• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Hidden Curriculum Di SMP Negeri 2 Boja Kabupaten Kendal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Hidden Curriculum Di SMP Negeri 2 Boja Kabupaten Kendal"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep dan Substansi Teori

2.1.1 Hakekat Hidden Curriculum

2.1.1.1 Pengertian Kurikulum

Sebelum berbicara tentang pengembangan

hidden curriculum lebih luas, maka perlu terlebih

dahulu dijelaskan tentang konsep dasar dan hakikat

kurikulum itu sendiri.

Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin,

yaitu curriculae yang artinya adalah jarak yang

ditempuh oleh seorang pelari. Awalnya kurikulum

digunakan dalam dunia olah raga, yaitu curere artinya

tempat berpacu. Curriculum diartikan “jarak” yang

harus “ditempuh” oleh pelari. Istilah ini kemudian diterapkan dalam dunia pendidikan. Antara kurikulum

dalam istilah dunia olah raga memiliki kesamaan

penafsiran dalam dunia pendidikan, di mana dalam

dunia pendidikan kurikulum berhubungan erat dengan

usaha mengembangkan siswa untuk mencapai tujuan

yang diinginkan (Wina Sanjaya, 2008: 3).

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai

tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang

(2)

kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan

pendidikan tertentu. Sementara Sucipto dan Raflis

(dalam Rohiat, 2010: 22) mengemukakan kurikulum

dapat diartikan secara sempit dan luas. Dalam

pengertian sempit, kurikulum diartikan sebagai

sejumlah mata pelajaran yang diberikan di sekolah,

sedangkan dalam pengertian luas kurikulum adalah

semua pengalaman belajar yang diberikan sekolah

kepada siswa selama mereka mengikuti pendidikan di

sekolah. Dengan pengertian luas ini berarti segala

usaha sekolah untuk memberikan pengalaman belajar

kepada siswa dalam upaya menghasilkan lulusan yang

baiksecara kuantitatif maupun kualitatif tercakup

dalam pengertian kurikulum. Pandangan klasik dalam

penyusunan kurikulum yang masih digunakan sampai

saat ini adalah rasional Tyler (dalam Ella, 2007: 30)

yang mengemukakan pertanyaan sebab akibat yang

meliputi: 1) tujuan pendidikan apa yang harus dicapai

di sekolah?, 2) pengalaman pendidikan apakah yang

dapat disediakan untuk mencapai tujuan pendidikan?,

3) bagaimana pengalaman pendidikan ini dapat dikelola

secara efektif?, 4) bagaimana menentukan bahwa

(3)

Bila digambarkan pemikiran Tyler ini sebagai

berikut.

Gambar 1. Pemikiran Tyler (dalam Ella, 2007: 31)

Dari pengertian kurikulum menurut UU No. 20

Tahun 2003 dan Sucipto dan Raflis di atas

persamaannya adalah dalam mendefinisikan kurikulum

sebagai bahan pelajaran atau mata pelajaran di

sekolah. Perbedaan keduanya adalah pada UU No. 20

tidak menyebutkan pengalaman belajar peserta didik.

Persamaan antara pengertian kurikulum dalam UU No.

20 Tahun 2003 dan Tyler adalah keduanya

menjelaskan tentang tujuan dan pengelolaan

pendidikan, perbedaannya pada bahan pelajaran dan

evaluasi pencapaian tujuan pendidikan. Sementara

persamaan pengertian kurikulum pada Sucipto & Raflis

dan Tyler keduanya menyebutkan pengalaman belajar

peserta didik, sedangkan perbedaannya adalah pada

Sucipto & Raflis tidak dijabarkan tujuan, pengelolaan,

dan evaluasi pendidikan.

Berdasarkan pada definisi-definisi para ahli

tersebut, menunjukkan bahwa kurikulum diartikan

Tujuan

Pengalaman

(4)

tidak secara sempit atau terbatas pada mata

pelajaran saja, tetapi lebih luas daripada itu.

Sehingga dapat dipahami bahwa kurikulum

merupakan aktifitas apa saja yang dilakukan

sekolah dalam rangka mempengaruhi anak dalam

belajar untuk mencapai suatu tujuan, termasuk

didalamnya kegiatan pembelajaran, pengaturan isi,

bahan pelajaran dan strategi dalam pembelajaran,

cara evaluasi program pengembangan pembelajaran

dan lain-lain.

Terdapat dua hal yang dapat dipahami dalam

pengertian kurikulum, yaitu kurikulum pada aspek

program atau rencana, yang pada hakikatnya adalah

kurikulum ideal (ideal curriculum) dan kurikulum pada

aspek pengalaman belajar siswa, yang pada hakikatnya

adalah kurikulum faktual (actual curriculum) (Wina

Sanjaya, 2008: 22).

Ideal kurikulum merupakan kurikulum yang

menggambarkan suatu cita-cita dalam bidang

pendidikan. Maksud cita-cita di sini adalah sebuah

harapan dan keinginan. Oleh karena itu, apa yang

menjadi harapan yang direncanakan dalam kurikulum

yang sifatnya resmi pada hakikatnya adalah cita-cita

(idealisasi) tentang wujud hasil pendidikan yang ingin

dicapai. Kurikulum ideal merupakan kurikulum yang

diharapkan dapat dilaksanakan dan berfungsi sebagai

(5)

Sedangkan kurikulum faktual merupakan

kurikulum yang disajikan di hadapan kelas atau yang

dilaksanakan oleh guru di sekolah. Kurikulum faktual

ini merupakan penjabaran dari kurikulum resmi ke

dalam pengembangan program mengajar, dimana

kurikulum faktual secara riil dapat dilaksanakan oleh

guru sesuai dengan kondisi yang ada. Termasuk di

dalam kurikulum ini adalah hidden curriculum, karena

hidden curriculum disajikan dan dialami oleh peserta

didik di sekolah baik di kelas ataupun di luar kelas.

2.1.1.2 Tujuan Kurikulum

Kalau kita kaji secara mendalam tujuan

pendidikan yang selama ini dirumuskan, dalam

berbagai UU pendidikan nasional kita, akan

menemukan betapa pendidikan nasional diharapkan

untuk dapat melahirkan manusia Indonesia yang:

(1) religius dan bermoral;

(2) menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan;

(3) sehat jasmani dan rohani;

(4) berkepribadian dan bertanggung jawab.

Keempat karakteristik manusia yang

dirumuskan dalam Undang-Undang Pendidikan

Nasional tersebut hakekatnya adalah karakteristik yang

bersifat universal, yang masih perlu diterjemahkan ke

dalam rumusan yang operasional dan terkait dengan

(6)

masyarakat internasional pada umumnya. Wujud nyata

dari setiap karakteristik tersebut akan berbeda dalam

suatu tingkat perkembangan masyarakat dan tingkat

pendidikan. Karena itu dalam menterjemahkan

keempat karakteristik tersebut kedalam rumusan

wujud kemampuan, nilai, dan sikap yang dapat

dijadikan rujukan dalam proses perencanaan

kurikulum perlu dipahami tingkat dan arah

perkembangan masyarakat Indonesia.

Berangkat dari pemahaman tentang

karakteristik masyarakat modern di era globalisasi yang

perlu kita wujudkan dapatlah kiranya kita sampai

kepada identifikasi kemampuan, nilai dan sikap yang

perlu dikuasai dan dimiliki peserta didik terdidik yaitu:

(1) memiliki kemampuan, nilai dan sikap yang

memungkinkannya berpartisipasi secara aktif dan

cerdas dalam proses politik; (2) memiliki kemampuan,

etos kerja, dan disiplin kerja yang memungkinkannya

dapat secara aktif dan produktif berpartisipasi dalam

berbagai kegiatan ekonomi, (3) memiliki kemampuan

dan sikap ilmiah untuk dapat mengembangkan ilmu

pengetahuan dan teknologi melalui kemampuan

penelitian dan pengembangan, (4) memiliki kepribadian

yang mantap, berkarakter dan bermoral, serta

(7)

2.1.1.3 Komponen Kurikulum

Menurut Wina Sanjaya (2009: 59),

unsur-unsur yang merupakan komponen pokok kurikulum

terdiri dari empat jenis, yaitu:

1. Komponen Tujuan

Tujuan merupakan gambaran harapan, sasaran

yang menjadi acuan bagi semua aktivitas yang

dilakukan untuk mencapainya. Istilah yang lebih

populer saat ini yang digunakan sebagai padanan

tujuan, yaitu “Kompetensi”. Kompetensi merupakan

rumusan kemampuan berhubungan dengan aspek

pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus

direfleksikan dalam berfikir dan bertindak secara

konsisten.

Adapun jenis tujuan bisa dibedakan dari mulai

tujuan yang sangat umum dan bersifat jangka panjang

sampai pada tujuan lebih spesifik atau jangka pendek

(segera) dengan urutan sebagai berikut.

a. Tujuan Pendidikan Nasional

Tujuan pendidikan nasional merupakan sasaran

akhir yang harus menjadi inspirasi bagi setiap

penyelenggara pendidikan pada setiap jenjang, jalur

dan jenis pendidikan di seluruh Indonesia. Dalam

Undang-undang no. 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

(8)

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis

serta bertanggung jawab.

b. Tujuan Lembaga Pendidikan (Institusional)

Tujuan Lembaga Pendidikan merupakan

sasaran, harapan atau arah yang harus menjadi acuan

untuk dicapai oleh setiap lembaga pendidikan sesuai

dengan jalur, jenjang dan jenis pendidikannya. Istilah

yang digunakan saat ini sebagai padanan tujuan institusional ialah “Standar Kompetensi Lulusan/SKL” Misalnya tujuan lembaga pendidikan dasar ialah “Meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.” (Peraturan Mendiknas no. 23 Tahun 2006)

c. Tujuan Kurikuler (Mata pelajaran)

Tujuan Kurikuler merupakan

kemampuan/kompetensi yang harus dimiliki oleh

peserta didik setelah memelajari suatu mata pelajaran

atau kelompok mata pelajaran. Adapun istilah yang

(9)

d. Tujuan Pembelajaran (Instruksional)

Merupakan penjabaran lebih lanjut dari

standar kompetensi, yaitu rumusan

kemampuan/kompetensi (pengetahuan, sikap,

keterampilan) yang harus dimiliki secara segera dan

bisa diketahui hasilnya setelah setiap pembelajaran

berakhir. Istilah yang digunakan saat ini sebagai padanan tujuan pembelajaran adalah “kompetensi dasar dan indikator” pembelajaran.

2. Komponen Isi

Merupakan materi atau bahan ajar yang harus

dipelajari oleh peserta didik untuk mencapai

kompetensi yang diharapkan. Isi kurikulum sebagai

bahan ajar sebaiknya dikembangkan dari berbagai

sumber yang luas dan bervariasi (cetak, noncetak,

web) baik yang sengaja dipersiapkan (by design)

maupun yang dimanfaatkan (by utilization).

a. Komponen Metode/Strategi

Merupakan pendekatan, strategi, dan sistem

pengelolaan pendidikan/ pembelajaran yang

dilakukan di setiap lembaga pendidikan, sehingga

program atau kurikulum yang telah ditetapkan dapat

berjalan secara efektif, efisien, dan akuntabel.

b. Komponen Evaluasi

Merupakan alat ukur untuk mengetahui

keterlaksanaan program dan tingkat keberhasilan

(10)

telah ditetapkan oleh kurikulum. Alat evaluasi

kurikulum harus ditetapkan secara valid dan dapat

menilai seluruh aspek kurikulum (proses dan hasil).

Keempat komponen kurikulum (Tujuan, Isi,

Metode, Evaluasi) merupakan suatu kesatuan yang

terintegrasi, saling memengaruhi dan menentukan

untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan

demikian kurikulum dikatakan sebagai suatu sistem,

seperti dapat dilihat pada bagan sebagai berikut.

2.1.1.4 Pengertian Hidden Curriculum

Istilah hidden curriculum terdiri dari dua kata,

yaitu hidden dan curriculum. Secara etimologi, kata “hidden” berasal dari Bahasa Inggris, yaitu hide yang berarti tersembunyi (terselubung). Sedangkan istilah

kurikulum sendiri berarti sejumlah mata pelajaran dan

pengalaman belajar yang harus dilalui peserta didik

demi menyelesaikan tugas pendidikannya. Dengan

Tujuan

Isi Evaluasi

Metode

(11)

demikian, hidden curriculum adalah kurikulum

tersembunyi atau kurikulum terselubung dimana

kurikulum ini tidak tercantum dalam kurikulum ideal

tetapi memiliki andil dalam pencapaian tujuan

pendidikan.

Beragam definisi tentang hidden curriculum atau

kurikulum tersembunyi yang dikemukakan oleh para

ahli (dalam Rohinah, 2012: 27), sebagai berikut:

1. Jhon D. MC. Neil, hidden curriculum adalah

pengaruh pembelajaran yang tidak resmi (tidak

direncana) hal mana bisa melemahkan atau

menguatkan dalam mereliasasikan tujuan.

2. Allan A. Glattron, hidden curriculum adalah

kurikulum yang tidak menjadi bagian untuk

dipelajari, yang secara definitive digambarkan

sebagai berbagai aspek dari sekolah di luar

kurikulum yang dipelajari, namun mampu

memberikan pengaruh dalam perubahan nilai,

persepsi dan perilaku siswa.

3. Dede Rosyada, hidden curriculum secara teoritik

sangat rasional mempengaruhi siswa, baik

menyangkut lingkungan sekolah, suasana kelas,

pola interaksi guru dengan siswa dalam kelas,

bahkan pada kebijakan serta manajemen

pengelolaan sekolah secara lebih luas dan perilaku

dari semua komponen sekolah dalam hubungan

(12)

4. Oemar Hamalik, hidden curriculum merupakan hasil

dari desakan sekolah, tugas baca buku yang

memberikan efek yang tak diinginkan begitu pula

kebutuhan untuk mempengaruhi orang lain agar

menyetujui sesuatu yang diharapkan. Melalui

interaksi kelas dan testing guru-guru secara sadar

dapat mengubah cita-cita pendidikan yang

dimintakan.

5. H. Dakir, hidden curriculum adalah kurikulum yang

tidak direncanakan, tidak diprogram dan tidak

dirancang tetapi mempunyai pengaruh, baik secara

langsung maupun tidak langsung terhadap output

dari proses belajar mengajar.

Persamaan definisi hidden curriculum di atas

adalah kurikulum yang tidak direncanakan.

Perbedaannya oleh Allan A. Glattron dan Dede Rosyada

hidden curriculum memberikan pengaruh dalam

perubahan nilai, persepsi dan perilaku siswa.

Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam hidden curriculum

disampaikan oleh Dede Rosyada, antara lain

pengelolaan lingkungan sekolah, interaksi di kelas,

hubungan antar komponen di sekolah, kebijakan dan

manajemen sekolah.

Sehingga bisa dikatakan bahwa hidden

curriculum merupakan kurikulum yang tidak

direncanakan dan secara substansi mampu membina

(13)

berkelanjutan namun tidak termaktub secara formal

tetapi dapat dikembangkan dalam bentuk kegiatan

antara lain pengelolaan lingkungan sekolah, interaksi

di kelas, hubungan antar komponen di sekolah,

kebijakan dan manajemen sekolah.

Pelaksanaan kurikulum tersembunyi dalam

KTSP dapat digolongkan dalam aktivitas pengembangan

diri yang pelaksanaannya tidak terprogram. Dalam

panduan KTSP untuk pengembangan diri tentang

bentuk-bentuk pelaksanaan pengembangan diri

dinyatakan bahwa, bentuk-bentuk pelaksanaan

pengembangan diri mencakup:

a. Kegiatan pengembangan diri secara terprogram

dilaksanakan dengan perencanaan khusus dalam

kurun waktu tertentu untuk memenuhi

kebutuhan peserta didik secara individual,

kelompok dan atau klasikal melalui

penyelenggaraan:

1) layanan dan kegiatan pendukung konseling,

dan

2) kegiatan ekstra kurikuler;

b. Kegiatan pengembangan diri secara tidak

terprogram dapat dilaksanakan sebagai berikut:

1) rutin, yaitu kegiatan yang dilakukan

terjadwal, seperti: upacara bendera, senam,

(14)

keberaturan, pemeliharaan kebersihan dan

kesehatan diri;

2) spontan, adalah kegiatan yang tidak

terjadwal dalam kejadian khusus seperti:

pembentukan perilaku memberi salam,

membuang sampah pada tempatnya, antri,

mengatasi silang pendapat (pertengkaran);

dan

3) keteladan, adalah kegiatan dalam bentuk

perilaku sehari-hari seperti: berpakaian rapi,

berbahasa yang baik, rajin membaca,

memuji kebaikan dan atau keberhasilan

orang lain, datang tepat waktu (Tim Pustaka

Yustisia dalam Wahidmurni, 2009: 3).

2.1.1.5 Pendidikan nilai dalam pengembangan

Hidden Curriculum

Hidden curriculum merupakan kurikulum yang

berkembang secara alamiah atau tidak direncanakan

secara khusus. Menurut Krathwohl (1984: 112), proses

pembentukan dan pengembangan nilai-nilai pada anak

didik itu ada lima tahap.

1. Receiving (menyimak dan menerima). Dalam hal ini

anak menerima secara aktif, artinya anak telah

memilih untuk kemudian menerima nilai. Jadi

(15)

2. Responding (menanggapi). Pada tahap ini anak

sudah mulai bersedia menerima dan menanggapi

secara aktif. Dalam hal ini ada tiga tahapan

sendiri, yakni manut (menurut), bersedia

menaggapi, dan puas dalam menanggapi.

3. Valuing (memberi nilai), pada tahap ini anak sudah

mulai mampu membangun persepsi dan

kepercayaan terkait dengan nilai yang diterima.

Pada tahap ini ada tiga tingkatan yakni : percaya

terhadap nilai yang diterima, merasa terikat

dengan nilai dipercayai, dan memiliki keterkaitan

batin dengan nilai yang diterima.

4. Organization, dimana anak mulai mengatur sistem

nilai yang ia terima untuk ditata dalam dirinya

dalam konteks perilaku.

5. Characterization, atau karakterisasi nilai yang

ditandai dengan ketidakpuasan seseorang untuk

mengorganisir sistem nilai yang diyakininya dalam

hidupnya yang serba mapan, ajek, dan konsisten.

2.1.2 Hakekat Evaluasi dan Evaluasi Program

2.1.2.1 Pengertian Evaluasi

Sudarwan Danim (2000: 14) mendefinisikan

penilaian (evaluating) adalah Proses pengukuran dan

perbandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya

dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya. Menurut

(16)

memandang evaluasi sebagai proses menentukan hasil

yang telah dicapai beberapa kegiatan yang

direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan.)

Kurikulum merupakan alat untuk mencapai

tujuan-tujuan pendidikan. Mengevaluasi keberhasilan sebuah

pendidikan berarti juga mengevaluasi kurikulumnya.

Hal ini berarti bahwa evaluasi kurikulum merupakan

bagian dari evaluasi pendidikan, yang memusatkan

perhatiannya pada program-program untuk peserta

didik. Sedangkan evaluasi merupakan bagian penting

dalam proses pengembangan kurikulum, baik dalam

pembuatan kurikulum baru, memperbaiki kurikulum

yang ada atau menyempurnakannya. Evaluasi yang

tepat dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk

mendukung terwujudnya fase pengembangan ini

dengan efektif dan bermakna. Agar kurikulum yang

baik dapat tercapai, harus diimplementasikan dengan

baik, kreatif, dan inovatif. Untuk dapat mengetahui

tingkat tersebut harus melewati satu tahap yang

dinamakan evaluasi kurikulum. Evaluasi kurikulum

tanpa kurikulum tidak punya arti sebaliknya

kurikulum tanpa evaluasi tidak akan mendapatkan

hasil maksimal, baik dalam proses konstruksi

kurikulum maupun dalam proses pelaksanaan

kurikulum.

Sehingga bisa dikatakan bahwa evaluasi

(17)

kurikulum secara keseluruhan baik yang bersifat

makro atau ruang lingkup yang luas (ideal curriculum)

maupun lingkup mikro (actual curriculum) dalam

bentuk pembelajaran.

Menurut Suharsimi Arikunto (2014: 3) program

didefinisikan sebagai suatu unit atau kesatuan

kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi

dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang

berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi

yang melibatkan sekelompok orang. Dalam kosepsi ini,

terdapat tiga pengertian penting yang perlu ditekankan

dalam menentukan suatu program, yakni: 1) realisasi

atau implementasi suatu kebijakan, 2) terjadi dalam

waktu yang relative lama, bukan kegiatan tunggal

tetapi jamak berkesinambungan, dan 3) terjadi dalam

organisasi yang melibatkan orang banyak. Sebuah

program bukan hanya kegiatan tunggal, melainkan

kegiatan yang berkesinambungan karena

melaksanakan suatu kebijakan. Program merupakan

sebuah system dimana system itu sendiri merupakan

satu kesatuan dari beberapa bagian atau komponen

program yang saling kait mengkait dan bekerja satu

dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan dalam system. Dengan demikian program

terdiri dari komponen yang saling kait mengkait dan

saling menunjang dalam rangka mencapai suatu

(18)

Menurut Cronbach dan Stufflebeam (dalam

Suharsimi Arikunto, 2014: 4) evaluasi program

merupakan upaya menyediakan informasi untuk

disampaikan pada pengambil keputusan. Dalam bidang

pendidikan, Tyler (dalam Suharsimi Arikunto, 2014: 4)

mengemukakan bahwa evaluasi program merupakan

proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan

dapat terealisasikan. Dengan demikian evaluasi

program pendidikan merupakan rangkaian kegiatan

yang dilakukan secara cermat untuk mengetahui

efektivitas masing-masing komponennya. Ada empat

kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan

berdasarkan hasil dalam pelaksanaan sebuah program

keputusan yaitu menghentikan program, merevisi

program, melanjutkan program, atau menyebarluaskan

program.

Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi

sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan

kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan

hasil evaluasi program itulah para pengambil

keputusan akan menentukan tindak lanjut dari

program yang sedang atau telah dilaksanakan. Melalui

metode tertentu secara cermat dan sistematis akan

diperoleh data yang handal dan reliabel sehingga

penentuan kebijakan selanjutnya akan tepat, dengan

catatan data yang digunakan sebagai dasar

(19)

dari segi isi, cakupan, format maupun tepat dari segi

waktu penyampaian (Widoyoko, 2007). Untuk dapat

menjadi evaluator program, seseorang harus memiliki

kemampuan dalam melaksanakan evaluasi yang

didukung oleh teori dan kemampuan praktik, cermat,

obyektif, sabar dan tekun, serta hati-hati dan

bertanggung jawab.

2.1.2.2 Tujuan dan Fungsi Evaluasi Program

Evaluasi program dilakukan oleh peneliti

dengan tujuan untuk mengetahui pencapaian tujuan

program dengan langkah mengetahui keterlaksanaan

kegiatan program, karena evaluator program ingin

mengetahui bagaimana dari komponen dan

subkomponen program yang belum terlaksana dan apa

sebabnya (Suharsimi Arikunto, 2014: 18).

Dalam evaluasi program, pelaksana berfikir dan

menentukan langkah bagaimana melaksanakan

penelitian. Menurut Suharsimi Arikunto (2014: 7),

terdapat perbedaan yang mencolok antara penelitian

dan evaluasi program adalah sebagai berikut:

a. Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin

mengetahui gambaran tentang sesuatu

kemudian hasilnya dideskripsikan, sedangkan

dalam evaluasi program pelaksanan ingin

(20)

sesuatu sebagai hasil pelaksanaan program,

setelah data yang terkumpul dibandingkan

dengan criteria atau standar tertentu.

b. Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntut

oleh rumusan masalah karena ingin mengetahui

jawaban dari penelitiannya, sedangkan dalam

evaluasi program pelaksanan ingin mengetahui

tingkat ketercapaian tujuan pgogram, dan

apabila tujuan belum tercapai sebagaimana

ditentukan, pelaksana ingin mengetahui letak

kekurangan itu dan apa sebabnya.

Pada dasarnya penelitian evaluatif dimaksudkan

untuk mengetahui akhir dari adanya kebijakan, dalam

rangka menentukan rekomendasi atas kebijakan yang

lalu, yang pada tujuan akhirnya adalah untuk

menentukan kebijakan selanjutnya. Kebijakan yang

memberikan manfaat bagi pengembangan program

pendidikan terkait.

Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi

sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan

kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan

hasil evaluasi program itulah para pengambilan

keputusan akan menentukan tindak lanjut dari

program yang sedang atau telah dilaksanakan. Wujud

dari hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari

(21)

Adapun Fungsi evaluasi dalam program proses

pendidikan adalah sebagai berikut:

a. Memberi informasi yang valid mengenai kinerja

kebijakan, program dan kegiatan, yaitu mengenai

seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan

telah dicapai.

b. Memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik.

Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi

dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari

tujuan dan target.

c. Memberi sumbangan pada aplikasi metode

analisis kebijakan, termasuk perumusan masalah

dan rekomendasinya. Evaluasi dapat pula

menyumbangkan rekomendasi bagi pendefinisian

alternatif kebijakan, yang bermanfaat untuk

mengganti kebijakan yang berlaku dengan

alternatif kebijakan yang lain.

Menurut pendapat di atas, fungsi evaluasi adalah

untuk memberi informasi yang baik dan benar kepada

masyarakat, memberi kritikan pada klarifikasi suatu

nilai-nilai dari suatu tujuan dan target, kemudian

membuat suatu metode kebijakan untuk mencapai

kinerja sehingga program dan kegiatan yang dievaluasi

memberikan kontribusi bagi perumusan ulang

kebijakan suatu kegiatan dalam organisasi atau

(22)

Terdapat 4 (empat) kemungkinan kebijakan

yang dapat dilakukan berdasarkan hasil dalam

pelaksanaan sebuah program keputusan, yaitu:

1. Menghentikan program, karena dipandang bahwa

program tersebut tidak ada manfaatnya, atau

tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.

2. Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang

kurang sesuai dengan harapan (terdapat

kesalahan tapi hanya sedikit).

3. Melanjutkan program, karena pelaksanaan

program menunjukkan bahwa segala sesuatu

sudah sesuai dengan harapan dan memberikan

hasil yang bermanfaat.

4. Menyebarluaskan program (melaksanakan

program ditempat-tempat lain atu mengulangi

lagi program dilain waktu), karena program

tersebut berhasil dengan baik maka sangat baik

jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang

lain.

2.1.2.3 Model Evaluasi Program

Ada banyak model yang bisa digunakan untuk

mengevaluasi suatu program pendidikan. Menurut

Suharsimi Arikunto (2014:41) model-model yang

banyak dikenal serta digunakan adalah sebagai

(23)

1) Goal Oriented Evaluation Model

Goal Oriented Evaluation Model ini

merupakan model yang muncul paling awal. Obyek

pengamatan yang diperhatikan pada model ini adalah

tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh

sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara

berkesinambungan, terus menerus, mencapai sejauh

mana tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam

proses pelaksanaan program. Model ini

dikembangkan oleh Tyler.

2) Goal Free Evaluation Model

Model evaluasi yang dikembangkan oleh Michael

Scriven ini dapat dikatakan berlawanan dengan model

pertama yang dikembangkan oleh Tyler. Jika model

yang dikembangkan Tyler, evaluator terus menerus

memantau tujuan, yaitu sejak awal proses terus

melihat sejauh mana tujuan tersebut sudah dapat

dicapai, dalam model goal free evaluation (evaluasi

lepas dari tujuan) justru menoleh dari tujuan.

3) Formatif-Sumatif Evaluation Model

Selain model “evaluasi lepas dari tujuan”, Michael Scriven juga mengembangkan model lain,

yaitu model formatif-sumatif. Model ini menunjuk

adanya tahapan dan lingkup obyek yang dievaluasi,

yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program

(24)

program sudah selesai atau berakhir (disebut

evaluasi sumatif).

4) Countenance Evaluation Model

Model evaluasi ini dikembangkan oleh Stake,

model Stake menekankan pada adanya dua hal

pokok yaitu: (1) deskripsi (description) dan (2)

pertimbangan (judgements), serta membedakan adanya

tiga komponen dalam evaluasi pogram yaitu: (1)

masukan (antecendents/context), (2) proses

(transaction/process) dan (3) produk (output-outcomes).

5) CSE-UCLA Evaluation Model

CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan yaitu

CSE merupakan singkatan dari Center for the

Study of Evaluation, dan UCLA merupakan

singkatan dari University of California in Los Angeles.

Ciri dari model CSE-UCLA adalah adanya lima tahap

yang dilakukan dalam evaluasi, yaitu perencanaan,

pengembangan, implementasi, hasil dan dampak.

6) CIPP Evaluation Model

Model evaluasi ini merupakan model yang

paling banyak dikenal dan diterapkan oleh para

evaluator. Model CIPP ini dikembangkan oleh

Stufflebeam dan kawan-kawan di Ohio State

University. Stufflebeam berpandangan bahwa tujuan

penting evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi

memperbaiki. The CIPP approach is based on the view

(25)

prove but to improve (Stufflebeam, 1993: 118). CIPP

merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat

buah kata, yaitu: Context evaluation (evaluasi

terhadap konteks), Input evaluation (evaluasi

terhadap masukan), Process evaluation (evaluasi

terhadap proses), Product evaluation (evaluasi

terhadap hasil). Keempat kata yang disebutkan

dalam singkatan CIPP tersebut merupakan sasaran

evaluasi, yang tidak lain adalah komponen dari proses

sebuah program kegiatan.

7) Discrepancy Model

Discrepancy adalah istilah bahasa Inggris, yang

diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi “kesenjangan”. Model yang dikembangkan oleh Malcolm Provus ini merupakan model yang

menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di

dalam pelaksanaan program. Evaluasi program yang

dilakukan oleh evaluator mengukur besarnya

kesenjangan yang ada di setiap komponen.

2.1.2.4 Model Evaluasi yang Dipilih

Model evaluasi yang dipilih dalam penelitian ini

adalah Model Evaluasi Bebas Tujuan (Goal Free

Evaluation Model). Model yang dikemukakan oleh

Michael Scriven (dalam Suharsimi, 2014: 14) ini

menjelaskan bahwa dalam tata kerjanya tidak boleh

(26)

tujuan. Model ini tidak berarti melupakan tujuan

samasekali atau tidak memberikan batasan kepada

para evaluator, bahkan melarangnya untuk melupakan

tujuan program, tetapi memberikan peringatan agar

tidak bekerja terlalu rinci pada tujuan khusus yang

dapat menjurus pada tujuan yang umum. Dengan

peringatan tersebut evaluator boleh berpikir tentang

pencapaian tujuan. Sehingga dapat dipahami bahwa

penggunaan model evaluasi bebas tujuan sama dengan

penggunaan model evaluasi berorientasi pada tujuan.

Menurut Scriven, dalam melaksanakan evaluasi,

evaluator tidak harus hanya terpaku pada tujuan

program, tetapi mereka justru harus mengidentifikasi

dampak program, baik dampak yang positif (hal-hal

yang diharapkan) maupun dampak yang negatif

(hal-hal yang tidak diharapkan).

2.2

Penelitian Relevan

Beberapa kajian terdahulu tentang hidden

curriculum adalah sebagai berikut:

Khairun Nisa’ (2009) dalam Hidden Curriculum:

Upaya Peningkatan Kecerdasan Spiritual Peserta didik.

Hasil kajiannya dapat disimpulkan bahwa dengan

penerapan hidden curriculum dapat membantu

pencapaian tujuan pendidikan nasional yang

(27)

intelektual, tetapi juga cerdas secara spiritual. Oleh

karena itu, hidden curriculum harus menjadi kajian

evaluatif dalam proses perbaikan dan pengembangan

sekolah.

Sigit Wahyono (2010) dalam Inovasi Hidden

Curriculum pada Pesantren Berbasis Entrepreneurship

(Studi Kasus di Pondok Pesantren Al Isti’anah Plangitan

Pati). Hasil dari penelitian ini adalah inovasi pendidikan

entrepreneurship yang diaplikasikan dalam

bidang-bidang usaha, sehingga terjadi perubahan-perubahan

antara lain : 1) visi seorang kyai atau bahasa

sederhananya, impian dan keinginan seorang kyai

dalam membentuk tradisi dan aktifitas keseharian

dalam pondok pesantren, 2) pola hubungan yang

dibangun antara sesama santri, antara santri dengan

ustadz dan santri dengan pengasuh/kyai, 3) peraturan,

rutinitas sehari-hari dan kebijakan yang ada dan

diterapkan dalam aktivitas keseharian pada

Pondok Pesantren Al-Isti’anah.

Wijayanto (2014) dalam Kepemimpinan kepala

sekolah perempuan dalam mengembangkan hidden

curriculum (studi kasus di SD Plus Al-Kautsar Malang).

Hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut: (1)

Hidden curriculum yang dikembangkan difokuskan pada

dua aspek yaitu: (a) kegiatan terprogram yang

diwujudkan melalui misi sekolah serta kegiatan

(28)

diwujudkan melalui keteladanan guru dan pembiasaan

budaya sekolah. (2) Strategi pengembangan hidden

curriculum dilakukan melalui: (a) pembiasaan peserta

didik untuk menerapkan budaya 7S (salam, salim,

senyum, sapa, santun, sehat dan sabar), (b) pelatihan

kepemimpinan peserta didik, (c) penerapan jam

motivasi untuk guru, (d) penciptaan lingkungan

sekolah yang kondusif. (3) karakteristik kepala sekolah

perempuan dalam mengembangkan hidden curriculum

mengacu pada dua aspek yaitu: (a) berkaitan dengan

karakter kepala sekolah yang feminis sebagai seorang

perempuan yang dapat dilihat pada integritas kepala

sekolah, gaya kepemimpinan kepala sekolah,

kemampuan manajerial kepala sekolah serta

kompetensi kepala sekolah, (b) berkaitan dengan faktor

penentu keberhasilan hidden curriculum yang meliputi

kewenangan kepala sekolah, peran guru dalam

mengawal pelaksanaan hidden curriculum, dukungan

orang tua, serta otonomi sekolah. (4) dukungan

komponen sekolah dalam pelaksanaan hidden

curriculum menjadi langkah strategis bagi

pengembangan karakter positif peserta didik. (5)

kendala pelaksanaan hidden curriculum bersumber dari

dua hal yaitu (a) internal sekolah berupa minimnya

kesadaran guru dalam menjalankan program yang

telah ditetapkan yang berdampak pada pelanggaran

(29)

dilakukan melalui upaya-upaya sistematis dengan

mencatat setiap pelanggaran yang dilakukan oleh guru

kedalam buku kasus, mengingatkan kembali akan

tanggung jawab dan peran sebagai pendidik, pemberian

teguran prosedur yang berlaku hingga pengurangan

jam mengajar bagi guru. (b) eksternal sekolah berupa

minimnya kesadaran orang tua dalam pendidikan

anaknya yang berdampak pada kepedulian orang tua

untuk mendukung setiap aktifitas positif peserta didik.

Solusinya dilakukan melalui pembentukan Forum

Komunikasi Kelas, membentuk SMS Centre, dan

optimalisasi website sekolah. (6) dampak karakter yang

dibangun dari hidden curriculum yaitu: (a) perubahan

perilaku warga sekolah ke arah yang lebih baik, (b)

terwujudnya suasana sekolah yang nyaman dan

menyenangkan, (c) terbangunnya kesadaran peserta

didik akan batasan-batasan perilaku yang harus

dijalankan, dan (d) tumbuhnya kepercayaan

masyarakat pada sekolah untuk pendidikan

putra-putrinya.

Penelitian lainnya adalah “Hidden Curriculum

Contributing to Social Production-Reproduction in a Math

Classroom” oleh Esin Acar (2012), penelitian

membuktikan bahwa kegiatan kurikuler dan

ekstrakurikuler seringkali dilingkari oleh pengaruh

keputusan budaya/kebiasaan. Di samping itu, sebuah

(30)

murid-murid dibentuk dari budaya dan pola sosial yang

memudar lebih dari yg diharapkan.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Zuhal

Cubukcu (2012) dalam “The Effect of Hidden Curriculum

on Character Education Process of Primary School

Students” adalah penelitian yang menggunakan model

studi kasus dengan tujuan untuk mengetahui kegiatan

yang mendukung dan pandangan siswa berpartisipasi

dalam kegiatan ini dengan pemikiran pentingnya

kurikulum tersembunyi dalam mendapatkan nilai

dalam pendidikan karakter di sekolah dasar. Kegiatan

mendukung kurikulum tersembunyi seperti kegiatan

sosial dan budaya, kegiatan waktu luang dan kegiatan

sportif, perayaan hari-hari khusus dan minggu, karya

klub sosial dapat dianggap sebagai nilai yang kuat alat

mendapatkan bagi siswa sekolah dasar untuk

memahami, menginternalisasi dan melakukan

nilai-nilai. Hasil penelitiannya nilai-nilai yang termasuk

dalam kurikulum sekolah dasar, dan kegiatan yang

mendukung bagi kurikulum tersembunyi dalam proses

mendapatkan dan internalisasi nilai-nilai memiliki

kepentingan yang besar.

