BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan somatoform adalah kelompok penyakit yang luas dengan tanda
serta gejala yang melibatkan tubuh sebagai komponen utama. Gejala dialami tanpa adanya penjelasan medis yang bermakna baik dengan pemeriksaan fisik
maupun laboratorium serta dialami berulang-ulang disertai dengan permintaan medis dan pasien menyangkal dan menolak untuk mengaitkan gejala somatik yang dialami dengan konflik dalam kehidupannya. Cukup serius untuk
menyebabkan keterbatasan atau hendaya dalam fungsi sosial dan pekerjaan serta perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan dikarenakan distres atau
penderitaan psikososial yang ditimbulkannya.1,2,3 Gangguan ini mencakup interaksi antara tubuh dan pikiran (body-mind) dan secara garis besar disebut sebagai gangguan somatoform.Interaksi tersebut dengan cara tertentu yang belum
dapat dijelaskan secara gamblang mekanismenya, akan tetapi diyakini bahwa otak mengirimkan berbagai sinyal yang berpengaruh terhadap kesadaran pasien dan
menunjukkan adanya masalah serius di dalam tubuh. Perubahan kecil neurokimia, neurofisiologi, dan neuroimunologi dapat terjadi sebagai akibat dari interaksi antara tubuh dan pikiran tersebut.4 Gangguan somatisasi merupakan salah satu
jenis gangguan somatoform yang berbeda dari yang lainnya karena banyaknya keluhan dan banyaknya sistem organ yang terlibat.
hanya mengenai perempuan saja. Pada abad ke-17, Thomas Sydenham mengenali bahwa faktor psikologis yang ia sebut sebagai antecedent sorrows (duka-cita
turunan), terlibat dalam patogenesis gejala. Pada tahun 1859, Paul Briquet, seorang dokter asal Perancis melakukan pengamatan yang tajam terkait banyaknya gejala dan sistem organ yang terlibat, serta perjalanannya yang
biasanya kronis, sehingga gangguan ini dinamakan sebagai sindrom Briquet. Selang beberapa waktu, DSM edisi ketiga (DSM-III) memperkenalkan sindrom
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Gangguan somatisasi adalah gangguan somatoform yang bersifat kronis
yang dimulai sebelum usia 30 tahun dan dapat berlanjut hingga tahunan, ditandai dengan banyaknya keluhan berupa gejala somatik dan melibatkan banyak sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara medis serta adanya
perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan.1,2,4 Gangguan ini cukup banyak ditemui dan disertai penderitaan psikologis yang signifikan.
Seseorang dengan gangguan somatisasi sering menyangkal gejala psikis (biasanya depresi atau ansietas) atau diakui namun tidak diceritakan secara lengkap, sedangkan gejala fisik dilebih-lebihkan.4,5 Gejala-gejala fisik tersebut
bukanlah merupakan waham, akan tetapi juga tidak sengaja dibuat-buat.6
B. EPIDEMIOLOGI
Menurut hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia, persentase
kecenderungan gangguan somatisasi cukup besar. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiawan dkk. terhadap karyawan perusahaan media cetak, didapatkan bahwa kejadian gangguan somatisasi sebesar 56,89%.
Berdasarkan Halgin & Whitbourne, DSM-IV-TR mendapatkan bahwa gejala-gejala spesifik pada gangguan ini beragam antarbudaya.7 Orang-orang dengan
latar belakang budaya Timur lebih cenderung mengekspresikan rasa sakit psikologis dan tekanan yang dialami melalui keluhan tubuh atau dalam bentuk penyakit daripada menggunakan istilah psikologis.8,9 Prevalensi
pada perempuan dan 0,2% pada laki-laki. Jumlah perempuan yang mengalami gangguan somatisasi 5-20 kali lebih banyak daripada laki-laki, akan tetapi
perkiraan tertinggi dapat disebabkan adanya tendensi dini tidak mendiagnosis gangguan somatisasi pada laki-laki. Kendatipun demikian, gangguan ini lazim ditemukan dengan rasio perbandingan antara perempuan dengan
laki-laki adalah 5:1. Dari persentase pasien yang datang ke tempat praktek dokter umum dan dokter keluarga, 5-10% memenuhi kriteria diagnosis gangguan
somatisasi.2 Awitan gangguan ini yaitu sebelum usia 30 tahun dan biasanya dimulai pada saat usia remaja.1,2
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian yang ada, gangguan somatisasi sering kali bersama-sama dengan gangguan jiwa lainnya. Sekitar
dua pertiga dari pasien yang mengalami gangguan somatisasi memiliki gejala gangguan jiwa yang dapat diidentifikasi, dan sekitar separuhnya memiliki gangguan jiwa lainnya. Jenis gangguan yang sering menyertai seperti yang
ditandai dengan ciri penghindaran, paranoid, mengalahkan diri sendiri, dan obsesif kompulsif, sedangkan yang jarang seperti gangguan bipolar I dan
penyalahgunaan zat.2
C. ETIOPATOGENESIS
Secara umum, beberapa sumber merumuskan penyebab gangguan somatisasi menjadi dua kelompok yaitu faktor psikososial dan faktor biologis dan genetik. Akan tetapi penyebab pastinya belum diketahui.2
1. Faktor Psikososial
Faktor psikososial menggunakan interpretasi gejala sebagai komunikasi sosial untuk menghindari kewajiban (mengerjakan atau pergi
emosi (contohnya marah kepada pasangan atau orang terdekatnya), atau menyimbolkan perasaan atau keyakinannya (contoh, nyeri di ususnya).
Interpretasi psikoanalitik yang ketat mengenai gejala mengacu pada hipotesis bahwa gejala adalah pengganti impuls sesuai insting yang ditekan.1,4
Perspektif perilaku atau aspek pembelajaran (learning behavior)
pada gangguan somatisasi menekankan bahwa ajaran atau contoh yang diperlihatkan orangtua, lingkungan sosial, kultural, adat istiadat dan etnik berperan dalam perkembangan gejala somatisasi dengan mengajari
anak-anak untuk lebih mengekspresikan somatisasi dari anak-anak lainnya. Sebagai contoh, sejumlah pasien dengan gangguan somatisasi memiliki latar
belakang keluarga yang tidak stabil dan mengalami penyiksaan fisik.1,2,4
2. Faktor Biologis dan Genetik
Beberapa studi penelitian mengemukakan bahwa pasien memiliki perhatian yang khas dan hendaya atau disabilitas kognitif yang
menghasilkan persepsi dan penilaian input somato-sensorik yang salah. Gangguan yang dilaporkan yaitu distraktibilitas yang berlebihan,
ketidakmampuan untuk membiasakan diri terhadap stimulus yang berulang, pengelompokan konstruksi kognitif atas dasar impresionistik, asosiasi parsial dan sirkum-stansial, dan tidak adanya selektivitas.
Beberapa penelitian yang terbatas pada pencitraan otak melaporkan bahwa penurunan metabolism pada lobus frontalis dan hemisfer
nondominan.2,4
Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada
pada kembar monozigot dan 10% pada kembar dizigot. Pada sisi lainnya, satu bidang baru yaitu riset neuroilmiah dasar mempermasalahkan bahwa
sitokin (cytokines) mungkin relevan dengan gangguan somatisasi. Sitokin sebagai molekul pembawa pesan (messenger molecules) digunakan sistem pertahanan tubuh untuk berkomunikasi dalam dirinya sendiri dan
dengan sistem saraf termasuk otak. Beberapa percobaan awal menyatakan bahwa sitokin dapat menyebabkan gejala nonspesifik dari
suatu penyakit seperti infeksi, yaitu hipersomnia, anoreksia, kelelahan, dan depresi. Kendatipun data belum mendukung hipotesis, regulasi abnormal sistem sitokin mungkin dapat menyebabkan beberapa gejala
gangguan somatoform seperti gangguan somatisasi.2,4
D. GEJALA KLINIS
Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik
dan riwayat medis yang panjang dan rumit. Gejala-gejala umum yang sering dikeluhkan yaitu mual dan muntah (bukan karena kehamilan), sulit menelan, nyeri pada lengan dan tungkai, napas pendek (bukan karena aktivitas fisik),
amnesia, komplikasi kehamilan dan menstruasi. Pasien seringkali merasa bahwa ia telah sakit pada sebagian besar hidupnya.1,2,4
Gejala pseudoneurologis seringkali dianggap gangguan neurologis namun tidak patognomonik. Menurut DSM-IV-TR, gejala pseudoneurologis
meliputi gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan local, sulit menelan atau merasa ada gumpalan di tenggorokan, afonia, retensi
Gejala yang menonjol pada pasien dengan gangguan somatisasi adalah penderitaan psikologis dan masalah interpersonal dengan ansietas dan depresi
yang paling sering muncul. Ancaman bunuh diri dilakukan namun jarang benar-benar bunuh diri, kecuali ada penyalahgunaan zat. Riwayat medis pasien berbelit-belit, samar-samar, tidak jelas, tidak konsisten dan kacau.
Biasanya pasien mengungkapkan keluhannya secara dramatis, emosional dan berlebihan, dengan bahasa yang gamblang dan bervariasi mereka dapat
bingung dengan urutan waktu dan tidak dapat membedakan dengan jelas gejala saat ini dan gejala yang lalu. Pasien perempuan dapat berpakaian dengan cara yang ekshibisionistik. Pasien dengan gangguan ini biasanya
tampak tidak mandiri atau mengalami disabilitas yang parah, terpusat pada dirinya sendiri, sangat ingin dipuji dan diberi penghargaan, serta
manipulatif.2,3,4
Gangguan somatisasi seringkali disertai oleh gangguan jiwa lainnya,
termasuk gangguan depresif berat, gangguan kepribadian, gangguan berhubungan zat, gangguan kecemasan umum, dan fobia. Kombinasi dari
gangguan-gangguan tersebut ditambah gejala kronis menyebabkan bertambahnya kejadian masalah perkawinan, pekerjaan dan sosial.2 Dari anamnesis, didapatkan adanya penyesuaian masa kanak-kanak yang buruk,
masalah sekolah, masa remaja yang terganggu, masalah menstruasi dan dismenore akibat menarke, aktivitas seksual sejak dini disertai masalah
seksual, perselisihan antarpribadi, hubungan yang tidak stabil, beberapa kali menikah, dan inkonsisten atau lalai terhadap anak-anak.3
1. Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah
berlangsung setidaknya 2 tahun
2. Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya 3. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang
berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.10
E. DIAGNOSIS BANDING
Pada diagnosis banding, untuk menentukan gangguan somatisasi maka hal pertama yang harus disingkirkan adalah kondisi medis nonpsikiatrik yang
dapat menjelaskan gejala yang dialami pasien.2,4 Seringkali ada beberapa gangguan medis yang tampak dengan kelainan nonspesifik dan bersifat sementara pada kelompok usia yang sama, seperti sklerosis multipel (MS),
miastenia gravis, systemic lupus erythematosus (SLE), acquired immune deficiency syndrome (AIDS), porfiria akut intermiten, hiperparatiroidisme,
hipertiroidisme, dan infeksi sitemik kronis.Pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun dengan awitan gejala somatik multipel harus dianggap disebabkan oleh kondisi medis nonpsikiatrik hingga pemeriksaan medis yang
luas telah dilakukan.2,4
Terdapat banyak gangguan jiwa yang dapat dijadikan diagnosis banding
yang dipersulit dengan pengamatan bahwa sedikitnya 50% pasien dengan gangguan somatisasi juga mengalami gangguan jiwa yang lain secara
gangguan ansietas menyeluruh, dan skizofrenia, semuanya dapat memiliki keluhan awal yang terpusat pada keluhan somatik. Kendatipun demikian,
semua gangguan tersebut, gejala depresi, ansietas, atau psikosis lainnya pada akhirnya mendominasi gejala somatik dan tidak terganggu oleh gejala somatiknya.2,4
Pada gangguan somatoform lainnya, hipokondriasis memiliki
keyakinan yang salah bahwa mereka memiliki penyakit tertentu, sedangkan gangguan somatisasi mengkhawatirkan banyak gejala, kalau gejala gangguan konversi terbatas pada satu atau dua sistem neurologis, sedangkan gejala
gangguan somatisasi beragam, dan gangguan somatisasi nyeri hanya terbatas pada satu atau dua keluhan gejala nyeri.2,4
F. PENATALAKSANAAN
Gangguan somatisasi paling baik diterapi ketika telah diketahui siapa yang menjadi dokter utamanya, sehingga yang terlibat dalam terapi pasien tersebut hanya dokter utamanya. Jika lebih dari satu dokter terlibat dalam
terapi, maka pasien akan memiliki kesempatan yang lebih untuk mengekspresikan keluhan somatiknya. Dokter utama harus melihat pasien
selama kunjungan yang terjadwal teratur, biasanya dengan interval satu bulan. Kunjungan ini harus dilakukan dengan waktu yang singkat namun pemeriksaan fisik yang parsial harus dilakukan sebagai respon dokter
terhadap keluhan somatik pasien yang baru. Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik tambahan harus dihindari karena kemungkinan tindakan dapat
pasien sebagai ekspresi emosi, bukan sebagai keluhan medis. Kendatipun demikian, keluhan medis tidak bisa diabaikan begitu saja karena bukan tidak
mungkin jika pasien gangguan somatik juga memiliki penyakit fisik yang sesungguhnya, oleh sebab itu dokter harus memperhatikan gejala mana yang harus diperiksa dan sampai seberapa jauh. Strategi jangka panjang perlu
dilakukan oleh dokter yang merawat untuk menghindarkan atau mengikat pasien agar tidak melakukan “Belanja Dokter (doctor shopping)” sehingga
dapat meningkatkan kesadaran pasien akan kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala sampai pasien mau menemui klinisi kesehatan jiwa dan menjauhkan pasien dari keluhan somatisasi, meskipun tidak
semuanya dapat dihilangkan. Pada kasus yang rumit dengan banyak keluhan medis, psikiater lebih mampu menilai apakah harus mencari konsultasi medis
atau operasi berdasarkan pengetahuan medisnya. Kendatipun demikian, seorang professional kesehatan jiwa nonmedis juga dapat psikologis sebelum gangguan tersebut, terutama jika erat berkonsultasi dengan dokter.2,3,4
Psikotrapi baik individual maupun kelompok akan menurunkan biaya
perawatan kesehatan pribadi pasien hingga 50% dengan menurunkan angka perawatan di rumah sakit. Psikoterapi membantu pasien mengatasi gejala-gejalanya, mengekspresikan emosi yang mendasari dan mengembangkan
strategi alternatif untuk mengungkapkan perasaannya. Terapi perilaku-kognitif spesifik dapat membantu dengan menghubungkan kembali
gejala-gejala fisik.1,3,4
Terapi psikofarmakologi dianjurkan apabila terdapat gangguan lain
pasien dengan gangguan somatisasi meiliki kecenderungan menggunakan obat yang berganti-ganti dan tidak rasional.1
G. PROGNOSIS
Prognosis biasanya buruk karena perjalanan penyakit yang kronis dan ketidakmampuan atau disabilitas yang menetap seumur hidup. Gejala-gejala
pada dewasa dini cenderung lebih semu atau samar-samar akan tetapi sering fluktuatif. Tetapi remisi spontan sangat jarang terjadi, tidak mungkin pasien
dapat bertahan selama lebih dari dua tahun tanpa perhatian medis. Seringkali terdapat hubungan antara periode peningkatan stres atau stres baru dan eksaserbasi gejala somatik.2,3
DAFTAR PUSTAKA
1. Hadisukanto, Gitayanti. Gangguan Somatoform. Dalam : AAAA
2. Kaplan, Harold I. dkk. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Dalam : I Made Wiguna S. Jilid 2. Tangerang :
Binarupa Aksara Publisher. 2010.hal.84-90
3. Puri, Basant K. dkk. Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. Jakarta : EGC.
2011.hal.227-229
4. Sadock, Benjamin J. Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock Buku Ajar
Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2010.hal.268-270
5. Davey, Patrick. At Glance Medicine. Jakarta : Erlangga. 2005.hal. 418
6. Maramis, Willy F. Maramis, Albert A. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya : Pusat Penerbitan dan Percetakan (AUP) Kampus C Unair. 2009.hal.315
7. Pratiwi, Isnidiniyah dkk. Self Efficacy Sebagai Mediator Pengaruh Stres Kerja dan Tipe Kepribadian terhadap Somatisasi pada Anggota Polisi Satuan
Lalulintas POLDA Metro Jaya. Tazkiya Journal of Psychology. Vol.19 No. 1.hal.33-61. 2014
8. Kaviani, Hossein. Emotional Expressivity and Somatization Symptoms inn Clinically Depressed Patients. Maryam Kompany Tabrizi. Luton : Department of Psychology University of Bedfordshire. 2016
9. Lemche, Erwin. dkk. Somatization Severity Associated with Postero-Medial
Complex Structures. Scientific Reports. London : Section of Cognitive Neuropsychiatry Institute of Psychiatry King’s College Medical School. 2013.p.1-5
10. Rusdi, Maslim. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari