PENGARUH PERIODE LAKTASI TERHADAP
PRODUKSI SUSU PADA SAPI PERAH FRIES HOLLAND
DI KABUPATEN ENREKANG
SKRIPSI
YOSEPHINA SANGBARA I 111 05 053
PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK JURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
PENGARUH PERIODE LAKTASI TERHADAP
PRODUKSI SUSU PADA SAPI PERAH FRIES HOLLAND
DI KABUPATEN ENREKANG
OLEH
YOSEPHINA SANGBARA I 111 05 053
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK JURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertandatangan dibawah ini :
Nama : Yosephina Sangbara
NIM : I 111 05 053
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa ;
a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama dalam Bab
Hasil dan Pembahasan, tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan dan
dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyatan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan seperlunya.
Makassar, Agustus 2011
Ttd
Judul Penelitian : Pengaruh Periode Laktasi Terhadap Produksi Susu Sapi Perah
Fries Holland di Kabupaten Enrekang
Nama : Yosephina Sangbara
No. Pokok : I 111 05 053
Program Studi : Produksi Ternak
Jurusan : Produksi Ternak
Fakultas : Peternakan
Skripsi ini Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh:
Prof. Dr. Ir.H.Sjamsuddin Garantjang , M.Sc Pembimbing Utama
Dr. Muhammad yusuf, S.Pt Pembimbing anggota
Mengetahui :
Prof. Dr. Ir. H. Syamsuddin Hasan, M.Sc
Dekan Fakultas Peternakan Prof. Dr.Ir. Ketua Jurusan Produksi Ternak H. Sudirman Baco, M.Sc
ABSTRAK
YOSEPHINA SANGBARA ( I 111 05 053). Pengaruh Periode Laktasi Terhadap Produksi Susu Sapi Perah Fries Holland Di Kabupaten Enrekang (Di bawah bimbingan Sjamsuddin Garantjang Sebagai Pembimbing Utama dan Muhammad Yusuf Sebagai Pembimbing Anggota).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan jumlah produksi susu yang dihasilkan oleh sapi perah pada setiap periode laktasi. Penelitian ini menggunakan 30 ekor sapi perah Fries Holland dengan kisaran umur 3 – 7,5 tahun. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Juni 2011 di Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa periode laktasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi susu. Produksi susu tertinggi sapi perah Fries Holland yaitu pada periode laktasi ketiga dan keempat dengan rata-rata 11,83 liter/hari.
ABSTRACK
YOSEPHINA SANGBARA (I 111 05 053). The effect of lactation period on milk yield of Fries Holland Cows in Enrekang Regency (Sepervised of Sjamsuddin Garantjang and Muhammad Yusuf ).
This study aimed to determine and compare the milk yield produced by dairy cows in each lactation. The study was using 30 dairy Fries Holland cows with the age ranging from 3 to 7,5 years. The study was conducted in May – June 2011 in Subdistrict Cendana, Enrekang Regency, South Sulawesi Province. The data obtained were analized using analysis of variance according to Randomized Complete design (RAL). The results of this study indicated that lactation period had significant effect (P<0,05) on milk production. The highest milk Production of Fries Holland cows was in the third and fourth lactation periods with an average of 11,83 liters/day.
KATA PENGANTAR .
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis sebagai manusia biasa yang penuh
keterbatasan dapat menyelesaikan skripsi ini.
Selama penulisan skripsi ini banyak hambatan yang penulis hadapi, namun atas bantuan
dan bimbingan semua pihak semua itu bisa teratasi. Untuk itu penulis dengan segala hormat dan
kerendahan hati mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada
Bapak Prof. Dr. Ir. Sjamsuddin Garantjang, M.Sc selaku pembimbing utama dan Bapak Dr.
Muhammad Yusuf, S.Pt selaku pembimbing anggota yang penuh keikhlasan meluangkan waktu
dan pikirannya untuk memberikan bimbingan kepada penulis.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang
setulus-tulusnya penulis haturkan kepada:
1. Bapak Prof.Dr.Ir.H.Syamsuddin Hasan, M.Sc selaku Dekan Fakultas Peternakan, para
pembantu dekan yang telah memberikan segala bantuannya kepada penulis selama
menempuh pendidikan di Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.
2. Bapak Prof.Dr.Ir. Sudirman Baco, M.Sc selaku ketua jurusan Produksi Ternak yang
3. Bapak Prof.Dr.Ir.Herry Sonjaya, DEA.DES selaku penasehat akademik yang telah
memberikan saran dan dukungan serta bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan
di Fakultas Peternakan Unhas serta memberikan bantuan selama penelitian.
4. Bapak / Ibu dosen pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin atas
bimbingan dan arahan serta limpahan ilmunya yang tak ternilai.
5. Kedua Orang Tuaku yang tercinta Ayahanda Ishak Sangbara dan Ibunda Elis Duma
sembah sujud penulis haturkan setinggi-tingginya atas limpahan kasih sayang dan doa
restu yang telah diberikan kepada penulis dalam menjalani hidup ini dengan penuh
semangat (Ananda mencintai kalian berdua).
6. Saudara-saudaraku Yuliana Sambara, Joni Titim Sambara, Alfrida Sambara,
Christina desi Sangbara, Zeth Alfrianus Sangbara dan Ruth Deris Yanti Sangbara dan juga kepada teman dekatku Masdin yang selalu memberikan motivasi dan dorongan
sehingga skripsi ini selesai dibuat.
7. Teman-teman Lebah 05, dan rekan KKNPAP GEL IX Kecamatan Maiwa,
Kabupaten Enrekang khususnya teman seperjuangan di Desa Batu Mila Imel, Nia,
Fitra, Fandi, Acil dan Yusuf serta sahabat-sahabatku yang kucintai dan kubanggakan yang
selalu mendukung dan memberikan motivasi Nunu, Wahda, Ramu, Ayu, Anti, Ayyi, Ima,
dan juga teman penelitian Fuad, Akhsan dan Ewin serta anak Rumput 07 kalian adalah
guru terbaik dalam hidupku yang selalu mengajarkan arti persahabatan dan indahnya
kebersamaan dalam menghadapi dilema hidup yang penuh warna dan problematika.
Tak lupa penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak apabila
selama mengikuti perkuliahan dari awal sampai akhir terdapat kesalahan-kesalahan yang
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena
itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan
ini. Semoga segala usaha dan kegiatan belajar selama ini yang kita jalani mendapat berkah
dan ridho-Nya. Amin...
Makassar, Agustus 2011
Yosephina Sangbara
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... ii
A. Deskripsi Sapi Perah Fries Holland (FH)... 4
B. Proses Terbentuknya Air Susu Sapi Perah... 5
di Kabupaten Enrekang... 19
Pengaruh Periode Laktasi Terhadap produksi Susu... 21
KESIMPULAN DAN SARAN... 26
Kesimpulan ... 26
Saran ... 26
DAFTAR PUSTAKA... 27
LAMPIRAN ... 28
DAFTAR TABEL
No. Halaman
Teks
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
Teks
1. Hasil Perhitungan Ragam Rata-rata Produksi Air Susu pada
Berbagai Periode Laktasi... 31
2. Hasil Uji Beda Nyata (BNT) Produksi Air Susu pada berbagai
Periode Laktasi... 34
PENDAHULUAN
Sapi perah adalah salah satu hewan ternak penghasil susu. Tingginya produksi susu yang
dihasilkan mampu menyuplai sebagian besar kebutuhan susu di dunia dibanding jenis hewan
ternak penghasil susu yang lain seperti kambing, domba dan kerbau, maka dari itu sapi perah
mempunyai kontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan susu yang terus meningkat dari
tahun ketahun (Riyuhar, 2009).
Susu yang dihasilkan oleh sapi perah merupakan salah satu sumber protein dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Selain manajemen dan tatalaksana pemeliharaan, agar produksi
susu dapat meningkat yang perlu mendapat perhatian adalah periode laktasi pada sapi perah.
Pada permulaan laktasi, bobot badan akan mengalami penurunan, karena sebagian zat-zat
makanan yang dibutuhkan untuk pembentukan susu diambil dari tubuh sapi. Pada saat itu juga
sapi laktasi mengalami kesulitan untuk memenuhi zat-zat makanan yang dibutuhkan sebab nafsu
makanannya rendah. Oleh karena itu pemberian ransum terutama konsentrat harus segera
ditingkatkan begitu nafsu makannya membaik kembali (Siregar, 1993).
Produksi susu induk sapi perah periode laktasi sangatlah bervariasi. Hal ini disebabkan
oleh perubahan keadaan lingkungan yang umumnya bersifat temporer seperti perubahan
manajemen terutama pakan, iklim dan kesehatan sapi perah. Kondisi iklim di lokasi induk sapi
perah dipelihara sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan produksi susu. Suhu lingkungan
yang ideal bagi ternak sapi perah adalah 15,5ºC karena pada kondisi suhu tersebut pencapaian
produksi susu dapat optimal. Suhu kritis untuk ternak sapi perah Fries Holland adalah 27ºC
(Hadisutanto,2008). Ternak sapi perah Fries Holland yang berasal dari Eropa akan berproduksi
lingkungan 24,4ºC dan tingkat kelembaban relatif yang tinggi ternyata ternak sapi perah
mengalami penurunan produksi (Hadisutanto, 2008).
Dari sejak melahirkan, produksi susu akan meningkat dengan cepat sampai mencapai
puncak produksi pada 35-50 hari setelah melahirkan. Setelah mencapai puncak produksi,
produksi susu harian akan mengalami penurunan. Lama diperah atau lama laktasi yang paling
ideal adalah 305 hari atau sekitar 10 bulan. Sapi perah yang laktasinya lebih singkat atau lebih
panjang dari 10 bulan akan berakibat terhadap produksi susu yang menurun pada laktasi yang
berikutnya (Siregar, 1993).
Produksi susu sapi perah perlaktasi akan meningkat terus sampai dengan periode laktasi
yang ke-4 atau pada umur 6 tahun, apabila sapi perah itu pada umur 2 tahun sudah melahirkan
(laktasi pertama) dan setelah itu terjadi penurunan produksi susu. Selama laktasi, kesehatan dan
kebersihan sapi perah harus selalu dijaga dengan baik. Pencegahan terhadap berbagai penyakit
terutama mastitis harus benar-benar mendapat perhatian khusus. Diduga 70% dari sapi perah
yang dipelihara di Indonesia menderita penyakit mastitis yang dapat menurunkan produksi susu
sekitar 15-20% (Siregar, 1993).
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan jumlah
produksi susu yang dihasilkan oleh sapi perah pada setiap periode laktasi.
Kegunaan diadakannya penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Sapi Perah Fries Holland
Bangsa sapi Fries Holland (FH) berasal dari Belanda, ciri-ciri dari sapi Fries Holland
adalah berwarna hitam putih, mempunyai tanda segitiga pada dahi, kaki bagian bawah dan ekor
berwarna putih dan tanduk pendek menjurus ke depan. Sedangkan ciri-ciri dari sapi peranakan
Fries Holland adalah sama dengan Fries Holland, tetapi ukuran tubuhnya lebih kecil (Anonim,
2011).
Ciri-ciri sapi Fries Holland dan peranakan Fries Holland adalah sebagai berikut ; Ciri-ciri
sapi Fries Holland adalah sebagai berikut : Warna belang hitam dan putih, pada kaki bagian
bawah dan ekornya berwarna putih, tanduk pendek menghadap ke depan, kebanyakan pada dahi
terdapat belang warna putih yang berbentuk segitiga, mempunyai sifat yang jinak, sehingga
mudah dikuasai, tidak tahan panas, lambat dewasanya, berat badan sapi jantan ± 850 kg,
sedangkan betina ± 625 kg, produksi susu 4500-5500 liter/laktasi, dan tubuhnya tegap. Ciri-ciri
sapi peranakan Fries Holland antara lain ; menyerupai Fries Holland, tetapi ukuran tubuhnya
lebih kecil, dan produksi susunya lebih rendah dibandingkan dengan Fries Holland (Mulyana,
2006).
Hadisutanto (2008) menyatakan bahwa sapi Perah Fries Holland telah diternakkan lebih
dari 2000 tahun yang lalu dan berasal dari North Holland dan West Friesland. Menurut
sejarahnya bahwa bangsa sapi Fries Holland berasal dari Boss Taurus yang mendiami daerah
beriklim sedang di dataran Eropa. Sebagian besar sapi tersebut memiliki warna bulu hitam
kaki) berwarna putih atau hitam dari atas terus ke bawah dan di Belanda sendiri ada Fries
Holland yang mempunyai warna coklat/merah dengan bercak-bercak putih.
Pada umumnya sapi perah Fries Holland jinak dan merupakan sapi tipe besar dengan
bobot tubuh betina dewasa berkisar antara 540-680 kg dan yang jantan dapat mencapai 800 kg
(Pane, 1986). Soedono dan Sutardi (1969) mengemukakan bahwa dari persilangan sapi perah
Fries Holland dengan sapi lokal yang ada di Indonesia menurunkan sapi peranakan Fries
Holland. Dalam perkembangannya di Indonesia, sapi perah Fries Holland telah mampu
beradaptasi dengan kondisi lingkungan.
B. Proses Terbentuknya Air Susu Sapi Perah
Ambing adalah suatu kelenjar kulit yang tertutup oleh bulu, kecuali pada putingnya.
Ambing tampak sebagi kantung yang berbentuk persegi empat. Ambing terbagi menjadi dua
bagian kiri dan kanan terpisahkan oleh satu lekukan yang memanjang, disebut intermammary
groove. Kuarter belakang mertupakan bagian yang besar dan menghasilkan susu 60% dari total
produksi. Sering dijumpai adanya puting tambaan (extra teat) di luar empat puting yang normal dari masing-masing kuarter. Puting tambahan biasanya berada dibelakang puting belakang atau
kadang-kadang diantara puting depan dan belakang (Prihadi, 1997).
Ambing seekor sapi betina terbagi menjadi empat kuartir yang terpisah. Dua kuartir
bagian depan biasanya berukuran 20% lebih kecil dari kuartir bagian belakang dan kuartir-kuartir
itu bebas satu sama lain. Sapi perah yang produksi susunya tinggi memiliki sistem mamae yang
besar, ambing melekat mantap, putingnya terletak pada keempat sudut bujur sangkar uniform/
seragam, pembuluh venanya menonjol karena jumlah darah yang dibutuhkan untuk produksi
Ukuran dan bentuk kelenjar susu berbeda-beda dan sangat dipengaruhi oleh kemampuan
produksi, umur ternak, dan faktor genetik yang diturunkan oleh induknya. Mamalia atau hewan
menyusui dikenal karena terdapatnya kelenjar mamae pada yang betina maupun jantan. Hanya
saja yang jantan tidak berkembang. Kelenjar mamae adalah modifikasi kelenjar kulit yang
dilengkapi dengan puting susu dan menghasilkan susu untuk anaknya sampai usia tertentu. Pada
beberapa jenis hewan, kelenjar susu mengeluarkan kolostrum yang kaya akan bahan-bahan
antibodi yang melindungi pedet terhadap penyakit untuk beberapa minggu setelah lahir. Sewaktu
kelenjar air susu menjadi sangat mengembang bagian terbesar protein susu terdiri dari casein.
Kelenjar mamae berkembang sangat baik pada sapi perah, sedangkan pada ternak mamalia
lainnya jumlah air susu yang disekresikan sangat mempengaruhi efisiensi produksi daging
(Prihadi, 1997).
Ambing seekor sapi betina terbagi menjadi empat kuartir yang terpisah. Dua kuartir
bagian depan biasanya berukuran 20% lebih kecil dari kuartir bagian belakang dan kuartir-kuartir
itu bebas satu sama lain (Blakely and Blade, 1991).
Kuartir sebelah kanan dan sebelah kiri dipisahkan oleh membrane yang tebal yang
disebut tenunan penyakit septum media (median suspensori) yang menjulur ke atas bertautan
pada dinding perut, sehingga merupakan alat penggantung bagi ambing. Bagian ambing kanan
dan kiri masing-masing dipisahkan menjadi dua bagian oleh suatu membrane yang amat tipis
(Soetarno, 1999).
Di dalam tubuh sapi, air susu dibuat oleh kelenjar susu di dalam ambing. Ambing sapi
perah terbagi dua yaitu ambing kiri dan ambing kanan, selanjutnya masing-masing ambing
terbagi dua yaitu kuartir depan dan kuartir belakang. Tiap-tiap kuartir mempunyai satu puting
setandan buah anggur. Dinding gelembung merupakan sel-sel yang menghasilkan air susu.
Bahan pembentuk air susu berasal dari darah. Air susu mengalir melalui saluran-saluran halus
dari gelembung susu ke ruang kisterna dan ruang puting susu. Dalam keadaan normal, lubang
puting susu akan tertutup (Hidayat,dkk, 2002) .
Lubang puting susu menjadi terbuka akibat rangsangan syaraf atau tekanan sehingga air
susu dari ruang kisterna dapat mengalir keluar. Gerakan menyusui dari pedet, usapan satu
basuhan air hangat pada ambing merupakan rangsangan pada otak melalui jaringan syaraf.
Selanjutnya otak akan mengeluarkan hormon oksitosin ke dalam darah. Hormon oksitosin
menyebabkan otak-otak pada kelenjar susu bergerak dan lubang puting membuka sehingga air
susu mengalir ke luar (Hidayat, dkk, 2002).
C. Faktor--faktor yang Mempengaruhi Produksi Air Susu
Produksi air susu yang dihasilkan bangsa sapi perah Fries Holland tertinggi jika
dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya, baik di daerah beriklim sedang maupun
di daerah tropis. Telah diketahui bahwa air susu yang banyak menganduk lemak akan banyak
mengandung vitamin A dan D pervolume susu, karena vitamin-vitamin tersebut berhubungan
dengan kadar lemak susu. Bangsa sapi juga menentukan susunan kimia air susu yang dihasilkan
(Sudono, dkk, 2003).
Dalam rangka menangani sasaran peningkatan produksi susu dan tingkat konsumsi yang
terus meningkat, maka perlu ditinjau faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produksi dan
kualitas susu yang dihasilkan dalam suatu peternakan sapi perah dan faktor sapi perah itu sendiri
(Gillespic, 1992). Kemampuan produksi susu seekor sapi 30% dipengaruhi oleh sifat-sifat
keadaan sekitar yaitu makanan, tatalaksana, penyakit, iklim dan lain-lain (Sudono dan Sutardi,
1969)
Produksi dan komposisi air susu Sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya
jenis ternak (ras/spesies) dan keturunannya (hereditas); tingkat laktasi umur ternak; infeksi atau
peradangan pada ambing; nutrisi atau pakan ternak lingkungan dan prosedur pemerahan susu.
Keseluruhan faktor –faktor ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu faktor-faktor yang
ditimbulkan oleh lingkungan, genetik dan manajemen (Saleh, 2004).
1. Nutrisi dan Lingkungan
Faktor lingkungan adalah faktor yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap tingkat
produksi. Diantara sekian banyak komponen faktor lingkungan yang paling nyata pengaruhnya
terhadap sapi perah, terutama pada masa laktasi (produksi air susu) adalah suhu, yang selalu
berkaitan erat dengan kelembaban (Daisy, 2003).
Pengaruh lingkungan terhadap produksi susu dan komposisi air susu dapat
dikomplikasikan oleh faktor-faktor seperti nutrisi dan tahap laktasi, bila faktor-faktor seperti ini
dihilangkan maka memungkinkan untuk mengamati pengaruh musim dan suhu. Biasanya pada
musim hujan kandungan lemak susu akan meningkat sedangkan pada musim kemarau
kandungan lemak susu lebih rendah. Produksi air susu yang dihasilkan pada kedua musim
tersebut juga berbeda. Pada musim hujan produksi air susu dapat meningkat karena tersedianya
pakan yang lebih banyak dari musim kemarau. Suhu dan kelembaban dapat mempengaruhi
produksi air susu, dimana lingkungan dengan kelembaban yang tinggi dapat mempengaruhi
timbulnya infeksi bakteri dan jamur penyebab mastitis. Pada suhu lingkungan yang tinggi
terlihat jelas dapat menurunkan produksi air susu dimana ternak sapi menurunkan konsumsi
Penyediaan zat makanan yang tidak mencukupi akan membatasi sekresi air susu, sebab
mengingat sifat dari ternak sapi perah yang mampu mengorbankan berat badannya untuk
keperluan berproduksi. Berat badan yang hilang ini tentu saja akan menuntut penggantian dari
zat-zat makanan dalam ransum. Jadi sapi perah yang mendapatkan makanan yang sangat
terbatas akan mencukupi kebutuhan hidup pokoknya dengan mengorbankan zat makanan yang
diperlukan dalam laktasi (Saleh, 2004).
Jenis pakan dapat mempengaruhi komposisi air susu. Pakan yang terlalu banyak
konsentratnya akan menyebabkan kadar lemak susu rendah. Jenis pakan dari rumput-rumputan
akan menaikkan kandungan asam oleat sedangkan pakan berupa jagung atau gandum akan
menaikkan asam butiratnya. Pemberian pakan yang banyak pada seekor sapi yang kondisinya
jelek pada waktu sapi itu dikeringkan dapat menaikkan hasil produksi air susu sebesar 10 - 30%.
Pemberian air adalah penting untuk produksi air susu, karena air susu 87% terdiri dari air dan
50% dari tubuh sapi terdiri dari air. Jumlah air yang dibutuhkan tergantung dari produksi air
susu yang dihasilkan oleh seekor sapi, suhu sekeliling dan pakan yang diberikan. Perbandingan
antara air susu yang dihasilkan dan air yang dibutuhkan adalah 1 : 36. Air yang dibutuhkan
untuk tiap hari bagi seekor sapi berkisar 37 - 45 liter (Saleh, 2004).
2. Genetik
Faktor genetik merupakan faktor-faktor individu yang diturunkan oleh orang tua kepada
anaknya. Faktor genetik ini bersifat baka, tak berubah-ubah. Faktor ini sangat menentukan
jumlah atau besarnya produksi susu dan komposisi air susu setiap masa laktasi. Oleh sebab itu
kesanggupan untuk menghasilkan produksi air susu sangat tergantung pada keadaan genetik
Pada umumnya sapi yang berumur 5 - 6 tahun sudah mempunyai produksi air susu yang
tinggi tetapi hasil maksimum akan dicapai pada umur 8 - 10 tahun. Umur ternak erat kaitannya
dengan periode laktasi. Pada periode permulaan produksi air susu tinggi tetapi pada masa akhir
laktasi produksi air susu menurun. Selama periode laktasi kandungan protein susu secara umum
mengalami kenaikan, sedangkan kandungan lemaknya mula-mula menurun sampai bulan ketiga
laktasi kemudian naik lagi. Komposisi air susu berubah pada tiap tingkat laktasi dimana
perubahan yang terbesar terjadi pada saat permulaan dan terakhir periode laktasi (Saleh, 2004).
3. Tata Laksana Pemeliharaan
Manajemen yang baik dan sempurna merupakan kunci sukses bagi usaha peternakan sapi
perah. Dalam hal ini termasuk perlakuan yang diberikan seorang peternak terhadap rangsangan
masalah pemerahan, lamanya kering kandang, pencegahan terhadap penyakit, frekuensi
pemerahan, jarak perkawinan (service periode), dan jarak melahirkan (calving interval) (Saleh,
2004).
Perlakuan yang kasar dalam proses pemeliharaan akan menimbulkan rasa sakit dan rasa
takut yang dapat mengakibatkan sapi menjadi stress, sehingga menimbulkan hambatan dalam
proses pemerahan. Peristiwa semacam ini juga akan mengakibatkan sekresi atau pembentukan
air susu berikutnya terhambat, bahkan dapat kemerosotan produksi secara permanen bagi seluruh
masa laktasi (Saleh, 2004).
D. Masa kering
Masa kering adalah sapi perah betina yang umur kebuntingan telah mencapai 7 bulan.
Jika sapi tersebut sapi dara dan baru pertama kali melahirkan, belum dapat dikatakan sebagai
sapi kering karena belum memproduksi susu. Yang dikatakan masa kering adalah sapi perah
sampai sapi tersebut melahirkan. Pakan yang diberikan untuk masa kering pada sapi perah
hanya hijauan saja sampai sapi perah tersebut mencapai puncak produksinya. Ada beberapa cara
untuk melakukan masa kering pada sapi perah atau tidak diperah, yaitu dilakukan pada hari ke
309, dilakukan pemerahan secara berselang atau pemerahan tidak lengkap, atau penghentian
pemerahan tiba-tiba (Firman, 2010).
Memasuki bulan ketujuh kebuntingan, sapi tidak diperah lagi atau dikenal dengan istilah
kering kandang. Mengeringkan sapi laktasi pada waktu-waktu tertentu terutama yang bunting
tua merupakan suatu kebijakan yang harus dilaksanakan. Kegunaan dari masa kering ini adalah:
1). Memberi kesempatan kepada kelenjar alveoli untuk beristirahat agar ada persiapan untuk
masa produksi yang akan datang; 2). Memberikan kesempatan kepada induk untuk menimbun
makanan cadangan yang diberikan pada laktasi berikutnya; 3). Memberikan kesempatan kepada
organ-organ yang mengatur laktasi untuk mengadakan suatu penyegaran pada masa istirahat; dan
4). Induk dapat menghimpun tenaga untuk persiapan untuk kelahiran dan menghasilkan
kolostrum, yang bermutu untuk kebutuhan anaknya kelak.
Masa kering pada sapi perah pada kebuntingan 7 bulan, produksi susunya sudah sedikit
(lebih kurang 4 liter) tidak begitu sulit, yang menjadi masalah adalah apabila produksi susunya
masih diatas 4 liter. Menurut Nurdin (2011) ada beberapa cara untuk mengeringkan sapi tersebut
adalah, yaitu : 1). Pemerahan berselang, yaitu dengan memerah sapi tersebut 1 kali sehari
kemudian 1 kali dalam 2 hari, 1 kali dalam 3 hari dan selanjutnya tergantung kondisi produksi
susunya. Dengan adanya air susu yang tidak dikeluarkan atau tertinggal dalam ambing, akan
menekan alveoli sehingga tidak mensekresikan air susu lagi. Cara ini sebenarnya kurang baik
karena ambing masih akan mengeluarkan air susu, tetapi sangat baik dilakukan pada sapi yang
dengan melakukan pemerahan seperti biasa sampai air susu habis dalam 1 hari dan dilakukan
beberapa hari. Kemudian dilakukan pemerahan berselang sampai air susu tinggal sedikit lalu
pemerahan dihentikan. Cara ini sangat baik dilakukan pada sapi-sapi yang berproduksi tinggi.
Sebab jika penghentian pemerahan dilakukan pada tiba-tiba akan mengakibatkan rasa sakit pada
sapi tersebut dan ambing akan bengkak; 3). Penghentian pemerahan secara tiba-tiba. Selama 3
hari sebelum masa pengeringan, makanan penguat tidak diberikan dan rumput hanya diberikan
lebih kuran 2/3 dari biasanya. Susu yang tidak diperah akan terkumpul dalam ambing sehingga
sekresi alveoli ditekan dan susu tidak diproduksi lagi, sedangkan pengurangan makanan juga
akan mengurangi jumlah susu yang dihasilkan. Susu yang berada di dalam ambing akan di
absorbsi kembali oleh tubuh. Untuk mencegah mastitis, dianjurkan untuk mencuci bersih
ambing pada ambing pada akhir pemerahan. Makanan dapat ditingkatkan kembali setelah
produksi susu berhenti (Nurdin, 2011).
Panjang pendeknya masa kering kandang akan sangat mempengaruhi produksi dalam satu
masa laktasi. Kering kandang atau masa istirahat yang terlalu singkat menyebabkan produksi air
susu pada masa laktasi berikutnya menjadi rendah. Masa istirahat yang normal berlangsung
sekitar 1,5 - 2 bulan. Produksi air susu pada laktasi kedua dan berikutnya dipengaruhi oleh
lamanya masa kering kandang yang sebelumnya. Setiap individu sapi betina, produksi air
susunya akan naik dengan bertambahnya masa kering kandang sampai 7-8 minggu. Meskipun
demikian, dengan masa kering kandang yang lebih lama lagi produksi tidak akan bertambah lagi
Selang beranak yang optimal adalah 12 dan 13 bulan. Jika selang beranak diperpendek
maka akan menurunkan produksi air susu sebesar 3,7-9% pada laktasi yang sedang berjalan atau
yang akan datang. Jika selang beranak diperpanjang sampai 450 hari maka akan meningkatkan
produksi air susu sebesar 3,5% pada laktasi yang sedang berjalan atau yang akan datang
(Sudono, 2003).
E. Periode Laktasi
Pada permulaan laktasi, bobot badan akan mengalami penurunan, karena sebagian dari
zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk pembentukan susu diambil dari tubuh sapi. Pada saat itu
juga sapi laktasi mengalami kesulitan untuk memenuhi zat-zat makanan yang dibutuhkan sebab
nafsu makannya rendah. Oleh karena itu pemberian ransum terutama konsentrat harus segera
ditingkatkan begitu nafsu makannya membaik kembali (Siregar, 1993).
Dari sejak melahirkan, produksi susu akan meningkat dengan cepat sampai mencapai
puncak produksi pada 35-50 hari setelah melahirkan. Setelah mencapai puncak produksi,
produksi susu harian akan mengalami penurunan rata-rata 2,5% perminggu. Lama diperah atau
lama laktasi yang paling ideal adalah 305 hari atau sekitar 10 bulan. Sapi perah yang laktasinya
lebih singkat atau lebih panjang dari 10 bulan akan berakibat terhadap produksi susu yang
menurun pada laktasi yang berikutnya (Siregar, 1993).
Produksi susu sapi perah perlaktasi akan meningkat terus sampai dengan periode laktasi
yang ke-4 atau pada umur 6 tahun, apabila sapi perah itu pada umur 2 tahun sudah melahirkan
(laktasi pertama) dan setelah itu terjadi penurunan produksi susu. Selama laktasi, kesehatan dan
terutama mastitis harus benar-benar mendapat perhatian khusus. Diduga 70% dari sapi perah
yang dipelihara di Indonesia menderita penyakit mastitis yang dapat menurunkan produksi susu
sekitar 15-20% (Siregar, 1993).
Menurut Tillman, dkk (1991), bahwa masa laktasi normal sapi yang tiap tahunnya
dikawinkan dan mengandung adalah selama sekitar 44 minggu atau 305 hari. Perkawinan yang
lebih lambat dalam periode laktasi akan memungkinkan periode laktasi lebih panjang. Selain itu
dikatakan bahwa umur sapi adalah suatu faktor yang mempengaruhi produksi air susu. Pada
umumnya, produksi pada laktasi pertama adalah terendah dan akan meningkat pada
periode-periode laktasi berikutnya. Namun faktor-faktor lain seperti makanan, kesehatan, frekuensi
pemerahan, dapat lebih berpengaruh terhadap produksi air susu dibandingkan faktor umur sapi.
Lama laktasi induk sapi perah umumnya bergantung pada keefisienan reproduksi ternak
sapi tersebut. Ternak sapi perah yang terlambat menjadi bunting menyebabkan calving interval
diperpanjang sehingga lama laktasi menjadi panjang karena induk sapi perah akan terus diperah
selama belum terjadi kebuntingan (Hadisutanto, 2008).
Produksi susu induk sapi perah periode laktasi sangatlah bervariasi. Hal ini disebabkan
oleh perubahan keadaan lingkungan yang umumnya bersifat temporer seperti perubahan
manajemen terutama pakan, iklim dan kesehatan sapi perah. Kondisi iklim di lokasi induk sapi
perah dipelihara sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan produksi susu. Suhu lingkungan
yang ideal bagi ternak sapi perah adalah 15,5ºC karena pada kondisi suhu tersebut pencapaian
produksi susu dapat optimal. Suhu kritis untuk ternak sapi perah Fries Holland adalah 27ºC
(Hadisutanto,2008). Ternak sapi perah Fries Holland yang berasal dari Eropa akan berproduksi
lingkungan 24,4ºC dan tingkat kelembaban relatif yang tinggi ternyata ternak sapi perah
mengalami penurunan produksi (Hadisutanto, 2008).
Berat dan kapasitas ambing mencapai puncak pada waktu sapi berumur 6 tahun.
Kenaikan kemampuan menampung cairan berbeda pada tiap-tiap laktasi pertama dan kedua
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Juni 2011 bertempat di Kecamatan Cendana
Kabupaten Enrekang.
Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 ekor induk sapi perah Fries Holland dengan kisaran umur 3 - 7,5 tahun, dibagi menjadi 5 perlakuan dengan masing masing 6 ekor yaitu perlakuan A : sapi pada periode laktasi pertama; perlakuan B : sapi pada periode
laktasi ke 2; perlakuan C : sapi pada periode laktasi ke 3; perlakuan D : sapi pada periode laktasi
ke 4; perlakuan E : sapi pada periode laktasi ke 5. Alat yang digunakan yaitu alat tulis menulis
dan kamera digital serta perangkat kuisioner.
Parameter yang Diukur
Parameter yang diukur yaitu jumlah produksi susu yang dihasilkan induk sapi perah pada
setiap periode laktasi mulai dari laktasi pertama hingga laktasi ke lima.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data yang meliputi data primer dan data
sekunder. Penentuan sampel dengan menggunakan metode acak sederhana (simple random
sampling). Data primer diperoleh melalui wawancara pada petani peternak sebagai responden
dengan perangkat kuisioner serta pengamatan langsung dan pencatatan, sampel diambil sebanyak
Analisis Data
Untuk mengetahui perbandingan jumlah produksi susu yang dihasilkan pada setiap
periode laktasi akan dilakukan dengan analisis ragam menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dan dilanjutkan dengan Uji Nyata Terkecil (BNT) dengan rumus sebagai berikut (Gasperz, 1991)
:Yij= µ+τi+εij
i = 1,2,3,4,,5
j= 1,2,3,2,5,6
Keterangan ;
Yij = hasil Pengamatan dari peubah perlakuan ke-i dengan ulangan ke-j
µ = nilai tengah umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Usaha Peternakan Sapi Perah FH di Kabupaten Enrekang
Jumlah populasi sapi perah FH (Fries Holland) di Kabupaten Enrekang dalam lima tahun
terakhir dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik Jumlah Populasi Sapi Perah FH di Kabupaten Enrekang
Dari Gambar 1 dapat terlihat bahwa populai sapi perah FH mengalami penurunan jumlah
pada tahun 2008, namun mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir yaitu pada tahun
2009 sebesar 1494 ekor dan pada tahun 2010 sebanyak 1508 ekor. Hal ini disebabkan karena
masyarakat telah mengetahui dan menerapkan manajemen pemeliharaan yang baik. Dimana
masyarakat telah memperhatikan masalah perkandangan maupun pakan yang diberikan kepada
perkandangan dengan cara tie stall yaitu sapi diikat dalam kandang dan diberikan pakan berupa
rumput dan konsentrat.
Sesuai dengan yang dikemukakan Saleh (2004) yang menyatakan bahwa manajemen
yang baik dan sempurna merupakan kunci sukses bagi usaha peternakan sapi perah. Dalam hal
ini termasuk perlakuan yang diberikan seorang peternak terhadap rangsangan masalah
pemerahan, lamanya kering kandang, pencegahan terhadap penyakit, frekuensi pemerahan, jarak
perkawinan (service periode), dan jarak melahirkan (calving interval).
Produksi air sapi perah FH di Kabupaten Enrekang dalam waktu lima tahun terakhir
rata-rata mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2006 sekitar 619,000 liter/tahun, tahun 2007
sekitar 1398,240 liter/tahun, namun sempat mengalami penurunan pada tahun 2008 sekitar
1215,360 liter/tahun, tahun 2009 sekitar 1314,720 liter/tahun, dan pada tahun 2010 sebesar 3652
liter/tahun.
Produksi air susu sapi perah mengalami penurunan pada tahun 2008, hal ini disebabkan
karena populasi ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang juga mengalami penurunan sehingga
berpengaruh terhadap produksi susu. Selain itu, mungkin juga disebabkan karena adanya
pengafkiran pada ternak yang sudah tua ataupun karena tatalaksana pemeliharaan dan kebutuhan
zat-zat makanan belum maksimal pada peternakan Rakyat di Kabupaten Enrekang. Hal ini
sesuai dengan pendapat Firman (2010) bahwa rata-rata pengafkiran ternak sapi Perah dilakukan
setelah laktasi ke 5 sampai ke 7 namun, ada juga yang melakukan pengafkiran sapi perah
sebelum laktasi ke 5 yang disebabkan oleh keadaan tertentu seperti kecelakaan pada sapi perah,
penyakit, ataupun terjadi kemandulan atau infertil.
Air susu dari hasil pemerahan ternak sapi perah dapat digunakan masyarakat sebagai
lain. Masyarakat khususnya di Kabupaten Enrekang mengolah hasil produksi susu ternak
mereka menjadi dangke. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2011) yang menyatakan
bahwa susu dapat diolah menjadi berbagai produk seperti mentega, yoghurt, es krim, keju, susu
kental manis, susu bubuk, dangke dan lain-lain untuk konsumsi manusia.
Pengaruh Periode Laktasi terhadap Produksi Susu
Rata-rata produksi air susu per hari pada sapi perah FH di Kecamatan Cendana
Kabupaten Enrekang dapat terlihat pada Gambar 2.
1 2 3 4 5
Gambar 2. Grafik Rata-rata Produksi Air Susu Sapi Perah FH di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang
Produksi air susu sapi perah FH di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang terlihat
mengalami peningkatan (Gambar 2). Dimana pada periode ke 2 hingga ke 4 mengalami
peningkatan namun, pada periode ke 5 sudah mulai mengalami penurunan. Hal ini mungkin
karena umur ternak sapi perah yang sudah mulai tua dan mungkin juga disebabkan karena
kurangnya pakan yang diberikan pada ternak . Hal ini sejalan dengan pendapat Siregar (1993)
bahwa produksi susu sapi perah perlaktasi akan meningkat terus sampai dengan laktasi yang ke-4
atau pada umur 6 tahun, apabila sapi perah itu pada umur 2 tahun sudah melahirkan (laktasi
Firman (2010), bahwa produksi susu pada sapi perah terbanyak dihasilkan pada periode laktasi
ketiga dan keempat dengan kisaran umur 5 – 6 tahun, dan sesudah itu produksi susunya akan
terus menurun dengan semakin tuanya umur sapi.
Selanjutnya Tillman, dkk (1991) menyatakan bahwa umur sapi adalah suatu faktor yang
mempengaruhi produksi air susu. Pada umumnya, produksi pada laktasi pertama adalah
terendah dan akan meningkat pada periode-periode laktasi berikutnya. Namun faktor-faktor lain
seperti makanan, kesehatan, frekuensi pemerahan, dapat lebih berpengaruh terhadap produksi air
susu dibandingkan faktor umur sapi.
Pada gambar 2. terlihat bahwa rata-rata produksi air susu sapi Perah Fries Holland dari setiap periode laktasi, mulai dari laktasi pertama sampai dengan periode laktasi kelima, yaitu
pada periode laktasi pertama 7,17 liter/hari, periode laktasi kedua 10,50 liter/hari, periode laktasi
ketiga dan keempat 11,83 liter/hari yang merupakan puncak produksi dan periode laktasi kelima
sekitar 8,83 liter/hari. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa periode laktasi pertama memiliki
kemampuan menghasilkan rataan produksi susu lebih rendah dari periode laktasi II, III, IV dan
V. Padahal pemberian pakan induk sapi perah di Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang
tidak membedakan periode laktasi artinya periode laktasi pertama, kedua, ketiga, keempat dan
kelima diberikan pakan dalam jumlah dan kualitas yang sama tetapi produksi susu yang
dihasilkan berbeda. Hal ini sejalan dengan penelitian Hadisutanto (2008) yang mengungkapkan
bahwa puncak laktasi dicapai pada periode laktasi ketiga, dimana periode laktasi I memiliki
kemampuan menghasilkan rataan produksi susu lebih rendah dari periode laktasi II dan III.
Adanya perbedaan produksi susu yang dihasilkan disebabkan karena tingkat kebutuhan dari
induk sapi perah yang pertama kali melahirkan (primipara) dan induk sapi perah yang
memberikan kontribusi dalam produksi susu. Primipara yang memiliki umur lebih muda dari
pluripara memiliki kemampuan menghasilkan produksi susu lebih rendah. Dalam satu periode
laktasi, induk sapi periode laktasi I hanya mampu menghasilkan susu (29,9 liter/hari) lebih
rendah dibanding periode laktasi II dan III masing-masing sebesar (39,7 liter/hari) dan (43,8
liter/hari) (Hadisutanto, 2008).
Berdasarkan analisis ragam pada Lampiran 1 terlihat bahwa periode laktasi berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap produksi air susu.
Berdasarkan Hasil Uji Nyata Terkecil (BNT) pada lampiran 2. terlihat bahwa produksi
susu sapi perah Fries Holland pada periode laktasi ketiga dan keempat berpengaruh nyata (P<0.05) dibanding dengan periode laktasi pertama, kedua dan kelima.
Pada penelitian ini, sapi berumur 5 - 6 tahun (periode laktasi ketiga dan keempat) yang
pada umumnya sudah mencapai kedewasaan berproduksi dan mampu memberikan hasil produksi
air susu yang tinggi. Dimana pada setiap periode laktasi, produksi air susu yang dihasilkan
mencapai hasil produksi susu yang maksimal pada bulan ke 3 setelah melahirkan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Firman (2010), bahwa produksi susu pada sapi perah terbanyak dihasilkan pada
periode laktasi ketiga dan keempat dengan kisaran umur 5 – 6 tahun, dan sesudah itu produksi
susunya akan terus menurun dengan semakin tuanya umur sapi.
Sapi perah Fries Holland yang ada di Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang mulai melahirkan pertama pada umur 2,5 sampai dengan 3 tahun. Hal ini sejalan dengan pendapat
Firman (2010) bahwa kelahiran pertama yang ideal adalah sapi yang berumur 2 – 3 tahun, karena
pada umur ini sapi telah mencapai dewasa kelamin dan bobot ternak diharapkan bisa mencapai
300 kg sehingga siap melakukan perkawinan dan jika peternak terlalu cepat mengawinkan sapi
memelihara kebuntingan, disamping itu produksi susu menjadi rendah dan kondisi pedet yang
dilahirkan juga akan menjadi lemah.
Turunnya produksi air susu pada sapi perah disebabkan karena umur dan aktifitas sel-sel
kelenjar ambing sudah berkurang. Hal ini sejalan dengan Ernawani (1991), bahwa tinggi
rendahnya produksi susu pada sapi perah dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu ukuran dan bobot
badan induk, umur, ukuran dan pertautan ambing, pertumbuhan, jumlah anak lahir per kelahiran
dan suhu lingkungan.
Berbagai penelitian telah mengungkapkan bahwa produksi susu rata-rata sapi perah Fries Holland di tingkat peternak adalah 10 liter/ekor/hari atau setara dengan 3.050 liter/laktasi (Priyanti,dkk, 2009; Hadiana, dkk, 2005 dan Rahayu, dkk, 2005). Jika dibandingkan dengan
tempat asalnya, produksi susu sapi Perah Fries Holland mampu mencapai 4.500 – 5.500 liter dalam satu kali masa laktasi (305) hari. Banyak faktor yang mempengaruhi produktivitas sapi
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Bahan Kuliah Ilmu Produksi Ternak Perah, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,Makassar.
. 2011. Susu. http://wikipedia.org . diakses pada tanggal 20 April 2011.
Blakely dan D.H Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Gajah Madah University Press. Yogjakarta.
Daisy,R. 2003. Stress Panas Pada Sapi Perah Laktasi. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ernawani. 1991. Pengaruh Tatalaksana Pemerahan Terhadap Kualitas Susu Sapi perah. Media Peternakan Vol. 15 : 38 – 46. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Firman, A. 2010. Agribisnis Sapi Perah.Widya Padjadjaran,Bandung.
Gillespic, R.J. 1992. Modern Livestock and Poultry Production. Delmar Publisher Inc, Canada.
Gasperz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan Untuk Ilmu Pertanian, Tekhnik, dan Biologi. Armico, Bandung.
Hadiana, Hasan, Achmad Firman dan Rochadi Tawaf. 2005. Analisis Biaya Produksi Susu Segar Pada Peternak Sapi Perah Anggota GKSI Jawa Barat. Kerjasama Dinas Koperasi Jawa dengan GKSI dan Fakultas Peternakan Unpad. Bandung.
Hadisutanto, B. 2008. Pengaruh Paritas Induk terhadap Performans Sapi Perah Fries Holland, Bandung.
Hafez,E.S.E. 2000. Reproductionin Farm Animal. 4 th Ed. Lea and Febiger. Philadelphia.
Hidayat, A.m E. Pepen, F.A.Ali., P.Yadi., T.Kimiaki., dan S.Teruo. 2002. Buku Petunjuk Prakltis untuk Peternak Sapi Perah tentang Manajemen Kesehatan Pemerahan. Dinas Peternakan Jawa Barat.
Jasper, D.E. 1980. Mastitis In Bovine Medicane and Surgery.Ed. H.E., Amstutz Amer. Vet.Publ. Inc., Santa Barbara, California, USA.
Mulyana. 2006. Pemeliharaan dan Kegunaan Teknik Sapi Perah Aneka Ilmu. Semarang.
Nurdin, Ellyza. 2011. Manajemen Sapi Perah. Graha Ilmu, Yogyakarta
Prihadi. S. 1997. Tata Laksana Dan produksi ternak Perah. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Priyanti, Atien, Sudi Nurtini, dan Achmad Firman. 2009. Analisis Ekonomi dan Aspek Sosial Usaha Sapi Perah. Dalam Buku Profil Usaha peternakan Sapi Perah di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
Rahayu, Sri, Wiyan Djaja, dkk. 2005. Pembentukan Unit Pelayanan Jasa Alsin Sapi Perah. Kerjasama Fakultas Peternakan UNPAD dengan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, Bandung.
Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi Produksi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Siregar, S.B. 1993. Sapi Perah, Jenis, Teknik Pemeliharan, dan Analisa Usaha. P.T Penebar Swadaya, Jakarta.
Sudono, A. dan T, Sutardi. 1969. Pedoman Beternak Sapi Perah. Direktorat Peternakan Rakyat. Dirjen Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Sudono, A., R.R. Fina, dan S.B. Susilo. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Penerbit Agromedia Pustaka, Jakarta.
Soetarno, T. 1999. Manajemen Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa: produksi air
susu pada sapi Perah Fries Holland di Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang tertinggi pada periode laktasi ketiga dan keempat yaitu dengan rata-rata 11,83 liter/hari dan yang terendah pada
periode laktasi pertama yaitu 7,17 liter/hari.
Saran
Untuk mendapatkan produksi susu yang tinggi, sebaiknya peternak memberikan pakan
Lampiran 1. Perhitungan Ragam Rata-rata Produksi Air Susu pada Berbagai Periode Laktasi
b. Menghitung FK, JKT, JKP dan JKG
= 18709 - 3020,03 6
= 98,14
JK Galat = JK Total - JK Perlakuan
= 308,97 - 98,14 = 210,83
c. Menentukan Kuadrat Tengah (KT) melalui pembagian setiap JK dengan derajat bebasnya yaitu :
Sumber Keragaman Db JK KT F Hitung F Tabel
5% 1%
Perlakuan
Galat
4
25
98,14
210,83
24,55
8,43
2,91* 2,76 4,18
Total 29 308,97
Lampiran 3. Dokumentasi
RIWAYAT HIDUP
Penulis pernah menyelesaikan Pendidikan Formal sebagai berikut :
a) SDN No 412, Pakatan Tahun 1999 b) SMP Negeri 01 Mangkutana Tahun 2002 c) SMA Negeri 01 Mangkutana Tahun 2005
YOSEPHINA SANGBARA Lahir di Palopo pada
tanggal 07 Juli 1987, dilahirkan dari pasangan suami
istri, Ayahanda tercinta Ishak Sangbara dan Ibunda
tersayang Elis Duma, sebagai anak ke enam dari
d) Diterima di Universitas Hasanuddin Makassar, Fakultas Peternakan Jurusan Produksi