• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Pengamblalihan tanah suku mentawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Proses Pengamblalihan tanah suku mentawa"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Proses “Pengambil-Alihan” Tanah Suku Mentawai Menjadi Tanah Negara dan Hutan Negara Pembicaraan tentang tanah dan hutan adalah berbicara tentang dua hal yang berbeda. Pengaturan hak atas hutan tidak akan berbicara tentang hak kepemilikan, tetapi berbicara tentang hak-hak untuk menggunakan hutan termasuk dalam lingkup hak-hak penggunaannya. Dalam

menyelesaikan masalah-masalah sumber daya hutan, perlu kejelasan penetapan hak untuk mengunakan hutan, ini dilakukan atas dasar status penguasaan hutan, maupun berdasarkan fungsi-fungsi lindung, konservasi, produksi maupun fungsi khusus di bidang sosial budaya maupun pendidikan dan penelitian. Dalam UU Kehutanan no 41 tahun 1999, Dephut

(departemen kehutanan RI) diberikan mandat untuk menetapkan mana yang merupakan kawasan hutan dan mana yang bukan serta juga menetapkan fungsi hutannya bukan untuk menetapkan status kepemilikan tanah.

Diberbagai daerah atau kabupaten/kota, regulasi produk perundang-undangan tentang peralihan penguasaan hutan masyarakat adat menjadi hutan yang dikuasi oleh pemerintah sudah terjadi sejak Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) no 5 tahun 1960 berlaku, produk UUPA pasal 20 ayat 1 mengakui Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.

Meskipun turunan dari produk UU atas pengakuan hak milik atas tanah ulayat/kaum belum dilakukan oleh pemerintah dalam sebuah undang-undang tanah ulayat, namun tidak bisa dipungkiri, bahwa sebelum negara ini ada, tanah, air, dan segala bentuk yang ada dalamnya sudah lebih dulu dimiliki oleh masyarakat adat secara turum-temurun, jauh sebelum NKRI ini diundangkan.

Sama halnya di Mentawai, kepulauan Mentawai sudah ada sejak masa penjajahan kolonial belanda tahun 1901 (sebenarnya Zending Protestan sudah mulai mewartakan injil di mentawai tahun 1901 http://www.xaverindo.org/web/mission.php?id=34), dari misi zending tersebut mengatakan orang Mentawai bukanlah masyarakat maritim. Mereka mengandalkan daratan sebagai mata pencaharian. Kebudayaan Mentawai adalah kebudayaan sungai. Orang Mentawai tinggal di lembah-lembah yang merupakan daerah aliran sungai. Lembah-lembah ini tidak hanya mendeterminasi faktor produksi tetapi juga dalam interaksi sosial dan pembentukan identitas yang sangat penting

Dalam sistem kekerabatan masyarakat Mentawai, tanah merupakan unsur pemersatu dan pengikat antar sesama anggota kerabat/suku. Tanah dimiliki dan dikelola secara bersama untuk kebutuhan hidup bersama. Gotong royong dan rasa keadilan menjadi prinsip dasar dalam sistim kepemilikan dan pengelolaan tanah tersebut. Sistem kepemilikan dan pengelolaan tanah inilah yang menjadikan masyarakat Mentawai sebagai masyarakat yang komunal.

(2)

daya (tanah, hutan) dari sibakkat laggai yang besarnya ditentukan oleh negosiasi bersama (Tarida Hernawati S, 2007).

Kejelasan status tanah sangat penting bagi orang Mentawai. Tanpa jaminan kepemilikan tanah, orang Mentawai tidak akan nyaman dan aman bermukim. Mereka mengalami hantaman ganda. Jika terdapat konflik dengan Uma pemilik tanah, mereka jelas kalah secara politik dan hirarki kepemilikan. Mereka rentan diusir. Jika konflik dengan HPH, mereka sangat rentan untuk disalahkan sebagai perusak hutan, di Pagai Selatan warga yang menolak kayunya diambil

perusahaan ditangkap oleh aparat keamanan hanya dengan alasan bahwa kawasan hutan produksi tersebut sudah dikuasai oleh Negara dan harus dilindungi.

Di masa orde baru sebelum Mentawai menjadi sebuah kabupaten defenitif, negara telah

meluncurkan program Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT) untuk mengatasi keterasingan di siberut, Puro dan Saliguma. Program utamanya adalah mendirikan pemukiman yang dikontrol negara. Pemukiman itu dilengkapi dengan masjid, gereja, balai desa dan semua hal yang diharapkan bisa membawa orang Mentawai menjadi ‘Indonesia seutuhnya’. Peserta program ini mendapat rumah 4 x 6 dengan kualitas buruk dan janji tanah 2 hektar. Sejak tahun 1972 hingga berakhir 1997, program ini membuat 63 pemukiman yang belakangan diadopsi menjadi dusun atau desa (Persoon 1995:7).

