BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Akar wangi
Nama ilmiah : Vetiveria zizanoides Stapt
Tumbuhan ini termasuk suku rumput-rumputan (Gramineae), berasal dari India, Birma dan Sri Langka. Akar wangi dibudidayakan untuk diambil
minyaknya. Selain itu digunakan untuk tanaman pencegah longsor serta untuk
membuat tikar.
2.1.1 Klasifikasi Akar Wangi
Kerajaan
Divisi
Kelas
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Vetiveria
Species : Vetiveria zizanoides
(Wikipedia, 2011).
2.1.2 Morfologi Akar Wangi
Tanaman akar wangi (Vetiveria zizanoides Stapt) termasuk dalam famili
Graminea atau poaceae alias rumput-rumputan. Akar tanaman ini memiliki bau sangat wangi. Tumbuh merumpun, lebat, akar tinggalnya bercabang banyak
dapat mencapai 200 cm. Tidak seperti akarnya, daun tanaman akar wangi ternyata
tidak mengandung minyak sehingga tidak dapat disuling untuk diambil minyak
atsirinya. Daun tampak kaku, berwarna kelabu, panjangnya mencapai 100 cm.
bunganya berwarna hijau atau ungu. Cara memperbanyaknya dilakukan melalui
biji, memisahkan anak rumpun, atau memecah akar tuggalnya yang telah bertunas
(Lutony dan Rahmayati, 2002).
2.1.3 Manfaat dan Kegunaan Akar Wangi
Daun, batang, dan akar tanaman akar wangi sangat banyak manfaatnya.
Batang akar wangi dapat digunakan sebagai bahan baku kerajinan. Batang dan
akar dapat diolah menjadi minyak. Minyak akar wangi digunakan sebagai bahan
pembuatan parfum, kosmetik, dan sabun. Pada zaman dahulu, akar wangi yang
sudah kering digunakan sebagai pewangi pakaian terutama batik dan benda-benda
pusaka seperti keris. Aroma harum akar wangi dihasilkan dari minyak asitri yang
terkandung dalam tumbuhan ini.
Selain dari manfaat yang disebutkan di atas. Tanaman akar wangi juga
memiliki khasiat untuk pengobatan, antara lain:
a. Menghilangkan bau mulut dan mengobati sakit gigi b. Mengobati rematik, pegal linu dan encok
c. Mengobati luka
2.2 Minyak Atsiri
Minyak atsiri merupakan salah satu hasil sisa proses metabolisme dalam
tanaman, yang terbentuk karena reaksi antara berbagai persenyawaan kimia
dengan air. Minyak tersebut disintesis dalam sel kelenjar jaringan tanaman dan
ada juga yang terbentuk dalam pembuluh resin, misalnya minyak terpentin dari
pohon pinus. Minyak atsiri selain dihasilkan oleh tanaman dapat juga terbentuk
dari hasil degradasi trigliserida oleh enzim atau dapat dibuat secara sintesis
(Lutony dan Rahmayati, 2002).
Pada mulanya istilah minyak atsiri atau minyak eteris adalah istilah yang
digunakan untuk minyak mudah menguap dan diperoleh dari tanaman dengan cara
penyulingan uap. Definisi ini, dimaksudkan untuk membedakan minyak atau
lemak dengan minyak atsiri yang berbeda tanaman penghasilnya. Definisi ini akan
lebih lengkap jika ke dalam kelompok ini dicantumkan pula minyak yang mudah
menguap dengan metode ekstraksi yaitu dengan cara menggunakan penyulingan
uap (Guenther, 1987).
Minyak atsiri umumnya terdiri dari berbagai campuran persenyawaan
kimia yang terbentuk dari unsur Karbon (C), Hidrogen (H) dan Oksigen (O) serta
beberapa persenyawaan kimia yang mengandung unsur Nitrogen (N) dan
Belerang (S). Umumnya komponen kimia minyak atsiri terdiri dari campuran
hidrogen dan turunannya yang mengandung oksigen yang disebut dengan Terpen
atau terpenoid. Terpen merupakan persenyawaan hidrogen tidak jenuh dan satuan
Dari 70 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di pasaran internasional,
sekitar 9-12 macam atau jenis minyak atsiri di suplai dari Indonesia. Oleh sebab
itu, Indonesia termasuk negara produsen besar yang cukup diandalkan dan
menjadi negara pengekspor minyak atsiri dengan kualitas terbaik. Kondisi
tersebut disebabkan faktor dan kondisi iklim serta jenis dan tingkat kesuburan
tanah yang dimiliki Indonesia, yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman nilam
(patchouli), akar wangi (vetyver), kenanga (cananga), kayu putih (cajeput), serta
melati (yasmin) (Lutony dan Rahmayati, 2002). 2.2.1 Penggolongan Minyak Atsiri
Komponen minyak atsiri adalah senyawa yang bersifat kimia, fisika serta
mempunyai bau dan aroma yang khas, demikian pula peranannya sangat besar
sebagai obat. Komponen penyusun minyak atsiri dibagi menjadi beberapa
golongan sebagai berikut:
a. Minyak Atsiri Hidrokarbon
Minyak atsiri kelompok ini komponen penyusunnya sebagian besar terdiri
dari senyawa-senyawa hidrokarbon, misalnya minyak terpentin diperoleh dari
tanaman-tanaman golongan pinus (famili Pinaceae). Terpentin larut dalam
alkohol, eter, kloroform, dan asam asetat glasial dan bersifat optis aktif.
Kegunaannya dalam farmasi adalah sebagai obat luar, melebarkan pembuluh
darah kapiler dan merangsang keluarnya keringat. Terpentin jarang digunakan
b. Minyak Atsiri Alkohol
Minyak pipermin dihasilkan dari daun tananaman Mentha piperita Linn,
yang penyusun utamanya adalah mentol. Pada bidang farmasi digunakan sebagai
antigatal, bahan pewangi dan pelega hidung tersumbat. Sementara pada industri
digunakan sebagai pewangi pasta gigi (Gunawan dan Mulyani, 2004).
c. Minyak Atsiri Fenol
Minyak cengkeh merupakan minyak atsiri fenol. Minyak ini diperoleh dari
tanaman cengkeh yang memiliki nama latin yaitu Eugenia caryophyllata atau
Syzigium caryophyllum (famili Myrtaceae). Bagian yang dimanfaatkan adalah bunga dan daun. Minyak cengkeh tersusun dari eugenol yaitu sampai 95% dari
jumlah minyak atsiri keseluruhan. Selain eugenol, juga mengandung
aseton-eugenol, beberapa senyawa dari kelompok seskuiterpen, serta bahan-bahan yang
tidak mudah menguap seperti tanin, lilin, dan bahan seperti damar. Kegunaan
minyak cengkeh antara lain mengobati masuk angin serta menghilangkan rasa
mual dan muntah (Gunawan dan Mulyani, 2004).
d. Minyak Atsiri Eter Fenol
Minyak adas merupakan minyak atsiri eter fenol. Minyak adas berasal dari
hasil penyulingan buah Pimpinella anisum atau dari Foeniculum vulgare (famili
Apiaceae atau Umbelliferae). Minyak yang dihasilkan, terutama tersusun dari komponen-komponen terpenoid seperti anetol, sineol, pinena dan felandrena.
Minyak adas digunakan sebagai pelengkap sediaan obat batuk, sebagai korigen
odoris untuk menutup bau tidak enak pada sediaan farmasi dan bahan parfum
e. Minyak Atsiri Oksida
Minyak kayu putih merupakan minyak atsiri oksida. Diperoleh dari isolasi
daun Melaleuca leucadendon L (famili Myrtaceae). Komponen penyusun minyak atsiri kayu putih palig utama adalah sineol (85%) (Gunawan dan Mulyani, 2004).
f. Minyak Atsiri Ester
Minyak gandapura merupakan atsiri ester. Minyak atsiri ini diperoleh dari
isolasi daun dan batang Gaultheria procumbens L (famili Erycaceae). Komponen
penyusun minyak ini adalah metil salisilat yang merupakan bentuk ester. Minyak
ini digunakan sebagai korigen odoris, bahan parfum, industri permen dan
minuman tidak beralkohol (Gunawan dan Mulyani, 2004).
