1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu kegiatan usaha (bisnis) yang dijalankan oleh sutu perusahaan,
tentulah memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh pemilik dan manajemen, seperti keuntungan yang optimal atas usaha yang dijalankannya.
Untuk itu sebagai sarana untuk mewujudkannya akuntansi lahir dengan maksud tertentu, yaitu untuk memberikan jasa kepada penggunanya berupa informasi keuangan yang dibutuhkan untk proses pengambilan keputusan. Informasi ini
disebut dengan Laporan Keuangan. Laporan keuangan ialah laporan yang menunjukkan kondisi keuangan perusahaan pada saat ini atau dalam suatu periode
tertentu (Kasmir, 2000). Dengan memahami pengertian dari laporan keuangan, bisa ddidapatkan informasi dan gambaran posisi keuangan suatu perusahaan. Laporan keuangan menyediakan banyak informasi yang diperlukan para pemakai
untuk membuat keputusan ekonomis sehubungan dengan kegiatan suatu perusahaan. Para pemakai laporan keuangan akan menggunakannya untuk meramalkan, membandingkan, dan menilai dampak keuangan yang timbul dari
keputusan ekonomis yang akan diambil.
Selain pihak intern perusahaan yang memerlukan laporan keuangan ini,
1. Pemerintah
2. Investor
3. Kreditor
4. Pemegang saham
5. Publik
Laba memiliki pengaruh terhadap kegiatan usaha perusahaan serta keputusan yang akan diambil oleh manajemen perusahaan. Dalam hal ini, manajemen memiliki sebuah tanggung jawab dalam melaporkan setiap kinerja
dan posisi keuangan dalam suatu periode kepada semua pengguna laporan keuangan. Seperti kepada pemegang saham maupun investor agar mendapat
kepercayaan sehingga tetap menanamkan investasinya pada perusahaan tersebut. Untuk mencapai target tersebut manajemen pun berusaha keras mencari cara agar memiliki laba minimum atau pun ramalan pasar modal, dimana menjadi indikator
bagi para pemegang saham atau pun investor dalam mengambil keputusan nantinya. Dengan risiko saham yang akan dihadapi, manajemen memilih untuk
melakukan manajemen laba. Dengan alasan agar mencapai target minimum laba tanpa memiliki risiko saham yang tinggi. Alasan lain seperti perilaku oportunistik manajer untuk memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak
kompensasi, utang, biaya politik dan motivasi pajak.
Menurut Scott (2000) manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk
3 dengan keinginan manajer. Menurut Sugiri (1998) definisi sempit manjamen laba hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi, manajemen laba
didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk “bermain” dengan komponen discretionary accruals dalam menentukan besarnya earnings. Sedangkan defenisi
luasnya manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan
(mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas
ekonomis jangka panjang unit tersebut. Konsep manajemen laba menurut Salno dan Baridwan (2000:19), menggunakan pendekatan teori keagenan (agency theory) yang menyatakan bahwa ”praktek manajemen laba dipengaruhi oleh
konflik antara kepentingan manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul karena setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertimbangkan
tingkat kemakmuran yang dikehendakinya”. Teori keagenan (agency theory) memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara
principal dan agent. Pihak principal termotivasi mengadakan kontrak untuk
menyejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Agent
termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Konflik kepentingan semakin meningkat terutama karena
principal tidak dapat memonitor aktivitas manajemen sehari-hari untuk
memastikan bahwa manajemen bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham
cukup tentang kinerja agent. Agent mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah
yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agent. Ketidakseimbangan informasi inilah yang disebut dengan
asymmetry informasi. Adanya asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk
memaksimalkan dirinya sendiri, mengakibatkan agent memanfaatkan adanya asymmetry informasi yang dimilikinya untuk menyembunyikan beberapa
informasi yang tidak diketahui principal. Asymmetry informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara principal dan agent mendorong agent untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada principal, terutama jika
informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agent. Salah satu bentuk tindakan agent tersebut adalah yang disebut sebagai manajemen laba
(Widyaningdyah, 2001).
Praktek manajemen laba sering terjadi disemua perusahaan dunia dan seolah-olah sudah menjadi budaya perusahaan (corporate culture ). Sebab
manajemen laba ini bukan hanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Negara yang bisnisnya belum ditata, namun perusahaan-perusahaan di Negara yang bisnisnya sudah tertata rapi, seperti Amerika Serikat. Hal ini menyebabkan
resiko yang besar bukan hanya bagi perekonomian dunia, namun juga tatanan etika dan moral. Masalah Bank Century yang mulai tercium sejak merger tahun
2004 saat kondisi keuangannya bermasalah diduga karena tiadanya penerapan good corporate governance dan praktik moral hazard. Itu sebabnya publik sering
5 oleh pelaku bisnis. Sehingga publik pun meragukan informasi-informasi dari laporan keuangan dan orang yang menyusun dan memeriksa laporan keuangan,
mempertanyakan kelayakan standar akuntansi dan pemeriksaan yang selama ini dipakai secara luas oleh dunia usaha. Apalagi jika mengingat manajemen laba tidak hanya mempengaruhi perekonomian nasional namun juga perekonomian
internasional. Secara makro, manajemen laba telah membuat dunia usaha seolah berubah menjadi sarang pelaku korupsi, kolusi, dan berbagai penyelewengan lain
yang merugikan publik. Publik menganggap apa yang diinformasikan dunia usaha hanya merupakan akal-akalan pelakunya untuk memaksimalkan keuntungan pribadi dan kelompok tertentu, tanpa memperhatikan kepentingan pihak lain.
Demikian juga dengan kasus-kasus kecurangan korporasi di Indonesia yang terbukti menjadi salah satu penyebab runtuhnya perekonomian negara ini
atau skandal keuangan Enron, WoIrdcom, dan Xerox yang menyebabkan publik Amerika Serikat meragukan integritas dan kredibilitas para pelaku dunia usaha. Skandal ini bahkan tidak hanya membuat perusahaan yang melakukannya
mengalami kebangkrutan namun juga mengakibatkan para pelakunya diseret ke pengadilan sebagai pelaku kejahatan ekonomi. Dalam kasus Enron terbukti sejumlah Eksekutif Enron melakukan manipulasi pembukuan melalui Arthur
Anderson yang menyebabkan laba Enron terdongkrak US$ 1 milyar untuk menyesatkan para investornya. World Com juga mengakui telah
yang seharusnya merupakan biaya operasi normal. Akibatnya pos keuntungan seolah-olah sangat besar, sehingga harga sahamnya juga meningkat. Di Waste
Management, Inc. praktik akuntansi yang agresif menyebabkan laba sebelum pajak membengkak sebesar $1.43 miliar dan beban pajak kerendahan $178 juta antara tahun 1992 dan 1996 (Tuanakotta, 2007: 138). Tidak aneh sejak akhir
dasawarsa 1980-an kasus creative accounting ini menyebabkan good corporate governance menjadi perhatian publik di Inggris.
Menyangkut semua kasus tadi, diperlukan suatu pemecahan masalah. Maka dari itu Good Corporate Governance menurut Turnbul Report di inggris (1999), tata kelola perusahaan didefinisikan sebagai suatu sistem pengendalian
internal perusahaan yang memiliki tujuan utama mengelola risiko yang signifikan guna memenuhi tujuan bisnisnya melalui pengamanan aset perusahaan dan
meningkatkan nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang.Tata kelola perusahaan merupakan proses di mana komisaris dan auditor mengatur tanggung jawab mereka terhadap pemegang saham dan stakeholder-nya. Bagi pemegang
saham, tata kelola perusahaan yang baik dapat meningkatkan keyakinan mereka pada return yang adil dari investasi mereka, sedangkan bagi stakeholder perusahaan, adanya Corporate Governance yang baik memberikan jaminan
bahwa perusahaan akan mengelola dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat dalam cara-cara yang bertanggungjawab (Meier, 2005). Perusahaan
7 masih dapat terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan Corporate Governance akan menjadi sia-sia jika hanya didominasi oleh manajemen.
Indikator corporate governance yang digunakan Murhadi (2009) terdiri dari keberadaan komisaris independen, komite audit, CEO duality, Top share dan koalisi pemegang saham. Simamora (2011) melakukan penelitian terhadap
manajemen laba dengan menunjukkan ukuran dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, komite audit secara parsial tidak mempunyai pengaruh
terhadap dilakukannya tindakan manajemen laba dan hanya kepemilikan institusional yang mempunyai pengaruh terhadap dilakukannya manajemen laba. Hampir sama seperti (2012) menyatakan bahwa good corporate governance yang
diproksikan kedalam leverage, kepemilikan instutisional berpengaruh secara parsial terhadap manajeman laba dan proporsi dewan komisaris independen dan
komite audit tidak berpengaruh secara parsial terhadap manajeman laba. Namun penelitian yang dilakukan oleh Murhadi (2009), menunjukan good corporate governance berpengaruh signifikan terhadap praktik manajemen laba yang
dilakukan oleh perusahaan, tapi dari ke lima indikator good corporate governance (keberadaan komisaris independen, komite audit, CEO duality, Top share dan koalisi pemegang saham) hanya Dualitas CEO dan pemegang saham pengendali
memiliki pengaruh yang signifikan.
Dalam penelitian ini, peneliti berupaya menambah signifikansi penelitian
terhadap praktik manajemen laba dengan menambah variabel diluar good corporate governance. Variabel tersebut ialah salah satu jenis rasio Rentabilitas
Rentabilitas atau Profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber yang ada, seperti
kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawam, jumlah cabang dan sebagainya (Harahap, 1997). Lebih spesifik lagi, return on total asset ialah rasio yang menunjukan berapa besar laba bersih diperoleh perusahaan bila diuukur dengan
nilai aktiva (Harahap, 1997). Penelitian yang dilakukan oleh Ariyanti (2010), menunjukkan bahwa rasio-rasio keuangan seperti CAR, NIM, ROA, NPL, BOPO
tidak berpengaruh signifikan positif terhadap variabel perubahan laba. Sama halnya dengan Harefa (2011) yang meneliti bahwa CAR, BO/PO, ROA Bernilai negatif dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan laba. Berbeda
dengan Amertha (2013), menemukan bahwa kinerja perusahaan yang diproksikan dengan ROA (Return on Assets) berpengaruh positif yang berarti pihak
manajemen melakukan tindakan manajemen laba agar kinerja perusahaan terlihat lebih baik sesuai dengan harapan pihak manajemen tersebut.
Penelitian ini mengangkat industri perbankan sebagai populasi yang
diteliti, sebab industri perbankan seringkali menjadi sorotan publik mengingat perannya sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana, terutama sejak terjadinya krisis keuangan se-Asia yang terjadi tahun 1997-1998, yang lebih kita
kenal sebagai krisismoneter. Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu, peneliti berupaya menambah signifikansi penelitian terhadap praktik manajemen
9 governance, peneliti menambah variabel kepemilikan institusional, dengan alasan
mempertimbangkan dengan adanya pihak ketiga yang bercampur tangan akan
mengurangi praktik manajemen laba.
Sesuai uraian yang diatas serta banyaknya penelitian mengenai manajemen laba menunjukan bahwa memang manajemen laba merupakan suatu topik yang
sangat marak untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut dengan tujuan untuk penyempurnaan penelitian-penelitian yang ada. Oleh karena itu, peneliti
termotivasi untuk melakukan penelitian dengan menggunakan data perusahaan perbankan yang listed di Bursa Efek Indonesia, maka penelitian ini berjudul “PENGARUH MEKANISME GOOD CORPORATE GOVERNANCE DAN
PROFITABILITAS TERHADAPA MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK
INDONESIA”
1.2 Perumusan Masalah
Bergerak dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
permasalahan – permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah ukuran dewan komisaris punya pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan di Indonesia?
2. Apakah proporsi dewan komisaris independen punya pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan di Indonesia?
4. Apakah return on aset punya pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan di Indonesia?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Meneliti dan membuktikan pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan di Indonesia.
2. Meneliti dan membuktikan pengaruh proporsi dewan komisaris independen
terhadap manajemen laba pada perusahaan di Indonesia.
3. Meneliti dan membuktikan pengaruh kepemilikan institusional terhadap
manajemen laba pada perusahaan perbankan di Indonesia.
4. Meneliti dan membuktikan pengaruh return on aset terhadap pada perusahaan perbankan di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian yang dilakukan ini adalah :
1. Bagi peneliti, penelitian ini tentunya memperluas pengetahuan peneliti, khususnya tentang manajemen laba, bagaimana suatu perusahaan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang diteliti dan bagaimana faktor-faktor tersebut
11 2. Bagi pihak investor perusahaan, penelitian ini sangat diharapkan untuk bisa
bermanfaat sebagai referensi dalam pengambilan keputusan investasi terhadap
perusahaan.
3. Untuk ilmu pengetahuan, diharapkan penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai bukti empiris yang berhubungan dengan variable atau faktor-faktor
yang memepengaruhi manajemen laba.
4. Bagi akademisi, penelitian ini bisa digunakan sebagi rujukan atau referensi