• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI PROVOKASI TOPIKAL PADA FIXED DRUG ERUPTION AKIBAT KOTRIMOKSAZOL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "UJI PROVOKASI TOPIKAL PADA FIXED DRUG ERUPTION AKIBAT KOTRIMOKSAZOL"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Fixed Drug Eruption (FDE)merupakan salah satu jenis reaksi efek simpang obat pada kulit yang sering muncul. Uji provokasi topikal adalah metode yang aman untuk menetapkan obat penyebab dengan risiko aktivasi kembali reaksi obat sangat rendah.

Seorang laki-laki berusia 20 tahun datang dengan bercak keunguan multipel pada tubuh sekitar 10 jam setelah mengkonsumsi tablet kotrimoksazol 160/800 mg. Terdapat riwayat timbul bercak yang sama sekitar 5 tahun yang lalu pada lokasi yang sama pula. Lesi berupa makula keunguan multipel, berdiameter 2-5 cm, pada dada, punggung dan ekstremitas. Pasien didiagnosis FDE dengan kotrimoksazol sebagai obat yang dicurigai. Dilakukan uji tempel obat dan hasilnya negatif. Lalu dilakukan repeated open application test (ROAT) dengan kotrimoksazol konsentrasi 10% dan 20% dan hasilnya negatif.

Kotrimoksazol merupakan obat penyebab FDE yang paling sering. Uji tempel kotrimoksazol seringkali memberi hasil negatif. Bahan yang memperkuat penetrasi dapat menyebabkan hasil positif pada uji tempel. Hasil negatif pada uji temple obat ini tidak menyingkirkan kotrimoksazol sebagai obat yang dicurigai. Negatif palsu dapat disebabkan karena hapten yang merupakan metabolit obat tidak terbentuk pada kulit, atau bahan pembawa atau konsentrasi yang tidak tepat.(MDVI 2014; 41/4:152 - 157)

Kata kunci: Fixed drug eruption; kotrimoksazol; ROAT

ABSTRACT

Fixed Drug Eruption (FDE) is a common type of cutaneous adverse drug reaction. Topical provocation test is a safe method for establishing the offending agent and the risk of reactivation of drug reaction is very low.

A 20-year-old male complaining of having multiple violaceous macule on the body since 10 hours after he took cotrimoxazole 160/800 mg. He had the same disease before + 5 years ago on same location. Presented with multiple violaceous macules, 2-5 cm in diametres on trunk, back and extremities. He was diagnosed as FDE suspect cotrimoxazole. The drug patch test (DPT) was performed and showed negative result. Then repeated open application test (ROAT) was also performed with cotrimoxazole in vaseline album at concentrations of 10% and 20% which showed negative result.

Cotrimoxazole has been implicated as the most frequent cause in FDE. For cotrimoxazole, DPT are often negative.Other penetration enhancher may be necessary to have positive patch test. A negative result of topical provocation test does not exclude cotrimoxazole as suspected drug. False negative maybe caused by factor that the responsible hapten is a drug metabolite which is not formed in the skin, wrong vehicles or low concentration.(MDVI 2014; 41/4:152 - 157)

Keywords: Fixed drug eruption; cotrimoxazole; drug patch test, ROAT

UJI PROVOKASI TOPIKAL PADA

FIXED DRUG ERUPTION

AKIBAT KOTRIMOKSAZOL

Bagus Haryo Kusumaputra, M. Yulianto Listiawan

Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Airlangga/RSUD dr. Soetomo Surabaya

Korespondensi :

Jl . Mayjen Prof. Dr. Moestopo 6-8 Surabaya 60285

Telp : (031) 5501609 Fax : (031) 5501709

Email: bagushkputra@yahoo.com

(2)

spesialis kulit. Bila dibandingkan dengan erupsi obat lainnya, FDE menempati urutan kedua atau ketiga tertinggi tingkat insidensinya.2

Uji provokasi oral merupakan metode yang paling dapat diandalkan untuk menetapkan obat penyebab, tetapi uji tersebut memiliki beberapa risiko, misalnya reaksi anafilaksis, reaktivasi lesi sebelumnya dan pembentukan lesi baru.3 Uji

provokasi topikal merupakan metode yang lebih aman dengan risiko reaktivasi erupsi obat sangat rendah.4

Walaupun beberapa erupsi kulit yang disebabkan obat tidak terlalu berat, tetapi sebagian berbahaya dan berpotensi mengancam jiwa. Identifikasi obat penyebab penting dalam manajemen FDE.2 Identifikasi dan dokumentasi mengenai

erupsi obat dalam rekam medis pasien sangat penting agar menghindari pajanan ulang. Pada laporan kasus ini, pasien dengan FDE karena kotrimoksazol dilakukan uji tempel obat dan repeated open application test untuk pembuktian obat penyebab.

tubuh aksila 36,90C, dan pernapasan 20 kali/menit. Tidak terdapat tanda anemia, sianosis, ikterus dan dispneu. Tidak terdapat abnormalitas pada pemeriksaan jantung, paru-paru, abdomen dan genitalia.

Pada regio torakalis anterior dan posterior, lengan kanan dan kedua tungkai terdapat makula keunguan multipel, diameter 2-5 cm, batas jelas, tidak terdapat erosi, pus dan krusta. Pada pergelangan tangan kiri terdapat bula dengan dasar keunguan. Pemeriksaan darah rutin memperlihatkan: hemogolobin 15,9 g/dL, leukosit 5,49 x 103/µL, dan trombosit 230 x 103/µL. Pada pemeriksaan urin rutin semua dalam batas normal.

(3)

154

Gambar 1. Sebelum terapi (atas) dan 1 minggu sesudah terapi

(bawah)

Uji tempel obat dilakukan 2 bulan setelah lesi sembuh. Rangkaian obat ditempel pada punggung di atas kulit normal, sedangkan obat yang diduga (kotrimoksazol) ditempel di atas lesi kulit residual.

Hasil dibaca pada hari ke-2, 3 dan 4 setelah uji tempel. Didapatkan hasil negatif baik pada kulit normal maupun lesi kulit residual. Lalu dilakukan repeated open application test (ROAT) pada kulit normal di bawah fosa kubiti dan pada lesi kulit residual sehari 2 kali selama 2 minggu. Alergen obat yang digunakan adalah kotrimoksazol dalam vaselin album pada konsentrasi 10% dan 20%, dan didapatkan hasil negatif.

PEMBAHASAN

Fixed drug eruption (FDE) merupakan jenis erupsi obat yang sering muncul. Secara umum, antimikroba, analgesik, antipiretik, dan hipnoktik merupakan obat penyebab yang paling sering. Lebih dari 100 obat diketahui sebagai penyebab FDE.6 Reaksi tersebut biasanya disebabkan oleh

sulfonamid, tetrasiklin, metronidazol, dapson, ampisilin,

asetamenofen, aspirin, pseudoefedrin, antikonvulsan dan kontrasepsi oral.7 Sulfonamid merupakan pencetus yang

paling sering muncul pada anak.7 Pasien dengan FDE dapat

datang dengan keluhan rasa terbakar atau menyengat, dan beberapa dengan demam, malaise dan gejala abdominal.6

Lesi akut biasanya muncul 30 menit sampai 8-16 jam setelah minum obat.6 Lesi dapat muncul dimana saja pada tubuh,

tetapi cenderung muncul pada wajah, bibir, bokong, genital, tangan, atau tubuh bagian atas.7,8 Pajanan ulang atau ingesti

ulang terhadap obat yang sama, menyebabkan lesi kulit muncul pada lokasi yang sama dalam waktu 1 hari dan lesi baru lainnya dapat muncul.7,8 FDE dapat muncul pada semua

usia, tetapi sebagian besar kasus pada usia 20-40 tahun.9

Lesi FDE berupa makula merah terang atau gelap keunguan, berbatas jelas, berbentuk bulat atau oval yang dapat berkembang menjadi plak edematosa dengan atau tanpa bula.6,10 Pada beberapa pasien 6 lesi atau kurang dapat

muncul, seringkali hanya 1 lesi. FDE sembuh spontan tanpa jaringan parut beberapa minggu setelah awitan awal, dan biasanya terbentuk lesi residual berupa pigmentasi pasca inflamasi.1 Lesi awal muncul pada pasien yang tersensitisasi

Tabel 1.Alergen uji tempel

No. Alergen obat Konsentrasi Pembawa

(4)

Gambar 3. Repeated open application test pada kulit normal. Kiri: hari ke-0; kanan: hari ke-14 oleh obat tertentu. Pasien yang menggunakan obat

penyebab secara intermiten muncul lesi lebih cepat dibandingkan pasien yang menggunakan obat secara terus menerus. Waktu yang dibutuhkan untuk sensitisasi sangat bervariasi, antara beberapa minggu sampai beberapa tahun.11 Fixed drug eruption (FDE) merupakan r eaksi hipersensitivitas tipe IVc dengan sel T sitotoksik yang berperan pada sebagian besar patogenesisnya. Shiohara dkk. menunjukkan bahwa sel T CD8+ dengan potensi sitotoksik berada di antara keratinosit basal pada lesi hingga waktu yang lama setelah resolusi klinis.12 Sel T memori +CD8+autoagresif yang tertahan diintraepidermal pada lesi kulit FDE dianggap berperan dalam mekanisme jejas epidermal.5 Sel T CD8+ tersebut setelah distimulasi oleh

ICAM-1 dapat segera melepaskan sejumlah sitokin IFN-, sehingga menghasilkan reaksi inflamasi pada lokasi.5,12 Sel

T CD4+ berperan pada fase resolusi. Muncul peralihan migrasi intraepidermal dari sel T C4+ ke lesi FDE aktif, lalu sel T CD4+ regulator ini melepaskan sejumlah besar IL-10, menginduksi resolusi dari reaksi inflamasi.5

Diagnosis FDE dibuat berdasarkan karakteristik morfologi lesi didukung dengan riwayat penggunaan obat. Aktivasi ulang atau rekurensi pada lokasi yang sama dari lesi sebelumnya dapat diketahui melalui anamnesis,9,11 atau

dapat dilakukan uji provokasi sebagai konfirmasi.8

Pen dekatan per tama dan pen tin g dalam penatalaksanaan adalah identifikasi dan eliminasi obat yang dicurigai.9 Menghindari dan menghentikan obat penyebab

merupakan terapi utama dalam FDE.7 Pada kasus yang berat,

terapi kortikosteroid sistemik jangka pendek dapat diberikan untuk pertolongan cepat. Keluhan gatal dapat diberikan antihistamin oral.2,3

Gambar 2. Uji tempel obat pada kulit normal dan lesi kulit residual. Kiri: hari ke-0; tengah: hari ke-3 kulit normal; kanan: hari ke-3 lesi

(5)

156

Kotrimoksazol telah menjadi penyebab terbanyak pada FDE hampir selama 20 tahun terakhir.2 Satu penelitian pada

tahun 2000 menunjukkan bahwa kotrimoksazol menjadi penyebab terbanyak pada FDE, yaitu sekitar 75% kasus.10

Satu pen elitian di New Delh i juga men un jukkan kotrimoksazol menjadi obat penyebab utama pada FDE.13

Sulfametoksazol telah dikemukakan sebagai suatu prohapten, yang tidak reaktif secara kimia tetapi memperoleh imun ogen isitas melalui metabolisme in traseluler. Metabolisme sitokr om P450 dapat men yebabkan pembentukan sulfametoksazol-hidr oksilamin, yang kemudian menjadi sulfametoksazol-nitroso setelah oksidasi, suatu senyawa reaktif yang dapat terikat secara kovalen pada protein dan peptida.14

Uji provokasi oral dengan obat terduga dapat berguna untuk menetapkan diagnosis.6 Uji tersebut juga memiliki

beberapa kerugian, misalnya munculnya lesi baru, dan pada beberapa kasus dapat terjadi reaksi ber at den gan keterlibatan pada kulit dan mukosa yang luas, pembentukan bula serta muncul keterlibatan sistemik.4 Oleh karena itu uji

tersebut harus dilakukan dengan keadaan pasien rawat inap.3

Uji provokasi topikal telah dilaporkan berguna dan aman untuk mendiagnosis FDE.5 Pada FDE, bahan yang diuji

digunakan pada 2 tempat, yaitu pada lesi pigmentasi residual yang tidak aktif dan pada kulit normal, yang berlaku sebagai kontrol negatif.5,15 Uji tempel pada FDE masih belum

terstandardisasi, sehingga dapat menjadi masalah. Metode uji yang berbeda (oklusif atau terbuka), konsentrasi yang berbeda dan pembawa yang berbeda memberikan hasil yang

Gambar 4. Repeated open application test pada lesi kulit residual. Kiri: hari ke-0; kanan: hari ke-14

bervariasi pada semua pasien.5 Uji tempel pada lesi

sebelumnya menunjukkan hasil positif pada 43% pasien.6

Uji tempel dengan konsentrasi yang berbeda dapat mengaktifkan lesi pada lesi sebelumnya tetapi tidak pada kulit yang normal.8

Hasil semua uji provokasi topikal pada pasien ini adalah negatif. Andrade dkk. al juga menunjukkan hasil negatif pada uji tempel obat dari semua pasien FDE karena kotrimoksazol.4 Hasil negatif pada uji provokasi topikal tidak

menyingkirkan kotrimoksazol sebagai obat dugaan. Terdapat beberapa alasan untuk hasil negatif pada suatu uji tempel. Pertama, uji tempel harus dilakukan pada lokasi lesi sebelumnya karena uji tempel pada kulit normal seringkali memberikan hasil negatif. Sel T CD8+ intraepidermal berada pada lesi FDE sebelumnya. Hal tersebut berperan dalam pembentukan reaksi kembali pada uji tempel.11 Kedua, waktu

pelaksanaan uji tempel dapat mempengaruhi hasil. Disarankan untuk menunggu beberapa minggu setelah ruam hilang agar dapat melakukan uji tempel. Belum diketahui waktu yang pasti, tetapi direkomendasikan untuk melakukan uji tempel 6 minggu sampai 6 bulan setelah resolusi lesi.11,15

Interval waktu tersebut memungkinkan untuk terjadinya resolusi klinis, pembersihan obat terduga dan obat anti alergi dari sirkulasi.16 Ketiga, ketika obat diaplikasikan pada kulit,

mungkin pasien tidak tersensitisasi oleh obat tersebut tetapi oleh metabolit yang menyebabkan reaksi.11,16 Keempat, hasil

(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Svensson CK, Cowen EW, Gaspari AA. Cutaneous Drug Reactions. Pharmacol Rev. 2000; 53: 357-79.

2. Lee AY. Fixed Drug Eruptions. Incidence, recognition, and avoidance. Am J Clin Dermatol. 2000; 1: 277-85.

3. Akyazi H, Baltaci D, Mungan S and Kara IH. Naproxen-induced fixed drug eruption: A case report. Human and Experimental Toxicology. 2011; 30: 1872-4.

barier secara fisik seperti tape-stripping pada kulit sebelum aplikasi uji tempel dengan berbagai pembawa dapat meningkatkan kemungkinan hasil positif pada uji tempel.15

Özkaya-Bayazit dkk juga melaporkan bahwa open testing dengan menggun akan pembawa dimethylsulfoxide memperlihatkan hasil positif pada 25 dari 27 pasien.17

Uji tempel obat menjadi sarana yang baik dan aman dalam menentukan obat dugaan pada FDE, walaupun sensitivitas FDE khususnya karena kotrimoksazol tidak tinggi. Hasil negatif tidak menyingkirkan kotrimoksazol sebagai obat penyebab. Penggunaan tape-stripping atau dimethylsulfoxide sebagai penguat penetrasi dapat meningkatkan nilai positif. Sehingga hasil negatif uji provokasi topikal tidak memberikan kesimpulan yang pasti.

Elsevier Inc; 2011. h. 313-4

9. Sehgal VN and Srivastava G. Fixed drug eruption (FDE): changing scenario of incriminating drugs. International Journal of Dermatology. 2006; 45: 897-908.

10. Breathnach SM. Drug Reactions. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook's Textbook of Dermatology. E disi ke-8 . Un ited Kingdom: Blackwell Publishing; 2010. h. 75.28-9.

11. Shiohara T. Fixed drug eruption: pathogenesis and diagnostic tests. Curr Opi n. Allergy Clin Immunol. 2009; 9: 316-21. 12. Shiohara T, Mizukawa Y, and Teraki Y. Pathophysiology of

fixed drug eruption: the role of skin-resident T cells. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2002; 2: 317-23.

13. R. Dru g causin g fixed drug eru ptions: Confirmed by provocation test. Indian J Dermatol Venreol Leprol. 2003; 69:120-1.

14. Pichler WJ. Delayed Drug Hypersensitivity Reactions. Ann Intern Med. 2003; 139: 683-93.

15. Gonçalo M and Bruynzeel DP. Patch Testing in Adverse Drug Reactions. Dalam: Johansen JD, Frosch PJ, Lepoittevin J-P, penyunting. Contact Dermatitis. Edisi ke-5. Berlin: Springer; 2011. h. 475-87

16. Brockow K, Romano A, Blanca M, Ring J, Pichler W, and Demoly P. General considerations for skin test procedures in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy. 2002; 57: 45-51.

Gambar

Tabel 1.Alergen uji tempel
Gambar 2. Uji tempel obat pada kulit normal dan lesi kulit residual. Kiri: hari ke-0; tengah: hari ke-3 kulit normal; kanan: hari ke-3 lesikulit residual
Gambar 4. Repeated open application test pada lesi kulit residual. Kiri: hari ke-0; kanan: hari ke-14

Referensi

Dokumen terkait

yang berjudul “ Uji Efektivitas Ekstrak Biji Jintan Hitam (Nigella sativa) Topikal Sebagai Anti Dry Eye Syndrome (DES) Pada Kelinci Jantan Lokal Peranakan

Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian analgesik topikal EMLA efektif untuk mengurangi respon nyeri pada pasien yang

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak akar tuba dengan konsentrasi 1%, 2% dan 3% tidak menimbulkan toksisitas pada kulit kucing lokal.. Kata kunci: Ekstrak akar tuba

Beberapa penelitian sebelumnya, yang dilakukan terhadap pasien preeklampsia berat dibandingkan dengan kehamilan normal, didapatkan kadar NO lebih rendah pada pasien

Uji efek kombinasi antara kafein topikal menggunakan metode iontoforesis dengan termosauna terhadap penurunan berat badan pada pasien penderita obesitas menggunakan

Distribusi jenis terapi emolien dan steroid topikal pasien baru dermatitis atopik Divisi Alergi Imunologi Unit Rawat Jalan (URJ) Kesehatan Kulit dan Kelamin

Hasil uji resistensi isolat bakteri pada beberapa konsentrasi merkuri memperlihatkan kemampuan resistensi yang berbeda, dua isolat termasuk bakteri resisten pada konsentrasi 150

Uji tempel adalah uji iritasi dan kepekaan kulit yang dilakukan dengan cara mengoleskan sediaan uji pada kulit normal panel manusia dengan maksud untuk mengetahui apakah