2.2.2 Keberadaan Minyak Atsiri dalam Tanaman
Minyak atsiri terkandung dalam berbagai organ tanaman, seperti di dalam
rambut kelenjar (famili Labiatae), di dalam sel-sel parenkim (famili Piperaceae), di dalam saluran minyak seperti vittae (family Umbelliferae), di dalam rongga-rongga skizogen dan lisigen (famili Pinaceae dan Rutaceae), terkadang dalam
semua jaringan (famili Conaferae). Minyak atsiri dapat terbentuk secara langsung oleh protoplasma akibat adanya peruraian lapisan resin dari dinding sel atau oleh
hidrolisis dari glikosida tertentu (Gunawan dan Mulyani, 2004).
2.2.3 Kandungan Minyak Atsiri
Dengan pesatnya kemajuan instrumentasi analitik, telah dapat dilakukan
identifikasi yang tepat atas penyusun minyak atsiri, termasuk konstituen
runutannya. Minyak atsiri sebagian besar terdiri dari senyawa terpen, yaitu suatu
isopren. Satuan-satuan isopren (C5H8) ini membentuk asetat melalui jalur
biosintesis asam mevalonat dan merupakan rantai bercabang lima dari satuan
atom karbon yang mengandung dua ikatan rangkap (Gunawan dan Mulyani,
2004).
Terpen yang paling sering terdapat dalam komponen penyusun minyak
atsiri adalah monoterpen. Monoterpen banyak ditemukan dalam bentuk asiklis,
monosiklis, serta bisiklis sebagai hidrokarbon dan turunan yang teroksidasi seperti
alkohol, aldehid, keton, fenol, oksidasi dan ester. Terpen lain di bawah
monoterpen yang berperan penting sebagai penyusun minyak atsiri adalah
seskuiterpen dan diterpen (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Kelompok besar lain dari komponen penyusun minyak atsiri adalah
senyawa golongan fenil propan. Senyawa ini mengandung cincin fenil C6 dengan
rantai samping berupa propana C3 (Gunawan dan Mulyani, 2004).
2.2.4 Sifat-Sifat Minyak Atsiri
Sebagian besar minyak atsiri mempunyai sifat fisika kimia sebagai
berikut:
a. bau khas
b. tidak larut dalam pelarut air, larut dalam eter, kloroform dan pelarut
organik lain
c. sebagian komponen kandungan minyak mudah menguap
d. yang mengandung fenol dapat membentuk garam
Kandungan kimia semua minyak atsiri merupakan senyawa campuran dan
tidak pernah dalam bentuk tunggal, misalnya minyak kapulaga mengandung 5
komponen besar seperti cineol, borneol, limonen, alfa-terpinilasetat dan alfa
terpinen. Jika diuraikan, cineol berbau sedap tapi pedas seperti minyak kayu putih.
Borneol berbau kamper seperti kapur barus, limonen harum seperti jeruk keprok,
alfa-terpinilasetat berbau jeruk purut, sedang alfa terpinen berbau jeruk citrun.
Campuran dari kelima komponen itulah yang membuat aroma khas kapulaga.
Dari semua jenis minyak atsiri, sebenarnya tersusun dari jalur biosintesis
metabolit sekunder:
a. Asetat- mevalonat untuk golongan terpenoid
b. Jalur sikimat-fenil propan untuk golongan aromatik
Contoh kerangka minyak atsiri:
a. Monoterpen yaitu:
i. Asiklis
ii. Siklis
b. Seskuiterpen
c. Senyawa fenil propanoid (Gunawan dan Mulyani, 2004).
2.3 Parameter Minyak Atsiri
Beberapa parameter yang biasanya dijadikan standar untuk mengenali
2.3.1 Berat Jenis
Berat jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan mutu
dan kemurnian minyak atsiri. Nilai berat jenis minyak atsiri didefinisikan sebagai
perbandingan antara berat minyak dengan berat air pada volume air yang sama
dengan volume minyak yang sama. Berat jenis sering dihubungkan dengan fraksi
berat komponen-komponen yang terkandung didalamnya. Semakin besar fraksi
berat yang terkandung dalam minyak, maka semakin besar pula nilai densitasnya.
Biasanya berat jenis komponen terpen teroksigenasi lebih besar dibandingkan
dengan terpen tidak teroksigenasi (Sastrohamidjojo, 2004).
2.3.2 Indeks Bias
Indeks bias merupakan perbandingan antara kecepatan cahaya di dalam
udara dengan kecepatan cahaya didalam zat tersebut pada suhu tertentu. Indeks
bias minyak atsiri berhubungan erat dengan komponen-komponen yang tersusun
dalam minyak atsiri yang dihasilkan. Sama halnya dengan berat jenis, komponen
penyusun minyak atsiri dapat mempengaruhi nilai indeks biasnya. Semakin
banyak komponen berantai panjang seperti sesquiterpen atau komponen bergugus
oksigen yang ikut tersuling, maka kerapatan medium minyak atsiri akan
bertambah sehingga cahaya yang datang akan lebih sukar untuk dibiaskan. Hal ini
menyebabkan indeks bias minyak lebih besar. Menurut Guenther, nilai indeks bias juga dipengaruhi oleh adanya air dalam kandungan minyak atsiri tersebut.
Semakin banyak kandungan airnya, maka semakin kecil nilai indek biasnya. Ini
minyak atsiri dengan nilai indeks bias yang besar lebih bagus dibandingkan
dengan minyak atsiri dengan nilai indeks bias yang kecil (Sastrohamidjojo, 2004).
2.3.3 Putaran optik
Sifat optik dari minyak atsiri ditentukan menggunakan alat polarimeter
yang nilainya dinyatakan dengan derajat rotasi. Sebagian besar minyak atsiri jika
ditempatkan dalam cahaya yang dipolarisasikan maka memiliki sifat memutar
bidang polarisasi ke arah kanan (dextrorotary) atau ke arah kiri (laevorotary).
Pengukuran parameter ini sangat menentukan kriteria kemurnian suatu minyak
atsiri (Sastrohamidjojo, 2004) .
2.3.4 Bilangan Asam
Bilangan asam menunjukkan kadar asam bebas dalam minyak atsiri.
Bilangan asam yang semakin besar dapat mempengaruhi kualitas minyak atsiri,
yaitu senyawa-senyawa asam tersebut dapat merubah bau khas dari minyak atsiri.
Hal ini dapat disebabkan oleh lamanya penyimpanan minyak dan adanya kontak
antara minyak atsiri yang dihasilkan dengan cahaya dan udara sekitar ketika
berada dalam botol atau wadah pada saat penyimpanan. Karena sebagian
komposisi minyak atsiri apabila terkontaminasi dengan udara atau berada pada
kondisi yang lembab akan mengalami reaksi oksidasi dengan udara (oksigen)
yang dikatalisis oleh cahaya sehingga akan membentuk suatu senyawa asam. Jika
penyimpanan minyak tidak diperhatikan atau terkontaminasi langsung dengan
udara sekitar, maka akan semakin banyak juga senyawa-senyawa asam yang
terbentuk. Oksidasi komponen-komponen minyak atsiri terutama golongan
bilangan asam suatu minyak atsiri. Hal ini juga dapat disebabkan oleh
penyulingan pada tekanan tinggi (temperatur tinggi), karena pada kondisi tersebut
kemungkinan terjadinya proses oksidasi sangat besar. Bilangan asam adalah
ukuran dari asam lemak bebas, serta dihitung berdasarkan berat molekul dari asam
lemak atau campuran asam lemak. Bilangan asam dinyatakan sebagai jumlah
milligram KOH 0,1N yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas yang
terdapat dalam 1 gram minyak atau lemak (Sastrohamidjojo, 2004).
2.3.5 Kelarutan dalam Alkohol
Telah diketahui bahwa alkohol merupakan gugus OH. Karena alkohol
dapat larut dengan minyak atsiri maka pada komposisi minyak atsiri yang
dihasilkan tersebut terdapat komponen-komponen terpen teroksigenasi. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Guenther bahwa kelarutan minyak dalam alkohol
ditentukan oleh jenis komponen kimia yang terkandung dalam minyak. Pada
umumnya minyak atsiri yang mengandung persenyawaan terpen teroksigenasi
lebih mudah larut daripada yang mengandung terpen tidak teroksigenasi. Semakin
tinggi kandungan terpen maka semakin rendah daya larutnya (sukar larut), karena
senyawa terpen tidak teroksigenasi merupakan senyawa nonpolar yang tidak
mempunyai gugus fungsional. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa semakin
kecil kelarutan minyak atsiri pada alkohol (biasanya alkohol 90%) maka kualitas
2.4 Metode Penyulingan Minyak Atsiri
Penyulingan adalah proses pemisahan antara komponen cair atau padat
dari dua macam campuran atau lebih berdasarkan perbedaan titik uapnya dan
dilakukan untuk minyak atsiri yang tidak larut dalam air. Dalam industri minyak
atsiri dikenal tiga metode penyulingan, yaitu:
2.4.1 Penyulingan dengan Air
Metode ini merupakan metode paling sederhana dibandingakan dengan
metode yang lainnya. Proses penyulingan dengan cara ini hampir sama dengan
perebusan. Bahan baku yang sudah kering/layu dimasukkan kedalam ketel suling
yang telah terisi air. Perbandingan berat air dengan bahan baku pada umumnya
1:3. Selanjutnya ketel ditutup rapat agar tidak ada uap yang keluar, kemudian
ketel dipanaskan sampai uap air dan minyaknya mengalir melalui pipa didalam
kondensor. Air dan minyak yang keluar ditampung didalam tangki pemisah.
Pemisahan minyak dengan air berdasarkan pada berat jenisnya.
Namun metode penyulingan dengan air mempunyai beberapa kelemahan,
yaitu hanya cocok untuk bahan baku dalam jumlah sedikit dan tidak cocok untuk
bahan baku yang larut dalam air. Metode ini diterapkan untuk penyulingan
minyak jahe, palmarosa dan kemangi (Yuliani dan Suyanti, 2012)..
2.4.2 Penyulingan dengan Uap
Pada metode ini, ketel suling dan tangki air berisi sumber uap panas
(boiler) diletakan secara terpisah. Di dalam boiler terdapat pipa yang berhubungan
dengan ketel suling. Penyulingan dengan uap sebaiknya dimulai dengan tekanan
di boiler ditingkatkan sampai suhu uap mencapai 150°C dan tekanan mencapai 5
bar. Air dari boiler akan mendidih lalu uapnya mengalir kedalam ketel suling
yang sudah ada bahan di dalamnya. Uap air akan menembus sel-sel bahan dan
membawa uap minyak atsiri yang selanjutnya akan mengalir melalui kondensor,
uap minyak akan mengembun menjadi cairan yang kemudian ditampung ditangki
pemisah.
Hal yang perlu diperhatikan dalam metode ini adalah tekanan pada boiler
yang harus dikontrol. Suhu di ketel penyulingan harus diatur sekitar 110-120°C,
sedangkan tekanan pada ketel suling disesuaikan dengan ketebalan ketelnya.
Metode ini cocok untuk menyuling minyak atsiri yang diambil dari bagian
tanaman yang keras, seperti kulit batang, kayu dan biji-biji yang keras (Yuliani
dan Suyanti, 2012)..
2.4.3 Penyulingan dengan Uap dan Air
Metode ini disebut dengan sistem kukus atau sistem uap tidak langsung.
Alat yang digunakan pada metode ini menyerupai dandang nasi. Proses
penyulingan diawali dengan memasukkan air ke bagian dasar ketel sampai 1/3
bagian. Bahan baku diletakan di bagian atas lempeng penyekat. Bahan baku
sebaiknya jangan terlalu padat karena akan mempersulit jalannya uap air untuk
menembus bahan baku. Setelah itu ketel ditutup rapat lalu dipanaskan. Pada saat
air mendidih uap air akan melewati lubang-lubang pada lempeng penyekat dan
celah-celah bahan. Minyak atsiri yang ada di dalam bahan akan terbawa uap panas
menuju ke pipa kondensor. Selanjutnya uap air dan minyak atsiri akan
Keuntungan dari metode ini adalah adanya penetrasi uap yang terjadi
secara merata kedalam jaringan bahan. Selain itu, suhu dapat dipertahankan
sampai 100°C, harga alat lebih murah, dan rendemen minyak yang dihasilkan
lebih besar dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan dengan metode
penyulingan air (Yuliani dan Suyanti, 2012).
2.5 Minyak Akar Wangi
Minyak akar wangi dalam dunia perdagangannya dikenal dengan nama
vetiver oil, yang merupakan cairan kental yang berasal dari hasil ekstraksi atau penyulingan akar wangi dengan warna coklat kemerahan, berbau khas dan
aromatis kuat. Umumnya minyak akar wangi yang baik ditandai oleh berat jenis
dan putaran optiknya yang tinggi, komposisi bau lebih sempurna, dan ketahanan
bau lebih lama (Lutony dan Rahmayati, 2002).
