• Tidak ada hasil yang ditemukan

VILSUALITAS DAN GAGAP VISUAL Agus Nur Se

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "VILSUALITAS DAN GAGAP VISUAL Agus Nur Se"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

VILSUALITAS DAN GAGAP VISUAL

Agus Nur Setyawan, seni rupa murni, FSSR-UNS

abstrak

Bersamaan kemunculan media televisi, upaya perwujudan citra rupa (visualitas) semakin gencar, sekaligus menandai lahirnya kesadaran akan perwujudan rupa (visual literacy) serta memperkaya perwujudan budaya rupa (visual culture) dalam kehidupan sehari-hari kita. Pada kenyataannya, media pandang dengar yang memiliki kemampuan menyihir pemirsanya melalui sejumlah penayangan citra bergerak dan bersuara itu, disadari atau tidak, operasionalisasinya menghadirkan realitas semu ke hadapan pemirsa, yang ironisnya juga ditanggapi secara gagap oleh lembaga penyiarnya sendiri (broadcaster). Sebagaimana dapat kita simak, kemampuan media tv untuk menayangkan siaran dari tempat persitiwa di mana kejadiannya sedang berlangsung (realtime), juga mampu menayangkan hasil rekaman dari peristiwa-peristiwa yang telah “dibekukan” (froozen) citraannya. Model penayangan secara silih-berganti antara tayangan hasil rekaman dengan siaran langsung, senyatanya telah membingungkan pihak broadcast sendiri, sehingga dalam suatu tayangan siaran

langsung, merasa perlu untuk membubuhkan tulisan kata “live” untuk menunjukkan, bahwa yang sedang ditayangkan adalah benar-benar siaran langsung (real time).

Kata kunci: budaya rupa, media pandang dengar, realitas semu.

PENDAHULUAN

Tentu masih segar dalam ingatan pembaca, kehebohan masyarakat Indonesia (bahkan berlanjut ke mancanegara) berkenaan dengan beredarnya video rekaman adegan mesum tiga artis papan atas Indonesia pada medio 2010. Nyaris semua media massa tak bosan memberitakan, membahas, mempergunjingkan, baik pada rubrik berita, infoteinmen, bahkan dalam bentuk diskusi panel (talkshow). Sudah barang tentu beberapa dilengkapi dengan rekaman potongan adegan yang menunjang topik, meski dengan cara disamarkan (blurring). Namun apa yang kemudian menjadi kehebohan baru bagi pemirsa, ataupun pembaca, adalah munculnya frasa atau istilah, yang dalam pandangan penulis, menunjukkan adanya keraguan, kebimbangan, atau lebih lugas bisa dikatakan sebagai bentuk ke-gagap-an pihak pemberita/pewarta, dalam menyiarkan programnya. Yaitu munculnya istilah ”....mirip ...”, untuk tidak menyebut atau mengemukakan secara tegas realitas memori visual yang dimiliki penyedia berita, siapa sesungguhnya tokoh dan pelaku adegan dalam rekaman tersebut.

(2)

mulai dikenalkannya piranti elektronik televisi itu. Karena melalui kotak ajaib itu, masyarakat mulai mengenal apa yang disebut sebagai media pandang dengar, dimana

orang bisa menikmati informasi yang dikemas ke dalam bentuk perwujudan citra/gambar (visual image) bergerak secara kasatmata, yang dilengkapi suara. Televisi

Republik Indonesia (kemudian lebih dikenal sebagai TVRI), adalah lembaga penyiaran satu-satunya yang mendapatkan kewenangan penuh dari pemerintah untuk mengelola dan menyiarkan programnya dalam beragam bentuk tayangan. Sudah barang tentu TVRI kemudian menjadi andalan masyarakat dalam mendapatkan informasi, baik berupa hiburan, pendidikan, maupun berita-berita, yang meskipun dihadirkan dalam bentuk sajian masih hitam putih, bagaimana pun tetap memikat orang untuk menontonnya.

Dalam konteks budaya, mulai dekade inilah masyarakat Indonesia memasuki suatu era baru dimana informasi menjadi suatu komoditas penting, yang digemborkan pemasarannya secara tidak langsung oleh Alvin Tofler dengan diberi label, ....”siapa

yang mampu menguasai informasi, dialah yang akan menguasai dunia...”. 1) Siap atau

tidak, kemudian masyarakat Indonesia mulai memasuki suatu jaman dimana kesadaran akan kebenaran yang selama ini dipahaminya, dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan baru, penafsiran-penafsiran ulang terhadap sejumlah nilai budaya: doktrin norma, budi pekerti, kesadaran tentang realitas ruang dan waktu, demikian halnya dengan sejumlah pranata sosial, bersamaan dengan “dirobohkannya” sekat-sekat batas

negara, wilayah budaya serta relasi sosial, bahkan dewasa ini kemudian menerobos ke ranah ruang privasi, yang meski mungkin masih berjalan agak lambat, namun pasti

menuju ke suatu situasi yang disebut sebagai globalisme.2)

(3)

Pada gilirannya, mudah diduga bahwa kondisi di atas akan membawa sejumlah konsekuensi yang timbul, dan tak terelakkan sifatnya. Yakni dalam konteks waktu.

Sebagaimana dapat kita saksikan, televisi sebagai media massa yang mengandalkan citra gambar bergerak sebagai materi utamanya, maka adanya perubahan citra gambar

itu sendirilah yang harus menjadi filosofi dan ideologi kerjanya. Tidaklah lucu kalau sebuah stasiun penyiaran hanya menyajikan citra/gambar statis yang hanya diberi latar suara, sebagaimana kita kenal dulu pada pertunjukan wayang beber.3) Ideologi perubahan sebagai paradigma menstimuli munculnya sikap dan perilaku para pelaku dan pemangku kepentingan untuk menjaga, bahkan mensukseskan berlangsungnya dinamika ideologi ini. Situasi ini yang kemudian melahirkan adanya ritme atau irama gambar. Dan kondisi semacam ini, yang dilakukan secara sistematis, berulang terus-menerus, membawa konsekuensi lahirnya suatu pemahaman baru perihal konsep waktu. Orang kemudian mengalami suatu peningkatan apresiasi terhadap waktu, dan pengalaman yang paling kuat kita rasakan dewasa ini, yang sudah sedemikian kenyang dengan model perubahan fenomena gambar begitu cepat, akhirnya mudah tak puas dengan gejala-gejala visualitas bergerak yang bertempo lambat.

Dari apa yang diuraikan di atas, boleh dikata baru salah satu saja dari aspek munculnya visualitas melalui media televisi, telah secara kuat dan nyata, memberikan pengaruh yang tak terelakkan terhadap pola pikir, sikap dan demikian pula cara kita menafsir terhadap gejala-gejala visual, yang selama ini menjadi kekayaan intelektual

dan budaya kita. Adalah wajar apabila kemudian orang menjadi khawatir, bahwa globalisme sebagai akibat dari kekuatan daya tembus arus informasi yang menyusup

melalui evolusi atau revolusi (?) visualitas ini, akan mengancam bukan saja kehidupan kekayaan budaya tradisi, melalui terlindasnya kesenian-kesenian tradisi terutama yang kita tahu banyak yang bertempo lambat dalam durasi waktu, tetapi juga norma-norma, serta tata nilai kehidupan suatu komunitas atau bangsa, yang selama ini menjadi tatanan dan panduan hidup kita.

FENOMENA VISUALITAS LAYAR KACA

(4)

menjadi andalan utama masyarakat dalam mengakses arus informasi. Dibanding media massa cetak, media televisi memang memiliki keunggulan sendiri, utamanya dalam

konsep ruang dan waktu. Maksudnya, dari manapun informasi diakses peristiwa yang sama dapat diikuti kejadiannya pada waktu yang bersamaan (real time). Sementara

media massa cetak, dari aspek konsep ruang dan waktu memiliki keterbatasan, yakni peristiwa yang diberitakan membutuhkan sekian waktu untuk sampai ke tangan

pembaca, sehingga berita yang tersaji dapat dikatakan sebagai “sudah basi”.

Sebagaimana kita tahu, informasi yang tersaji di ruang dan halaman koran, adalah laporan-laporan berita dari peristiwa yang terjadi kemarin. Sebaliknya, media elektronik dengan konsep live streaming-nya, mampu membuat tayangan siaran langsung secara on the spot, dari lokasi kejadian, sehingga peristiwanya dapat langsung diakses dari

manapun melalui gagdet yang menunjang untuk itu.

Namun demikian, masih dalam konsep waktu, berita-berita yang ditayangkan media televisi itu secara cepat pula akan segera berlalu dan digantikan oleh berita baru lainnya. Sehingga bagi yang tak sempat mengikutinya akan merasa tertinggal berita. Bahkan Meskipun berita yang ditayangkan adalah hasil rekaman sekian waktu yang lalu. Sementara pada koran, telah akan dibekukan (frozzen) dokumennya, sehingga dapat dibaca ulang kapanpun kita mau dan dibaca di manapun.

Apa yang ingin diuraikan dalam pembahasan ini bukan bersangkut paut dengan persoalan di atas. Kajian terutama justru diarahkan terhadap issue, bagaimana televisi

sebagai alat lahirnya model visualitas baru, telah dan akan terus-menerus menghari-biru pemahaman kita terhadap kesadaran visual (visual literacy),4) serta terhadap menggejalanya budaya visual (visual culture)5) dalam kehidupan mutakhir kita. Media

(5)

sepanjang sisa waktu yang ada dihabiskan hanya untuk tidak melakukan aktifitas apapun di depan kotak ajaib. Dan jangan lupa, orang yang menonton cenderung tidak

berbuat apapun, alias pasif dan tidak memproduksi apa pun kecuali imajinasi yang terperangkap dalam alur tayangan. Repotnya, apa yang tersaji di hadapannya dan

di-“kunyah”-nya sebagai konsumsi hiburan, yang hadir sebagai ikhtiar penggambaran (visualitas), tidak semuanya adalah realitas yang memuat kebenaran hakiki.

Pada dasarnya upaya visualitas telah dimulai bersamaan dengan munculnya kesadaran manusia untuk mengungkapkan ekspresi simbolisnya dalam perwujudan citra kasatmata (berupa gambar/visual) pada dinding-dinding gua yang ditemukan di gua Lascaux, Prancis7) yang selama ini dipecaya sebagai citra visual tertua yang pernah ditemukan. Revolusi visualitas kemudian mencatat temuan penting berupa kamera (camera) yang dewasa ini sudah menjadi kelengkapan sehari-hari yang menyatu dengan gagdet telepon seluler, yang bisa dikatakan nyaris setiap orang memilikinya. Melalui camera inilah banyak kejadian dan peristiwa “dibekukan” dan

“diabadikan”, yang kemudian menjadi objek visual, yang secara jelas merupakan hasil

tangkapan gambar yang telah berlalu persitiwanya.

Namun berbeda dengan camera di atas (still photo camera), keberadaan camera video melahirkan dan menawarkan konsep pemahaman baru, bagaimana kejadian yang berlangsung di ruang yang berjauhan, pada saat dan waktu yang bersamaan

dapat langsung diikuti dan dilihat peristiwa oleh orang yang berada pada belahan dunia lain (pada ruang yang lain), melalui apa yang disebut dengan live streaming video.8)

Sebagaimana dapat kita simak kemudian, pada beberapa minggu menjelang akhir tahun 2010, atau tepatnya di bulan Oktober 2010, masyarakat Indonesia pada umumnya, diaduk-aduk perasaannya oleh pemberitaan medai tv perihal musibah tsunami di Mentawai, Sumatera Barat. Disusul kemudian bencana erupsi gunung Merapi yang meluluh-lantakkan wilayah pemukiman sebagian warga Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bersamaan dengan ini, pada rumah-rumah

(6)

tahu perkembangan terkini dari situasi gunung Merapi dan aktifitasnya, sebagai tindakan antisipisai dari kemungkinan terdampak bencana.

Pada kenyataannya, rasa ingin tahu publik tak selalu mudah mendapatkan jawaban. Apalagi terpuaskan rasa ingin tahunya. Memang setidaknya ada dua media

penyiaran tv yang nyaris terus-menerus menyajikan pemberitaan seputar perkembangan Merapi. Namun menu tayangannya tak selalu berupa berita mutakhir dari lapangan yang dilengkapi ilustrasi gambar terkini. Sebaliknya tetapi malah berupa gambar-gambar rekaman yang diputar berulang-ulang. Apa yang dipaparkan di atas pada akhirnya bukanlah sajian realitas kebenaran berita (sebagaimana diharapkan pemirsa).

Pada bagian lain penayangan, realitas visual disajikan, sebagaimana dapat disimak pada pemberitaannya tentang penangkapan seorang tokoh politik atau pejabat yang diduga korup, atau selebriti yang digelandang aparat karena tertangkap basah karena perbuatan a-susilanya, dalam pandangan awam masyarakat kita, keduanya (perbuatan korup dan a-susila) merupakan perbuatan kriminal yang dalam pandangan masyarakat merupakan suatu aib. Namun apa yang kita saksikan di layar justru lambaian tangan para tersangka, dengan ekspresi wajah tanpa dosa, bahkan menyunggingkan senyuman, seolah tak terjadi apa-apa pada dirinya. Sebaliknya, dengan ekspresinya itu, dengan jelas nampak adanya kesadaran diri, bahwa ia sedang dalam sorotan mata camera, sehingga kesempatan itu layak dimanfaatkan untuk

menyapa para pemirsa.

Tak mudah ditebak, apa yang sebenarnya terjadi dalam benak para tersangka,

dengan bahasa tubuhnya itu. Namun satu hal jelas, realitas adegan yang sedang berlangsung di layar kaca, disadari atau tidak oleh para pelakunya, telah menyajikan suatu realitas kebenaran tandingan dengan realitas sistem nilai yang masih berlaku di masyarakat. Utamanya bersangkut-paut dengan nilai-nilai kebenaran moralitas dan norma kepatutan di masyarakat. Dalam situasi yang nyaris serupa, gejala visualitas sebagaimana diilustrasikan di atas dapat dengan mudah kita temukan dalam sajian tayangan berita lain pada media tv kita, dalam bentuk-bentuk kemasan siaran lain.

(7)

terus-menerus berlangsung dan membombardir perbendaharaan nilai-nilai budaya kita. Lalu apa sebenarnya yang sedang berlangsung dengan realitas visualitas layar kaca kita?

Pada satu sisi, visualitas sebagaimana dihadirkan melalui layar kaca yang hadir di ruang-ruang keluarga kita, tak terelakkan telah menjadi menu utama konsumsi

informasi kita, yang telah dan masih akan terus-menerus menawarkan nilai-nilai baru, yang disadari atau tidak akan membawa masyarakat kita sampai kepada suatu kesadaran budaya visual (visual literacy) yang baru pula, namun pada sisi lain keadaan ini juga masih akan dibarengi dan berjalan beriringan dengan ke-gagap-an visual oleh para pemangku kepentingannya.

Pada kenyataannya, media pandang dengar yang memiliki kemampuan menyihir pemirsanya melalui sejumlah penayangan citra bergerak dan bersuara itu, disadari atau tidak, dalam operasionalisasinya menghadirkan realitas semu ke hadapan pemirsa, yang ironisnya juga ditanggapi secara gagap oleh lembaga penyiarnya sendiri (broadcaster). Sebagaimana dapat kita simak, kemampuan media tv untuk menayangkan siaran langsung dari tempat persitiwa di mana kejadiannya sedang berlangsung (realtime), juga mampu menayangkan hasil rekaman dari

persitiwa-persitiwa yang telah “dibekukan” (froozen) citraannya. Model penayangan secara silih-berganti antara tayangan hasil rekaman dengan siaran langsung, senyatanya telah membingungkan pihak broadcast sendiri, sehingga dalam suatu tayangan siaran

langsung, merasa perlu untuk membubuhkan tulisan kata “live” untuk menunjukkan, bahwa yang sedang ditayangkan adalah benar-benar real time.

Menjadi catatan penting rupanya, bahwa terdapat suatu realitas yang tak terelakkan, sebagai pihak pengelola media, broadcaster sendiri pun pada kenyataannya

mengalami ke-gagap-an dalam modus visualitasnya, ketika ia merasa perlu untuk

(8)

tuduhan hukum sebagai pencemaran nama baik), dengan memunculkan frasa/istilah

“mirip” untuk menyertai tayangan pemberitaan rekamannya.

Disadari atau tidak, “kotak ajaib” yang menghadirkan dan menyajikan sihir perupaan sebagai visualitas yang mengepung kehidupan sehari-hari kita hingga dewasa ini, pada kenyataannya bukanlah realitas kebenaran (virtual reality)

sebagaimana yang kita pahami sebagai nilai budaya kita selama ini. Bagaimana kita bisa menerima, bila produsen dari manipulasi susunan gambar dan suara yang canggih itu sendiri, merasa gamang dan gagap untuk menyertai hasil-hasil produksinya bertamu ke ruang-ruang keluarga kita?

Catatan akhir: 1)

Toffler, Alvin, 1984, The Third Wave, Bantam Books, USA. 2)

Periksa Globalisme/globalisasi dalam Yasraf Amir Piliang, 2004, Dunia yang Dilipat: Tamasya

Melampaaui Batas Batas Kebudayaan, Yogyakarta, Jalasutra.

3)

Davis Irvine, 1996, Leather Gods & Wooden Heroes, Java’s Classical Awayang, edisi cetak ulang 2005, Marshal Cavendish International –Asia-, private edition (wayang beber merupakan pengembangan wayang lontar, yang semula berbahan dasar kertas atau caita/kain dalam mana

kisah dan ceritera swayang ditulis digambarkan. pendongeng atau pendo’a akan

menghubungkan insiden-insiden dari cerita rakyat kepada audiens yang lebih besar, yang akan menikmati gambar yang dibeberkan. tentusaja gambarnya diam, dan suara diperankan oleh pengisah/pendongeng)

4)

lihat Elkins, James, 2009, Visual Literacy, Italilor & Francis, www.Routledge.com

5)

lihat Mirzoeff, Nicholas, 1999, an Introduction of Visual Culture, Routledge’s, London.

6)

Survey Nielsen yang dipublikasikan melalui Newsletter #7 Juli 2010. 7)

Gardner’s, 1980, Art Through the Ages, eventh edition, Harcourt Brace Jovanovich Publisher, San Diego, etc. P.24-31.

8)

merupakan teknologi perekaman gambar (plus suara) dengan menggunakan kamera video yang disiarkan dan dialirkan dengan memanfaatkan jaringan internet untuk diterima oleh pengguna akhir (end user) secara langsung (real time/live).

9)

rekaman gambar tidak dapat dipakai sebagai bukti hukum satu-satunya, lihat Bab I, Ketentuan Umum, pasal 1 Undang Undang Republik Indonesia no. 1 tahun 2006, yang berbunyi; ....Dokumen adalah alat bukti berupa data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

a. tulisan, suara, atau gambar; b. peta, desain, foto, atau sejenisnya;

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Bab V dalam Undang-Undang 41 Tahun 2004 merupakan pengembangan dari Undang- undang wakaf sebelumnya yang mengatur tentang pengelolaan harta wakaf, dimana kewajiban

Hasil perhitungan uji beda rata-rata pendapatan usahatani padi organik antara peserta SL-PTT dan non peserta SL-PTT diperoleh nilai signifikan lebih dari 0,05

Lawang Kidul Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang Sumatera Selatan. Sanggar ini merupakan sanggar tari yang mengajarkan tari tradisional, tari kreasi dan tari

Dari 3 jurnal di atas merupakan suatu referensi yang sangat berguna bagi penulis untuk membuat atau merancang suatu sistem pakar yang baru atau juga bisa di sebut suatu

Justeru, kajian ini adalah untuk mengenali dan mengkaji dengan lebih dekat penggiat seni ukiran kayu kontemporari yang telah menghasilkan banyak karya seni ukiran dan telah

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan.. hormonal yaitu terjadi reduksi

[r]