BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sabun
Sabun adalah garam alkali (Li, Na, atau K) dari asam lemak berantai panjang. Karena kebanyakan kotoran yang menempel pada permukaan berbentuk
lapisan minyak tipis, sulit membuangnya kecuali bila lapisan minyak tersebut diemulsikan dulu dengan air (Wilbrahami, 1992).
Sabun dihasilkan dari proses saponifikasi, yaitu hidrolisis lemak menjadi
asam lemak dan gliserol dalam NaOH (minyak dipanaskan dengan NaOH) sampai terhidolisis sempurna. Asam lemak yang berikatan dengan natrium ini dinamakan
sabun (Ketaren, 1996).
2.1.1 Fungsi Sabun
Fungsi sabun dalam anekaragam cara adalah sebagai bahan pembersih.
Sabun menurunkan tegangan permukaan air, sehingga memungkinkan air itu membasahi bahan yang dicuci dengan lebih efektif, sabun bertindak sebagai suatu
zat pengemulsi untuk mendispersikan minyak dan gemuk; dan sabun teradsorpsi pada butiran kotoran (Keenan, 1980).
2.1.2 Komposisi Sabun
Menurut Wasitaatmadja (1997), sabun biasanya mengandung: a. Surfaktan
Apabila ditambahkan ke suatu cairan pada konsentrasi rendah, maka dapat mengubah karakteristik tegangan permukaan dan antarmuka cairan tersebut Surfaktan merupakan bahan terpenting dari sabun. Lemak dan minyak yang
dipakai dalam sabun berasal dari minyak kelapa (asam lemak C12), minyak zaitun (asam lemak C16-C18), atau lemak babi. Penggunaan bahan berbeda menghasilkan
sabun yang berbeda, baik secara fisik maupun kimia. Ada sabun yang cepat berbusa tetapi terasa airnya kasar dan tidak stabil, ada yang lambat berbusa tetapi lengket dan stabil (Elefani, 2008; Wasitaatmadja (1997).
b. Pelumas
Untuk menghindari rasa kering pada kulit diperlukan bahan yang tidak saja
meminyaki kulit tetapi juga berfungsi untuk membentuk sabun yang lunak, misal: asam lemak bebas, fatty alcohol, gliserol, lanolin, paraffin lunak, cocoa butter, dan minyak almond, bahan sintetik ester asam sulfosuksinat, asam lemak
isotionat, asam lemak etanolamid, polimer JR, dan carbon resin (polimer akrilat). Bahan-bahan selain meminyaki kulit juga dapat menstabilkan busa dan berfungsi
sebagai peramas (plasticizers).
c. Antioksidan dan Sequestering Agents
Antioksidan merupakan zat yang mampu memperlambat atau mencegah
proses oksidasi. Untuk menghindari kerusakan lemak terutama bau tengik, dibutuhkan bahan penghambat oksidasi, misalnya stearil hidrazid dan
butilhydroxy toluene (0,02% - 0,1%). Sequestering Agents dibutuhkan untuk
d. Deodorant
Deodorant adalah suatu zat yang digunakan untuk menyerap atau mengurangi bau menyengat pada badan Deodorant dalam sabun mulai
dipergunakan sejak tahun 1950, namun oleh karena khawatir efek samping, penggunaannya dibatasi. Bahan yang digunakan adalah triklorokarbon,
heksaklorofen, diklorofen, triklosan, dan sulfur koloidal (Nurdieni, 2013; Wasitaatmadja (1997).
e. Warna
Kebanyakan sabun toilet berwarna cokelat, hijau biru, putih, atau krem. Pewarna sabun dibolehkan sepanjang memenuhi syarat dan peraturan yang ada,
pigmen yang digunakan biasanya stabil dan konsentrasinya kecil sekali (0,01-0,5%). Titanium dioksida 0,01% ditambahkan pada berbagai sabun untuk menimbulkan efek berkilau. Akhir-akhir ini dibuat sabun tanpa warna dan
transparan. f. Parfum
Isi sabun tidak lengkap bila tidak ditambahkan parfum sebagai pewangi. Pewangi ini harus berada dalam pH dan warna yang berbeda pula. Setiap pabrik memilih bau dan warna sabun bergantung pada permintaan pasar atau masyarakat
pemakainya. Biasanya dibutuhkan wangi parfum yang tidak sama untuk membedakan produk masing-masing.
g. Pengontrol pH
h. Bahan Tambahan Khusus
Berbagai bahan tambahan untuk memenuhi kebutuhan pasar, produsen, maupun segi ekonomi dapat dimasukkan ke dalam formula sabun. Menurut
Wasitaatmadja (1997), dikenal berbagai macam sabun khusus misalnya: 1. Superfatty yang menambahkan lanolin atau paraffin.
2. Transparan yang menambahkan sukrosa dan gliserin.
3. Antiseptik (medicated = carbolic) yang menambahkan bahan antiseptik,
misalnya: fenol, kresol, dan sebagainya.
4. Sabun bayi yang lebih berminyak, pH netral, dan noniritatif.
5. Sabun netral, mirip dengan sabun bayi dengan sabun bayi dengan konsentrasi
dan tujuan yang berbeda.
2.1.3 Jenis-jenis Minyak atau Lemak pada Pembuatan Sabun
Menurut Rohman (2009), beberapa jenis minyak atau lemak yang biasa
dipakai dalam proses pembuatan sabun di antaranya: 1. Tallow
Tallow adalah lemak sapi atau domba yang dihasilkan oleh industri pengolahan daging sebagai hasil samping. Kualitas dari tallow ditentukan dari warna, titer (temperatur solidifikasi dari asam lemak), kandungan FFA (Free
Fatty Acid), bilangan saponifikasi, dan bilangan iodin. Tallow dengan kualitas
baik biasanya digunakan dalam pembuatan sabun mandi dan tallow dengan
berkisar antara 0,75-7,0%. Titer pada tallow umumnya di atas 40°C. Tallow dengan titer di bawah 40°C dikenal dengan nama grease.
2. Lard
Lard merupakan minyak babi yang masih banyak mengandung asam lemak tak jenuh seperti oleat (60-65%) dan asam lemak jenuh seperti stearat (35-40%).
Jika digunakan sebagai pengganti tallow, lard harus dihidrogenasi parsial terlebih dahulu untuk mengurangi ketidakjenuhannya. Sabun yang dihasilkan dari lard berwarna putih dan mudah berbusa.
3. Palm Oil (minyak kelapa sawit)
Minyak kelapa sawit umumnya digunakan sebagai pengganti tallow.
Minyak kelapa sawit dapat diperoleh dari pemasakan buah kelapa sawit. Minyak kelapa sawit berwarna jingga kemerahan karena adanya kandungan zat warna karotenoid sehingga jika akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun
harus dipucatkan terlebih dahulu. Sabun yang terbuat dari 100% minyak kelapa sawit akan bersifat keras dan sulit berbusa. Maka dari itu, jika akan digunakan
sebagai bahan baku pembuatan sabun, minyak kelapa sawit harus dicampur dengan bahan lainnya.
4. Coconut Oil (minyak kelapa)
Minyak kelapa merupakan minyak nabati yang sering digunakan dalam industri pembuatan sabun. Minyak kelapa berwarna kuning pucat dan diperoleh
kelapa tahan terhadap oksidasi yang menimbulkan bau tengik. Minyak kelapa juga memiliki kandungan asam lemak kaproat, kaprilat, dan kaprat.
5. Palm Kernel Oil (minyak inti kelapa sawit)
Minyak inti kelapa sawit diperoleh dari biji kelapa sawit. Minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak yang mirip dengan minyak kelapa sehingga
dapat digunakan sebagai pengganti minyak kelapa. Minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak tak jenuh lebih tinggi dan asam lemak rantai pendek lebih rendah daripada minyak kelapa.
6. Palm Oil Stearine (minyak sawit stearin)
Minyak sawit stearin adalah minyak yang dihasilkan dari ekstraksi
asam-asam lemak dari minyak sawit dengan pelarut aseton dan heksana. Kandungan asam lemak terbesar dalam minyak ini adalah stearin.
7. Marine Oil
Marine oil berasal dari mamalia laut (paus) dan ikan laut. Marine oil memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang cukup tinggi, sehingga harus
dihidrogenasi parsial terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai bahan baku. 8. Castor Oil (minyak jarak)
Minyak ini berasal dari biji pohon jarak dan digunakan untuk membuat
sabun transparan.
9. Olive oil (minyak zaitun)
10. Campuran minyak dan lemak
Industri pembuat sabun umumnya membuat sabun yang berasal dari campuran minyak dan lemak yang berbeda. Minyak kelapa sering dicampur
dengan tallow karena memiliki sifat yang saling melengkapi. Minyak kelapa memiliki kandungan asam laurat dan miristat yang tinggi dan dapat membuat
sabun mudah larut dan berbusa. Kandungan stearat dan palmitat yang tinggi dari tallow akan memperkeras struktur sabun.
2.1.4 Efek Samping Sabun pada Kulit
Sabun digunakan untuk membersihkan kotoran pada kulit baik berupa kotoran yang larut dalam air maupun yang larut dalam lemak. Namun dengan
penggunaan sabun kita akan mendapatkan efek lain pada kulit seperti berikut ini: a. Daya Pembengkakan dan Pengeringan Kulit
Kontak air (pH) pada kulit yang lama akan menyebabkan lapisan tanduk
kulit membengkak akibat kenaikan permeabilitas kulit terhadap air. Cairan yang mengandung sabun dengan pH alkalis akan mempercepat hilangnya mantel asam
pada lemak kulit permukaan sehingga pembengkakan kulit akan terjadi lebih cepat. Marchionini dan Schade (1928) yang meneliti hal tersebut menyatakan bahwa kelenjar minyak kulit berperan dalam membentuk keasaman kulit dengan
pembentukan lapisan lemak permukaan kulit yang agak asam. Besarnya kerusakan lapisan lemak kulit yang terjadi bergantung pada: temperatur,
maka cairan sabun dapat diabsorpsi oleh lapisan luar kulit sehingga dapat tetap berada di dalam kulit sesudah dibilas. Kerusakan lapisan lemak kulit dapat menambah kekeringan kulit akibat kegagalan sel kulit mengikat air.
Pembengkakan kulit akan menurunkan pula kapasitas sel untuk menahan air sehingga kemudian terjadi pengeringan yang akan diikuti oleh kekenduran dan
pelepasan ikatan antarsel tanduk kulit. Kulit tampak kasar, dan tidak elastis. Penambahan sabun dengan bahan-bahan pelumas (superfatty) dapat mengurangi efek ini (Wasitaatmadja, 1997).
b. Daya Antimikrobial
Sabun yang mengandung surfaktan, terutama kation, mempunyai daya
antimikroba, apalagi bila ditambah bahan antimikroba. Daya antimikroba ini terjadi akibat kekeringan kulit, pembersihan kulit, oksidasi di dalam sel keratin, daya pemisah surfaktan, dan kerja mekanisme air (Wasitaatmadja, 1997).
c. Daya Antiperspirasi
Kekeringan kulit juga dibantu oleh penekanan perspirasi. Pada percobaan
dengan larutan natrium lauril sulfat, didapat penurunan produksi kelenjar keringat antara 25-75% (Wasitaatmadja, 1997).
d. Lain-lain
Efek samping lain berupa dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak alergik, atau kombinasi keduanya. Sabun merupakan iritan lemah. Penggunaan yang lama
Reaksi alergi terhadap deterjen sintetik lebih jarang, lebih mungkin terjadi secara kumulatif akibat penggunaan yang berulang pada kulit yang sensitif (Wasitaatmadja, 1997).
2.2 Sabun Mandi Padat
Sabun dihasilkan oleh proses saponifikasi, yaitu hidrolisis lemak menjadi
asam lemak dan gliserol dalam kondisi basa. Pembuatan kondisi basa yang biasa digunakan adalah natrium hidroksida (NaOH) dan kalium hidroksida (KOH). Jika basa yang digunakan adalah NaOH, maka produk reaksi tersebut berupa sabun
keras (padat), sedangkan basa yang digunakan berupa KOH maka produk reaksi berupa sabun cair (Dalimunthe, 2009).
Sabun mandi adalah senyawa natrium dengan asam lemak yang digunakan sebagai bahan pembersih tubuh, berbentuk padat, berbusa, dengan atau penambahan lain serta tidak menyebabkan iritasi pada kulit (SNI, 1994).
Sabun mandi merupakan garam logam alkali (Na) dengan asam lemak dan minyak dari bahan alam yang disebut trigliserida. Lemak dan minyak mempunyai
dua jenis ikatan, yaitu ikatan jenuh dan ikatan tak jenuh dengan atom karbon 8-12 yang berikatan ester dengan gliserin. Secara umum, reaksi antara kaustik dengan gliserol menghasilkan gliserol dan sabun yang disebut dengan saponifikasi. Setiap
minyak dan lemak mengandung asam-asam lemak yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut menyebabkan sabun mempunyai sifat yang berbeda. Minyak dengan
Dalam pembuatan sabun, lemak dipanasi dalam ketel besi yang besar dengan larutan natrium hidroksida dalam air, sampai lemak itu terhidrolisis sempurna. Pereaksi semacam itu sering disebut penyabunan (latin, sapo adalah
sabun), karena reaksi itu telah digunakan sejak zaman Romawi kuno untuk mengubah lemak dan minyak menjadi sabun. Kebanyakan sabun alamiah
sekarang terbuat terutama dari empat lemak sapi, minyak palma, minyak kelapa dan minyak zaitun. Sabun itu diendapkan dengan penambahan garam. Kemudian diambil dengan disaring, dicuci, dan dicampur dengan zat warna parfum dan
komponen istimewa lain. Setelah mengeras, dipotong-potong dan dicetak menjadi sabun yang lazim dijual (Keenan, 1980).
Garam asam lemak biasanya disebut sabun. Daya pembersih sabun bertumpu pada sifat amfipatik molekul sabun. Molekul-molekul sabun menghancurkan material berlemak yang menahan kotoran pada permukaan
dengan megikatkan diri pada molekul-molekul lemak. Bagian-bagian polar dari molekul-molekul sabun yang bergabung menyebabkan kotoran dan
partikel-partikel lemak menjadi mantap dalam larutan berair sehingga dapat dicuci lepas di dalam air (Page, 1989).
2.1.1 Syarat Mutu Sabun Mandi
Tabel 1. Syarat Mutu Sabun Mandi
(Acuan SNI 06-3235-1994 )
2.3 Lemak
Lemak adalah senyawa kimia yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam
pelarut organik. Lemak adalah campuran trigliserida. Trigliserida terdiri atas satu molekul gliserol yang berikatan dengan tiga molekul asam lemak. Digliserida
terdiri dari gliserol yang mengikat dua molekul asam lemak sedangkan monogliserida hanya memiliki satu asam lemak (Gaman dan Serington, 1994).
Trigliserida dapat berwujud padat atau cair, dan hal ini tergantung dari
komposisi asam lemak yang menyusunnya. Sebagian besar minyak nabati berbentuk cair karena mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh, yaitu asam
asam lemak jenuh, misalnya asam palmitat dan stearat yang mempuyai titik cair lebih tinggi (Ketaren, 1996).
Minyak/lemak merupakan senyawa lipid yang memiliki struktur berupa
ester dari gliserol. Pada proses pembuatan sabun, jenis minyak atau lemak yang digunakan adalah minyak nabati atau lemak hewan. Perbedaan antara minyak dan
lemak adalah wujud keduanya dalam keadaan ruang. Minyak akan berwujud cair pada temperatur ruang (± 28°C), sedangkan lemak akan berwujud padat. Minyak tumbuhan maupun lemak hewan merupakan senyawa trigliserida. Trigliserida
yang umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun memiliki asam lemak dengan panjang rantai karbon antara 12 sampai 18. Asam lemak dengan
panjang rantai karbon kurang dari 12 akan menimbulkan iritasi pada kulit, sedangkan rantai karbon lebih dari 18 akan membuat sabun menjadi keras dan sulit terlarut dalam air. Kandungan asam lemak tak jenuh, seperti oleat, linoleat,
dan linolenat yang terlalu banyak akan menyebabkan sabun mudah teroksidasi pada keadaan atmosferik sehingga sabun menjadi tengik. Asam lemak tak jenuh
memiliki ikatan rangkap sehingga titik lelehnya lebih rendah daripada asam lemak jenuh yang tak memiliki ikatan rangkap, sehingga sabun yang dihasilkan juga akan lebih lembek dan mudah meleleh pada temperatur tinggi (Rohman, 2009).
Minyak dan lemak yang telah dipisahkan dari jaringan asalnya mengandung sejumlah kecil komponen selain trigliserida, yaitu 1) lipid kompleks (lesithin,
2.3.1 Pembagian Lemak
Menurut Budianto (2009), ada atau tidaknya ikatan rangkap yang dikandung asam lemak, maka asam lemak dapat dibagi menjadi:
1. Asam lemak jenuh (CnH2nO2), Saturated Fatty Acid (SFA)
Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang mempunyai ikatan tunggal
atom karbon (C) dimana masing-masing atom C ini akan berikatan dengan atom H. contohnya adalah asam butirat (C4), asam kaproat (C6), asam kaprilat (C8), asam kaprat (C10).
2. Asam lemak Tak Jenuh Tunggal (MUFA, Mono Unsaturated Fatty Acid/C6H2NO2)
Asam lemak tak jenuh merupakan asam lemak yang selalu mangandung
ikatan rangkap 2 atom C dengan kehilangan paling sedikit 2 atom H. contohnya adalah asam burat, asam palmitoleat (C12), asam oleat (C18).
3. Asam lemak Tak Jenuh Poli (PUFA, Poly Unsaturated Fatty Acid/CnH2n)2
Asam lemak tak jenuh dengan ikatan rangkap banyak merupakan asam lemak yang mengandung lebih dari 1 ikatan rangkap. Asam lemak ini akan
kehilangan paling sedikit 4 atom H. contohnya adalah asam lemak linoleat (C18) berikatan rangkap dua, asam lemak eleostear (C1) berikatan rangkap tiga.
2.3.2 Sifat Lemak
Menurut Gaman dan Serington (1992), sifat lemak sebagai berikut: a. Kelarutan
terbentuknya campuran yang stabil antara lemak dan air. Campuran ini dinamakan emulsi. Lemak dan minyak larut dalam pelarut organik seperti minyak tanah, eter dan karnon tetraklorida. Pelarut-pelarut tipe ini dapat digunakan untuk
menghilangkan kotoran oleh gemuk pada pakaian. b. Ketengikan
Ketengikan adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan rusaknya lemak dan minyak. Pada dasarnya ada dua tipe reaksi yang berperan pada proses ketengikan.
1. Oksidasi
Ini terjadi sebagai hasil reaksi antara trigliserida tidak jenuh dan oksigen
dari udara. Molekul oksigen bergabung pada ikatan ganda molekul trigliserida dan dapat terbentuk berbagai senyawa yang menimbulkan rasa tengik yang tidak sedap. Reaksi ini dipercepat oleh panas, cahaya dan logam-logam dalam
konsentrasi amat kecil, khususnya tembaga. 2. Hidrolisis
Enzim lipase menghidrolisis lemak, memecahnya menjadi gliserol dan asam lemak.
Lemak + air lipase gliserol + asam lemak
Lipase dapat terkandung secara alami pada lemak dan minyak, tetapi enzim itu dapat diinaktivasi dengan pemanasan. Enzim ini dapat pula dihasilkan oleh
c. Saponifikasi
Trigliserida bereaksi dengan alkali membentuk sabun dan gliserol. Proses ini dikenal sebagai saponifikasi. Natrium hidroksida adalah basa yang paling
umum digunakan dalam pembuatan sabun tetapi kalium hidroksida dapat pula digunakan. Reaksi saponifikasi sebagai berikut:
O ‖
CH2 ― O ― C ― R CH2OH
O O
‖ ‖
CH ― O ― C ― R + 3NaOH CHOH + 3Na ― O― C ― R
O ‖
CH2 ― O ― C ― R CH2OH
Trilgliserida basa gliserol sabun (garam Na dari asam lemak)
2.3.3Sumber Minyak dan Lemak
Sumber utama lemak adalah minyak tumbuh-tumbuhan, mentega, margarin dan lemak hewan. Sumber lemak lain adalah kacang-kacangan, biji-bijian, daging,
ayam, krim, susu, keju dan kuning telur serta makanan yang telah dimasak dengan minyak atau lemak (Almatsier, 2001).
2.4Asam Lemak Bebas
Asam lemak bebas merupakan asam lemak pada sabun yang tidak terikat sebagai senyawa natrium atau pun senyawa trigliserida (lemak netral). Tingginya
proses pembersihan. Sabun pada saat digunakan akan menarik komponen asam lemak bebas yang masih terdapat dalam sabun sehingga secara tidak langsung mengurangi kemampuannya untuk membersihkan minyak dari bahan yang
berminyak (Qisti, 2009).
Dalam reaksi hidrolisa, minyak atau lemak akan diubah menjadi asam-asam
lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisa yang dapat mengakibatkan kerusakan minyak atau lemak terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak atau lemak tersebut. Reaksi ini akan mengakibatkan ketengikan hidrolisa yang
menghasilkan flavor dan bau tengik pada minyak tersebut (Ketaren, 1996). O
‖ H2C – O – C – R
O H2C – OH O ‖ | ‖ HC – O – C – R + 3 HOH HC – OH + 3R – C – OH
|
O H2C – OH ‖
H2C – O – C – R
Gliserida gliserol asam lemak
Persamaan reaksi di atas adalah reaksi hidrolisa dari minyak atau lemak menurut Schwiter (1957). Proses hidrolisa yang sengaja, biasanya dilakukan
dengan penambahan sejumlah basa. Proses itu dikenal sebagai reaksi penyabunan. Proses penyabunan ini banyak dipergunakan dalam industri. Minyak atau lemak
alkali, sabun dan gliserol. Dari larutan ini dapat dihasilkan gliserol yang murni melalui penyulingan (Ketaren, 1996).
Asam lemak bebas terbentuk karena proses oksidasi dan hidrolisa enzim
selama pengolahan dan penyimpanan. Dalam bahan pangan, asam lemak dengan kadar lebih besar dari 0,2 persen dari berat lemak akan mengakibatkan flavor yang
tidak diinginkan dan kadang-kadang dapat meracuni tubuh. Dengan proses netralisasi minyak sebelum digunakan dalam bahan pangan, maka jumlah asam lemak bebas dalam lemak dapat dikurangi sampai kadar maksimum 0,2 persen
(Ketaren, 1996).
Netralisasi adalah suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari
minyak atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (soap stock). Pemisahan asam lemak bebas dapat juga dilakukan dengan cara penyulingan yang dikenal dengan istilah
de-asidifikasi. Netralisasi dengan kaustik soda (NaOH) banyak dilakukan dalam skala industri, karena lebih efisien dan lebih murah dibandingkan cara netralisasi
lainnya. Selain itu penggunaan kaustik soda, membantu dalam mengurangi zat warna dan kotoran yang berupa getah dan lender dalam minyak (Ketaren, 1996).
Reaksi antara asam lemak bebas dengan NaOH adalah sebagai berikut:
O O ‖ ‖
R – C + NaOH R – C + H2O
OH ONa
Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan kotoran seperti fostatida dan protein, dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau emulsi yang terbentuk dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifusi (Ketaren,
1996).
2.5 Metode Titrimetri
Titrimetri atau analisis volumetri adalah pemeriksaan jumlah zat yang didasarkan pada pengukuran volume larutan pereaksi yang dibutuhkan untuk bereaksi secara stoikiometri dengan zat yang ditentukan (Rivai, 1995).
2.5.1 Penggolongan Titrimetri
Menurut Rohman (2007), analisis secara titrimetri (volumetri) dapat
digolongkan sebagai berikut: a. Berdasarkan reaksi kimia
Berdasarkan reaksi yang terjadi selama titrasi, volumetri dapat
dikelompokkan menjadi 4 jenis:
1. Reaksi asam-basa (asidi-alkalimetri = netralisasi)
Penetapan kadar ini berdasarkan pada perpindahan proton dari zat yang bersifat asam atau basa, baik dalam lingkungan air ataupun dalam lingkungan bebas air (TBA = titrasi bebas air).
2. Reaksi oksidasi-reduksi (redoks)
Dasar yang digunakan adalah perpindahan elektron. Penetapan kadar
3. Reaksi pengendapan (presipitasi)
Penetapan kadar berdasarkan pada terjadinya endapan yang sukar larut misalnya pada penetapan kadar secara argentometri.
4. Reaksi pembentukan kompleks
Dasar yang digunakan adalah terjadinya reaksi antara zat-zat pengkompleks
organik dengan ion logam menghasilkan senyawa kompleks yang mantap. Penetapan kadar yang menggunakan prinsip ini adalah metode kompleksometri. b. Berdasarkan cara titrasi
Teknik volumtri berdasarkan cara titrasinya dapat dikelompokkan menjadi: 1. Titrasi langsung
Cara ini dilakukan dengan melakukan titrasi langsung terhadap zat yang akan ditetapkan. Cara ini mudah, cepat, dan sederhana.
2. Titrasi kembali
Dilakukan dengan cara penambahan titran dalam jumlah berlebihan, kemudian kelebihan titran dititrasi dengan titran lain. Pada cara ini ada 2 sumber
kesalahan karena menggunakan 2 titran sehingga kesalahan menjadi lebih besar. Disamping itu cara ini juga memakan waktu yang lama.
c. Berdasarkan jumlah sampel
Menurut Rohman (2007) berdasarkan jumlah sampel, teknik volumetri dibedakan menjadi:
1. Titrasi makro
− Jumlah sampel : 100 – 1000 mg
− Ketelitian buret : 0,02 ml
2. Titrasi semi mikro
− Jumlah sampel : 10 – 100 mg
− Volume titran : 1 – 10 ml
− Ketelitian buret : 0,001 ml
3. Titrasi mikro
− Jumlah sampel : 1 – 100 mg
− Volume titran : 0,1 – 1 ml
− Ketelitian buret : 0,001 ml
2.5.2 Alkalimetri
Alkalimetri termasuk reaksi netralisasi yakni reaksi antara ion hidrogen yang berasal dari asam dengan ion hidroksida yang berasal dari basa untuk
menghasilkan air yang bersifat netral. Netralisasi dapat juga dikatakan sebagai reaksi antara donor proton (asam) dengan penerima proton (basa). Alkalimetri merupakan penetapan kadar secara kuantitatif terhadap senyawa-senyawa yang
bersifat asam dengan menggunakan baku basa (Rohman, 2007).
Titrasi Langsung Asam-Basa Dalam Larutan Air, menurut Rohman (2007): 1. Titrasi asam kuat/basa kuat
Pada awal titrasi perubahan nilai pH berlangsung lambat sampai menjelang titik ekivalen. Pada saat titik ekivalen, nilai pH meningkat secara drastis. Untuk
Suatu indikator merupakan asam atau basa lemah yang berubah warna diantara bentuk terionisasinya dan bentuk tidak terionisasinya. Kisaran penggunaan indikator adalah 1 unit pH disekitar nilai pKa-nya. Sebagai contoh
fenolftalein (pp), mempunyai pKa 9,4 (perubahan warna antara pH 8,4-10,4). Struktur fenolftalein akan mengalami penataan ulang pada kisaran pH ini karena
proton dipindahkan dari struktur fenol dari pp sehingga pH-nya meningkat akibatnya akan terjadi perubahan warna.
2. Titrasi asam lemah dengan basa kuat dan titrasi basa lemah dengan asam kuat
Jika sejumlah kecil volume asam kuat atau basa kuat ditambahkan pada basa lemah atau asam lemah maka nilai pH akan meningkat secara drastis sekitar 1 unit
pH, di bawah atau di atas nilai pKa. Seringkali pelarut organik yang dapat campur dengan air, seperti etanol ditambahkan untuk melarutkan analit sebelum dilakukan titrasi.
3. Titrasi tidak langsung dalam pelarut air
Titrasi tidak langsung ini dapat dilakukan untuk titrasi asam kuat/basa kuat,