• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PERIODE LAKTASI TERHADAP PRODUK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH PERIODE LAKTASI TERHADAP PRODUK"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PERIODE LAKTASI TERHADAP

PRODUKSI SUSU PADA SAPI PERAH FRIES HOLLAND

DI KABUPATEN ENREKANG

SKRIPSI

YOSEPHINA SANGBARA I 111 05 053

PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK JURUSAN PRODUKSI TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

(2)

PENGARUH PERIODE LAKTASI TERHADAP

PRODUKSI SUSU PADA SAPI PERAH FRIES HOLLAND

DI KABUPATEN ENREKANG

OLEH

YOSEPHINA SANGBARA I 111 05 053

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK JURUSAN PRODUKSI TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

(3)

PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Yosephina Sangbara

NIM : I 111 05 053

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa ;

a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli

b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama dalam Bab

Hasil dan Pembahasan, tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan dan

dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

2. Demikian pernyatan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Makassar, Agustus 2011

Ttd

(4)

Judul Penelitian : Pengaruh Periode Laktasi Terhadap Produksi Susu Sapi Perah

Fries Holland di Kabupaten Enrekang

Nama : Yosephina Sangbara

No. Pokok : I 111 05 053

Program Studi : Produksi Ternak

Jurusan : Produksi Ternak

Fakultas : Peternakan

Skripsi ini Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh:

Prof. Dr. Ir.H.Sjamsuddin Garantjang , M.Sc Pembimbing Utama

Dr. Muhammad yusuf, S.Pt Pembimbing anggota

Mengetahui :

Prof. Dr. Ir. H. Syamsuddin Hasan, M.Sc

Dekan Fakultas Peternakan Prof. Dr.Ir. Ketua Jurusan Produksi Ternak H. Sudirman Baco, M.Sc

(5)

ABSTRAK

YOSEPHINA SANGBARA ( I 111 05 053). Pengaruh Periode Laktasi Terhadap Produksi Susu Sapi Perah Fries Holland Di Kabupaten Enrekang (Di bawah bimbingan Sjamsuddin Garantjang Sebagai Pembimbing Utama dan Muhammad Yusuf Sebagai Pembimbing Anggota).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan jumlah produksi susu yang dihasilkan oleh sapi perah pada setiap periode laktasi. Penelitian ini menggunakan 30 ekor sapi perah Fries Holland dengan kisaran umur 3 – 7,5 tahun. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Juni 2011 di Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa periode laktasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi susu. Produksi susu tertinggi sapi perah Fries Holland yaitu pada periode laktasi ketiga dan keempat dengan rata-rata 11,83 liter/hari.

(6)

ABSTRACK

YOSEPHINA SANGBARA (I 111 05 053). The effect of lactation period on milk yield of Fries Holland Cows in Enrekang Regency (Sepervised of Sjamsuddin Garantjang and Muhammad Yusuf ).

This study aimed to determine and compare the milk yield produced by dairy cows in each lactation. The study was using 30 dairy Fries Holland cows with the age ranging from 3 to 7,5 years. The study was conducted in May – June 2011 in Subdistrict Cendana, Enrekang Regency, South Sulawesi Province. The data obtained were analized using analysis of variance according to Randomized Complete design (RAL). The results of this study indicated that lactation period had significant effect (P<0,05) on milk production. The highest milk Production of Fries Holland cows was in the third and fourth lactation periods with an average of 11,83 liters/day.

(7)

KATA PENGANTAR .

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis sebagai manusia biasa yang penuh

keterbatasan dapat menyelesaikan skripsi ini.

Selama penulisan skripsi ini banyak hambatan yang penulis hadapi, namun atas bantuan

dan bimbingan semua pihak semua itu bisa teratasi. Untuk itu penulis dengan segala hormat dan

kerendahan hati mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada

Bapak Prof. Dr. Ir. Sjamsuddin Garantjang, M.Sc selaku pembimbing utama dan Bapak Dr.

Muhammad Yusuf, S.Pt selaku pembimbing anggota yang penuh keikhlasan meluangkan waktu

dan pikirannya untuk memberikan bimbingan kepada penulis.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai

pihak secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang

setulus-tulusnya penulis haturkan kepada:

1. Bapak Prof.Dr.Ir.H.Syamsuddin Hasan, M.Sc selaku Dekan Fakultas Peternakan, para

pembantu dekan yang telah memberikan segala bantuannya kepada penulis selama

menempuh pendidikan di Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.

2. Bapak Prof.Dr.Ir. Sudirman Baco, M.Sc selaku ketua jurusan Produksi Ternak yang

(8)

3. Bapak Prof.Dr.Ir.Herry Sonjaya, DEA.DES selaku penasehat akademik yang telah

memberikan saran dan dukungan serta bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan

di Fakultas Peternakan Unhas serta memberikan bantuan selama penelitian.

4. Bapak / Ibu dosen pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin atas

bimbingan dan arahan serta limpahan ilmunya yang tak ternilai.

5. Kedua Orang Tuaku yang tercinta Ayahanda Ishak Sangbara dan Ibunda Elis Duma

sembah sujud penulis haturkan setinggi-tingginya atas limpahan kasih sayang dan doa

restu yang telah diberikan kepada penulis dalam menjalani hidup ini dengan penuh

semangat (Ananda mencintai kalian berdua).

6. Saudara-saudaraku Yuliana Sambara, Joni Titim Sambara, Alfrida Sambara,

Christina desi Sangbara, Zeth Alfrianus Sangbara dan Ruth Deris Yanti Sangbara dan juga kepada teman dekatku Masdin yang selalu memberikan motivasi dan dorongan

sehingga skripsi ini selesai dibuat.

7. Teman-teman Lebah 05, dan rekan KKNPAP GEL IX Kecamatan Maiwa,

Kabupaten Enrekang khususnya teman seperjuangan di Desa Batu Mila Imel, Nia,

Fitra, Fandi, Acil dan Yusuf serta sahabat-sahabatku yang kucintai dan kubanggakan yang

selalu mendukung dan memberikan motivasi Nunu, Wahda, Ramu, Ayu, Anti, Ayyi, Ima,

dan juga teman penelitian Fuad, Akhsan dan Ewin serta anak Rumput 07 kalian adalah

guru terbaik dalam hidupku yang selalu mengajarkan arti persahabatan dan indahnya

kebersamaan dalam menghadapi dilema hidup yang penuh warna dan problematika.

Tak lupa penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak apabila

selama mengikuti perkuliahan dari awal sampai akhir terdapat kesalahan-kesalahan yang

(9)

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena

itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan

ini. Semoga segala usaha dan kegiatan belajar selama ini yang kita jalani mendapat berkah

dan ridho-Nya. Amin...

Makassar, Agustus 2011

Yosephina Sangbara

DAFTAR ISI

Halaman

(10)

HALAMAN JUDUL... ii

A. Deskripsi Sapi Perah Fries Holland (FH)... 4

B. Proses Terbentuknya Air Susu Sapi Perah... 5

(11)

di Kabupaten Enrekang... 19

Pengaruh Periode Laktasi Terhadap produksi Susu... 21

KESIMPULAN DAN SARAN... 26

Kesimpulan ... 26

Saran ... 26

DAFTAR PUSTAKA... 27

LAMPIRAN ... 28

(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

Teks

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

Teks

1. Hasil Perhitungan Ragam Rata-rata Produksi Air Susu pada

Berbagai Periode Laktasi... 31

2. Hasil Uji Beda Nyata (BNT) Produksi Air Susu pada berbagai

Periode Laktasi... 34

(14)

PENDAHULUAN

Sapi perah adalah salah satu hewan ternak penghasil susu. Tingginya produksi susu yang

dihasilkan mampu menyuplai sebagian besar kebutuhan susu di dunia dibanding jenis hewan

ternak penghasil susu yang lain seperti kambing, domba dan kerbau, maka dari itu sapi perah

mempunyai kontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan susu yang terus meningkat dari

tahun ketahun (Riyuhar, 2009).

Susu yang dihasilkan oleh sapi perah merupakan salah satu sumber protein dalam

memenuhi kebutuhan hidup. Selain manajemen dan tatalaksana pemeliharaan, agar produksi

susu dapat meningkat yang perlu mendapat perhatian adalah periode laktasi pada sapi perah.

Pada permulaan laktasi, bobot badan akan mengalami penurunan, karena sebagian zat-zat

makanan yang dibutuhkan untuk pembentukan susu diambil dari tubuh sapi. Pada saat itu juga

sapi laktasi mengalami kesulitan untuk memenuhi zat-zat makanan yang dibutuhkan sebab nafsu

makanannya rendah. Oleh karena itu pemberian ransum terutama konsentrat harus segera

ditingkatkan begitu nafsu makannya membaik kembali (Siregar, 1993).

Produksi susu induk sapi perah periode laktasi sangatlah bervariasi. Hal ini disebabkan

oleh perubahan keadaan lingkungan yang umumnya bersifat temporer seperti perubahan

manajemen terutama pakan, iklim dan kesehatan sapi perah. Kondisi iklim di lokasi induk sapi

perah dipelihara sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan produksi susu. Suhu lingkungan

yang ideal bagi ternak sapi perah adalah 15,5ºC karena pada kondisi suhu tersebut pencapaian

produksi susu dapat optimal. Suhu kritis untuk ternak sapi perah Fries Holland adalah 27ºC

(Hadisutanto,2008). Ternak sapi perah Fries Holland yang berasal dari Eropa akan berproduksi

(15)

lingkungan 24,4ºC dan tingkat kelembaban relatif yang tinggi ternyata ternak sapi perah

mengalami penurunan produksi (Hadisutanto, 2008).

Dari sejak melahirkan, produksi susu akan meningkat dengan cepat sampai mencapai

puncak produksi pada 35-50 hari setelah melahirkan. Setelah mencapai puncak produksi,

produksi susu harian akan mengalami penurunan. Lama diperah atau lama laktasi yang paling

ideal adalah 305 hari atau sekitar 10 bulan. Sapi perah yang laktasinya lebih singkat atau lebih

panjang dari 10 bulan akan berakibat terhadap produksi susu yang menurun pada laktasi yang

berikutnya (Siregar, 1993).

Produksi susu sapi perah perlaktasi akan meningkat terus sampai dengan periode laktasi

yang ke-4 atau pada umur 6 tahun, apabila sapi perah itu pada umur 2 tahun sudah melahirkan

(laktasi pertama) dan setelah itu terjadi penurunan produksi susu. Selama laktasi, kesehatan dan

kebersihan sapi perah harus selalu dijaga dengan baik. Pencegahan terhadap berbagai penyakit

terutama mastitis harus benar-benar mendapat perhatian khusus. Diduga 70% dari sapi perah

yang dipelihara di Indonesia menderita penyakit mastitis yang dapat menurunkan produksi susu

sekitar 15-20% (Siregar, 1993).

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan jumlah

produksi susu yang dihasilkan oleh sapi perah pada setiap periode laktasi.

Kegunaan diadakannya penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Sapi Perah Fries Holland

Bangsa sapi Fries Holland (FH) berasal dari Belanda, ciri-ciri dari sapi Fries Holland

adalah berwarna hitam putih, mempunyai tanda segitiga pada dahi, kaki bagian bawah dan ekor

berwarna putih dan tanduk pendek menjurus ke depan. Sedangkan ciri-ciri dari sapi peranakan

Fries Holland adalah sama dengan Fries Holland, tetapi ukuran tubuhnya lebih kecil (Anonim,

2011).

Ciri-ciri sapi Fries Holland dan peranakan Fries Holland adalah sebagai berikut ; Ciri-ciri

sapi Fries Holland adalah sebagai berikut : Warna belang hitam dan putih, pada kaki bagian

bawah dan ekornya berwarna putih, tanduk pendek menghadap ke depan, kebanyakan pada dahi

terdapat belang warna putih yang berbentuk segitiga, mempunyai sifat yang jinak, sehingga

mudah dikuasai, tidak tahan panas, lambat dewasanya, berat badan sapi jantan ± 850 kg,

sedangkan betina ± 625 kg, produksi susu 4500-5500 liter/laktasi, dan tubuhnya tegap. Ciri-ciri

sapi peranakan Fries Holland antara lain ; menyerupai Fries Holland, tetapi ukuran tubuhnya

lebih kecil, dan produksi susunya lebih rendah dibandingkan dengan Fries Holland (Mulyana,

2006).

Hadisutanto (2008) menyatakan bahwa sapi Perah Fries Holland telah diternakkan lebih

dari 2000 tahun yang lalu dan berasal dari North Holland dan West Friesland. Menurut

sejarahnya bahwa bangsa sapi Fries Holland berasal dari Boss Taurus yang mendiami daerah

beriklim sedang di dataran Eropa. Sebagian besar sapi tersebut memiliki warna bulu hitam

(17)

kaki) berwarna putih atau hitam dari atas terus ke bawah dan di Belanda sendiri ada Fries

Holland yang mempunyai warna coklat/merah dengan bercak-bercak putih.

Pada umumnya sapi perah Fries Holland jinak dan merupakan sapi tipe besar dengan

bobot tubuh betina dewasa berkisar antara 540-680 kg dan yang jantan dapat mencapai 800 kg

(Pane, 1986). Soedono dan Sutardi (1969) mengemukakan bahwa dari persilangan sapi perah

Fries Holland dengan sapi lokal yang ada di Indonesia menurunkan sapi peranakan Fries

Holland. Dalam perkembangannya di Indonesia, sapi perah Fries Holland telah mampu

beradaptasi dengan kondisi lingkungan.

B. Proses Terbentuknya Air Susu Sapi Perah

Ambing adalah suatu kelenjar kulit yang tertutup oleh bulu, kecuali pada putingnya.

Ambing tampak sebagi kantung yang berbentuk persegi empat. Ambing terbagi menjadi dua

bagian kiri dan kanan terpisahkan oleh satu lekukan yang memanjang, disebut intermammary

groove. Kuarter belakang mertupakan bagian yang besar dan menghasilkan susu 60% dari total

produksi. Sering dijumpai adanya puting tambaan (extra teat) di luar empat puting yang normal dari masing-masing kuarter. Puting tambahan biasanya berada dibelakang puting belakang atau

kadang-kadang diantara puting depan dan belakang (Prihadi, 1997).

Ambing seekor sapi betina terbagi menjadi empat kuartir yang terpisah. Dua kuartir

bagian depan biasanya berukuran 20% lebih kecil dari kuartir bagian belakang dan kuartir-kuartir

itu bebas satu sama lain. Sapi perah yang produksi susunya tinggi memiliki sistem mamae yang

besar, ambing melekat mantap, putingnya terletak pada keempat sudut bujur sangkar uniform/

seragam, pembuluh venanya menonjol karena jumlah darah yang dibutuhkan untuk produksi

(18)

Ukuran dan bentuk kelenjar susu berbeda-beda dan sangat dipengaruhi oleh kemampuan

produksi, umur ternak, dan faktor genetik yang diturunkan oleh induknya. Mamalia atau hewan

menyusui dikenal karena terdapatnya kelenjar mamae pada yang betina maupun jantan. Hanya

saja yang jantan tidak berkembang. Kelenjar mamae adalah modifikasi kelenjar kulit yang

dilengkapi dengan puting susu dan menghasilkan susu untuk anaknya sampai usia tertentu. Pada

beberapa jenis hewan, kelenjar susu mengeluarkan kolostrum yang kaya akan bahan-bahan

antibodi yang melindungi pedet terhadap penyakit untuk beberapa minggu setelah lahir. Sewaktu

kelenjar air susu menjadi sangat mengembang bagian terbesar protein susu terdiri dari casein.

Kelenjar mamae berkembang sangat baik pada sapi perah, sedangkan pada ternak mamalia

lainnya jumlah air susu yang disekresikan sangat mempengaruhi efisiensi produksi daging

(Prihadi, 1997).

Ambing seekor sapi betina terbagi menjadi empat kuartir yang terpisah. Dua kuartir

bagian depan biasanya berukuran 20% lebih kecil dari kuartir bagian belakang dan kuartir-kuartir

itu bebas satu sama lain (Blakely and Blade, 1991).

Kuartir sebelah kanan dan sebelah kiri dipisahkan oleh membrane yang tebal yang

disebut tenunan penyakit septum media (median suspensori) yang menjulur ke atas bertautan

pada dinding perut, sehingga merupakan alat penggantung bagi ambing. Bagian ambing kanan

dan kiri masing-masing dipisahkan menjadi dua bagian oleh suatu membrane yang amat tipis

(Soetarno, 1999).

Di dalam tubuh sapi, air susu dibuat oleh kelenjar susu di dalam ambing. Ambing sapi

perah terbagi dua yaitu ambing kiri dan ambing kanan, selanjutnya masing-masing ambing

terbagi dua yaitu kuartir depan dan kuartir belakang. Tiap-tiap kuartir mempunyai satu puting

(19)

setandan buah anggur. Dinding gelembung merupakan sel-sel yang menghasilkan air susu.

Bahan pembentuk air susu berasal dari darah. Air susu mengalir melalui saluran-saluran halus

dari gelembung susu ke ruang kisterna dan ruang puting susu. Dalam keadaan normal, lubang

puting susu akan tertutup (Hidayat,dkk, 2002) .

Lubang puting susu menjadi terbuka akibat rangsangan syaraf atau tekanan sehingga air

susu dari ruang kisterna dapat mengalir keluar. Gerakan menyusui dari pedet, usapan satu

basuhan air hangat pada ambing merupakan rangsangan pada otak melalui jaringan syaraf.

Selanjutnya otak akan mengeluarkan hormon oksitosin ke dalam darah. Hormon oksitosin

menyebabkan otak-otak pada kelenjar susu bergerak dan lubang puting membuka sehingga air

susu mengalir ke luar (Hidayat, dkk, 2002).

C. Faktor--faktor yang Mempengaruhi Produksi Air Susu

Produksi air susu yang dihasilkan bangsa sapi perah Fries Holland tertinggi jika

dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya, baik di daerah beriklim sedang maupun

di daerah tropis. Telah diketahui bahwa air susu yang banyak menganduk lemak akan banyak

mengandung vitamin A dan D pervolume susu, karena vitamin-vitamin tersebut berhubungan

dengan kadar lemak susu. Bangsa sapi juga menentukan susunan kimia air susu yang dihasilkan

(Sudono, dkk, 2003).

Dalam rangka menangani sasaran peningkatan produksi susu dan tingkat konsumsi yang

terus meningkat, maka perlu ditinjau faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produksi dan

kualitas susu yang dihasilkan dalam suatu peternakan sapi perah dan faktor sapi perah itu sendiri

(Gillespic, 1992). Kemampuan produksi susu seekor sapi 30% dipengaruhi oleh sifat-sifat

(20)

keadaan sekitar yaitu makanan, tatalaksana, penyakit, iklim dan lain-lain (Sudono dan Sutardi,

1969)

Produksi dan komposisi air susu Sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya

jenis ternak (ras/spesies) dan keturunannya (hereditas); tingkat laktasi umur ternak; infeksi atau

peradangan pada ambing; nutrisi atau pakan ternak lingkungan dan prosedur pemerahan susu.

Keseluruhan faktor –faktor ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu faktor-faktor yang

ditimbulkan oleh lingkungan, genetik dan manajemen (Saleh, 2004).

1. Nutrisi dan Lingkungan

Faktor lingkungan adalah faktor yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap tingkat

produksi. Diantara sekian banyak komponen faktor lingkungan yang paling nyata pengaruhnya

terhadap sapi perah, terutama pada masa laktasi (produksi air susu) adalah suhu, yang selalu

berkaitan erat dengan kelembaban (Daisy, 2003).

Pengaruh lingkungan terhadap produksi susu dan komposisi air susu dapat

dikomplikasikan oleh faktor-faktor seperti nutrisi dan tahap laktasi, bila faktor-faktor seperti ini

dihilangkan maka memungkinkan untuk mengamati pengaruh musim dan suhu. Biasanya pada

musim hujan kandungan lemak susu akan meningkat sedangkan pada musim kemarau

kandungan lemak susu lebih rendah. Produksi air susu yang dihasilkan pada kedua musim

tersebut juga berbeda. Pada musim hujan produksi air susu dapat meningkat karena tersedianya

pakan yang lebih banyak dari musim kemarau. Suhu dan kelembaban dapat mempengaruhi

produksi air susu, dimana lingkungan dengan kelembaban yang tinggi dapat mempengaruhi

timbulnya infeksi bakteri dan jamur penyebab mastitis. Pada suhu lingkungan yang tinggi

terlihat jelas dapat menurunkan produksi air susu dimana ternak sapi menurunkan konsumsi

(21)

Penyediaan zat makanan yang tidak mencukupi akan membatasi sekresi air susu, sebab

mengingat sifat dari ternak sapi perah yang mampu mengorbankan berat badannya untuk

keperluan berproduksi. Berat badan yang hilang ini tentu saja akan menuntut penggantian dari

zat-zat makanan dalam ransum. Jadi sapi perah yang mendapatkan makanan yang sangat

terbatas akan mencukupi kebutuhan hidup pokoknya dengan mengorbankan zat makanan yang

diperlukan dalam laktasi (Saleh, 2004).

Jenis pakan dapat mempengaruhi komposisi air susu. Pakan yang terlalu banyak

konsentratnya akan menyebabkan kadar lemak susu rendah. Jenis pakan dari rumput-rumputan

akan menaikkan kandungan asam oleat sedangkan pakan berupa jagung atau gandum akan

menaikkan asam butiratnya. Pemberian pakan yang banyak pada seekor sapi yang kondisinya

jelek pada waktu sapi itu dikeringkan dapat menaikkan hasil produksi air susu sebesar 10 - 30%.

Pemberian air adalah penting untuk produksi air susu, karena air susu 87% terdiri dari air dan

50% dari tubuh sapi terdiri dari air. Jumlah air yang dibutuhkan tergantung dari produksi air

susu yang dihasilkan oleh seekor sapi, suhu sekeliling dan pakan yang diberikan. Perbandingan

antara air susu yang dihasilkan dan air yang dibutuhkan adalah 1 : 36. Air yang dibutuhkan

untuk tiap hari bagi seekor sapi berkisar 37 - 45 liter (Saleh, 2004).

2. Genetik

Faktor genetik merupakan faktor-faktor individu yang diturunkan oleh orang tua kepada

anaknya. Faktor genetik ini bersifat baka, tak berubah-ubah. Faktor ini sangat menentukan

jumlah atau besarnya produksi susu dan komposisi air susu setiap masa laktasi. Oleh sebab itu

kesanggupan untuk menghasilkan produksi air susu sangat tergantung pada keadaan genetik

(22)

Pada umumnya sapi yang berumur 5 - 6 tahun sudah mempunyai produksi air susu yang

tinggi tetapi hasil maksimum akan dicapai pada umur 8 - 10 tahun. Umur ternak erat kaitannya

dengan periode laktasi. Pada periode permulaan produksi air susu tinggi tetapi pada masa akhir

laktasi produksi air susu menurun. Selama periode laktasi kandungan protein susu secara umum

mengalami kenaikan, sedangkan kandungan lemaknya mula-mula menurun sampai bulan ketiga

laktasi kemudian naik lagi. Komposisi air susu berubah pada tiap tingkat laktasi dimana

perubahan yang terbesar terjadi pada saat permulaan dan terakhir periode laktasi (Saleh, 2004).

3. Tata Laksana Pemeliharaan

Manajemen yang baik dan sempurna merupakan kunci sukses bagi usaha peternakan sapi

perah. Dalam hal ini termasuk perlakuan yang diberikan seorang peternak terhadap rangsangan

masalah pemerahan, lamanya kering kandang, pencegahan terhadap penyakit, frekuensi

pemerahan, jarak perkawinan (service periode), dan jarak melahirkan (calving interval) (Saleh,

2004).

Perlakuan yang kasar dalam proses pemeliharaan akan menimbulkan rasa sakit dan rasa

takut yang dapat mengakibatkan sapi menjadi stress, sehingga menimbulkan hambatan dalam

proses pemerahan. Peristiwa semacam ini juga akan mengakibatkan sekresi atau pembentukan

air susu berikutnya terhambat, bahkan dapat kemerosotan produksi secara permanen bagi seluruh

masa laktasi (Saleh, 2004).

D. Masa kering

Masa kering adalah sapi perah betina yang umur kebuntingan telah mencapai 7 bulan.

Jika sapi tersebut sapi dara dan baru pertama kali melahirkan, belum dapat dikatakan sebagai

sapi kering karena belum memproduksi susu. Yang dikatakan masa kering adalah sapi perah

(23)

sampai sapi tersebut melahirkan. Pakan yang diberikan untuk masa kering pada sapi perah

hanya hijauan saja sampai sapi perah tersebut mencapai puncak produksinya. Ada beberapa cara

untuk melakukan masa kering pada sapi perah atau tidak diperah, yaitu dilakukan pada hari ke

309, dilakukan pemerahan secara berselang atau pemerahan tidak lengkap, atau penghentian

pemerahan tiba-tiba (Firman, 2010).

Memasuki bulan ketujuh kebuntingan, sapi tidak diperah lagi atau dikenal dengan istilah

kering kandang. Mengeringkan sapi laktasi pada waktu-waktu tertentu terutama yang bunting

tua merupakan suatu kebijakan yang harus dilaksanakan. Kegunaan dari masa kering ini adalah:

1). Memberi kesempatan kepada kelenjar alveoli untuk beristirahat agar ada persiapan untuk

masa produksi yang akan datang; 2). Memberikan kesempatan kepada induk untuk menimbun

makanan cadangan yang diberikan pada laktasi berikutnya; 3). Memberikan kesempatan kepada

organ-organ yang mengatur laktasi untuk mengadakan suatu penyegaran pada masa istirahat; dan

4). Induk dapat menghimpun tenaga untuk persiapan untuk kelahiran dan menghasilkan

kolostrum, yang bermutu untuk kebutuhan anaknya kelak.

Masa kering pada sapi perah pada kebuntingan 7 bulan, produksi susunya sudah sedikit

(lebih kurang 4 liter) tidak begitu sulit, yang menjadi masalah adalah apabila produksi susunya

masih diatas 4 liter. Menurut Nurdin (2011) ada beberapa cara untuk mengeringkan sapi tersebut

adalah, yaitu : 1). Pemerahan berselang, yaitu dengan memerah sapi tersebut 1 kali sehari

kemudian 1 kali dalam 2 hari, 1 kali dalam 3 hari dan selanjutnya tergantung kondisi produksi

susunya. Dengan adanya air susu yang tidak dikeluarkan atau tertinggal dalam ambing, akan

menekan alveoli sehingga tidak mensekresikan air susu lagi. Cara ini sebenarnya kurang baik

karena ambing masih akan mengeluarkan air susu, tetapi sangat baik dilakukan pada sapi yang

(24)

dengan melakukan pemerahan seperti biasa sampai air susu habis dalam 1 hari dan dilakukan

beberapa hari. Kemudian dilakukan pemerahan berselang sampai air susu tinggal sedikit lalu

pemerahan dihentikan. Cara ini sangat baik dilakukan pada sapi-sapi yang berproduksi tinggi.

Sebab jika penghentian pemerahan dilakukan pada tiba-tiba akan mengakibatkan rasa sakit pada

sapi tersebut dan ambing akan bengkak; 3). Penghentian pemerahan secara tiba-tiba. Selama 3

hari sebelum masa pengeringan, makanan penguat tidak diberikan dan rumput hanya diberikan

lebih kuran 2/3 dari biasanya. Susu yang tidak diperah akan terkumpul dalam ambing sehingga

sekresi alveoli ditekan dan susu tidak diproduksi lagi, sedangkan pengurangan makanan juga

akan mengurangi jumlah susu yang dihasilkan. Susu yang berada di dalam ambing akan di

absorbsi kembali oleh tubuh. Untuk mencegah mastitis, dianjurkan untuk mencuci bersih

ambing pada ambing pada akhir pemerahan. Makanan dapat ditingkatkan kembali setelah

produksi susu berhenti (Nurdin, 2011).

Panjang pendeknya masa kering kandang akan sangat mempengaruhi produksi dalam satu

masa laktasi. Kering kandang atau masa istirahat yang terlalu singkat menyebabkan produksi air

susu pada masa laktasi berikutnya menjadi rendah. Masa istirahat yang normal berlangsung

sekitar 1,5 - 2 bulan. Produksi air susu pada laktasi kedua dan berikutnya dipengaruhi oleh

lamanya masa kering kandang yang sebelumnya. Setiap individu sapi betina, produksi air

susunya akan naik dengan bertambahnya masa kering kandang sampai 7-8 minggu. Meskipun

demikian, dengan masa kering kandang yang lebih lama lagi produksi tidak akan bertambah lagi

(25)

Selang beranak yang optimal adalah 12 dan 13 bulan. Jika selang beranak diperpendek

maka akan menurunkan produksi air susu sebesar 3,7-9% pada laktasi yang sedang berjalan atau

yang akan datang. Jika selang beranak diperpanjang sampai 450 hari maka akan meningkatkan

produksi air susu sebesar 3,5% pada laktasi yang sedang berjalan atau yang akan datang

(Sudono, 2003).

E. Periode Laktasi

Pada permulaan laktasi, bobot badan akan mengalami penurunan, karena sebagian dari

zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk pembentukan susu diambil dari tubuh sapi. Pada saat itu

juga sapi laktasi mengalami kesulitan untuk memenuhi zat-zat makanan yang dibutuhkan sebab

nafsu makannya rendah. Oleh karena itu pemberian ransum terutama konsentrat harus segera

ditingkatkan begitu nafsu makannya membaik kembali (Siregar, 1993).

Dari sejak melahirkan, produksi susu akan meningkat dengan cepat sampai mencapai

puncak produksi pada 35-50 hari setelah melahirkan. Setelah mencapai puncak produksi,

produksi susu harian akan mengalami penurunan rata-rata 2,5% perminggu. Lama diperah atau

lama laktasi yang paling ideal adalah 305 hari atau sekitar 10 bulan. Sapi perah yang laktasinya

lebih singkat atau lebih panjang dari 10 bulan akan berakibat terhadap produksi susu yang

menurun pada laktasi yang berikutnya (Siregar, 1993).

Produksi susu sapi perah perlaktasi akan meningkat terus sampai dengan periode laktasi

yang ke-4 atau pada umur 6 tahun, apabila sapi perah itu pada umur 2 tahun sudah melahirkan

(laktasi pertama) dan setelah itu terjadi penurunan produksi susu. Selama laktasi, kesehatan dan

(26)

terutama mastitis harus benar-benar mendapat perhatian khusus. Diduga 70% dari sapi perah

yang dipelihara di Indonesia menderita penyakit mastitis yang dapat menurunkan produksi susu

sekitar 15-20% (Siregar, 1993).

Menurut Tillman, dkk (1991), bahwa masa laktasi normal sapi yang tiap tahunnya

dikawinkan dan mengandung adalah selama sekitar 44 minggu atau 305 hari. Perkawinan yang

lebih lambat dalam periode laktasi akan memungkinkan periode laktasi lebih panjang. Selain itu

dikatakan bahwa umur sapi adalah suatu faktor yang mempengaruhi produksi air susu. Pada

umumnya, produksi pada laktasi pertama adalah terendah dan akan meningkat pada

periode-periode laktasi berikutnya. Namun faktor-faktor lain seperti makanan, kesehatan, frekuensi

pemerahan, dapat lebih berpengaruh terhadap produksi air susu dibandingkan faktor umur sapi.

Lama laktasi induk sapi perah umumnya bergantung pada keefisienan reproduksi ternak

sapi tersebut. Ternak sapi perah yang terlambat menjadi bunting menyebabkan calving interval

diperpanjang sehingga lama laktasi menjadi panjang karena induk sapi perah akan terus diperah

selama belum terjadi kebuntingan (Hadisutanto, 2008).

Produksi susu induk sapi perah periode laktasi sangatlah bervariasi. Hal ini disebabkan

oleh perubahan keadaan lingkungan yang umumnya bersifat temporer seperti perubahan

manajemen terutama pakan, iklim dan kesehatan sapi perah. Kondisi iklim di lokasi induk sapi

perah dipelihara sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan produksi susu. Suhu lingkungan

yang ideal bagi ternak sapi perah adalah 15,5ºC karena pada kondisi suhu tersebut pencapaian

produksi susu dapat optimal. Suhu kritis untuk ternak sapi perah Fries Holland adalah 27ºC

(Hadisutanto,2008). Ternak sapi perah Fries Holland yang berasal dari Eropa akan berproduksi

(27)

lingkungan 24,4ºC dan tingkat kelembaban relatif yang tinggi ternyata ternak sapi perah

mengalami penurunan produksi (Hadisutanto, 2008).

Berat dan kapasitas ambing mencapai puncak pada waktu sapi berumur 6 tahun.

Kenaikan kemampuan menampung cairan berbeda pada tiap-tiap laktasi pertama dan kedua

(28)

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Juni 2011 bertempat di Kecamatan Cendana

Kabupaten Enrekang.

Materi Penelitian

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 ekor induk sapi perah Fries Holland dengan kisaran umur 3 - 7,5 tahun, dibagi menjadi 5 perlakuan dengan masing masing 6 ekor yaitu perlakuan A : sapi pada periode laktasi pertama; perlakuan B : sapi pada periode

laktasi ke 2; perlakuan C : sapi pada periode laktasi ke 3; perlakuan D : sapi pada periode laktasi

ke 4; perlakuan E : sapi pada periode laktasi ke 5. Alat yang digunakan yaitu alat tulis menulis

dan kamera digital serta perangkat kuisioner.

Parameter yang Diukur

Parameter yang diukur yaitu jumlah produksi susu yang dihasilkan induk sapi perah pada

setiap periode laktasi mulai dari laktasi pertama hingga laktasi ke lima.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data yang meliputi data primer dan data

sekunder. Penentuan sampel dengan menggunakan metode acak sederhana (simple random

sampling). Data primer diperoleh melalui wawancara pada petani peternak sebagai responden

dengan perangkat kuisioner serta pengamatan langsung dan pencatatan, sampel diambil sebanyak

(29)

Analisis Data

Untuk mengetahui perbandingan jumlah produksi susu yang dihasilkan pada setiap

periode laktasi akan dilakukan dengan analisis ragam menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL)

dan dilanjutkan dengan Uji Nyata Terkecil (BNT) dengan rumus sebagai berikut (Gasperz, 1991)

:Yij= µ+τi+εij

i = 1,2,3,4,,5

j= 1,2,3,2,5,6

Keterangan ;

Yij = hasil Pengamatan dari peubah perlakuan ke-i dengan ulangan ke-j

µ = nilai tengah umum

τi = Pengaruh perlakuan ke-i

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Usaha Peternakan Sapi Perah FH di Kabupaten Enrekang

Jumlah populasi sapi perah FH (Fries Holland) di Kabupaten Enrekang dalam lima tahun

terakhir dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik Jumlah Populasi Sapi Perah FH di Kabupaten Enrekang

Dari Gambar 1 dapat terlihat bahwa populai sapi perah FH mengalami penurunan jumlah

pada tahun 2008, namun mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir yaitu pada tahun

2009 sebesar 1494 ekor dan pada tahun 2010 sebanyak 1508 ekor. Hal ini disebabkan karena

masyarakat telah mengetahui dan menerapkan manajemen pemeliharaan yang baik. Dimana

masyarakat telah memperhatikan masalah perkandangan maupun pakan yang diberikan kepada

(31)

perkandangan dengan cara tie stall yaitu sapi diikat dalam kandang dan diberikan pakan berupa

rumput dan konsentrat.

Sesuai dengan yang dikemukakan Saleh (2004) yang menyatakan bahwa manajemen

yang baik dan sempurna merupakan kunci sukses bagi usaha peternakan sapi perah. Dalam hal

ini termasuk perlakuan yang diberikan seorang peternak terhadap rangsangan masalah

pemerahan, lamanya kering kandang, pencegahan terhadap penyakit, frekuensi pemerahan, jarak

perkawinan (service periode), dan jarak melahirkan (calving interval).

Produksi air sapi perah FH di Kabupaten Enrekang dalam waktu lima tahun terakhir

rata-rata mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2006 sekitar 619,000 liter/tahun, tahun 2007

sekitar 1398,240 liter/tahun, namun sempat mengalami penurunan pada tahun 2008 sekitar

1215,360 liter/tahun, tahun 2009 sekitar 1314,720 liter/tahun, dan pada tahun 2010 sebesar 3652

liter/tahun.

Produksi air susu sapi perah mengalami penurunan pada tahun 2008, hal ini disebabkan

karena populasi ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang juga mengalami penurunan sehingga

berpengaruh terhadap produksi susu. Selain itu, mungkin juga disebabkan karena adanya

pengafkiran pada ternak yang sudah tua ataupun karena tatalaksana pemeliharaan dan kebutuhan

zat-zat makanan belum maksimal pada peternakan Rakyat di Kabupaten Enrekang. Hal ini

sesuai dengan pendapat Firman (2010) bahwa rata-rata pengafkiran ternak sapi Perah dilakukan

setelah laktasi ke 5 sampai ke 7 namun, ada juga yang melakukan pengafkiran sapi perah

sebelum laktasi ke 5 yang disebabkan oleh keadaan tertentu seperti kecelakaan pada sapi perah,

penyakit, ataupun terjadi kemandulan atau infertil.

Air susu dari hasil pemerahan ternak sapi perah dapat digunakan masyarakat sebagai

(32)

lain. Masyarakat khususnya di Kabupaten Enrekang mengolah hasil produksi susu ternak

mereka menjadi dangke. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2011) yang menyatakan

bahwa susu dapat diolah menjadi berbagai produk seperti mentega, yoghurt, es krim, keju, susu

kental manis, susu bubuk, dangke dan lain-lain untuk konsumsi manusia.

Pengaruh Periode Laktasi terhadap Produksi Susu

Rata-rata produksi air susu per hari pada sapi perah FH di Kecamatan Cendana

Kabupaten Enrekang dapat terlihat pada Gambar 2.

1 2 3 4 5

Gambar 2. Grafik Rata-rata Produksi Air Susu Sapi Perah FH di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang

Produksi air susu sapi perah FH di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang terlihat

mengalami peningkatan (Gambar 2). Dimana pada periode ke 2 hingga ke 4 mengalami

peningkatan namun, pada periode ke 5 sudah mulai mengalami penurunan. Hal ini mungkin

karena umur ternak sapi perah yang sudah mulai tua dan mungkin juga disebabkan karena

kurangnya pakan yang diberikan pada ternak . Hal ini sejalan dengan pendapat Siregar (1993)

bahwa produksi susu sapi perah perlaktasi akan meningkat terus sampai dengan laktasi yang ke-4

atau pada umur 6 tahun, apabila sapi perah itu pada umur 2 tahun sudah melahirkan (laktasi

(33)

Firman (2010), bahwa produksi susu pada sapi perah terbanyak dihasilkan pada periode laktasi

ketiga dan keempat dengan kisaran umur 5 – 6 tahun, dan sesudah itu produksi susunya akan

terus menurun dengan semakin tuanya umur sapi.

Selanjutnya Tillman, dkk (1991) menyatakan bahwa umur sapi adalah suatu faktor yang

mempengaruhi produksi air susu. Pada umumnya, produksi pada laktasi pertama adalah

terendah dan akan meningkat pada periode-periode laktasi berikutnya. Namun faktor-faktor lain

seperti makanan, kesehatan, frekuensi pemerahan, dapat lebih berpengaruh terhadap produksi air

susu dibandingkan faktor umur sapi.

Pada gambar 2. terlihat bahwa rata-rata produksi air susu sapi Perah Fries Holland dari setiap periode laktasi, mulai dari laktasi pertama sampai dengan periode laktasi kelima, yaitu

pada periode laktasi pertama 7,17 liter/hari, periode laktasi kedua 10,50 liter/hari, periode laktasi

ketiga dan keempat 11,83 liter/hari yang merupakan puncak produksi dan periode laktasi kelima

sekitar 8,83 liter/hari. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa periode laktasi pertama memiliki

kemampuan menghasilkan rataan produksi susu lebih rendah dari periode laktasi II, III, IV dan

V. Padahal pemberian pakan induk sapi perah di Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang

tidak membedakan periode laktasi artinya periode laktasi pertama, kedua, ketiga, keempat dan

kelima diberikan pakan dalam jumlah dan kualitas yang sama tetapi produksi susu yang

dihasilkan berbeda. Hal ini sejalan dengan penelitian Hadisutanto (2008) yang mengungkapkan

bahwa puncak laktasi dicapai pada periode laktasi ketiga, dimana periode laktasi I memiliki

kemampuan menghasilkan rataan produksi susu lebih rendah dari periode laktasi II dan III.

Adanya perbedaan produksi susu yang dihasilkan disebabkan karena tingkat kebutuhan dari

induk sapi perah yang pertama kali melahirkan (primipara) dan induk sapi perah yang

(34)

memberikan kontribusi dalam produksi susu. Primipara yang memiliki umur lebih muda dari

pluripara memiliki kemampuan menghasilkan produksi susu lebih rendah. Dalam satu periode

laktasi, induk sapi periode laktasi I hanya mampu menghasilkan susu (29,9 liter/hari) lebih

rendah dibanding periode laktasi II dan III masing-masing sebesar (39,7 liter/hari) dan (43,8

liter/hari) (Hadisutanto, 2008).

Berdasarkan analisis ragam pada Lampiran 1 terlihat bahwa periode laktasi berpengaruh

nyata (P<0,05) terhadap produksi air susu.

Berdasarkan Hasil Uji Nyata Terkecil (BNT) pada lampiran 2. terlihat bahwa produksi

susu sapi perah Fries Holland pada periode laktasi ketiga dan keempat berpengaruh nyata (P<0.05) dibanding dengan periode laktasi pertama, kedua dan kelima.

Pada penelitian ini, sapi berumur 5 - 6 tahun (periode laktasi ketiga dan keempat) yang

pada umumnya sudah mencapai kedewasaan berproduksi dan mampu memberikan hasil produksi

air susu yang tinggi. Dimana pada setiap periode laktasi, produksi air susu yang dihasilkan

mencapai hasil produksi susu yang maksimal pada bulan ke 3 setelah melahirkan. Hal ini sesuai

dengan pendapat Firman (2010), bahwa produksi susu pada sapi perah terbanyak dihasilkan pada

periode laktasi ketiga dan keempat dengan kisaran umur 5 – 6 tahun, dan sesudah itu produksi

susunya akan terus menurun dengan semakin tuanya umur sapi.

Sapi perah Fries Holland yang ada di Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang mulai melahirkan pertama pada umur 2,5 sampai dengan 3 tahun. Hal ini sejalan dengan pendapat

Firman (2010) bahwa kelahiran pertama yang ideal adalah sapi yang berumur 2 – 3 tahun, karena

pada umur ini sapi telah mencapai dewasa kelamin dan bobot ternak diharapkan bisa mencapai

300 kg sehingga siap melakukan perkawinan dan jika peternak terlalu cepat mengawinkan sapi

(35)

memelihara kebuntingan, disamping itu produksi susu menjadi rendah dan kondisi pedet yang

dilahirkan juga akan menjadi lemah.

Turunnya produksi air susu pada sapi perah disebabkan karena umur dan aktifitas sel-sel

kelenjar ambing sudah berkurang. Hal ini sejalan dengan Ernawani (1991), bahwa tinggi

rendahnya produksi susu pada sapi perah dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu ukuran dan bobot

badan induk, umur, ukuran dan pertautan ambing, pertumbuhan, jumlah anak lahir per kelahiran

dan suhu lingkungan.

Berbagai penelitian telah mengungkapkan bahwa produksi susu rata-rata sapi perah Fries Holland di tingkat peternak adalah 10 liter/ekor/hari atau setara dengan 3.050 liter/laktasi (Priyanti,dkk, 2009; Hadiana, dkk, 2005 dan Rahayu, dkk, 2005). Jika dibandingkan dengan

tempat asalnya, produksi susu sapi Perah Fries Holland mampu mencapai 4.500 – 5.500 liter dalam satu kali masa laktasi (305) hari. Banyak faktor yang mempengaruhi produktivitas sapi

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Bahan Kuliah Ilmu Produksi Ternak Perah, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,Makassar.

. 2011. Susu. http://wikipedia.org . diakses pada tanggal 20 April 2011.

Blakely dan D.H Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Gajah Madah University Press. Yogjakarta.

Daisy,R. 2003. Stress Panas Pada Sapi Perah Laktasi. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ernawani. 1991. Pengaruh Tatalaksana Pemerahan Terhadap Kualitas Susu Sapi perah. Media Peternakan Vol. 15 : 38 – 46. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.

Firman, A. 2010. Agribisnis Sapi Perah.Widya Padjadjaran,Bandung.

Gillespic, R.J. 1992. Modern Livestock and Poultry Production. Delmar Publisher Inc, Canada.

Gasperz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan Untuk Ilmu Pertanian, Tekhnik, dan Biologi. Armico, Bandung.

Hadiana, Hasan, Achmad Firman dan Rochadi Tawaf. 2005. Analisis Biaya Produksi Susu Segar Pada Peternak Sapi Perah Anggota GKSI Jawa Barat. Kerjasama Dinas Koperasi Jawa dengan GKSI dan Fakultas Peternakan Unpad. Bandung.

Hadisutanto, B. 2008. Pengaruh Paritas Induk terhadap Performans Sapi Perah Fries Holland, Bandung.

Hafez,E.S.E. 2000. Reproductionin Farm Animal. 4 th Ed. Lea and Febiger. Philadelphia.

Hidayat, A.m E. Pepen, F.A.Ali., P.Yadi., T.Kimiaki., dan S.Teruo. 2002. Buku Petunjuk Prakltis untuk Peternak Sapi Perah tentang Manajemen Kesehatan Pemerahan. Dinas Peternakan Jawa Barat.

Jasper, D.E. 1980. Mastitis In Bovine Medicane and Surgery.Ed. H.E., Amstutz Amer. Vet.Publ. Inc., Santa Barbara, California, USA.

Mulyana. 2006. Pemeliharaan dan Kegunaan Teknik Sapi Perah Aneka Ilmu. Semarang.

Nurdin, Ellyza. 2011. Manajemen Sapi Perah. Graha Ilmu, Yogyakarta

(37)

Prihadi. S. 1997. Tata Laksana Dan produksi ternak Perah. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Priyanti, Atien, Sudi Nurtini, dan Achmad Firman. 2009. Analisis Ekonomi dan Aspek Sosial Usaha Sapi Perah. Dalam Buku Profil Usaha peternakan Sapi Perah di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.

Rahayu, Sri, Wiyan Djaja, dkk. 2005. Pembentukan Unit Pelayanan Jasa Alsin Sapi Perah. Kerjasama Fakultas Peternakan UNPAD dengan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, Bandung.

Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi Produksi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Siregar, S.B. 1993. Sapi Perah, Jenis, Teknik Pemeliharan, dan Analisa Usaha. P.T Penebar Swadaya, Jakarta.

Sudono, A. dan T, Sutardi. 1969. Pedoman Beternak Sapi Perah. Direktorat Peternakan Rakyat. Dirjen Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Sudono, A., R.R. Fina, dan S.B. Susilo. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Penerbit Agromedia Pustaka, Jakarta.

Soetarno, T. 1999. Manajemen Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

(38)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa: produksi air

susu pada sapi Perah Fries Holland di Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang tertinggi pada periode laktasi ketiga dan keempat yaitu dengan rata-rata 11,83 liter/hari dan yang terendah pada

periode laktasi pertama yaitu 7,17 liter/hari.

Saran

Untuk mendapatkan produksi susu yang tinggi, sebaiknya peternak memberikan pakan

(39)
(40)

Lampiran 1. Perhitungan Ragam Rata-rata Produksi Air Susu pada Berbagai Periode Laktasi

b. Menghitung FK, JKT, JKP dan JKG

(41)

= 18709 - 3020,03 6

= 98,14

JK Galat = JK Total - JK Perlakuan

= 308,97 - 98,14 = 210,83

c. Menentukan Kuadrat Tengah (KT) melalui pembagian setiap JK dengan derajat bebasnya yaitu :

(42)

Sumber Keragaman Db JK KT F Hitung F Tabel

5% 1%

Perlakuan

Galat

4

25

98,14

210,83

24,55

8,43

2,91* 2,76 4,18

Total 29 308,97

(43)

Lampiran 3. Dokumentasi

(44)
(45)
(46)
(47)

RIWAYAT HIDUP

Penulis pernah menyelesaikan Pendidikan Formal sebagai berikut :

a) SDN No 412, Pakatan Tahun 1999 b) SMP Negeri 01 Mangkutana Tahun 2002 c) SMA Negeri 01 Mangkutana Tahun 2005

YOSEPHINA SANGBARA Lahir di Palopo pada

tanggal 07 Juli 1987, dilahirkan dari pasangan suami

istri, Ayahanda tercinta Ishak Sangbara dan Ibunda

tersayang Elis Duma, sebagai anak ke enam dari

(48)

d) Diterima di Universitas Hasanuddin Makassar, Fakultas Peternakan Jurusan Produksi

Gambar

Gambar 1. Grafik Jumlah Populasi Sapi Perah FH di Kabupaten Enrekang
Gambar 2. Grafik Rata-rata Produksi Air Susu Sapi Perah FH       di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang

Referensi

Dokumen terkait

Menghasilkan individu yang memiliki sifat baru (tidak sama) dengan sifat alaminya. Biaya produksi relative mahal. Menjadikan jenis tanaman mono kultur. Menyebabkan degradasi gen

Serai wangi dengan formulasi VCO merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai anti nyamuk sesuai dengan syarat repellent yaitu tidak mengganggu

Tabel 4 menunjukkan nilai % SID untuk uji kesesuaian titik pusat image intensifier dengan monitor yang diujikan pada pesawat fluoroskopi intervensional masih di

Pengecoran dengan concrete pump tidak dapat digunakan pada elemen vertikal seperti kolom karena concrete pump mempunyai tekanan yang besar sehingga mengakibatkan

Dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 dinyatakan bahwa perguruan tinggi dan lembaga Penelitian dan Pengembangan wajib mengusahakan

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan mulai dilaporkan pada tahun 2005 dan setiap penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dan tahunnya cenderung meningkat.. Pada

Bentuk penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam tiga siklus. Tiap siklus terdiri dari empat tahap, yaitu

Dari hasil perhitungan dengan Uji Tukey diperoleh perbedaan rerata hasil belajar matematika pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan numerik rendah antara