PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS (KPS)
PADA KONSEP KALOR
Nunung Nurjanah dan Iwan Permana Suwarna,
Program Studi Pendidikan Fisika
Jurusan Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
The purpose of this study was to determine the effect of the inquiry learning model to students science a process skills (KPS/SAPA) on the concept of heat. KPS aspects in this research include: observing, interpreting observations, predicting, communicating and implementing the concept. The experiment was conducted at one school in Jakarta (Indonesia). the method used was a quasi experimental with pretest-posttest control group design. Samples were taken with a purposive sampling technique. Research sample were 62 students, 31 students of the experimental group and 31 students of the control group. The instruments used in this study include: instruments to measure KPS, observation of student activity sheets, and lesson plan (RPP) and the Student inquiry Worksheet (LKS). The research data were analysed by using the t test for normal data and homogeneity and Mann Whitney for nonparametric statistica with U test for non normal data. Significance level in this study is 5%. The mean pretest score of the experimental group is 38.13 and control group is 35.92. The mean posttest score of experimental group is 65.61 and control group is 54.73. The mean N-gain of experimental group 0.44 (medium) and control groups at 0.27 (low). Students during learning activities have increased with higher categories. Aspects of the KPS can be improved: observing, interpreting observations, and prediction. Inquiry learning model has positive influence on KPS students on the concept of heat.
A. PENDAHULUAN
Perkembangan sains tidak hanya ditujukan pada produk ilmiah saja, namun meliputi juga metode ilmiah dan sikap ilmiah. Artinya metode ilmiah merupakan bagian dari sains (fisika). Hal ini berarti bahwa pembelajaran fisika tidak hanya berlandaskan teori-teori saja tapi mengarah pada aktivitas proses sains. Namun kenyataanya pembelajaran fisika masih didominasi metode konvensional.
Menurut Ditjen PMPTK (2008), terdapat kecenderungan pembelajaran sains di Indonesia, yaitu; (1) Pembelajaran hanya beriorientasi pada tes/ujian; (2) Pengalaman belajar yang diperoleh di kelompok tidak utuh dan tidak berorientasi pada tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar; (3) Pembelajaran lebih bersifat teacher-centered, guru hanya menyampaikan IPA sebagai produk dan peserta didik menghafal informasi faktual. (4) Peserta didik hanya mempelajari IPA pada domain kognitif yang terendah, peserta didik tidak dibiasakan untuk mengembangkan potensi berpikirnya; (5) Cara berpikir yang dikembangkan dalam kegiatan belajar belum menyentuh domain afektif dan psikomotor. Alasan yang sering dikemukakan oleh para guru adalah keterbatasan waktu, sarana, lingkungan belajar, dan jum-lah peserta didik per kelompok yang terlalu banyak; (6) Evaluasi yang dilakukan hanya berorientasi pada produk belajar yang berkaitan dengan domain kognitif dan tidak menilai proses.
Selain itu, penelitian yang dilakukan Sadia, et all (2009) terhadap rencana pelaksanaan pembelajaran guru Fisika SMA di Buleleng tahun 2003 menunjukkan 95% tujuan pembelajaran di kelompok mengarah pada penguasaan produk sains (pemahaman konsep, hukum dan teori-teori sebagai pengetahuan yang sudah jadi), hanya 5% yang mengarah pada keterampilan proses sains (KPS). Padahal KPS merupakan modal utama dalam mengembangkan teknologi modern dalam menghadapi globalisasi dunia, karena KPS dapat menumbuhkan sikap ilmiah. Dengan sikap ilmiah, manusia akan terus melakukan ekperimen-eksperimen dan penelitian dalam rangka mengembangkan teknologi. Keterampilan proses dalam pembelajaran sebaiknya diarahkan pada penguasaan konsep-konsep sains, menumbuhkan nilai dan sikap ilmiah, serta menerapkan konsep dan prinsip sains untuk menghasilkan karya teknologi sederhana yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Selain itu, dalam penelitian yang sama ditemukan bahwa metode ceramah merupakan metode yang dominan (70%) digunakan guru, tingkat dominasi guru dalam interaksi belajar mengajar juga tinggi yaitu 67% sehingga para siswa relatif pasif dalam proses pembelajaran. Dari masalah di atas jelas bahwa aktivitas pembelajaran masih didominasi oleh guru dan pembelajaran sains belum di arahkan pada aspek proses.
Salah satu alternatif penyelesaian masalah di atas adalah penerapan model pembelajaran inkuiri, di mana siswa akan terlibat secara maksimal dalam proses pembelajaran untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Pembelajaran inkuiri mengarah pada keterampilan proses dengan mengeksplorasi sikap dan perilaku ilmiah siswa, memancing keingintahuan, merangsang imajinasi, dan daya kreativitas, membangun etos akademik seperti ketelitian, ketepatan, dan ketangguhan.
B. METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen kuasi dengan desain pretest-posttest control group, dalam desain ini digunakan dua kelompok subjek yang diberikan perlakuan. Desain penelitian ini dapat digambarkan pada tabel 1.:
Tabel 1. Desain Kelompok Kontrol Prates-Postes
X1 : Perlakuan menerapkan model pembelajaran inkuiri X2 : Perlakuan menggunakan metode demonstrasi T2 : posttest
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa salah satu SMA di Jakarta. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas X yang berjumlah 62 siswa, 31 siswa kelas X-A sebagai kelompok eksperimen dan 36 siswa kelas X-B sebagai kelompok kontrol. Teknik pengambilan sampel
purposive sampling.
Data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil tes dan observasi. Jenis observasi yang digunakan adalah observasi langsung. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes dan lembar observasi. Tes yang digunakan adalah tes objektif berupa soal pilihan ganda dengan lima alternatif jawaban sebanyak 25 soal. Agar dapat mengukur KPS siswa maka soal tersebut dibuat berdasarkan indikator aspek KPS yaitu: aspek mengamati, menafsirkan pengamatan, prediksi, berkomunikasi dan menerapkan konsep. Sedangkan lembar observasi terdiri dari lima indikator KPS yang sama yang terbagi dalam empat fase pembelajaran inkuiri yaitu dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel Indikator KPS dalam Fase Pembelajaran Inkuiri
Fase Pembelajaran
Inkuiri Aspek KPS Sub Aspek KPS Indikator Aktivitas Siswa
Pengumpulan data
verifikasi Menerapkan konsep Menyusun hipotesis
Mengajukan hipotesis dari masalah yang dihadapi
Pengumpulan data eksperimen
Menafsirkan pengamatan Mencatat setiap pengamatan Mencatat setiap pengamatan pada LKS
Mengamati Menggunakan indera Mengamati percobaan yang dilakukan
Memprediksi Berdasarkan pengamatan, dapat mengemukakan apa yang mungkin terjadi Memprediksi kemungkinan yang terjadi dalam percobaan yang dilakukan
Merumuskan penjelasan
Berkomunikasi Menggambarkan data dengan grafik/tabel Membuat grafik/tabel
Berkomunikasi Menjelaskan hasil pengamatan Menjelaskan hasil percobaan yang dilakukan
Menerapkan konsep Menentukan bagaimana mengolah data hasil pengamatan untuk mengambil kesimpulan Mengolah data penelitian
Berkomunikasi Mendiskusikan hasil percobaan Melakukan diskusi mengenai hasil percobaan Menganalisis proses
inkuiri Berkomunikasi
Menyusun dan menyampaikan laporan secara
sistematis dan jelas Menyusun laporan
Menafsirkan pengamatan Menarik kesimpulan Menarik kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan
Setelah semua data terkumpul dilakukan uji analisis data meliputi uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas dilakukan untuk megetahui kenormalan data sampel yang diteliti. Uji normalitas data dilakukan menggunakan rumus kai kuadrat (chi square). Jika X2
hitung < X2tabel, maka
data berdistribusi normal. Pada keadaan lain data tidak berdistribusi normal. Uji homogenitas digunakan uji homogenitas dua varians atau Uji Fisher. Jika Fhitung < Ftabel, maka Ho diterima.
Setelah uji prasyarat dilakukan dan data dinyatakan berdistribusi normal dan homogen, maka dilakukan anlisis data untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh penerapan model pembelajaran inkuiri terhadap KPS, diukur dengan pengujian hipotesis, yaitu menggunakan uji signifikansi dengan uji-t (t-test). Ho diterima jika thitung < ttabel. Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar
C. HASIL PENELITIAN
Data hasil tes seteleh implementasian model pembelajaran ditunjukkan pada tabel 1.: Tabel 1
Data Statistik
Eksperimen Kontrol
Pretes t
Posttes
t N-gain
Pretes
t Posttest N-gain
N 31 31 31 31 31 31
X 38.13 65.61 0.44 35.93 54.73 0.26
S 10.38 8.79 0.15 6.83 9.09 0.14
1. Hasil Pretes
Gambar Histogram Hasil Pretest Kelompok Eksperimen dan Kontrol 2. Hasil posttest
Gambar Histogram Hasil Analisis Deskriptif Posttest Kelompok
Eksperimen dan Kontrol
3. Normal gain
Gambar
Histogram Skor N-Gain Kelompok Eksperimen dan
Kontrol
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan frekuensi kelompok eksperimen dan kontrol dari ketiga kategori tersebut.
Tabel Kategorisasi N-gain Kelompok Eksperimen
Kategori Frekuensi
Eksperimen Kontrol
Rendah 4 20
Sedang 26 11
Tinggi 1 0
Jumlah 31 31
Gambar Histogram Kategorisasi N-Gain Kelompok Eksperimen dan kontrol
4. Ketercapaian Aspek Keterampilan proses Sains (KPS) Prosentase ketercapaian aspek KPS
dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu rendah (< 30%), sedang (30%-60%), dan tinggi ( ≥ 60%). Hasil perhitungan prosentase rerata ketercapaian aspek KPS pada kelompok eksperimen dapat dilihat seperti pada tabel:
Tabel Ketercapaian KPS Pretest dan Posttest
Kelompok Eksperimen
Aspek KPS
Sko r Idea
l
Pretestt Posttest
Skor rerat a
(%) reratSkor
a (%)
Mengamati 4.00 1.90 47.58 2.29 57.26 Menafsirkan
Pengamatan 6.00 1.84 30.65 4.03 67.20 Memprediksi 5.00 1.29 25.81 3.03 60.65
Menerapkan
konsep 5.00 1.55 30.97 3.45 69.03 Berkomunikasi 5.00 2.84 56.77 3.55 70.97
Selisih rerata pretest dan posttest pada kelompok eksperimen dapat dilihat pada histogram di bawah ini:
Gambar Histogram Prosentase Ketercapaian KPS
pada Pretest dan
Posttest Kelompok Eksperimen
Berdasarkan histogram di atas, dapat dilihat peningkatan prosentase ketercapaian KPS yang cukup tinggi pada masing-masing aspek dari pretest ke posttest.
Tabel 4.3 Ketercapaian KPS Pretest dan Posttest Kelompok Kontrol
Aspek KPS
Pretestt Posttest
Skor
ideal rerataSkor (%) rerataSkor (%)
Mengamati 4.00 2.29 57.26 2.48 62.10 Menafsirkan
Aspek KPS
Pretestt Posttest
Skor
ideal rerataSkor (%) rerataSkor (%)
Memprediksi 5.00 0.97 19.35 1.39 27.74 Menerapkan konsep 5.00 1.48 29.68 3.03 60.65 Berkomunikasi 5.00 2.68 53.55 3.61 72.26
Selisih rerata pretest dan posttest pada kelompok eksperimen dapat dilihat pada histogram di bawah ini:
Gambar Histogram Prosentase Ketercapaian KPS Pretest dan Posttest
Kelompok Kontrol
Berdasarkan histogram, dapat dilihat peningkatan prosentase ketercapaian KPS yang cukup tinggi pada masing-masing aspek dari pretest ke
posttest.
