BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep dan Substansi Teori
2.1.1 Hakekat Hidden Curriculum
2.1.1.1 Pengertian Kurikulum
Sebelum berbicara tentang pengembangan
hidden curriculum lebih luas, maka perlu terlebih
dahulu dijelaskan tentang konsep dasar dan hakikat
kurikulum itu sendiri.
Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin,
yaitu curriculae yang artinya adalah jarak yang
ditempuh oleh seorang pelari. Awalnya kurikulum
digunakan dalam dunia olah raga, yaitu curere artinya
tempat berpacu. Curriculum diartikan “jarak” yang
harus “ditempuh” oleh pelari. Istilah ini kemudian diterapkan dalam dunia pendidikan. Antara kurikulum
dalam istilah dunia olah raga memiliki kesamaan
penafsiran dalam dunia pendidikan, di mana dalam
dunia pendidikan kurikulum berhubungan erat dengan
usaha mengembangkan siswa untuk mencapai tujuan
yang diinginkan (Wina Sanjaya, 2008: 3).
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Sementara Sucipto dan Raflis
(dalam Rohiat, 2010: 22) mengemukakan kurikulum
dapat diartikan secara sempit dan luas. Dalam
pengertian sempit, kurikulum diartikan sebagai
sejumlah mata pelajaran yang diberikan di sekolah,
sedangkan dalam pengertian luas kurikulum adalah
semua pengalaman belajar yang diberikan sekolah
kepada siswa selama mereka mengikuti pendidikan di
sekolah. Dengan pengertian luas ini berarti segala
usaha sekolah untuk memberikan pengalaman belajar
kepada siswa dalam upaya menghasilkan lulusan yang
baiksecara kuantitatif maupun kualitatif tercakup
dalam pengertian kurikulum. Pandangan klasik dalam
penyusunan kurikulum yang masih digunakan sampai
saat ini adalah rasional Tyler (dalam Ella, 2007: 30)
yang mengemukakan pertanyaan sebab akibat yang
meliputi: 1) tujuan pendidikan apa yang harus dicapai
di sekolah?, 2) pengalaman pendidikan apakah yang
dapat disediakan untuk mencapai tujuan pendidikan?,
3) bagaimana pengalaman pendidikan ini dapat dikelola
secara efektif?, 4) bagaimana menentukan bahwa
Bila digambarkan pemikiran Tyler ini sebagai
berikut.
Gambar 1. Pemikiran Tyler (dalam Ella, 2007: 31)
Dari pengertian kurikulum menurut UU No. 20
Tahun 2003 dan Sucipto dan Raflis di atas
persamaannya adalah dalam mendefinisikan kurikulum
sebagai bahan pelajaran atau mata pelajaran di
sekolah. Perbedaan keduanya adalah pada UU No. 20
tidak menyebutkan pengalaman belajar peserta didik.
Persamaan antara pengertian kurikulum dalam UU No.
20 Tahun 2003 dan Tyler adalah keduanya
menjelaskan tentang tujuan dan pengelolaan
pendidikan, perbedaannya pada bahan pelajaran dan
evaluasi pencapaian tujuan pendidikan. Sementara
persamaan pengertian kurikulum pada Sucipto & Raflis
dan Tyler keduanya menyebutkan pengalaman belajar
peserta didik, sedangkan perbedaannya adalah pada
Sucipto & Raflis tidak dijabarkan tujuan, pengelolaan,
dan evaluasi pendidikan.
Berdasarkan pada definisi-definisi para ahli
tersebut, menunjukkan bahwa kurikulum diartikan
Tujuan
Pengalaman
tidak secara sempit atau terbatas pada mata
pelajaran saja, tetapi lebih luas daripada itu.
Sehingga dapat dipahami bahwa kurikulum
merupakan aktifitas apa saja yang dilakukan
sekolah dalam rangka mempengaruhi anak dalam
belajar untuk mencapai suatu tujuan, termasuk
didalamnya kegiatan pembelajaran, pengaturan isi,
bahan pelajaran dan strategi dalam pembelajaran,
cara evaluasi program pengembangan pembelajaran
dan lain-lain.
Terdapat dua hal yang dapat dipahami dalam
pengertian kurikulum, yaitu kurikulum pada aspek
program atau rencana, yang pada hakikatnya adalah
kurikulum ideal (ideal curriculum) dan kurikulum pada
aspek pengalaman belajar siswa, yang pada hakikatnya
adalah kurikulum faktual (actual curriculum) (Wina
Sanjaya, 2008: 22).
Ideal kurikulum merupakan kurikulum yang
menggambarkan suatu cita-cita dalam bidang
pendidikan. Maksud cita-cita di sini adalah sebuah
harapan dan keinginan. Oleh karena itu, apa yang
menjadi harapan yang direncanakan dalam kurikulum
yang sifatnya resmi pada hakikatnya adalah cita-cita
(idealisasi) tentang wujud hasil pendidikan yang ingin
dicapai. Kurikulum ideal merupakan kurikulum yang
diharapkan dapat dilaksanakan dan berfungsi sebagai
Sedangkan kurikulum faktual merupakan
kurikulum yang disajikan di hadapan kelas atau yang
dilaksanakan oleh guru di sekolah. Kurikulum faktual
ini merupakan penjabaran dari kurikulum resmi ke
dalam pengembangan program mengajar, dimana
kurikulum faktual secara riil dapat dilaksanakan oleh
guru sesuai dengan kondisi yang ada. Termasuk di
dalam kurikulum ini adalah hidden curriculum, karena
hidden curriculum disajikan dan dialami oleh peserta
didik di sekolah baik di kelas ataupun di luar kelas.
