BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN
A. Pengertian Hak Tanggungan
Sebelum lahirnya UUHT, pembebanan hak atas tanah sebagai jaminan
hutang menggunakan kelembagaan jaminan hipotik, karena pada waktu itu hak
atas tanah merupakan objek hukum dalam jaminan hipotik. Namun sesudah
berlakunya UUHT, pembebanan hak atas tanah sebagai jaminan hutang tidak lagi
menggunakan jaminan hipotik, melainkan menggunakan jaminan hak
tanggungan.10
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA, sudah disediakan lembaga hak
jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah yaitu hak
tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hypotheek dan Credietverband, akan tetapi lembaga hak tanggungan di atas belum berfungsi sebagimana mestinya,
karena belum adanya undang-undang yang mengaturnya secara lengkap, sesuai
dengan yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51 undang-undang tersebut
sehingga ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II KUHPerdata dan ketentuan Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebgaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 masih diberlakukan sepanjang mengenai hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan
UUPA. Padahal ketentuan-ketentuan tersebut di atas berasal dari zaman kolonial
10
belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya hukum
tanah nasional. Oleh karena itu ketentuan tersebut tidak sesuai lagi dengan hukum
tanah nasional dan tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi khusunya
di bidang perkreditan dan hak jaminan dikarenakan perkembangan pembangunan
ekonomi, sehingga menimbulkan perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai
masalah dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah. Dengan demikian perlu
kiranya dibentuk suatu undang-undang yang mengatur hak tanggungan atas tanah
berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam
UUPA, sekaligus mewujudkan adanya unifikasi hukum tanah nasional.
Setelah berlakunya UUHT, maka terpenuhilah apa yang diinginkan Pasal
51 UUPA, sehingga berdasarkan Pasal 29 UUHT menyatakan bahwa dengan
berlakunya UUHT, maka ketentuan hypotheek sebagaimana dimaksud dalam buku II KUHPerdata Indonesia dan ketentuan Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah berserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.11
Ketentuan mengenai hypotheek dan credietverband berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya
hukum tanah nasional, oleh karena itu tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah
nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang
terjadi dalam bidang perkreditan dan hak zaminan sebagai akibat kemajuan
pembangunan ekonomi. Pada zaman kolonial ketentuan hypotheek dipakai apabila
11
yang dijadikan jaminan adalah hak barat seperti : hak eigendom, hak erfpacht
dan hak opstal sedangkan ketentuan credit verband dipakai apabila yang dijadikan jaminan adalah tanah hak milik adat. Ketentuan tentang hypotheek dan credit verband tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang
perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan
ekonomi. Timbul perbedaan penafsiran mengenai jaminan atas tanah misalnya
dalam hal pencantuman title eksekutorial, pelaksanaan eksekusi, sehingga dirasa
kurang memberikan jaminan kepastian hukum. Oleh karena peraturan mengenai
peralihan hak tanggungan yang ditunjuk dalam Pasal 57 UUPA tersebut adalah
termasuk bagian dari hukum perdata serta dibuat pada jaman pemerintahan
kolonial belanda tentunya banyak menimbulkan masalah karena terjadinya
dualisme hukum jaminan atas tanah. Dualisme tersebut terjadi dengan adanya dua
macam lembaga tanggungan yaitu hypotheek dan credit verband, sehingga hal ini tidak sejalan dengan tujuan UUPA yang menghendaki adanya unifikasi hukum
tanah nasional.
Hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 UUHT adalah : “hak
tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan atas tanah, yang
selanjutnya disebut hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada
hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditur
Pasal 1 butir 1 UUHT dapat diketahui bahwa:12
Hak tanggungan adalah penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan
bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi
bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya
jika debitur cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian
pembayaran lunas utang debitur kepadanya.
“pada dasarnya suatu hak
tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak
mendahului, dengan objek jaminan berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam
UUPA.
13
1. Proses pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan (selanjutnya
disebut SKMHT) proses ini dilakukan tetapi tidak wajib.
Pada prinsipnya, hak tanggungan
itu merupakan lembaga hak jaminan kebendaan atas hak atas tanah untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur lain. Jaminan yang diberikan yaitu hak yang
diutamakan atau mendahulu dari kreditur-kreditur lainnya bagi kreditur pemegang
hak tanggungan.
Proses pengikatan hak tanggungan sampai dengan lahirnya hak
tanggungan ini adalah sebagai berikut;
2. Proses pembuatan akta pemberian hak tanggungan .proses ini wajib dilakukan.
3. Proses pendaftaran hak tanggungan.proses ini wajib diikuti dan setelah
pendaftaran inilah dianggap hak tanggungan secara resmi lahir.
12
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja Hak Tanggungan. (Kencana Jakarta: Prenada Media, 2005) hal 13
13
Adapun yang merupakan cirri-ciri dari suatu hak tanggungan adalah secara
berikut
1. Hak tanggungan memberikan hak preferensi (hak yang didahulukan)
kepada pemegang hak tanggungan.
2. Hak tanggungan mengikuti objek (tanah) yang dijamin,dalam tangan
siapa pun objek atau hak atas objek tersebut berada.
3. Hak tanggungan memenuhi asas spesialitas dan publisitas, sehingga
mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum.
4. Hak tanggungan mudah dan pasti dalam pelaksanaanya eksekusinya.
B. Asas-asas Hak Tanggungan
Asas-asas hak tanggungan tersebar dan diatur dalam berbagai pasal dan
penjelasan dari UUHT. Asas-asas hak tanggungan tersebut adalah:14
1. Asas hak didahulukan (preference), (penjelasan Pasal 5 UUHT umum angka 3 jo angka 4. Kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak
yang diutamakan (droit de preference) untuk dipenuhi. hal ini berarti bahwa kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak untuk
didahulukan di dalam mendapatkan pelunasan atas piutangnya daripada
kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda yang dibebani hak
tanggungan tersebut.
2. Asas hak kebendaan (Pasal 7 jo Penjelasan Umum angka 3 huruf b
UUHT). Dalam pasal tersebut tidak ada disebut kata hak kebendaan, yang
14
ada disebut sifat hak kebendaan yaitu hak tanggungan tetap mengikuti
objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada. Artinya
benda-benda yang dijadikan objek hak tanggungan itu tetap terbebani hak
tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada (droit de suite).
Dengan demikian apabila objek hak tanggungan sudah beralih
kepemilikan kepada orang lain, kreditur tetap mempunyai hak untuk
melakukan eksekusi terhadap objek hak tanggungan jika debitur cidera
janji.
3. Asas spesialitas dan publisitas (Penjelasan Umum angka 3 c UUHT). Asas
spesialitas maksudnya benda yang dibebani hak tanggungan itu harus
ditunjuk secara khusus. Dalam akta pemberian hak tanggungan harus
disebutkan secara tegas dan jelas mengenai benda yang dibebani itu
berupa apa, dimana letaknya, berapa luasnya, apa batas-batasnya dan apa
bukti pemiliknya. Adapun asas publisitas artinya hal pembebanan hak
tanggungan tersebut harus dapat diketahui oleh umum, untuk itu terhadap
akta pemberian hak tanggungan harus didaftarkan.
4. Asas mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya (Penjelasan Umum angka
3 d UUHT). Kemudahan dan kepastian pelaksanaan eksekusi terjadi
dengan adanya sifat hak melakukan eksekusi dari pemegang hak
tanggungan dengan mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
KeTuhanan yang Maha Esa” pada sertifikat hak tanggungan. Artinya dapat
dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan
5. Asas accessoir (Pasal 10 ayat (1), Penjelasan Umum angka 8 UUHT). Hak tanggungan adalah perjanjian ikutan dan tidak merupakan hak yang berdiri
sendiri (zelfstandigrecht). Adanya dan hapusnya perjanjian ikutan
(accessorium) tergantung dari perjanjian pokok
6. Asas pemisahan horizontal. Asas ini mengajarkan bahwa hak atas tanah
terpisah dari benda-benda yang melekat di atasnya (Penjelasan Umum
angka 6 UUHT), tetapi berlakunya tidak secara otomatis. Penerapannya
terjadi jika diperjanjikan yang dituangkan dalam APHT
C. Obyek dan Subyek Hak Tanggungan
Di dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT pengertian hak tanggungan adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
UUPA, berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut, untuk pelunasan utang debitur yang telah dilakukan terhadap kreditur.
Dimana dimaksudkan merupakan jaminan atas utang tersebut.
Objek hak tanggungan, dalam Pasal 4 UUHT telah ditentukan secara tegas
hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang yang dapat dibebani hak
tanggungan, yaitu:
1. Hak Milik
2. Hak guna usaha
3. Hak guna bangunan
4. Hak pakai, baik hak pakai atas tanah negara maupun hak pakai atas tanah
5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada
atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan
yang merupakkan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya
dengan tegas dinyatakan dalam akta pemberian hak tanggungan yang
bersangkutan.
Objek hak tanggungan akan menjadi luas jika dikaitkan dengan ketentuan
yang tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
1985 tentang Rumah Susun yang berkenaan dengan penjaminan rumah susun
beserta tempat dimana bangunan itu berdiri dan hak milik atas satuan rumah susun
tersebut yang berdiri di atas tanah hak milik.
Pada dasarnya benda-benda (tanah) yang akan dijadikan jaminan atas
suatu utang dengan dibebani hak tanggungan, harus memenuhi syarat-syarat,
yaitu:15
1. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang.
2. Termasuk hak yang didaftar dalam umum, karena harus memenuhi syarat
publisitas.
3. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cedera
janji (wanprestasi), benda yang dijadikan jaminan akan dapat dijual di
muka umum, dan
4. Menentukan penunjukan dengan undang-undang.
15
Budi Harsono, Konsepsi Pemikiran Tentang Undang-Undang Hak Tanggungan,
Sebagai bukti adanya hak tanggungan maka kantor badan pertanahan
nasional menerbitkan sertifikat hak tanggunggan yang dimana menjadi patokan
adalah tanggal pendaftaran/pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.16
Pada hak tanggungan juga terdapat subjek hukum yang menjadi hak
tanggungan yang terkait dengan perjanjian pemberi hak tanggungan. Di dalam
suatu perjanjian hak tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri yaitu,
sebagai berikut:
Peraturan menteri negara agraria/kepala badan pertanahan nasional Nomor
3 Tahun 1996 disebutkan bahwa sertifikat hak tanggungan terdiri atas salinan
buku tanah hak tanggungan dan salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan
(selanjutnya disebut APHT) yang bersangkutan yang telah dibuat oleh Kepala
Kantor Pertanahan, dan dijilid dalam satu sampul dokumen yang bentuknya telah
ditetapkan dalam aturan tersebut.
17
a. Pemberi hak tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek
hak tanggungan.
b. Pemegang hak tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima hak
tanggungan sebagai jaminan dari piutang yang diberikannya.
Undang-undang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah memuat ketentuan mengenai subjek hak tanggungan
dalam Pasal 8 dan Pasal 9, yaitu sebagai berikut:18
16
J. Satrio, Hukum Jaminan,Hak Kebendaan, Hak Tanggungan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1998), hlm. 151.
17
Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan,(Jakarta;Sinar Grafika, 2012), hal. 54
18
a. Pemberi hak tanggungan, yaitu orang perorangan atau badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
objek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan pada saat pendaftaran
hak tanggungan itu dilakukan.
b. Pemegang hak tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum
yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Subjek hak tanggungan selain warga negara Indonesia, dengan
ditetapkannya hak pakai atas tanah negara sebagai satu objek hak tanggungan,
bagi warga negara asing juga dimungkinkan untuk dapat menjadi subjek/hak
tanggungan, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:19 1. Sudah tinggal di Indonesia dalam waktu tertentu;
2. Mempunyai usaha di Indonesia;
3. Kredit itu dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah
negara republik indonesia
D. Pembebanan Hak Tanggungan
Sesuai dengan sifat Accecoir dari hak tanggungan, maka pembebanan hak tanggungan didahului dengan perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum
hutang piutang yang dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan
bahwa pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak
19
tanggungan sebagaimana jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di
dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang
yang bersangkutan.
Menurut Pasal 13 ayat (1) UUHT pemberian hak tangggungan wajib
didaftarkan pada kantor Pertanahan. Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan
pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) adalah pejabat
umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain
dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu
mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.
Proses pembebanan hak tanggungan menurut Penjelasan Umum angka 7
UUHT dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:
1. tahap pemberian hak tanggungan, dengan dibuatnya akta pemberian hak
tanggungan oleh PPAT, untuk selanjutnya disebut PPAT, yang didahului
dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin;
2. tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya
Hak Tanggungan yang dibebankan.
PPAT/Pembuat Pejabat Akta Tanah adalah sebagai pejabat umum yang
diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta
pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan hak
tanggungan. PPAT diangkat oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional dan masing-masing diberi daerah kerja. Ia hanya berwenang
dalam hal-hal khusus dengan izin Kepala Kantor BPN Wilayah Propinsi. Akta
yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik.
Pasal 11 ayat (1) UUHT menyebutkan bahwa APHT wajib
mencantumkan:
a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan. Apabila hak
tanggungan dibebankan pula pada benda-benda yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah milik orang perseorangan atau badan hukum lain
daripada pemegang hak atas tanah, pemberi hak tanggungan adalah
pemegang hak atas tanah bersama-sama pemilik benda tersebut;
b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di
antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula
dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili
pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan APHT
dianggap sebagai domisili yang dipilih;
c. Penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1). Penunjukan
utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud pada huruf ini
meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan;
d. Nilai tanggungan;
e. Uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan. Uraian yang jelas
mengenai obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada huruf ini
bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian
mengenai kepemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanahnya.
Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh
PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila obyek
hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang
telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum
dilakukan pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan
pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam pemberian hak tanggungan
di hadapan PPAT, wajib dihadiri oleh pemberi hak tanggungan dan penerima hak
tanggungan dan disaksikan oleh dua orang saksi.20
Mengenai tanggal buku-buku hak tanggungan adalah tanggal hari ke tujuh
setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi Menurut Pasal 13 UUHT, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan
pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
penandatanganan APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan
dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan Dengan pengiriman
oleh PPAT berarti akta dan warkah lain yang diperlukan itu disampaikan ke
Kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat.
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan
membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak
atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut
pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
20
pendaftarannya dan jika hari ke tujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang
bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Kepastian tanggal buku-tanah
itu dimaksudkan agar pembuatan buku-tanah hak tanggungan tidak berlarut-larut
sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi
kepastian hukum. Dengan adanya hari tanggal buku-tanah hak tanggungan, maka
hak tanggungan itu lahir, asas publisitas terpenuhi dengan dibuatnya buku-tanah
hak tanggungan dan hak tanggungan mengikat kepada pihak ketiga.
Sertifikat hak tanggungan merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan,
maka sertifikat tersebut membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya
sudah ada. Mengenai bentuk sertifikat hak tanggungan, diatur lebih lanjut dalam
Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk SKMHT, APHT, buku tanah hak
tanggungan, dan sertifikat (seharusnya ditulis Sertifikat), bahwa sertifikat hak
tanggungan itu terdiri atas salinan buku tanah hak tanggungan dan salinan APHT
yang bersangkutan, yang dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat dan dijahit menjadi satu dalam sampul dokumen dengan bentuk
sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996.
E. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Berpedoman pada Peraturan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996, dimana dalam peraturan ini ditetapkan
sesuai bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri tersebut, yang secara tegas
dimulai tanggal 1 Agustus 1996
Sebelum berlakunya UUHT, penggunaan surat kuasa dalam membebankan
hipotik seringkali dipergunakan untuk menunda pembebanan hipotik. Banyak
kreditur yang memegang surat kuasa membebankan hipotik yang hanya akan
dilaksanakan apabila ada gejala debitur akan cidera janji. Walaupun risiko akibat
belum dibebankannya hipotik itu ditanggung sepenuhnya oleh kreditur, karena
jaminan yang demikian tidak memberikan kedudukan yang diutamakan dan tidak
mengikuti benda yang dijaminkan, jika benda tersebut dipindahtangankan kepada
pihak lain, namun dianggap perlu untuk tidak meneruskan praktek tersebut untuk
menghidari adanya spekulasi ataupun manipulasi.
Sesuai Pasal 24 ayat (3) UUHT, surat kuasa membebankan hipotik yang
dibuat sebelum berlakunya UUHT, dapat digunakan sebagai SKMHT dalam
waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal 9 April 1996. APHT, yang dibuat berdasarkan
surat kuasa harus tetap memenuhi ketentuan UUHT. Pengertian surat kuasa disini
meliputi juga surat kuasa untuk menjaminkan tanah. Hal ini berarti surat kuasa
yang dimaksudkan tidak harus bernama atau berkepala “Kuasa Membebankan
atau memasang hipotik” melainkan mengenai surat kuasa dengan nama lain,
hanya saja isinya harus berisi tentang pemberian kuasa untuk membebankan hak
jaminan yang mempunyai ciri-ciri seperti hipotik, termasuk juga ciri-ciri
memberikan hak didahului (preferen) bagi pemegang hak tanggungan.
Ada beberapa keuntungan yang didapat kreditur dengan memiliki dan
a. Kuasa membebankan hipotik dapat dibuat dalam waktu yang relatif
singkat dibandingkan dengan membuat akta hipotik ;
b. Kuasa membebankan hipotik dapat dibuat dimana saja dalam wilayah
Indonesia, sedangkan membuat akta hipotik hanya boleh dibuat di kantor
PPAT yang wilayah kerjanya meliputi kecamatan atau kabupaten dalam
mana tanah yang akan dibebani hipotik itu berada ;
c. Dengan kuasa membebankan hipotik itu, kreditur dapat saja tanpa bantuan
pemegang hak atas tanah memasang hipotik ;
d. Biaya untuk membuat kuasa membebankan hipotik minimal seperempat
persen dari jumlah rupiah pembebanan hipotik
Pada dasarnya pembebanan hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh
pemberi hak tanggungan dan hadir di hadapan PPAT apabila benar-benar
“diperlukan”, yaitu karena suatu sebab pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir
dihadapan PPAT, diperkenankan penggunaan SKMHT dengan cara menunjuk
pihak lain sebagai kuasanya. Dengan demikian fungsi SKMHT adalah sebagai alat
untuk mengatasi apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir di hadapan
PPAT. Sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) UUHT yang menyebutkan bahwa :
“SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT”
Sejalan dengan hal tersebut, SKMHT harus diberikan langsung oleh
pemberi hak tanggungan dan harus memenuhi persyaratan tersebut mengenai
muatannya sebagaimana yang tetapkan pada Pasal 15 UUHT. Tidak terpenuhinya
bersangkutan akan batal demi hukum, yang berarti pula surat kuasa yang
bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan APHT.
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib menolak permohonan untuk
membuat APHT apabila SKMHT tidak dibuat sendiri oleh pemberi Hak
Tanggungan, atau tidak memenuhi persyaratan seperti diatas. Menurut Pasal 15
UUHT, pembuatan SKMHT selain kepada Notaris, ditugaskan juga kepada
PPAT. SKMHT tersebut berbentuk akta otentik. Dengan kata lain, sekalipun
harus dibuat dengan akta otentik, namun pilihannya bukan hanya dengan akta
Notaris saja, tetapi dapat juga dibuat dengan akta PPAT. Penugasan kepada PPAT
untuk membuat SKMHT mengingat keberadaannya sampai pada wilayah
kecamatan, dalam rangka memudahkan pemberian pelayanan kepada pihak-pihak
yang memerlukannya.
Dalam hal APHT dibuat berdasarkan SKMHT, maka pejabat pelaksana
didalam membuatnya harus mencermati terlebih dahulu mengenai kondisi Surat
kuasa membebankan hak tanggungan yaitu baik mengenai batas waktu
berlakunya, kewenangan pejabat pelaksananya, dan formalitas pembuatan akta.
Dapat dikatakan SKMHT wajib dibuat dengan akta otentik yang memuat
kuasauntuk membebankan hak tanggungan. Bagi sahnya suatu SKMHT selain
dari harus di buat dengan akta Notaris atau akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1)
UUHT harus pula di penuhi persyaratan SKMHT yang dibuat itu diantaranya :
1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada
membebankan hak tanggungan .Yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa
memuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek hak tanggungan, atau
memperpanjang hak atas tanah. Berkenaan dengan larangan tersebut, maka
tidak termasuk larangan memberikan kuasa dengan memberikan janji-janji
fakultatif. 21
2. Tidak memuat kuasa substitusi. Yang dimaksud dengan pengertian
“substitusi” menurut undang-undang ini adalah penggantian penerimaan kuasa
melalui pengalihan. Dalam substitusi ada penggantian figur penerima kuasa
atas dasar pelimpahan kuasa yang diterima penerima kuasa kepada orang lain
atas inisiatif penerima kuasa sendiri. Dengan demikian bukanlah merupakan
substitusi, apabila penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam
rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya pemberi jaminan
memberikan kuasa kepada bank untuk membebankan hak tanggungan dan
untuk pelaksanaan pembebanan tersebut bank menunjuk kepala cabang
tertentu untuk mewakili direksi. Berdasarkan Pasal 1803 KUHPerdata Dengan demikian ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT ini
menuntut agar SKMHT dibuat secara khusus hanya memuat pemberian kuasa
untuk membebankan hak tanggungan saja, sehingga dengan demikian pula
terpisah dari akta-akta lain, maka kuasa membebankan hak tanggungan tidak
lagi dapat dipersatukan dengan perjanjian kredit, tetapi harus dibuat terpisah
secara khusus. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT, apabila syarat ini tidak
dipenuhi mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan
sebagai dasar pembuatan APHT, sehingga konsekuensi hukum yang
ditetapkan berupa “batal demi hukum.
21
disimpulkan bahwa pada asasnya seorang kuasa berhak untuk
mensubstitusikan kepada orang lain, kecuali pemberi kuasa menyatakan atau
disimpulkan dari sikap dan tindakannya bahwa penerima kuasa tidak boleh
mensubstitusikan kuasa itu kepada orang lain, hal ini merupakan ketentuan
umum mengenai kuasa. Di dalam Pasal 1803 ayat (2) KUHPerdata, juga
menentukan bahwa pemberi kuasa senatiasa dianggap telah memberikan
kekuasaan kepada penerima kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai
penggantinya dalam hal kuasa yang diberikan untuk mengurus benda-benda
yang terletak di luar wilayah Indonesia atau di lain pulau selain daripada
tempat tinggal pemberi kuasa. Hal ini kiranya SKMHT tidak sekedar dalam
rumusannya tidak memuat kuasa substitusi, tetapi dalam rumusan SKMHT
secara tegas dicantumkan bahwa kuasa tersebut diberikan tanpa hak substitusi.
Oleh karena berlakunya ketentuan Pasal 1803 ayat (2) KUHPerdata, maka
dicantumkannya secara tegas di dalam rumusan SKMHT bahwa kuasa
tersebut diberikan hak substitusi, secara yuridis mengandung pemberian kuasa
substitusi dalam hal objek hak jaminan berada di lain pulau selain daripada
tempat tinggal pemberi kuasa.
3. Mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah utang dan nama
serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur, apabila debitur bukan
pemberi hak tanggungan “Jumlah utang “ yang dimaksud adalah jumlah utang
sesuai dengan yang diperjanjikan. Objek hak tanggungan adalah tanah berserta
dengan segala sesuatu yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang
unsur-unsur pokok dalam pembebanan hak tanggungan sangat diperlukan untuk
kepentingan, kepastian dan perlindungan, baik kepada penerima maupun
pemberi kuasa. Ini berarti SKMHT adalah suatu surat kuasa yang benar-benar
khusus, hanya terbatas untuk memberikan atau membebankan hak tanggungan
semata-mata. Dalam hal SKMHT telah memenuhi syarat formal dan syarat
substansi (materiil), maka dalam Pasal 15 ayat (2) UUHT menyatakan bahwa,
kuasa untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau
tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut
telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan (4) UUHT. Dalam Pasal 15 ayat (3) UUHT,
menyatakan bahwa SKMHT yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan
pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.
Sedangkan dalam Pasal 15 ayat (4) UUHT, menyatakan mengenai hak atas
tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah diberikan. Tanah yang belum terdaftar batas
waktu penggunaan SKMHT ditentukan lebih lama daripada tanah yang sudah
terdaftar, karena pembuatan APHT pada hak atas tanah yang belum terdaftar
harus dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah
yang bersangkutan. Hal ini lebih konkrit dijelaskan dalam ketentuan Pasal 10
ayat (3) UUHT yang berbunyi :
Akan tetapi ketentuan ini diperluas, diberlakukan juga terhadap
tanah-tanah yang sudah bersertifikat, akan tetapi belum terdaftar atas nama pemberi hak
tanggungan sebagai pemegang hak atas tanah yang baru, yaitu tanah yang belum
didaftar peralihan haknya, pemecahannya. Tanah-tanah yang demikian batas
waktu penggunaan SKMHT dipersamakan dengan hak atas tanah yang berasal
darikonversi hak lama. Batas waktu penggunaan SKMHT ini tidak menutup
kemungkinan dibuatnya SKMHT baru. Selama masih diperlukan untuk proses
pendaftaran hak atas tanah dan pembebanan hak tanggungan, SKMHT dapat
diperpanjang atau diperbaharui lagi.
Untuk itu perlu adanya ketentuan pembatasan jumlah penggunaan surat kuasa
dalam pembebanan hak tanggungan. 22
22
Rachmadi Usman, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah,
(Jakarta:Djambatan, 1999), hal. 119
Sedangkan dalam Pasal 15 ayat (5)
UUHT ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) tidak berlaku
dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka
pelaksanaan pembangunan dan mengingat kepentingan golongan ekonomi
lemah, untuk memberikan kredit tertentu yang ditetapkan pemerintah. Dalam
hubungannya dengan jaminan pemberian kredit tertentu telah dikeluarkan
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan SKMHT untuk
menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu. Terhadap pemberian SKMHT yang
a. Kredit produktif yang termasuk kredit usaha kecil, sebagaimana dimaksud
dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/24/KEP/Dir
tanggal 29 Mei 1993 ;
b. Kredit pemilikan rumah yang termasuk dalam golongan kredit usaha kecil
c. Kredit untuk perusahaan inti dalam rangka Perusahaan Inti Rakyat (PIR)
lainnya yang dijamin dengan hak atas tanah yang pengadaannya dibiayai
dengan kredit tersebut.
Pasal-pasal tentang hak tanggungan atas tanah, kredit pembebasan tanah
dan kredit konstruksi yang diberikan kepada pengembang dalam rangka
kredit pemilikan rumah, yang dijamin dengan hak atas tanah yang
pengadaan dan pengembangannya dibiayai dengan kredit tersebut.
Dalam Pasal 15 ayat (6) UUHT, menyatakan SKMHT yang diikuti dengan
pembuatan APHT dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (3) dan (4), atau waktu yang ditentukan menurut
ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) akan batal demi
hukum.
F. Hapusnya Hak Tanggungan
Berdasarkan Pasal 18 UUHT yang menentukan bahwa : 23
1. Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan;
b. Dilepasnya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan;
23
c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri;
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.
Sesuai dengan sifat accessoir dari hak tanggungan, adanya hak tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang
itu hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain dengan sendirinya hak
tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga. Selain itu, pemegang hak
tanggungan dapat melepaskan hak tanggungan dan hak atas tanah dapat hapus,
yang mengakibatkan hapusnya hak tanggungan. Hak atas tanah dapat hapus
antara lain karena hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal 27, Pasal 34 dan
Pasal 40 UUPA atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hak guna
usaha, hak guna bangunan atau hak pakai yang dijadikan objek hak
tanggungan berakhir jangka waktu berlakunya dan diperpanjang berdasarkan
permohonan yang diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut. Hak
tanggungan dimaksud tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan.
2. Hapusnya hak tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan
dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya hak
tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan kepada pemberi hak
tanggungan.;
3. Hapusnya hak tanggungan karena pembersihan hak tanggungan berdasarkan
penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan
tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban hak tanggungan sebagaimana
diatur dalam Pasal 19;
4. Hapusnya hak tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak
tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin24
24