.
Syarat mutu vetiver oil yang di tetapkan berdasar kan SNI 06-2386-2006
sebagai berikut:
No PARAMETER ZAT/UKURAN
1 Warna Bau Kuning muda – coklat kemerahan Khas akar wangi
2 Berat jenis pada 20oC 0,980 – 1,003
3 Indeks bias 1,520 – 1,530
4 Kelarutan dalam Etanol 95% 1: 1 jernih, seterusnya jernih
5 Bilangan asam 10 – 35
6 Bilangan ester 5-26
7 Bilangan ester setelah asetilasi 100 – 150
2.5.1 Kandungan Mutu Minyak Akar Wangi
. Senyawa lainnya meliputi senyawa keton, aldehida, alkohol dan
ester-ester yang memberi bau khas. Senyawa tersebut misalnya vetivenil, vetivenat,
asam palmitat dan asam benzoat. Umumnya minyak akar wangi yang baik
ditandai dengan bobot jenis yang tinggi, komposisi bau yang lebih sempurna dan
ketahanan bau yang lebih lama.
Faktor-faktor yang mempen;; garuhi mutu minyak akar wangi antara lain
waktu panen, kondisi bahan baku, cara penanganan dan pengolahan bahan baku,
bahan konstruksi alat penyulingan, metode ekstraksi, metode penyulingan, lama
penyulingan dan penanganan minyak hasil ekstraksi.
Standar mutu minyak akar wangi dalam perdagangan Internasional belum
seragam karena negara penghasil dan pengimpor menentukan standar mutu
minyak akar wangi sesuai dengan kebutuhan sendiri (Annonim, 2011).
2.5.2 Parameter Mutu Minyak Akar Wangi
Beberapa parameter yang digunakan untuk mengetahui standar mutu dari
minyak akar wangi, antara lain:
a. Bobot Jenis Minyak Akar Wangi
Prinsip Bobot jenis minyak akar wangi berdasarkan perbandingan antara
berat minyak dengan berat air pada volume dan suhu yang sama (Dewan
Standarisasi Nasional, 2006).
Cara penentuan bobot jenis minyak akar wangi yaitu dengan
menggunakan alat piknometer. Piknometer dicuci dan dibersihkan, kemudian
tutupnya dikeringkan dengan arus udara kering. Didiamkan pinometer di dalam
lemari timbangan selama 30 menit dan ditimbang (m). Piknometer diisi dengan air
suling yang telah dididihkan pada suhu 20°C. sambil menghindari adanya
gelembung gelembung udara. Piknometer dicelupkan ke dalam penangas air pada
suhu 20°C ± 0,2°C selama 30 menit sisipkan penutupnya kemudian dikeringkan
piknometernya. Piknometer didiamkan dalam lemari timbangan selama 30 menit,
kemudian ditimbang dengan isinya (m1). Piknometer tersebut dikosongkan, dan
dicuci dengan etanol dan dietil eter. Kemudian dikeringkan dengan arus udara
kering. Piknometer diisi dengan contoh minyak dan hindari adanya
gelembung-gelembung udara. Piknometer dan penutupnya dimasukkan kembali dalam
penangas air pada suhu 20°C ± 0,2°C selama 30 menit dan dikeringkan
piknometer tersebut. Piknometer dibiarkan di dalam lemari timbangan selama 30
menit kemudian ditimbang dengan isinya (m2) (Dewan Standarisasi Nasional,
2006).
b. Indeks Bias Minyak Akar Wangi
Prinsip penentuan indeks bias minyak akar wangi menurut Standar
Nasional Indonesia (SNI) No. 06-2386-2006, yaitu metode penetapan indeks bias
didasarkan pada pengukuran langsung sudut bias minyak yang dipertahankan
pada kondisi suhu yang tetap (Dewan Standarisasi Nasional, 2006).
Nilai indeks juga dipengaruhi salah satunya dengan adanya air dalam
kandungan minyak atsiri tersebut. Semakin banyak kandungan airnya, maka
semakin kecil nilai indek biasnya. Ini karena sifat dari air yang mudah untuk
besar lebih bagus dibandingkan dengan minyak atsiri dengan nilai indeks bias