• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perancangan dan pembangunan sistem e lea

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perancangan dan pembangunan sistem e lea"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PERANCANGAN DAN PEMBANGUNAN E-LEARNING PERPUSTAKAAN

Eka Kusmayadi

Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Jl. Ir. H. Juanda No. 20 Bogor

RINGKASAN

Dalam UU No. 43/2007 dan PP No. 24/2014 disebutkan bahwa pustakawan mempunyai kewajiban memiliki dan berupaya meningkatkan kompetensinya di bidang perpustakaan. Kompetensi tersebut sangat diperlukan untuk mengelola sebuah perpustakaan dengan baik dan benar. Hal tersebut dituntut pula dalam UU No.5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Namun, kompetensi pustakawan di Kementerian Pertanian nampaknya masih rendah. Rendahnya kompetensi tersebut diantaranya disebabkan kurangnya keikutsertaan pustakawan dalam pelatihan, kemandirian untuk meningkatkan kompetensi dan ketersediaan dana dalam mengikuti kegiatan pengembangan kompetensi pustakawan. Salah satu alternatif sarana peningkatan kompetensi yang sudah lama dimanfaatkan, terutama dalam dunia pendidikan adalah e-learning. Fasilitas ini memanfaatkan ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kemampuan peserta didik. Pembangunan sistem dilakukan dengan menggunakan metode Daur Hidup Sistem Informasi (SDLC). Output yang diharapkan dari pembangunan sistem adalah aplikasi e-learning perpustakaan dan modul yang diperlukan untuk mengisi materi e-learning. Dengan adanya sistem e-learning pustakawan diharapkan dapat dengan mudah mengikuti pembelajaran teknis pengelolaan perpustakaan, membantu dalam bimbingan teknis untuk keperluan uji kompetensi dan sertifikasi. Pembangunan e-learning pada perkembangan berikutnya dapat digunakan untuk meningkatkan literasi informasi pengguna perpustakaan (pemustaka). Untuk berjalannya sistem e-learning diperlukan adanya SOP, baik untuk pengoperasian sistem maupun untuk pemeliharaan server.

(2)

PENDAHULUAN

Dalam UU No. 43 Tahun 2007 disebutkan bahwa Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa perpustakaan harus memiliki tenaga yang standar, yaitu pustakawan yang memiliki kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikasi. Kemudian dalam pasal 30 disebutkan pula, bahwa perpustakaan harus dikelola oleh seorang tenaga ahli di bidang perpustakaan, yaitu pustakawan yang memiliki kapabilitas, integritas, dan kompetensi di bidang perpustakaan.

Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 24/2014 tentang pelaksanaan UU No. 43/2007 pasal 34 lebih jelas lagi dinyatakan bahwa seorang pustakawan harus memiliki kompetensi profesional dan kompetensi personal. Kompetensi profesional tersebut mencakup aspek pengetahuan, keahlian, dan sikap kerja. Sedangkan kompetensi personal mencakup aspek kepribadian dan interaksi sosial.

Namun disadari, fasilitas dan sarana yang tersedia untuk meningkatkan kompetensi tersebut terdapat banyak hambatan. PUSTAKA sebagai pembina perpustakaan di lingkugan Kementerian Pertanian dalam satu tahun hanya mampu melaksanakan temu teknis, seminar atau workshop dalam setahun paling banyak sekali. Demikian pula Perpustakaan Nasional, walaupun ada beberapa pelatihan yang tersedia namun peminatnya sangat banyak dari seluruh wilayah Indonesia, sehingga kemungkinan dapat mengikuti diklat sangat kecil peluangnya.

(3)

Tabel 1. Tingkat Kompetensi Pustakawan Kementan

No. Kompetensi Khusus Nilai 1 Membuat Karya Tulis Ilmiah 2,62 2 Kajian Bidang Perpustakaan 2,83 3 Membuat Literatur Sekunder 2,89 4 Merancang Tata Ruang dan Perabot

Perpustakaan

3,04

5 Melakukan Perbaikan Bahan Perpustakaan

3,04

6 Penelusuran Informasi Kompleks 3,32

Rata-rata 2,96 Keterangan : interval nilai 0-4

Rendahnya kompetensi tersebut diantaranya disebabkan kurangnya keikutsertaan pustakawan dalam pelatihan, kemandirian untuk meningkatkan kompetensi dan ketersediaan dana dalam mengikuti kegiatan pengembangan kompetensi pustakawan.

Salah satu alternatif sarana peningkatan kompetensi yang sudah lama dimanfaatkan, terutama dalam dunia pendidikan adalah e-learning. Fasilitas ini memanfaatkan ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kemampuan peserta didik. Menurut Sutanta (2009), e-Learning sudah banyak diterima oleh masyarakat dunia, terbukti dengan maraknya implementasi e-Learning di lembaga pendidikan (sekolah, penyelenggara training dan universitas) maupun industri. E-Learning merupakan suatu jenis sistem pembelajaran yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar kepada siswa dengan menggunakan media Internet, Intranet atau media jaringan komputer lain. E-Learning adalah proses learning (pembelajaran) memanfaatkan Information and Communication Technology (ICT) sebagai

tools yang dapat tersedia kapanpun dan di manapun dibutuhkan, sehingga dapat mengatasi

kendala ruang dan waktu.

Pembangunan aplikasi e-learning bertujuan untuk menyediakan media pembelajaran materi-materi yang berhubungan dengan perpustakaan baik untuk pustakawan, penyuluh ataupun peneliti. Media pembelajaran tersebut dalam bentuk aplikasi sistem yang mudah untuk diterapkan dan digunakan oleh para peserta pembelajaran.

(4)

lembaga ataupun perorangan dapat berdiskusi dengan pengelola sumber informasi. Bahkan dengan pengelolaan yang baik, pengguna juga dapat berkomunikasi dengan narasumber ahli.

TINJAUAN PUSTAKA

Paradigma Baru Perpustakaan

Dalam UU Perpustakaan No.43 tahun 2007, perpustakaan didefinisikan sebagai institusi pengelola karya tulis, karya cetak dan atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka (pengguna perpustakaan).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perpustakaan adalah suatu organisasi yang bertugas mengumpulkan informasi, mengolah, menyajikan dan melayani kebutuhan informasi bagi pemakai perpustakaan. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa perpustakaan adalah suatu organisasi, artinya perpustakaan merupakan suatu badan yang di dalamnya terdapat sekelompok orang yang bertanggung jawab mengatur dan mengendalikan perpustakaan. Tugas utama perpustakaan adalah mengumpulkan informasi, mengolah, menyajikan dan melayani kebutuhan informasi bagi pemakai perpustakaan. Jadi perpustakaan berkewajiban mengelola informasi yang dibutuhkan pemakai, baik yang bersumber dari koleksi berwujud benda tercetak (seperti buku dan majalah) atau juga terekam (seperti kaset, CD, film, dan sebagainya).

Secara umum perpustakaan mengemban beberapa fungsi. Pertama, fungsi informasi, yaitu perpustakaan yang menyediakan berbagai informasi yang meliputi bahan cetak, terekam, maupun koleksi lainnya agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna. Kedua, fungsi

pendidikan, perpustakaan sebagai sarana untuk meningkatkan mutu pendidikan dan

(5)

Untuk mendukung fungsi tersebut, maka teknologi informasi dan komunikasi mendapat perhatian yang cukup besar dalam pengelolaan perpustakaan. Dalam UU Perpustakaan No. 43/2007 terdapat pada pasal 12, 14, 19, 22, 23, 24, 38 dan 42. Penerapan TIK harus diperhatikan dalam perencanaan, pelayanan dan pengembangan perpustakaan. Sebagai contoh koleksi sudah harus memperhatikan berbagai format, tidak saja dalam bentuk cetak, namun juga elektronik dan digital. Begitu juga dalam pelayanan dan penyebaran kepada pengguna, berbagai sarana TIK harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kemudahan dan kecepatan pengguna dalam memperoleh informasi. Oleh karena itu, maka pustakawan sebagai pengelola perpustakaan sudah selayaknya mempunyai kompetensi di bidang TIK.

Sejalan dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, maka perpustakaanpun mengalami perubahan situasi dan kondisi. Di dalamnya termasuk perubahan paradigma sebuah perpustakaan. Perubahan paradigma perpustakaan bertujuan untuk mengadaptasi gejolak perubahan eksternal dan pemanfaatan peluang. Hal ini menyebabkan perubahan sistem layanan jasa perpustakaan dan informasi jauh lebih luas daripada sekedar layanan peminjaman buku, layanan referensi, layanan penelusuran dan lainnya. Menurut Buckland (1988), layanan tersebut berubah dari layanan perpustakaan menjadi layanan informasi. Hal ini berakibat pada derasnya arus kebutuhan terhadap informasi yang baru pula. Oleh karena itu dengan perubahan paradigma perpustakaan, maka perpustakaan diharapkan mampu memberikan layanan prima, yakni bentuk layanan yang berorientasi kepada pengguna. Dikemukakan pula oleh Mustafa (1998) bahwa era teknologi informasi akan membawa perubahan paradigma layanan perpustakaan. Perubahan paradigma tersebut akan berdampak kepada 1) prestasi perpustakaan bukan lagi diukur berdasarkan kekayaan koleksi dan jumlah pengunjung ke perpustakaan, melainkan dari jumlah orang yang menggunakan layanan, meskipun mereka tidak datang secara fisik ke perpustakaan, namun akses terhadap informasi yang dimiliki perpustakaan meningkat dari waktu ke waktu; 2) penyediaan fasilitas perpustakaan berteknologi tinggi, harus lebih mengarahkan pustakawan pada penyediaan muatan informasi yang dapat disajikan kepada pengguna. Oleh karena itu, maka pustakawan harus mengubah sikap dan budaya kerja yang menuntut kerja lebih cepat, tepat dan efisien.

Keberadaan dan Kompetensi Pustakawan

(6)

mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.

Berkaitan dengan pelayanan, menurut Mustafa (1998) ada beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh pustakawan agar memiliki citra yang lebih positif. Kompetensi itu antara lain : berorientasi pada kebutuhan pengguna, memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik, berbahasa asing yang memadai, pengembangan secara teknis dan prosedur kerja, memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan melaksanakan penelitian bidang perpustakaan.

Pemegang kendali perpustakaan dengan paradigma baru tersebut, sepenuhnya tetap ada pada para pustakawan. Pustakawan sebagai individu memiliki keunikan dalam bertindak atau bertingkah laku. Keunikan tersebut sering tidak disadari oleh pustakawan dalam melaksanakan tugasnya. Terkait dengan masalah kepuasan pengguna terhadap layanan perpustakaan ini pernah dilakukan penelitian. Handayani, dkk. (2004) dalam penelitiannya, menyimpulkan bahwa dari lima dimensi (indikator) kepuasan pengguna terhadap layanan perpustakaan, ada dua dimensi yang tidak sesuai dengan harapan pengguna. Kedua dimensi tersebut adalah ketanggapan dan jaminan yang meliputi: kesediaan pustakawan membantu pengguna menemukan informasi, ketanggapan pustakawan terhadap masalah yang disampaikan oleh pengguna, sikap ramah pustakawan dan komunikasi pustakawan dengan pemakai. Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan agar pustakawan diberikan pelatihan terkait dengan cara berkomunikasi dan etika layanan.

Penelitian Supriadi, dkk. (2004) menyimpulkan bahwa perhatian pustakawan dalam melayani pengguna perlu lebih ramah dan tidak diskriminatif. Oleh karena itu disarankan agar pustakawan yang bertugas di bidang layanan perlu ditambah wawasannya mengenai konsep layanan yang berorientasi pengguna/user oriented. Berbeda dengan kedua penelitian di atas, Widodo (2005) melakukan penelitian mengenai kepuasan petugas perpustakaan yang terkait dengan intensi prososial. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara intensi prososial dengan kepuasan kerja pustakawan, dimana semakin tinggi intensi prososial akan semakin tinggi pula kepuasan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa apabila perilaku prososial pustakawan terhadap pengguna lebih sering dilakukan, maka kepuasan kerjanya meningkat dan kepuasan pengguna menjadi lebih baik.

(7)

menurut Heldebrand (Septiyantono, 2003) adalah sesuatu hal yang baik atau tidak baik dalam hal kelazimannya dan direspon secara positif atau negatif oleh mereka yang melakukan kontak. Menurut Stern (Septiyantono, 2003), potensi yang dimiliki oleh seseorang dapat dikembangkan semaksimal mungkin. Demikian halnya dengan pustakawan layanan, diharapkan mampu mengembangkan kepribadiannya secara optimal agar mampu mempengaruhi pengguna untuk selalu menggunakan jasa yang tersedia di perpustakaan.

Menurut Mangkunegara (2005), sebenarnya pustakawan layanan identik dengan pribadi penjual jasa. Berdasarkan falsafah penjual yang dikemukakan Mangkunegara tersebut, yaitu bagaimana menjual dapat memberi kepuasan bagi kedua belah pihak, baik pihak pembeli maupun bagi pihak penjual. Demikian halnya dengan pustakawan layanan, diperlukan upaya layanan yang dapat menimbulkan rasa puas bagi pengguna maupun bagi dirinya sendiri. Selain perhatian terhadap pengguna perlu pula dipikirkan bagaimana menciptakan hubungan baik dan berkelanjutan, dengan demikian pustakawan akan memperoleh minimal dua keuntungan yaitu perpustakaan menjadi terkenal dan citra sebagai pustakawan profesional lebih terangkat.

Septiyantono (2003) juga mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan pustakawan dalam memberikan layanan prima, antara lain: (a) mampu berkomunikasi secara verbal maupun non verbal, (b) mampu bekerja secara individual maupun kelompok, (c) mampu berkomunikasi dalam tiga konsep yaitu sikap, perhatian, dan tindakan.

Dengan demikian, pengembangan karier fungsional pustakawan perlu mendapatkan perhatian untuk memberikan dukungan motivasi dan karier. Apalagi menurut UU Perpustakaan no 43/2007, seorang pustakawan harus profesional yang akan dibuktikan dengan adanya sertifikasi.

Oleh karena itu, maka lembaga tempat pustakawan bekerja harus mendorong upaya tersebut dengan mengalokasikan dana untuk mengikuti pelatihan-pelatihan, menyiapkan infrastruktur perpustakaan yang memadai, mengupayakan mengikuti uji kompetensi dan sertifikasi dan mencari alternatif sarana pembelajaran.

Untuk dapat mengelola perpustakaan secara profesional, mampu memberikan pelayanan prima kepada pengguna dan dapat mengantisipasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, maka kompetensi pustakawan harus terus dibina dan ditingkatkan.

(8)

pemerintah. Demikian jelas dan pentingnya peran perpustakaan dalam mendukung tupoksi organisasi induknya, maka peran pengelola perpustakaan yang di dalamnya pustakawan tidak boleh dianggap rendah.

E-Learning

Menurut Sutanta (2009), e-Learning sudah banyak diterima oleh masyarakat dunia, terbukti dengan maraknya implementasi e-Learning di lembaga pendidikan (sekolah, penyelenggara training dan universitas) maupun industri. E-Learning merupakan suatu jenis sistem pembelajaran yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar kepada siswa dengan menggunakan media Internet, Intranet atau media jaringan komputer lain. E-Learning adalah proses learning (pembelajaran) memanfaatkan Information and Communication Technology (ICT) sebagai tools yang dapat tersedia kapanpun dan di manapun dibutuhkan, sehingga dapat mengatasi kendala ruang dan waktu.

E-learning telah mampu meningkatkan kemampuan kognitif siswa dalam belajar.

E-lerning mempunyai tingkat interaktifitas pengguna yang tinggi, selain menyajikan materi

pembelajaran dalam bentuk file baik dalam format words, powerpoint, html atau PDF.

E-learning juga mempunyai nilai lebih yaitu menu yang lebih interaktif, baik dalam kegiatan

evaluasi online, konsultasi online maupun fasilitas chatting ( Turino et.al,2009).

Penggunaan e-learning pada proses pembelajaran diyakini mampu untuk menigkatkan kualitas peserta. Dengan e-learning, peserta didik yang ada di daerah dapat belajar dengan materi yang sama dengan yang ada di kota besar dan bahkan di negara yang sudah maju (Agustiawan dan Subagyo, 200-).

Pendidikan jarak jauh merupakan satu-satunya cara pembelajaran yang dapat menjangkau masyarakat secara luas dimanapun peserta didik berada. Seperti halnya UT yang sudah menerapkan e-learning sebagai media pembelajaran untuk masyarakat Indonesia, baik yang berada di pelosok maupun di luar negeri. UT telah menjangkau pengguna (mahasiswa) yang ada di 14 negara lain, seperti Malaysia, Singapapura, Hongkong, Thailand, Korea, Arab Saudi dan sebagainya.

(9)

Kadangkala ketika mahasiswa akan menghadapi ujian, modul tercetak belum dapat diterima oleh mahasiswa. Sedangkan dengan metode e-learning terasa lebih murah, karena mahasiswa dapat memanfaatkan buku modul dalam bentuk e-book yang sudah disediakan tanpa harus membeli modul tercetaknya. Selain itu, biaya pembelajaran dapat dilakukan dari rumah tanpa harus mengeluarkan biaya transpor. Bagi mahasiswa ingin memiliki file e-booknya, mereka dapat membeli atau mencicil file tersebut.

Pembelajaran di UT melalui e-learning telah dapat menjangkau jumlah mahasiswa sebanyak 4.000 orang, sehingga manajemen yang diterapkan harus dilakukan dengan pendekatan Manajemen Industri.

E-Learning menawarkan banyak keuntungan bagi organisasi, namun praktik ini juga

memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya :

a. Budaya

Pengguna E-Learning menunutut budaya self-learning, dimana seseorang memotivasi diri sendiri agar mau belajar. Sebaliknya, pada sebagian besar penduduk di Indonesia, motivasi belajar lebih banyak tergantung pada pengajar. Pada E-Learning 100% energi dari pelajar, oleh karena itu, beberapa orang masih merasa segan berpindah dari pelatihan di kelas ke pelatihan

ELearning.

b. Investasi

Walaupun E-Learning menghemat banyak biaya, tetapi suatu organisasi harus mengeluarkan investasi awal cukup besar untuk mengimplementasikan E-Learning. Investasi dapat berupa biaya desain dan pembuatan program learning management system, paket pelajaran dan biaya lain, seperti promosi.

c. Teknologi

Karena teknologi yang digunakan beragam, ada kemungkinan teknologi tersebut tidak sejalan dengan yang Rancang Bangun Aplikasi Elearning (Erma Susanti) 55 sudah ada dan terjadi konflik teknologi sehingga E-Learning tidak berjalan baik.

(10)

Internet belum terjangkau semua kota di Indonesia. Akibatnya belum semua orang atau wilayah dapat merasakan ELearning dengan Internet.

e. Materi

Walaupun E-Learning menawarkan berbagai fungsi, ada beberapa materi yang tidak dapat diajarkan melalui e-learning. Pelatihan yang memerlukan banyak kegiatan fisik, seperti praktek perakitan hardware, sulit disampaikan secara sempurna.

METODOLOGI

Yang akan dihasilkan dari proses pembangunan sistem e-learning meliputi 1) Sistem aplikasi E-Learning dan 2) Modul-modul yang diperlukan sebagai materi pembelajaran

e-learning. Metode yang digunakan untuk membangun sistem aplikasi E-Learning adalah

metode Daur Ulang Sistem Informasi atau SDLC, yaitu terdiri atas beberapa tahapan, yaitu : 1. Pembuatan Rancang Bangun Sistem

Kegiatan ini terdiri atas pengumpulan data untuk kebutuhan identifikasi sistem yang sudah ada, kemudian melakukan analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan, kemudian melakukan penyelarasan aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan sistem. 2. Penerapan Sistem

Kegiatan yang dilakukan dalam penerapan sistem adalah instalasi hardware, software dan instalasi jaringan.

3. Uji Coba Sistem

Uji coba dilakukan terhadap sistem yang diterapkan dan pelaksanaan penyampaian materi kepada pengguna. Apabila masih terdapat kesalahan akan dilakukan perbaikan terhadap sistem.

4. Evaluasi dan Pelatihan

Evaluasi dilakukan untuk melihat sistem secara keseluruhan. Kemudian dilanjutkan dengan pelatihan untuk pengelola e-learning, baik sistem maupun materi.

5. Pelaporan

(11)

Sedangkan untuk penyusunan materi E-Learning dilakukan beberapa tahapan, yaitu 1) penyusunan draft modul, 2) Perbaikan dan editing modul dan 3) penyelesaian modul. Modul akan mengacu kepada Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk perpustakaan. Oleh karena itu diperlukan konsultasi dengan ahlinya. Konsultasi akan dilakukan ke perguruan tinggi yang sudah lama memanfaatkan sistem E-learning untuk kegiatan belajar mengajarnya, yaitu Universitas Terbuka, Universitas Bina Nusantara dan Institut Teknologi Bandung.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aplikasi Sistem yang diharapkan

Sistem E-learning merupakan trend perkembangan teknologi informasi dan komunikasi masa depan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kompetensi masyarakat dalam menghadapi hambatan keterbatasan wilayah dan anggaran. Berdasarkan hasil identifikasi Tim BINUS tahun 2013, persoalan yang dihadapi Badan Litbang Pertanian ada 4 hal, yaitu 1) Jumlah SDM, 2) Kemampuan bahasa, 3) Kompetensi dan 4) infrastruktur yg kurang memadai dan sudah tidak layak.

Salah satu saran yang diberikan Binus pada saat itu adalah perlunya diterapkan system e-learning yang diharapkan dapat menjembatani keterbatasan pertemuan untuk tetap meningkatkan kompetensi pustakawan. Selain itu, media ini juga diharapkan dapat menjadi media pembelajaran bagi pengguna lain, seperti penyuluh, peneliti dan masyarakat umum.

(12)

Gambar 1. Login peserta

Untuk login, peserta harus memasukkan username dan passwordnya masing-masing sebagaimana yang sudah diberikan oleh administrator sistem. Pada tampilan awal ini juga akan ditambahkan informasi terbaru dan informasi yang berhubungan dengan informasi pendaftaran peserta yang akan mengikuti materi, pengumuman daftar peserta sesuai materi yang diikuti dan daftar peserta yang sudah mengikuti.

Menu utama dari aplikasi e-learning terdiri atas informasi yang berhubungan dengan kegiatan e-learning, kelompok materi, forum, aturan dan petunjuk penggunaan aplikasi e-learning, nilai hasil ujian dan sertifikat yang dapat diambil.

(13)

Setiap kelompok materi akan diikuti oleh kelompok peserta tertentu. Pengelompokan berdasarkan hasil klasifikasi peserta berdasarkan kompetensi yang sudah dimiliki dan kelompok jabatan fungsionalnya. Namun peserta yang merupakan pengelola perpustakaan pun dapat mengikuti materi ini yang pengelompokkannya akan ditentukan oleh tim pengelola e-learning ini.

Kegiatan yang dilakukan dalam e-learning antara lain penyampaian materi, diskusi dan ujian atau latihan. Diskusi disampaikan pada setiap sesi materi, sedangkan ujian dilakukan setiap beberapa kali pertemuan (3 kali pertemuan). Pada tahap awal, aplikasi ini belum dilengkapi dengan sarana teleconference. Dengan demikian, proses e-learning tidak harus dilakukan pada waktu yang bersamaan. Teleconference direncanakan akan dilakukan pada tahapan pengembangan aplikasi pada waktu yang akan datang.

Untuk tahap awal, aplikasi e-learning ini akan dipergunakan bagi para fungsional pustakawan terlebih dahulu dengan melakukan penyempurnaan materinya. Namun pada masa datang, aplikasi ini juga dapat dimanfaatkan oleh kelompok pengguna lain, seperti peneliti, penyuluh bahkan masyarakat umum yang sistemnya akan dikembangkan lebih lanjut.

Contoh tampilan kelompok materi yang diambil oleh salah satu peserta e-learning.

(14)

Gabar 4. Forum diskusi satu kelompok belajar

(15)

Gambar 6. Passing grade hasil pre-test dan post test

Gambar 7. Pengambilan sertifikat kelulusan

(16)

Dengan menggunakan system e-learning, peserta didik tidak lagi hanya bergantung kepada buku teks saja, tetapi mereka juga dapat memperoleh informasi bahan pelajaran dari berbagai sumber informasi lain.

Materi Pembelajaran

Tahapan yang dilakukan dalam menerapkan system e-learning terdiri atas input, proses dan output. Input adalah proses penyiapan materi seperti penyusunan kurikulum dan bahan ajar. Proses adalah tahapan pembelajaran yang dilakukan oleh mahasiswa baik dalam bentuk sendiri, berkelompok atau bergabung dalam komunitas. Sedangkan Output adalah tahapan evaluasi melalui ujian.

Dalam proses penyiapan materi akan dilakukan identifikasi terhadap materi yang perlu disampaikan. Materi sebaiknya mengacu kepada visi dan misi PUSTAKA. Modul pembelajaran harus disiapkan dan mengikuti standard yang sudah ada. Modul harus menggunakan bahasa harus mudah difahami. Format modul yang dibuat memuat tentang Pendahuluan, TIU dan TIK, Kegiatan Belajar Mengajar, Latihan (Tes formatif), Glossary dan Daftar Pustaka. Penyusunan materi dapat diberikan dalam bentuk powerpoint, lecture note dan link ke beberapa sumber materi pengayaan baik berupa video ataupun teks.

Materi pembelajaran yang akan dipersiapkan dalam mengiri sistem e-learning meliputi bahan pembelajaran bidang perpustakaan (Tabel 2).

Tabel 2. Kode dan Materi yang akan dibuat TA 2015 No Kode

Materi

Nama Materi

1 12015_1 Pengadaan (Mengumpulkan alat seleksi, Identifikasi BP, Survey Kebutuhan, Pembuatan Desiderata, Seleksi BP, Kebutuhan Pengguna, Registrasi)

2 22015_1 Pengolahan (Klasisikasi, katalogisasi, Tajuk, Kata kunci, Pengelolaan database, Literatur sekunder, Penyiangan)

3 32015_1 Layanan Perpustakaan ( Sirkulasi, Penyediaan dokumen, Penelusuran informasi (manual, OPAC/SIMPERTAN & REPOSITORI) , PITT, E-resources, Referens)

4 42015_1 Literasi Informasi – Konsep, Standard dan Model, Sumber Informasi, Strategi Penelusuran, Plagiarism).

5 52015_1 Dasar2 Komputer, Excel, PPT, MS-Word

6 62015_1 Penyusunan Rencana Kerja, Pembuatan Laporan 7 72015_1 Karya Tulis Ilmiah

(17)

Untuk memudahkan pengelolaan materi perlu dibuatkan KODE MATERI, sebagai contoh :

Kode Materi Arti

012015_1, 01- Dasar2 Komputer

2015_1 Tahun penyusunan edisi 1

012015_2 2015_2 Tahun penyusunan edisi 2 (revisi/pengembangan)

Aktivasi Materi Pelajaran

Proses pembelajaran dilakukan oleh peserta e-learning dari tempatnya masing-masing. Peserta dapat membuka aplikasi setiap saat. Di dalam aplikasi, peserta dapat membaca modul, mengerjakan tugas, berdiskusi dan mengikuti ujian. Setiap materi akan diaktifkan dengan jarak antar materi satu minggu. Materi yang sudah diaktifkan akan telihat peserta selama 3 minggu. Artinya peserta mempunyai waktu mengikuti setiap sesi selama 3 minggu. Apabila satu materi mempunyai 4 materi atau modul, maka waktu yang tersedia untuk setiap peserta adalah 12 minggu. Namun bagi peserta yang aktif dapat menyelesaikan keseluruhan materi tersebut dalam waktu paling cepat 4 minggu.

Dalam TA 2015, target kegiatan pembangunan aplikasi e-learning adalah perpustakaan pertanian lingkup Kementerian Pertanian, yaitu semua fungsional pustakawan dan pengelola perpustakaan yang akan disosialisasikan pada TA 2016. Oleh karena itu untuk mempertahankan keberlangsungan pemanfaatan aplikasi ini diperlukan dukungan anggaran dan perhatian dari semua pihak yang berkompetens sangat diharapkan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Dengan terbangunnya sistem e-learning pustakawan dapat dengan mudah mengikuti pembelajaran teknis pengelolaan perpustakaan, membantu dalam bimbingan teknis untuk keperluan uji kompetensi dan sertifikasi.

(18)

3. Dalam perkembangan berikutnya, aplikasi e-learning dapat digunakan untuk meningkatkan literasi informasi pengguna perpustakaan (pemustaka).

4. Sistem e-learning memerlukan adanya SOP, baik untuk pengoperasian sistem maupun untuk pemeliharaan server.

Saran

1. Untuk berjalannya sistem e-learning, penerbitan surat keputusan susunan pengelola sistem diperlukan agar sistem dapat berjalan sesuai harapan.

2. Evaluasi secara berkala perlu dilakukan untuk memperbaiki sistem yang sudah ada. 3. Sosialisasi ke berbagai stackholder perlu mendapat perhatian.

DAFTAR PUSTAKA

Agustiawan, Y dan Vidayana Subagyo. 200-. Kajian penerimaan e-learning siswa RSBI dengan technolgy acceptance model (TAM) untuk meningkatkan mutu siswa SMA di daerah (Studi Kasus RSBI Kab. Jombang ).

Buckland, M. 1988. Library Services in Theory and Context. . 2nd Edition. http://sunsite.berkeley.edu/Literature/Library/Services/

Darmono.2001. Management Library. Jakarta: Grasindo

Handayani, R; Keban,Y,T dan Ratminto, (2004), “Analisis Kepuasan Pemakai Terhadap Pelayanan Perpustakaan Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”

SosiosainsUniversitas Gadjah Mada, Vol 17, No.2, April 2004.

Kusmayadi, E dan A. Syaikhu. 2013. Kajian tentang perancangan modul pelatihan kompetensi pustakawan berbasis SKKNI bidang perpustakaan. Laporan Pengkajian Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian.

Mustafa, B. 1988. Strategi pengembangan perpustakaan di era globalisasi. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/32264/strategi-pengembangan-perpus-era-globalisasi-ok.pdf

Septiyantono, Tri. 2003. Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga.

(19)

Gambar

Tabel 1. Tingkat Kompetensi Pustakawan Kementan
Gambar 1. Login peserta
Gambar 3. Kelompok materi yang diikuti seorang peserta
Gambar 5. Materi yang dapat diunduh peserta
+2

Referensi

Dokumen terkait

Batik Teyeng yaitu nama batik yang diproduksi dengan melalui tahap peneyengan (tahap pemberian noda bekas besi berkarat pada kain. Teyeng yang artinya karat atau

Yang menjadi subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas II SD GKLB Sabang, Kecamatan Bulagi Utara Kabupaten Banggai Kepulauan, dengan jumlah 28 siswa yang terdiri

Hasil Penelitian dengan menggunakan METT menunjukkan bahwa kawasan TWA Bukit Kaba memiliki nilai Efektivitas tinggi dengan perolehan persentase rata-rata 80% dari hasil

Pada penelitian ini diuraikan hasil dan analisis dari penelitian berupa temuan hasil dari pengolahan data citra landsat 7 ETM+ dengan metode supervised classification,

Na temelju teorijskog okvira, inspiriranog Davidom Eastonom i Dieterom Fuchsom, možemo utvrditi kako u razdoblju nakon ulaska Republike Hrvatske u Europsku uniju do da- nas

Tutkimuksen mielenterveys- ja päihdeongelmaisten tukiasumisesta tulosten mukaan monet kyselyyn vastanneista olivat tyytyväisiä siitä, että heille on ylipäätään järjestynyt

Kemudian, jika menggunakan kriteria batas penerimaan item menggunakan INFIT MNSQ, maka dapat diketahui bahwa Item 19 diterima atau  fit dengan modelnya..

Pada penelitian ini yang akan dilakukan adalah membandingkan 5 buah metode algoritma data mining untuk menentukan metode mana yang paling optimal dalam menentukan