj = 0 menunjukkan tidak terdapat kepentingan pada elemen tersebut. Jika hal tersebut terjadi maka elemen tersebut tidak digunakan dalam perbandingan berpasangan untuk menurunkan eigen vector. Jadi yang digunakan adalah elemen yang menghasilkan kepentingan bukan nol. Penyusunan supermatriks terdiri dari 3 tahap yaitu :
a. Tahap supermatriks tanpa bobot (unweighted supermatrix) b. Tahap supermatriks terbobot (weighted supermatrix) c. Tahap supermatriks batas (limit supermatrix)
3.6.3. Landasan ANP10
1. Resiprokal; aksioma ini menyatakan bahwa jika PC (EA,EB) adalah nilai pembandingan pasangan dari elemen A dan B, dilihat dari elemen nduknya C, yang menunjukkan berapa kali lebih banyak elemen A memiliki apa yang dimiliki elemen B, maka PC (EB,EA) = 1/ Pc (EA,EB). Misalkan, jika A lima kali lebih besar dari B, maka B besarnya 1/5 dari besar A.
ANP memiliki empat aksioma yang menjadi landasan teori, antara lain (Saaty, dalam Rusydiana & Devi 2013):
2. Homogenitas; menyatakan bahwa elemen-elemen yang dibandingkan dalam struktur kerangka ANP sebaiknya tidak memiliki perbedaan terlalu besar, yang 10
dapat menyebabkan lebih besarnya kesalahan dalam menentukan penilaian elemen pendukung yang mempengaruhi keputusan.
Tabel 3.1. Dasar Perbandingan Kriteria
Intensitas
Kepentingan Definisi Penjelasan
1 Kedua elemen sama penting Dua elemen menyumbangnya sama besar pada sifat itu
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting ketimbang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas lainnya
5
Elemen yang satu essensial atau sangat penting ketimbang elemen lainnya
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lain
Satu elemen dengan kuat disokong, dan dominannya telah terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak lebih penting ketimbang elemen lainnya
Bukti yang menyokong elemen yang satu yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua pertimbangan berdekatan
Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan
Kebalikan
Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai kebalikannya bila dibandingkan dengan i
3. Prioritas; yaitu pembobotan secara absolut dengan menggunakan skala interval [0.1] dan sebagai ukuran dominasi relatif.
4. Dependence condition; diasumsikan bahwa susunan dapat dikomposisikan ke dalam komponen-komponen yang membentuk bagian berupa cluster.
3.7. Prosedur ANP11
1. Mengembangkan Struktur Model Keputusan
Menurut Izik et at (dalam Rusydiana & Devi 2013) proses solusi ANP memiliki empat langkah utama yaitu:
11
Pada langkah ini, masalah harus disusun dan model konseptual harus dibuat. Awalnya, komponen-komponen penting harus diidentifikasi. Elemen paling atas (cluster) didekomposisi menjadi sub-komponen dan atribut (node). ANP memungkinkan dependensi baik di dalam sebuah cluster (ketergantungan dalam) dan antar cluster (ketergantungan luar) (Saaty dalam Rusydiana & Devi 2013). Masing-masing variabel pada setiap tingkat harus didefinisikan bersama dengan hubungannya dengan unsur-unsur lain dalam sistem.
2. Matriks Perbandingan Berpasangan dari Variabel yang Saling Terkait
Pada ANP, perbandingan elemen berpasangan dalam setiap tingkat dilakukan terhadap kepentingan relatif untuk kriteria kontrol mereka. Matriks korelasi disusun berdasarkan skala rasio 1 - 9. Ketika penilaian dilakukan untuk sepasang, nilai timbal balik secara otomatis ditetapkan ke perbandingan terbalik dalam matriks. Setelah perbandingan berpasangan selesai, vektor yang sesuai dengan nilai eigen maksimum dari matriks yang dibangun dihitung dan vektor prioritas diperoleh. Nilai prioritas ditemukan dengan menormalkan vektor ini. Dalam proses penilaian, masalah dapat terjadi dalam konsistensi dari perbandingan berpasangan. Rasio konsistensi memberikan penilaian numerik dari
seberapa besar evaluasi ini mungkin tidak konsisten. Jika rasio yang dihitung kurang dari 0.10, konsistensi dianggap memuaskan.
3. Penghitungan Supermatriks
Setelah perbandingan berpasangan selesai, supermatriks dihitung dalam 3 langkah:
a. Unweighted Supermatrix (supermatriks tanpa pembobotan), dibuat secara langsung dari semua prioritas lokal yang berasal dari perbandingan berpasangan antar elemen yang mempengaruhi satu sama lain;
c. Komposisi dari Limiting Supermatrix (Supermatriks terbatas), dibuat dengan memangkatkan supermatriks-berbobot sampai stabil. Stabilisasi dicapai ketika semua kolom dalam supermatriks yang sesuai untuk setiap node memiliki nilai yang sama. Langkah-langkah ini dilakukan dalam software Super Decisions, yang merupakan paket perangkat lunak yang dikembangkan untuk aplikasi ANP. Setiap subnetwork, prosedur yang sama diterapkan dan alternatif diberi peringkat.
4. Bobot Kepentingan dari Clusters dan Nodes
Penentuan bobot kepentingan dari faktor penentu dengan menggunakan hasil supermatriksterbatas dari model ANP. Prioritas keseluruhan dari setiap alternatif dihitung melalui proses sintesis. Hasil yang diperoleh dari masing-masing subnetwork disintesis untuk memperoleh prioritas keseluruhan dari alternatif.
3.7. Kuesioner
Menurut Rosnani Ginting (2010), kuesioner merupakan sejumlah
pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden
dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui. Kuesioner
dirancang dengan tujuan untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan
penelitian. Syarat utama pengisian kuesioner adalah pertanyaan yang jelas dan
mengarah ke tujuan. Empat komponen inti dari sebuah kuesioner, yaitu:
1. Kuesioner memiliki subjek, yaitu individu atau lembaga yang melaksanakan penelitian. 2. Kuesioner memiliki ajakan, yaitu permohonan dari peneliti untuk turut serta mengisi secara
3. Kuesioner memiliki petunjuk pengiisian kuesioner, dimana petunjuk yang tersedia harus mudah dimengerti.
4. Kuesioner memiliki pertanyaan maupun pernyataan beserta tempat pengisian jawaban, baik secara tertutup, semi tertutup, maupun terbuka.
Menurut Sukaria Sinulingga (2013), perancangan kuesioner yang baik
perlu dipahami prinsip-prinsip yang terkait dengan cara penulisan pertanyaan
(
wording of quetions
), cara pengukuran yaitu mengkatagorikan, membuat skala
dan mengkodekan (
catagorized, scaled and coded
) jawaban dari responden dan
kerapian (
general appearance
) kuesioner tersebut.
3.8. Metode Sampling
Menurut Sukaria Sinulingga (2013), Sampling adalah metode pengumpulan data yang sangat populer karena manfaatnya yang demikian besar dalam penghematan sumber daya waktu dan biaya dalam kegiatan pengumpulan data.
Sampling ialah proses penarikan sampel melalui mekanisme tertentu melalui mana karakteristik populasi dapat diketahui atau didekati. Secara garis besar metode penarikan sampel dapat diklasifikasi atas dua bagian yaitu:
1. Probability Sampling 2. Nonprobability Sampling
3.8.1. Probability Sampling
Probability sampling, setiap elemen dari populasi diberi kesempatan yang sama untuk ditarik menjadi anggota dari sampel.
Simple random sampling yang sering juga disebut unrestricted probability sampling, setiap elemen dari populasi mempunyai kesempatan atau peluang yang sama untuk terpilih menjadi anggota sampel.
2. Systematic Sampling
Systematic sampling adalah suatu metode pengambilan sampel dari populasi dengan cara menarik elemen setiap kelipatan ke n dari populasi tersebut mulai dari urutan yang dipilih secara random diantara nomor 1 hingga n.
3. Stratified Random Sampling
Stratified random sampling menentukan strata elemen dalam populasi menjadi perhatian sehingga populasi dibagi sesuai dengan strata yang ada.
4. Cluster Sampling
Cluster sampling digunakan dengan multi stage, misalnya penelitian tentang pola hidup pada nasabah bank di suatu propinsi dilakukan.
5. Area Sampling
Area sampling digunakan dengan pengambilan sampel berdasarkan perbedaan lokasi geografis dari populasi.
3.8.2. Nonprobability Sampling
Non-probability sampling adalah teknik sampling dimana setiap elemen populasi yang akan ditarik menjadi anggota sampel tidak berdasarkan pada probabilitas yang melekat pada setiap elemen tetapi berdasarkan karakteristik khusus masing-masing elemen. Model dari metode sampling yang non-probabilistik ini adalah convinience sampling dan purposive sampling.
