• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA CENTRE FOR STRATEGIC AND INTERNATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UPAYA CENTRE FOR STRATEGIC AND INTERNATI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA CENTRE FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL

STUDIES (CSIS) DALAM MEMBANGUN KERJASAMA

CYBERSECURITY ANTARA AMERIKA SERIKAT DAN CINA

PERIODE 2010-2013

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Individu Dalam

Mata Kuliah Metodologi Penelitian Hubungan Internasional

oleh

Muhammad Darmawan Ardiansyah

NIM: 1112113000007

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi sangat pesat sekali di abad ke-21 ini. Perkembangan teknologi dianggap sebagai sebuah kemajuan yang telah merubah segala aspek kehidupan manusia. Salah satu primadona perkembangan teknologi di era modern ini adalah terciptanya cyberspace atau yang disebut juga sebagai dunia maya. Dunia maya itu sendiri merupakan jaringan atau sebuah sistem teknologi informasi yang saling terkoneksi satu dengan yang lain.1

Keberhasilan cyberspace menjadi salah satu primadona teknologi saat ini tidak terlepas dari kemudahan, efektivitas, dan efisiensi yang ditawarkan olehnya. Masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan informasi apapun yang diinginkannya, walaupun informasi tersebut berada di belahan bumi lainnya. Tidak heran jika terjadi peningkatan pengguna internet yang sangat signifikan setiap tahunnya.

Pada kuartal pertama tahun 2015 ini, tercatat pengguna internet di dunia telah mencapai kurang lebih sekitar 7 milyar dari total populasi penduduk dunia. Padahal pada tahun 2012, jumlah pengguna internet di dunia masih berjumlah sekitar 2 milyar.2 Dapat kita lihat dari data di atas bahwa terjadi peningkatan sebesar 3 kali lipat hanya dalam kurun waktu 3 tahun. Artinya setiap tahun terjadi peningkatan kurang lebih satu kali lipat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan tersebut terjadi karena semakin bergantungnya manusia terhadap sistem teknologi informasi. Perkembangan teknologi yang pesat secara tidak langsung menuntut setiap individu untuk mengikuti tren tersebut. Ibarat udara, kita sangat bergantung sekali terhadap teknologi, terutama teknologi informasi, sampai kita tidak sadar bahwa hampir

1 “Cyberspace,” http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/cyberspace. Diakses pada tanggal 21 Juni 2015, pukul 00:18.

2 “World Internet Users and 2015 Population Stats,”

(3)

semua yang ada di sekeliling kita telah terkoneksi dengan teknologi. Seperti udara, teknologi telah menjadi kebutuhan sehari-hari setiap individu.

Perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat berbanding lurus dengan masifnya peningkatan angka kriminalitas dalam cyberspace, di mana kejahatan ini disebut sebagai cybercrime. Cybercrime itu sendiri adalah kejahatan yang menggunakan komputer dan jaringan internet sebagai media utama dalam melancarkan aksinya.3 Motif utama dari kejahatan ini adalah untuk mendapatkan keuntungan dari informasi yang diperoleh.

Seperti yang telah kita ketahui, dalam cyberspace informasi yang disimpan tidak hanya informasi umum yang dapat diakses siapa saja. Akan tetapi disitu juga tersimpan berbagai informasi-informasi yang bersifat personal maupun rahasia, baik itu informasi yang dimiliki oleh individu ataupun yang dimiliki oleh pemerintah. Inilah informasi-informasi yang umumnya menjadi incaran para pelaku cybercrime.

Hal ini membuat cybercrime menjadi sebuah ancaman tersendiri bagi kehidupan manusia. Pemanfaatan jaringan internet sebagai alat kejahatan, membuat pelaku sangat sulit diidentifikasi keberadaannya. Sangat mudah bagi mereka untuk memanipulasi kejahatannya agar tidak terendus serta dapat dengan mudahnya kabur tanpa meninggalkan jejak. Selain itu, perkembangan kejahatan

cybercrime yang sangat pesat tidak sejalan dengan pembuatan hukum yang berkaitan dengannya.

Sebenarnya pada tahun 2010, PBB telah mengupayakan pembentukan perjanjian global mengenai cybercrime. Proposal cybercrime ini didiskusikan dalam UN Congress on Prevention and Criminal Justice, di Brasil. Selama 10 hari tahap pendiskusian. Di mana belum tercapai kata sepakat di antara anggota-anggota PBB. Ketidak sepakatan tersebut akibat dari adanya perbedaan pandangan antara Rusia dan Cina dengan AS dan sekutunya yang memiliki interpretasi berbeda mengenai ancaman cybercrime, menyebabkan proposal

(4)

perjanjian mengenai pembuatan hukum global tentang cybercrime ditolak dalam kongres tersebut.4

Nilai strategis yang ditawarkan oleh cyberspace berupa informasi-informasi penting membuat banyak pihak tertarik untuk mendapatkannya, tidak terkecuali negara. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan tidak hanya fenomena

cybercrime, ada juga cyberattack, dan cyberwarfare. Cyberwarfare ini muncul akibat dari pesatnya perkembangan cybercrime itu sendiri. Definisi dari

cyberwarfare adalah tindakan yang dilakukan oleh negara untuk menembus komputer atau jaringan informasi negara lain yang ditujukan untuk merusak atau menimbulkan gangguan.5

Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang menjadi kiblat teknologi dunia. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang sangat signifikan membuatnya selalu menjadi negara yang terdepan dalam bidang apapun. Sejalan dengan perkembangan teknologinya, cybercrime-pun meningkat dengan pesat setiap tahunnya. Hal ini membuat AS menjadi incaran bagi para pelaku

cybercrime.

Symantec, perusahaan yang bergerak dibidang antivirus dan pengamanan sistem komputer melaporkan bahwa ada kenaikan pelaku kejahatan cybercrime

yang sangat signifikan dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2013. Pada tahun 2012 AS menjadi negara kedua setelah China sebagai negara pelaku cybercrime

terbesar yang telah merugikan total 21 miliar USD.6 Dan pada tahun 2013 AS menjadi negara pertama pelaku cybercrime terbesar di dunia yang merugikan total 38 miliar USD.7

4 Greg Masters, “Global Cybercrime Treaty Rejected At U.N.,”

http://www.scmagazine.com/global-cybercrime-treaty-rejected-at-un/article/168630/. Diakses pada tanggal 21 Juni 2015, pukul 00:37.

5Carol Fung & Raouf Boutaba, “Intrusion Detection Networks: A Key to Collaborative Security,” CRC Press, Florida, 2013, Hal. 10.

6 Pierlugi Paganini, “2012 Norton Cybercrime Report,A Worrying Scenario,”

http://securityaffairs.co/wordpress/8458/cyber-crime/2012-norton-cybercrime-report-a-worrying-scenario.html. Diakses pada tanggal 21 Juni 2015, pukul 00:42.

7 Marian Merritt & Kevin Haley, “2013 Norton Report,”

(5)

Jika kita perhatikan data di atas, AS dan Cina secara berurutan merupakan penyumbang terbesar para pelaku cybercrime. Akan tetapi kedua negara ini selalu saling tuduh atas kerugian yang di derita masing-masing negara akibat kejahatan tersebut. Hal ini membuat hubungan kedua negara memburuk dari hari ke hari akibat intensitas serangan yang semakin meningkat.

Contohnya saja, ketika pemerintah AS menyalahkan dan menuduh bahwa militer Cina telah melakukan aktivitas hacking terhadap sistem komputer pemerintah dan pertahanan AS. Di lain sisi, Cina berulang kali menyatakan dengan tegas menentang segala bentuk aktivitas hacking. Segala tuduhan dan spekulasi tidak berdasar yang ditujukan AS ke Cina hanya akan merusak upaya kerjasama di antara dua negara.8

Salah satu pejabat Cina menegaskan bahwa Cina pun tidak luput dari aksi peretasan yang dilancarkan oleh para pelaku cybercrime. Tercatat, salah satu instansi pemerintah Cina, yakni Kementerian Pertahanan, telah diserang sebanyak 140 ribu kali setiap bulannya selama tahun 2012. Pemerintah Cina menyatakan bahwa hampir dari dua per tiga serangan tersebut berasal dari AS.9 Upaya saling tuduh yang dilakukan oleh kedua negara dapat berimplikasi pada timbulnya

cyberwarfare atau perang cyber, jika permasalahan ini tidak segera diatasi.

Perselisihan pemerintah AS dan Cina dalam ranah cyberspace yang telah lama berlangsung memiliki potensi yang sangat besar dalam menghambat proses kerjasama dalam aspek lainnya. Karena hampir seluruh informasi, baik itu informasi militer, perekonomian, sosial, dan politik yang bersifat rahasia disimpan di cyberspace berupa data-data yang bersifat soft copy. Menjadikan cyberspace

pusat dari segala informasi yang dimiliki oleh negara.

8 David E. Sanger, “U.S. Blames China’s Military Directly for Cyberattacks,”

http://www.nytimes.com/2013/05/07/world/asia/us-accuses-chinas-military-in-cyberattacks.html. Diakses pada tanggal 21 Juni 2015, pukul 00:52.

9 Danny Palmer, “China Happy To Talk To US About Cybersecurity,”

(6)

Kondisi konfliktual yang terjadi antara AS dan Cina akan berlangsung secara terus-menerus jika tidak ada upaya pendekatan yang lebih persuasif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Patut diperhatikan bahwa sifat cybercrime

yang dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, selama ada akses internet seringkali membuat para penegak hukum kesulitan untuk menangkap pelakunya.

Maka dari itu, untuk memerangi cybercrime diperlukan kerjasama antara beberapa pemerintah untuk memudahkan penangkapan pelaku kejahatan tersebut. Hal ini perlu dilakukan karena sifat dari pelanggaran yang dilakukan secara online

dan lintas batas negara, dapat mengancam keamanan dan kepentingan banyak negara. Selain itu, Dimensi cybercrime yang bersifat transnational crime mau tidak mau memaksa negara-negara untuk melakukan kerjasama baik bilateral maupun multilateral untuk mencegah dan mengatasi cybercrime.

Hal inilah yang sedang diupayakan oleh CSIS agar pemerintah AS mau melakukan kerjasama cybersecurity dengan pemerintah Cina. CSIS atau yang disebut juga sebagai Centre of Strategic and International Studies adalah sebuah lembaga think tank di Washington DC, AS. Kegiatan utama dari lembaga ini adalah melakukan penelitian dan analisis terkait permasalahan politik, ekonomi, dan keamanan. Fokus utama dari lembaga ini adalah melakukan kajian strategis mengenai isu-isu hubungan internasional.10

Upaya yang dilakukan CSIS ini sangat perlu dilakukan, mengingat pendekatan yang persuasif akan memiliki peluang yang lebih besar dalam menyelesaikan masalah, daripada menggunakan pendekatan yang konfliktual. Maka dari itu, CSIS menginisiasi agar kedua negara dapat melakukan kerjasama cybersecurity secepat mungkin, sehingga permasalahan dalam bidang ini tidak berlarut-larut terjadi.

Selain untuk menghindari konflik yang berkepanjangan, kerjasama ini juga akan memberikan manfaat yang sangat besar dalam menekan angka kriminalitas di cyberspace. Seperti yang telah kita ketahui, kedua negara merupakan

(7)

penyumbang terbesar para pelaku cybercrime secara berurutan. Jika AS dan Cina sepakat untuk melakukan kerjasama, secara tidak langsung akan memberikan manfaat yang sangat besar, karena angka cybercrime dapat ditekan semaksimal mungkin akibat dari adanya kerjasama tersebut.

Untuk memaksimalkan agar upaya ini berhasil, CSIS menggandeng CICIR sebagai mitra utama dalam mewujudkan hal tersebut.11 China Institutes of Contemporary International Relations atau CICIR adalah lembaga penelitian tertua dan paling berpengaruh di Cina dalam bidang international studies.

Lembaga ini berada di bawah wewenang departemen keamanan Cina dan diawasi langsung oleh Partai Komunis Cina.12 Posisi strategis yang dimiliki oleh CICIR menjadi daya tarik tersendiri bagi CSIS untuk menjadikannya sebagai mitra utama dalam memaksimalkan upaya ini.

Kerjasama antara kedua lembaga dalam bidang cybersecurity telah dibangun sejak tanggal 17 Desember 2009. Sampai saat ini, kedua lembaga telah melakukan sembilan kali pertemuan secara formal dalam aspek tersebut. Tema utama yang diusung dalam dialog ini adalah “Track 2 Sino-U.S. Cybersecurity Dialogue”. Pertemuan ini tidak hanya dihadiri oleh para peneliti dari kedua lembaga saja, akan tetapi pejabat dari kedua negara yang bertanggungjawab atas isu ini juga terlibat langsung dalam membicarakan permasalahan tersebut.13

Agenda utama dialog ini adalah ditujukan untuk menghilangkan segala pandangan atau persepsi negatif dari masing-masing negara. Selain itu, meningkatkan transparansi dan pemahaman di antara kedua belah pihak dalam hal

cybersecurity. Dilanjutkan dengan membangun rasa saling percaya dalam

cyberspace agar kerjasama-kerjasama dalam bidang lainnya tidak terganggu. Dan

11 Brian Grow & Mark Hosenball, “Special Report: In Cyberspy Vs. Cyberspy, China Has the Edge,” http://www.reuters.com/article/2011/04/14/us-china-usa-cyberespionage-idUSTRE73D24220110414. Diakses pada tanggal 21 Juni 2015, pukul 01:14.

12 “China Institutes of Contemporary International Relations,”

http://www.isn.ethz.ch/Digital-Library/Organizations/Detail//?id=34643. Diakses pada tanggal 21 Juni 2015, pukul 01:18.

13 Andrew Schwartz, “CSIS-CICIR Cybersecurity Dialogue,”

(8)

yang terakhir adalah menyepakati poin-poin penting mengenai norma dan aturan terkait cybersecurity. Kesepakatan ini bertujuan untuk mempromosikan kerjasama

cybersecurity di antara kedua negara.14

Langkah-langkah yang diambil CSIS dalam mengupayakan kerjasama cybersecurity antara AS dan Cina sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Seperti yang telah kita ketahui, isu-isu keamanan seringkali didominasi oleh aktor negara dan mengabaikan peran serta atau upaya yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Banyak sekali tulisan-tulisan yang berkaitan dengan isu keamanan terlalu terfokus pada pembahasan aktor negara dalam pandangan realisme.

Padahal sebenarnya disitu ada upaya yang dilakukan oleh aktor non negara, yang cenderung kurang di perlihatkan oleh para akademisi. Dalam tulisan ini penulis sangat tertarik untuk melihat upaya yang dilakukan oleh CSIS sebagai aktor non negara dalam membangun jembatan kerjasama antara AS dan Cina dalam hal cybersecurity. Selain itu penulis memilih periode 2010-2013 karena pada periode tersebut merupakan awal dari upaya yang dilakukan oleh CSIS, hingga tahun 2013 CSIS dan CICIR berhasil mengupayakan kedua negara untuk melakukan kerjasama dalam bidang cybersecurity.

B. Pertanyaan Penelitian.

1. Bagaimana upaya CSIS dalam membangun kerjasama

cybersecurity antara AS dan Cina?

C, Tinjauan Pustaka.

Penelitian yang membahas mengenai permasalahan cybersecurity telah banyak sekali dipublikasikan. Akan tetapi disini penulis lebih berfokus dalam meneliti upaya yang dilakukan CSIS, serta melihat bagaimana hubungan AS dan Cina dalam konteks cybersecurity. Untuk mengetahui bagaimana kondisi hubungan AS dan Cina dalam konteks cybersecurity, penulis merujuk pada beberapa jurnal, buku, dan artikel yang dipublikasikan oleh instansi terkait.

Yang pertama adalah artikel yang ditulis oleh James A. Lewis pada tahun 2010 yang berjudul “Cyber War and Competition in the China-US Relationship”

(9)

yang dipublikasikan oleh CSIS. Artikel ini menjelaskan tentang hubungan AS dan Cina yang sedang melakukan redefinisi hubungan bilateral. Cina yang disebut-sebut sebagai kekuatan baru dalam dunia internasional dianggap memiliki tanggung jawab baru terhadap dunia.

Proses redefinisi hubungan bilateral antara AS dan Cina akan terhambat jika konflik cyber tidak diselesaikan secepat mungkin. Jaringan informasi yang disimpan dalam cyberspace memiliki potensi yang sangat besar dalam meningkatkan intensitas konflik di antara kedua negara. Karena di dalamnya berbagai informasi tersimpan, baik itu informasi ekonomi, politik, maupun militer yang bersifat rahasia. Pada era modern ini banyak sekali perhatian ditujukan ke isu cybersecurity.

Hal ini tidak terlepas dari ketergantungan dunia terhadap jaringan informasi yang sangat berguna. Infrastruktur baru ini telah memunculkan banyak sekali dinamika, terutama terkait isu keamanan, di mana banyak sekali para pelaku kejahatan yang memanfaatkannya, demi kepentingan pribadi atau kelompok akibat dari lemahnya hukum yang mengatur tentang cyberspace serta lemahnya mekanisme pengamanan infrastruktur jaringan informasi tersebut.

Munculnya Cina sebagai kekuatan baru dalam sistem internasional harus diantisipasi oleh AS dengan cara melakukan pendekatan-pendekatan yang persuasif untuk menghindari konflik di antara keduanya, serta mengantisipasi agar konflik yang sedang terjadi tidak spillover terhadap isu lainnya. Sehingga kemungkinan-kemungkinan buruk dapat diantisipasi dan dicegah sesegera mungkin. Tulisan ini berfokus pada bagaimana AS harus membangun hubungan yang konstruktif dengan Cina, sedangkan yang akan penulis teliti adalah upaya yang dilakukan oleh aktor non-negara dalam membangun hubungan kerjasama tersebut.

(10)

informasi dianggap sebagai suatu hal yang sangat-sangat penting untuk dilindungi dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

Selain itu, isi dari informasi itu sendiri menentukan masa depan dari kehidupan sebuah bangsa. Jika informasi itu dicuri, akan berdampak pada ketidakmampuan negara tersebut untuk survive dalam sistem internasional yang bersifat anarki. Hal inilah yang ingin dicegah AS dengan meningkatkan sistem pertahanan cyber mereka, agar tidak mudah ditembus oleh negara-negara lain yang memiliki kepentingan terhadap informasi-informasi penting yang dimiliki oleh pemerintah AS.

Cina yang tumbuh sebagai kekuatan baru dalam sistem internasional patut menjadi perhatian utama bagi AS untuk menangkal kemungkinan serangan yang berasal dari negara tersebut. Kekuatan cyber Cina yang dikatakan mampu melakukan operasi jaringan komputer yang bersifat ofensif, defensif dan eskploitatif menimbulkan kekhawatiran tersendiri jika AS tidak meningkatkan sistem pertahanan cyber-nya. Maka dari itu, AS perlu mengimbangi kekuatan

cyber Cina agar serangan-serangan di masa yang akan datang dapat diantisipasi sesegera mungkin.

Jurnal ini penuh dengan pandangan-pandangan realisme, di mana jurnal ini menekankan pada Balance of Power yang harus dilakukan oleh AS untuk mengimbangi kekuatan cyber yang dimiliki oleh Cina. Dalam tulisan ini penulis lebih berfokus pada aktor non-negara yang dapat mempengaruhi kebijakan negara agar mau melakukan kerjasama dengan negara lainnya dan membangun hubungan yang konstruktif daripada destruktif.

Tulisan ketiga, yaitu jurnal yang ditulis oleh Kenneth Lieberthal dan Peter W. Singer pada tahun 2012 yang berjudul “Cybersecurity and US-China Relations”, diterbitkan oleh Brookings Institution. Di awal-awal kalimat, jurnal ini menjelaskan tentang begitu mudahnya isu cyber menimbulkan perselisihan antara AS dan Cina. Isu ini dapat dengan mudah dieskalasi yang berdampak pada timbulnya persepsi negatif serta rasa saling tidak percaya di antara kedua negara. Tentunya hal ini akan menghambat prospek-prospek kerjasama yang strategis kedepannya.

Jurnal ini juga membahas tentang terjadinya perkembangan cybersecurity

(11)

seluruh isu-isu kebijakan memiliki keterkaitan dengan cybersecurity, akibat memiliki dampak yang signifikan terhadap hubungan luar negeri. Jika isu-isu ini tidak dikelola dengan baik melalui mekanisme kerjasama cybersecurity, akan menjadi sumber utama terjadinya konflik dalam sistem internasional, terutama dalam hubungan AS dan Cina sebagai kekuatan dunia pada saat ini.

Jurnal ini memiliki tujuan yang sama dengan CSIS, yaitu mendorong AS dan Cina agar melakukan kerjasama dalam bidang cybersecurity. Selain itu

cybersecurity menjadi fokus utama pembahasan dalam jurnal ini. Penulis melihat bahwa secara garis besar ide-ide yang ada dalam jurnal ini memiliki persamaan dengan ide-ide artikel pertama yang ditulis oleh James A. Lewis. Perbedaan jurnal ini dengan penelitian yang dibuat oleh penulis terletak pada pembahasan yang menjadi fokus utama penulis. Jika jurnal ini berfokus pada isu cybersecurity dan implikasinya terhadap hubungan AS-Cina. Penulis berfokus dalam membahas upaya yang dilakukan oleh aktor non negara dalam membangun kerjasama

cybersecurity antara AS dan Cina.

Tulisan keempat, yakni sebuah jurnal yang ditulis oleh David C. Gompert dan Martin Libicki yang berjudul “Cyber Warfare and Sino-American Crisis Instability”, diterbitkan oleh International Institute for Strategic Studies (IISS). Jurnal ini menjelaskan tentang strategi perang militer Cina yang semakin agresif dan respon AS terhadap hal tersebut. Tindakan Cina yang agresif dan respon AS terhadapnya hanya akan menimbulkan ketidakstabilan keamanan dalam sistem internasional.

Di kalangan militer kedua belah pihak, muncul alternatif baru dalam strategi peperangan, yakni cyberwarfare. Strategi perang menggunakan cyberspace

sebagai medan peperangan merupakan hal yang sangat strategis. Karena dalam peperangan ini biaya yang dibutuhkan tidak sebanyak biaya perang konvensional, cenderung bersifat efektif dan efisien, dan hasilnya setara, bahkan dapat melebihi perang konvensional.

(12)

hubungan antara AS dan Cina dalam aspek cyberspace. Sedangkan penulis menekankan akan pentingnya upaya yang dilakukan oleh aktor non negara dalam membangun hubungan kerjasama antara AS dan Cina.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memperkaya kajian-kajian ilmu hubungan internasional. Selain itu, penulis bermaksud untuk memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa di era modern ini, ancaman-ancaman tidak hanya selalu apa yang ada dalam dunia nyata saja. Akan tetapi, dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, dunia maya pun memberikan ancaman tersendiri, baik bagi individu maupun negara.

Banyak sekali tulisan-tulisan yang memuat tentang ancaman-ancaman yang terdapat di dunia maya, baik itu dari perspektif umum maupun dari perspektif yang ada dalam ilmu hubungan internasional itu sendiri. Akan tetapi, referensi-referensi yang berbahasa Indonesia masih minim. Hal inilah yang mendorong penulis untuk membuat sebuah tulisan yang berkaitan dengan cybersecurity.

Penulis juga berharap agar kedepannya para akademisi memberikan perhatian yang lebih terkait isu cyber ini. Banyak sekali para akedemisi yang masih kurang peduli terhadap isu ini. Padahal telah banyak sekali fenomena-fenomena besar yang terjadi akibat isu ini. Mungkin domain cyber yang hanya ada di cyberspace dianggap tidak terlalu penting karena tidak bersentuhan langsung dengan dunia nyata.

Akan tetapi, harus disadari bahwa sebenarnya, secara tidak langsung

cyberspace memiliki implikasi yang sangat besar terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dunia nyata di era modern ini. Kemudahan untuk mendapatkan akses terhadap teknologi secara tidak langsung meninabobokan setiap elemen, bahwa sebenarnya dibalik kemudahan tersebut, terdapat ancaman-ancaman serius yang bersifat destruktif.

E. Kerangka Pemikiran.

(13)

keberadaannya tidak dapat dianggap remeh. Paradigma dan konsep-konsep yang akan penulis gunakan, yaitu:

E. 1. Paradigma Pluralisme.

Konstelasi sistem internasional yang sangat dinamis, berpengaruh terhadap kajian dalam hubungan internasional itu sendiri. Jika di awal-awal perkembangannya kajian ilmu hubungan internasional hanya berfokus pada aktor negara, pasca perang dingin mulai bermunculan aktor-aktor non negara. Hal ini tidak terlepas dari dampak hubungan internasional yang semakin dinamis dari hari ke hari.

Salah satu paradigma hubungan internasional yang berfokus dalam mengkaji aktor non negara adalah pluralisme. Dalam paradigma pluralisme, aktor-aktor dalam hubungan internasional tidak hanya terdiri dari aktor-aktor negara saja. Aktor non negara pun juga memiliki peran dalam dinamika hubungan internasional itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa aktor non negara pun dapat ikut turut serta menjadi bagian dari hubungan internasional.15

Asumsi-asumsi dasar dari pluralis,16 yaitu:

1) Aktor non negara adalah aktor yang sama pentingnya seperti aktor negara dalam sistem internasional. Aktor non negara dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, seperti organisasi internasional, MNC, kelompok kepentingan, maupun individu.

2) Negara bukanlah aktor tunggal dalam sistem internasional. Aktor-aktor selain negara pun dapat memiliki peran yang sama bahkan dapat melebihi aktor negara itu sendiri.

3) Negara bukanlah aktor yang rasional. Dikatakan demikian karena dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri, keputusan negara dapat dipengaruhi oleh aktor-aktor lainnya.

4) Permasalahan dalam hubungan internasional saat ini tidak lagi terpaku pada masalah keamanan saja, tapi telah terjadi spillover ke isu-isu lainnya, seperti isu sosial, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya.

Paradigma pluralisme dapat dianggap sebagai paradigma yang memiliki perkembangan yang pesat. Hal ini didasarkan pada pandangan kaum pluralis

15 Martin Hollis dan Steve Smith, “Explaining and Understanding International Relations,” Clarendon Press, Oxford, 1990, hal. 95-118.

(14)

terhadap hubungan internasional. Hubungan internasional sesungguhnya tidak didominasi oleh negara saja, tapi juga ada peran dari aktor-aktor non negara yang berkontribusi dalam membangun hubungan internasional itu sendiri. Interaksi-interaksi yang dilakukan oleh aktor-aktor non negara merupakan bagian dari dinamika interaksi yang ada dan dapat mempengaruhi perkembangan hubungan internasional itu sendiri.17

Kaum pluralis percaya bahwa interdependensi akan memiliki dampak yang positif terhadap hubungan aktor-aktor dalam sistem internasional. Membangun sebuah hubungan yang baik dengan aktor-aktor dalam hubungan internasional akan meningkatkan interdependensi aktor lain terhadap aktor lainnya. Sehingga menciptakan hubungan yang lebih konstruktif daripada konfliktual. Hubungan interdependensi ini dapat ditingkatkan dengan cara pembuatan seperangkat aturan, institusi, atau organisasi internasional untuk mengorganisir interaksi di antara aktor tersebut.18

E. 2. Konsep Keamanan.

Pasca perang dingin, isu-isu keamanan mengalami perubahan yang sangat drastis, apalagi pasca serangan 9/11. Perubahan isu-isu keamanan yang sangat drastis tidak terlepas dari banyaknya aktor-aktor baru yang bermunculan dalam sistem internasional. Hal ini membuat dinamika isu keamanan semakin meluas dan tidak terbatas pada isu-isu keamanan yang bersifat konvensional. Pesatnya perkembangan isu keamanan memunculkan pandangan-pandangan baru, di mana terdapat lima dimensi utama dalam konsep tersebut,19 yaitu:

1) The Origins of Threats: Saat ini ancaman-ancaman tidak hanya berasal dari luar negara saja. Ancaman dari dalam negeri pun dapat saja sewaktu-waktu menciptakan instabilitas keamanan di negara itu sendiri.

2) The Nature of Threats: Saat ini, ancaman tidak hanya bersifat militer, tetapi juga dapat berupa ancaman-ancaman dalam bentuk lain, seperti ekonomi, sosial, budaya, dan isu-isu global kontemporer yang sewaktu-waktu dapat mengancam.

17Ibid., hal 215.

18Ibid., hal 224.

(15)

3) Changing Response: Jika pada masa sebelum perang dingin isu-isu keamanan cenderung direspon dengan menggunakan pendekatan militer. Maka pada saat ini, isu-isu tersebut perlu di atasi dengan menggunakan pendekatan-pendekatan non-militer.

4) Changing Responsibility of Security: Adanya perubahan pandangan di mana pada saat ini tidak hanya negara saja yang bertanggung jawab dalam mengatasi isu keamanan-keamanan tersebut, tapi seluruh elemen negara, baik itu penduduk maupun pemerintah itu sendiri.

5) Core Values of Security: Fokus keamanan harus ditujukan pada isu-isu baru yang harus dilindungi dengan melibatkan berbagai aktor, baik itu aktor negara maupun non negara.

Berdasarkan konsep keamanan di atas, patut disadari bahwa perkembangan hubungan internasional yang sangat dinamis akan memiliki dampak yang sangat besar terhadap isu-isu yang berkaitan dengan hubungan internasional itu sendiri. Adanya perkembangan tersebut juga melahirkan tanggung jawab baru bagi seluruh elemen aktor dari hubungan internasional, baik itu aktor negara maupun non negara yang harus saling berkolaborasi dalam mengatasi isu-isu tersebut.

F. Metode Penelitian.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Penulis menggunakan metode ini karena lebih sederhana dan praktis untuk digunakan daripada metode kuantitatif yang harus menggunakan teknik-teknik tertentu. Penelitian ini bersifat eksplanatif, di mana penelitian ini merupakan penelitian yang menjelaskan tentang terjadinya sebuah fenomena. Penelitian Eksplanatif diawali dengan penelitian yang bersifat deskriptif dan eksploratif yang dilanjutkan dengan mengidentifikasi fenomena tersebut. Penelitian eksplanatif yaitu penelitian yang berfokus pada satu topik yang melihat asal usul terjadinya sesuatu.20

Untuk data yang dipakai dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara kualitatif. Data-data yang digunakan antara lain berasal dari buku-buku, artikel, jurnal akademis, berita, yang sebagian besar berasal dari situs-situs internet yang memiliki otoritas dalam mempublikasikan tulisan-tulisan

(16)

yang terkait dengan penelitian ini. Minimnya sumber-sumber bacaan offline

Referensi

Dokumen terkait

kandungan kalori lebih rendah dari lemak lain, (%) yang minimal disimpan sebagai lemak, dan (3) memberikan kontribusi untuk meningkatkan metabolisme untuk membakar lebih

 Menerapkan konsep transformasi dalam menyelesaikan model matematika dari masalah nyata yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Siswa dapat memodelkan dan menyelesaikan

Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

transformasi realitas; hubungan siswa-siswa, harus mencerminkan kesetaraan mereka tanpa diskriminasi yang bertentangan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab;

Tingginya obesitas pada remaja ada kecenderungan mengalami peningkatan, dengan pola makan yang sudah berubah serta aktivitas fisik yang kurang dengan latar

Bahan yang digunakan adalah 65 ekor ikan Guppy (Poecilia reticulata), yang merupakan sebagai objek yang akan diamati, berukuran kecil dengan panjang ± 5 cm; air

Tujuan utama dari penelitian adalah melihat karakteristik ketenagakerjaan yang dihubungkan dengan pendidikan terakhir angkatan kerja di Jawa Timur tahun 2014, serta