Persamaan dari kelima penelitian di atas adalah

dalam hidden curriculum mampu membentuk nilai-nilai

dan perilaku peserta didik. Tetapi dalam penelitian oleh

Wijayanto lebih luas menghasilkan strategi-strategi

(31)

pelatihan kepemimpinan peserta didik, jam motivasi

guru, penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif.

Lebih jauh dijelaskan karakteristik kepala sekolah

perempuan dalam mengembangkan hidden curriculum,

dampak dan faktor-faktor penentu keberhasilan hidden

curriculum. Pengintegrasian hidden curriculum dalam

mata pelajaran matematika telah mampu membentuk

budaya dan pola sosial.

2.3

Kerangka Pikir Penelitian

Menurutnya Scrieven (1972) (dalam Suharsimi,

2014: 41) dan pendukungnya, pada Goal Free

Evaluation seorang evaluator harus menghindari tujuan

dan mengambil setiap tindak pencegahan. Pada model

ini evaluasi program dapat dilakukan tanpa

mengetahui tujuan itu sendiri. Maka evaluasi sangat

tepat untuk mengungkap adanya perubahan perilaku

sebagai dampak nyata hidden curriculum yang

dilanjutkan dengan tindakan dalam pendidikan. Untuk

melakukan evaluasi dengan model bebas tujuan,

evaluator perlu menghasilkan dua informasi, yaitu: 1.

Penilaian tentang dampak nyata, 2. Penilaian tentang

hidden curriculum yang hendak dinilai.

Jika suatu kegiatan mempunyai pengaruh yang

dapat ditunjukkan secara nyata dan responsif terhadap

(32)

curriculum berguna dan secara positif perlu

dikembangkan, dan jika sebaliknya yang terjadi, tidak

mempunyai pengaruh nyata pada peserta didiknya

sebaiknya di hentikan atau diperbaiki.

Kerangka berpikir tersebut dapat dilihat

sebagaimana bagan berikut.

Gambar 3. Kerangka Berpikir Penelitian

Dari bagan kerangka pikir tersebut bisa

diinterpretasikan bahwa kurikulum sebagai satu

dokumen tertulis yaitu kurikulum ideal memerlukan

(33)

pembelajaran. Demikian pula kurikulum yang

dikembangkan di SMP Negeri 2 Boja bahwa kenyataan

di lapangan apa yang dilakukan oleh guru di dalam dan

di luar sekolah menjadi pengalaman belajar yang

sangat mempengaruhi peserta didik. Oleh karena itu

maka pengelaman belajar yang diperoleh peserta didik

di sekolah dalam proses pelaksanaan kurikulum ideal

disebut sebagai kurikulum faktual. Dan segala sesuatu

yang terjadi pada saat pelaksanaan kurikulum ideal

menjadi kurikulum faktual di sebut sebagai kurikulum

tersembunyi. Kegiatan pengembangan Hidden

Curriculum di SMP Negeri 2 Boja yang sudah dijalankan

belum mampu mengubah perilaku semua peserta didik

menjadi lebih baik sehingga perlu dilakukan evaluasi,

dengan evaluasi model goal free.

Model evaluasi ini bercirikan bebas tujuan

sehingga proses evaluasi tidak terperinci maupun

mengarah pada tujuan, namun evaluasi ini melihat

dampak dari adanya pelaksanaan hidden curriculum

baik dampak positif maupun dampak negatif. Sebagai

konsekuensinya, kegiatan pengembangan hidden

curriculum akan dilanjutkan jika hasilnya berdampak

positif, sebaliknya jika kegiatan pengembangan hidden

curriculum berdampak negatif, maka kegiatan

pengembangan hidden curriculum akan diperbaiki atau

Gambar

Gambar 1. Pemikiran Tyler (dalam Ella, 2007: 31)
Gambar 2. Komponen Kurikulum
Gambar 3. Kerangka Berpikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tentang literasi pembelajaran astronomi berbasis sains, teknologi dan religi ini dilakukan dengan menyebarkan angket (kuesioner) kepada mahasiswa calon pendidik

penyampaian informasi/pesan secara lisan, tertulis, atau melalui gambar (visual) kepada publik, sehingga publik mempunyai pengertian yang benar tentang hal ikhwal perusahaan

Berdasarkan hasil analisis hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa susunan bahan ajar fisika dasar I bervisi SETS dengan aplikasi Spreadsheet yang sesuai untuk mahasiswa

Tujuan penyuluhan adalah mengubah perilaku masyarakat ke arah perilaku sehat sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal, untuk mewujudkannya,

Top attribute drive purchase in bakery are leading Brand, taste Good, high quality & variety , while BreadLife slighty higher in term of soft bread texture. *Source:

обеспечивающая параллельное получение сырья животного происхождения и увеличение переваримости яблочных выжимок , а также их утилизацию ,

strategi dan taktik dalam proposal PR, mampu menentukan strategi dan taktik dari brand yang sudah ditentukan dengan sangat tepat strategi dan taktik dalam proposal PR, mampu

Sistem diagnostik kesulitan belajar fisika online adalah sebuah solusi yang akan meningkatkan kualitas pembelajaran fisika dengan pendekatan ke guru dan siswa secara