2.1.1.2 Tujuan Kurikulum
Kalau kita kaji secara mendalam tujuan
pendidikan yang selama ini dirumuskan, dalam
berbagai UU pendidikan nasional kita, akan
menemukan betapa pendidikan nasional diharapkan
untuk dapat melahirkan manusia Indonesia yang:
(1) religius dan bermoral;
(2) menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan;
(3) sehat jasmani dan rohani;
(4) berkepribadian dan bertanggung jawab.
Keempat karakteristik manusia yang
dirumuskan dalam Undang-Undang Pendidikan
Nasional tersebut hakekatnya adalah karakteristik yang
bersifat universal, yang masih perlu diterjemahkan ke
dalam rumusan yang operasional dan terkait dengan
masyarakat internasional pada umumnya. Wujud nyata
dari setiap karakteristik tersebut akan berbeda dalam
suatu tingkat perkembangan masyarakat dan tingkat
pendidikan. Karena itu dalam menterjemahkan
keempat karakteristik tersebut kedalam rumusan
wujud kemampuan, nilai, dan sikap yang dapat
dijadikan rujukan dalam proses perencanaan
kurikulum perlu dipahami tingkat dan arah
perkembangan masyarakat Indonesia.
Berangkat dari pemahaman tentang
karakteristik masyarakat modern di era globalisasi yang
perlu kita wujudkan dapatlah kiranya kita sampai
kepada identifikasi kemampuan, nilai dan sikap yang
perlu dikuasai dan dimiliki peserta didik terdidik yaitu:
(1) memiliki kemampuan, nilai dan sikap yang
memungkinkannya berpartisipasi secara aktif dan
cerdas dalam proses politik; (2) memiliki kemampuan,
etos kerja, dan disiplin kerja yang memungkinkannya
dapat secara aktif dan produktif berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan ekonomi, (3) memiliki kemampuan
dan sikap ilmiah untuk dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui kemampuan
penelitian dan pengembangan, (4) memiliki kepribadian
yang mantap, berkarakter dan bermoral, serta
2.1.1.3 Komponen Kurikulum
Menurut Wina Sanjaya (2009: 59),
unsur-unsur yang merupakan komponen pokok kurikulum
terdiri dari empat jenis, yaitu:
1. Komponen Tujuan
Tujuan merupakan gambaran harapan, sasaran
yang menjadi acuan bagi semua aktivitas yang
dilakukan untuk mencapainya. Istilah yang lebih
populer saat ini yang digunakan sebagai padanan
tujuan, yaitu “Kompetensi”. Kompetensi merupakan
rumusan kemampuan berhubungan dengan aspek
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus
direfleksikan dalam berfikir dan bertindak secara
konsisten.
Adapun jenis tujuan bisa dibedakan dari mulai
tujuan yang sangat umum dan bersifat jangka panjang
sampai pada tujuan lebih spesifik atau jangka pendek
(segera) dengan urutan sebagai berikut.
a. Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional merupakan sasaran
akhir yang harus menjadi inspirasi bagi setiap
penyelenggara pendidikan pada setiap jenjang, jalur
dan jenis pendidikan di seluruh Indonesia. Dalam
Undang-undang no. 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
b. Tujuan Lembaga Pendidikan (Institusional)
Tujuan Lembaga Pendidikan merupakan
sasaran, harapan atau arah yang harus menjadi acuan
untuk dicapai oleh setiap lembaga pendidikan sesuai
dengan jalur, jenjang dan jenis pendidikannya. Istilah
yang digunakan saat ini sebagai padanan tujuan institusional ialah “Standar Kompetensi Lulusan/SKL” Misalnya tujuan lembaga pendidikan dasar ialah “Meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.” (Peraturan Mendiknas no. 23 Tahun 2006)
c. Tujuan Kurikuler (Mata pelajaran)
Tujuan Kurikuler merupakan
kemampuan/kompetensi yang harus dimiliki oleh
peserta didik setelah memelajari suatu mata pelajaran
atau kelompok mata pelajaran. Adapun istilah yang
d. Tujuan Pembelajaran (Instruksional)
Merupakan penjabaran lebih lanjut dari
standar kompetensi, yaitu rumusan
kemampuan/kompetensi (pengetahuan, sikap,
keterampilan) yang harus dimiliki secara segera dan
bisa diketahui hasilnya setelah setiap pembelajaran
berakhir. Istilah yang digunakan saat ini sebagai padanan tujuan pembelajaran adalah “kompetensi dasar dan indikator” pembelajaran.
2. Komponen Isi
Merupakan materi atau bahan ajar yang harus
dipelajari oleh peserta didik untuk mencapai
kompetensi yang diharapkan. Isi kurikulum sebagai
bahan ajar sebaiknya dikembangkan dari berbagai
sumber yang luas dan bervariasi (cetak, noncetak,
web) baik yang sengaja dipersiapkan (by design)
maupun yang dimanfaatkan (by utilization).
a. Komponen Metode/Strategi
Merupakan pendekatan, strategi, dan sistem
pengelolaan pendidikan/ pembelajaran yang
dilakukan di setiap lembaga pendidikan, sehingga
program atau kurikulum yang telah ditetapkan dapat
berjalan secara efektif, efisien, dan akuntabel.
b. Komponen Evaluasi
Merupakan alat ukur untuk mengetahui
keterlaksanaan program dan tingkat keberhasilan
telah ditetapkan oleh kurikulum. Alat evaluasi
kurikulum harus ditetapkan secara valid dan dapat
menilai seluruh aspek kurikulum (proses dan hasil).
Keempat komponen kurikulum (Tujuan, Isi,
Metode, Evaluasi) merupakan suatu kesatuan yang
terintegrasi, saling memengaruhi dan menentukan
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan
demikian kurikulum dikatakan sebagai suatu sistem,
seperti dapat dilihat pada bagan sebagai berikut.
2.1.1.4 Pengertian Hidden Curriculum
Istilah hidden curriculum terdiri dari dua kata,
yaitu hidden dan curriculum. Secara etimologi, kata “hidden” berasal dari Bahasa Inggris, yaitu hide yang berarti tersembunyi (terselubung). Sedangkan istilah
kurikulum sendiri berarti sejumlah mata pelajaran dan
pengalaman belajar yang harus dilalui peserta didik
demi menyelesaikan tugas pendidikannya. Dengan
Tujuan
Isi Evaluasi
Metode
demikian, hidden curriculum adalah kurikulum
tersembunyi atau kurikulum terselubung dimana
kurikulum ini tidak tercantum dalam kurikulum ideal
tetapi memiliki andil dalam pencapaian tujuan
pendidikan.
Beragam definisi tentang hidden curriculum atau
kurikulum tersembunyi yang dikemukakan oleh para
ahli (dalam Rohinah, 2012: 27), sebagai berikut:
1. Jhon D. MC. Neil, hidden curriculum adalah
pengaruh pembelajaran yang tidak resmi (tidak
direncana) hal mana bisa melemahkan atau
menguatkan dalam mereliasasikan tujuan.
2. Allan A. Glattron, hidden curriculum adalah
kurikulum yang tidak menjadi bagian untuk
dipelajari, yang secara definitive digambarkan
sebagai berbagai aspek dari sekolah di luar
kurikulum yang dipelajari, namun mampu
memberikan pengaruh dalam perubahan nilai,
persepsi dan perilaku siswa.
3. Dede Rosyada, hidden curriculum secara teoritik
sangat rasional mempengaruhi siswa, baik
menyangkut lingkungan sekolah, suasana kelas,
pola interaksi guru dengan siswa dalam kelas,
bahkan pada kebijakan serta manajemen
pengelolaan sekolah secara lebih luas dan perilaku
dari semua komponen sekolah dalam hubungan
4. Oemar Hamalik, hidden curriculum merupakan hasil
dari desakan sekolah, tugas baca buku yang
memberikan efek yang tak diinginkan begitu pula
kebutuhan untuk mempengaruhi orang lain agar
menyetujui sesuatu yang diharapkan. Melalui
interaksi kelas dan testing guru-guru secara sadar
dapat mengubah cita-cita pendidikan yang
dimintakan.
5. H. Dakir, hidden curriculum adalah kurikulum yang
tidak direncanakan, tidak diprogram dan tidak
dirancang tetapi mempunyai pengaruh, baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap output
dari proses belajar mengajar.
Persamaan definisi hidden curriculum di atas
adalah kurikulum yang tidak direncanakan.
Perbedaannya oleh Allan A. Glattron dan Dede Rosyada
hidden curriculum memberikan pengaruh dalam
perubahan nilai, persepsi dan perilaku siswa.
Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam hidden curriculum
disampaikan oleh Dede Rosyada, antara lain
pengelolaan lingkungan sekolah, interaksi di kelas,
hubungan antar komponen di sekolah, kebijakan dan
manajemen sekolah.
Sehingga bisa dikatakan bahwa hidden
curriculum merupakan kurikulum yang tidak
direncanakan dan secara substansi mampu membina
berkelanjutan namun tidak termaktub secara formal
tetapi dapat dikembangkan dalam bentuk kegiatan
antara lain pengelolaan lingkungan sekolah, interaksi
di kelas, hubungan antar komponen di sekolah,
kebijakan dan manajemen sekolah.