Sejalan dengan PKMT, pemerintah pun menetapkan kepulauan Mentawai sebagai kawasan hutan. Pengakuan ini mulai “mengusir” orang-orang Mentawai dari tanah dan sumber daya hutan mereka. Mereka ditaklukan dengan pencitraan negatif seperti peladang tidak efisien atau perusak hutan. Dan selanjutnya pengakuan negara terhadap masyarakat Mentawai saling komplementer dengan kebijakan “teritoralisasi” negara.

Disinilah asal mula (sejarah awal) Hutan orang Mentawai dibagi-bagi menjadi kawasan konservasi, kawasan hutan produksi atau hutan lindung. Untuk menggolkan pengambil-alihan hutan Mentawai serta merobah status tanah suku di mentawai tersebut, masyarakat dikeluarkan dari kawasan hutan. Hal ini dibuktikan melalui Departemen Kehutanan yang dapat melegitimasi untuk mengambil alih hutan, serta Departemen Sosial juga dapat melegitimasi melancarkan proyek PKMT melalui UUPA no5/1960 dan UUK no 41 tahun 1999.

Proses “ambil alih” tanah ini membuktikan bahwa, sebelum Negara Kesatuan Republik

Indonesia/ NKRI ada, harus diakui bahwa pemilik tanah di mentawai adalah suku mentawai itu sendiri. Bentuk pengakuan tanah ulayat/suku Mentawai tidak sama dengan tanah milik

(3)

mentawai. Semua ini hanya karena konflik kepentingan pemerintah pusat dan provinsi bersama investor terhadap tanah-tanah di Mentawai.

Reformasi Agraria melalui perda RTRW Mentawai

reforma agraria dapat diartikan sebagai Penataan ulang struktur penguasaan tanah (land reform), bukan saja akan memberikan kesempatan kepada sebagian besar penduduk yang masih

menggantungkan hidupnya pada kegiatan pertanian untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Lebih dari itu, land reform bukan hanya akan suatu dasar yang kokoh dan stabil bagi

pembangunan ekonomi dan sosial, tetapi juga menjadi dasar bagi pengembangan kehidupan masyarakat yang demokratis. Program ini akan membuka kesempatan untuk terjadinya proses pembentukan modal (capital formation) di pedesaan yang akan menjadi dasar bagi proses industrialisasi.

Salah satu produk program reforma agraria ini adalah “sertifikasi tanah”. Tujuan sertifikasi dilakukan agar tanah memiliki nilai ekonomis. Inilah adalah salah satu program Bank Dunia (World Bank) kepada indonesia untuk menjamin nilai factor produksi tanah yang akan digunakan sebagai investasi (perkebunan, pertanian, dll) menjadi gampang. sertifikasi tanah tersebut kemudian ditindak lanjuti negara ini dengan membuat regulasi/produk peraturan perundang-undangan dalam bentuk Undang-undang No. 25 Tahun 2007 - Tentang Penanaman Modal. Seyogianya upaya reformasi agraria dapat mencegah konflik kepentingan pemerintah pusat maupun provinsi serta kabupaten/kota terhadap tanah-tanah ulayat di mentawai ketika ingin melaksanakan pembangunan infrastruktur. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) no. 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah, bahwa penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.

Pasal 13 disebutkan bahwa penatagunaan tanah salah satunya bertujuan untuk mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan

pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam RTRW.

Dengan demikian penatagunaan tanah penting untuk dilakukan karena bisa mensinergiskan antara kegiatan pembangunan (termasuk infrastruktur) dengan rencana tata ruang yang ada serta pembangunan tersebut juga sesuai dengan arahan fungsi kawasannya yang salah satunya terdapat arahan untuk pembangunan infrastruktur, baik di kawasan perkotaan maupun kawasan

perdesaan.

(4)

Referensi

Dokumen terkait

Tanda jar pada isim, yaitu : kasrahpada ismul mufrad,kasrah muqaddarah pada isim maqṣur,kasrahmuqaddarah pada isim manquṣ, ya‟ pada isim mu ṡanna, huruf ya‟ pada

Pelayanan Terpadu adalah serangkaian kegiatan untuk melakukan perlindungan bagi anak korban kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran yang dilaksanakan

Tidak terdapat bahan lainnya yang, sejauh pengetahuan pemasok saat ini dan pada konsentrasi yang berlaku, diklasifikasikan sebagai bahan berbahaya pada kesehatan atau lingkungan dan

diamanatkan oleh undang-undang agar dapat menangani masalah-masalah pertambangan tanpa izin, justru mereka telah membiarkan para pelaku pertambangan rakyat itu

Semakin besar persepsi resiko semakin besar pula kemungkinan keterlibatan konsumen pada pembelian (Engel, et.al. Ketika persepsi resiko menjadi tinggi, ada motivasi apakah

Untuk mengetahui seberapa resisten tradisi menenun gedog terjaga dari pengaruh-pengaruh asing, dan seberapa besar kemungkinan ancaman tersebut; maka perlu dilakukan eksperimen

Apabila jumlah ekspor menurun sebesar 1 persen maka akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,323 persen Hal tersebut sejalan dengan teori perdagangan

Program Desa Mandiri Pangan memiliki tujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat miskin pedesaan dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki