PENERAPAN SISTEM HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT (HACCP) PADA PROSES PENGOLAHAN SOSIS SAPI DI PT CANNING INDONESIAN PRODUCTS (PT CIP)
1. Latar Belakang
Pengaruh globalisasi perdagangan pangan hasil pertanian sudah mulai meluas ke berbagai negara, dan kehadirannya tidak dapat dihindarkan. Ditinjau dari aspek keamanan pangan, globalisasi tersebut dapat
memperbesar kemungkinan timbulnya bahaya yang terkandung dalam makanan yang akan dikonsumsi dan menyebarluaskan bahaya secara global pula. Oleh karena itu, akhir-akhir ini tuntutan akan jaminan keamanan pangan terus bertambah sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan pangan yang akan dikonsumsi.
Konsumen telah menyadari bahwa mutu, khususnya keamanan pangan hasil pertanian tidak dapat dijamin hanya dengan hasil uji produk akhir dari laboratorium, produk yang aman dikonsumsi diperoleh dari bahan baku yang baik, ditangani secara baik dan benar, serta diolah dan didistribusikan secara baik sehingga pada akhirnya dihasilkan produk yang baik. Dalam hubungan ini, maka diperlukan suatu “effective and integrated food safety system” untuk menjamin suatu produk yang akan dikonsumsi aman dari potensi bahaya yang berasal dari cemaran fisik, kimia, dan biologi.
Dewasa ini, industri pangan dunia memandang perlu menerapkan sistem “Hazard Analysis Critical Control Point/HACCP” (Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis). HACCP merupakan sistem jaminan mutu (keamanan pangan) yang diakui secara internasional melalui forum Codex Alimentarius Commission (CAC) yang mendasarkan pada kesadaran masyarakat, terutama konsumen, bahwa bahaya akan timbul pada berbagai titik atau tahapan produksi. Codex Alimentarius Commission (CAC) merupakan suatu badan dibawah naungan Food and Agricultural Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) yang bertugas menangani standar
bahan pangan, sehingga pencegahan dan pengendalian bahaya tersebut dapat dilaksanakan.
Sistem ini harus diterapkan dalam rantai produksi pangan mulai dari bahan baku pangan (pertanian), penanganan, pengolahan, distribusi, pemasaran, sampai dengan pengguna akhir. Dengan kata lain, HACCP bekerja secara proaktif di sepanjang mata rantai produksi.
Program persyaratan dasar merupakan cara produksi makanan yang baik (Good Manufacturing Practice, GMP) atau praktik higiene yang baik (Good Hygiene Practice, GHP) yang akan dipatuhi oleh semua pelaku bisnis
makanan, yang memiliki reputasi baik untuk memastikan bahwa makanan yang diberikan pada konsumen adalah makanan yang sehat dan aman. Sistem manajemen mutu berfungsi sebagai kerangka acuan yang didalamnya setiap kegiatan proses dapat dikelola, termasuk sistem HACCP.
Segala proses yang dilakukan tentu tidak terlepas dari aspek mekanis dari mesin-mesin pengolah yang ada. Sehingga kinerja maupun daya dari alat-alat pengolah sangatlah berpengaruh terhadap produk daging yang dihasilkan.
Reputasi perusahaan dapat ditentukan oleh kemampuan perusahaan mengendalikan mutu produk yang dihasilkan dan oleh kemampuan melayani keinginan konsumen. Jadi jelaslah peranan mutu sangatlah penting dalam menjaga nama baik perusahaan dan dalam mengembangkan usahanya (Soewarno, 1990).
2. Tinjauan Umum Perusahaan 2.1 Sejarah Perusahaan
PT Canning Indonesian Products (PT CIP) merupakan perusahaan penghasil makanan kaleng yang beroperasi sampai saat ini di Indonesia. Perusahaan ini mulanya didirikan pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942 saat perang dunia II.
menghadapi sekutu di lautan. Lokasi pendirian pabrik dipilih di pulau Bali berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain: kemudahan dalam memperoleh bahan baku yang berkualitas baik, tersedianya tenaga kerja yang cukup dan sarana transportasi yang cukup memadai pada saat itu.
Setelah perang usai, pabrik dalam kondisi yang berantakan, kemudian diswastanisasi dan didirikan kembali pada tahun 1948 dengan akte notaris Sie Khwan Djioe no 80. Adapun para pendirinya adalah:
Liem Sam Tjiang (Sam Liman) / Bandung Sie Hiem Kham / Malang
Kwie Soen Tik (Pratignyo Dipokusuma) / Malang
Didirikannya atas nama NV CIP. Produk yang dibuat hanya produk daging yang dibekukan (frozen meat)
dan produksi daging babi (bacon), karena hanya menggunakan mesin-mesin lama peninggalan Jepang. Hal ini berlangsung sampai tahun 1953. Kemudian dilakukan peremajaan dan perluasan pabrik, sehingga pabrik mulai memproduksi makanan kaleng dengan merk “CIP” selain dari produk yang telah ada sebelumnya. Produk-produk yang dibuat pada saat itu adalah Corned Beef, Sosis Sapi, Sosis Babi, Liver Paste Sapi dan Babi, Hament Worst dari Babi, Babi Kecap, dan Ikan Sardines dalam kaleng.
Pada tahun 1977, perusahaan bergabung dalam Mantrust group, salah satu perusahaan penghasil produk makanan terkemuka di Indonesia, melalui pembelian sebagian besar sahamnya. Selanjutnya perusahaan diperbesar lagi hingga kondisinya seperti saat ini dan varian produk ditambah dengan produk Corned Beef dan sosis bermerk PRONAS dan KIKU.
Seiring dengan adanya kesadaran akan kehalalan produk yang dihasilkan maka sejak tahun 1987, PT CIP hanya mengkonsentrasikan diri pada produk yang berasal dari daging sapi dan ayam. Produk berbahan baku babi tidak di produksi lagi. Demikian juga dengan pemotongan hewan yang tadinya dilakukan di lokasi pabrik dipindahkan ke tempat lain dengan fasilitas yang dikelola pemerintah daerah.
Pada awal operasionalnya, perusahaan menggunakan konsultan-konsultan dari Belanda dan Taiwan dalam rangka transfer teknologi, tetapi mulai tahun 1992 perusahaan sudah di jalankan secara penuh oleh putra-putri Indonesia yang berpengalaman dan memiliki ketrampilan yang tinggi di Indonesia.
Sebelumnya PT CIP menggunakan kemasan kaleng yang dibeli dari PT NAFO Banyuwangi. Seiring dengan peningkatan permintaan, maka pada bulan Januari 2006 PT CIP memproduksi dan mendesain kalengnya sendiri dengan mesin yang di impor dari Cina dan bahan kaleng yang berasal dari Jepang dan Korea.
2.2 Lokasi
PT CIP terletak di Jalan Diponegoro No. 101 Kelurahan Dauh Puri, Kecamatan Denpasar Barat, kotamadya Denpasar, Provinsi Bali. PT CIP dibangun di atas lahan seluas 17.870 m2. Bangunan pabrik menempati lahan seluas 5196,53 m2 sedangkan sisanya adalah bangunan-bangunan seperti kantor, kesekretariatan, perumahan karyawan, poliklinik, gudang bengkel, kantin, ruang meeting, pos satpam, areal parkir serta taman.
Lokasi sekitar PT CIP sebagian merupakan pemukiman penduduk dan sebagian lagi merupakan daerah kegiatan perekonomian yang batas-batasnya meliputi:
- Batas Utara : Pemukiman penduduk - Batas Timur : Jl. MT. Haryono - Batas Selatan : Pusat perbelanjaan - Batas Barat : Jl. Diponegoro
2.3 Struktur Organisasi
Inventory Control (PPIC), Quality Assurance dan Research and Development (QA dan R&D), Teknik, Financial dan Accountant (Fin and Acc), Export Import, Human Resources and General Administration (HR dan GA), Purchasing, Can Making, dan Sales.
Adapun tugas dari masing-masing manager tersebut diantaranya:
Manager Produksi bertanggung jawab terhadap aktivitas produksi. Aktifitas tersebut berupa penanganan
bahan baku, proses produksi, observasi dan pengepakan. Manajer produksi membawahi bagian debonning (bertugas untuk memisahkan karkas daging dari lemak dan tulang, pemotongan, penggilingan dan penggaraman), bagian proses, bagian autoclave untuk sterilisasi, dan bagian pengamatan atau observasi. Manager PPIC bertanggung jawab atas pemasaran produk, pengiriman, penyusunan rencana persediaan,
dan pengeluaran bahan baku. Manager PPIC membawahi bagian gudang material, bagian pengadaan, bagian kamar dingin (cold storage), bagian gudang bumbu dan bagian gudang barang jadi.
Manager QA dan R&D.
o QA: Bertanggung jawab terhadap kualitas produk yang diproduksi, melakukan pemeriksaan bahan baku, proses produksi, dan barang jadi. Manager QA membawahi supervisor bagian pengawasan mutu bahan jadi dan bagian pengawasan mutu proses produksi.
o R&D: Bertugas dalam pengembangan produk baru atau melakukan perubahan dalam formulasi produk lama sesuai dengan keinginan dan daya beli konsumen.
Manager Teknik bertugas untuk membuat perencanaan, penggunaan, perawatan berbagai peralatan dan mesin yang digunakan perusahaan untuk menjamin kelancaran aktifitas perusahaan.
Manager Fin and Acc bertanggung jawab untuk mengatur keuangan, pembukuan dan penyimpanan uang
perusahaan.
Manager Export Import bertugas mengawasi kegiatan keluar masuk bahan baku dan barang jadi.
Manager HR dan GA bertugas menangani masalah tenaga kerja (absensi, cuti, izin, dan lain-lain) dan menangani administrasi yang bersifat umum.
Manager Purchasing bertanggung jawab atas pengadaan bahan-bahan produksi dan operasional
perusahaan sehingga bahan-bahan yang diperlukan selalu tersedia.
Manager Can Making bertanggung jawab pada pelaksanaan pembuatan kaleng.
Manager sales bertugas untuk memasarkan dan menjual produk-produk perusahaan. Manager sales
membidangi bagian penjualan dan distribusi.
2.4 Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Kerja
Jumlah karyawan PT CIP Denpasar sebanyak 231 orang (118 laki-laki dan 113 perempuan) berdasarkan data periode Juni 2007. Latar belakang pendidikan karyawan PT CIP mulai dari SD, SMP, SMA, Diploma dan Sarjana.
Pada umumnya jam kerja karyawan dimulai dari pukul 8.00 WITA sampai pukul 16.30 WITA dari hari Senin sampai Jumat. Waktu istirahat selama 30 menit untuk makan siang yaitu dari pukul 12.00 WITA sampai 12.30 WITA. Karyawan di beberapa bagian yang memiliki jam kerja yang berbeda bergantung dari supervisornya masing-masing. Seperti bagian debonning, cold storage, can making, dan satpam. Terkadang perusahaan menambah jam kerja yang tidak bersifat wajib. Karyawan yang melakukan jam kerja lembur akan diberi upah yang besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di perusahaan.
Perusahaan memberikan upah lembur, tunjangan (premi), dan asuransi kesehatan yang ditanggung sepenuhnya. Tunjangan tersebut berupa tunjangan hari raya (THR) sedangkan asuransi terdiri dari asuransi kematian dan keselamatan kerja.
antara lain cuti tahunan berjumlah total 12 hari setahun, cuti untuk mengikuti upacara keagamaan, cuti melahirkan, dan cuti haid 2 hari sebulan (khusus wanita).
2.5 Produksi dan pemasaran
PT CIP Denpasar menghasilkan produk yang dikemas dalam kaleng dan dalam plastik vacuum. Produk makanan yang diproduksi oleh PT CIP saat ini yaitu Corned Beef dikemas dalam kemasan kaleng silinder, dan
dalam kemasan kaleng rectangular. Sosis sapi dan sosis ayam yang keduanya dalam kemasan, baik dalam kemasan kaleng ataupun dalam kemasan pelastik vacuum. Perusahaan juga menghasilkan bakso sapi dan bakso ayam. Daging sapi giling beku dan daging ayam beku dijual berdasarkan permintaan hotel, restaurant, dan supermarket. Produksi lainnya berupa berbagai macam masakan indonesia dalam kemasan kaleng.
Permintaan pasar mempengaruhi produksi perusahaan. Saat ini produk PT CIP, diutamakan untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri. Pemasaran dalam negeri dilakukan oleh distributor tunggal yaitu PT Bahtera Wiraniaga Internusa (BWI), yang menangani semua kegiatan penjualan, promosi dan penyaluran produk. Sedangkan untuk pangsa pasar luar negeri dalam proses penjajakan, dan melihat potensi pasar dan keadaan ekonomi.
3. Proses Produksi Sosis Kemasan Vacuum
Dikarenakan kesibukan masyarakat pada jaman ini, sehingga masyarakat lupa akan pentingnya gizi bagi tubuh manusia. Oleh karena itu diproduksinya produk sosis ini untuk mempermudah masyarakat dalam melengkapi gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Sosis merupakan produk olahan daging yang mempunyai nilai gizi tinggi.
Gambar 1. Sosis
Gambar 2. Casing Sosis
Sosis dihasilkan melalui beberapa proses, antara lain:
Dalam proses produksi sosis sapi di PT CIP dibagi kedalam 3 tahapan prosedur yaitu: persiapan bahan, pembuatan pickle, dan proses pemasakan. Masing-masing tahapan prosedur terdiri dari beberapa proses. Persiapan bahan utama (daging) dilakukan di cold storage yang mana merupakan tempat bahan utama disimpan. Pembuatan pickle dilakukan oleh bagian debonning. Sedangkan proses pemasakan dilakukan oleh bagian produksi.
Jenis daging sapi beku yang di import oleh PT CIP dalam rangka pemenuhan proses produksi sosis sapi
adalah Chemical Lean (CL) 85 dan Mechanically Debonning Meat (MDM). Daging sapi beku dan ayam yang digunakan untuk proses produksi selalu mendapat pengawasan dari departemen Quality Assurance (QA) yang pengawasannya meliputi kelengkapan dokumen dan kondisi daging. Pemeriksaan daging beku ini juga dilakukan oleh Dinas Peternakan kota Denpasar meliputi pemeriksaan kemasan, tanggal kadaluarsa, kode dan kondisi daging beku terutama ditandai dengan ada tidaknya gumpalan darah.
Pada tahapan pertama (tahapan persiapan), daging-daging sapi beku yang akan diolah menjadi sosis mengalami proses pelayuan selama sepuluh menit dengan suhu 10 sampai 15oC terlebih dahulu. Proses pelayuan dilakukan dengan cara mengalirkan udara dingin yang dilakukan di anteroom, dimana anteroom merupakan bagian dari gudang cold storage. Thawing atau pelayuan daging beku berfungsi untuk mengurangi kristal-kristal es yang ada dalam daging sehingga diperoleh tekstur daging yang tidak terlalu keras. Setelah mengalami proses pelayuan, daging dibawa ke ruang debonning dan dilakukan tahapan-tahapan berikutnya.
Pada bagian debonning dilakukan tahapan yang kedua, yaitu tahapan pembuatan daging pickle. Dibagian debonning, bungkus daging kemudian dibuka dan daging dipotong dengan menggunakan mesin pemotong. Proses pemotongan daging beku di PT CIP dilakukan dengan mesin pemotong daging yang berkapasitas satu koli atau sama dengan 27,2 kg. Setelah diperoleh potongan-potongan daging dengan ukuran yang lebih kecil, tahap selanjutnya adalah proses pemisahan antara daging dan lemaknya, kemudian dapat dilakukan proses penggilingan.
Daging sapi beku yang telah dipotong dapat langsung dimasukkan ke dalam mesin penggiling. Proses penggilingan dilakukan dua kali agar diperoleh daging giling yang lebih halus. Tujuan penggilingan ini selain untuk memperkecil ukuran daging, juga dapat mempermudah proses pencampuran daging dengan bahan pembantu lainnya. Selain itu penggilingan bertujuan untuk memperluas permukaan daging sehingga proses penggaraman (curing) dapat berjalan lebih efektif dan sempurna.
Pada proses ini daging yang telah digiling dicampurkan dengan garam curing. Curing adalah cara prosessing daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam NaCL, Na Nitrite, STPP, dan air panas. Tujuan curing ini adalah untuk mendapatkan warna yang stabil, aroma, tekstur dan rasa yang baik serta untuk mengurangi pengkerutan daging selama proses produksi berlangsung dan memperpanjang masa simpan produksi daging (Soeparno, 1992).
Uraian proses curing adalah sebagai berikut: Pertama-tama garam NaCL dengan konsentrasi tertentu dilarutkan ke dalam air panas, kemudian disaring. Penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau benda asing lainnya. Setelah disaring, larutan curing ditambahkan STPP dan Natrium Natrite sambil di aduk. Proses ini dilakukan secara manual oleh para karyawan. Pada saat proses mixing berlangsung daging pickle (daging yang telah mengalami proses curing) tersebut ditambahkan vitamin C. Proses mixing ini berlangsung selama 5 menit, setelah itu daging pickle tersebut ditempatkan dalam wadah yang terbuat dari baskom plastik.
Pada tahapan pembuatan pickle ini daging pickle tidak mengalami proses pemeraman karena daging yang digunakan adalah daging sapi beku, dimana keadaan beku ini menyebabkan daging mempunyai tekstur pori-pori yang besar akibat adanya proses pelayuan sehingga proses penyerapan garam curing dapat terjadi dengan baik tanpa harus melalui proses pemeraman.
Mesin ini berfungsi untuk memotong daging beku menjadi potongan-potongan daging yang mempunyai ukuran lebih kecil. Tujuan proses ini adalah untuk mempermudah proses selanjutnya yaitu proses penggilingan.
2. Mesin penggiling (Grinder)
Mesin ini mempunyai fungsi untuk mengubah ukuran daging menjadi lebih kecil dan seragam. Besar kecilnya ukuran daging yang dihasilkan apat disesuaikan dengan mengatur dan mengubah plat pisau yang memiliki diameter yang berbeda.
3. Mesin pencampur (Mixer)
Mesin ini digunakan untuk mencampur garam curing dan daging yang telah digiling untuk menghasilkan daging pickle. Mesin pencampur ini dilengkapi dengan bejana yang berbentuk setengah silinder dan pengaduk.
Sedangkan tahapan yang terakhir adalah tahapan pemasakan. Tahapan ini dilakukan oleh bagian produksi. Meliputi proses-proses antara lain:
a. Mixing Cutter
Dalam proses mixing cutter ini daging pickle dari proses curing siap di proses dengan bahan tambahan berupa bumbu-bumbu, emulsi, es, bahan pengisi dan pewarna makanan (carmoisine). Pembuatan sosis di awali dengan memasukkan es balok ke mesin mixing cutter untuk mendinginkan mesin dan juga untuk mempertahankan suhu pencampuran sehingga tidak lebih dari 60oC untuk mencegah terdenaturasinya protein sebagai emulsifier utama disamping air sebagai komponen dari sosis.
Kemudian emulsi dimasukkan hingga berbentuk gel, barulah daging pickle dimasukkan beserta bumbu dan pewarna hingga terdistribusi merata serta bahan pengikat dan pengisi berupa tepung tapioka dan susu skim hingga berbentuk pasta. Tahapan-tahapan yang digunakan dalam pembuatan emulsi yang digunakan dalam proses mixing cutter antara lainlemak sapi direbus kemudian dicampur dengan air panas, emulsifier dan garam, kemudian dilakukan pendinginan hingga menjadi emulsi lemak sapi.
Pasta yang telah tercampur merata dipindahkan ke dalam panci vemag dan kemudian ditimbang dan di cek suhunya siap dimasukkan ke dalam mesin vacuum.
b. Vacuuming
Vacuuming adalah suatu proses penghampaan udara pada pasta sosis. Tujuan dari proses ini adalah agar
sosis yang dihasilkan mempunyai struktur yang padat dan tidak berongga. Proses vacuum ini dilakukan dalam mesin vacuum yang operasinya dimulai pada saat tekanan yang tertera pada mesin mencapai 40 mmHg, dimana
waktu vacuum dapat mulai dihitung dan lama proses ini adalah 15 menit. Mesin yang digunakan dalam proses vacuuming adalah mesin vacuum mixing. Setelah proses ini selesai pasta sosis langsung dibawa ke mesin stuffing untuk kemudian dilanjutkan pada proses stuffing.
c. Pengisian dalam selongsong
Pengisian dalam selongsong (stuffing) adalah proses pemasukan pasta sosis ke dalam selongsong (casing) dengan diameter dan panjang sosis yang diharapkan. Menurut Soeparno (1998), ada 2 macam cassing yaitu sintetik dan alami. Casing alami (natural) dapat diperoleh dari usus halus sapi, usus halus babi, dan usus halus domba atau kambing. Sedangkan casing sintetik dari regenerated collagen (dari collagen sapi, plastik poly vinyl chlorida (PVC), poly etilen (PE) atau selulosa. Pada PT CIP menggunakan cassing sintetis dari selulosa.
Pada proses stuffing, pasta sosis dimasukkan ke mesin stuffing kemudian tombol otomatis screw diaktifkan. Hal ini bertujuan untuk mendorong pasta sosis ke dalam filler. Kecepatan mesin diatur 0-10 dan tekanan vacuum 90 mmHg, kemudian diatur pula ukuran panjang sosis.
Tabel 1. Kriteria Ukuran Produk Sosis Sapi Vacuum Pronas
Jenis Produk Panjang (cm/pieces) Diameter (mm/pieces)
Pengontrolan proses stuffing dilakukan oleh petugas QA, form kontrol stuffing dapat dilihat pada lampiran halaman 17.
d. Penggantungan
Sosis yang telah dibentuk dan dimasukkan dalam selongsong kemudian digantung pada reng-reng besi dimana sosis diikat berbentuk segitiga untuk mempermudah proses penggantungan (racking) pada stik besi, kemudian reng besi dapat menampung 30 stik sosis. Setelah penggantungan selesai dilakukan penyiraman dengan
air semprotan, hal tersebut bertujuan untuk membersihkan sisi-sisi pasta yang masih melekat pada selongsong sosis. Setelah itu reng-reng besi tersebut dimasukkan ke dalam smoke house.
e. Pemasakan, pengeringan, dan pengasapan
Pemasakan (cooking), pengeringan (drying), dan pengasapan (smoking) merupakan proses yang terjadi pada smoke house. Tujuan dari proses-proses ini adalah untuk meningkatkan flavour dan penampakan produk yang
menarik. Proses-proses ini dilakukan secara bertahap, namun sebelum proses-proses tersebut berlangsung, smoke house yang akan digunakan dipersiapkan terlebih dahulu dengan membakar serutan kayu kering dan smoke house
dipanaskan selama 15 menit. Kayu kering dipilih sebagai media asap karena memiliki tingkat kekeringan kayu yang baik, kadar airnya rendah, intensitas asap bagus dan memiliki aroma tersendiri.
Pada tahap pertama adalah pemasakan (cooking), waktu yang diperlukan pada tahap ini yaitu 15 menit untuk sosis sapi ukuran 425 gram dan 20 menit untuk ukuran sosis 325 gram, sedangkan suhu dan kelembaban adalah 80oC dan 80%. Tujuan proses pemasakan ini adalah untuk mengkompakkan sosis karena koagulasi protein dan dehidrasi sebagian, memantapkan warna sosis dan mempasteurisasi sosis sehingga memperpanjang masa simpan. Selama proses pemasakan, sosis akan mengalami kehilangan berat kurang lebih 5-10%. Kontrol proses di smoke house dilakukan juga oleh petugas QA dan dicatat pada form kontrol proses smoking.
Tahap kedua adalah dilakukan proses pengeringan (drying) dengan suhu 60oC dalam waktu 55 menit, hal tersebut bertujuan untuk menguapkan air yang terdapat pada sosis, tetapi pada proses ini tidak semua air diuapkan karena dapat menyebabkan sosis menjadi kering.
Tahap terakhir adalah pengasapan (smoking). Tujuan pengasapan adalah untuk meningkatkan flavour dan penampakan permukaan produk yang menarik. Pengasapan ini dilakukan selama 10 menit, dengan kelembaban 76%. Form kontrol smoke house dapat dilihat pada lampiran halaman 18.
f. Pendinginan (cooling)
Pada proses pendinginan (cooling), sosis yang telah matang dikeluarkan dari smoke house kemudian didinginkan dengan air. Tujuan pendinginan ini agar suhu dapat diturunkan, selain itu tujuan utamanya adalah untuk mengikat dan tetap mempertahankan aroma asap agar tidak menguap seluruhnya.
3.1 Bahan Pembantu
Bahan pembantu pengolahan adalah komponen bahan-bahan penolong yang umumnya akan hilang sebagian atau secara keseluruhan akibat proses pengolahan. Bahan ini biasanya tidak meninggalkan pengaruh merugikan terhadap flavour dan penampilan makanan olahan (Fachruddin, 1998). Bahan pembantu yang dimaksud antara lain:
Bumbu-bumbu
Bumbu yang digunakan pada produksi sosis sapi di tambahkan pada saat pencampuran. Pada sosis sapi menggunakan carmoisine sebagai bahan pewarna. Bumbu tersebut telah diukur oleh bagian gudang bumbu, dimana ukurannya telah disesuaikan dengan draft yang disepakati dan ditentukan oleh bagian QA serta sesuai dengan pesanan bagian produksi.
Tepung tapioka dan susu skim
penggunaan daging. Bahan pengikat adalah material bukan daging yang dapat meningkatkan daya ikat air daging dan emulsifikasi lemak, sehingga menurunkan biaya, memperbaiki gizi bila bahan pengikat yang digunakan merupakan sumber protein, memperbaiki cita rasa dan memperbaiki tekstur.
Emulsifier
Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan yang lain, yang molekul-molekul ke dua cairan tersebut tidak saling berbaur, tetapi saling antagonistik (Winarno, 2002). Pada suatu emulsi biasanya
terdapat tiga bagian utama yaitu bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir-butir yang biasanya terdiri dari lemak, bagian kedua disebut bagian pendispersi yang biasanya terdiri dari air dan bagian ketiga adalah emulsifier yang menjaga agar butir-butir minyak dapat tetap tersuspensi di dalam air atau dengan kata lain emulsifier adalah zat-zat yang mampu mempertahankan emulsi lemak dalam air atau sebaliknya.
Emulsifier yang digunakan dalam pembuatan emulsi sosis sapi di PT CIP adalah susu skim dan isolate soya protein. Penggunaan susu skim pada sosis akan menghambat penggumpalan lemak pada ruang antara selongsong dalam daging sosis. Kandungan laktosa dalam susu skim akan memperbaiki dan melengkapi cita rasa dari sosis. Protein kasein dan albumin dari susu bubuk skim meningkatkan nilai gizi dan aroma sosis. Sosis yang menggunakan susu skim mempunyai tekstur dan kehalusan penampakan.
Es balok
Es balok yang digunakan dalam proses produksi sosis sapi telah dipecah-pecah menjadi serpihan kecil, hal ini dimaksudkan memudahkan kerja mesin pengaduk. Tujuan pemberian es ini adalah untuk menurunkan suhu pasta sosis, apabila suhu tidak diturunkan maka campuran adonan tidak akan menjadi emulsi yang baik (Hadi Wiyoto, 1983).
Garam curing
Garam curing yang dimaksudkan disini adalah garam NaCL yang di tambahkan dalam proses curing dimana proses ini sendiri tidak hanya merupakan penggaraman saja, namun juga disertai penambahan senyawa atau zat lain diantaranya Na Nitrite, STPP, dan vitamin C. Na Nitrite merupakan salah satu zat pengawet organik yang sering digunakan dalam bentuk garam. Na nitrite merupakan zat kimia yang berbentuk kristal putih kekuningan dan larut dalam air. Penggunaan Na nitrite pada proses curing berfungsi untuk menstabilkan warna daging, menambah rasa yang khas pada daging pickle, menghambat mikroba patogen dan mikroba pembusuk serta memperlambat perkembangan atau terjadinya ketengikan. Penggunaan Na nitrite maksimal sebesar 50 mg/kg
(SNI 01-0222-1995). STPP merupakan zat kimia yang ditambahkan pada proses curing pada pembuatan sosis. STPP yang mempunyai rumus kimia Na5P3O10 berbentuk bubuk putih yang mudah larut dalam air ini berfungsi sebagai stabilizer dan sebagai penyatu adonan, disamping itu STPP juga berfungsi untuk mengawetkan produk. Penambahan STPP maksimal 29 mg/kg (Codex Alimentarius Commission, CAC). Vitamin C atau asam eritrobat yang ditambahkan pada produk daging sebagai antioksidan dan untuk mencegah terjadinya oksidasi. Lebih lanjut dikatakan asam eritrobat berfungsi sebagai penstabil warna.
Pembelian bahan baku dan bahan tambahan yang dilakukan oleh PT CIP Denpasar sebelumnya direncanakan terlebih dahulu agar jumlah, jenis, dan kriteria yang dibutuhkan sesuai dengan rencana dan anggaran produksi dalam setiap periode pembelian. Proses pembelian dilakukan oleh bagian pengadaan. Semua bahan baku dan bahan pembantu yang digunakan untuk proses produksi harus memiliki dokumen asal daging yang jelas, surat kesehatan dari balai pengawasan obat dan makanan (BPOM) dan sertifikat halal.
dan kondisi daging beku terutama kelumerannya yang ditandai dengan ada tidaknya gumpalan darah. Begitu juga dengan bahan pembantu yang baru tiba diperiksa jenis barangnya, spesifikasi dan kode kadaluarsanya oleh bagian QA.
3.2 Sarana Pendukung 1. Tenaga Listrik
Tenaga listrik yang digunakan sebagai sumber energi untuk menggerakkan mesin-mesin dan penerangan pabrik berasal dari PLN dan generator pembangkit listrik. Kapasitas listrik dari PLN sebesar 10.600 KVA (Kilo Volt Ampere) dan jumlah pemakaian setiap bulan rata-rata 350 KWH (Kilo Watt Hour). Sedangkan generator
yang ada berjumlah empat (4) dengan kapasitas masing-masing 250 KVA. 2. Air
Air merupakan salah satu penunjang produksi yang sangat penting, baik yang berhubungan langsung dengan produk maupun tidak. Air yang tersedia digunakan untuk keperluan produksi termasuk sterilisasi, boiler, kegiatan sanitasi, dan air minum.
Kebutuhan air untuk PT CIP berasal dari sumur bor dengan kedalaman masing-masing ± 100 m sebanyak empat buah dan dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Air sumur ditampung dalam dua bak penampungan air, yaitu bak I dan bak II. Air yang berada pada bak penampungan I digunakan untuk sterilisasi (autoclave), sedangkan air yang berada pada bak penampungan II digunakan baik untuk kegiatan sanitasi, produksi, dan air minum.
4. Penerapan Sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pada Proses Pengolahan Sosis Sapi di PT. Canning Indonesian Products (PT CIP)
Dalam penerapan HACCP terdapat beberapa tahapan yang harus ditempuh, yaitu : 1. Kelayakan Dasar
Penerapan sistem jaminan mutu berdasarkan HACCP merupakan program terpadu yang dilandasi persyaratan atau kelayakan dasar yang meliputi :
cara berproduksi yang baik (GMP).
penerapan sanitasi dan standar prosedur operasi (SPO/SSPO)
anjuran teknologi produksi, pembibitan, budidaya, pascapanen/pengolahan hasil
unit pengolahan, sarana dan pelaksanaan sanitasi, peralatan dan mesin, karyawan, dan lain-lain. 2. Persiapan
Tahap persiapan dimaksudkan untuk mempersiapkan rancangan yang mencakup organisasi, penerapan, dan evaluasi. Hal-hal/kegiatan yang dicakup dalam persiapan adalah :
a. Pembentukan Tim HACCP
Tim harus terdiri atas tenaga/personil yang bertanggung jawab dan terlibat langsung dalam suatu unit proses. Program HACCP dirancang oleh Tim dengan dilandasi pengetahuan yang memadai tentang HACCP. Apabila timbul masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh tim, maka dapat dimintakan saran dari tenaga ahli di luar tim.
b. Identifikasi Spesifikasi Produk
Hal ini dikerjakan oleh tim yang telah dibentuk, didahului dengan penyiapan sejumlah pertanyaan (untuk memudahkan identifikasi produk) yang berkaitan dengan komposisi/komponen, spesifikasi, kemasan, kondisi penyimpanan, ketahanan simpan, dan distribusi produk.
Peruntukan penggunaan harus didasarkan pada harapan pengguna akhir atau konsumen dengan memperhatikan manfaatnya. Pengelompokkan konsumen diperlukan untuk menentukan tingkat resiko setiap produk.
d. Penyusunan Alur Proses
Alur proses disusun dalam suatu diagram secara sederhana namun lengkap dan jelas menguraikan proses. Alur proses sangat menentukan pelaksanaan analisis bahaya. Apabila suatu
tahapan penting tidak tercantum, boleh jadi akan muncul bahaya yang tidak dapat dikendalikan. e. Verifikasi Lapang terhadap Alur Proses
Diagram alur proses harus diverifikasi oleh tim HACCP dengan mengecek setiap tahapan kegiatan di lapangan dan membuat koreksi terhadap diagram, sampai diperoleh kesepakatan dalam proses.
4.1 Good Manufacturing Practice (GMP)
Cara produksi makanan Yang baik (Good Manufacturing Practice, GMP) digambarkan sebagai " bagian dari Jaminan mutu yang memastikan bahwa produk secara konsisten diproduksi dan dikendalikan kepada standar mutu yang sesuai kepada penggunaan yang mereka harapkan. " petunjuk dan Prinsip untuk GMP dinyatakan di (dalam) dua instruksi; instruksi 2003/94/Ec untuk produksi obat-obatan dan investigational produksi obat-obatan untuk digunakan manusia dan instruksi 91/412/EEC mengenai produksi obat-obatan untuk dokter hewan.
GMP merupakan prosedur umum yang berkaitan dengan suatu persyaratan dasar suatu operasi bisnis pangan untuk mencegah kontaminasi akibat suatu operasi produksi atau penanganan, serta salah satu pilihan yang digunakan dalam pengendalian sistem pengawasan dan untuk menjamin food safety yang disarankan oleh para ahli bidang keamanan pangan. GMP merupakan salah satu sistem keamanan pangan konvensional yang diantaranya GMP dan pengujian (testing), sistem konvensional ini belum memberikan jaminan keamanan secara memadai, dan khususnya tingkat ketelusurannya yang rendah. Sistem konvensional telah mendapatkan beberapa keluhan dari pelaku bisnis pangan, yaitu karena:
o Untuk microbiological hazards tidak terwakili SQC (statistic quality control) o Waktu dan biaya, lama dan mahal
o Testing tidak menemukan atau mengendalikan penyebabnya.
Dalam perkembangan tuntunan keamanan pangan yang lebih baik dan ditemukannya HACCP, maka dapat dirumuskan suatu sistem keamanan pangan yang mencakup pre-requisite program (persyaratan dasar), prinsip-prinsip HACCP dan program universal manajemen mutu. Yang mana HACCP merupakan salah satu pilihan pula yang digunakan dalam pengendalian sistem pengawasan dan untuk menjamin food safety yang disarankan oleh para ahli bidang keamanan pangan. GMP didefinisikan juga sebagai praktik dan syarat yang diperlukan sebelum dan selama diterapkannya HACCP dan yang memang sangat penting untuk keamanan makanan.
Tabel 2. Perbandingan antara GMP dan Pre-requisite program dari HACCP
GMP HACCP PRE-REQUISITE
Lingkungan produksi Lingkungan produksi
Peralatan Peralatan
Personil Personil
Pengendalian proses Pengendalian proses
Sanitasi Sanitasi
Pencatatan Pencatatan monitoring, dan tindakan koreksi
Penarikan produk Penarikan produk
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa dalam GMP pengawasan meliputi lingkungan produksi, peralatan, personil, pengendalian proses, sanitasi, pencatatan, penarikan produk serta penerimaan/penyimpanan/transport. Sedangkan pada pre-requisite program dari HACCP hampir serupa dengan GMP, akan tetapi bagian pencatatan dikembangkan kembali dengan pencatatan monitoring, dan tindakan koreksi. Dimana dimaksudkan memberikan tindakan langsung terhadap kesalahan-kesalahan yang ada pada proses produksi pangan sebelum menjadi produk jdi yang dapat merugikan perusahaan ataupun sampai ke konsumen dimana akan lebih merugikan pihak
perusahaan dan pihak konsumen.
GMP mengacu pada peraturan praktek produksi yang baik yang diumumkan secara resmi oleh departemen pangan dan obat-obatan AS dibawah wewenang pemerintah pusat bagian makanan, obat-obatan dan kosmetika. Peraturan ini, memiliki kekuatan undang-undang, yang mewajibkan para pabrikan, pengolah, dan bagian pengemasan dari obat-obatan, alat medis, makanan, dan darah mengambil langkah-langkah proaktif untuk memastikan bahwa produk mereka aman, murni, dan efektif. Peraturan GMP memerlukan suatu pendekatan mutu untuk memproduksi, memungkinkan perusahaan untuk memperkecil atau mengeliminasi kejadian pencemaran, kesimpang siuran, dan kesalahan. Yang pada akhirnya, melindungi konsumen dari pembelian suatu produk yang tidak efektif atau bahkan berbahaya. Kegagalan perusahaan untuk memenuhi ketentuan peraturan GMP dapat mengakibatkan konsekwensi yang sangat serius mencakup penarikan kembali, perampasan, denda, dan penjara.
Peraturan GMP membahas persoalan-persoalan yang terjadi dalam proses produksi pangan termasuk dokumentasi, kualifikasi personal, sanitasi, kebersihan, ferifikasi peralatan atau perlengkapan, validasi proses, dan penanganan terhadap keluhan. Sebagian besar syarat GMP adalah sangat general dan keterbukaan, membiarkan masing-masing pabrikan untuk memutuskan secara individu bagaimana mengimplementasikan cara pengendalian yang terbaik. Ini memberikan banyak fleksibilitas, tetapi juga mewajibkan pabrikan menginterpretasikan kebutuhan sehingga bisa dipertimbangkan atau masuk akal untuk masing-masing bisnis individu.
GMP juga kadang-kadang dikenal sebagai "cGMP". "C" mewakili "current"(sekarang), yang mengingatkan pabrikan bahwa mereka harus mempekerjakan teknologi dan sistem-sistem yang terbaru untuk mengaikuti peraturan yang ada. Sistem dan peralatan digunakan untuk mencegah kontaminasi, kesimpang siuran, dan kesalahan, yang mungkin telah menjadi " top-of-the-line" sejak 20 tahun yang lalu, dimana kemungkinan kurang cukup untuk standard masa kini.
4.1.1 Tujuan GMP
Tujuan dari penerapan GMP sebagai persyaratan dasar adalah agar setiap karyawan teknis maupun administrasi dari paling bawah sampai ke paling atas, antara lain:
Mengerti bahwa program kebersihan dan sanitasi akan meningkatkan kualitas sehingga tingkat keamanan
produk meningkat, seirama dengan menurunnya kontaminasi mikroba.
Mengetahui adanya peraturan Good Manufacturing Practices (GMP) yang mengharuskan digunakan
zat-zat tertentu yang dianggap aman dan efektif bagi program hygiene dan sanitasi. Mengetahui tahapan-tahapan dalam hygiene dan sanitasi.
Mengetahui persyaratan minimum penggunaan sanitasi dengan klorin pada air pendingin (cooling water). Mengetahui adanya faktor-faktor seperti pH, suhu dan konsentrasi desinfektan yang mempengaruhi hasil
akhir suatu proses sanitasi.
Mengetahui masalah potensial yang mungkin timbul bila sanitasi tidak dijalankan dengan cukup.
mengharuskan setiap permukaan yang bersinggungan dengan makanan dan berada dalam kondisi basah harus dikeringkan dan sanitasi.
4.2 Sanisation Standard Operating Procedures (SSOP)
Aplikasi dari dokumen prasyarat dasar berupa SSOP atau SPOS (Standar Prosedur Operasi Sanitasi) yang terus harus dipelihara dan diimplementasikan pada proses produksi. SOP sanitasi menetapkan suatu titik sebagai
objek sanitasi yang berhubungan dengan kegiatan pengawasan atau monitoring, tindakan koreksi dan rekaman. SOP sanitasi biasanya berkaitan dengan seluruh fasilitas produksi atau bisnis pangan, dan tidak terbatas pada tahapan-tahapan tertentu.
Prinsip sanitasi adalah:
Membersihkan, yaitu menghilangkan mikroba yang berasal dari sisa makanan dan tanah yang
mungkin dapat menjadi media yang baik bagi pertumbuhan mikroba.
Sanitasi, yaitu menggunakan zat kimia dan atau metode fisika untuk menghilangkan sebagian besar
mikroorganisme yang tertinggal pada permukaan alat dan mesin pengolahan makanan. SOP sanitasi akan memberikan manfaat bagi jaminan keamanan produksi antara lain: Memberikan jadwal pada prosedur sanitasi
Memberikan landasan program monitoring berkesinambungan
Mengidentifikasi terjadinya kemungkinan dan mencegah terjadinya masalah Menjamin setiap karyawan mengetahui sanitasi
Mendorong perencanaan yang menjamin dilakukan koreksi bila diperlukan Memberikan sarana pelatihan yang konsisten bagi personil
Membawa peningkatan praktek sanitasi dan kondisi di unit usaha dan lain-lain
NSHATE, 1999 (Dalam Winarno, 2002), telah mengelompokkan SOP sanitasi menjadi delapan persyaratan sanitasi, yaitu:
Keamanan air
Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak langsung dengan bahan pangan Pencegahan kontaminasi silang
Menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet Proteksi dari bahan-bahan kontaminan
Penyimpanan, dan penggunaan bahan toksin yang benar
Pengawasan kondisi kesehatan karyawan yang dapat mengakibatkan kontaminasi pada makanan Menghilangkan hama dari unit pengolahan
4.2.1 Keamanan Air
Air memegang peranan penting bagi kelancaran aktifitas perusahaan. Menurut Soekarto (1990), air mempunyai peranan penting dalam industri pangan yaitu sebagai:
Bahan pencampur misalnya dalam pembuatan adonan
Media atau sarana suatu proses. Contoh sebagai pemanas, air pendingin dan uap panas Media atau sarana pembersih
Sebelum proses produksi dimulai, air selalu diberi klorin. Klorin berfungsi sebagai desinfektan terhadap sejumlah mikroorganisme. Klorin sangat cocok sebagai desinfektan umum di tempat usaha makanan dan harganya relatif murah. Desinfektan klorin kecuali klorin dioksida dayanya akan hilang apabila ada kotoran organik. Selain itu klorin juga berperan sebagai pemutih. Namun, jumlah penambahan klorin perlu diperhatikan. Penggunaan klorin standarnya 100-250 mg klorin per liter (Winarno, 2002). Jika penambahan klorin yang dilakukan melebihi ketentuan, pH larutan akan meningkatkan dari keadaan netral 6,5-7 menjadi asam. Sehingga
larutan akan bersifat korosif atau mudah bereaksi dengan oksigen membentuk karat. Dan kemampuan desinfektan yang dimiliki oleh klorin akan berkurang. Sifat korosif ini tidak dikehendaki karena air ini juga dipakai sebagai air pendingin yang bersentuhan langsung dengan sosis. Pemeriksaan persyaratan mutu air harus bebas dari bakteri, senyawa-senyawa kimia berbahaya, tidak berasa, tidak berbau, tidak berwarna dan lain-lain.
Pengujian mutu air yang digunakan PT CIP Denpasar dilakukan bekerjasama dengan laboratorium Dinas Kesehatan Propinsi Bali setiap empat bulan sekali. Air yang diperiksa yaitu air minum, air limbah, air sumur dan air bak penampungan.
Kriteria yang diperiksa meliputi sifat-sifat:
- Fisika meliputi: Bau, jumlah zat padat terlarut, kekeruhan, rasa, suhu, dan warna.
- Kimia anorganik diantaranya: Air raksa, arsen, kesadahan, pH, timbal, seng, mangan dan lain-lain. - Kimia organik diantaranya: Benzene, Kloroform, Detergent dan lain-lain.
- Biologi dengan indikator E.coli.
Organisme yang biasanya digunakan sebagai indikator adanya polusi adalah Escherichia Coli dan kelompok koliform secara keseluruhan E. Coli tidak diragukan berasal dari kotoran manusia. Organisme koliform secara keseluruhan tidak umum terdapat di dalam air. Bila organisme ini ditemukan dalam air dapat dianggap sebagai petunjuk adanya polusi.
Bila hasil pemeriksaan menyatakan adanya penyimpangan dari keadaan standar maka dilakukan penyetopan terhadap saluran air dan penghentian produksi untuk sementara waktu. Penarikan produk yang kemungkinana terkontaminasi juga dilakukan. Pemeriksaan ulang dilakukan untuk memastikan hasil pengujian sebelumnya pada sampel yang bermasalah saja.
4.2.2 Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak langsung dengan bahan pangan
Tujuan melakukan pengawasan terhadap permukaan yang kontak langsung dengan bahan pangan adalah memberikan jaminan bahwa permukaan ini sudah dirancang untuk memfasilitasi proses sanitasi, dan dibersihkan secara rutin.
a. Kondisi permukaan yang kontak langsung dengan bahan pangan
Permukaan yang kontak langsung dengan bahan pangan berupa peralatan seperti bak besar beroda yang disebut batch, baskom, keranjang dan lain-lain dan mesin seperti mesin pemotong, mixer, grinder, dan lain-lain yang digunakan untuk memproduksi sosis sapi. Kondisi permukaan peralatan dan mesin tersebut diperiksa secara visual tentang adanya kecacatan, kerusakan, timbulnya karat dan kelayakan pakai. Hal tersebut untuk menghindari timbulnya kontaminasi dari permukaan peralatan dan mesin yang digunakan ke produk jadi.
b. Kebersihan dan sanitasi permukaan yang kontak langsung dengan bahan pangan
GMP mensyaratkan agar dilakukan pembersihan dan sanitasi pada seluruh permukaan mesin baik yang kontak langsung dengan makanan maupun yang tidak. Hal ini hendaknya dilakukan dalam frekuensi yang memadai. Adanya air akan menyebabkan mikroba bisa tumbuh dengan baik. Sehingga seluruh permukaan yang bersinggungan langsung dengan makanan harus dikeringkan dan disanitasi. Selain itu, adanya air akan mempercepat proses pengkaratan pada mesin yang akan memperpendek umur mesin.
1. Mesin pemotong daging beku (Frozen meat cutter)
Mesin ini berfungsi untuk memotong daging beku menjadi potongan-potongan daging yang mempunyai ukuran lebih kecil. Tujuan proses ini adalah untuk mempermudah proses selanjutnya yaitu proses penggilingan.
2. Mesin penggiling (Grinder)
Mesin ini mempunyai fungsi untuk mengubah ukuran daging menjadi lebih kecil dan seragam. Besar kecilnya ukuran daging yang dihasilkan apat disesuaikan dengan mengatur dan mengubah plat pisau yang
memiliki diameter yang berbeda. 3. Mesin pencampur (Mixer)
Mesin ini digunakan untuk mencampur garam curing dan daging yang telah digiling untuk menghasilkan daging pickle. Mesin pencampur ini dilengkapi dengan bejana yang berbentuk setengah silinder dan pengaduk.
4. Mesin Cutter
Mesin ini mempunyai fungsi utama yaitu sebagai pencampur, pemotong dan penghancur atau penghalus bahan. Terbuat dari baja berkecepatan tinggi yang tahan terhadap kondisi panas dan dingin, sering juga digunakan untuk membuat emulsi sosis dan pencampuran pasta sosis.
5. Mesin Vacuum
Mesin ini berfungsi untuk menghilangkan gelembung udara yang ada pada pasta sosis, sehingga dapat diperoleh tekstur sosis yang padat dan kompak.
6. Mesin Stuffer
Mesin ini berfungsi untuk membentuk sosis dengan memasukkan pasta sosis ke dalam selongsong buatan (selulosa) secara otomatis sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Kecepatan mesin berkisar 0-10 feeder dan tekanan vacuum berada pada 90 mmHg.
7. Stik dan Reng
Stik digunakan untuk menggantung sosis yang seterusnya digantung pada reng untuk mempermudah proses pengeringan, pengasapan san pemasakan. Setiap reng diisi 30 stik sosis.
8. Smoke house
Merupakan suatu ruangan yang digunakan untuk proses pengeringan, pengasapan dan pemasakan sosis. Pada smoke house ini terdapat kran uap di bagian bawahnya dan dilengkapi dengan kipas sirkulasi dan kipas exhaust.
c. Tipe dan konsentrasi bahan sanitasi Bahan-bahan kimia yang digunakan: 1. Kaporit bubuk
Dicampur dengan air dan digunakan untuk mencuci sepatu agar tidak licin.
2. Soda Api
Digunakan untuk membersihkan lantai debonning dan ruang produksi.
3. Teepol
Digunakan untuk membersihkan mesin-mesin dan lantai dari lemak atau minyak. PH : 8 s/d 9
Kekentalan : 150 s/d 200 CPS Dosis 1 teepol dengan air 50 liter.
4. Neo Chlor
Dicampur dengan air yang ada pada bak I dan bak II.
5. Caustic Soda Flake (NaOH) Kegunaan:
Vegetable Refining
Industri Royan & Cellophane Industri sabun & detergent Industri Pulp & kertas Industri karet
Industri textile Industri kimia
6. Natrium Hydroxide Berat molekul : 40.01 Sifat larutan:
Hydroscopis
Larut dalam air, alcohol dan glycerol Bahaya kimia:
Sangat beracun bila tertelan atau terhirup uapnya
Menimbulkan luka iritasi yang kuat bila mengenai kulit atau jaringan tubuh lainnya dengan menimbulkan
luka bakar.
NAB 2mg/m2 udara Korosif
Pencegahan bahaya:
Siapkan alat pengaman berikut di area penyimpanan caustic soda:
A. Kaca tahan bahan kimia B. Sarung tangan karet C. Sepatu karet
D. Tutup mulut dan hidung
E. Baju appron dari bahan karet atau plastik
F. Tersedianya air yang cukup atau drench shower
Tumpahan larutan soda supaya di bersihkan dan disiram dengan air sebanyak-banyaknya
Pertolongan Pertama:
Siram air sebanyak-banyaknya pada bagian tubuh yang terkena tumpahan soda. Segera lepaskan pakaian yang terkena caustic soda.
Bilas bagian tubuh yang terkena dengan larutan asam cuka encer 1%, kemudian cuci sekali
lagi dengan air yang bersih.
Jika mengenai mata, segera cuci dengan air sebanyak-banyaknya dan bawa ke klinik atau
rumah sakit terdekat.
d. Kebersihan sarung tangan dan pakaian karyawan
Karyawan dibagian produksi PT CIP Denpasar diwajibkan mengenakan sarung tangan selama melakukan pekerjaan. Penggantian sarung tangan dilakukan bila sarung tangan sudah robek meskipun pekerjaan masih tersisa, dan saat diperlukan untuk mengganti sarung tangan misalnya setelah dari toilet.
4.2.3 Pencegahan kontaminasi silang
Untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang, beberapa hal yang dilakukan oleh karyawan PT CIP Denpasar antara lain:
a. Pemisahan bahan baku dengan bahan pendukung dan produk jadi sosis sapi
b. Pemisahan yang cukup antara aktivitas penanganan/pengolahan bahan baku dengan produk olahan/jadi c. Pemisahan produk-produk dalam penyimpanan
d. Pembersihan dan sanitasi area dan alat penanganan dan pengolahan pangan e. Higiene karyawan
f. Pencucian tangan
g. Penanganan limbah padat dan cair
4.2.4 Menjaga Fasilitas Pencuci Tangan, Sanitasi dan Toilet
Pengawasan terhadap fasilitas ini ditujukan untuk mendorong program pencucian dan untuk mencegah penyebaran dan potensi mikroorganisme pathogen pada area penanganan dan pengolahan produk pangan.
Setiap pagi sebelum kegiatan produksi dimulai petugas GMP selalu mengecek fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet yang tersedia diseluruh area pabrik. Hal-hal yang diawasi yaitu kebersihannya, kondisinya masih layak pakai atau perlu diperbaiki dan kelengkapan sarana tersebut seperti hand soap dan hand dryer. Tak lupa saluran air limbahnya juga mendapat perhatian. Kondisi saluran air cukup baik atau terjadi penyumbatan akibat adanya kotoran.
4.2.5 Proteksi dari bahan-bahan kontaminan
Tujuan dari proteksi produk terhadap bahan kontaminan adalah untuk menjamin bahwa produk pangan, bahan pengemas, dan permukaan kontak langsung dengan pangan terlindungi dari kontaminasi mikroba, kimia dan fisik.
Beberapa contoh tindakan yang dilakukan untuk proteksi terhadap kontaminasi di PT CIP diantaranya: a. Menghindari adanya genangan air di lantai
b. Menggunakan air pencuci kaki dan roda troley sebelum masuk ke bagian produksi c. Menghilangkan bahan kontaminan dari permukaan
4.2.6 Penyimpanan dan penggunaan bahan toksin
Hal ini bertujuan untuk menjamin bahwa penyimpanan dan penggunaan bahan toksin adalah benar untuk proteksi produk dari kontaminasi. Aspek yang diawasi adalah sistem penyimpanan dan penggunaan bahan toksin. Penyimpanan bahan-bahan toksin di bagian tersebut dilakukan ditempat dengan akses terbatas bagi karyawan dibagian lain. Bahan-bahan toksin dibagian bumbu yang tergolong food grade disimpan terpisah ditempat yang berbeda dengan bahan-bahan toksin di bagian GMP yang tergolong non-food grade.
4.2.7 Pengawasan kondisi kesehatan karyawan
perusahaan bekerja sama dengan rumah sakit Trijata Denpasar. Kerja sama yang dilakukan meliputi kunjungan dokter setiap hari senin, rabu dan jumat serta melakukan rujukan bila memerlukan penanganan klesehatan khusus. Poliklinik perusahaan menyediakan pertolongan pertama terhadap penyakit ringan seperti batuk dan pilek. Bila keluhan karyawan bersifat ringan ada dua alternatif yang bisa diambil yaitu bekerja kembali atau istirahat di rumah. Untuk gangguan kesehatan tingkat berat jika karyawan tidak bisa bekerja pada bagian yang sama maka karyawan tersebut dipindahkan ke bagian dengan tingkat pekerjaan yang sesuai dengan kondisi kesehatannya
tersebut. PT CIP Denpasar melakukan pemeriksaan rutin terhadap karyawan berupa pemeriksaan rectal swab. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui adanya beberapa mikroba yang tergolong berbahaya dan dapat mengancam jiwa manusia. Mikroba yang tergolong kondisi akut tinggi dan diperiksa keberadaannya yaitu E. Coli Path., Salmonella, Shigella dan Vibrio Cholerae.
4.2.8 Menghilangkan Hama Dari Unit Pengolahan
Pemberantasan hama di PT CIP dilakukan bekerjasama dengan PT Indofullin setiap dua hari sekali. Hama yang diberantas meliputi kecoa, semut, nyamuk, hewan pengerat, lalat buah dan lain-lain. Pemberantasan hama dilakukan di gudang dan tempat packing, gudang kaleng, ruangan produksi, kantor, musholla, saluran limbah, lorong-lorong, taman, pos satpam dan lain-lain.
Beberapa teknik pemberantasan yang digunakan PT CIP antara lain pengasapan (Fogging), penyemprotan (Spraying) dan rodent control baiting. Pengasapan dilakukan setiap dua minggu sekali di dalam ruangan
konserven di hari libur produksi. Areal diluar konserven dilakukan dua minggu sesudahnya. Di dalam ruang konserven, dan di luar kmar dingin (cold storage) dipasang alat perangkap serangga dengan menggunakan sinar ultraviolet.
4.3 Pengertian, Tujuan dan Lingkup HACCP
HACCP merupakan suatu sistem jaminan mutu yang didasari oleh kesadaran bahwa bahaya (hazard) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendalian untuk mengontrol bahaya tersebut. Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang mengutamakan kepada tindakan pencegahan dari pada mengandalkan pada pengujian produk akhir (Winarno, 2002).
HACCP dapat diterapkan dalam rantai produksi pangan mulai dari produsen utama bahan baku pangan (pertanian), penanganan, distribusi, dan pemasaran hingga sampai kepada pengguna akhir. Keberhasilan dalam penerapan HACCP juga membutuhkan pendekatan tim. Tim ini harus terdiri dari tenaga-tenaga ahli yang tepat.
HACCP memberikan elemen-elemen penting dalam sistem keamanan maupun Good Manufacturing Practices (GMP) dengan cara yang sistematis dan mudah diterapkan dalam industri pangan diseluruh rantai
produksi pangan. Secara umum dan sederhana HACCP dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Melihat proses produksi/produk dari awal hingga akhir
2. Menetapkan posisi bahaya yang mungkin timbul
3. Menetapkan cara pengendalian dan melakukan pengawasan
4. Menuliskan hal-hal tersebut di atas dan melakukan rekaman kegiatan serta mengusahakannya agar berjalan kontinyu dan efektif
Dengan program HACCP ini pada analisis bahaya terdapat tiga pendekatan penting dalam pengawasan mutu produk pangan yaitu:
a. Keamanan pangan (food safety)
Aspek-aspek dalam proses produksi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit atau bahkan kematian. Masalah ini umumnya dihubungkan dengan masalah biologi, kimia, dan fisika.
Merupakan karakteristik-karakteristik produk atau proses dalam kaitannya dengan kontaminasi produk atau fasilitas sanitasi dan hygiene.
c. Pemalsuan (Economic Fraud)
Tindakan-tindakan ilegal atau penyelewengan yang dapat merugikan pembeli. Tindakan ini meliputi pemalsuan bahan baku, penggunaan bahan tambahan yang berlebihan, berat tidak sesuai dengan label, overglazing dan jumlah komponen yang kurang dari yang tertera di kemasan.
Rencana HACCP yang dihasilkan merupakan protokol untuk produksi dan pelayanan serangkaian makanan yang aman. Sistem HACCP untuk makanan diperoleh ketika rencana HACCP diimplementasikan.
Implementasi HACCP memerlukan suatu prasyaratan dasar (pre-requisite) berupa Standard Operation Prosedures (SOP) yang merupakan cerminan dari dokumen HACCP. Deskripsi dari prasyaratan dasar ini mirip
dengan deskripsi Good Manufacturing Practices (GMP) yang menyangkut kombinasi dari produksi dan prosedur pengawasan kualitas yang ditujukan untuk memastikan bahwa produk yang dihasilkan adalah tetap dan sesuai dengan spesifikasinya.
Codex Alimentarius Commision (CAC) merupakan suatu badan dibawah naungan FAO dan WHO yang
bertugas menangani standar bahan pangan. Codex Alimentarius Commision (CAC) telah menyempurnakan pedoman implementasi HACCP dengan penerapannya dibagi menjadi 12 langkah. Langkah-langkah tersebut terdiri dari awal persiapan sebanyak lima langkah dan tujuh langkah berikutnya merupakan tujuh prinsip HACCP. Adapun ke dua belas langkah implementasi sistem HACCP itu yaitu:
Menyusun tim HACCP Deskripsi produk
Identifikasi tujuan penggunaan produk Diagram alir
Verifikasi diagram alir pada unit produksi
Mendaftar semua potensi bahaya analisisnya dan tindak pencegahannya Menentukan CCPnya
Menentukan batas kritis untuk setiap CCP
Menentukan sistem monitoring untuk setiap CCP
Menetapkan tindak koreksi untuk setiap penyimpangan yang mungkin terjadi Menetapkan prosedur verifikasi
Menetapkan penyimpanan catatan dan dokumentasi
4.3.1 Pedoman Pengawasan Mutu Sosis Sapi Vacuum
Pedoman yang digunakan dalam menjaga kualitas produk Sosis Sapi Vacuum di PT CIP Denpasar yaitu SNI 01-3820-1995 tentang syarat mutu Sosis Sapi dalam kemasan plastik vacuum. Acuan tersebut tidak bersifat wajib untuk dipatuhi oleh industri pangan.
Tabel 3. Syarat mutu sosis sapi dalam kemasan plastik vacuum (SNI 01-3820-1995)
NO KRITERIA UJI SATUAN PERSYARATAN
5 Lemak % b/b Max 25,0
Hazard dinyatakan sebagai sesuatu yang significant jika memungkinkan dapat membahayakan konsumen kecuali memang dikendalikan dengan tepat. Semua hazard yang signifikan dikelola melalui haccp sedangkan hazard yang tidak signifikan dikontrol melalui system lain.
Hazard bias berupa kontaminan biologis, kimiawi, maupun kontaminanfisik. Hazard tersebut dapat berasal dari bahanmentah, kemasan, proses, dan penanganan yang berlangsung dalam rantai makanan ataupun dari lingkungan.
Hazard biologis:
Hazard biologis muncul dalam bentuk mikroorganisme pathogen dan keberadaannya dalam banyak produk dapat menimbulkan bahaya terbesar bagi konsumen.
Salmonella merupakan salah satu hazard biologis dimana sedikit salmonella dapat menginfeksi, terutama pada dalam produk yang berkadar lemak tinggi, tetapi mudah dihancurkan dengan pemasakan.
Mikroorganisme memiliki kebutuhan dasar yang berhubungan dengan: Suhu optimum pertumbuhan
Tabel 4. Hazard Biologi yang ada dalam proses produksi sosis sapi vacuum
Hazard biologi Tindakan pengendalian
Pathogen
vegetatif,mis.,Salmonella,listeria
monocytogenes,E.coli
Bahan mentah
Perlakuan panas yang mematikan selama proses.
Spesifikasi dan surveilans.
Proses dan pengujian pemasok yang efektif.
Sertifikat lulus uji. Kontrol suhu. Kontaminasi silang Kemasan utuh. Pengendalian hama.
Bangunan yang aman (tidak ada atap bocor, air tanah).
Alur proses yang logis (pemisahan karyawan, pakaian, perlengkapan, dan
sebagainya, arah selokan).
Factor intrinsic, pH, aW, dan sebagainya.
Hazard kimiawi:
Kontaminasi zat kimia pada bahan makanan dapat terjadi melalui ingedien, saat produksiatau selama distribusi/penyimpanan, dan dampaknya pada konsumen bias berupadampak jangka panjang,. Jangka pendek, atau dampak teratogenik.
Tabel 5. Hazard Kimia yang ada dalam proses produksi sosis sapi vacuum
Hazard kimia Tindakan pengendalian
Pestisida, residu obat untuk hewan, dan plastic pada kemasan.
Zat adiktif kimia, mis., nitrat, nitrit
Spesifikasi yang memuat kepatuhan pemasok terhadap tingkatan maximum yang dibolehkan hukum.
Ferifikasi terhadap catatan pemasok. Program surveilans tahunan bahan mentah yang dipilih.
Spesifikasi dan surveilans (SQA) jika perlu sebagai zat adiktif.
Intruksi tertulis praktik produksi dan zat adiktif yang aman.
Penyimpanan khusus dalam container berlabel yang tertutup.
Hazard Fisik:
Hazard fisik merupakan zat atau benda asing yang dapat mengontaminasi bahan makanan kapan saja selama berlangsungnya produksi. Zat asing dapat dipandang sebagai hazard pada keamanan makanan jika zat tersebut masuk dalam kategori berikut:
Sesuatu yang tajam dan menyebabkan nyeri dan cedera, mis., serpihan kayu, pecahan gelas. Sesuatu yang dapat menyebabkan kerusakan gigi yang parah mis., logam, batu.
Sesuatu yang dapat menyebabkan tersedak, mis., tulang atau plastic.
Alasan lain untuk mengatasi kontaminasi zat asing adalah bahwa zat itu dapat bertindak sebagai sarana untuk kontaminasi silang mikrobiologi.
Tabel 6. Hazard Fisika yang ada dalam proses produksi sosis sapi vacuum
Hazard Fisika Tindakan pengendalian
Kontaminasi fisik ekstrensik pada bahan mentah, mis., kaca, kayu, logam, plastic, hama.
Kontaminasi silang proses fisik, mis.,
gelas, kayu, logam, plastic, hama.
Inspeksi 100%, secara manual atau memakai alat.
Deteksi logam. Inspeksi visual.
Menyingkirkan semua benda dari
kayu seperti pallet, sikat, pensil, peralatan dari area produk yang terbuka.
Menyingkirkan semua benda yang mudah lepas seperti perhiasan, peniti, skrup dan baut, peralatan kecil.
Menyingkirkan semua item plastic yang mudah lepas seperti tutup pena, kancing pada overall, perhiasan.
Tindakan pencegahan (desain fasilitas, menghilangkan semua tempat persinggahan, manajemen limbah, repelen ultrasonic).
Pemusnahan (Pembunuh lalat bertenaga listrik, racun, kotak umpan, jebakan, penyemprotan sekeliling bangunan, fogging).
4.3.2.2 Titik kendali kritis (CCP)
CCP atau titik kritis pengawasan didefinisikan sebagai setiap tahap di dalam proses dimana apabila tidak terawasi dengan baik, kemungkinan dapat menimbulkan tidak amannya pangan, kerusakan dan resiko kerugian ekonomi (Winarno, 2002).
Batas-batas kritis pada CCP ditetapkan berdasarkan referensi, standard teknis, dan observasi unit produksi. Batas kritis ini merupakan toleransi yang menjamin bahwa bahaya dapat dikontrol. Kriteria yang kerap digunakan mencakup pengukuran suhu, waktu, tingkat kelembapan, pH, aw dan klorin yang ada, dan parameter yang
Batas kritis fisik biasanya dikaitkan dengan toleransi untuk bahaya fisik atau benda asing yang dapat mengendalikan bahaya mikrobiologis. Beberapa contoh batas kritis fisik adalah adanya logam, ukuran retensi ayakan, suhu, waktu, serta unsur-unsur uji organoleptik.
Batas kritis kimia dihubungkan dengan bahaya kimia atau pengendalian bahaya mikrobiologis melalui formulasi produk dan faktor intrinsik. Contoh batas kritis kimia seperti kadar maksimum yang diterima untuk mikotoksin, pH, aw dan lain-lain.
Batas mikrobiologis biasanya tidak digunakan karena membutuhkan waktu yang relatif lama untuk memonitor tingkat kontaminasi produk oleh pathogen, biaya mahal, pengukuran fisik dan kimia dapat digunakan sebagai indikator pengukuran atau pengendalian mikrobiologis.
Pada proses produksi sosis sapi kemasan vacuum, ditetapkan dua (2) titik kritis atau CCP yang merupakan kunci dalam menurunkan atau mengeliminasi bahaya-bahaya yang sudah diidentifikasi. 2 titik kritis (CCP) pada proses pembuatan sosis di PT CIP Denpasar yaitu pada tahap penerimaan bahan baku sebagai CCP 1, dan pada saat proses curing sebagai CCP 2.
a. CCP Pada Tahap Penerimaan Bahan Baku
Titik kritis pertama yaitu penerimaan bahan baku berupa daging sapi beku. Batas kritis fisik yang dikendalikan pada CCP ini yaitu suhu. Persyaratan suhu daging beku yang diterima yaitu -18oC. Mikroba pathogen yang mungkin terdapat pada daging sapi diantaranya Clostridium Perfringens, Salmonella sp., dan Escherichia coli. Bila PT CIP menerima daging sapi seperti diatas maka daging sapi ini akan membawa dampak buruk bagi proses berikutnya dan produk akhir. PT CIP melakukan pemeriksaan secara kuantitatif dan kualitatif. Pengujian kuantitatif dan organoleptik daging dengan mengambil sampel bahan baku daging segar secara acak untuk dilakukan uji mikroorganisme, fisika dan kimia di laboratorium secara berkala setiap tiga (3) bulan sekali bagi merk daging yang pernah diterima. Dari hasil ini diharapkan nilai Clostridium Perfringens dan Salmonella sp. Adalah negatif. Pengujian kuantitatif dan organoleptik daging merk baru dilakukan dengan mengambil 5 karton sampel untuk dianalisis. Dokumen-dokumen yang diprasyaratkan dalam SOP juga diperiksa kelengkapannya. Apabila pada saat pemeriksaan ditemukan adanya penyimpangan kualitas dan atau tidak dipenuhinya persyaratan yang ditentukan maka daging ditolak dan bisa dikembalikan setelah adanya pemberitahuan ke bagian PPIC.
Pengawasan terhadap penerimaan daging sapi di PT CIP Denpasar berpedoman pada SOP inspeksi
penerimaan daging import, SOP penerimaan daging lokal dan SOP uji organoleptik daging.
Beberapa mikroba patogen yang biasa mencemari daging adalah E. coli, Salmonella, dan Staphylococcus
sp. Kandungan mikroba pada daging sapi dapat berasal dari peternakan dan rumah potong hewan yang tidak
higienis (Mukartini et al. 1995). Oleh karena itu, sanitasi atau kebersihan lingkungan peternakan maupun rumah
potong hewan perlu mendapat perhatian. Proses pengolahan daging yang cukup lama juga memungkinkan
terjadinya cemaran mikroba pada produk olahannya. Produk olahan daging seperti kornet dan sosis harus
memenuhi syarat mutu yang sudah ditetapkan. Berdasarkan SNI 01- 3820-1995, cemaran Salmonella pada sosis
daging harus negatif, Clostridium perfringens negatif, dan S. aureus maksimal 102 koloni/g.
b. CCP Pada Tahap Curing
Proses curing atau penggaraman pada pembuatan sosis ditetapkan sebagai CCP 2. Berdasarkan pedoman SNI dan CODEX yang digunakan di PT CIP Denpasar batas maksimum penambahan nitrit yang masih bisa ditoleransi yaitu tidak lebih dari 500 ppm. Nitrit bersifat toksik bila dikonsumsi dalam jumlah berlebihan. Dosis nitrit yang lebih dari 15-20 mg/kg berat badan bisa menyebabkan kematian. Kelebihan nitrit juga menyebabkan daging menjadi berwarna hijau dan disebut “terbakar nitrit”, sebaliknya kekurangan nitrit dalam curing dapat menyebabkan warna pucat pada daging.
Natrium nitrit berwarna putih atau kuning dan kelarutannya tinggi dalam air. Bahan ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada daging dan ikan dalam waktu yang singkat. Sering digunakan pada daging yang telah dilayukan untuk mempertahankan warna merah agar tampak selalu segar. (Anonimus, 2006).
Natrium nitrit menghambat produksi toksin Clostridium Botulinum dengan menghambat pertumbuhan dan perkembangan spora dan atau dengan cara membentuk senyawa penghambat nitrit bila nitrat pada daging dipanaskan. Keracunan makanan yang disebabkan oleh toksin Clostridium Botulinum disebut Botulisme. Natrium
nitrit juga menghambat pertumbuhan Clostridium Perfringens dan Staphylococcus aereus pada daging proses. Kalibrasi alat ukur (timbangan) secara berkala merupakan tindakan antisipasi perusahaan dalam ketepatan jumlah penggunaan nitrit. PT CIP melakukan pencegahan dengan cara melakukan kalibrasi alat ukur (timbangan) minimal 1 tahun sekali, dan mengambil sampel secara acak untuk dilakukan uji nitrit dan kadar garam secara berkala.Pengawasan jumlah natrium nitrit yang digunakan, dilakukan berdasarkan pada SOP inspek proses produksi sosis sapi vacuum tentang kesesuaian penggunaan natrium nitrit dan STPP dengan standar pickel.
4.3.3 Standard Operating Procedures (SOP) 4.3.3.1 Inspeksi penerimaan daging prosot import
Dalam penerimaan daging frosot import, QA bertugas untuk memeriksa kualitas daging frosot import beku untuk menentukan kelayakannya sebagai bahan baku produksi. Inspeksi yang dilakukan meliputi:
Sarana transportasi : Dikirim dengan menggunakan kendaraan pengangkut khusus (truck box atau
container) yang dilengkapi mesin pendingin.
Daging prosot import yang diterima harus berasal dari negara-negara yang direkomendasi oleh direktorat
jendral peternakan (departemen pertanian).
Setiap kedatangan daging dilaporkan kepada dinas peternakan tingkat II Denpasar untuk dilakukan
pemeriksaan dan diberikan surat keterangan pemeriksaan ulang daging. Inspeksi saat penerimaan antara lain:
a. Daging dalam keadaan beku.
b. Umur daging frosot import tidak boleh lebih dari 12 bulan.
c. Daging di bungkus dalam bungkus (plastik) primer dan dikemas dalam karton (sekunder). d. Kemasan harus asli, utuh dan bersih.
e. Tulisan pada karton harus jelas terbaca.
f. Setiap kode produksi diambil sample minimal 1 karton untuk dilakukan pemeriksaan bobot netto dan uji organoleptik.
4.3.3.2 Inspeksi penerimaan daging lokal
Dalam penerimaan daging lokal, QA bertugas untuk memeriksa kualitas daging lokal (daging kelas I dan daging prosot) untuk menentukan kelayakannya sebagai bahan baku produksi. Inspeksi yang dilakukan meliputi: Daging harus berasal dari rumah potong hewan pemerintah atau swasta yang telah mendapat ijin
dari pemerintah.
Proses pemotongan harus dilakukan secara halal dan dibuktikan dengan sertifikat halal dari lembaga
yang berwenang dan dilaksanakan di bawah pengawasan bertugas yang berwenang. Daging sapi dikirim dengan menggunakan kendaraan pengangkut khusus.
Kriteria penentuan penerimaan:
b. Bila pada saat penerimaan ditemui adanya bau busuk, perubahan warna yang bersifat meluas (biru), maka daging dinyatakan afkir dan disampaikan kepada bagian PPIC untuk dikembalikan kepada supplier. Setiap afkir daging harus dibuatkan berita acara.
c. Setiap kedatangan daging baru, diambil 5 karton untuk analisis kuantitatif dan uji organoleptik. d. Pemeriksaan dilakukan secara periodik untuk merk daging yang pernah diterima minimal 3 bulan sekali.
4.3.3.3 Inspeksi penerimaan bumbu dan bahan pembantu
Dalam penerimaan bumbu dan bahan pembantu, QA bertugas untuk memeriksa kualitas bumbu dan bahan pembantu yang diterima. Inspeksi yang dilakukan meliputi:
Kualitas pengemasan à Keutuhan dan kebersihan pengemasan
Kebersihan bahan à Adanya benda asing, serangga dan kotoran Label pada kemasan àHarus jelas terbaca
Pemeriksaan terhadap label dan surat keterangan bahan, harus jelas menyatakan: Nama atau jenis bahan yang dikemas
Merk dagang Nama produsen Berat bersih Kode Produksi Nomor registrasi
Terhadap bahan yang untuk pertama kalinya dipesan, harus di lengkapi dengan sertifikat analisis yang menyatakan:
Tingkat kemurnian bahan Kandungan logam berat Status mikrobial
Sertifikat atau surat keterangan halal
Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada saat: Produk tersebut untuk pertama kali akan digunakan Secara berkala untuk melihat konsistensi mutu bahan
Adanya kecurigaan terhadap konsistensi mutu bahan sehingga bahan tersebut di tahan
4.3.3.4 Uji Organoleptik Daging
Uji organoleptik daging dilakukan sebelum daging sapi digunakan untuk produksi sosis sapi. Adapun parameter yang diamati diantaranya penampilan visual (warna daging, adanya kotoran dan warna lemak), tekstur dan bau.
4.3.3.5 Inspeksi proses produksi sosis
Dalam inspeksi proses produksi sosis, QA bertugas untuk melakukan pengawasan secara seksama terhadap proses produksi sosis. Pengawasan yang dilakukan meliputi:
Persiapan peralatan Persiapan bahan baku Pembuatan pasta sosis Vacuuming