Pelaksanaan kurikulum tersembunyi dalam
KTSP dapat digolongkan dalam aktivitas pengembangan
diri yang pelaksanaannya tidak terprogram. Dalam
panduan KTSP untuk pengembangan diri tentang
bentuk-bentuk pelaksanaan pengembangan diri
dinyatakan bahwa, bentuk-bentuk pelaksanaan
pengembangan diri mencakup:
a. Kegiatan pengembangan diri secara terprogram
dilaksanakan dengan perencanaan khusus dalam
kurun waktu tertentu untuk memenuhi
kebutuhan peserta didik secara individual,
kelompok dan atau klasikal melalui
penyelenggaraan:
1) layanan dan kegiatan pendukung konseling,
dan
2) kegiatan ekstra kurikuler;
b. Kegiatan pengembangan diri secara tidak
terprogram dapat dilaksanakan sebagai berikut:
1) rutin, yaitu kegiatan yang dilakukan
terjadwal, seperti: upacara bendera, senam,
keberaturan, pemeliharaan kebersihan dan
kesehatan diri;
2) spontan, adalah kegiatan yang tidak
terjadwal dalam kejadian khusus seperti:
pembentukan perilaku memberi salam,
membuang sampah pada tempatnya, antri,
mengatasi silang pendapat (pertengkaran);
dan
3) keteladan, adalah kegiatan dalam bentuk
perilaku sehari-hari seperti: berpakaian rapi,
berbahasa yang baik, rajin membaca,
memuji kebaikan dan atau keberhasilan
orang lain, datang tepat waktu (Tim Pustaka
Yustisia dalam Wahidmurni, 2009: 3).
2.1.1.5 Pendidikan nilai dalam pengembangan
Hidden Curriculum
Hidden curriculum merupakan kurikulum yang
berkembang secara alamiah atau tidak direncanakan
secara khusus. Menurut Krathwohl (1984: 112), proses
pembentukan dan pengembangan nilai-nilai pada anak
didik itu ada lima tahap.
1. Receiving (menyimak dan menerima). Dalam hal ini
anak menerima secara aktif, artinya anak telah
memilih untuk kemudian menerima nilai. Jadi
2. Responding (menanggapi). Pada tahap ini anak
sudah mulai bersedia menerima dan menanggapi
secara aktif. Dalam hal ini ada tiga tahapan
sendiri, yakni manut (menurut), bersedia
menaggapi, dan puas dalam menanggapi.
3. Valuing (memberi nilai), pada tahap ini anak sudah
mulai mampu membangun persepsi dan
kepercayaan terkait dengan nilai yang diterima.
Pada tahap ini ada tiga tingkatan yakni : percaya
terhadap nilai yang diterima, merasa terikat
dengan nilai dipercayai, dan memiliki keterkaitan
batin dengan nilai yang diterima.
4. Organization, dimana anak mulai mengatur sistem
nilai yang ia terima untuk ditata dalam dirinya
dalam konteks perilaku.
5. Characterization, atau karakterisasi nilai yang
ditandai dengan ketidakpuasan seseorang untuk
mengorganisir sistem nilai yang diyakininya dalam
hidupnya yang serba mapan, ajek, dan konsisten.
2.1.2 Hakekat Evaluasi dan Evaluasi Program
2.1.2.1 Pengertian Evaluasi
Sudarwan Danim (2000: 14) mendefinisikan
penilaian (evaluating) adalah Proses pengukuran dan
perbandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya
dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya. Menurut
memandang evaluasi sebagai proses menentukan hasil
yang telah dicapai beberapa kegiatan yang
direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan.)
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan. Mengevaluasi keberhasilan sebuah
pendidikan berarti juga mengevaluasi kurikulumnya.
Hal ini berarti bahwa evaluasi kurikulum merupakan
bagian dari evaluasi pendidikan, yang memusatkan
perhatiannya pada program-program untuk peserta
didik. Sedangkan evaluasi merupakan bagian penting
dalam proses pengembangan kurikulum, baik dalam
pembuatan kurikulum baru, memperbaiki kurikulum
yang ada atau menyempurnakannya. Evaluasi yang
tepat dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk
mendukung terwujudnya fase pengembangan ini
dengan efektif dan bermakna. Agar kurikulum yang
baik dapat tercapai, harus diimplementasikan dengan
baik, kreatif, dan inovatif. Untuk dapat mengetahui
tingkat tersebut harus melewati satu tahap yang
dinamakan evaluasi kurikulum. Evaluasi kurikulum
tanpa kurikulum tidak punya arti sebaliknya
kurikulum tanpa evaluasi tidak akan mendapatkan
hasil maksimal, baik dalam proses konstruksi
kurikulum maupun dalam proses pelaksanaan
kurikulum.
Sehingga bisa dikatakan bahwa evaluasi
kurikulum secara keseluruhan baik yang bersifat
makro atau ruang lingkup yang luas (ideal curriculum)
maupun lingkup mikro (actual curriculum) dalam
bentuk pembelajaran.
Menurut Suharsimi Arikunto (2014: 3) program
didefinisikan sebagai suatu unit atau kesatuan
kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi
dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang
berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi
yang melibatkan sekelompok orang. Dalam kosepsi ini,
terdapat tiga pengertian penting yang perlu ditekankan
dalam menentukan suatu program, yakni: 1) realisasi
atau implementasi suatu kebijakan, 2) terjadi dalam
waktu yang relative lama, bukan kegiatan tunggal
tetapi jamak berkesinambungan, dan 3) terjadi dalam
organisasi yang melibatkan orang banyak. Sebuah
program bukan hanya kegiatan tunggal, melainkan
kegiatan yang berkesinambungan karena
melaksanakan suatu kebijakan. Program merupakan
sebuah system dimana system itu sendiri merupakan
satu kesatuan dari beberapa bagian atau komponen
program yang saling kait mengkait dan bekerja satu
dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam system. Dengan demikian program
terdiri dari komponen yang saling kait mengkait dan
saling menunjang dalam rangka mencapai suatu
Menurut Cronbach dan Stufflebeam (dalam
Suharsimi Arikunto, 2014: 4) evaluasi program
merupakan upaya menyediakan informasi untuk
disampaikan pada pengambil keputusan. Dalam bidang
pendidikan, Tyler (dalam Suharsimi Arikunto, 2014: 4)
mengemukakan bahwa evaluasi program merupakan
proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan
dapat terealisasikan. Dengan demikian evaluasi
program pendidikan merupakan rangkaian kegiatan
yang dilakukan secara cermat untuk mengetahui
efektivitas masing-masing komponennya. Ada empat
kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan
berdasarkan hasil dalam pelaksanaan sebuah program
keputusan yaitu menghentikan program, merevisi
program, melanjutkan program, atau menyebarluaskan
program.
Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi
sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan
kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan
hasil evaluasi program itulah para pengambil
keputusan akan menentukan tindak lanjut dari
program yang sedang atau telah dilaksanakan. Melalui
metode tertentu secara cermat dan sistematis akan
diperoleh data yang handal dan reliabel sehingga
penentuan kebijakan selanjutnya akan tepat, dengan
catatan data yang digunakan sebagai dasar
dari segi isi, cakupan, format maupun tepat dari segi
waktu penyampaian (Widoyoko, 2007). Untuk dapat
menjadi evaluator program, seseorang harus memiliki
kemampuan dalam melaksanakan evaluasi yang
didukung oleh teori dan kemampuan praktik, cermat,
obyektif, sabar dan tekun, serta hati-hati dan
bertanggung jawab.
2.1.2.2 Tujuan dan Fungsi Evaluasi Program
Evaluasi program dilakukan oleh peneliti
dengan tujuan untuk mengetahui pencapaian tujuan
program dengan langkah mengetahui keterlaksanaan
kegiatan program, karena evaluator program ingin
mengetahui bagaimana dari komponen dan
subkomponen program yang belum terlaksana dan apa
sebabnya (Suharsimi Arikunto, 2014: 18).
Dalam evaluasi program, pelaksana berfikir dan
menentukan langkah bagaimana melaksanakan
penelitian. Menurut Suharsimi Arikunto (2014: 7),
terdapat perbedaan yang mencolok antara penelitian
dan evaluasi program adalah sebagai berikut:
a. Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin
mengetahui gambaran tentang sesuatu
kemudian hasilnya dideskripsikan, sedangkan
dalam evaluasi program pelaksanan ingin
sesuatu sebagai hasil pelaksanaan program,
setelah data yang terkumpul dibandingkan
dengan criteria atau standar tertentu.
b. Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntut
oleh rumusan masalah karena ingin mengetahui
jawaban dari penelitiannya, sedangkan dalam
evaluasi program pelaksanan ingin mengetahui
tingkat ketercapaian tujuan pgogram, dan
apabila tujuan belum tercapai sebagaimana
ditentukan, pelaksana ingin mengetahui letak
kekurangan itu dan apa sebabnya.
Pada dasarnya penelitian evaluatif dimaksudkan
untuk mengetahui akhir dari adanya kebijakan, dalam
rangka menentukan rekomendasi atas kebijakan yang
lalu, yang pada tujuan akhirnya adalah untuk
menentukan kebijakan selanjutnya. Kebijakan yang
memberikan manfaat bagi pengembangan program
pendidikan terkait.
Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi
sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan
kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan
hasil evaluasi program itulah para pengambilan
keputusan akan menentukan tindak lanjut dari
program yang sedang atau telah dilaksanakan. Wujud
dari hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari
Adapun Fungsi evaluasi dalam program proses
pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Memberi informasi yang valid mengenai kinerja
kebijakan, program dan kegiatan, yaitu mengenai
seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan
telah dicapai.
b. Memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik.
Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi
dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari
tujuan dan target.
c. Memberi sumbangan pada aplikasi metode
analisis kebijakan, termasuk perumusan masalah
dan rekomendasinya. Evaluasi dapat pula
menyumbangkan rekomendasi bagi pendefinisian
alternatif kebijakan, yang bermanfaat untuk
mengganti kebijakan yang berlaku dengan
alternatif kebijakan yang lain.
Menurut pendapat di atas, fungsi evaluasi adalah
untuk memberi informasi yang baik dan benar kepada
masyarakat, memberi kritikan pada klarifikasi suatu
nilai-nilai dari suatu tujuan dan target, kemudian
membuat suatu metode kebijakan untuk mencapai
kinerja sehingga program dan kegiatan yang dievaluasi
memberikan kontribusi bagi perumusan ulang
kebijakan suatu kegiatan dalam organisasi atau
Terdapat 4 (empat) kemungkinan kebijakan
yang dapat dilakukan berdasarkan hasil dalam
pelaksanaan sebuah program keputusan, yaitu:
1. Menghentikan program, karena dipandang bahwa
program tersebut tidak ada manfaatnya, atau
tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.
2. Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang
kurang sesuai dengan harapan (terdapat
kesalahan tapi hanya sedikit).
3. Melanjutkan program, karena pelaksanaan
program menunjukkan bahwa segala sesuatu
sudah sesuai dengan harapan dan memberikan
hasil yang bermanfaat.
4. Menyebarluaskan program (melaksanakan
program ditempat-tempat lain atu mengulangi
lagi program dilain waktu), karena program
tersebut berhasil dengan baik maka sangat baik
jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang
lain.
2.1.2.3 Model Evaluasi Program
Ada banyak model yang bisa digunakan untuk
mengevaluasi suatu program pendidikan. Menurut
Suharsimi Arikunto (2014:41) model-model yang
banyak dikenal serta digunakan adalah sebagai
1) Goal Oriented Evaluation Model
Goal Oriented Evaluation Model ini
merupakan model yang muncul paling awal. Obyek
pengamatan yang diperhatikan pada model ini adalah
tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh
sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara
berkesinambungan, terus menerus, mencapai sejauh
mana tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam
proses pelaksanaan program. Model ini
dikembangkan oleh Tyler.
2) Goal Free Evaluation Model
Model evaluasi yang dikembangkan oleh Michael
Scriven ini dapat dikatakan berlawanan dengan model
pertama yang dikembangkan oleh Tyler. Jika model
yang dikembangkan Tyler, evaluator terus menerus
memantau tujuan, yaitu sejak awal proses terus
melihat sejauh mana tujuan tersebut sudah dapat
dicapai, dalam model goal free evaluation (evaluasi
lepas dari tujuan) justru menoleh dari tujuan.
3) Formatif-Sumatif Evaluation Model
Selain model “evaluasi lepas dari tujuan”, Michael Scriven juga mengembangkan model lain,
yaitu model formatif-sumatif. Model ini menunjuk
adanya tahapan dan lingkup obyek yang dievaluasi,
yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program
program sudah selesai atau berakhir (disebut
evaluasi sumatif).
4) Countenance Evaluation Model
Model evaluasi ini dikembangkan oleh Stake,
model Stake menekankan pada adanya dua hal
pokok yaitu: (1) deskripsi (description) dan (2)
pertimbangan (judgements), serta membedakan adanya
tiga komponen dalam evaluasi pogram yaitu: (1)
masukan (antecendents/context), (2) proses
(transaction/process) dan (3) produk (output-outcomes).
5) CSE-UCLA Evaluation Model
CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan yaitu
CSE merupakan singkatan dari Center for the
Study of Evaluation, dan UCLA merupakan
singkatan dari University of California in Los Angeles.
Ciri dari model CSE-UCLA adalah adanya lima tahap
yang dilakukan dalam evaluasi, yaitu perencanaan,
pengembangan, implementasi, hasil dan dampak.
6) CIPP Evaluation Model
Model evaluasi ini merupakan model yang
paling banyak dikenal dan diterapkan oleh para
evaluator. Model CIPP ini dikembangkan oleh
Stufflebeam dan kawan-kawan di Ohio State
University. Stufflebeam berpandangan bahwa tujuan
penting evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi
memperbaiki. The CIPP approach is based on the view
prove but to improve (Stufflebeam, 1993: 118). CIPP
merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat
buah kata, yaitu: Context evaluation (evaluasi
terhadap konteks), Input evaluation (evaluasi
terhadap masukan), Process evaluation (evaluasi
terhadap proses), Product evaluation (evaluasi
terhadap hasil). Keempat kata yang disebutkan
dalam singkatan CIPP tersebut merupakan sasaran
evaluasi, yang tidak lain adalah komponen dari proses
sebuah program kegiatan.
7) Discrepancy Model
Discrepancy adalah istilah bahasa Inggris, yang
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi “kesenjangan”. Model yang dikembangkan oleh Malcolm Provus ini merupakan model yang
menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di
dalam pelaksanaan program. Evaluasi program yang
dilakukan oleh evaluator mengukur besarnya
kesenjangan yang ada di setiap komponen.
2.1.2.4 Model Evaluasi yang Dipilih
Model evaluasi yang dipilih dalam penelitian ini
adalah Model Evaluasi Bebas Tujuan (Goal Free
Evaluation Model). Model yang dikemukakan oleh
Michael Scriven (dalam Suharsimi, 2014: 14) ini
menjelaskan bahwa dalam tata kerjanya tidak boleh
tujuan. Model ini tidak berarti melupakan tujuan
samasekali atau tidak memberikan batasan kepada
para evaluator, bahkan melarangnya untuk melupakan
tujuan program, tetapi memberikan peringatan agar
tidak bekerja terlalu rinci pada tujuan khusus yang
dapat menjurus pada tujuan yang umum. Dengan
peringatan tersebut evaluator boleh berpikir tentang
pencapaian tujuan. Sehingga dapat dipahami bahwa
penggunaan model evaluasi bebas tujuan sama dengan
penggunaan model evaluasi berorientasi pada tujuan.
Menurut Scriven, dalam melaksanakan evaluasi,
evaluator tidak harus hanya terpaku pada tujuan
program, tetapi mereka justru harus mengidentifikasi
dampak program, baik dampak yang positif (hal-hal
yang diharapkan) maupun dampak yang negatif
(hal-hal yang tidak diharapkan).
2.2
Penelitian Relevan
Beberapa kajian terdahulu tentang hidden
curriculum adalah sebagai berikut:
Khairun Nisa’ (2009) dalam Hidden Curriculum:
Upaya Peningkatan Kecerdasan Spiritual Peserta didik.
Hasil kajiannya dapat disimpulkan bahwa dengan
penerapan hidden curriculum dapat membantu
pencapaian tujuan pendidikan nasional yang
intelektual, tetapi juga cerdas secara spiritual. Oleh
karena itu, hidden curriculum harus menjadi kajian
evaluatif dalam proses perbaikan dan pengembangan
sekolah.
Sigit Wahyono (2010) dalam Inovasi Hidden
Curriculum pada Pesantren Berbasis Entrepreneurship
(Studi Kasus di Pondok Pesantren Al Isti’anah Plangitan
Pati). Hasil dari penelitian ini adalah inovasi pendidikan
entrepreneurship yang diaplikasikan dalam
bidang-bidang usaha, sehingga terjadi perubahan-perubahan
antara lain : 1) visi seorang kyai atau bahasa
sederhananya, impian dan keinginan seorang kyai
dalam membentuk tradisi dan aktifitas keseharian
dalam pondok pesantren, 2) pola hubungan yang
dibangun antara sesama santri, antara santri dengan
ustadz dan santri dengan pengasuh/kyai, 3) peraturan,
rutinitas sehari-hari dan kebijakan yang ada dan
diterapkan dalam aktivitas keseharian pada
Pondok Pesantren Al-Isti’anah.
Wijayanto (2014) dalam Kepemimpinan kepala
sekolah perempuan dalam mengembangkan hidden
curriculum (studi kasus di SD Plus Al-Kautsar Malang).
Hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut: (1)
Hidden curriculum yang dikembangkan difokuskan pada
dua aspek yaitu: (a) kegiatan terprogram yang
diwujudkan melalui misi sekolah serta kegiatan
diwujudkan melalui keteladanan guru dan pembiasaan
budaya sekolah. (2) Strategi pengembangan hidden
curriculum dilakukan melalui: (a) pembiasaan peserta
didik untuk menerapkan budaya 7S (salam, salim,
senyum, sapa, santun, sehat dan sabar), (b) pelatihan
kepemimpinan peserta didik, (c) penerapan jam
motivasi untuk guru, (d) penciptaan lingkungan
sekolah yang kondusif. (3) karakteristik kepala sekolah
perempuan dalam mengembangkan hidden curriculum
mengacu pada dua aspek yaitu: (a) berkaitan dengan
karakter kepala sekolah yang feminis sebagai seorang
perempuan yang dapat dilihat pada integritas kepala
sekolah, gaya kepemimpinan kepala sekolah,
kemampuan manajerial kepala sekolah serta
kompetensi kepala sekolah, (b) berkaitan dengan faktor
penentu keberhasilan hidden curriculum yang meliputi
kewenangan kepala sekolah, peran guru dalam
mengawal pelaksanaan hidden curriculum, dukungan
orang tua, serta otonomi sekolah. (4) dukungan
komponen sekolah dalam pelaksanaan hidden
curriculum menjadi langkah strategis bagi
pengembangan karakter positif peserta didik. (5)
kendala pelaksanaan hidden curriculum bersumber dari
dua hal yaitu (a) internal sekolah berupa minimnya
kesadaran guru dalam menjalankan program yang
telah ditetapkan yang berdampak pada pelanggaran
dilakukan melalui upaya-upaya sistematis dengan
mencatat setiap pelanggaran yang dilakukan oleh guru
kedalam buku kasus, mengingatkan kembali akan
tanggung jawab dan peran sebagai pendidik, pemberian
teguran prosedur yang berlaku hingga pengurangan
jam mengajar bagi guru. (b) eksternal sekolah berupa
minimnya kesadaran orang tua dalam pendidikan
anaknya yang berdampak pada kepedulian orang tua
untuk mendukung setiap aktifitas positif peserta didik.
Solusinya dilakukan melalui pembentukan Forum
Komunikasi Kelas, membentuk SMS Centre, dan
optimalisasi website sekolah. (6) dampak karakter yang
dibangun dari hidden curriculum yaitu: (a) perubahan
perilaku warga sekolah ke arah yang lebih baik, (b)
terwujudnya suasana sekolah yang nyaman dan
menyenangkan, (c) terbangunnya kesadaran peserta
didik akan batasan-batasan perilaku yang harus
dijalankan, dan (d) tumbuhnya kepercayaan
masyarakat pada sekolah untuk pendidikan
putra-putrinya.
Penelitian lainnya adalah “Hidden Curriculum
Contributing to Social Production-Reproduction in a Math
Classroom” oleh Esin Acar (2012), penelitian
membuktikan bahwa kegiatan kurikuler dan
ekstrakurikuler seringkali dilingkari oleh pengaruh
keputusan budaya/kebiasaan. Di samping itu, sebuah
murid-murid dibentuk dari budaya dan pola sosial yang
memudar lebih dari yg diharapkan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Zuhal
Cubukcu (2012) dalam “The Effect of Hidden Curriculum
on Character Education Process of Primary School
Students” adalah penelitian yang menggunakan model
studi kasus dengan tujuan untuk mengetahui kegiatan
yang mendukung dan pandangan siswa berpartisipasi
dalam kegiatan ini dengan pemikiran pentingnya
kurikulum tersembunyi dalam mendapatkan nilai
dalam pendidikan karakter di sekolah dasar. Kegiatan
mendukung kurikulum tersembunyi seperti kegiatan
sosial dan budaya, kegiatan waktu luang dan kegiatan
sportif, perayaan hari-hari khusus dan minggu, karya
klub sosial dapat dianggap sebagai nilai yang kuat alat
mendapatkan bagi siswa sekolah dasar untuk
memahami, menginternalisasi dan melakukan
nilai-nilai. Hasil penelitiannya nilai-nilai yang termasuk
dalam kurikulum sekolah dasar, dan kegiatan yang
mendukung bagi kurikulum tersembunyi dalam proses
mendapatkan dan internalisasi nilai-nilai memiliki
kepentingan yang besar.
Persamaan dari kelima penelitian di atas adalah
dalam hidden curriculum mampu membentuk nilai-nilai
dan perilaku peserta didik. Tetapi dalam penelitian oleh
Wijayanto lebih luas menghasilkan strategi-strategi
pelatihan kepemimpinan peserta didik, jam motivasi
guru, penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif.
Lebih jauh dijelaskan karakteristik kepala sekolah
perempuan dalam mengembangkan hidden curriculum,
dampak dan faktor-faktor penentu keberhasilan hidden
curriculum. Pengintegrasian hidden curriculum dalam
mata pelajaran matematika telah mampu membentuk
budaya dan pola sosial.
2.3
Kerangka Pikir Penelitian
Menurutnya Scrieven (1972) (dalam Suharsimi,
2014: 41) dan pendukungnya, pada Goal Free
Evaluation seorang evaluator harus menghindari tujuan
dan mengambil setiap tindak pencegahan. Pada model
ini evaluasi program dapat dilakukan tanpa
mengetahui tujuan itu sendiri. Maka evaluasi sangat
tepat untuk mengungkap adanya perubahan perilaku
sebagai dampak nyata hidden curriculum yang
dilanjutkan dengan tindakan dalam pendidikan. Untuk
melakukan evaluasi dengan model bebas tujuan,
evaluator perlu menghasilkan dua informasi, yaitu: 1.
Penilaian tentang dampak nyata, 2. Penilaian tentang
hidden curriculum yang hendak dinilai.
Jika suatu kegiatan mempunyai pengaruh yang
dapat ditunjukkan secara nyata dan responsif terhadap
curriculum berguna dan secara positif perlu
dikembangkan, dan jika sebaliknya yang terjadi, tidak
mempunyai pengaruh nyata pada peserta didiknya
sebaiknya di hentikan atau diperbaiki.
Kerangka berpikir tersebut dapat dilihat
sebagaimana bagan berikut.
Gambar 3. Kerangka Berpikir Penelitian
Dari bagan kerangka pikir tersebut bisa
diinterpretasikan bahwa kurikulum sebagai satu
dokumen tertulis yaitu kurikulum ideal memerlukan
pembelajaran. Demikian pula kurikulum yang
dikembangkan di SMP Negeri 2 Boja bahwa kenyataan
di lapangan apa yang dilakukan oleh guru di dalam dan
di luar sekolah menjadi pengalaman belajar yang
sangat mempengaruhi peserta didik. Oleh karena itu
maka pengelaman belajar yang diperoleh peserta didik
di sekolah dalam proses pelaksanaan kurikulum ideal
disebut sebagai kurikulum faktual. Dan segala sesuatu
yang terjadi pada saat pelaksanaan kurikulum ideal
menjadi kurikulum faktual di sebut sebagai kurikulum
tersembunyi. Kegiatan pengembangan Hidden
Curriculum di SMP Negeri 2 Boja yang sudah dijalankan
belum mampu mengubah perilaku semua peserta didik
menjadi lebih baik sehingga perlu dilakukan evaluasi,
dengan evaluasi model goal free.
Model evaluasi ini bercirikan bebas tujuan
sehingga proses evaluasi tidak terperinci maupun
mengarah pada tujuan, namun evaluasi ini melihat
dampak dari adanya pelaksanaan hidden curriculum
baik dampak positif maupun dampak negatif. Sebagai
konsekuensinya, kegiatan pengembangan hidden
curriculum akan dilanjutkan jika hasilnya berdampak
positif, sebaliknya jika kegiatan pengembangan hidden
curriculum berdampak negatif, maka kegiatan
pengembangan hidden curriculum akan diperbaiki atau