• Tidak ada hasil yang ditemukan

Miskonsepsi Matematika Siswa Sekolah Das

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Miskonsepsi Matematika Siswa Sekolah Das"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

37

MISKONSEPSI SISWA DALAM MATA PELAJARAN

MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR

Oleh:

Desy Andini

NIM: 1102175

e-mail: dinidesy@rocketmail.com

PENDAHULUAN

Sejumlah masalah muncul dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar. Baik itu siswa, orang tua, guru, dan masyrakat pun membenarkan hal tersebut. Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu sekolah atau satu daerah saja, namun terjadi juga di berbagai belahan dunia (dikutip dari PISA -Programme for International Student Assessment- dalam Ryan dan Williams, 2007). Lebih spesifik lagi dalam data PISA tahun 2012 tentang kemampuan Matematika siswa, rerata Indonesia kurang dari standar minimal yang ditetapkan pada skala internasional. Berbagai metode atau model atau strategi diadaptasi pada pembelajaran matematika guna meningkatkan kualitas dan keterampilan peserta didik untuk menyelesaikan masalah maatematis yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Namun penggunaannya harus merujuk pada inti permasalahan yang muncul dari siswa. Miskonsepsi atau kesalahpahaman konsep dalam mentransfer informasi yang diperoleh siswa ke dalam kerangka kerjanya, merupakan hal yang sering dijumpai di sekolah dasar, mulai dari permasalahan di kelas rendah tentang bilangan bulat dan operasi hitungnya, hingga permasalahan di kelas tinggi terkait materi statistika dan peluang.

(2)

37 - 2 Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual yang ia pelajari. Adapun anggapan lain yaitu kesalahan jawaban siswa karena masalah prosedural pengerjaan soal tersebut.

Berdasarkan latar belakang di atas penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan, yaitu :

(1) Apa pengertian miskonsepsi?; (2) Bagaimana

bentuk-bentuk miskonsepsi di sekolah dasar?; (3) Bagaimana respon guru terhadap

miskonsepsi siswa?; dan (4) Bagaimana tekhnik menghilangkan miskonsepsi?

DEFINISI MISKONSEPSI

Siswa berpikir mengenai apa yang ia lakukan dalam berbagai hal. Misalnya rumus, keterkaitan antar konsep, rasa jenuh dan kesenangan yang merupakan bagian dari sikap dan pemahaman mereka tentang matematika. Satu masalah pokok yang sangat serius mengenai sulitnya belajar matematika yaitu miskonsepsi siswa yang telah diperoleh dari pengalaman siswa sebelumnya mungkin masih tidak cukup, atau siswa tidak mengingatnya dengan baik. Hal ini dapat difenisikan sebagai

miskonsepsi. Dikutip dari Oxford Learner‟s Pocket Dictionary edisi keempat:

“Misconception (about) belief or idea that is not based on correct information.”

Miskonsepsi mencakup pemahaman atau pemikiran yang tidak berlandaskan pada informasi yang tepat. Keabsahan suatu informasi merujuk pada sumber yang tepat serta disertai bukti-bukti yang otentik. Mengubah kerangka kerja siswa merupakan kunci tercapainya tujuan untuk memperbaiki miskonsepsi matematika.

Pines (dalam Allen, 2007) menyatakan bahwa “hubungan antar-konsep yang

diperoleh, bisa jadi tidak tepat dengan beberapa konteks. Ini yang disebut sebagai miskonsepsi. Sebuah miskonsepsi tidak muncul dengan bebas, tetapi merupakan kesatuan dari kerangka kerja yang telah ada. Miskonsepsi dapat diganti atau

dihilangkan dengan mengubah kerangka kerja.” Pemahaman konsep baru yang

diperoleh, bisa jadi mendukung, kurang tepat atau bahkan bertentangan dengan pehamanan konsep sebelumnya. Hal ini didukung oleh pendapat Gooding dan

Metz (2011): “Ketika informasi datang mencapai lapisan luar celebral untuk

dianalisis, otak akan mencoba untuk mencocokkan berbagai komponen dengan

melihat kembali memori yang sudah ia ingat sebelumnya dengan ciri yang sama.”

BENTUK-BENTUK MISKONSEPSI DI SEKOLAH DASAR

(3)

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

37 - 3

perkembangan seperti "prakonsepsi," "kerangka alternatif primitif," atau "Ide-ide intuitif naif." Konstruktivis mungkin menganggap bahwa kesalahan ide-ide pada miskonsepsi siswa semakin berkembang karena instruksi ambigu yang tidak diubah dalam pembelajaran berikutnya. Sebagai contoh, perhatikan kasus anak kelas 3 Kevin, yang berpikir bahwa sudut kanan selalu terdiri dari garis horisontal dan garis vertikal. Ketika Kevin belajar tentang sudut kanan, gurunya selalu membuat bentuk di papan sebagai sudut antara garis horisontal dan vertikal baris. Teman sekelasnya, Jamahl, tidak setuju. Dia berpikir bahwa hanya setengah dari gambar Kevin tentang sudut kanan itu benar, dan setengah lainnya dari garis vertikal dan garis horisontal itu merupakan "sudut kiri."

1. Prakonsepsi

Konseptualisasi adalah proses pembelajaran yang mengasimilasi pengalaman baru ke dalam struktur yang memperluas skemata kognitif dan skemata konseptual. Kerelatifan dalam pemahaman konseptual ini dapat dilihat dari tingkat fleksibilitas dan dekontekstualisasi. Selama proses pembelajaran, prakonsepsi mewakili baik overgeneralization maupun undergeneralization dari konsep matematika. Contoh dari kedua jenis prakonsepsi yaitu dalam cakupan materi aritmatika, aljabar, geometri, dan peluang dan statistik yang tercantum dalam Tabel 3.1.

Dalam tabel tersebut merupakan contoh-contoh dari prakonsepsi yang biasa terjadi di kelas. Meskipun secara umum prakonsepsi siswa tersebut pada akhirnya diganti dengan konsep-konsep matematika yang tepat, instruksi yang timbal balik dan berpengetahuan luas melalui proses pembelajaran yang dapat mempercepatnya.

Tabel 1. Prakonsepsi Arithmetic, Aljabar, Geometri, dan Peluang dan Statistik

Topik Pembelajaran bukan dari nol pada alat ukur.

Geometri Orientasi relevan dengan definisi bentuk geometris.

(4)

37 - 4 Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual Aritmatika (bilangan bulat) Siswa sekolah dasar beranggapan

bahwa tidak ada bilangan yang lebih kecil dari nol.

Aritmatika (pecahan) Perkalian adalah selalu penambahan berulang.

Aritmatika (pecahan) Pecahan selalu mewakili hubungan bagian-keseluruhan.

Pra-aljabar Tanda sama dengan (=) merupakan perintah untuk melaksanakan

serangkaian operasi aritmatika, bukan sebagai tanda untuk hubungan

"kesetaraan."

Pra-aljabar

(Huruf mewakili jumlah yang tidak ditentukan)

Sejumlah besar siswa mengabaikan huruf-huruf, menggantinya dengan nilai-nilai numerik yang spesifik, atau menganggap mereka sebagai nama atau label pengukuran.

Aljabar (struktur) Jawaban tidak dapat menyertakan tanda-tanda operasi hitung. Siswa tidak mengerti bagaimana -dalam aljabar- dua persepsi yang berbeda bisa sama.

2. Undergeneralization

Undergeneralization dinyatakan dalam pemahaman yang terbatas dan kemampuan terbatas untuk menerapkan konsep-konsep. Pemahaman yang terbatas ini, menjelaskan berbagai keadaan mengenai pengetahuan siswa pada saat seluruh ide-ide matematika berkembang. Beberapa ujian/tes dapat menggambarkan bagaimana pemahaman yang terbatas tersebut merusak konsepsi kunci-kunci gagasan matematika.

(5)

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

37 - 5

Subkonsep bilangan rasional lainnya termasuk pecahan yang menampilkan rasio, perbandingan, pengukuran, dan pengerjaan/operasi hitung. Sebagai contoh, seorang siswa dengan pemahaman terbatas mengenai bilangan rasional mungkin tidak beranggapan 6:7 sama dengan 6/7 karena bentuk yang dikembangkan dalam konteks belajar tentang rasio sedangkan pembelajaran yang terakhir ia pahami yaitu tentang konteks pembagian (operasi hitung). Seorang siswa mungkin tidak memahami 3/4 sebagai hubungan keseluruhan-keseluruhan atau sebagian-sebagian, karena siswa memahami rasio hanya sebagai hubungan bagian-keseluruhan.

Konseptualisasi bilangan rasional mencakup baik mengenai diferensiasi maupun integrasi subkonsep. Sebelum konsep bilangan rasional berkembang dengan matang, siswa hanya memahami secara terbatas. Maka instruksi pada sistem bilangan harus mampu menjawab permasalah dari undergeneralization karena ada anggapan jika ciri-ciri tertentu dalam sistem bilangan menghambat pemahaman umum (Gelman dalam Ben-Hur: 2006).

Pada bidang lain pula ditemukan kesulitan besar pada siswa yang tidak memahami struktur matematika formal ketika siswa belajar aritmatika yang melibatkan transisi dari aritmatika ke pemikiran aljabar. Intuisi kuantitatif yang membantu siswa memahami aritmatika ini menjadi sia-sia karena mereka mengalihkan pemahaman dari aritmatika ke aljabar. Siswa tidak dapat melakukan operasi hitung pada bilangan yang tidak diketahui/dirahasiakan, siswa tidak dapat mengenali bagian-bagian tertentu dalam bentuk umum dan tidak dapat menerapkan bentuk umum untuk kasus tertentu. Sebagai contoh, siswa tersebut tidak dapat memahami persamaan seperti "2x + 3 = 8 - x" karena "2x + 3" tidak membentuk "8 - x." Mereka tidak memahami hal tersebut sebagai bentuk persamaan. Sama seperti (a - b) (a + b) dan (a + b) (a - b), ab dan ba, atau a (b + c) dan ab + ac karena mereka tidak bisa "memeriksa untuk mengetahui apakah itu benar." Pemahaman konsep-konsep matematika merupakan tantangan utama, sedangkan memperkuat pemahaman atau membuat siswa memahami bahasa formal atau bentuk aljabar, adalah hal lain.

3. Overgeneralization

(6)

37 - 6 Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

Overgeneralization muncul ketika siswa mengerjakan operasi pengurangan bilangan yang memiliki dua digit dengan cara mengurangi bilangan yang lebih kecil dari bilangan yang lebih besar (contoh: 32 – 17 = 25). Bisa jadi karena siswa berpikir melakukan pengurangan dua digit tanpa membawa atau menggabungkan pada langkah awal, mereka mengembangkan metode tentang penyelesaian soal tersebut tetapi mereka tidak memahami seluruh permasalahan pada operasi pengurangan bilangan dua digit. Contoh overgeneralization yang lainnya yaitu pemahaman siswa bahwa perkalian selalu memunculkan hasil yang lebih besar (atau pembagian selalu memunculkan hasil yang lebih kecil), misalnya 0,52 pasti lebih besar dari 0,5 dan sebagainya. Adapun pada level sederhana, siswa mengabaikan lambang yang mengindikasi bahwa bilangan tersebut merupakan bilangan desimal, pecahan, persen, atau bilangan negatif. Dengan demikian, 30% dianggap sebagai 30, bilangan bulat -5 dibaca sebagai 5, atau menghilangkan simbol koma (,) seperti contoh: 1,2 +3 = 1,5. Hal yang serupa terjadi pada operasi hitung 5 – 9 = 4 dan 1 ÷ 7 = 7 yang merupakan jenis kesalahan pembatasan perspektif bilangan bulat.

4. Modelling Error (Kesalahan Pemodelan)

Terkadang siswa menemukan permasalahan dalam konteks tugas yang sulit dipahami yang dinyatakan dengan cara lain daripada apa yang diharapkan, oleh guru matematika. Ketika guru mennggunakan tehnik pemodelan sebagai cara untuk menghubungkan matematika dengan kehidupan sehari-hari, hal ini mewakili penggunaan matematika yang kontekstual. Ada pendapat yang menyatakan mungkin ketika siswa mengalami kesalahan pemodelan, siswa tersebut memiliki pemodelan versi dirinya sendiri pada situasi tersebut, pada permasalahan dengan pemodelan matematika, kecuali dalam konteks pembelajaran di sekolah. Transisi dari bentuk informal dan kontekstual menjadi bahasa matematis yang formal merupakan hal yang sulit namun sangatlah penting. Pendapat pegagogik menyatakan masalah ini muncul ketika siswa menerima pengetahuan informal dan ketika dikenalkan dengan bahasa matematis formal. Contoh pada kehidupan

sehari-hari yaitu saat mendengarkan komentator olahraga mengucapkan „0,32‟ detik ketika

mengumumkan hasil finish dalam acara olahraga. Bahasa informal yang digunakan

mungkin memaknai „0,32‟ sebagai 32 dalam ratusan. Namun hal ini lebih parah lagi ketika siswa berhadapan dengan desimal yang panjangnya berbeda, misal „0,5‟ dan

„0,32‟, siswa akan mengalami miskonsepsi bahwa 0,5 pasti lebih kecil dari 0,32.

(7)

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

37 - 7

mengungkapkan kembali bagaimana cara pembagian kue dan menanyakan apakah hasil potongan ke dua kue ini sama atau tidak

Gambar 1

5. Prototyping Error (Kesalahan Contoh Baku)

Ketika siswa mempelajari suatu hal, siswa cenderung tidak mempelajarinya tidak secara matematis. Hal ini tampak dari perkembangan pengerjaan dari konsep yang lebih bersifat baku. Dengan menggunakan contoh baku untuk sebuah konsep yang kita anggap sebagai tipe contoh satu-satunya. Dari sebuah eksperimen, siswa mengikuti segala hal yang dipaparkan atau dikemukakan oleh guru. Mintalah siswa anda membayangkan sebuah segi empat. Tanynakan seperti apa bentunya? Apakah segi empat itu diletakkan mendatar dengan sisi panjang yang sejajar horizontal? Apakah tingginya setengah dari sisi panjang atau justru tingginya tiga kali lebih panjang dari sisi panjangnya? Pada kelas tinggi, ditemukan bahwa hanya satu atau dua dari Gambar 3 yang dianggap sebagai persegi. Berpikir secara baku ini tidak mencakup bujur sangkar sebagai contoh dari persegi.

Gambar 2

(8)

37 - 8 Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual Kesalahan lazim lainnya yaitu dalam membaca skala (lihat gambar 4), siswa membacanya 2,2 bukan 2,4. Umumnya siswa akan menganggap satu skala sebagai 1, sehingga sangat jarang siswa yang menganggap satu skala mewakili 2 atau 4 satuan. Oleh karena itu siswa cenderung menyalahartikan. Pada kasus seperti ini, siswa harus mencoba mengukur dengan skala berbeda, sehingga mereka mengetahui kesalahan mereka dan menghitung ulang dengan cara mencoba dan mengubah basisnya.

Gambar 3

Kesalahan contoh baku juga ditemukan dalam konsep bangun datar dan bangun ruang pada permasalahan pencerminan atau transformasi, yang terjadi ketika siswa menggunakan contoh baku pencerminan (atau titik pusat pada sumbu putar). Pada contoh baku biasanya menggunakan cermin sejajar sumbu vertikal atau horizontal, dan jika disajikan cermin dalam posisi diagonal maka bayangan dalam cermin bukan merupakan hasil pencerminannya.

(9)

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

37 - 9

6. Process Object Error (Kesalahan mengolah objek)

Masalah siswa yang paling awal dijumpai ketika mengenal bilangan, yaitu saat

siswa menjawab pertanyaan misalnya „adaberapa banyak kancing?‟ yang diajukan

oleh guru, jawabannya yaitu bilangan terakhir yang diucapkan saat siswa

membilang banyaknya kancing yang disediakan oleh guru, seperti 1, 2, 3, 4,….8. Ketika ditanya kembali „ada berapa banyak kancing?‟ siswa mungkin berpikir untuk

menjumlahkan kancing yang disediakan oleh guru. Dengan demikian, kata kunci

„ada berapa banyak…..‟ merupakan petunjuk untuk menjumlahkan. Namun proses

menjumlahkan ini belum disadari sebagai bentuk objek yang terdiri dari 8 kancing. Kebanyakan hasilnya diperoleh dengan cara membilang sejumlah kancing tersebut.

Belajar matematika melibatkan banyak pengolahan antar objek dan kesalahan pada pembelajaran seringkali dianggap sebagai kesalahan siswa saat menyelesaikan

pengolahan objek „pemisalan‟. Siswa menganggap bahwa 548 menupakan jawaban

dari penjumlahan μ – 1452 = 2000. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa terhadap soal tidak memadai, terutama pada simbol sama dengan (=). Siswa pertama-tama memahami tanda sama dengan, sebagai instruksi untuk menghasilkan bilangan melalui proses aritmatik, contoh: 3 + 5 = ? Proses yang terjadi saat siswa melihat tanda sama dengan, yaitu memproses 3 ditambahkan dengan 5 menghasilkan 8. Lambang sama dengan seharusnya dimaknai sebagai

„setara dengan‟ atau „adalah sama dengan‟. Sehingga 8 setara dengan 3 ditambah 5.

Pada konteks pengukuran panjang, siswa mungkin kesulitan mengidentifikasi hubungan antara label bilangan dengan cara mengukur yang digunakan. Dengan demikian, label 5 pada penggaris menunjukkan adanya 5 unit panjang (misal, sentimeter) yang diukur mencapai label 5, jika diukur dari label nol pada penggaris. Jelaskan pada siswa bahwa 5 unit tersebut adalah interval diantara angka-angka pada penggaris yang sebenarnya terdapat enam angka yaitu: 0, 1, 2, 3, 4, 5. Penjelasan tentang hubungan interval ini mungkin dapat menjelaskan banyaknya kesalahan dalam operasi hitung meskipun masih menggunakan proses penjumlahan pada garis bilangan. Siswa mungkin menjawab 18 – 14 = 15 dengan cara menghitung mundur angka 18, 17, 16, 15, atau menghitung pada garis bilangan tanpa melihat interval diantara bilangan tersebut.

RESPON GURU TERHADAP MISKONSEPSI SISWA

(10)

37 - 10 Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual harus ditekankan/dicirii dan bagaimana cara mengingatnya. Dalam mengalamatkan miskonsepsi siswa, pendekatan yang digunakan guru mungkin berpusat pada aspek prosedural atau aspek konseptual. Hiebert dan Lefevre (dalam Cockburn, 2008) membedakan pengetahuan konseptual yang dijabarkan sebagai cara menumbuhkan relasi yang baik, sedangkan pengetahuan prosedural memfokuskan pada gambaran simbolis dan algoritmis. Kurikulum memperhatikan kedua aspek tersebut, salah satu tantangan pembelajaran yaitu kedua aspek tersebut harus dicapai, permasalahan ini memburuk apabila guru kurang fasih dalam memahami konsep tema yang dibahas. (Chick, 2003).

Menyelidiki kemampuan pedagogis guru dan cara yang digunakan oleh guru merupakan pembuktian yang menantang, karena kemampuan pedagogis muncul ketika menghadapi kelas yang dikelolanya. Kondisi kelas berubah dari waktu ke waktu dan berbeda dari satu masalah ke masalah lain sehingga banyak sekali cara untuk mengobservasi dua orang guru pada kelasnya masing-masing pada saat menggunakan kemampuan pedagogik yang muncul dan membandingkan keduanya bukanlah hal yang mudah. Untuk pembelajaran berskala besar, diperlukan sumber rujukan karena mempengaruhi luas cakupan pengujian kemampuan pedagogik.

Penelitian respon guru terhadap miskonsepsi siswa pernah dilakukan oleh Chick dan Baker pada sembilan orang guru australia. Saat itu partisipan merupakan pengajar di kelas 5 dan 6 (siswa usia 10-12 tahun). Partisipan telah berpengalaman mengajar antara 2 hingga 22 tahun, tetapi tidak semua pengalaman mengajar itu hanya pada kelas 5 atau 6 saja. Penelitian kemampuan pedagogik ini dilakukan dengan cara melengkapi kuesioner dan wawancara mengenai jawaban yang tertulis dalam kuesioner. Kuesioner tersebut berisi beberapa butir pertanyaan yang berkaitan dengan situasi pembelajaran matematika dan cara pandang guru, partisipan menjawab tanpa batasan waktu dan sumber jawaban. Peneliti mewawancarai partisipan untuk memperjelas jawaban ambigu atau kesalahan penulisan. Partisipan menjawab empat butir dari keseluruhan kuesioner. Empat butir pertanyaan didesain untuk mengeksplorasi bagaimana respon guru pada miskonsepsi siswa, dengan fokus pada pengurangan algoritma, pembagian pecahan, penjumlahan pecahan, dan keterkaitan antara luas dan keliling.

Strategi yang digunakan guru dalam merespon miskonsepsi siswa ditunjukkan pada Tabel 2 kategori disunting berdasarkan identifikasi tema dari data.

Tabel 2. Kategori strategi gutu dalam merespon miskonsepsi siswa

Kategori Definisi

(11)

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

37 - 11

Konflik Kognitif Mengatur situasi pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk mengidentifikasi pertentangan asas matematika antara jawaban asli dengan jawaban siswa, dengan demikian siswa dapat mengevaluasi ulang kesalahannya sesuai dengan yang diharapkan guru.

Permasalahan pemahaman siswa

Mintalah siswa menjelaskan cara pengerjaan atau cara berpikir siswa saat mengerjakan soal, hal ini dilakukan untuk menemukan apa yang siswa pahami sehingga guru dapat menentukan apa yang harus dilakukan kedepannya serta mengetahui kesalahan siswa. (Jika data yang diperoleh tidak ditindaklanjuti oleh guru, maka tidak ada bedanya).

Lain-lain Jika strategi dari kategori sebelumnya belum jelas, gunakanlah contoh paling mudah

Ketika guru memberikan penjelasan atau bagaimana cara mengatasi masalah siswa dengan tepat, penjelasannya lebih pada kategori konseptual atau prosedural atau keduanya. Untuk justifikasi bahwa masalah siswa merupakan respon konseptual, maka harus menggunakan referensi tepat untuk menanamkan prinsip matematika, atau bagi yang bertentangan kerap kali memberikan teknik prosedural tanpa justifikasi yang tepat. Pada akhirnya, respon partisipan diuji lebih lanjut untuk memperjelas identifikasi aspek keterampilan pedagogik dalam penjelasan mereka.

(12)

37 - 12 Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual Tabel 3. Banyaknya guru yang menggunakan strategi khusus dalam merespon miskonsepsi. Guru boleh menggunakan lebih dari satu pendekatan.

Katerangan:

*Angka dalam tanda kurung menunjukkan adanya respon tambahan saat wawancara yang berbeda dengan jawaban yang tertera pada kuesioner.

*Salah satu guru meyakini adanya miskonsepsi, sehingga tidak menyarankan strategi apapun.

Tabel 4 menunjukkan penjelasan yang digunakan guru dalam merespon miskonsepsi siswa, apakah termasuk kategori prosedural atau konseptual. Tipe respon tampak tergantung pada materi. Guru lebih senang menggunakan penjelasan prosedural untuk materi pengurangan dan pembagian. Sangat kontras dengan materi penjumlahan pecahan serta luas dan keliling bangun datar, yang menggunakan penjelasan secara konseptual. Banyak pula yang menggabungkan aspek konseptual dan prosedural, seperti pada materi penjumlahan, yang mana penanaman konsep diperlukan untuk memperkuat keterampilan prosedural.

(13)

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

37 - 13

TEKHNIK MENGHILANGKAN MISKONSEPSI

Seperti yang sudah disebutkan, miskonsepsi harus dibangun kembali, dan guru harus membantu siswa merekonstruksi dengan konsep yang tepat. Lochead & Mestre 1988 dalam Allen, menyatakan tekhniknya yaitu:

1. Selidiki dan tentukan pemahaman dari segi kualitatif

Kualitas pemahaman siswa terhadap materi harus diketahui sehingga guru dapat memperbaiki miskonsepsi tersebut menggunakan metode dan strategi yang efektif.

2. Selidiki dan tentukan pemahaman dari segi kuantitatif

Banyaknya jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi pun harus diketahui. Karena bisa jadi penggunaan metode yang kurang tepat pada pembelajaran sebelumnya menyebabkan banyak bermunculan miskonsepsi di kelas

3. Selidiki dan temukan alasan yang konseptual

Berikan pemahaman yang bertahap dari tiap konsep. Diawali dari hal yang kongkrit, ikonik dan simbolik (Menurut Ausubel) sesuai tahap berpikir siswa. Ketiga hal tersebut sangat menunjang ketika guru menghadapkan siswa dengan menyajikan contoh yang berlawanan dengan miskonsepsinya. Dari contoh yang berlawanan tersebut akan muncul penemuan sendiri yang bersifat lebih kuat. Miskonsepsi itu akan tergantikan ketika terjadi perubahan konsepsi siswa. Berbagai metode atau model atau strategi atau pendekatan dapat dikembangkan oleh guru sesuai dengan kondisi kelas.

PENUTUP

KESIMPULAN

Dapat kita ketahui bahwa miskonsepsi merupakan kesalahan konsep yang tidak berlandaskan pada informasi yang tepat. Miskonsepsi dapat terjadi karena hubungan antar-konsep yang tidak saling berkaitan. Adapun miskonsepsi ini erat

hubungannya dengan „prakonsepsi‟, „kerangka alternatif primitif,‟ atau „Ide-ide

intuitif naif‟. Bentuk-bentuk miskonsepsi yaitu prakonsepsi, undergeneralization,

(14)

37 - 14 Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual REKOMENDASI

Kemampuan memahami tiap konsep dalam matematika tidak bisa diabaikan begitu saja karena jika terjadi miskonsepsi akan menghambat proses kognitif siswa, yang mungkin kemampuan tersebut menjadi prasyarat untuk memahami pembelajaran atau permasalahan selanjutnya. Guru harus merespon dengan baik hambatan siswa saat pembelajaran sehingga miskonsepsi dapat dihindari atau dihilangkan. Pendekatan konsetual dan prosedural dapat digunakan sebagai acuan pembelajaran atau remidiasi miskonsepsi.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, G. D. (2007). Student Thinking. Department of Mathematics. Texas: A&M University Jauhar, Mohammad. (2011). Implementasi PAIKEM. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Ben-Hur, M. (2006). Concept-Rich Mathematics Instruction. Alexandra: Association for Supervision and Curriculum Development.

Chick, H. L. dan Baker, M. K. (2005). Investigating Teacher‟s Responses To Student

Misconceptions. University of Melbourne.Mudjiono. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Cockburn, A. D. dan Littler G. (2008). Mathematical Misconceptions; A Guide for Primari Teacher. London: Replika Press.

Gooding, J. dan Metz, B. (2011). The Teacher‟s Science Journal. From Misconception

to Conceptual Change, hlmn 34-37.

Yuan-Chen, L., Hong-Yan, L., dan Wei-Kai, W. (2002). Mathematic Guide-Leraning System to the Misconception of Elementary Student. Proceedings of International Conference on Computers in Education.

Ryan, J. dan Williams, J. (2007). Children‟s Mathematics 4-15; Learning From Errors

Gambar

Tabel 1. Prakonsepsi Arithmetic, Aljabar, Geometri, dan Peluang dan Statistik
Gambar 2 Siswa menganggap bahwa persegi atau bujur sangkar selalu dalam posisi
Gambar 3 Kesalahan contoh baku juga ditemukan dalam konsep bangun datar dan
Tabel 2. Kategori strategi gutu dalam merespon miskonsepsi siswa
+3

Referensi

Dokumen terkait

tolak ukur dari pada efektifitas penegakan hukum 17. Menurut Sugeng Riono, Ketua Pengadilan Negeri Denpasar, bahwa pelaksanaan tugas hakim wasmat selama ini masih

x Efek somatik-stokastik adalah efek yang dialami sel-sel somatic pada orang yang menerima penyinaran, tetapi secara statistik beberapa efek tertunda tidak dapat di-

Pembahasan Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis untuk membuktikan pengaruh strategi marketing mix terhadap loyalitas konsumen pada rumah makan sambel layah, maka

laku di pasaran Eropa. b) Tanah yang dipakai untuk tanamam paksa bebas dari pajak. c) Hasil tanaman diserahkan kepada Belanda. d) Pekerjaan untuk tanam paksa tidak melebihi

Pada pola monokultur, kadar sari larut alkohol tertinggi (19,81%) diperoleh pada perlakuan dosis 20 ton kompos + 500 kg fosfat alam + 60 kg pupuk bio, lebih tinggi

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat dianalisa bahwa konflik penambang dengan pihak aparat merupakan bentuk Kekerasan langsung (direct violent) adalah suatu

Unsur-unsur yang perlu dievaluasi adalah hal-hal yang pokok atau penting, dengan ketentuan harga satuan penawaran yang nilainya lebih besar dari 110% (seratus