1. Convinience Sampling
Convinience sampling adalah suatu metode sampling dimana para respondennya adalah orang-orang yang secara sukarela menawarkan diri (conviniencely avaiable) dengan alasan masing-masing.
Purposive sampling adalah metode sampling non-probability yang menggunakan orang-orang tertentu (specific target-group) sebagai sumber data/informasi. Orang-orang tertentu yang dimaksud disini adalah individu atau kelompok yang karena pengetahuan, pengalaman, jabatan dan lain-lain yang dimilikinya menjadikan individu atau kelompok tersebut perlu dijadikan sumber informasi. Individu atau kelompok khusus ini langsung dicatat namanya sebagai reponden tanpa melalui proses seleksi secara random.
Purposive sampling dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu judgement
sampling
dan
quota sampling
.
a.
Judgement sampling
adalah tipe pertama dari
purposive sampling
, responden
terlebih dahulu dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu misalnya karena
kemampuannya atau kelebihannya diantara orang-orang lain dalam
memberikan data dan informasi yang bersifat khusus yang dibutuhkan
peneliti.
b.
Quota Sampling
adalah tipe kedua
purposive sampling
dimana
kelompok-kelompok tertentu dijadikan reponden (sumber data/informasi) untuk
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di PT. Pacific Palmindo Industri yang merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang refinery dan fractination CPO yang berlokasi di Kawasan Industri Medan II, Medan. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2016 – sekarang.
4.2. Jenis Penelitian12
12
Sukaria Sinulingga. Metode Penelitian. (Cet I; Medan: USU Press, 2011), h. 31.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deksriptif dimana penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematik tentang fakta-fakta dan sifat-sifat suatu objek atau populasi tertentu. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk mendapatkan profil atau aspek-aspek yang relevan dari fenomena yang menarik dari suatu organisasi atau kelompok tertentu. Penelitian deskriptif ini dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner terhadap beberapa responden. Pada penelitian deskriptif ini juga berbentuk survey research yaitu penyelidikan yang dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual untuk mendapatkan kebenaran dengan menggunakan instrumen kuesioner.
Objek penelitian yang diamati adalah supply chain dari PT. Pacific Palmindo Industri.
4.4.
Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang terdapat dalam penelitian ini adalah:
1.
Variabel Independen
Variabel independen (bebas) merupakan variabel yang nilainya
mempengaruhi variabel dependen baik secara positif maupun negatif
(Sinulingga,2013). Variabel independen dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a.
Institutional pressures
(tekanan dan isu yang dihadapi)
Faktor-faktor yang berasal dari luar perusahaan yang mendorong
perusahaan untuk melakukan melakukan insiatif ramah lingkungan.
b.
Key resources
(Sumber utama dalam perusahaan)
Nilai-nilai internal yang menjadikan perusahaan memperoleh keunggulan
yang mempengaruhi perusahaan dalam menerapkan ramah lingkungan.
c.
Competitive values
(nilai-nilai kompetitif)
Keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh oleh perusahaan dengan
menerapkan strategi ramah lingkungan
d.
Inisiatif
green supply chain
Alternatif inisiatif praktis yang dilakukan untuk meningkatkan
green
2.
Variabel Dependen
Variabel dependen adalah variabel terikat yang nilainya dipengaruhi oleh
variabel lain. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah
Green supply Chain
strategies
(strategi rantai pasok ramah lingkungan).
4.5.
Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah sebuah model yang ditunjukkan dalam bentuk
diagram yang memperlihatkan struktur dan sifat hubungan logis antar variabel
penelitian yang telah diidentifikasi dari teori dan temuan-temuan hasil review
artikel yang akan digunakan dalam menganalisis masalah penelitian.
Kerangka
konseptual penelitian ini disusun berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan
oleh Masoumik et. al. (2015), sehingga dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Inisiatif g
reen supply chain
Inisiatif g
reen supply chain
Institutional pressures
(tekanan dan isu yang dihadapi)
Institutional pressures
(tekanan dan isu yang dihadapi)
Key resources
(Sumber(aspek)
utama dalam perusahaan)
Key resources
(Sumber(aspek)
utama dalam perusahaan)
Competitive values
(nilai-nilai
kompetitif)
Competitive values
(nilai-nilai
kompetitif)
Strategi g
reen supply chain
Strategi g
reen supply chain
Dari gambar kerangka konseptual diatas merupakan 4 penilaian terhadap
green supply chain
yang diperoleh dari penelitian terhadap
green supply chain
untuk pengamatan penilaian secara objektif.