Hasil perhitungan normal gain pada tiap aspek KPS yaitu pada kelompok eksperimen dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Berdasarkan gambar di atas, perolehan normal gain setiap aspeknya dijelaskan lebih rinci yaitu sebagai berikut:
Gambar Histogram Rerata N-gain pada Tiap Aspek
KPS
5. Hasil Observasi
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan pengamatan untuk mengetahui tingkat keterampilan proses sains dalam proses pembelajaran (aspek psikomotorik). Terdapat lima indikator KPS yang diobservasi dan terbagi dalam empat fase pembelajaran inkuiri.
Aspek mengamati, secara umum kemampuan mengamati siswa berada pada kategori tinggi tidak terjadi kenaikan atau penurunan, nilai dari pertemuan pertama sampai pertemuan terakhir tetap pada kategori tinggi 100%.
pertemuan pertama (75%) ke pertemuan ke-dua (95%). Pada pertemuan ke-dua (95%) sampai pertemuan ke-empat (50%) terjadi penurunan, hal ini dikarenakan pada pertemuan ke-dua siswa sangat antusias dengan materi pembelajaran dan metode yang digunakan, sementara pada pertemuan ke-tiga dan ke-empat pembelajaran dilakukan di ruang kelompok, tidak di laboratorium fisika sehingga pembelajaran kurang efektif dan
semangat siswa menurun.
Aspek memprediksi kemampuan siswa secara umum berada pada kategori sedang, pada kategori sedang ini terjadi kenaikan dari pertemuan pertama (67%) sampai pertemuan ke-tiga (100%). Pada pertemuan ke-tiga pembelajaran mengenai kalor laten, sehingga siswa tidak dapat memprediksi bagaimana suhu saat terjadi perubahan fasa zat.
Aspek menerapkan konsep, kemampuan siswa secara umum berada pada kategori tinggi, terjadi kenaikan dari pertemuan pertama (42%) ke pertemuan dua (75%). Pada pertemuan ke-dua (75%) sampai pertemuan ke-tiga (50%) terjadi penurunan, dan pada dari pertemuan ke-tiga sampai pertemuan ke-empat (67%) terjadi kenaikan lagi. Hal ini dikarenakan tingkatan kesulitan materi pembelajaran yang berubah tiap pertemuannya.
Aspek berkomunikasi, kemampuan siswa secara umum berada pada kategori tinggi, terjadi kenaikan dari pertemuan pertama (33%) sampai pertemuan ke-tiga (83%). Dari pertemuan ke-tiga sampai pertemuan ke-empat (33%) terjadi penurunan. Hal ini dikarenakan pada pertemuan ke-empat pembelajaran dilakukan di ruang kelompok, tidak di laboratorium fisika, sehingga pembelajaran kurang efektif. Data observasi pada aspek mengamati dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Dari data observasi kelima aspek KPS di atas, kemampuan tiap aspek KPS dari pertemuan pertama sampai pertemuan terakhir dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel Data Hasil Observasi KPS (Psikomotorik)
Aspek KPS
Tingkatan KPS
Pertemuan I PertemuanII PertemuanIII Pertemuan IV
Mengamati (100%)Tinggi (100%)Tinggi (100%)Tinggi (100%)Tinggi Menafsirkan
Pengamatan Tinggi(75%) Tinggi(92%) Tinggi(75%) Tinggi(50%) Memprediksi Sedang(67%) Sedang(83%) (100%)Sedang Tinggi(50%)
Menerapkan
Konsep Sedang(50%) Tinggi(75%) Tinggi(50%) Tinggi(67%) Berkomunikasi Sedang(38%) Sedang(56%) Tinggi(83%) Tinggi(39%)
hipotesis pretest menggunakan uji Mann-Whitney (uji U) dengan bantuan software SPSS versi 13. Hasil uji U menyatakan bahwa skor pretest kedua kelompok tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Sama halnya dengan hasil skor pretest, perolehan skor posttest kelompok eksperimen mencapai nilai rerata yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Pada kelompok kontrol, peningkatan nilai rerata yang diperoleh diikuti juga oleh peningkatan nilai standar deviasinya, hal ini menunjukkan bahwa keragaman kemampuan siswa kelompok kontrol belum merata dibandingkan dengan kemampuan siswa kelompok eksperimen.
Berdasarkan hasil observasi mengenai aktivitas keterampilan proses sains pada saat pembelajaran berlangsung menunjukkan bahwa model pembelajaran inkuiri melibatkan siswa untuk aktif dalam pembelajaran, khususnya aktivitas keterampilan proses sains. Dalam kegiatan observasi yang dilakukan pada empat pertemuan diketahui bahwa aspek KPS yang dilakukan siswa selama pembelajaran berlangsung sangat dinamis, hal ini dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhi. Hasil observasi keempat mengalami penurunan dibandingkan hasil observasi pada pertemuan sebelumnya, hal ini dikarenakan pada pertemuan tersebut pembelajaran berlangsung di ruang kelompok, tidak di laboratorium, sehingga pembelajaran kurang efektif. Secara umum kemampuan KPS yang diteliti efektif. Dengan demikian pembelajaran inkuiri yang diterapkan pada kelompok eksperimen menunjukkan aktivitas keterampilan proses sains (KPS).
Sari, et.all. dalam penelitiannya, menyimpulkan penerapan model pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan keterampilan proses siswa pada pokok bahasan laju reaksi di SMAN 1 Siak Sri Indrapura tahun ajaran 2008/2009, yang, menunjukkan bahwa: (1) Kualitas proses pembelajaran inkuiri terbimbing telah memungkinkan terjadinya peningkatan konstruksi pengetahuan dan keterampilan proses serta sikap sains siswa berlangsung dengan kategori baik; (2) Terdapat perbedaan keefektifan yang signifikan antara kelompok yang dibelajarkan dengan metoda pembelajaran inkuiri terbimbing dengan kelompok konvensional, Keefektifan metoda pembelajaran tersebut dapat dilihat dari rerata hasil penilaian kognitif, psikomotor, dan afektif siswa.
D. KESIMPULAN
Penggunaan model pembelajaran inkuiri pada konsep kalor dapat memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap keterampilan proses sains. Pembelajaran dengan menerapkan model inkuiri terbimbing ini cukup efektif, setiap aspek KPS mengalami peningkatan dengan kategori tinggi. Aktivitas siswa selama pembelajaran tergolong pada kategori tinggi terutama: aspek mengamati, menafsirkan pengamatan dan menerapkan konsep. Pada aspek berkomunikasi termasuk kategori sedang dan pada aspek memprediksi masih kurang. Disamping memiliki keunggulan, model ini juga mempunyai kelemahan, diantaranya: Guru akan sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan peserta didik; Perencanaan pembelajaran dengan model ini sulit karena terbentur dengan kebiasaan peserta didik dalam belajar; Dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang panjang, sehingga guru sulit untuk menyesuaikan dengan waktu yang ditentukan.
Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar dan sesuai dengan yang diharapkan. Pembelajaran inkuiri akan lebih baik jika digunakan pada konsep yang bersifat konkret agar siswa dapat menemukan sendiri konsep yang sedang dipelajari. Perlunya ketersediaan fasilittas laboratorium fisika yang memadai untuk praktikum pada pembelajaran inkuiri. Untuk para peneliti lainnya, disarankan untuk mengukur aspek KPS lainnya: aspek meramalkan, menggunakan alat dan bahan, merencanakan penelitian dan mengajukan pertanyaan. Mencoba untuk mengimplementasikan model pada level yang berbeda dengan kelompok kemampuan siswa yang beragam.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. 2008. Strategi Pembelajaran MIPA (Kompetensi Supervisi Akademik 03-B6a). DEPDIKNAS. Tersedia: http://www.bpgdisdik-jabar.net/materi/PS-1203-15.pdf. Diakses tanggal 10/01/10.
Sadia, Wayan. 2009. Pembelajaran Fisika SMAN 1 Buleleng. Tersedia:
diakses tanggal: 21/11/09.
Sari, dkk..Penerapan Pendekatan Inkuiri Untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Siswa Pada Pokok Bahasan Laju Reaksi Kelas XI IPA SMAN 1 SIAK SRI INDRAPURA. Tersedia: