KEMANA LAGU ADEK?!
Oleh : Farikha Rachmawati (135120200111068)
Seperti senandung yang tak lagi terdengar, lagu anak kini hanya semilir saja. Kehadiran lagu sejatinya sangat penting bagi perkembangan anak. Melalui lagu, seorang anak mampu menambah kosa kata, mengembangkan kemampuan kognitif, memacu imajinasi, hingga menghadirkan suasana riang gembira. Menjadi sebuah kecaman besar saat lagu-lagu barat yang dianggap modern akhirnya menggerus lagu-lagu anak khas Indonesia yang sarat dengan budaya. Hal ini dikarenakan bangsa adidaya masih saja mendominasi media massa sesuai apa yang telah diramalkan dalam Teori imperealisme budaya oleh Schiller sejak tahun 1960 silam.
Kehadiran lagu seharusnya mampu menjadi wadah penyaluran budaya seperti nilai dan norma sosial untuk anak. Kini dengan pesatnya perkembangan teknologi seorang anak mampu mempelajari norma-norma sosial melalui apa yang dilihatnya, misalnya televisi, sesuai yang tertuang dalam Teori pembelajaran sosial. Berdasarkan survei yang diadakan oleh UNICEF tahun 2007 diketahui bahwa rata-rata anak Indonesia menonton TV selama 4-5 jam sehari. Semakin tinggi intensitas menonton jelas semakin terpengaruhlah sang penonton. Jika benar adanya, Lantas apa yang terjadi jika anak-anak melalui televisi hanya menonton atau mendengar konten lagu dewasa?
Konten lagu anak kini tidak lagi cocok untuk dinikmati. Terbesit ingatan lirik sederhana penuh makna seperti “Bangun tidur ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi....” seakan tergantikan dengan lirik dewasa “Bangun tidur, tidur lagi. Bangun lagi, tidur lagi” yang dilantunkan Alm. Mbah Surip. Coboy junior sebagai pemenang AMI awards kategori lagu anak
menaburkan bumbu cinta dalam lirik lagunya. Bumbu percintaan inilah yang akhirnya merubah pola pikir anak-anak zaman sekarang. Program TV idola cilik pun banyak menyuguhkan lagu dewasa. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi mengingat kapasitas normal suara anak-anak hanya 1 oktaf lebih 2 nada, sedangkan lagu dewasa lebih dari 2 oktaf. Bila terus dilangsungkan, mereka dapat terjangkit penyakit kaku suara (bromer) yang membuat vokal anak terganggu. Kita benar-benar diradang rindu untuk kembali ke zaman kejayaan Trio kwek-kwek, Sherina, Joshua, Tina toon, Tasya dan artis cilik lainnya.
Lagi-lagi permasalah utama dalam hal ini tidak jauh dari faktor “ekonomi”. Musik telah terkomodifikasi dan dikuasai oleh kaum kapitalisme sebagai industri yang hanya berkembang mengikuti target pasar. Ketika industri musik memandang lagu anak bukan sebagai komoditas yang menguntungkan, maka ruang untuk lagu anak itu sendiri otomatis tertutup. Seperti kejadian yang menimpa Didin Eok, pemilik Studio Great Record, Surabaya yang bangkrut saat perusahaannya menggarap lagu anak-anak. Begitu pula dengan studio rekaman Sony Wonder yang khusus memproduseri lagu anak-anak kini bangkrut karena tidak dapat ruang promosi. Muncullah “phobia” yang menjangkit pemilik industri musik.
Industri musik menganggap lagu sebagai bagian dari industri, bukan lagi sebagai gerakan budaya. Kita
membutuhkan agen untuk
mensinergikan antara musisi, sineas, penulis dan seniman lain di Indonesia yang peduli anak-anak, untuk memberikan warisan budaya yang lebih baik melalui lagu anak-anak. Semacam angan-angan saja mengaharapkan nyanyian anak-anak kita terus terdengar