4.6.
Blok Diagram Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yang diawali dengan
melakukan identifikasi masalah hingga menghasilkan kesimpulan.
Tahapan-tahapan tersebut meliputi:
1.
Identifikasi masalah
Identifikasi masalah merupakan langkah pertama yang dilakukan saat
penelitian berlangsung sehingga dapat mengangkat permasalahan secara jelas
dan terarah.
2.
Studi literatur
Kajian literatur merupakan bagian dari studi yang bertujuan untuk
mengumpulkan dan menganalisa data sekunder dari instansi terkait, hasil
penelitian, jurnal, dan literatur lain.
3.
Perumusan masalah
Perumusan masalah menjabarkan kembali inti dari permasalahan yang
teridentifikasi kemudian menuangkannya ke dalam satu lingkup permasalahan
yang spesifik.
4.
Perumusan tujuan penelitian
Penentuan tujuan penelitian sebagai acuan untuk mengarahkan dan
5.
Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data kualitatif dan
data kuantitatif, baik yang berupa data primer maupun data sekunder.
Data Primer 1. Hasil Wawancara 2. Rekap Hasil Kuesioner
Data Sekunder
1. Data historis mengenai supply chain
2.Gambaran umum perusahaan Identifikasi Masalah
- Meningkatnya kepedulian konsumen terhadap lingkungan
-Perlunya upaya memenuhi persyaratan ekspor terkait lingkungan guna meningkatkan daya saing
Kesimpulan dan Saran
Pengolahan Data ANP
1. Struktur kriteria dan subkriteria green supply chain 2. Desain network green supply chain
3. Validasi network green supply chain 4. Kuesioner perbandingan berpasangan 5. Perhitungan rata-rata bobot kriteria kriteria 6. Perhitungan bobot parsial dan konsitensi matriks 7. Penyusunan supermatriks dengan Superdecitions
8. Perhitungan unweighted supermatrix, weighted supermatrix dan limit matrix dengan Superdecitions.
9. Prioritas kriteria dan subkriteria green supply chain
Analisis dan Evaluasi Pemecahan Masalah
Pengolahan Data ANP II
1. Struktur kriteria dan alternatif inisiatif green supply chain
2. Desain network inisiatif green supply chain
3. Validasi network green supply chain
4. Kuesioner perbandingan berpasangan 5. Perhitungan rata-rata bobot kriteria kriteria 6. Perhitungan bobot parsial dan konsitensi matriks 7. Penyusunan supermatriks dengan Superdecitions
8. Perhitungan unweighted supermatrix, weighted supermatrix dan limit matrix dengan Superdecitions.
9. Peringkat dari alternatif green supply chain
4.7.
Responden
Responden pada penelitian ini adalah manager serta staf-staf perusahaan
yang memahami tentang
supply chain
perusahaan dan ekspertis di bidang
supply
chain
dari perguruan . Responden pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Responden Penelitian
No. Responden Jumlah
1 Manajer Logistik 1
2 Manager Produksi 1
3 Kepala Bagian Production Planning Control 1 4 Ekpertis di bidang supply chain dari
Universitas Andalas 1
5 Ekpertis di bidang supply chain dari
Universitas Marcubuana 1 5
Teknik
sampling
yang digunakan adalah
judgement sampling
yang
merupakan teknik penarikan sampel yang dilakukan berdasarkan karakteristik
yang ditetapkan terhadap elemen populasi target yang disesuaikan dengan tujuan
atau masalah penelitian.
4.8.
Pengumpulan Data
4.8.1. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas dua sebagai
berikut.
1.
Data Primer.
Data primer merupakan data yang diperoleh dengan cara menggali secara
digunakan dalam penelitian awal adalah data mengenai kriteria, subkriteria dan
hubungan
network
. Sedangkan data lanjutan untuk penelitian lanjutan adalah
derajat hubungan kriteria (
matriks pairwaise
) dan nilai interval untuk penilaian
supply chain
.
2.
Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dengan mengambil dari
dokumen perusahaan. Data sekunder pada penelitian ini terdiri dari data
historis bahan baku, dan data historis kapasitas olah pabrik, data ekspor
perusahaan, dan gambaran umum perusahaan.
4.8.2. Metode Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.
Teknik observasi, yaitu dengan melakukan pengamatan secara langsung ke
PT. Pacific Palmindo Industri untuk mengetahui proses aliran bahan baku
supply chain
yang dilakukan oleh perusahaan dan mengumpulkan data-data
yang dibutuhkan terkait dengan penelitian.
2.
Teknik wawancara, yaitu dengan melakukan wawancara pada pihak-pihak
yang terkait dengan
green supply chain
sesuai dengan kebutuhan penelitian.
3.
Teknik kepustakaan (studi literatur), yaitu dengan mengumpulkan dan
mempelajari teori-teori dari buku dan mencari informasi dari jurnal yang
berkaitan dengan pemecahan masalah tentang metode ANP sesuai dengan
4.9.
Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Berikut ini adalah instrumen penelitian untuk pengumpulan data.
a.
Penentuan kriteria
Penentuan kriteria
green supply chain
dilakukan dengan teknik wawancara
dilakukan kepada pihak yang terkait dalam
supply chain
bahan baku.
Instrumen wawancara yang digunakan adalah kuesioner tertutup yang
disusun berdasarkan hasil ketentuan dari para ahli.
b.
Penentuan Subkriteria
Subkriteria yang relevan diperoleh dengan teknis wawancara dengan
instrumen kuisioner semi terbuka pada responden yang sama yaitu pihak
yang terkait dalam
supply chain
bahan baku.
c.
Penentuan Hubungan Antara kriteria dan subkriteria
Kriteria dan subkriteria yang terpilih ditentukan hubungannya dengan cara
mewawancarai pihak ahli. Berdasarkan hasil wawancara ini dapat
dibangun struktur jaringan (
network
)
supply chain
.
d.
Perbandingan berpasangan antar kluster, sub kriteria dan alternatif.
Pada tahap ini dilakukan wawancara dan instrumen yang digunakan
kuisioner perbandingan berpasangan (kuisioner ANP) yang disebarkan
kepada responden pihak yang terkait dalam
green supply chain
.
Pengolahan data dilakukan dengan metode ANP. Pengolahan data dengan
ANP dilakukan dengan menghitung bobot setiap variabel untuk setiap
green
supply chain
dengan menggunakan hasil keterkaitan jaringan dari metode ANP.
Analisis pemecahan masalah dilakukan berdasarkan hasil yang diperoleh
dari pengolahan data dengan ANP, kemudian diberikan usulan mengenai
rancangan strategi penerapan
green supply chain
.
4.11.
Analisis Pemecahan Masalah
Analisis pemecahan masalah berawal dari pengukuran yang dilakukan
dengan metode ANP dan kemudian diberikan usulan strategi
green supply chain
.
4.12.
Kesimpulan dan Saran
Langkah akhir yang dilakukan adalah penarikan kesimpulan yang berisi
hal-hal penting dalam penelitian tersebut dan pemberian saran untuk penelitian
BAB V
PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
5.1.
Pengumpulan Data Kriteria dan Subkriteria
Supply Chain
Kriteria yang digunakan berdasarkan referensi penelitian terdahulu.
Terdapat 3 (empat) kriteria penilaian kinerja yang digunakan yaitu. tekanan dan
isu yang dihadapi, sumber-sumber penting, dan Nilai-nilai kompetitif. penentuan
subkriteria juga digunakan penelitian terdahulu, adapun kriteria dan subkriteria
yang digunakan adalah sebagai berikut.
Tabel 5.1 Kriteria dan Subkriteria
NO Kriteria Subkriteria
1 Tekanan dan isu
3. Perubahan yang mendistrupsi 3. Keunggulan
kompetitif (K)
1. Pengurangan biaya
5.2.
Pembuatan Struktur Jaringan (
Network)
Pembuatan struktur jaringan (
network
) merupakan tahapan yang sangat
penting di dalam proses
Analytic Network Process
. Pada tahap ini setiap Kriteria
dan Subkriteria akan ditentukan apakah mempengaruhi satu dengan yang lain.
Penentuan hubungan pengaruh antara Sub-Kriteria ini dilakukan dengan
cara wawancara dengan manager. Instrumen yang digunakan yakni berupa
kuisioner tertutup. Ketiga responden tersebut harus menentukan apakah
Sub-Kriteria pada bagian kiri memiliki pengaruh terhadap Sub-Sub-Kriteria bagian atas
yang dibandingkan.
Tabel 5.2. berikut ini menunjukkan keterangan subkriteria yang
dibandingkan.
