• Tidak ada hasil yang ditemukan

B1J010005 10.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "B1J010005 10."

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

3

I. PENDAHULUAN

Di Indonesia, singkong menjadi makanan bahan pangan pokok setelah beras dan jagung (Rahmat, 1997). Negara-negara sentra produsen singkong adalah Thailand dan Suriname, sedangkan sentra utama produsen singkong di Indonesia ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Salah satu produsen penghasil singkong di wilayah Provinsi Jawa Tengah adalah Kabupaten Cilacap. Kabupaten Cilacap mempunyai luas wilayah 225.361 Km2. Topografi wilayah Kabupaten Cilacap terdiri dari permukaan landai dan perbukitan dengan ketinggian antara 6-198 m dpl dengan curah hujan rata-rata 2183 mm/tahun dan suhu rata-rata 30,20 -34,20 oC , sehingga maerupakan daerah yang tergolong cukup kering (Anonim, 2011).

Crooker (1985) mengemukakan bahwa kondisi lingkungan seperti kelembaban udara yang rendah dan suhu yang tinggi akan menyebabkan terjadinya peningkatan populasi tungau hama. Serangan tungau hama ini salah satunya yang dapat menyebabkan produksi singkong mengalami penurunan.

Salah satu hama tanaman singkong adalah tungau merah (Tetranychus urticae). Hama ini hanya menyerang pada musim kemarau dan menyebabkan rontoknya daun. Petani hanya menganggap keadaan tersebut sebagai akibat kekeringan. Penelitian menunjukkan penurunan hasil akibat serangan hama ini dapat mencapai 20 53%, bergantung pada umur tanaman dan lama serangan (Pracaya, 2008).

Tungau hama T.urticae dapat dikendalikan secara alamiah oleh berbagai tungau predator familia Phytoseiidae yaitu salah satunya dari jenis Phytoseius sp. namun akibat pemanasan global dan perubahan musim telah menyebabkan menyebabkan menurunnya biodiversitas dan diversifikasi pengendalian alamiah (Budianto dan Munadjat, 2012). Mengatasi hal tersebut, digunakan teknik pengendalian secara hayati yang menggunakan agensia alamiah dalam mengendalikan serangan hama, untuk mengoptimalkan pengendalian secara hayati dapat diterapkan dengan berbagai teknik pengendalian tergantung pada jenis hama sasaran dan daerah operasionalnya. Salah satu usaha untuk mengoptimalkan pengendalian secara hayati dapat dilakukan dengan teknik augmentasi (Widnyana, 2011).

(2)

4

pelepasan musuh alami dilakukan hanya satu kali dalam satu musim atau dalam satu tahun dengan tujuan agar musuh alami tersebut dapat mengadakan kolonisasi ( Herlinda, 2002). Berdasarkan hal tersebut, teknik pelepasan augmentasi inundatif berpotensi di kembangkan untuk mengendalikan populasi hama di lapangan secara cepat, mengingat konsdisi lingkungan di lapangan (Cilacap) yang merupakan daerah pantai yang tergolong kering, sehingga memungkinkan populasi tungau hamaT.urticaeberkembang cepat.

Biinns et al., (2000) dalam Anshary dan Pasaru (2008), mengemukakan bahwa dalam produksi massal agensia alami harus mampu memproduksi dalam jumlah yang di inginkan dan waktu yang tepat. Guna mengoptimalkan teknik pelepasan masal predator ini, diperlukan perhitungan jumlah awal individu T.urticae dan Phyoseius sp. pada setiap sekelompok tanaman singkong yang tersampling untuk menentukan jumlah pelepasan

Phytoseius sp. ke lapangan. Rasio dasar (kontrol) pelepasan predator Phytoseius sp.:

T.urticae yang digunakan berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan yaitu 1:4, sebagai acuan pembanding dalam pelepasan augmentasi inundatifPhytoseiussp. pada setiap perlakuan. Perlakuan yang diujicobakan terdiri dari 3 perlakuan yaitu augmentasi inundatif dengan jumlah tungau predatorPhytoseiussp. kontrol (K1), augmentasi inundatif dengan jumlah tungau predator Phytoseius sp. rendah (K2), dan augmentasi inundatif dengan jumlah tungau predator Phytoseius sp. tinggi (K3), sehingga diharapkan dapat mengetahui perlakuan mana yang paling efektif dalam pengendalianT.urticaedi lapangan.

Berdasarkan asumsi-asumsi yang dikemukakan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan, yaitu apakah augmentasi inundatif tungau predator Phytoseius sp. efektif dalam mengendalikan T.urticae pada tanaman singkong di daerah Cilacap dan berapa kepadatan augmentasi inundatif tungau predator Phytoseius sp. yang efektif dalam mengendalikan tungauT.urticaepada tanaman singkong di daerah Cilacap.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam mengatasi permasalahan serangan serangga hama, petani disana umumnya menggunakan insektisida sebagai sarana alternatif untuk mengendalikan atau menekan

Salah satu upaya meningkatkan pengeta- huan, ketrampilan dan sikap petani untuk mene- rapkan teknologi pengendalian hama terpadu utama dengan menggunakan agensia hayati pada

Kondisi serangan penyakit busuk buah pada tanaman kakao sebelum dan sesudah dilakukan pengendalian dengan agensia hayati disajikan pada Gambar 2a dan 2b.. Menurut

Salah satu agensia hayati yang digunakan untuk mengendalikan C.binotalis adalah bakteri Bacillus thuringiensis yaitu bakteri yang sangat potensial dalam

Untung (2001) menyatakan bahwa prinsip penggunaan pestisida adalah harus kompatibel dengan komponen pengendalian lain seperti komponen hayati, efisien untuk mengendalikan

ini dihasilkannya suatu pengendalian secara hayati dengan cara menggunakan jamur entomopatogen untuk mengendalikan hama kutudaun serta pengaruhnya terhadap musuh

Pengendalian • Membungkus setiap buah kakao agar terhindar dari serangan hama penggerek buah, Conopomorpha cramerella • Eradikasi tanaman yang terserang • Pengendalian hayati dengan:

Perlakuan pestisida hayati berbahan aktif Bacillus thuringiensis dapat mengendalikan serangan hama sehingga terlihat tanaman lebih tinggi, diameter batang lebih besar, luas daun paling