Tabel 5.2 Keterangan Subkriteria yang Dibandingkan
Notasi
Keterangan
Tekanan
institusional(T)
T-1
Tuntutan Regulasi
T-2
Keinginan pelanggan
T-3
Tuntutan persaingan
T-4
Tuntutan Sosial
Sumberday inti (S)
S-1
Perbaikan berkelanjutan
S-2
Integrasi stakeholder
S-3
Perubahan yang mendistrupsi
Keunggulan kompetitif
(K)
K-1
Pengurangan biaya
K-2
Membangun reputasi dan legitimasi
Sehingga hubungan antar subkriteria yang dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Hubungan Antar Subkriteria
Tekanan Institusional (T) Sumberdaya inti (S)
Berdasarkan hubungan antara Sub-Kriteria yang ditunjukkan dari Tabel
Gambar 5.1 Struktur Jaringan (
Network
)
5.3. Pembuatan Kuesioner Perbandingan Berpasangan
Kuesioner perbandingan berpasangan digunakan untuk memberi bobot
untuk masing-masing Kriteria dan Sub-Kriteria sehingga dapat diketahui dari
perspektif mana yang memiliki bobot Kriteria tertinggi. Kuisioner ini memiliki 2
bagian yakni perbandingan berpasangan antara Kriteria, perbandingan
berpasangan antara Sub-Kriteria. Di bawah ini menunjukkan perbandingan
berpasangan antara Kriteria yang digunakan.
Tabel 5.4 Perbandingan Berpasangan antara Kriteria Tekanan Institusional
Kriteria 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kriteria
Tekanan
Institusional Sumberdaya inti
Tekanan Institusional
Keunggulan Kompetitif
Sumberdaya inti Keunggulan
Keterangan penilaian perbandingan berpasangan di atas dapat dilihat pada Tabel
5.5. Kuisioner dapat dilihat pada Lampiran.
Tabel 5.5 Skala Perbandingan Berpasangan
Intensitas Kepentingan
Definisi
1
Kedua elemen sama penting
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting ketimbang lainnya
5
Elemen yang satu essensial atau sangat penting ketimbang
elemen lainnya
7
Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lain
9
Satu elemen mutlak lebih penting ketimbang elemen lainnya
2,4,6,8
Nilai antara dua pertimbangan berdekatan
5.4.
Pengolahan
Analytical Network Process
(ANP)
5.4.1. Perbandingan Berpasangan Antar Kluster
Perbandingan berpasangan kluster tekanan institusional dapat dilihat pada
tabel 5.6. Untuk masing-masing kluster kriteria yang lain dapat dilihat pada
Lampiran.
Tabel 5.6 Matriks Perbandingan Berpasangan Kluster Tekanan Institusional
Responden 1
Tekanan institusional Sumberdaya inti Keunggulan kompetitif Tekanan
institusional 1 3 3
Sumberdaya inti 1/3 1 3
Keunggulan
Tabel 5.6 Matriks Perbandingan Berpasangan Kluster Tekanan Institusional
(Lanjutan)
Responden 2
Tekanan institusional Sumberdaya inti Keunggulan kompetitif Tekanan
Tekanan institusional Sumberdaya inti Keunggulan kompetitif Tekanan
Tekanan institusional Sumberdaya inti Keunggulan kompetitif Tekanan
Tekanan institusional Sumberdaya inti Keunggulan kompetitif Tekanan
Cara perhitungan
Consistency Ratio
untuk matriks banding berpasangan Kriteria
Finansial ditampilkan sebagai berikut:
1.
Menghitung rata-rata pembobotan dengan cara menghitung rata-rata
Contoh untuk perhitungan rata-rata geometrik untuk perbandingan berpasangan
antara Kriteria tekanan institusional:
,32370
Perhitungan rata-rata geometrik untuk matriks perbandingang berpasangan diatas
ditampilkan pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7 Perhitungan Rata-Rata Geometrik untuk Perbandingan antara
Kriteria Tekanan Institusional
Tekanan institusional
Sumberdaya inti
Keunggulan kompetitif
Tekanan institusional 1.00000 3.32270 2.76632
Sumberdaya inti 0.30096 1.00000 1.14870
Keunggulan kompetitif 0.36149 0.87055 1.00000
Total 1.66245 5.19325 4.91502
Sumber: Hasil Pengolahan Data
2.
Masing-masing elemen kolom dibagi dengan jumlah kolom masing-masing.
Perhitungan matriks normalisasi dan bobot parsial kluster tekanan
institusional:
Perhitungan dapat dilihat pada tabel 5.8. yang dilanjutkan pada Lampiran untuk
Tabel 5.8 Matriks Normalisasi dan Bobot Parsial
institusional 0.60152 0.63981 0.56283 0.60139
Sumberdaya inti 0.18103 0.19256 0.23371 0.20243
Keunggulan
kompetitif 0.21744 0.16763 0.20346 0.19618
Total 1 1 1 1
Sumber: Hasil Pengolahan Data
3.
Menghitung rasio Konsistensi
(Matriks Perhitungan Rata-rata Geometrik) x (Vektor Bobot Tiap Baris)
1.00000 3.32270 2.76632
X
0.60139
=
1.81671
0.30096 1.00000 1.14870
0.20243
0.60878
0.36149 0.87055 1.00000
0.19618
0.58980
4.
Menghitung Konsistensi Vektor
(Rasio Konsistensi : Vektor bobot tiap baris)
1.81671
:
0.56230
=
3.02086
0.60878 0.18554 3.00728
0.58980 0.25215 3.00647
5.
Menghitung rata-rata entri (
λ
maks)
maks
7.
Menghitung
Consistency Ratio
(CR)
Didapatkan CR < 0,1 , maka jawaban responden konsisten. Perhitungan yang
sama dilakukan pada semua elemen antara Kriteria dan Sub-Kriteria.
Perbandingan berpasangan antara Kriteria lanjutan dapat dilihat sebagai berikut.
Tabel 5.9 Perbandingan Berpasangan Kluster Sumberdaya Inti
Responden 1
Tekanan institusional Sumberdaya inti
Tekanan institusional 1 2
Sumberdaya inti 1/2 1
Responden 2
Tekanan institusional Sumberdaya inti
Tekanan institusional 1 3
Sumberdaya inti 1/3 1
Responden 3
Tekanan institusional Sumberdaya inti
Tekanan institusional 1 3
Sumberdaya inti 1/3 1
Responden 4
Tekanan institusional Sumberdaya inti
Tekanan institusional 1 3
Sumberdaya inti 1/3 1
Responden 5
Tekanan institusional Sumberdaya inti
Tekanan institusional 1 3
Sumberdaya inti 1/3 1
Tabel 5.10 Perbandingan Berpasangan Kluster Keunggulan Kompetitif
Responden 1
Tekanan institusional Sumberdaya inti Keunggulan kompetitif Tekanan
Tekanan institusional Sumberdaya inti Keunggulan kompetitif Tekanan
Tekanan institusional Sumberdaya inti Keunggulan kompetitif Tekanan
Tekanan institusional Sumberdaya inti Keunggulan kompetitif Tekanan
5.4.2. Perbandingan Berpasangan Antara Sub-Kriteria
Perbandingan berpasangan antara Sub-Kriteria disusun berdasarkan
hubungan
inner dependence
dan
outer dependence
yang mempengaruhi setiap
Kriteria yang dibandingkan. Hubungan
inner dependence
merupakan hubungan
yang menunjukkan keterkaitan antara Sub-Kriteria dalam Kriteria yang sama
sedangkan hubungan
outer dependence
menunjukkan keterkaitan antara
Sub-Kriteria dalam Sub-Kriteria yang berbeda. Terdapat 10 Sub-Sub-Kriteria yang akan
dibandingkan berdasarkan Kriterianya yang dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 5.11 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Tuntutan Regulasi (T-1)
pada Kluster Tekanan Institusional
Responden 1
T-1 T-2 T-3 T-4
T-2 1 3 5
T-3 1/3 1 5
T-4 1/5 1/5 1
Responden 2
T-1 T-2 T-3 T-4
T-2 1 1/3 1/3
T-3 3 1 5
T-4 3 1/5 1
Responden 3
T-1 T-2 T-3 T-4
T-2 1 1/2 2
T-3 2 1 1/3
Tabel 5.11 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Tuntutan Regulasi (T-1)
pada Kluster Tekanan Institusional (Lanjutan)
Responden 4
Tabel 5.12 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Keinginan Pelanggan
(T-2) pada Kluster Tekanan Institusional
Tabel 5.12 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Keinginan Pelanggan
(T-2) pada Kluster Tekanan Institusional (Lanjutan)
Responden 5
Tabel 5.13 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Tuntutan Persaingan
(T-3) pada Kluster Tekanan Institusional
Tabel 5.14 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Tuntutan Sosial (T-4)
Tabel 5.15 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Perbaikan Berkelanjutan
(S-1) pada Kluster Sumberdaya Inti
Responden 1
S-1 S-2 S-3
S-2 1 7
Tabel 5.15 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Perbaikan Berkelanjutan
(S-1) pada Kluster Sumberdaya Inti (Lanjutan)
Responden 2
Tabel 5.16 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Integrasi Stakeholder
(S-2) pada Kluster Sumberdaya Inti
Tabel 5.16 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Integrasi Stakeholder
(S-2) pada Kluster Sumberdaya Inti (lanjutan)
Responden 4
Tabel 5.17 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Perubahan yang
Mendistrupsi (S-3) pada Kluster Sumberdaya Inti
Tabel 5.18 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Biaya yang Rendah
(K-1) pada Kluster Keunggulan Kompetitif
Responden 1
Tabel 5.19 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Reputasi dan Legitimasi
(K-2) pada Kluster Keunggulan Kompetitif
Tabel 5.19 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Reputasi dan Legitimasi
(K-2) pada Kluster Keunggulan Kompetitif (Lanjutan)
Responden 3
Tabel 5.20 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Reputasi dan Legitimasi
(K-2) pada Kluster Tekanan Institusional
Tabel 5.21 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Reputasi dan Legitimasi
(K-2) pada Kluster Sumberdaya Inti
Responden 1
Tabel 5.22 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Posisi Perusahaan di
Masa Depan (K-3) pada Kluster Keunggulan Kompetitif
Tabel 5.22 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Posisi Perusahaan di
Masa Depan (K-3) pada Kluster Keunggulan Kompetitif (Lanjutan)
Responden 3
Tabel 5.23 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Posisi Perusahaan di
Masa Depan (K-3) pada Kluster Sumberdaya Inti
Tabel 5.23 Perbandingan Berpasangan Subkriteria Posisi Perusahaan di
Masa Depan (K-3) pada Kluster Sumberdaya Inti (Lanjutan)
Responden 5
K-3 S-1 S-2
S-1 1 2
S-2 1/2 1
Sumber: Hasil Pengumpulan Data
5.4.3. Perhitungan Rata-Rata Geometrik Antar Kriteria dan Subkriteria
Perhitungan rata-rata geometrik antar kriteria dapat dilihat pada Tabel 5.24 dan
Tabel 5.25 dan untuk subkriteria dapat dilihat pada Tabel 5.26 hingga Tabel 5.38.
Tabel 5.24 Perhitungan Rata-Rata Geometrik Sumberdaya inti
Tekanan institusional
Sumberdaya inti Tekanan institusional 1.00000 2.76632
Sumberdaya inti 0.36149 1.00000 Sumber: Hasil Pengolahan Data
Tabel 5.25 Perhitungan Rata-Rata Geometrik keunggulan Kompetitif
Tekanan Tekanan institusional 1.00000 0.75786 1.88818
Sumberdaya inti 1.31951 1.00000 0.71371 Keunggulan kompetitif 0.52961 1.21976 1.00000
Total 2.84912 2.97761 3.60188
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Tabel 5.26 Perhitungan Rata-Rata Geometrik pada Subkriteria Tuntutan
Regulasi (T-1) pada Kluster Tekanan Institusional
T-2 T-3 T-4
Tabel 5.27 Perhitungan Rata-Rata Geometrik pada Keinginan Pelanggan
(T-2) pada Kluster Tekanan Institusional
T-1 T-3 T-4
Tabel 5.28 Perhitungan Rata-Rata Geometrik pada Subkriteria Tuntutan
Persaingan (T-3) pada Kluster Tekanan Institusional
T-1 T-2 T-4
Tabel 5.29. Perhitungan Rata-Rata Geometrik pada Subkriteria Tuntutan
Sosial (T-4) pada Kluster Tekanan Institusional
T-1 T-2 T-3
T-1 1.00000 1.33032 2.14113 T-2 0.75170 1.00000 1.75537 T-3 0.46704 0.56968 1.00000 Total 2.21874 2.900004 4.896502
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Tabel 5.30 Perhitungan Rata-Rata Geometrik pada Subkriteria Perbaikan
Berkelanjutan (S-1) pada Kluster Sumberdaya Inti
S-2 S-3
S-2 1.00000 2.33894 S-3 0.42754 1.00000 Total 1.42754 3.33894